The Aplication of Legal Profession

M. Husni: Pemberdayaan Masyarakat sebagai Upaya …

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEBAGAI UPAYA
PENEGAKAN HUKUM
M. Husni
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Abstract: Community law consciousness are influenced by social structure
where the law exist to receive the law order in community law conscionsness the
social structure should be arranged. To build the community law conscionsness
the community inspiration in law should be developed according to Indonesian
principles. On the other hand we also need supporting factor, like, good legal
enforcers, facilities, legal culture and society as a key role actor. If all those
factors above adjusted, we are sure that the society vision on legal enforcement
could be happened.
Kata Kunci: Pemberdayaan, Masyarakat, Penegakan Hukum

Dalam rangka pencapaian tujuan penegakan hukum yang salah satu di antaranya adalah
untuk mewujudkan rasa keadilan di samping tujuan lainnya yaitu menciptakan kepastian
hukum dalam masyarakat dan memberikan kemanfaatan bagi anggota masyarakat yang
bersangkutan, maka pemeliharaan tertib hukum mutlak diperlukan. Keharusan untuk
memelihara ketertiban hukum tidak saja merupakan tugas aparat penegak hukum, tetapi lebih

jauh adalah merupakan kewajiban pula bagi para pembuat peraturan hukum itu sendiri
(legislatif) dan juga para eksekutif serta anggota masyarakat secara keseluruhan sebagai
pemegang peran. Hukum sebagai suatu norma hanya dapat diterapkan dengan baik dan baru
mencapai tujuannya apabila semua anggota masyarakat memiliki kemauan untuk memelihara
norma hukum yang menjadi ukuran untuk bertingkah laku serta kemauan itu kemudian
diwujudkan dalam bentuk perbuatan nyata. Salah satu upaya ke arah itu adalah melalui
peningkatan kesadaran hukum masyarakat. Berbicara mengenai kesadaran hukum masyarakat,
Scholten memberikan rumusan sebagai berikut; “Kesadaran hukum itu tidak lain dari pada
suatu kesadaran yang ada dalam kehidupan manusia untuk selalu patuh dan taat kepada
hukum”. Sedangkan batasan yang diberikan oleh peserta simposium kesadaran hukum
masyarakat pada masa transisi yang dilaksanakan di Universitas Indonesia–Jakarta. Bahwa
kesadaran hukum meliputi pengetahuan masyarakat tentang hukum, penghayatan masyarakat
terhadap hukum, dan ketaatan masyarakat terhadap hukum.
Berdasarkan batasan tersebut, maka upaya pemeliharaan tertib hukum untuk
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, haruslah melibatkan ketiga hal tersebut di atas.
Untuk itu perlu pula indikator-indikator tertentu yang dapat digunakan sebagai alat untuk
mengukur tingkat kesadaran hukum masyarakat. Adapun indikator itu adalah sebagai
berikut:1) Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum; 2) Pengetahuan tentang isi
peraturan-peraturan hukum; 3) Sikap terhadap peraturan-peraturan hukum; 4) Pola perilaku
hukum. Jika kesadaran hukum sebagai suatu faktor pendukung upaya pemeliharaan tertib

hukum, maka kelanjutan dari upaya itu adalah dengan cara meningkatkan pengetahuan
masyarakat terhadap isi peraturan hukum, mengarahkan masyarakat agar bersikap taat dan
86

Universitas Sumatera Utara

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006
patuh kepada peraturan hukum dan merubah pola perilaku masyarakat agar tetap berperilaku
sesuai dengan norma hukum (tidak berperilaku menyimpang). Proses penegakan hukum
adalah suatu konsep yang diarahkan kepada perilaku seseorang. Perilaku seseorang itu sangat
dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan sosio-kulturalnya. Orang yang memiliki
pengetahuan tentu berbeda dalam caranya untuk berperilaku (hukum) dengan orang yang tidak
atau kurang memiliki pengetahuan. Demikian juga halnya orang yang latar belakang kehidupan
sosio-kulturalnya yang berbeda akan berbeda pula perilaku hukumnya jika dibandingkan
dengan orang lain. Seseorang yang dibesarkan di lingkungan pesantren akan berbeda
perilakunya dalam mentaati peraturan hukum dengan orang yang dibesarkan di lingkungan
gelandangan.
Oleh karena itu kesadaran hukum masyarakat haruslah dilihat secara total bila hendak
mengaitkan pemberdayaan masyarakat dengan penegakan hukum. Artinya, pemahaman
masyarakat tidak boleh terbatas hanya terhadap kaedah hukumnya saja, tetapi juga lebih jauh

harus diarahkan kepada ketiga faktor yang telah dikemukakan pada bahagian pendahuluan,
yaitu hal yang berkaitan dengan manusia sebagai subyek (pelaku) hukum yang meliputi,
pengetahuannya terhadap peraturan hukum (termasuk) isi peraturannya, penghayatannya
terhadap hukum serta ketaatannya terhadap hukum. Dalam kaitannya dengan hal tersebut maka
permasalahannya yang perlu mendapat perhatian adalah langkah-langkah apa yang dapat
ditempuh untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat yang pada gilirannya tercipta
suatu suasana penegakan hukum yang baik.
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN PENEGAKAN HUKUM
Suatu hukum hanya dapat dilaksanakan dan diterapkan dengan baik apabila dalam
masyarakat terdapat suatu struktur yang memungkinkan bagi setiap anggota masyarakat untuk
mewujudkan cita-cita hukum tersebut. Donald Black dalam bukunya The Behavior of Law
mengemukakan bahwa suatu perilaku hukum (case) mempunyai struktur sosialnya sendiri.
Black sendiri mengemukakan teori bahwa kehadiran hukum bervariasi di mana orang-orang
itu berada. Oleh karena itu jika kita mengharapkan perilaku hukum masyarakat yang baik,
maka kita harus menciptakan struktur sosial masyarakat yang baik pula. Selama struktur sosial
masyarakat tidak terkandung kearah susunan masyarakat yang baik maka selama itu pula
perilaku hukum masyarakat sulit untuk mengarah kepada perilaku hukum yang baik. Ini sebuah
asumsi. Kalau kemudian ini dikembangkan lebih lanjut maka untuk menciptakan perilaku
hukum yang baik (baca: kesadaran hukum) maka struktur sosial yang mengitari tempat di mana
hukum itu diberlakukan harus diperbaiki terlebih dahulu. Struktur ekonomi harus diperbaiki,

struktur politik harus diperbaiki, struktur pendidikan harus diperbaiki, struktur pertahanan
keamanan harus diperbaiki, serta struktur-struktur lainnya yang terdapat dalam sistem sosial
yang luas. Pandangan ini berkait erat dengan suatu asumsi bahwa hukum adalah sebagai
produk sistem sosial. Sedangkan hukum itu sendiri adalah sub sistem dalam sistem sosial yang
lebih luas.
Bahagian-bahagian atau sub sistem yang lain yang mengitari suasana kehidupan hukum
tetap mempengaruhi bekerjanya hukum itu dalam masyarakat. Dalam kaitan inilah selalu di
dengar hukum dapat dibeli dengan uang, hukum dapat ditaklukkan dengan kekuasaan, hukum
orang kaya tidak akan sama dengan hukum orang miskin, hukum orang pandai tidak akan sama
dengan hukum orang bodoh, meskipun hukum sejak awal sudah mengingatkan bahwa setiap
orang memiliki kedudukan yang sama didepan hukum. Selanjutnya, harus pula dipahami
bahwa kesadaran hukum yang menyangkut perilaku manusia, tidak dapat dilepaskan dari sikap
batin. Oleh karena itu kesadaran hukum yang dimaksudkan haruslah memiliki keterkaitan pula
dengan sikap batin pelakunya. Dengan kata lain, harus terdapat kaitan yang erat antara sikap
batin dan tindakan yang dilakukan oleh seseorang. Ini akan menuntut konsekuensi bahwa
87

Universitas Sumatera Utara

M. Husni: Pemberdayaan Masyarakat sebagai Upaya …


penegakan hukum tidak bisa disamaratakan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat
yang lain yang berbeda struktur sosialnya. Jika politik hukum Indonesia menghendaki adanya
satu sistem hukum, maka langkah awal yang harus ditempuh adalah mempersatukan terlebih
dahulu struktur sosial yang ada dalam arti homogen. Untuk itu strategi yang dapat di lakukan
adalah melalui penyampaian informasi yang benar dan dipercaya. Jika struktur sosial belum
memperlihatkan tanda-tanda yang homogenitas, maka selama itu pula penegakan hukum harus
selektif dalam arti tidak dapat disamaratakan meskipun kasusnya sama. Langkah ini
sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah, misalnya ketika konsep juridis diberlakukannya
peraturan tentang lalu lintas. Di sana disebutkan bahwa untuk masing-masing daerah yang
berbeda diberlakukan jumlah denda yang berbeda. Besarnya denda untuk Daerah DKI Jakarta
akan berbeda dengan besarnya denda untuk wilayah Sumatera Utara. Dalam lapangan hukum
perkawinan sendiri juga dikemukakan bahwa bagi pihak-pihak yang melakukan perkawinan
dapat memilih ketentuan hukum agama atau hukum adat. Pasal 2 UU No.1 tahun 1974
mengatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut ajaran agama atau
kepercayaan masing-masing. Demikian juga dalam hal warisan, para pihak jika terbuka
warisan diperkenankan untuk memilih hukum warisan masing-masing. Ini tentu suatu
keputusan juridis yang sangat arif, ini adalah politik hukum yang benar-benar bijaksana.
Pengetahuan dan pemahaman hukum masyarakat jauh lebih baik untuk lapangan-lapangan
hukum yang non-netral jika dibandingkan dengan lapangan hukum netral (catatan: Prof.

Mahadi membedakan lapangan hukum non-netral dengan lapangan hukum netral). Lapangan
hukum non-netral adalah lapangan hukum yang dekat dengan suasana kehidupan agama dan
kepercayaan atau dekat dengan kebudayaan, sedangkan lapangan hukum netral adalah
lapangan hukum yang tidak berkaitan erat dengan agama, kepercayaan atau kebudayaan.
Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agama atau hukum adat jauh lebih dipahami oleh
masyarakat Indonesia daripada pelaksanaan perkawinan versi hukum perdata Eropa (BW). Ini
berarti pula pemahaman masyarakat dengan kaedah (kaedah sosial yang kemudian diangkat
menjadi kaedah hukum) hukum yang tumbuh dari bawah jauh lebih baik jika dibandingkan
dengan kaedah hukum yang dituangkan dari atas. Jika pemahaman dan pengetahuan
masyarakat tentang kaedah hukum itu termasuk tentang isi kaedah hukum itu sudah baik maka
kemungkinan masyarakat untuk mematuhi atau mentaatinya lebih terbuka.
Ronny Hanitijo Soemitro mengemukakan dalam suatu kesempatan, bahwa kaedah
hukum yang tumbuh dari bawah lalu kemudian mendapat pengakuan secara juridis (dari
pemerintah) ini jauh lebih baik dan lebih kokoh. Lebih baik dan lebih kokoh dimaksudkannya
di sini adalah dalam arti kaedah hukum itu mendapat dukungan yang sepenuhnya dari
masyarakat, karenanya kaedah hukumnya lebih terpelihara. Jika ini dikaitkan dengan tipe
hukum menurut Selznick dan Nonet, maka tipe hukum yang semacam ini disebutnya dengan
tipe hukum yang responsif, di samping tipe hukum yang lain yaitu tipe hukum yang refresif
dan tipe hukum yang otonom. Tipe hukum responsif telah menjadi perhatian yang sangat besar
yang terus menerus dari teori hukum modern untuk membuat hukum lebih responsif terhadap

kebutuhan-kebutuhan sosial dan untuk memperhitungkan secara lebih lengkap dan cerdas
tentang fakta sosial yang menjadi dasar dan tujuan penerapan dan pelaksanaan hukum. Sifat
responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan
ditemukan, bukan oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Satjipto Rahardjo, menyebut hukum
responsif sebagai lebih peka terhadap masyarakat. Karakteristik yang menonjol dari konsep
hukum responsif adalah pertama, pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip
dan tujuan, kedua pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk
mencapainya. Sedangkan hukum represif adalah hukum yang mengabdi kepada kekuasaan dan
tertib sosial yang represif yang artinya, banyak mengandalkan penggunaan paksaan tanpa
memikirkan kepentingan yang ada dipihak rakyat. Perhatian paling utama hukum represif
adalah dengan dipeliharanya atau diterapkannya tata tertib, ketenangan umum, pertahanan
88

Universitas Sumatera Utara

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006
otoritas, dan penyelesaian pertikaian. Pada umumnya, hukum represif menunjukkan
karakteristik sebagai berikut: 1) Institusi-institusi hukum langsung terbuka bagi kekuasaan
politik, hukum diidentifikasikan dengan negara kepada raison d’etat; 2) Perspektif resmi
(Edmon Cahn), mendominasi segalanya. Dalam perspektif ini penguasa cenderung

mengidentifikasi kepentingannya dengan kepentingan masyarakat; 3) Kepentingan bagi rakyat
untuk mendapatkan keadilan adalah terbatas, di mana mereka dapat memperoleh perlindungan
dan jawaban atas keluhan-keluhanya; 4) Badan-badan khusus, seperti polisi misalnya, menjadi
pusat-pusat kekuasaan yang bebas, 5) Suatu rezim hukum rangkap melembagakan keadilan
kelas dengan mengkonsolidasikan dan mengesahkan pola-pola subordinasi sosial; 6) Hukum
dan otoritas resmi dipergunakan untuk menegakkan konformitas kebudayaan.
Tidak demikian dengan bentuk hukum otonom yang berorientasi pada pengawasan
kekuasaan represif. Artinya, hukum otonom merupakan antitesa dari hukum represif. Sifat-sifat
yang paling penting dari hukum otonom adalah: pertama, penekanan pada aturan-aturan hukum
sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan resmi; kedua, adanya pengadilan yang dapat
didatangi secara bebas, yang tidak dapat di manipulasi oleh kekuasaan politik dan ekonomi,
serta memiliki otoritas eksklusif untuk mengadili pelanggaran hukum baik oleh pejabat umum
maupun individu-individu. Hukum otonom menunjukkan tiga titik kelemahan, yang membatasi
potensial hukum untuk memberi sumbangan kepada keadilan sosial, di antaranya: pertama,
perhatian yang terlalu besar terhadap aturan-aturan dan procedural, mendorong suatu konsep
yang sempit tentang peranan hukum. Mematuhi aturan-aturan dengan ketat dilihat sebagai
suatu tujuan tersendiri dan menjadi terlepas dari tujuan; kedua, keadilan prosedural dapat
menjadi pengganti keadilan substantif, ketiga penekanan atas kepatuhan terhadap hukum akan
melahirkan pandangan tentang hukum sebagai suatu sarana kontrol sosial, ia mengembangkan
suatu mentalitas hukum dan tata tertib di antara rakyat, dan mendorong ahli-ahli hukum untuk

mengadopsi suatu sikap yang konservatif. Hukum seyogianya senantiasa memiliki keterikatan
dengan komunitas masyarakat tertentu, dan sulit untuk memahami hukum suatu bangsa akan
baik jika dilepaskan dari lingkup masyarakat tempat hukum itu dijalankan. Namun di Indonesia
yang terjadi adalah lain dari yang diharapkan.
Hukum sebagai sebuah produk politik yang dihasilkan ekskutif dan legislatif semakin
jauh dari kepentingan masyarakat. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004, tentang “Sumber Daya
Air” misalnya, begitu besar resistensinya dalam masyarakat dan pada saat bersamaan
pemerintah menjamin tidak ada privatisasi sumber daya air dalam pemberlakuan UndangUndang tersebut. Sebaliknya Undang-Undang tersebut justru akan memberi peran pada swasta
untuk mengendalikan pengelolaan air. Dalam pandangan masyarakat, Undang-Undang itu
seharusnya mengedepankan dimensi sosial dan lingkungan daripada dimensi ekonominya. Ruh
Undang-Undang tersebut secara substantif tidak sejalan dengan Pasal 33 Ayat 3 UndangUndang Dasar 1945, dan pemberlakuan Undang-Undang sumber daya air mendorong
komersialisasi dan memberi hak pengelolaan kepada swasta. Implikasinya, penguasaan air
melalui saluran distribusi akan semakin luas sehingga masyarakat pengguna air terpaksa
membayar air untuk keperluan sehari tampak terbuka luas. Dalam perspektif sosiologis
mengisyaratkan betapa hukum dijalankan sesuai dengan kepentingan-kepentingan tertentu,
seperti ekonomi tanpa memihak pada kebutuhan dasar masyarakat. Hukum telah kehilangan
fungsi dasarnya sebagai instrumen untuk memberikan perlindungan, kesejahteraan dan
keadilan bagi semua orang. Ini uraian tentang pengetahuan dan pemahaman hukum dalam
kaitannya dengan pemeliharaan tertib hukum. Selanjutnya tentang kepatuhan atau ketaatan
masyarakat terhadap kaedah hukum. Kepatuhan dan ketaatan masyarakat tentang kaedah

hukum di samping merupakan kelanjutan dari pengetahuan dan pemahaman masyarakat
terhadap kaedah hukum itu sendiri termasuk pengetahuan dan pemahaman terhadap isinya juga
berkaitan pula dengan proses penegakan hukum (law enforcement) itu sendiri. Penegakan
89

Universitas Sumatera Utara

M. Husni: Pemberdayaan Masyarakat sebagai Upaya …

hukum telah lama menjadi agenda yang belum terselesaikan dalam sistem hukum di Indonesia
dan dapat dirasakan rendahnya penegakan hukum telah mengakibatkan hukum tidak memiliki
kewibawaan dimasyarakat, merebaknya gejala patologis yang bersifat sistematik baik
dimasyarakat maupun dikalangan penegak hukum, mulai praktek main hakim sendiri, mafia
peradilan adalah beberapa fenomena yang memang sudah menjadi kronik didalam kehidupan
sosial sehari-hari, mudahnya pelaku kejahatan melarikan diri keluar negeri dan sulitnya
menjerat pelaku pelanggaran Hak Azasi Manusia ke pengadilan adalah fakta hukum yang sukar
untuk ditegakkan. Penegakan hukum menjadi sebuah persoalan di dalam kehidupan bangsa
sehingga ia mengandung makna yang provokatif. Banyak anggapan yang berada di kehidupan
masyarakat bila penegakan hukum di negeri ini ibarat pisau tajam yang ditancapkan secara
terbalik, ia efektif menjerat mereka yang lemah tetapi tumpul bila berhadapan dengan elite

penguasa formal berwatak kolonial. Bila individu berikut instrumen organisasinya terlepas dari
status sosial, ekonomi dan posisi politiknya di masyarakat, menghargai dan mentaati hukum
sebagai instrument terhadap terciptanya ketertiban yang meningkatkan kesejahteraan sosial,
maka tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah selaku pelaksana kekuasaan negara
akan cendrung meningkat. Sebaliknya bila masyarakat cenderung mangabaikan mekanisme
penegakan hukum formal akibat konotasi negatif terhadap proses penegakan hukum itu sendiri,
maka pemerintahlah yang akan menanggung akibatnya karena ia akan kehilangan legitimasi
moral di mata masyarakatnya sendiri, karenanya penegakan hukum secara substansial sangat
identik dengan pemulihan kredibilitas masyarakat terhadap pemerintahnya sendiri, dengan
demikian persoalan penegakan hukum tidaklah hanya berkaitan pada tataran teknis hukum
semata meski harus diakui persoalan teknis banyak mempengaruhi ketidakmapanan penegakan
hukum. Artinya penegakan hukum harus juga dipandang sebagai agenda politik. Dalam
konteks ini sebaiknya dalam memaknai penegakan hukum (Law Enforcement) tidak sekedar
secara tekhnis sebagai rutinitas tindakan aparat penegak hukum didalam memproses tindakan
melawan hukum, namun lebih jauh memahaminya dari sudut pandang sosiologi di mana
elemen masyarakat berkontribusi aktif dalam penegakan hukum. Sebagaimana rasa keadilan
memiliki nilai yang bersifat relatif maka ia merupakan proses yang selalu diupayakan hadir dan
bukan merupakan faktor yang dengan sendirinya lahir didalam langkah-langkah penegakan
hukum itu sendiri. Karenanya dalam hubungan ini yang harus dipahami bahwa lemahnya
penegakan hukum meskipun dapat diartikan sebagai persoalan tekhnis juridis semata, namun
hendaknya jangan dipisahkan dari konteks sosialnya artinya ia bersinggungan dengan
komitmen seluruh masyarakat dan pemerintah terhadap nilai dan moral yang dianut oleh
masyarakat sebagai sebuah entitas. Subjek dan objek hukum dengan kata lain indikasi serta
dampak dari lemahnya penegakan hukum tidak hanya dapat dirasakan pada adanya jarak yang
semakin jauh terhadap rasa keadilan itu sendiri, tetapi lebih jauh lagi bahwa ia semakin terasa
didalam dekadensi dari berbagai sistem-sistem yang ada, artinya sistem sosial, politik dan
ekonomi akan semakin rapuh akibat beban sosial yang meluas dan berkepanjangan.
Penegakan hukum bukanlah semata-mata bersifat juridis murni, sebab penegakan
hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor non-juridis. Aparat penegak hukum sebagai orang
terdepan untuk menyelesaikan setiap sengketa hukum adakalanya tidak dapat berbuat apa-apa
ketika ia berhadapan dengan kekuasaan. Atau pula ia sendiri dihadapkan kepada persoalan
ekonomi yang sulit di samping pengetahuannya terbatas dalam memahami isi peraturan. Ini
tentu perlu mendapat perhatian khusus, bilamana kita hendak menciptakan suatu tertib hukum
yang baik. Upaya ke arah itu misalnya memang sudah dilakukan oleh pemerintah seperti
memberi tunjangan keuangan yang lebih besar kepada para hakim dalam tugasnya dan
memberikan perlindungan kepada para hakim dari intimidasi-intimidasi pihak -pihak tertentu
terhadap hakim dalam menjalankan profesinya. Namun ini hanya diberikan kepada para
hakim saja, bagaimana dengan jaksa, polisi dan sebagainya. Pihak kepolisian sebenarnya yang
jauh lebih banyak terlibat dalam proses penegakan hukum dan aktivitas mereka jauh lebih berat
90

Universitas Sumatera Utara

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006
dan mengandung resiko yang tidak sedikit jika dibandingkan dengan hakim. Kita sering
mendengar polisi terbunuh, polisi cidera dan lain sebagainya, tetapi kita jarang mendengar
hakim terbunuh namun justru upaya untuk memperbaiki kesejahteraan ekonomi mereka tidak
seperti yang dilakukan terhadap para hakim, bahkan akhirnya polisilah yang selalu mendapat
sorotan negatif dari masyarakat, padahal apa yang disebut dengan mafia peradilan itu sematamata karena mental sebahagian para hakim yang kurang baik. Meskipun ungkapan ini terlihat
terlalu subyektif, namun yang hendak di utarakan adalah bahwa kita harus mampu menangkap
realitas sosial yang sesungguhnya. Adalah merupakan fakta empiris, bahwa hukum tidak dapat
lagi ditegakkan dengan baik, hanya karena faktor non-juridis lebih banyak berperan.
Karena itu melalui tulisan yang sederhana ini ingin mengemukakan pemikiran perlu kiranya
diperhatikan faktor-faktor non-juridis seperti faktor ekonomi, politik dan lain sebagainya,
dalam rangka memberikan dorongan positif kepada para aparat penegak hukum agar dapat
beraktivitas dengan baik. Pada gilirannya menumbuhkan rasa percaya yang dalam kepada
masyarakat bahwa benar kiranya aparat penegak hukum bermaksud untuk memperjuangkan
keadilan yang mereka idamkan. Sehingga dengan demikian keengganan masyarakat untuk
berurusan dengan pihak penegak hukum dapat dihindari. Disisi lain masyarakat tidak lagi
mencari alternatif pemecahan yang dapat melemahkan wibawa hukum. Kemudian hal yang
tidak kalah pentingnya adalah mengenai isi dari kaedah hukum itu dalam rangka
menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat.
Dalam kaitannya dengan hal ini, Mahadi menyarankan agar dicari azas-azas hukum
Indonesia yang diturunkan dari pancasila kemudian dari azas itu diturunkan kaedah hukum
yang mengatur masyarakat. Dengan memperhatikan asas-asas hukum yang terdapat dalam
struktur kebudayaan bangsa Indonesia, diharapkan kaedah hukum yang kemudian diterapkan
terhadap bangsa Indonesia akan sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Soebekti
menyatakan bahwa, hukum itu sebagai suatu kebudayaan merupakan suatu refleksi dari cara
berpikir, pandangan hidup dan karakter suatu bangsa. Ungkapan ini mengingatkan kita kepada
suatu tugas berat yang harus kita tuntaskan. Sebab sampai hari ini masih banyak lapangan
hukum (yang besar) yang berlaku di negara kita sebahagian besar bukan refleksi dari cara
berfikir, pandangan hidup atau karakter bangsa Indonesia. Sebahagian besar adalah
peninggalan kolonial Belanda.
Pentingnya pemikiran ini dikemukakan, sebab dalam upaya membangun hukum
nasional, mau tidak mau suka atau tidak suka kita harus melihat kepada cermin kebudayaan
bangsa kita sendiri. Suatu teori yang patut pula untuk dikemukakan di sini, adalah teori yang
dimajukan oleh Chambliss dan Seidman. Dalam penelitiannya tentang masyarakat Afrika
bekas jajahan Inggris, ia menyimpulkan bahwa hukum Inggris tidak dapat dilaksanakan oleh
masyarakat Afrika tersebut, segera setelah Inggris meninggalkan negara jajahannya itu. Teori
yang dikemukakannya adalah, “The Law of non Transfeerability of Law”, yaitu suatu dalil
yang dikemukakan bahwa hukum suatu bangsa itu tidak dapat diambil alih (ditransfer) begitu
saja, oleh karena struktur sosial masyarakat tempat di mana hukum itu diberlakukan tidak sama
dengan struktur masyarakat di mana hukum itu berasal. Tetapi sebenarnya rule of law, juga
mengandung makna hukum yang ditaati itu harus berisi aspirasi masyarakat, bukan aspirasi
golongan masyarakat tertentu. Jadi jika dikaitkan dengan kondisi hukum hari ini, pertanyaan
yang dapat di ajukan adalah, apakah hukum kita yang ada saat ini telah menampung aspirasi
masyarakat Indonesia. Semestinya yang perlu di kembangkan dalam hukum kita substansinya
berdasarkan asas kesadaran hukum masyarakat Indonesia.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian yang telah kami kemukakan pada bahagian terdahulu, maka
pada bahagian ini dapat kami simpulkan hal-hal sebagai berikut: 1) Bahwa pemberdayaan
masyarakat dalam proses penegakan hukum meliputi peningkatan, pengetahuan masyarakat
91

Universitas Sumatera Utara

M. Husni: Pemberdayaan Masyarakat sebagai Upaya …

terhadap kaedah hukum itu sendiri termasuk pengetahuan dan pemahamannya terhadap isi
kaedah hukum itu, ketaatan dan kepatuhan masyarakat terhadap kaedah hukum itu dan pola
perilaku hukum masyarakat itu sendiri; 2) Bahwa pemahaman hukum masyarakat dipengaruhi
oleh struktur sosial tempat di mana hukum itu berlaku, karenanya untuk mencapai
terpeliharanya tertib hukum melalui kesadaran hukum masyarakat, maka perlu pula dibenahi
struktur masyarakat yang bersangkutan, seperti struktur ekonomi, politik, pendidikan,
pertahanan keamanan dan lain sebagainya yang terdapat dalam sistem sosial; 3) Bahwa
pemberdayaan masyarakat untuk memelihara tertib hukum, tidak hanya dipengaruhi oleh
faktor juridis semata, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor non juridis seperti sikap penegak
hukum, sarana dan prasarana, budaya hukum dan masyarakat sebagai pemegang peran; 4)
Bahwa perlu kiranya untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat agar tertib hukum
terpelihara dengan baik disusun suatu kaedah hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat
Indonesia, sesuai dengan asas-asas hukum Indonesia dengan kata lain perlu diperhatikan segi
substansialnya, bukan segi formalnya seperti yang berkembang selama ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulyani. 2002. SosiologiI, Sistematika, Teori dan Terapan. Bumi Aksara.
Arief, Barda Nawawi. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijaksanaan Pencegahan dan
Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti.
Dimyati, Khudzaifah. 2005. Fenomena Penegakan Hukum Di Indonesia: Terpinggirnya
Fungsi Hukum Dalam Pembangunan Masyarakat. Newsletter, Pusat Pengkajian
Hukum.
Husni, M. 1993. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bekerjanya Hukum dalam Masyarakat,
Majalah “Mahadi” Tahun II Nomor 01 April, KSHM, Fak.Hukum USU. Medan.
______________, 2006. Moral dan Keadilan Sebagai Landasan Penegakan Hukum yang
Responsif, Jurnal Hukum EQUALITY, Volume 11 Nomor 1, Februari. Fakultas
Hukum USU. Medan
Mahadi. 1986. Kumpulan Kuliah tentang Filsafat Hukum. Fakultas Hukum USU. Medan.
Rahman, Abdul. 1999.Hukum Masyarakat dan Pembangunan. Alumni. Bandung.
Ritzer, George. 2002. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. PT.Raja Grafindo
Persada. Jakarta.
Sinaga, Kastorius. 2005. Krisis Penegakan Hukum, Upaya Pencarian Alternatif, Majalah,
Newsletter: Pusat Pengkajian Hukum.
Soemitro, Ronny Hamitijo. 1984. Masalah-masalah Sosiologi Hukum. Sinar Baru. Bandung.
, 1988. Pidato Pengukuhan Guru Besar, UNDIP. Semarang.
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Alumni, Bandung 1988.

92

Universitas Sumatera Utara

JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006
_______________, 1993. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Kajian Hukum, Makalah Pada
Penataran Lanjutan Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Kajian Hukum, Fak. Hukum UI.
Jakarta.
Soekamto, Soerjono. 2002. Faktor–Faktor yang mempengaruhi Penegak Hukum. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.

93

Universitas Sumatera Utara