Layanan Pesan Pendek Sebagai Media Komunikasi Pembangunan Pertanian Di Kabupaten Karawang

LAYANAN PESAN PENDEK SEBAGAI MEDIA
KOMUNIKASI PEMBANGUNAN PERTANIAN
DI KABUPATEN KARAWANG

HARIS TRI WIBOWO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Layanan Pesan Pendek
sebagai Media Komunikasi Pembangunan Pertanian di Kabupaten Karawang
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2016
Haris Tri Wibowo
NIM I352130181

RINGKASAN
HARIS TRI WIBOWO. Layanan Pesan Pendek sebagai Media Komunikasi
Pembangunan Pertanian di Kabupaten Karawang. Dibimbing oleh DJUARA P
LUBIS dan RESFA FITRI.
Penerapan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) saat ini telah
terintegrasi dengan pembangunan pertanian. Teknologi informasi dan komunikasi
seperti telepon seluler telah digunakan dalam kegiatan pembangunan pedesaan.
LISA merupakan sebuah program inovatif yang bertujuan untuk memberikan
layanan pertanian terpadu mencakup layanan tips pertanian, layanan tanya jawab
interaktif, dan layanan iterasi keuangan keluarga yang berbasis layanan pesan
pendek telepon seluler. Penelitian ini mempunyai tujuan utama untuk mengetahui
sejauh mana efektivitas LISA sebagai media diseminasi informasi pertanian yang
berbasis layanan pesan pendek berperan dalam pembangunan pertanian.
Sedangkan tujuan khusus penelitian ini antara lain: 1) Mendeskripsikan
keterdedahan pengguna terhadap LISA; 2) Menganalisis hubungan karakteristik

petani dan faktor eksternal dengan keterdedahan terhadap LISA; 3) Menganalisis
hubungan keterdedahan terhadap LISA dengan efektivitas komunikasi LISA; dan
4). Menganalisis hubungan interaksi dengan sumber informasi lain dengan
efektivitas komunikasi LISA.bagaimana efektivitas LISA sebagai media
penyebaran informasi pertanian
Penelitian didesain sebagai penelitian survey yang bersifat deskriptif
korelasional. Penelitian dilakukan di Kabupaten Karawang pada bulan Mei 2015
sampai dengan Juni 2015. Metode pemilihan sampel yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan Multiple Stage Sampling. Tahap pertama, pemilihan
kecamatan yang dijadikan subpopulasi. Kecamatan yang terpilih untuk dijadikan
subpopulasi adalah Kecamatan Pangkalan, Kecamatan Jatisari, Kecamatan
Karawang Timur, dan Kecamatan Pedes. Tahap kedua, pemilihan responden
dilakukan secara accidental sampling. Berdasarkan perhitungan menggunakan
rumus Slovin didapatkan responden sebanyak 100 orang. Analisis data dilakukan
dengan menggunakan analisis deskriptif korelasional dan SEMpls.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas lahan budidaya responden secara
signifikan mempengaruhi keterdedahan terhadap LISA. Faktor eksternal tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap keterdedahan LISA. Keterdedahan
terhadap LISA berpengaruh secara nyata terhadap efektivitas komunikasi.
Interaksi dengan sumber informasi lainnya tidak berpengaruh signifikan terhadap

efektivitas komunikasi.
Kata kunci:

layanan pesan pendek, keterdedahan terhadap LISA, efektivitas
komunikasi

SUMMARY
HARIS TRI WIBOWO. Short Message Service as Communications Media
of Agricultural Development in Karawang District. Supervised by DJUARA P
LUBIS and RESFA FITRI.
Application of information and communication technology (ICT) currently
has integrated with agricultural development. Information and communication
technologies (ICT) such as mobile phones have been used in rural development
activities. LISA is a groundbreaking program that aims to provide an integrated
agricultural services include agricultural tips services, the interactive dialogue,
and iteration financial services based on mobile phone short message service. The
main objective of this study to determine the effectiveness of LISA as agricultural
information dissemination media based short message service in agricultural
development. The purposes of the study were 1) to analyze the exposure of LISA
user; 2) to analyze the relationship between user characteristics and external

factors against LISA exposure; 3) to analyze the relationship between LISA
exposure against the effectiveness of communication; and 4) to analyze the
relationship between interaction with other information sources against the
effectiveness of communication.
The research was designed as a survey descriptive correlational. The study
was conducted in Karawang District in May 2015 - June 2015. The method of
selecting samples using Multiple Stage Sampling. The first phase, determination
of sub-populations. Sub-district that elected to be a subpopulation is Pangkalan,
Jatisari, Karawang Timur, and Pedes. The second stage, the selection of
respondents by accidental sampling. Based on Slovin’s formula, found as many as
100 respondents. Data analysis was performed using descriptive correlational
analysis and SEMpls.
The result showed that the land area cultivated respondent significantly
affect LISA exposure. External factors do not significantly affect the LISA
exposure. LISA exposure significantly affect the effectiveness of communication.
Interactions with other information sources does not significantly influence the
effectiveness of communication.
Keywords: short message service, LISA exposure, the effectiveness of
communication


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

LAYANAN PESAN PENDEK SEBAGAI MEDIA
KOMUNIKASI PEMBANGUNAN PERTANIAN
DI KABUPATEN KARAWANG

HARIS TRI WIBOWO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji pada ujian tesis:

Dr Ir Pudji Muljono, MSi

Judul Tesis : Layanan Pesan Pendek sebagai Media Komunikasi Pembangunan
Pertanian di Kabupaten Karawang
Nama
: Haris Tri Wibowo
NIM
: I352130181

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Dr Ir Djuara P Lubis, MS
Ketua

Dr Resfa Fitri, MPlSt
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Komunikasi Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Djuara P Lubis, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 29 Desember 2015


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul
Layanan Pesan Pendek sebagai Media Komunikasi Pembangunan Pertanian di
Kabupaten Karawang dilakukan pada bulan Mei 2015 – Juni 2015.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Djuara P Lubis, MS dan
Dr Resfa Fitri, MPlSt selaku komisi pembimbing yang dengan ikhlas dan sabar
meluangkan waktu memberikan saran, arahan, bimbingan, motivasi dan
membagikan pengalamannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Penulis juga menyampaikan terimakasih dan penghargaan kepada:
1. Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB, Ketua Departemen
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, dan Ketua Program Studi
Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (KMP) beserta seluruh
staf;
2. Dosen-dosen pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan (KMP);
3. Dr Ir Pudji Muljono, MSi selaku penguji luar komisi;
4. Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian,

Kementerian Pertanian, khususnya kepada Ir Pending Dadih Permana,
MEcDev, Dr Ir Momon Rusmono, MS, Ir Heri Suliyanto, MBA, Ir Rusmini,
MSi, dan Dr Ir Ranny Mutiara Chaidirsyah;
5. Pimpinan Mercy Corps Indonesia beserta staf;
6. Indonesia Programe Coordinator Agri-Fin Mobile, Andi Ikhwan;
7. Direktur PT 8villages Indonesia beserta staf;
8. Teman-teman petani dan penyuluh pertanian di Kabupaten Karawang;
9. Rekan-rekan mahasiswa KMP angkatan 2013, angkatan 2012, dan angkatan
2014;
10. Secara khusus, penulis mengucapkan terimakasih kepada istri
Diah Sulistyorini, MP dan anak-anak: Hanum Amira Nisyafiqa dan Hatta
Fahrizal Wibowo, keluarga M Salim dan keluarga Slamet Santoso.
Semoga penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2016
Haris Tri Wibowo

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Magelang pada tanggal 28 Desember 1980 anak ketiga dari
pasangan Much Salim dan Sifatun. Jenjang pendidikan dari sekolah dasar sampai

dengan sekolah menengah atas dilalui di Magelang. Setelah lulus dari SMU
Negeri 3 Magelang, penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Universitas Gadjah
Mada dengan mengambil Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian.
Pendidikan sarjana diselesaikan penulis pada tahun 2005.
Pada tahun 2008, penulis diterima sebagai Calon Widyaiswara di
Departemen Pertanian dengan ditempatkan di Sekolah Pertanian Pembangunan
Negeri Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Pada tahun 2011, penulis dimutasi
menjadi Fungsional Umum di Pusat Penyuluhan Pertanian, Badan Penyuluhan
dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian, Kementerian Pertanian di
Jakarta.
Pada tahun 2013, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan di Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan,
Institut Pertanian Bogor. Pendidikan strata-2 ini ditempuh dengan bantuan
beasiswa dari Kementerian Pertanian.

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian

1
1
3
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Efektifitas Komunikasi
Keterdedahan terhadap Media
Karakteristik Individu
Pemuka Pendapat
Perkembangan Penyuluhan Pertanian di Indonesia
Penyuluh Pertanian
Kelompoktani
Peran Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Penyuluhan Pertanian
Layanan Operator Telepon Seluler
LISA sebagai Media Komunikasi Pertanian
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran

4
4
5
6
7
9
11
13
15
19
20
21
22

METODOLOGI
Desain Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Populasi dan Sampel Penelitian
Data dan Instrumentasi Penelitian
Definisi Operasional
Validitas dan Reliabilitas
Analisis Data

24
24
24
24
25
25
29
30

DESKRIPSI UMUM
Layanan Informasi Desa (LISA)
Deskripsi Lokasi Penelitian
Karakteristik Responden
Faktor Eksternal
Interaksi dengan Sumber Informasi Lain

31
31
33
35
40
44

KETERDEDAHAN TERHADAP LISA
Keterdedahan terhadap LISA
Hasil Analisis menggunakan Model Persamaan Struktural PLS
Hubungan Karakteristik Responden dengan Keterdedahan terhadap LISA
Hubungan Faktor Eksternal dengan Keterdedahan terhadap LISA

48
48
53
56
56

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI
Tingkat Pengetahuan
Sikap
Hubungan Keterdedahan terhadap LISA dengan Efektivitas Komunikasi
Hubungan Interaksi dengan Sumber Informasi Lain dengan Efektivitas
Komunikasi

58
58
60
61
62
ii

SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

64

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Definisi operasional dan indikator peubah karakteristik petani
Definisi operasional dan indikator peubah faktor eksternal
Definisi operasional dan indikator peubah interaksi dengan sumber
informasi lain
Definisi operasional dan indikator peubah keterdedahan terhadap LISA
Definisi operasional dan indikator peubah efektivitas komunikasi
Jumlah desa, luas wilayah, dan luas lahan di 4 kecamatan lokasi penelitian
tahun 2014
Jumlah penduduk di 4 kecamatan lokasi penelitian menurut jenis kelamin
tahun 2014
Jumlah rumah tangga usaha pertanian menurut golongan luas lahan yang
dikuasai di Kabupaten Karawang tahun 2013
Jumlah rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan menurut golongan
luas lahan yang dikuasai di 4 kecamatan lokasi penelitian tahun 2014
Jumlah responden menurut karakteristik di 4 kecamatan lokasi penelitian
Penilaian responden terhadap konten tips pertanian dan tanya jawab
interaktif di 4 kecamatan lokasi penelitian
Persentase konten tips pertanian berdasarkan tema di 4 kecamatan lokasi
penelitian tahun 2015
Persentase konten tanya jawab interaktif berdasarkan tema di 4 kecamatan
lokasi penelitian tahun 2015
Outer loading model perbaikan
Crossloading terhadap variabel laten
Uji koefisiensi dan t-hitung variable karakteristik, faktor eksternal,
interaksi dengan sumber informasi lain terhadap keterdedahan LISA dan
efektivitas komunikasi

26
27
27
28
29
34
34
35
35
36
50
51
52
54
55
55

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Layanan grup Indosat pengguna LISA
Kerangka pemikiran Layanan Pesan Pendek sebagai Media Komunikasi
Pembangunan Pertanian di Kabupaten Karawang
Alur Layanan Informasi Desa (LISA)
Sebaran responden pengguna layanan LISA menurut jenis kelamin
Sebaran responden pengguna layanan LISA menurut usia
Sebaran responden pengguna layanan LISA menurut jenjang pendidikan
Sebaran responden pengguna layanan LISA menurut status kepemilikan
lahan
Sebaran responden pengguna layanan LISA menurut luas lahan
Sebaran responden pengguna layanan LISA menurut pekerjaan utama

21
23
33
37
37
38
38
39
39
iii

10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28

Tingkat kepuasan responden pengguna terhadap layanan LISA
Pemahaman responden terhadap bahasa yang digunakan dalam LISA
Penilaian responden terhadap kelengkapan tips/jawaban/ulasan yang
diberikan LISA
Penilaian responden terhadap kemudahan untuk menerapkan
tips/jawaban/ulasan
Penilaian responden terhadap kualitas operator telepon seluler
Penilaian responden terhadap tarif telepon dan pesan pendek
Sebaran responden menurut jumlah interaksi dengan pemuka pendapat
Sebaran responden menurut jumlah interaksi dengan kelompoktani
Sebaran responden menurut jumlah interaksi dengan petani
Sebaran responden menurut jumlah interaksi dengan penyuluh pertanian
Frekuensi akses responden terhadap layanan LISA
Frekuensi akses responden terhadap layanan grup
Model persamaan struktural Layanan Pesan Pendek sebagai Media
Komunikasi Pembangunan Pertanian di Kabupaten Karawang
Perbaikan model persamaan struktural Layanan Pesan Pendek sebagai
Media Komunikasi Pembangunan Pertanian di Kabupaten Karawang
Model persamaan struktural karakteristik dan faktor eksternal terhadap
keterdedahan LISA
Tingkat pengetahuan responden terhadap konten LISA di 4 kecamatan
lokasi penelitian
Tingkat pengetahuan responden menurut sub tema di 4 kecamatan lokasi
penelitian
Kecenderungan sikap responden terhadap konten LISA di 4 kecamatan
lokasi penelitian
Kecenderungan sikap responden terhadap konten LISA menurut sub tema
di 4 kecamatan lokasi penelitian

41
41
42
42
43
43
44
45
46
46
48
49
53
54
56
58
59
60
61

iv

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor pertanian memiliki peranan penting dalam mendukung perekonomian
nasional.
Peran tersebut terutama dalam terciptanya ketahanan pangan,
penyumbang produk domestik bruto, penciptaan lapangan
kerja dan
penanggulangan kemiskinan, penyedia bahan pangan dan bahan baku industri,
sumber pendapatan masyarakat, serta penciptaan iklim yang kondusif bagi
pertumbuhan sektor lainnya (Kementan 2014).
Tantangan besar yang dihadapi sektor pertanian di masa mendatang yang
bersifat multidimesi antara lain: (1) tantangan meningkatkan pendapatan petani
yang sebagian besar memiliki lahan di bawah 0,5 ha; (2) tantangan untuk
meningkatkan produksi pangan dan komoditas pertanian lainnya; (3) tantangan
untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang terus berkembang; (4) tantangan
untuk memfasilitasi proses transformasi perekonomian nasional dari berbasis fosil
ke basis bioekonomi; serta (5) tantangan untuk mewujudkan pertanian
berkelanjutan dalam konteks perubahan iklim global (Kementan 2014).
Untuk menjawab tantangan di atas, diperlukan sumberdaya manusia
pertanian yang andal, berkualitas, dan mempunyai kemampuan. Hal tersebut
merupakan hal yang harus dimiliki para pelaku pembangunan pertanian.
Pengembangan kualitas pelaku utama dan pelaku usaha pertanian dapat dilakukan
melalui pendidikan dan penyuluhan pertanian.
Seiring dengan perkembangan teknologi, aplikasi teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) sudah terintegrasikan dalam berbagai kegiatan pembangunan
dan pengembangan masyarakat. Teknologi informasi dan komunikasi secara
signifikan telah mengubah cara hidup manusia dan menjadikannya hal yang tidak
terpisahkan. Teknologi informasi dan komunikasi, seperti telepon seluler, telepon
fixed-line, komputer, dan internet, telah menjadi bagian integral dari kehidupan
modern dalam semua masyarakat. Teknologi informasi dan komunikasi
menghubungkan orang, menghasilkan lebih banyak perdagangan barang dan jasa
di seluruh dunia, dan meningkatkan akses ke informasi dan pengetahuan. Pohjola
(2003) dan UNCTAD (2008) dalam Kilenthong dan Odton (2014) menyatakan
bahwa TIK merupakan faktor kunci bagi pembangunan ekonomi. Peran TIK juga
telah masuk ke bidang perbankan yang terbukti meningkatkan akses keuangan dan
kesejahteraan masyarakat, seperti dalam kasus M-PESA di Kenya (Jack et al.
2010 dalam Kilenthong dan Odton 2014). Hampir semua orang mempunyai dan
menggunakan telepon seluler untuk memenuhi kebutuhan harian dan untuk
berbagai tujuan (Salehan dan Negahban 2013). Di bidang pertanian, TIK
berperan dalam penyuluhan pertanian yang memperkuat sistem komunikasi.
Dengan bantuan internet beberapa hambatan terkait dengan komunikasi dapat
dihilangkan. Semua komponen sistem komunikasi seperti komunikator, pesan,
saluran, perlakuan pesan, penerima dan umpan balik akan berfungsi lebih efektif
(Kumar 2012).
Peran TIK dalam kegiatan pembangunan dan pengembangan masyarakat di
Indonesia salah satunya dalam kegiatan penyuluhan pertanian yang dikenal
dengan cyber extension (Mulyandari 2011). Hasil penelitian Mulyandari (2011)

2

membuktikan bahwa cyber extension dimanfaatkan oleh petani sayuran sebagai
sarana komunikasi dan berbagi informasi, promosi usahatani, serta untuk akses
informasi produksi dan teknologi pertanian. Hal lain yang didapat dari penelitian
tersebut, bahwa masyarakat di Jawa Barat dan Jawa Timur sudah dapat
mengakses internet melalui telepon seluler. Dengan adanya telepon seluler, petani
dapat memperoleh atau mendiseminasikan informasi dengan cepat dan mereka
dapat menghubungi penyuluh pertanian atau petani lainnya untuk melakukan
pertemuan atau diskusi kelompok di luar jadwal yang telah ditetapkan.
Data Badan Pusat Statistik (2014) menyebutkan bahwa sebanyak 83,52
persen rumah tangga di Indonesia yang menguasai/ memiliki telepon seluler.
Data dari Mercy Corps Indonesia (2012) dalam Ikhwan (2014) menyebutkan
bahwa sebanyak 70 persen petani di Indonesia memiliki/ menguasai telepon
seluler. Tetapi baru sekitar 12 persen petani tersebut yang memanfaatkan layanan
internet melalui telepon seluler.
Telepon seluler memiliki kelebihan dibandingkan dengan teknologi
informasi komunikasi lainnya, antara lain mudah dan fleksibel dalam
penggunaannya. Dengan kelebihan tersebut, PT 8villages Indonesia dengan
didukung Agri-Fin Mobile dari Mercy Corp Indonesia meluncurkan layanan
diseminasi informasi pertanian berbasis telepon seluler melalui Layanan Informasi
Desa (LISA). LISA merupakan sebuah program yang bertujuan memberikan
layanan pertanian terintegrasi melalui telepon seluler meliputi tips-tips pertanian,
tanya jawab interaktif, dan iterasi keuangan keluarga bagi ibu rumah tangga dan
wanita tani. Petani pengguna dari berbagai daerah terhubung dengan pusat
layanan melalui LISA.
Pemakaian telepon seluler sebagai sarana diseminasi informasi pertanian
masih merupakan fenomena yang tergolong baru di Indonesia. Penelitian
mengenai cyber extension yang berbasis layanan internet, diketahui bahwa cyber
extension dimanfaatkan sebagai sarana komunikasi dan berbagi informasi, serta
untuk akses informasi mengenai usahatani (Mulyandari 2011). Cyber extension
merupakan bentuk yang paling penting dari penyebaran teknologi di masa depan.
Cyber extension membantu dalam pembangunan pedesaan. Cyber extension
memiliki kemungkinan besar untuk memecahkan masalah kemiskinan,
ketimpangan dan menjembatani kesenjangan antara masyarakat kaya informasi
dan masyarakat miskin informasi di pedesaan. Penggunaan internet akan menarik
partisipasi masyarakat dalam proyek-proyek pembangunan. Melalui internet
masyarakat dapat berinteraksi dengan pemerintah secara dua arah, mengenai
masalah dan solusi yang mereka tawarkan, serta diseminasi informasi pertanian
dari pemerintah kepada masyarakat (Kumar 2012).
Penelitian mengenai telepon seluler sebelumnya menunjukkan bahwa
telepon seluler dapat meningkatkan produktivitas pertanian secara keseluruhan
(Lio dan Liu 2006 dalam Tadesse dan Bahiigwa 2015). Penelitian Mulyandari
(2011) menyatakan bahwa sebagian petani di Jawa Barat dan Jawa Timur yang
sekaligus juga sebagai pedagang pengumpul dalam kegiatannya sehari-hari, tidak
pernah lepas dari penggunaan terutama telepon seluler. Telepon seluler
digunakan untuk mencari informasi mengenai harga pasar komoditas yang
diusahakan, transaksi secara elektronis, serta mendongkrak jangkauan pemasaran
produknya. Hasil penelitian Prihandoyo (2014) menyatakan bahwa telah terjadi
perubahan proses diseminasi informasi di kalangan petani dari cara konvensional

3

menjadi modern dengan memanfaatkan teknologi informasi komunikasi.
Diseminasi yang biasanya melibatkan fasilitas berupa material/fisik seperti buku
berkembang dengan memanfaatkan fasilitas jaringan kerja dengan memanfaatkan
teknologi komputer dan internetnya serta telepon seluler. Menurut Hudson (2006)
dalam Martin (2010) dan Burrell (2008) dalam Martin (2010), penggunaan
telepon seluler oleh petani bertujuan untuk akses ke input pertanian, mencari
informasi pasar, bantuan darurat pertanian, memantau transaksi keuangan, dan
konsultasi dengan ahli.
Sejalan dengan uraian di atas, untuk mengetahui sejauh mana efektivitas
LISA sebagai media diseminasi informasi pertanian yang berbasis layanan pesan
pendek berperan dalam pembangunan pertanian, perlu dilakukan kajian dan
analisis secara mendalam dan terarah.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka permasalahan utama yang
akan diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana efektivitas LISA sebagai
media diseminasi informasi pertanian yang berbasis layanan pesan pendek
berperan dalam pembangunan pertanian. Sedangkan permasalahan khusus dalam
penelitian ini adalah: 1) Bagaimana keterdedahan petani pengguna terhadap
LISA?; 2) Bagaimana hubungan karakteristik petani dan faktor eksternal dengan
keterdedahan terhadap LISA? 3) Bagaimana hubungan keterdedahan terhadap
LISA dengan efektivitas komunikasi LISA?; dan 4) Bagaimana hubungan
interaksi dengan sumber informasi lain dengan efektivitas komunikasi LISA?
Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana efektivitas LISA
sebagai media diseminasi informasi pertanian yang berbasis layanan pesan pendek
berperan dalam pembangunan pertanian. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini
untuk:
1. Mendeskripsikan keterdedahan petani pengguna terhadap konten LISA;
2. Menganalisis hubungan karakteristik petani dan faktor eksternal dengan
keterdedahan terhadap LISA;
3. Menganalisis hubungan keterdedahan terhadap LISA dengan efektivitas
komunikasi LISA; dan
4. Menganalisis hubungan interaksi dengan sumber informasi lain dengan
efektivitas komunikasi LISA.
Kegunaan Penelitian
1.
2.
3.

Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pengambil kebijakan di
bidang penyuluhan pertanian di semua tingkatan;
Sebagai bahan evaluasi bagi Mercy Corps Indonesia dan PT 8villages dalam
perbaikan program di masa akan datang;
Sebagai referensi bagi akademik.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Efektivitas Komunikasi
Komunikasi dikatakan efektif apabila rangsangan yang disampaikan dan
dimaksudkan oleh pengirim atau sumber, berkaitan erat dengan rangsangan yang
ditangkap dan dipahami oleh penerima. Semakin besar kaitan antara yang
dimaksud oleh komunikator dapat direspon oleh komunikan, maka semakin
efektif pula komunikasi yang dilaksanakan.
Selanjutnya Effendy (2001) menyatakan komunikasi untuk dapat dikatakan
efektif jika dapat menimbulkan dampak yaitu: 1) kognitif, yakni meningkatnya
pengetahuan komunikan, 2) afektif, yaitu perubahan pandangan komunikan,
karena hatinya tergerak akibat komunikasi dan 3) behavioral yaitu perubahan
perilaku atau tindakan yang terjadi pada komunikan. Efek pada aras kognitif
meliputi peningkatan kesadaran, belajar dan tambahan pengetahuan. Pada aras
afektif meliputi efek berhubungan dengan emosi, perasaan dan sikap, sedangkan
efek pada aras konatif berhubungan dengan perilaku dan niat untuk melakukan
sesuatu menurut cara tertentu (Jahi 1988).
Tubbs dan Moss (2005) mengemukakan bahwa secara sederhana
komunikasi dikatakan efektif bila orang berhasil menyampaikan apa yang
dimaksudnya. Secara umum, komunikasi dinilai efektif bila rangsangan yang
disampaikan dan yang dimaksudkan oleh pengirim atau sumber, berkaitan erat
dengan rangsangan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima. Tubbs dan Moss
(2005) menyatakan ada lima hal yang menjadikan ukuran bagi komunikasi yang
efektif, yaitu: pemahaman, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang
makin baik, dan tindakan.
1. Pemahaman
Arti pokok pemahaman adalah penerimaan yang cermat atas kandungan
stimuli seperti yang dimaksud oleh pengirim pesan (komunikator), dikatakan
efektif bila penerima memperoleh pemahaman yang cermat atas pesan yang
disampaikan.
2. Kesenangan
Komunikasi tidak semua ditujukan untuk menyampaikan maksud tertentu,
adakalanya komunikasi hanya sekedar untuk bertegur sapa dan menimbulkan
kebahagian bersama.
3. Mempengaruhi sikap
Tindakan mempengaruhi orang lain dan berusaha agar orang lain memahami
ucapan kita adalah bagian dari kehidupan sehari-hari.
Pada waktu
menentukan tingkat keberhasilan berkomunikasi ternyata kegagalan dalam
mengubah sikap orang lain belum tentu karena orang lain tersebut tidak
memahami apa yang dimaksud. Dapat dikatakan bahwa kegagalan dalam
mengubah pandangan seseorang jangan disamakan dengan kegagalan dalam
meningkatkan pemahaman, karena memahami dan menyetujui adalah dua hal
yang sama sekali berlainan.

5

4. Memperbaiki hubungan
Komunikasi yang dilakukan dalam suasana psikologis yang positif dan penuh
kepercayaan akan sangat membantu terciptanya komunikasi yang efektif.
Apabila hubungan manusia dibayang bayangi oleh ketidakpercayaan, maka
pesan yang disampaikan oleh komunikator yang paling kompeten pun bisa
saja mengubah makna.
5. Tindakan
Mendorong orang lain untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan yang
diinginkan merupakan hasil yang paling sulit dicapai dalam berkomunikasi.
Lebih mudah mengusahakan agar pesan dapat dipahami orang lain daripada
mengusahakan agar pesan tersebut disetujui, tindakan merupakan feed back
komunikasi paling tinggi yang diharapkan pemberi pesan.
Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi komunikasi yang efektif.
Menurut Moekijat (1993), faktor-faktor tersebut adalah: (1) kemampuan orang
untuk menyampaikan informasi; (2) pemilihan dengan seksama apa yang akan
disampaikan oleh komunikator; (3) saluran komunikasi yang jelas dan langsung;
(4) media yang memadai untuk menyampaikan pesan; (5) penentuan waktu dan
penggunaan media yang tepat; dan (6) tempat-tempat penyebaran yang memadai
apabila diperlukan untuk memudahkan penyampaian pesan yang asli, tidak
dikurangi, tidak diubah dan dalam arah yang tepat.

Keterdedahan terhadap Media Massa
Keterdedahan pada media massa adalah aktivitas komunikasi seseorang
dalam memperoleh informasi melalui media massa, baik media cetak (surat kabar,
buku, brosur) maupun media elektronik (televisi, radio, internet). Komunikasi ini
memanfaatkan kekuatan media massa dalam hal cakupan khalayak yang luas,
serentak, dan pesan yang relatif seragam (Rogers dan Shoemaker 1971). Senada
dengan Rogers, Rakhmad (2007) berpendapat bahwa keterdedahan berkaitan
dengan aktivitas pencarian informasi berupa aktivitas mendengarkan, melihat,
membaca, atau secara umum mengalami, dengan sedikitnya sejumlah perhatian
minimal pada pesan media. Keterdedahan media komunikasi adalah intensitas
masyarakat yang menggunakan media komunikasi. Keterdedahan dapat dilihat
dengan dua indikator, yaitu 1) frekuensi keterdedahan, adalah jumlah intensitas
khalayak terdedah terhadap media massa; dan 2) lamanya keterdedahan, adalah
lamanya waktu khalayak terdedah terhadap media massa. Rogers (2003)
menjelaskan tiap indikator keterdedahan pada media komunikasi paling tidak
dibagi menjadi pernah terdedah dan tidak terdedah.
Agustini (2009)
mengungkapkan bahwa keterdedahan adalah penggunaan media yang diperoleh
yang dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasan.
Soekartawi (1988) menyebutkan bahwa sumber informasi sangat
berpengaruh terhadap proses adopsi inovasi, sumber yang dimaksud dapat berasal
dari media massa maupun media interpersonal, petugas penyuluh, aparat desa dan
lain sebagainya. Masing-masing media mempunyai kelebihan dan kelemahan.
Media komunikasi massa dapat menyampaikan informasi dalam jumlah banyak
dan dalam waktu yang singkat serta memberikan efek kognitif yang meliputi
peningkatan kesadaran untuk belajar dan menambah pengetahuan. Media

6

komunikasi personal dapat menimbulkan efek perubahan perilaku. Media massa
memiliki peranan memberikan informasi untuk memperluas cakrawala,
memusatkan perhatian, menumbuhkan aspirasi dan sebagainya, tetapi tergantung
pada keterdedahan khalayaknya di media massa (Schramm 1984). Menurut Jahi
(1988), keterdedahan pada media massa akan memberikan kontribusi terhadap
perbedaan perilaku. Sejalan dengan hal tersebut, perubahan perilaku khalayak
tidak saja dipengaruhi oleh keterdedahannya pada satu saluran media massa, tetapi
juga memerlukan lebih dari satu saluran komunikasi massa lainnya seperti
televisi, radio, film, dan bahan-bahan cetakan (Kincaid dan Schramm 1984).
Hasil penelitian Nugroho (2011), semakin tinggi intensitas masyarakat
dalam mendengarkan, melihat, membaca, atau sedikitnya ada perhatian terhadap
pesan media atau intensitas masyarakat dalam pencarian informasi melalui
berbagai media, maka masyarakat cenderung aktif dan terbuka. Kondisi
masyarakat yang cenderung terbuka dan aktif akan memudahkan diseminasi
teknologi kepada masyarakat tersebut.
Hasil penelitian Asmirah (2006)
menunjukkan bahwa keterdedahan petani pada media komunikasi berhubungan
dengan tingkat penerapan teknologi. Keterdedahan terhadap media massa
mempunyai indikasi positif terhadap respon peternak guna meningkatkan
produktivitasnya.

Karakteristik Individu
DeVito (1997) menerangkan bahwa dalam memberikan informasi ataupun
mempengaruhi khalayak harus memperhatikan beberapa peubah karakteristik
individu, antara lain: umur, jenis kelamin, faktor budaya, pekerjaan, pendapatan,
status, dan agama.
Karakteristik individu adalah ciri-ciri atau sifat pribadi yang dimiliki
seseorang dan ditentukan oleh status demografik, psikografik, dan geografik yang
diwujudkan dalam pola pikir, sikap, dan tindakan terhadap lingkungan
kehidupannya. Siagian dalam Erwiantono (2004) mengemukakan bahwa umur,
jenis kelamin, status perkawinan, jumlah tanggungan keluarga, dan lamanya
berinteraksi dengan seseorang atau lingkungannya merupakan karakteristik
biografi yang berkaitan dengan persepsi seseorang terhadap objek tertentu.
Rogers (2003) mengemukakan bahwa terdapat tiga kategori dari
karakteristik adopter untuk penerimaan suatu hasil inovasi, yaitu:
1. Status sosial ekonomi, meliputi umur, pendidikan formal, status sosial, serta
tingkat mobilitas sosial;
2. Peubah personal, meliputi empati, tingkat dogmatis, rasionalistis dan fatalis,
intelegensi, kemudahan dalam menerima perubahan sikap dan ilmu
pengetahuan, kemudahan dalam menghadapi ketidakpastian dan resiko, serta
tingkat aspirasi terhadap pendidikan, pekerjaan, dan status;
3. Perilaku komunikasi, meliputi partisipasi sosial, tingkat keterlibatan dalam
jaringan komunikasi pada suatu sistem sosial, kekosmopolitan, hubungan
dengan agen pembaharu, tingkat keterdedahan terhadap saluran komunikasi
interpersonal dan media massa, keaktivan mencari suatu inovasi, tingkat
pengetahuan atas suatu inovasi dan derajat kepemimpinan.

7

Penelitian Nugroho (2011) menunjukkan bahwa karakteristik tokoh
masyarakat yang berhungan nyata dengan efektivitas program tanggungjawab
sosial perusahaan PT Indocement, antara lain: (a) pekerjaan utama dengan tingkat
pemahaman tokoh masyarakat, (b) pekerjaan utama dengan sikap tokoh
masyarakat, dan (c) keterdedahan media massa dengan sikap dan tindakan tokoh
masyarakat.

Pemuka Pendapat
Dalam kehidupan masyarakat biasanya terdapat seseorang yang mempunyai
pengaruh dan dianggap sebagai “tokoh” atau yang dianggap “tua” dalam suatu
perkara. Rogers and Shoemaker (1971) menyebutnya orang-orang yang demikian
sebagai tokoh masyarakat, pemuka pendapat, pemuka opini, pemimpin informal
atau sebutan lainnya yang sejenis. Rogers (2003) dalam Browning (2007),
pemuka opini adalah “the degree to which an individual is able to influence others
individuals’ attitude or overt behavior informally in a desires way with relative
frequency”.
Nurudin (2005) mendefinisikan pemuka pendapat sebagai orang yang
mempunyai keunggulan dari masyarakat kebanyakan yang mempunyai
karakteristik sebagai berikut:
(1) Lebih tinggi pendidikan formalnya
dibandingkan dengan anggota masyarakat lain; (2) Lebih tinggi status sosial
ekonominya; (3) Lebih inovatif dalam menerima dan mengadopsi ide baru; (4)
Lebih tinggi pengenalan medianya; (5) Kemampuan empatinya lebih besar; (6)
Partisipasi sosialnya lebih besar; (7) Lebih kosmopolit (mempunyai wawasan dan
pengetahuan yang luas).
Rogers (2003) menjelaskan karakteristik pemuka pendapat yang
membedakan dari masyarakat lainnya, yaitu (1) Pemuka pendapat mempunyai
ekspose lebih besar ke media massa dibandingkan para pengikutnya; (2) Pemuka
pendapat lebih kosmopolit daripada pengikutnya; (3) Pemuka pendapat
mempunyai hubungan lebih luas dengan agen perubahan dibandingkan
pengikutnya; (4) Pemuka pendapat memiliki partisipasi sosial lebih besar
dibanding pengikutnya; (5) Pemuka pendapat memiliki status sosial ekonomi
yang lebih tinggi dibandingkan pengikutnya; (6) Pemuka pendapat lebih inovatif
dibandingkan pengikutnya; (7) Ketika suatu sistem norma sosial menyukai
perubahan, para pemuka pendapat menjadi lebih inovatif, tetapi ketika normanorma tidak menyukai perubahan, maka para pemimpin pendapat tidak terlalu
inovatif.
Para pemimpin pendapat boleh jadi berasal dari tingkat sosial, ekonomi dan
pekerjaan mana saja. Dalam setiap lapisan masyarakat yang berbeda, terdapat
pemimpin pendapat yang berbeda, karena cenderung mempunyai lebih banyak
informasi dan lebih sering menggunakan berbagai media massa (Tubbs dan Moss
2005).
Pemuka pendapat adalah sumber informasi, para pengikutnya adalah
penerima informasi (receiver). Beberapa pemuka pendapat mengambil prakarsa
dalam komunikasi dengan mencari kesempatan menghubungi anggota masyarakat
untuk menyebarluaskan pesan-pesannya. Sebaliknya masyarakat sering juga
menemui pemuka pendapat untuk mencari informasi (Ardianto et al. 2012).

8

Sebagian besar orang menerima efek media dari pemuka pendapat yang
mempunyai akses terlebih dahulu kepada media massa. Tahap pertama, pemuka
pendapat menerima informasi dari media massa, kemudian pemuka pendapat
berbagi dengan orang-orang di sekitar lingkaran sosialnya. Setiap tahapan dalam
proses pengaruh sosial dimodifikasi oleh norma-norma dan kesepakatan dari
setiap lingkaran sosial baru itu.
Opini-opini yang berasal dari media akan
dicampur dengan opini-opini lainnya dan secara perlahan akan melebihi informasi
yang diberikan media. Opini lain yang muncul dapat menyebabkan efek positif
maupun negatif. Hal ini menyebabkan pemuka pendapat juga berfungsi sebagai
gatekeepers (Ardianto et al. 2012).
Menurut Valera et al. (1987) dalam Adi dan Setyowati (2010), peranan
pemuka pendapat dalam proses adopsi dan difusi inovasi adalah :
1. Fungsi inisiatif (initiation function), memberikan inisiatif dan membangkitkan
motivasi masyarakat dengan mengusahakan yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
2. Fungsi diseminasi atau penyebaran inovasi (dissemination function),
membantu menyebarkan kegiatan-kegiatan penyuluhan untuk menjangkau
sebagian besar masyarakat.
3. Fungsi pengungkapan minat (interest articulation function), membantu agen
penyuluhan dalam menerangkan sesuatu dan melayani kesulitan-kesulitan,
serta memecahkan masalah anggota masyarakat.
4. Fungsi penghubung (linkage function), membantu agen penyuluhan dalam
memperkuat keputusan-keputusan, dengan mempengaruhi anggota-anggota
masyarakat yang lain, yang tidak tahu mengenai keputusan tersebut, dan juga
bertindak sebagai penanggung jawab bagi masyarakat.
5. Fungsi pengawas (overseer function), dapat dimintai oleh agen penyuluhan
untuk mengawasi kegiatan-kegiatan penyuluhan yang berjalan, dan membantu
menetapkan prosedur kerja sesuai dengan sumber daya yang ada.
6. Fungsi mobilisasi sosial (social mobilization function), membantu agen
penyuluhan dengan mengorganisasi kelompok–kelompok kegiatan masyarakat
dan memelihara kegiatan-kegiatan tersebut, membantu dalam memelihara
kesatuan kelompok, dan membangkitkan iklim sosial yang lebih kondusif.
Hasil penelitian Adi dan Setyowati (2010), pemuka pendapat berpengaruh
secara nyata dalam proses difusi teknologi konservasi lahan kering oleh petani
kepada petani lain. Pemuka pendapat melalui peranannya sebagai penyebar
inovasi, penghubung atau katalisator dan mobilisator bagi penerapan teknologi
dapat mempengaruhi keputusan petani untuk menyebarkan teknologi konservasi
kepada petani lain.
Penelitian Hoang et al. (2006) dalam Isaac (2012) menggambarkan bahwa
meskipun penyuluhan pertanian berperan sebagai sumber informasi formal,
sumber informasi informal berbasis masyarakat dapat digunakan secara efektif
untuk melengkapi peran penyuluhan pertanian. Isaac et al. (2007) dalam Isaac
(2012) menunjukkan bahwa penyuluhan pertanian terhubung erat ke pemuka
pendapat dalam sebuah jaringan komunitas.

9

Perkembangan Penyuluhan Pertanian di Indonesia
Dalam catatan Lubis (2012), sejarah perkembangan penyuluhan pertanian di
Indonesia dapat dibagi menjadi:
1.
Era Kolonial
Pembangunan pertanian dimulai sejak pembangunan Kebun Raya
Bogor pada tahun 1817. Belanda mengembangkan bermacam-macam
komoditas pertanian komersial dibarengi dengan pendidikan dan
pengembangan penelitian pertanian di daerah. Selain itu, penyuluhan
pertanian mulai dilakukan untuk meningkatkan produksi pertanian.
Kemudian pada tahun 1910, Belanda mendirikan kantor penyuluhan
pertanian.
Penyuluhan dilakukan dengan mendidik orang-orang,
mengenalkan penemuan baru hasil penelitian kepada petani, memodernisasi
sistem pertanian, menyebarluaskan bibit tanaman komersial, pelatihan bagi
petani, mengenalkan demplot, studi banding untuk petani, membuat analisis
usaha tani, serta pengenalan sistem kredit pertanian.
2.
Era Soekarno (1945 – 1963)
Pembangunan pertanian yang sistematis pertama yang dilakukan
Pemerintah Indonesia adalah Kasimo Plan. Namun karena ketidakstabilan
politik, rencana pembangunan tidak terlaksana dengan baik. Pada tahun
1950, didirikan Pusat Pendidikan Masyarakat Desa yang bertujuan untuk
meningkatkan produktivitas pertanian. Pada masa ini petani diperkenalkan
kepada pupuk kimia dan pestisida, varietas baru tanaman, dan sistem irigasi.
Pada era ini, pemerintah melaksanakan proyek intensifikasi untuk 1.000
hektar sawah dan memberikan bantuan keuangan bagi petani (berupa pupuk,
bibit, dan uang tunai). Mereka berharap bahwa demonstrasi ini ditiru oleh
petani lainnya.
Pada tahun 1959 ada sedikit perubahan dalam pengembangan
penyuluhan pertanian. Pemerintah mengubah pendekatan penyuluhan
pertanian dari slow-but-sure menjadi pendekatan personal yang cepat;
olievlek-sijsteem ke sistem tetes air. Pemerintah meluncurkan Komando
Operasi Gerakan Makmur untuk mencapai swasembada beras. Pendekatan
“perintah” dianggap menjadikan persepsi negatif terhadap penyuluhan
pertanian. Bimbingan Massal, atau yang lebih dikenal dengan BIMAS
merupakan salah satu pendekatan yang lahir di era ini. Bimas pertama kali
diperkenalkan oleh Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (cikal bakal
IPB) yang memperkenalkan 5 teknologi baru, meliputi bibit, pupuk kimia,
pengendalian hama, pengaturan jarak tanam, dan sistem irigasi.
3.
Era Suharto
Pemerintahan di era Presiden Suharto melanjutkan BIMAS sebagai
pendekatan utama dalam pembangunan pertanian. Selain itu, pemerintah
juga menyediakan kredit dan menyediakan bibit, pupuk, dan pestisida
dengan harga rendah.
Pemerintah juga mendirikan koperasi untuk
memudahkan petani mendapatkan sarana produksi dan memasarkan produk
mereka.
Untuk menunjang pelaksanaan penyuluhan pertanian, pemerintah
membentuk kelembagaan penyuluhan sampai ke tingkat kecamatan.
Pemerintah juga mengangkat 35.000 tenaga penyuluhan pertanian untuk

10

4.

5.

ditempatkan di daerah. Gerakan pembangunan pertanian secara langsung
dipimpin oleh Bupati. Namun demikian, banyak kritik kepada pemerintah
terhadap pembangunan pertanian di era ini. Penyuluhan pertanian dianggap
menggunakan pendekatan “paksaan” untuk untuk mengubah perilaku petani.
Slamet (2003) dalam Lubis (2012) mengatakan bahwa penyuluhan pertanian
hanya digunakan sebagai alat untuk meningkatkan produksi pertanian,
terutama beras. Melalui pendekatan ini, kegiatan penyuluhan pertanian
hanya untuk meningkatkan produktivitas, bukan untuk mendidik petani
(Prabowo 2003 dalam Lubis 2012). Menurut Saragih (2007) dalam Lubis
(2012) menyebutkan bahwa pembangunan pertanian selama era Soeharto
telah berhasil mengatasi masalah klasik pengembangan pertanian yaitu
produksi dan masalah on-farm. Menurut Fakih (2000) dalam Lubis (2012),
pembangunan pertanian selama era ini banyak menggunakan input pertanian
yang modern, seperti pupuk kimia dan pestisida.
Era Demokrasi dan Desentralisasi
Setelah reformasi tahun 1998, penyuluhan pertanian di Indonesia
mengalami perubahan, yaitu penyuluhan yang demokratis dan
desentralisasi.
Dengan adanya desentralisasi, maka pemerintah
kabupaten/kota mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan.
Perkembangan ini membawa masalah serius untuk pembangunan pertanian
pada umumnya dan khususnya untuk penyuluhan pertanian. Secara umum,
banyak pemerintah daerah tidak lagi menekankan sektor pertanian sebagai
mesin utama pembangunan ekonomi dan pembangunan pertanian menjadi
terabaikan. Penyuluhan pertanian menjadi stagnan dan kelembagaan
penyuluhan banyak yang dipinggirkan. Menurut Slamet (2003b) dalam
Lubis (2012), desentralisasi telah membawa penyuluhan pertanian di
Indonesia ke situasi terburuk setelah 30 tahun pembangunan.
Penyuluhan pertanian saat ini
Di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
pemerintah meluncurkan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan. Program ini mengakui peran penting sektor pertanian dalam
perekonomian Indonesia. Selain itu, pada tahun 2006 lahirlah Undangundang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian,
Perikanan, dan Kehutanan. Ada beberapa poin penting yang tercantum
dalam undang-undang ini, pertama, bahwa selain penyuluh pemerintah,
penyuluhan dapat dilakukan oleh sektor swasta, organisasi non pemerintah,
dan penyuluh swadaya.
Kedua, undang-undang ini mewajibkan
dibentuknya kelembagaan penyuluhan dari tingkat pusat sampai di tingkat
kecamatan. Kelembagaan di tingkat pusat berbentuk badan yang menangani
penyuluhan dan bertanggung jawab kepada menteri.
Kelembagaan
penyuluhan di tingkat provinsi berbentuk badan koordinasi penyuluhan dan
diketuai oleh gubernur. Kelembagaan penyuluhan di tingkat kabupaten/
kota berbentuk badan pelaksana penyuluhan, di tingkat kecamatan
berbentuk balai penyuluhan. Selain itu, juga ada kelembagaan penyuluhan
di tingkat desa/ kelurahan yang berbentuk pos penyuluhan desa/ dkelurahan
yang bersifat non struktural. Saat ini sebagian besar provinsi dan
kabupaten/ kota telah mempunyai kelembagaan penyuluhan sesuai yang
diamanatkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006. Sebanyak 32 dari 34

11

provinsi telah mempunyai kelembagaan penyuluhan pertanian berbentuk
badan koordinasi, dan sebanyak 342 kabupaten/ kota telah membentuk
badan pelaksana penyuluhan pertanian. Selain berbentuk badan pelaksana
penyuluhan, masih ada 171 kabupaten/ kota yang kelembagaan penyuluhan
masih bergabung dengan dinas pertanian.
Kelembagaan penyuluhan pertanian di Indonesia diperkuat oleh
69.723 tenaga penyuluh, yang terdiri dari 25.875 penyuluh pertanian
pemerintah, 19.052 orang Tenaga Harian Lepas – Tenaga Bantu Penyuluh
Pertanian (THL-TB PP) dengan pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, 2.365 THL-TB PP dengan pembiayaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, 21.343 penyuluh pertanian swadaya, dan
89 penyuluh pertanian swasta.

Penyuluh Pertanian
Rogers (2003) mengemukakan bahwa penyuluh merupakan seseorang yang
atas nama kelembagaan penyuluhan berkewajiban untuk mempengaruhi proses
pengambilan keputusan yang dilakukan sasaran penyuluhan dalam mengadopsi
inovasi.
Menurut Undang-undang Nomor 16
Tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, penyuluh adalah adalah
perorangan warga negara Indonesia yang melakukan kegiatan penyuluhan.
Penyuluhan di Indonesia dilakukan oleh penyuluh pertanian pemerintah, penyuluh
swasta dan penyuluh swadaya.
Tugas pokok penyuluh pertanian menurut Peraturan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: Per/02/Menpan/2/2008 meliputi:
1.
Melakukan kegiatan persiapan penyuluhan pertanian, meliputi identifikasi
potensi wilayah, memandu penyusunan rencana usaha petani, penyusunan
programa penyuluham pertanian, dan penyusunan rencana kerja tahunan
penyuluhan pertanian;
2.
Melaksanakan penyuluhan pertanian, meliputi penyusunan materi,
perencanaan
penerapan
metode
penyuluhan
pertanian,
dan
menumbuhkembangkan kelembagaan petani;
3.
Evaluasi dan pelaporan, meliputi evaluasi pelaksanaan penyuluhan
pertanian, dan evaluasi dampak pelaksanaan penyuluhan pertanian;
4.
Pengembangan penyuluhan pertanian, meliputi penyusunan pedoman/
petunjuk pelaksanaan/ petunjuk teknis penyuluhan pertanian, kajian
kebijakan pengembangan penyuluhan pertanian, dan pengembangan
metode/ sistem kerja penyuluhan pertanian;
5.
Pengembangan profesi, meliputi pembuatan karya tulis ilmiah di bidang
pertanian, penerjemahan/ penyaduran buku dan bahan-bahan lain di bidang
pertanian, dan pemberian konsultasi di bidang pertanian yang bersifat
konsep kepad institusi kepada institusi dan/ atau perorangan; dan
6.
Penunjang tugas penyuluhan pertanian, meliputi peran serta dalam seminar/
lokakarya/ konferensi, keanggotaan dalam tim penilai jabatan peran serta
dalam seminar/ lokakarya/ konferensi, keanggotaan dalam tim penilai
jabatan fungsional penyuluh pertanian, keanggotaan dalam dewan redaksi

12

penerbitan di bidang pertanian, perolehan penghargaan/ tanda jasa,
pengajaran/ pelatihan pada pendidikan dan pelatihan, keanggotaan dalam
organisasi profesi, dan perolehan gelar kesarjanaan lainnya.
Peran penyuluhan dalam penyelenggaraan lebih mengarah pada perubahan
berencana. Boyle (1981) dalam Nuryanto (2008) mengemukanan bahwa
perubahan berencana sebagai kegiatan yang disadari, sengaja dan bersama-sama
untuk meningkatkan suatu sistem sosial secara operasional, baik itu sistem sosial
sendiri, sistem sosial atau sistem kebudayaan melalui pemanfaatan pengetahuan
yang tepat. Perubahan yang diinginkan atau berencana harus diidentifikasi dan
ditentukan. Perubahan tersebut merupakan deskripsi dari kondisi yang ada antara
“what is” dan “what should be”, antara yang ada dan yang seharusnya ada.
Perubahan yang direncanakan tersebut membutuhkan peran penyuluh.
Levin dalam Nuryanto (2008), penyuluh mempunyai tiga peran utama, yaitu (1)
peleburan diri dengan masyarakat sasaran; (2) menggerakkan masyarakat untuk
melakukan perubahan berencana; dan (3) memantapkan hubungan sosial dengan
masyarakat sasaran. Selanjutnya Lippit dalam Nuryanto (2008), peran penyuluh
berkembang sebagai berikut: (1) mengembangkan kebutuhan untuk melakukan
perubahan berencana dengan tahapan (a) mengenal masalah dan kebutuhan sistem
sosial untuk mengadakan pembaruan; (b) menilai motivasi dan sumberdaya agen
pembaharuan; (c) menyeleksi tujuan-tujuan pembaharuan dengan tepat; (d)
memilih tipe peran dan bantuan yang akan dimainkan dengan tepat, (2)
menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan dengan melakukan
tindakan: (a) membina hubungan baik dan kerjasama terus menerus dengan
masyarakat sasaran dan tokoh formal dan tokoh informal; (b) dengan tokoh
masyarakat bersama-sama merencanakan upaya perubahan sesuai dengan tahaptahap pembangunan pertanian jangka panjang; dan (c) mampu menyumbangkan
pengetahuan dan keahlian sebagai tenaga professional dalam membangun
khalayak sasaran di wilayahnya.
Mosher dalam Mardikanto (1996) mengemukakan bahwa seorang penyuluh
harus mampu melakukan peran ganda, yaitu (1) sebagai guru, artinya penyuluh
harus terampil menyampaikan inovasi untuk mengubah perilaku sasaran; (2)
sebagai analisator, artinya penyuluh harus mempunyai keahlian untuk melakukan
pengamatan terhadap keadaan, masalah, dan kebutuhan masyarakat sasaran serta
mampu memecahan masalah petani; (3) sebagai konsultan, artinya penyuluh harus
terampil dan ahli untuk memilih alternatif perubahan yang paling tepat, yang
secara teknis dapat dilaksanakan, secara ekonomi menguntungkan, dan dapat
diterima oleh nilai-nilai budaya setempat, dan (4) sebagai organisator, artinya
penyuluh harus mempunyai keahlian dan ketrampilan untuk menjalin hubungan
yang baik dengan segenap lapisan masyarakat, mampu menumbuhkan kesadaran
dan menggerakkan partisipasi masyarakat, mampu berinisiatif bagi terciptanya
perubahan-perubahan, dapat memobilisasi s