166 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015
166 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015
dan tidak pula terlampau berat membawa pulangnya. Kesemuanya itu membutuhkan api.
Menjelang berangkat
ke
hutan
kelompok berburu itu selalu membawa alat-alat buruannya berupa tombak, panah, sumpit, parang dan pisau ke tau valia untuk memperoleh jampi-jampi dan racun. Melalui ritual tertentu tau valia memohon kepada Pue agar mereka selamat dalam perjalanan ke hutan dan memperoleh buruan yang banyak. Dengan ritual itu tau valia sesungguhnya meminta ijin kepada yang menjaga hutan, agar keberadaan para pemburu itu di hutan berlaku selaras dengan hukum kosmis yang dipercayai.
Orang yang hendak membuka lahan untuk menanam, misalnya jagung, padi, singkong atapun pisang, harus mempersembahkan kapongo, karena lahan itu ada yang menunggu. Persembahan kapongo merupakan simbol permohonan ijin membuka lahan kepada sang penunggu. Jika tidak maka orang dapat terkena celaka, atau tanamannya tidak menghasilkan buah yang baik atau terkena hama. Orang Taa Vana meletakkan pinang sirih dan kapur di lahan yang akan dibuka, sambil berdoa, minta kepada Pue, yang artinya ”oh Pue, saya akan menanam padi di tempat ini, saya minta tanaman padi ini tumbuh subur, berbuah dengan baik, terhindar dari hama”. Sirih, pinang, kapur itu diletakkan bersama dengan sebatang bambu. Orang Taa Vana mempercayai apa bila bambu itu membujur pertanda baik, kalau bambu melintang pertanda buruk.
Demikian pula kalau hendak mendirikan rumah, memilih lokasi juga memakai persembahan sirih pinang (kapongo), simbol permohonan ijin kepada yang menunggu lokasi tersebut. Jika tidak, orang Taa Vana percaya akan mendapatkan kesulitan. Misalnya penghuni rumah itu pada sakit, atau tidak banyak rejeki diperoleh penghuni rumah itu. Setelah dimintakan ”ijin”, lalu dilihat arah mana mata hari terbit dan arah mana matahari tenggelam. Orang Taa Vana mendirikan rumah selalu menyilang arah matahari. Artinya arah matahari lewat haruslah dari sudut ke sudut rumah. Kalau orang Jawa membuat rumah selalu menghadap ke utara (halaman depan di sebelah utara rumah) atau menghadap ke selatan (halaman depan di sebelah selatan rumah) maka orang Taa Vana tidak demikian. Rumah harus menghadap ke barat laut, atau barat daya, atau ke tenggara atau timur laut. Menghadap selain ke arah yang
sudah ditentukan adat merupakan larangan. Di lipu Lengkasa yang merupakan lipu asli orang Taa Vana tidak ditemukan rumah yang menghadap persis ke arah utara atau selatan. Semua rumah tidak lurus menghadap ke arah mata angin. Tetapi di Mpoa yang merupakan pemukiman transmigran orang Taa Vana, rumah-rumah tidak ditata menurut kepercayaan Halaik demikian. Rumah-rumah menghadap ke
jalan, tidak lagi dipedulikan lurus atau memiringi mata angin. Seperti disinggung di muka, orang Taa Vana yang berada di pemukiman transmigrasi sudah berpindah agama, kalau tidak Kristen, ya Islam. Lagi pula rumah-rumah tinggal mereka tidak dibangun sendiri, melainkan dibangun oleh Dinas Transmigrasi dengan bahan dan arsitektur yang
seragam. 7 Orang Tau Taa Vana sangat menghormati
air, karena air dipercayai mempunyai nilai menghidupi makhluk-makhluk lain seperti binatang, tumbuh-tumbuhan, di samping manusia sendiri. Di samping itu, orang Taa Vana percaya bahwa air adalah asal usul hidup mereka. Air adalah penghubung antara Ngga (manusia pertama perempuan yang turun dari langit) dan Mbakele (laki-laki pertama yang keluar dari batang kayu). Karena airlah mereka bertemu, dan menjadi suami isteri yang menurunkan orang Taa Vana di saat berikutnya. Karena itu, orang Taa Vana tidak boleh melakukan perbuatan yang mencemari air, semisal buang air besar dan kecil, membuang bangkai, membuang sampah, dan meracuni air baik di sungai, apa lagi di mata air, air pertama yang keluar dari perut bumi (Humaedi, 2012: 82).
Perbedaan arsitektur rumah Tau Taa Vana yang di Desa Lengkasa (arsitektur asli) dengan yang di Desa Mpoa (desa transmigrasi) adalah pada bahan bangunan dan tata ruang interior. Rumah asli terbuat dari kayu, bambu dan daun rumbia. Tulang-tulang rumah dibuat dari kayu, lantai dan dinding dari bambu, dan atap daun rumbia. Tata ruang rumah tidak dipetak-petak seperti kamar, tapi los, seperti ruang kelas. Rumah transmigran seluruhnya terbuat dari kayu, atapnya seng, dan dibuat berkamar-kamar. Rumah inti dan dapur disekat. Dari segi bentuk bangunan, keduanya sama-sama rumah panggung.
pamali seperti ini banyak sekali dalam Kepercayaan akan keramatan tersebut masyarakat Tau Taa Vana, dan pamali memberi tahu kita bahwa orang Taa Vana merupakan bagian dari norma yang biasanya memiliki kesadaran lingkungan yang kuat. ditaati oleh warga masyarakat. Orang yang tidak Lingkungan alam tidak sekadar tempat untuk
mencari makan dan memberi segala kebutuhan mengindahkan aturan-aturan semacam ini hidup, tetapi memiliki nilai spiritual. Jadi ada
dipercayai akan mendapat hukuman dari Pue. kesadaran yang kuat bahwa manusia adalah
Orang yang mendapat hukuman akan bagian dari alam semesta. Manusia bukan saja
mengalami berbagai musibah, seperti sakit, gagal mencapai tujuan, mendapatkan kesulitas
makhluk historis, tetapi juga makhluk kosmis. hidup dan seterusnya. Pelanggaran atas pamali Kesadaran kosmis ini menunjukkan bahwa dipercayai mendapat hukuman yang setimpal manusia dan alam sama-sama makhluk Tuhan dengan kesalahannya. Kesadaran akan mendapat yang harus saling menghormati (cf. Mojau, hukuman dari setiap pelanggaran ini mendorong 2010: 86). Oleh karena itu orang tidak saja
dilarang merusak, tetapi juga perlu bersikap orang untuk menjaga diri, memelihara diri dari hormat kepada alam.
tindakan dan ucapan agar tetap berada di dalam koridor norma yang berlaku.
Di samping norma yang berkaitan dengan
Hukuman atas Orang yang Melanggar
sanksi teologis seperti di atas, ada juga norma Tidak ada masyarakat tanpa norma. Di
adat, atau lebih tepatnya hukum adat. Hukum dalam masyarakat adat seperti Tau Taa Vana
adat mengatur agar kehidupan masyarakat norma justru nilai utama yang lebih ditaati dari