THE URGENCY OF THE CRIMINAL POLICY IN CRIME MITIGATION POLICE PROFESSION

TALREV

Volume 1 Issue 2, December 2016: pp. 153-168. Copyright ©2016 TALREV.
Faculty of Law Tadulako University, Palu, Central Sulawesi, Indonesia.
ISSN: 2527-2977 | e-ISSN: 2527-2985.
Open acces at: http://jurnal.untad.ac.id/index.php/TLR

URGENSI KEBIJAKAN KRIMINAL DALAM
PENANGGULANGAN KEJAHATAN PROFESI KEPOLISIAN
THE URGENCY OF THE CRIMINAL POLICY IN CRIME
MITIGATION POLICE PROFESSION
Ridwan Tahir
Faculty Of Law Tadulako University
JL. Soekarno Hatta KM. 9 Palu, Central Sulawesi, Indonesia
Telp./Fax: +62-451-45446 Email: ridwan.fhuntad@gmail.com
Submitted: Dec 14, 2016; Reviewed: Dec 22, 2016; Accepted: Dec 25, 2016

Abstrak
Tulisan ini bertujuan mengungkapkan karakteristik kejahatan yang dilakukan aparat
kepolisian secara umum, kemudian dilanjutkan dengan menegaskan orientasi utama
dari kebijakan kriminal dalam penanggulangan kejahatan. Selanjutnya, akan dibahas

lebih spesifik tentang urgensi kebijakan kriminal dalam penanggulangan kejahatan
yang dilakukan oleh kepolisian. Tulisan ini, disajikan dengan menggunakan data dan
informasi dari sumber kepustakaan, kemudian dianilisis secara kualitatif dengan penguraian secara deskriptif analisis dan preskriptif. Fokus dari bahasan tulisan ini akan
diarahkan kepada masalah urgensi kebijakan kriminal dalam kaitannya dengan peranan lembaga ganti kerugian dan rehabilitasi atas penyalahgunaan wewenang yang
bersifat kriminogen dalam proses penyidikan yang ditetapkan melalui lembaga praperadilan yang hasilnya hanya menetapkan ganti rugi dan rehabilitasi sebagai akibat
penyalahgunaan profesi kepolisian. Untuk itu, kelemahan dari kebijakan hukum pidana
tersebut, perlu diperbaharui, yakni dengan menambah kewenangan lembaga praperadilan untuk dapat pula merekomendasikan temuannya guna diproses secara hukum dan
menetapkan sanksi pidananya.
Kata Kunci: Ganti Rugi, Kebijakan Kriminal, Penanggulangan Kejahatan Polisi, Praperadilan, Rehabilitasi
Abstract
This article aims to reveal the characteristics of the crimes committed by the police in
general, and then continued by asserting the main orientation of the criminal policy in
crime prevention. Next, will be discussed more specifically about the urgency of the
criminal policy in the prevention of the crimes committed by the police. This paper, presented using data and information from literature sources, then analyzed qualitatively
with decomposition descriptive and prescriptive analytics. The focus of the discussion of
this article will be directed to the issue of urgency criminal policy in relation to the role
of agency compensation and rehabilitation for the abuses of power that are criminogen
in the investigation process established through pretrial agencies that the results are
only set compensation and rehabilitation as a result of misuse of the police profession.
To that end, the weakness of the criminal law policy, need to be updated, ie, by adding


□ 153

Tadulako Law Review | Vol. 1 Issue 2, December 2016

the authority to institute pretrial may also recommend its findings to be prosecuted and
criminal sanctions
Keywords: Criminal Policy, Compensation, Crime Prevention, Police, Pretrial, Rehabilitation

terhadap citra Polri atau mengalami penu-

PENDAHULUAN
Citra Korps Kepolisian Republik

runan sekitar 9,8 persen, jika dibanding-

Indonesia (Polri) tampaknya hingga saat

kan dengan potret citra kepolisian tahun


ini masih terus merosot di mata publik.

2015. 2

Hal ini sebagaimana terungkap dalam ha-

Pandangan miring terhadap aparat

sil jajak pendapat yang dilakukan oleh

kepolisian tersebut,

Litbang Harian Kompas pada bulan Fe-

dari titik perjumpaannya dengan kepen-

bruari 2015 yang menampilkan data bah-

tingan publik. Titik itu, bisa berupa kasus


wa polisi belum menjadi sosok panutan

kecil, seperti saat tertangkap dalam perka-

yang diharapkan oleh masyarakat. Dari

ra lalulintas di jalan raya yang kemudian

jajak pendapat Litbang Kompas tersebut,

“damai” saat akan diberi Surat Tilang

menunjukkan bahwa sebanyak 57-65 per-

(Bukti Pelanggaran), percaloan dalam

sen responden menyatakan polisi masih

pengurusan SIM (Surat Izin Mengemudi),


mudah untuk disuap, berbelit-belit dalam

hingga peran polisi saat terjadi kasus pi-

menangani kasus,

menambah masalah

dana yang kemudian, seolah-olah ada ke-

dan cenderung meminta imbalan saat

berpihakan dengan pelaku kejahatan, dan

memberikan pelayanan kepada masyara-

sebagainya. Bahkan, munculnya sejumlah

kat. 1Kemerosotan citra kepolisian di mata


kasus kriminal yang melibatkan oknum

publik tersebut, ternyata masih terbawa

aparat penegak hukum selama ini, menun-

ke tahun 2016, sekalipun citranya sudah

jukkan pula bahwa citra Polri dalam men-

sedikit membaik. Hasil jajak pendapat

jalankan tugas dan tanggungjawabnya ma-

Litbang Kompas pada awal tahun 2016

sih “belum baik” sesuai dengan harapan

menunjukkan bahwa sebanyak 47,2 per-


masyarakat.

sen responden yang masih menilai buruk

tampaknya berawal

Apabila diamati secara kuantitatif,
maka dapat dipastikan bahwa jumlah per-

1

Jajak Pendapat Litbang Kompas sebagaimana
dipublikasikan di Harian Kompas, 23 Februari 2015 dengan judul “Jajak Pendapat Kompas: Menanti Pamor Polri Kembali”.

2Topan

Yuniarto & Ida Ayu Grhamtika
Saitya, “Jajak Pendapat Kompas: Reformasi
Hukum Berjalan Setengah Hati”, Harian
Kompas, 19 April 2016.


□ 154

Tadulako Law Review | Vol. 1 Issue 2, December 2016

sonal kepolisian yang menyalahgunakan

mengindikasikan telah terjadi “pengebi-

profesinya sangat sedikit, apabila diban-

rian” kode etik profesi, sumpah dan etika

dingkan dengan jumlah personal kepoli-

jabatan atau menyumbat bermuaranya mo-

sian secara keseluruhan. Hal ini sebagai-

ralitas, nilai-nilai kemanusiaan yang se-


mana pernah diungkapkan oleh Dislitbang

mestinya dijunjung tinggi. Sekalipun per-

Polri pada awal tahun 1989 silam, yang

sentase yang melakukan penyalahgunaan

menunjukkan bahwa hanya sekitar 1,5

profesi ataupun perilaku menyimpang

persen atau sebanyak 2.000 orang oknum

lainnya relatif kecil, namun dari sudut

polisi yang terbilang “nakal” dari total

pandang kriminologis, kasus-kasus yang


personal Polri sebanyak150.000 orang.

dilakukan oleh oknum kepolisian tersebut,

Personal Polri yang nakal tersebut, sudah

mempunyai dampak viktimologis yang

termasuk diantaranya yang terlibat dalam

sangat serius bagi masyarakat maupun

berbagai pelanggaran ringan, termasuk

terhadap kelembagaan Polri yang men-

pula semua jenis pelanggaran prajurit, se-

gayominya.


perti berambut gondrong, pakaian tidak

Menyadari akan keseriusan dari

rapi, terlambat apel, dan lain sebagainya.

luasnya dampak viktimologis atas penya-

Sedangkan kasus-kasus pelanggaran berat

lahgunaan profesi kepolisian ini, menye-

yang melibatkanoknum anggota Polri per-

babkan hal itu

sentasenya tidak sampai 0,01 persen 3 Da-

yang sangat urgen untuk dipecahkan. Te-

ta yang dihimpun oleh Dislitbang Polri

rutama, mengenai aksi-aksi sosial, baik

tersebut, dalam perjalanan waktu selama

yang

dua puluhan tahun, dipastikan sudah ba-

undangan maupun bentuk tindakan lain

nyak mengalami perubahan,

dari

yang diupayakan untuk melindungi ma-

total personal kepolisian secara keseluru-

syarakat, bangsa, dan negara dari penya-

han maupun jumlah oknum Polri yang ter-

lahgunaan profesi kepolisian.

baik

libat dalam berbagai pelanggaran ringan
maupun pelanggaran berat.
pang,

berwujud

sebagai suatu problem

peraturan

perundang-

Fokus tulisan ini akan diarahkan
pada masalah urgensi kebijakan kriminal

Berbagai bentuk perilaku menyim-

dalam penanggulangan kejahatan yang

sebagaimana diuraikan di atas

dilakukan oleh oknum aparat kepolisian,
dan lebih spesifik lagi yang berkaitan

3

Data Disitbang Polri tersebut sebagaimana dikutip oleh Anton Tabah, Menatap dengan
Mata Hati Polisi Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991, hlm. 6.

dengan masalah penyalahgunaan wewenang yang bersifat kriminogen dalam

□ 155

Tadulako Law Review | Vol. 1 Issue 2, December 2016

proses penanganan perkara pidana, khu-

PEMBAHASAN

susnya dalam tahap penyidikan.

Karakteristik Kejahatan yang Dilaku-

Bahasan ini akan diawali

dengan

kan oleh Polisi

mengungkapkan karakteristik kejahatan

Satjipto Rahardjo 4 mengungkapkan

yang dilakukan oleh oknum aparat kepoli-

bahwa apabila ditilik dari sejarah kepoli-

sian secara umum, kemudian dilanjutkan

sian, niscaya harus dimasukan ke dalam

dengan menegaskan orientasi utama dari

katagori pekerjaan atau profesi yang be-

kebijakan kriminal dalam penanggulangan

rusia cukup tua, karena kehadirannya

kejahatan dan selanjutnya, akan dibahas

menjangkau masa lalu hingga Abad ke-14

tentang bagaimana urgensi kebijakan kri-

dan ke-15, dan bahkan sampai zaman Yu-

minal dalam penanggulangan kejahatan

nani Kuno sekalipun. Umur yang sangat

yang dilakukan oleh oknum polisi. Fokus

tua tersebut, ternyata tidak mempertahan-

dari sub-bahasan ini akan lebih diarahkan

kan isi yang terkandung dalam pekerjaan

kepada masalah urgensi kebijakan krimin-

kepolisian. Kandungan masalah yang

al dalam kaitannya dengan lembaga ganti-

menjadi urusan polisi, ternyata dari masa

kerugian dan rehabilitas terhadap penya-

ke masa mengalami perubahan, dan seka-

lahgunaan wewenang yang bersifat krimi-

rang hampir di mana pun di dunia, polisi

nogen dalam proses penyidikan yang dite-

berurusan dengan pekerjaan memelihara

tapkan oleh lembaga praperadilan.

hukum dan ketertiban. Lebih khusus lagi,

Analisis yang disajikan dalam tuli-

polisi berurusan dengan pekerjaan meme-

san ini, memang berada pada peringkat

rangi kejahatan yang terjadi dalam ma-

makro, karena hanya menggunakan data

syarakat.

dan informasi yang hanya diperoleh dari

Oleh karena polisi selalu berurusan

sumber-sumber kepustakaan. Dengan de-

dengan masalah kejahatan dan penjahat,

mikian, pendekatan yang bersifat beha-

maka tak heran juga, jikalau terkandang

vioral pada tataran analisis yang bersifat

ada sejumlah oknum polisi terjerembab

mikro, tidak digunakan dalam tulisan ini.

masuk ke dalam lingkaran kejahatan. Sua-

Data yang diperoleh dari studi kepustakaan itu, kemudian dianilisis secara kualitatif dengan penguraian secara deskriptif
analisis dan preskriptif.

4

Satjipto Rahardjo, “Polisi dan Masyarakat Indonesia” dalam Mochtar Lubis, Citra Polisi,
Jakarta: Obor Indonesia, 1988, hlm. 174-184.
Pemikiran senda ditemukan juga dalam Bibit
Samad Rianto, Pemikiran Menuju POLRI
yang Professional, Mandiri, Berwibawa, dan
dicintai Rakyat , Jakarta: PTIK Press dan
Restu Agung, 2006, hlm. 36.

□ 156

Tadulako Law Review | Vol. 1 Issue 2, December 2016

tu analisis dari seorang pakar kriminologi

2. Kurangnya perasaan bersalah;

Amerika

3. Keberanian mengambil resiko; dan

Serikat,

Suttherland,

dalam

bukunya berjudul “Criminal Homicide, A

4. Sulitnya

untuk

mendapatkan

keteladanan dari lingkungannya.

Study of Culture and Conflict” yang
diterbitkan pada tahun 1960 di California,
membahas

berbagai

kasus

menyimpang yang dilakukan oleh oknum
penegak hukum, terutama polisi. Menurut
Suttherland,

Perilaku menyimpang oknum polisi

perilaku

sebagaimana dikutip oleh

Anton Tabah, 5 bahwa tugas dan pekerjaan
polisi sehari-hari terlampau sering bergaul
dengan dunia kejahatan dan penjahat,
sehingga secara tidak disadari polisi
menjadi sangat akrab dan tak asing lagi

yang demikian itu secara tidak langsung
menggambarkan bahwa pekerjaan yang
dilakukan oleh aparat kepolisian belum
menunjukkan
Bahkan,

Dampak negatif yang acapkali tidak
dimengerti adalah polisi telah berada
dalam lintasan kritis, seakan-akan ia
tengah berdiri pada suatu perbatasan yang

kriminogen.

kurangnya

ada

empat

hal

potensial

sejumlah

(kejahatan)

Steven
bentuk

oknum

polisi

dalam proses penyelesaian perkara pidana
antara lain:
1. Membunuh atau menyiksa tersangka,
2. Mengancam,

menahan,

meng-

intimidasi dan membuat “catatan
hitam” bagi orang-orang yang tidak
bersalah, dan

dan penegak hukum dengan kejahatan
Sekurang-

secara

Selanjutnya,

Box 7mengidentifikasi

pengayom, pelindung, penjaga ketertiban
ditanganinya.

maksimal.

menampakkan aspek-aspek yang bersifat

sangat rawan antara tugasnya sebagai

yang tengah

yang

sebaliknya

kebrutalan

dengan kejahatan.

hasil

3. Melakukan

korupsi,

antara

lain

dengan cara menerima suap supaya

menurut

tidak melakukan atau menjalankan

Suttherland yang memengaruhi mengapa

hukum, dan memalsukan data atau

oknum penegak hukum seperti polisi

fakta

berperilaku menyimpang yakni: 6

atau

menghentikan

1. Adanya tekanan mental yang tidak

keterangan
pengusutan

dan
perkara

pidana baik secara langsung atau

seimbang pada dirinya;
5

Anton Tabah,Menatap dengan Mata Hati Polisi Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1991, hlm. 151-153.
6
Anton Tabah,Ibid., 1991, hlm. 151-153.

7

Steven Box, “Police Crime” dalam Crime,
Power, and Mystification, London & New
York: 1983, hlm. 81-82.

□ 157

Tadulako Law Review | Vol. 1 Issue 2, December 2016

tidak langsung guna mendapatkan

tidaknya merupakan tindakan pengebirian

sesuatu keuntungan.

etika jabatan. Menurut Abdul Wahid, 9

Senada dengan Steven Box, dalam

tindakan yang demikian itu merupakan

Buku Pedoman Pelatihan Untuk Anggota

akibat

dari

kondisi

Polri disebutkan pula, bahwa tindakan

kepribadian yang sedang dikolonisasi oleh

menutup-nutupi kejahatan dan melakukan

ideologi Machiavelis yang dipopulerkan

korupsi dan menerima suap, tidak saja

melalui

merupakan pelanggaran HAM (Hak Asasi

segala cara”. Prinsip ini mengandung

Manusia) yang sangat serius, tetapi juga

pengertian bahwa kebenaran yang berada

berarti melakukan tindakan melanggar

di depan mata dan sebagai manifestasi

hukum. Dengan demikian, ketika warga

kewajiban untuk ditegakkan, direkayasa

masyarakat mengetahui tentang tindakan

dan dianggap sebagai penghalang cita-

oknum polisi yang melanggar hukum

cita. Sementara itu, kenaifan, kebejatan

tersebut, maka

akan melihat polisi

dan kejahatan dianggap sebagai terobosan

sebagai pelanggar hukum dan bukan lagi

logis untuk memperkaya diri, membangun

sebagai penegak hukum.Demikian pula

kejayaan atau menarik kedudukan yang

halnya, Muladi mengidentifikasi sejum-

terhormat di mata publik.

prinsip

psikologis

“serba

atau

menghalalkan

lah karakteristik kejahatan profesi yang

Orientasi penegakan hukum yang

dilakukan oleh kepolisian, antara lain: (1)

demikian itu, menurut Satjipto Rahardjo,10

pelanggaran prosedur yang berlaku di

dapat saja didorong masuk ke “jalur

lingkungan polisi (violations of police

lambat”, dan dalam keadaan yang serba

procedure); (2) pelanggaran norma-norma

lambat seperti itu memberikan ruang yang

hukum pidana (violations of criminal

luas untuk memperjuangkan kepentingan-

law),; dan (3) secara ekstrem dapat juga

kepentingan

berupa penggunaan kekerasan yang bersi-

menjadi lahan bisnis yang subur bagi

8

kalangan tertentu. Keadaan seperti itu ti-

mengarah

dak mustahil memunculkan pertanyaan

fat melawan hukum (illegal use of force).
Perilaku
kepada

polisi

perbuatan

yang
jahat

kelompok

dan

sekaligus

dalam
9

menjalankan
8

tugasnya

itu,

setidak-

Muladi, “Polisi dan Hak Asasi Manusia”, Makalah Seminar Nasional Polisi Indonesia I,
Pusat Studi Kepolisian Fakultas Hukum Undip, Semarang, 1995, hlm. 2.

Abdul Wahid, Modus-modus Kejahatan Modern, Bandung: PT Tarsito Bandung,1993,
hlm. 34..
10
Satjpto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum
di Indonesia, Diedit oleh Karolus Kopong
Medan & Frans J. Rengka, Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2003, hlm. 173-177 & 168172.

□ 158

Tadulako Law Review | Vol. 1 Issue 2, December 2016

dari masyarakat, bahwa hukum kita ini

utama dari kondisi aman tersebut tidak

memang diarahkan untuk menghasilkan

lain adalah Polri.

keadilan ataukah sedang bekerja untuk
Orientasi Kebijakan Kriminal dalam

menutup-nutupi sesuatu (cover-up)?
Gambaran yang dikemukakan di

Penanggulangan Kejahatan
Kebijakan penanggulangan kejaha-

atas, tidak bertujuan untuk menunjukkan
bahwa seluruh pekerjaan yang dijalankan
oleh polisi adalah buruk, melainkan
hanyalah sekedar mengingatkan bahwa
praktik-praktik ”kotor” seperti itu selalu
saja ada dalam lingkaran pekerjaan polisi.
Oleh sebab itu, adalah suatu kebohongan
belaka apabila Polri kemudian menilai
dirinya sebagai institusi yang tak bercacat
dan selalu berhasil dalam segala gerak
langkahnya. Begitu pula adalah tidak
terlalu benar adanya, apabila kita menilai,
bahwa tidak ada yang bisa diharapkan dan
diandalkan dari Polri, karena seakan-akan
Polri selama ini hanya berdiam diri saja.

tan dengan menggunakan sarana penal
sebagai bagian dari kebijakan kriminal
tidak dapat dilepaspisahkan dari tujuan
untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum (sosial). Bertolak dari konsepsi tujuan yang demikian, maka merupakan
kewajiban dari negara untuk di satu pihak
melindungi dan mensejahterakan masyarakat pada umumnya dari gangguan perbuatan-perbuatan jahat, dan di lain pihak
juga berarti melindungi, memperbaiki, dan
mendidik si pelaku kejahatan agar dapat
menggapai kesejahteraan pula. 12
Bertolak dari pandangan yang de-

Pengakuan yang sama pernah pula
diungkapkan oleh Mantan Kepala Polri,
Jenderal Pol. (Purn) Kunarto, 11 bahwa
tindakan, perbuatan, karya, hasil kerja
polisi yang baik itu, masih sangat besar
ketimbang yang bernilai negatif. Bukti
dari

pernyataan

itu

adalah

mikian itu, Sudarto kemudian merumuskan sejumlah tujuan dari kebijakan
penal dalam penanggulangan kejahatan,
antara lain:
1. Memengaruhi perikelakuan si pembuat agar tidak melakukan tindak pi-

bahwa

pembangunan yang berhasil dijalankan
dewasa ini mustahil dapat dicapai tanpa
kondisi aman, dan yang menjadi pilar
11

Kunarto (Ed.), 1995. Memerangi Kritik Terhadap POLRI, Buku 2. Jakarta: PT. Cipta
Manunggal, 1996:7.

12

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif
dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara, Semarang: CV. Ananta,
1994, hlm. 8. Juga dalam Muladi dan Barda
Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan
Hukum Pidana. Bandung: Penerbit Alumni,
1983, hlm. 149.

□ 159

Tadulako Law Review | Vol. 1 Issue 2, December 2016

dana lagi, yang biasanya disebut pre-

lalui kebijakan penal maupun non-penal,

vensi spesial.

yaitu: 14

2. Memengaruhi perikelakuan anggota

1. Masyarakat memerlukan perlindun-

masyarakat pada umumnya agar tidak

gan terhadap perbuatan anti sosial

melakukan tindak pidana seperti yang

yang merugikan dan membahayakan

dilakukan oleh si terhukum atau yang

masyarakat. Bertolak dari aspek ini,

biasa disebut prevensi general.

maka wajar apabila penegakan hukum
bertujuan untuk penanggulangan ke-

3. Mendatangkan suasana damai atau

jahatan;

penyelesaian konflik.
4. Pembalasan atau pengimbalan dari

2. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap sifat berbahayanya se-

kesalahan si pembuat.
Pandangan Sudarto tersebut sekali-

seorang. Oleh karena itu, wajar pula

gus menegaskan, bahwa kebijakan atau

apabila penegakan hukum pidana ber-

upaya penanggulangan kejahatan yang

tujuan memperbaiki si pelaku kejaha-

dilakukan, pada hakikatnya marupakan

tan atau berusaha merubah dan me-

upaya lebih luas yang mencakup perlin-

mengaruhi

dungan terhadap masyarakat pada umum-

kembali patuh pada hukum dan men-

nya (social walfare). 13Hal ini berarti bah-

jadi warga masyarakat yang baik dan

wa orientasi yang lebih luas dari kebijakan

berguna;

kriminal ialah berupaya memberikan per-

tingkah

lakunya

agar

3. Masyarakat memerlukan pula perlin-

lindungan kepada masyarakat agar dapat

dungan

terhadap

penyalahgunaan

mencapai kesejahteraan. Selanjutnya, me-

sanksi atau reaksi dari penegaak hu-

nurut Barda Nawawi Arief, minimal ada 4

kum maupun dari warga masyarakat

(empat) aspek dari perlindungan masyara-

pada umumnya. Oleh karena itu, wa-

kat yang semestinya mendapat perhatian

jar pula apabila penegakan hukum pi-

dalam setiap kebijakan kriminal, baik me-

dana harus mencegah terjadinya perlakuan atau tindakan yang sewenang-

13

Pandangan Sudarto ini merujuk pada pemikiran Marc Ansel dalam Social Defence, 1965,
hlm. 209 dan pemikiran G. Peter Hoefnagels
dalam The Other Side of Criminology, 1969,
hlm. 56-57 (Cf.: Sudarto, Hukum dan Hukum
Pidana, Bandung: Penerbit Alumni, 1986,
hlm. 87. Juga dalam Barda Nawawi Arif, Kebijakan Kriminal (Criminal Policy), Semarang: Pusat Penerbit Undip, 1991, hlm. 3).

wenang di luar hukum;

14

Barda Nawawi Arief, “Tugas Yuridis Polri
dalam Berbagai Aspek Penegakan Hukum”,
Makalah Simposium Nasional Polisi Indonesia I, Diselenggarakan Oleh Fakultas Hukum
Undip, Semarang, 1993, hlm. 7.

□ 160

Tadulako Law Review | Vol. 1 Issue 2, December 2016

4. Masyarakat memerlukan perlindun-

Urgensi Penggunaan Kebijakan Kri-

gan terhadap keseimbangan atau ke-

minal dalam Penanggulangan Kejaha-

selarasan berbagai kepentingan dan

tan Polisi

nilai-nilai yang terganggu sebagai

Harapan akan tampilnya polisi yang

akibat dari adanya kejahatan. Oleh

profesional dalam menjalankan tugas dan

karena itu, wajar pula apabila pene-

tanggungjawabnya merupakan dambaan

gakan hukum pidana harus dapat me-

semua bangsa di muka bumi ini, termasuk

nyelesaikan konflik yang ditimbulkan

Indonesia. Tumpuan harapan diletakkan

oleh tindak pidana, dapat memulihkan

pada pundak polisi, karena peran yang

keseimbangan dan mendatangkan ra-

dimainkannya

sa damai dalam masyarakat.

mencakup

sangat

perannya

komperhensif,
sebagai

penjaga

Pemikiran tersebut sejalan dengan

keamanan dan ketertiban masyarakat,

pemikiran Bassiouni yang lebih mengede-

pengayom dan pelayan masyarakat, dan

pankan bahwa tujuan-tujuan yang ingin

sebagai penegak hukum.

dicapai oleh pidana pada umumnya terwu-

Sebagai seorang profesional, Polri

jud dalam sejumlah kepentingan sosial

dipersyaratkan harus mempunyai keahlian

yang mengandung nilai-nilai tertentu dan

khusus yang diperoleh melalui ”pengala-

membutuhkan perlindungan, antara lain:

man latihan” untuk berpraktik

(1) memelihara tertib masyarakat; (2) per-

seorang polisi profesional, dan latihan ter-

lindungan warga masyarakat dari kejaha-

sebut harus sejalan dengan kompetensi

tan, kerugian atau bahaya yang tak dapat

intelektualnya. Persyaratan lain yang juga

dibenarkan, yang dilakukan oleh orang

tidak kalah pentingnya adalah bahwa seo-

lain; (3) memasyarakatkan kembali (reso-

rang polisi profesional haruslah memiliki

sialisasi) para pelanggar hukum; dan (4)

kesadaran untuk mengabdikan segala ke-

memelihara atau mempertahankan integri-

mampuan tersebut untuk pelayanan ma-

tas pandangan-pandangan dasar tertentu

syarakat.

mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu. 15

sebagai

Berbagai upaya dan tekad terus digalakkan untuk meningkatkan kinerja Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Tekad
tersebut sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategi (Renstra) Polri Tahun 2005

15

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op Cit.,
1983, hlm. 166.

sampai dengan 2009 dan kemudian di-

□ 161

Tadulako Law Review | Vol. 1 Issue 2, December 2016

kembangkan lebih lanjut dalam Renstra

akuntabel tetap merupakan salah satu

Polri Tahun 2010 sampai dengan 2014.

agenda besar Polri yang terus dikerjakan

Tekad (visi) Polri dimaksud adalah men-

dan diperjuangkan untuk mendapatkan

gupayakan “terwujudnya pelayanan kea-

kepercayaan dari masyarakat.

manan dan ketertiban masyarakat (kam-

Sekalipun sudah ada tekad yang be-

tibmas) prima, tegaknya hukum dan kam-

gitu kuat untuk meningkatkan kinerja ke-

dagri yang mantap serta terjalinnya sinergi

polisian di Indonesia, namun dalam men-

16

polisional yang proaktif”. Dari rumusan

jalankan tugas dan tanggungjawab keseha-

visi Polri tersebut, tergambar jelas bahwa

rian, kinerja aparat kepolisian terbilang

salah satu agenda besar yang terus diker-

masih jauh dari harapan. Gambaran pada

jakan oleh jajaran kepolisian Indonesia

bagian pendahuluan tulisan ini telah me-

adalah mengupayakan penegakan hukum

nunjukkan bahwa institusi kepolisian be-

secara mantap.

lum begitu dipercaya oleh masyarakat.

Visi Polri yang termuat dalam Ren-

Tindakan-tindakan kriminal dalam proses

stra Polri tersebut, kemudian dalam ren-

penyelesaian perkara pidana sebagaimana

tang waktu tahun 2015-2019 direvisi pe-

dikemukakan oleh Steven Box, 18tampak-

rumusannya mengikuti visi dan misi ke-

nya juga masih banyak dilakukan oleh

pemipinan Presiden Republik Indonesia,

aparat polisi seperti: (1) membunuh atau

Joko Widodo, 17 sebagai berikut: “Mewu-

menyiksa tersangka, (2) mengancam,

judkan Polri yang semakin profesional,

menahan, mengintimidasi, dan membuat

unggul, dan dapat dipercaya masyarakat

“catatan hitam” bagi orang-orang yang

guna mendukung terciptanya Indonesia

tidak bersalah, dan (3) melakukan korupsi,

yang berdaulat, mandiri, dan berkepriba-

antara lain dengan cara menerima suap

dian yang berlandaskan gotong-royong”.

supaya tidak melakukan atau menjalankan

Sekalipun demikian, dalam penjabaran

hukum, memalsukan data atau fakta atau

visi Polri tersebut,

keterangan, dan menghentikan pengusutan

masalah penegakan

hukum yang profesional, transparan, dan

perkara pidana,
ataupun

baik secara langsung

tidak

langsung

guna

16

Mabes Kapolri, Rencana Strategis (Renstra)
Polri 2010-2014 sebagaimana tertuang dalam
Lampiran Keputusan Kapolri Nomor:
KEP/53/I/2010 tanggal 29 Januari 2010, hlm
11
17
Mabes Polri, Rencana Strategis Kepolisian
Negara Republik Indonesia Tahun 20152019, Jakarta, 2015, hlm. 22.

mendapatkan sesuatu keuntungan.
Bertolak dari dari pertimbangan
bahwa tindakan-tindakan penyalahgunaan
18

Steven Box, Op Cit,1983, hlm. 81-82.

□ 162

Tadulako Law Review | Vol. 1 Issue 2, December 2016

wewenang yang mengarah kepada bentuk-

percayaan”seperti inilah yang justeru ha-

bentuk penyiksaan, intimidasi, dan perbu-

rus dicegah.

atan koruptif menimbulkan kerugian yang

Dalam menghadapi semakin me-

sangat besar, baik secara individu, masya-

ningkatnya dimensi, kuantitas, dan kuali-

rakat, dan bahkan kepada negara, maka

tas kejahatan, cenderung membuat para

amatlah penting diupayakan penanggu-

aparat penegak hukum, termasuk polisi

langannya secara serius.

melakukan tindakan-tindakan penanggu-

Hal ini demikian penting karena tin-

langan “berdarah panas”, panik, dan brutal

dakan-tindakan polisi yang demikian akan

di luar batas hukum. Kecenderungan ter-

menurunkan

sebut tampaknya terjadi di banyak negara.

nilai

kepercayaan

masyarakat.

Hal ini tampak dalam berbagai pernyataan

Ketidakpercayaan masyarakat akan

dan rekomendasi Kongres-kongres Perse-

muncul dan kewibawaan hukum akan me-

rikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengenai

nurun, apabila masyarakat melihat kenya-

Prevention of Crime and the Treatment of

taan bahwa oknum penegak hukum, khu-

Offenders. Kongres itu, antara lain men-

susnya oknum polisi selaku pengemban

gutuk “extralegal executions” dan beru-

hukum justeru melakukan perbuatan-

langkali

perbuatan yang bertentangan dengan nilai-

langkah yang diambil dalam penegakan

nilai hukum yang sejatinya

ditegakkan

hukum, baik berupa kebijakan kriminal,

antara lain nilai kebenaran, keadilan, keju-

rencana pencegahan kejahatan, dan admi-

juran, kepercayaan, dan cinta kasih antar

nistrasi peradilan pidana, hendaknya sela-

sesama.

lu menghindari terjadinya pelanggaran

Dapatlah dibayangkan bahwa betapa

menghimbau

agar

langkah-

Hak Asasi Manusia (HAM) dan tindakan-

kacau dan tidak tenteramnya kehidupan

tindakan

bermasyarakat, apabila masyarakat tidak

tindakan kejam lainnya.

penyiksaan

serta

tindakan-

lagi memercayakan penyelesaian masalah-

Pasal 2 Deklarasi yang dicetuskan

masalah mereka kepada aparat penegak

pada tahun 1985 di New York Amerika

hukum atau badan-badan penegak hukum.

Serikat, antara lain menegaskan, bahwa:

Mereka justeru mencari jalan penyelesaian

“suatu tindakan penyiksaan atau tindakan

lain kepada orang-orang atau pihak di luar

kekejaman yang lain merupakan perla-

hukum yang mereka percayai atau bahkan

kuan yang tidak manusiawi atau perlakuan

“main hakim sendiri”. Gejala “erosi ke-

yang menurunkan martabat atau perlakuan

□ 163

Tadulako Law Review | Vol. 1 Issue 2, December 2016

yang amat kasar adalah suatu kejahatan

Konggres ke-8 tahun 1990, masalah Pe-

terhadap martabat manusia dan dinyatakan

doman Sikap dan Perilaku Aparat Pene-

sebagai suatu penyangkalan terhadap Pia-

gak Hukum ini pun masih dijadikan seba-

gam PBB dan sebagai suatu pelanggaran

gai salah satu topik dalam agenda kon-

terhadap HAM dan pernyataan dasar ke-

gres. 20

bebasan di dalam Universal Declaration
of Human Right”. 19

Perhatian dunia internasional terhadap sikap dan perilaku aparat penegak hu-

Pernyataan dan himbauan-himbaun

kum, termasuk polisi, terus berlanjut den-

itu malahan diikuti pula dengan resolusi

gan membentuk “Commision on Crime

mengenai perlunya “Code of Conduct for

Prevention and Criminal Justice (Komisi

Law Enforcement Officials” yang dihasil-

Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pi-

kan dalam Kongres PBB ke-6 tahun 1980.

dana) yang beranggotakan 40 negara dan

Resolusi tersebut diajukan dengan men-

untuk pertama kali bersidang di Wina

gingat antara lain “kesadaran bahwa apa-

Austria dari tanggal 21 sampai dengan 30

rat penegak hukum mempunyai peranan

April 1992. Pada sidang tersebut Komisi

yang menonjol dalam melakukan perlin-

Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pi-

dungan hak asasi manusia.

dana berhasil mencetuskan berbagai ruang

Khusus yang berkaitan dengan ke-

lingkup kerjasama internasional di dalam

polisian, resolusi itu pun diajukan dengan

bidang peradilan pidana, dan salah sa-

mengingat adanya “Code of Conduct for

tunya mengenai “Victims of Crime”.21

Law Enforcement Officials” yang telah

Selanjutnya, dalam Kongres PBB ke-9 di

diterima oleh Majelis Umum PBB dalam

Cairo Mesir dari tanggal 29 April sampai

Resolusi Nomor 34/169 tanggal 17 De-

dengan 8 Mei 1995, juga menjadikan ma-

sember 1979. Selain itu,

merujuk pula

salah “Criminal Justice and Police Sys-

pada kesimpulan-kesimpulan dan reko-

tems”sebagai salah satu topik utama kon-

mendasi dari Symposium on the Role of

gres.

the Police in the Protection of Human
Rights, yang diadakan di The Hague (Den
Haag) Belanda pada tanggal 14 sampai
dengan 25 April 1980. Selanjutnya, dalam Kongres ke-7 tahun 1983 dan
19

Barda Nawawi Arief, Op Cit., 1993, hlm. 10.

20

Barda Nawawi Arief, Ibid., hlm 10.
Muladi, “Kerjasama Iternasional dalam Bidang Pencegahan Kejahatan dan Peradilan
Pidana”, Makalah Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Undip, Semarang,
1993, hlm. 14.

21

□ 164

Tadulako Law Review | Vol. 1 Issue 2, December 2016

Perhatian dunia internasional terha-

rikan ganti rugi dan rehabilitasi terhadap

dap proses peradilan pidana dan para pe-

korban dari penyalahgunaan wewenang

nyeleggaranya (termasuk polisi) sebagai-

oleh oknum polisi, khususnya oknum pe-

mana diungkapkan di atas, sesungguhnya

nyidik (termasuk juga Jaksa).

secara tidak langsung hendak menggam-

Hal ini dapat disimak dari ketentuan

barkan bahwa administrasi peradilan pi-

Pasal 77 KUHAP sebagai berikut: “Biaya

dana yang selama ini dijalankan oleh apa-

ganti rugi dan rehabilitasi terhadap korban

rat penegak hukum, belum menunjukkan

dari penyalahgunaan wewenang oleh poli-

hasil maksimal sebagaimana diharapkan.

si penyidik.....,akan ditanggulangi oleh

Bahkan, sebaliknya penyelenggaraan pe-

negara”. Ketentuan KUHAP ini, kemu-

radilan pidana selama ini pun secara po-

dian diatur lebih lanjut dalam Peraturan

tensial menampakkan adanya aspek-aspek

Pemerintah (PP) Nomor. 27 Tahun 1983

kriminogen. Tindakan kekerasan atau pe-

tentang Pelaksanaan KUHAP, terutama

nyiksaan, intimidasi, dan perbuatan korup-

dalam Pasal 11, bahwa “Pembayaran ganti

tif yang dilakukan oleh oknum aparat ke-

kerugian dilakuakan oleh Menteri Keua-

polisian merupakan contoh yang dapat

ngan berdasarkan penetapan pengadi-

dijadikan sebagai salah satu persoalan

lan....”

yang perlu mendapatkan perhatian serius.

Konstruksi

pengaturan

KUHAP

Gerakan internasional sebagaimana

yang demikian itu, jelas akan menimbul-

diuraikan di atas, perlu direspons secara

kan suatu pertanyaan, “apakah kebijakan

baik oleh Indonesia untuk membenahi ke-

penanggulangan kejahatan yang demikian

bijakan kriminal dalam penanggulangan

akan mencapai tujuan hukum pidana? Se-

penyalahgunaan kewenangan kepolisian

lanjutnya, “apakah kebijakan dengan di-

yang berdimensi kriminogen. Pembaha-

tumpahkannya beban ganti kerugian dan

ruan kebijakan kriminal dimaksud secara

rehabilitasi kepada negara mampu mewu-

tidak langsung untuk memberdayakan te-

judkan tujuan dari hukum pidana secara

muan-temuan dari lembaga Praperadilan

integral dan utuh?”

yang diatur dalam Kitab Undang-undang

Bertolak dari konsep social defence,

Hukum Acara Pidana (KUHAP). Tindak

yang memandang tujuan hukum pidana

lanjut dari temuan lembaga Praperadilan,

secara integral dan utuh, maka model

sebagaimana diatur dalam Bab X (Pasal

pemberian ganti kerugian dan rehabilitasi

77 – 83) KUHAP adalah sebatas membe-

yang demikian tidak mampu memberikan

□ 165

Tadulako Law Review | Vol. 1 Issue 2, December 2016

perlindungan masyarakat, guna mencapai

oleh polisi penyidik, seakan-akan hanya

kesejahteraan sosial yang adil dan merata.

berorientasi kepada perlindungan morali-

Pemberian ganti kerugian dan rehabilitasi

tas individualitas (civil). Sedangkan mora-

oleh negara, tampaknya hanya menda-

litas institusi dan moralitas sosial belum

tangkan suasana damai atau sekedar pe-

mendapatkan perlindungan yang memadai

nyelesian konflik. Sedangkan tujuan hu-

melalui lembaga ganti kerugian dan reha-

kum pidana yang lain belum sepenuhnya

biltasi,

tercapai seperti: (1) mempengaruhi perike-

KUHAP. Ironisnya, beban kesalahan yang

lakuan si pembuat agar tidak melakukan

dilakukan oleh oknum polisi dan proses

delik lagi (prevensi spesialis), (2) mem-

penyidikan, malah ditanggung oleh negara

pengaruhi perikelakuan masyarakat, teru-

dengan pemberian ganti kerugian dan re-

tama aparat kepolisian yang lain (prevensi

habilitasi. Cara ini pun kurang memberi-

general), dan (3) pembalasan atau pen-

kan pengaruh kepada anggota kepolisian

gimbalan dari kesalahan si pembuat delik.

yang lain, agar tidak melakukan perbua-

Perwujudan tujuan hukum pidana

tan seperti yang dilakukan oleh oknum

secara parsial yang demikian itu, menun-

sebagaimana diamanatkan oleh

polisi tersebut.

jukkan bahwa asas keseimbangan dan

Oleh karena itu, alangkah baiknya

pencapaian akhir hukum pidana belum

apabila peranan lembaga Praperadilan di-

sepenuhnya terwujud. Dalam arti bahwa

perbaharui, sehingga lembaga ini tidak

tujuan hukum pidana untuk mencapai

cuma menetapkan ganti kerugian dan re-

keadilan yang bersifat proporsional dan

habilitasi, melainkan lebih jauh dari itu,

distributif berdasarkan tiga moralitas hu-

yaitu apa yang ditemukan dalam lembaga

kum pidana tidak sepenuhnya tercapai.

Praperadilan mengenai telah terjadinya

Ketiga moralitas yang merupakan “segi

pelanggaran profesi kepolisian dalam

tiga emas” yang harus dilindungi oleh hu-

proses penyidikan, sebaiknya dipenalisa-

kum pidana adalah “moralitas individuali-

sikan atau diproses menurut prosedur hu-

tas (civil)”, “moralitas institusional (ke-

kum yang berlaku. Tinggal saja sekarang

lembagaan), dan moralitas sosial (kepen-

pengadilanlah yang akan memutuskan,

tingan masyarakat).

apakah perbuatan itu dilakukan dengan

Pemberian ganti kerugian dan rehabilitasi yang ditetapkan melalui lembaga

sengaja atau tidak dan sekaligus menetapkan ancaman hukumannya.

peradilan atas penyalahgunaan wewenang

□ 166

Tadulako Law Review | Vol. 1 Issue 2, December 2016

PENUTUP
Dewasa ini sudah semakin dirasakan

moralitas institusional, dan moralitas sosial.

berkembangnya tipologi kejahatan yang

Menyadari akan kelemahan dari ke-

dilakukan oleh oknum aparat kepolisian,

bijakan hukum pidana tersebut, maka pe-

yang dapat dikatagorikan sebagai pelang-

ranan lembaga peradilan perlu diperbaha-

garan prosedur-prosedur hukum, pelang-

rui. Dalam arti bahwa lembaga Praperadi-

garan substansial hukum pidana, penyik-

lan selayaknya tidak hanya menetapkan

saan yang bersifat melawan hukum, per-

ganti kerugian dan rehabilitasi semata se-

buatan-perbuatan koruptif dalam proses

bagai akibat tindakan penyalahgunaan

hukum pidana, dan sebagainya. Timbul-

profesi kepolisian, melainkan lembaga

nya perilaku kriminogen di lingkungan

Praperadilan juga diberikan peran untuk

profesi kepolisian, terutama dalam proses

merekomendasikan

penegakan hukum, membawa dampak

telah terjadinya penyalahgunaan profesi

yang sangat luas, baik bagi negara, masya-

kepolisian dalam penanganan perkara dan

rakat, maupun individu.

diproses secara hukum untuk menetapkan

Berkaitan dengan penyalahgunaan

temuannya

tentang

sanksi pidananya.

wewenang atau melakukan tindak kriminal oleh aparat kepolisian (terutama polisi

BIBLIOGRAFI

penyidik) dalam proses penanganan per-

Ansel,Marc.Social Defence, 1965.

kara pidana, selama ini cenderung ditang-

Arif, Barda Nawawi. Kebijakan Kriminal

gulangi dengan pemberian ganti kerugian

(Criminal Policy), Semarang: Pusat

dan rehabilitasi kepada pihak yang menja-

Penerbit Undip, 1991.

di korban yang ditetapkan melalui lembaga Praperadilan.

Arief, Barda Nawawi. “Tugas Yuridis Polri dalam Berbagai Aspek Penega-

Kebijakan kriminal yang demikian

kan Hukum”, Makalah Simposium

belum mampu mewujudkan tujuan hukum

Nasional Polisi Indonesia I, Dis-

pidana secara integral dan utuh. Dalam

elenggarakan Oleh Fakultas Hukum

arti bahwa kebijakan kriminal dengan

Undip, Semarang, 1993.

mengandalkan lembaga pemberian ganti

Arief, Barda Nawawi.Kebijakan Legislatif

rugi dan rehabilitasi, belum mampu me-

dalam Penanggulangan Kejahatan

wujudkan “segi tiga emas” moralitas hu-

dengan Pidana Penjara, Semarang:

kum pidana, yaitu moralitas indivualitas,

CV. Ananta, 1994.

□ 167

Tadulako Law Review | Vol. 1 Issue 2, December 2016

Box,

Steven.“Police

dalam

Indonesia I, Pusat Studi Kepolisian

Crime, Power, and Mystification,

Fakultas Hukum Undip, Semarang,

London & New York: 1983.

1995.

Crime”

Hoefnagels,G. Peter. The Other Side of

Rahardjo, Satjipto. “Polisi dan Masyarakat

Criminology, 1969

Indonesia” dalam Mochtar Lubis,

Kunarto (Ed.), 1995. Memerangi Kritik

Citra Polisi, Jakarta: Obor Indone-

Terhadap POLRI, Buku 2. Jakarta:
PT. Cipta Manunggal, 1996.

sia, 1988.
Rahardjo, Satjpto dalam Karolus Kopong

Litbang Kompas. “Jajak Pendapat Kom-

Medan & Frans J. Rengka (Editor),

pas: Menanti Pamor Polri Kembali”,

Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indone-

Harian Kompas, 23 Februari 2015.

sia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas,

Mabes Kapolri, “Rencana Strategis (Renstra)

Polri

2010-20140”,

2003.

dalam

Rianto, Bibit Samad.Pemikiran Menuju

Lampiran Keputusan Kapolri No-

POLRI yang Professional, Mandiri,

mor: KEP/53/I/2010 tanggal 29 Ja-

Berwibawa, dan dicintai Rakyat ,

nuari 2010.

Jakarta: PTIK Press dan Restu

Mabes Polri, Rencana Strategis Kepolisian Negara Republik Indonesia Ta-

Agung, 2006.
Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana,

hun 2015-2019, Jakarta, 2015.

Bandung: Penerbit Alumni, 1986.

Muladi dan Barda Nawawi Arief.Teori-

Tabah, Anton.Menatap dengan Mata Hati

teori dan Kebijakan Hukum Pidana.

Polisi Indonesia, Jakarta: Gramedia

Bandung: Penerbit Alumni, 1983.

Pustaka Utama, 1991.

Muladi. “Kerjasama Iternasional dalam

Wahid, Abdul.Modus-modus Kejahatan

Bidang Pencegahan Kejahatan dan

Modern, Bandung: PT Tarsito Ban-

Peradilan Pidana”, Makalah Penata-

dung,1993.

ran Nasional Hukum Pidana dan

Yuniarto, Topan & Ida Ayu Grhamtika

Kriminologi, Diselenggarakan oleh

Saitya. “Jajak Pendapat Kompas:

Fakultas Hukum Undip, Semarang,

Reformasi Hukum Berjalan Seten-

1993.

gah Hati”, Harian Kompas, 19 April

Muladi, “Polisi dan Hak Asasi Manusia”,

2016.

Makalah Seminar Nasional Polisi
***

□ 168