Komunitas arkaea metanogen dan emisi gas metana (CH4) di lahan sawah yang diberi pupuk hayati bakteri metanotrof

KOMUNITAS ARKAEA METANOGEN DAN EMISI GAS
METANA (CH4) DI LAHAN SAWAH YANG DIBERI
PUPUK HAYATI BAKTERI METANOTROF

ASRIANTO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul komunitas arkaea
metanogen dan emisi gas metana (CH4) di lahan sawah yang diberi pupuk hayati
bakteri metanotrof adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Asrianto
NIM G351120071

RINGKASAN
ASRIANTO. Komunitas arkaea metanogen dan emisi gas metana (CH4) di lahan
sawah yang diberi pupuk hayati bakteri metanotrof. Dibimbing oleh IMAN
RUSMANA dan NISA RACHMANIA MUBARIK.
Gas metana menjadi salah satu gas rumah kaca (GRK) di lahan sawah yang
berkontribusi dalam pemanasan global. Metana memiliki daya absorbsi yang jauh
lebih besar dari karbon dioksida. Lahan sawah merupakan lingkungan khas bagi
dua komunitas prokariotik yaitu arkaea metanogen di daerah yang anerob dan
bakteri metanotrof di daerah aerob. Arkaea metanogen merupakan
mikroorganisme yang memiliki kemampuan metanogenesis. Metabolisme arkaea
metanogen dapat merubah karbon dioksida, asam format, asetat, metanol,
metilamin dan karbon monoksida menjadi metana sedangkan bakteri metanotrof
dapat menggunakan metana sebagai sumber karbon dan energi. Analisis
kelimpahan arkaea metanogen di lahan sawah menjadi penting guna
menghubungkan dengan emisi metana yang dilepaskan. Metode kultur tidak

efektif untuk menginvestigasi mikroorganisme sehingga diperlukan pendekatan
studi metagenomik. Salah satu studi metagenomik yang digunakan adalah
Polymerase Chain Reaction Denaturing gradient Gel Electrophoresis (PCRDGGE). PCR-DGGE dapat memperlihatkan struktur dan suksesi komunitas di
suatu lingkungan.
Penelitian diawali dengan pengambilan tanah sawah yang telah diberi
perlakuan yaitu metode celup dan sebar (200 kg NPK/ha) serta kontrol (300 kg
NPK/ha). Sebelum penanaman metode celup didahului dengan perendaman benih
dalam kultur bakteri metanotrof selama ± 15 menit. Pengukuran gas dilakukan
untuk mengestimasi fluks metana di lahan petak penelitian. Tanah yang sudah
diambil kemudian dilakukan ekstraksi DNA menggunakan PowerSoil®DNA
Isolation Kit. Hasil ekstraksi diamplifikasi dengan primer gen 16S rRNA 0357FGC Clamp dan 0915aR. Produk PCR di migrasi pada gel poliakrilamida 6%
dengan gradien 40-56%. Pita yang muncul pada gel poliakrilamid dipotong dan
diamplifikasi ulang dengan primer tanpa GC - clamp. Produk PCR dikirim untuk
disekuensing.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa fluks emisi metana pada metode celup
bernilai negatif yang berarti ada serapan metana oleh aktivitas bakteri metanotrof.
Pengunaan bakteri metanotrof efektif mereduksi metana di lahan sawah.
Keragaman arkaea metanogen menggunakan primer 0357F dan 0915aR
cenderung tidak memperlihatkan variasi pita yang banyak. Profil DGGE hanya
menampakkan dua pita setiap petak perlakuan dan waktu pengamatan. Pita hasil

DGGE MIR 1 memiliki tingkat kemiripan 82% dengan Ignisphaera aggregans
galur AQI.S1 sedangkan MIR 2 82% dengan Methanosarcina barkeri galur MS.

Kata kunci: Arkaea metanogen, biofertilizer, DGGE, gen 16S rRNA.

SUMMARY
ASRIANTO. Methanogenic archaea community and methane emissions in rice
fields applied by methanotrophic biofertilizer. Supervised by IMAN RUSMANA
and NISA RACHMANIA MUBARIK.
Methane is one of the green house gases emited from rice fields that
contribute to global warming. In fact, methane has greater global warming
potency than that of carbon dioxide. Rice fields are a typical environment for two
procaryote communities related to methane methabolism i.e. methanogenic
archaea in anaerobic area and methanotrophic bacteria in aerobic area.
Methanogenic archaea have ability to perform methanogenesis. Methanogenesis
metabolic can transform carbon dioxide, formic acid, acetate, methanol,
methylamine and carbon monoxide into methane whereas methanotrophic bacteria
can use methane as carbon dan energy sources. Analysis the abundance of
methanogenics archaea in rice fields is important related to methane emissions.
Culture method can not investigated all microb in the environment due to

unculture microbes so it is necessary to use metagenomic study to figure out
microbial diversity in the enviroment. One method for metagenomic study is
Polimerase Chain reaction Denaturing gradient Gel Electrophoresis (PCR-DGGE).
PCR-DGGE can determine structure and succession of microbial community in
the environment.
The study was began by sampling soil samples that had been treated i.e
soaking and spreading method (200 kg NPK/ha), control (300 kg NPK/ha). Soak
ing method was preceded by a process soaking the seeds in bacterial cultured of
methanotrophs for 15 minutes. Gas measurements was conducted to estimate the
methane flux in rice fields. Soil samples were extracted of their DNA using
PowerSoil® DNA Isolation Kit. Amplification the 16S rRNA gene using primers
0357F-GC and 0915aR. PCR products were migrated on 6% polyacrylamide gel
with a gradient denaturant of 40 – 56%. DNA bands appeared on polyacrylamide
gel were cut using scalpel and re-amplified using the primers without GC - clamp.
PCR products were then sequenced.
The results showed that fluxes of methane emissions were negative, it
means that methane was utilized by methanotrophic activities. Methanotrophic
bacteria reduced methane emission efectively in rice fields. The diversity of
methanogenic archaea determined using primers 0357F-GC and 0915aR did not
show many bands. DGGE profiles revealed two bands for each plot treatment and

observation time. MIR 1 band had 82% similarity to Ignisphaera aggregans strain
AQI.S1 16S while MIR 2 band was 82% similar with Methanosarcina
barkeri strain MS.
Keywords: Methanogenic archaea, biofertilizer, DGGE, 16S rRNA gene

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KOMUNITAS ARKAEA METANOGEN DAN EMISI GAS
METANA (CH4) DI LAHAN SAWAH YANG DIBERI PUPUK
HAYATI BAKTERI METANOTROF

ASRIANTO


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Mikrobiologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji luar komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Aris Tjahjoleksono, DEA

Judul Tesis : Komunitas arkaea metanogen dan emisi gas metana (CH4) di lahan
sawah yang diberi pupuk hayati bakteri metanotrof
Nama
: Asrianto
NIM
: G351120071


Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Iman Rusmana, MSi
Ketua

Dr Nisa Rachmania M, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Mikrobiologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Anja Meryandini, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Segala puji penulis panjatkan kepada Allah atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam
penelitian ini ialah komunitas arkaea metanogen dan emisi gas metana (CH4) di
lahan sawah yang diberi pupuk hayati bakteri metanotrof. Penelitian ini didanai
dari DIKTI melalui Hibah Kompetensi tahun 2014 kepada ketua pembimbing.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Iman Rusmana MSi dan
Ibu Dr Nisa Rachmania Mubarik MSi selaku pembimbing, serta Dr Ir Aris
Tjahjoleksono, DEA selaku penguji yang telah banyak memberi saran. Penulis
sampaikan terimah kasih kepada seluruh dosen program studi mikrobiologi atas
dedikasi, inspirasi dan ilmunya. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada orangtua tercinta (La Udi Lopa dan Wa Heto) dan Istriku tersayang
Rahmatia Sahila, S.Pd serta seluruh keluarga (Alimanisa, Herdianti, Alwi Misran,
Citra Lestari, Muhammad Sahidin S.KM, Rahmaniar, A.Md, Rahmawati, S.Pi,
Hartini, S.Pd) atas segala doa dan dukungannya.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada rekan–rekan seperjuangan:

Fachruddin, Abu Ayyub Dustan, Garuda, Ikbal, Mustamin, La Ode Huli dan
Jumadin, rekan rekan Mikrobiologi 2012 terkhusus Hari Kapli, Muh. Habibullah,
Arif Rahman Jabal, Randi, Mahyarudin, Nur Antriana, Wulan Fitri Safari,
Nezharia Nurza Harca, Anja Asmarani, Vita Aggun Cahyani, Dina, Mona
Primanita), Laboran Lab. Bakteriologi (Pa’ Jaka), rekan-rekan yang tergabung
dalam IR CREW (Iman Rusmana Crew) dan rekan-rekan Forum Wacana Sultra
atas dukungan, saran dan bantuan sehingga saya dapat menyelesaikan karya
ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2015
Asrianto

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
2
2

TINJAUAN PUSTAKA
Emisi Metana di Lahan Sawah

Komunitas Metanogen dan Metanotrof
Metagenomik

2
2
2
6

METODE
Alat dan Bahan
Prosedur Penelitian
Sampling Tanah dan Pengukuran Gas Metana
Ekstraksi Total DNA
Amplifikasi Fragmen gen 16S rRNA
Komposisi Denaturing Gradient Gel Electrophoresis (DGGE)
Determinasi dan Pembuatan Pohon Filogeni

7
7
8
8
8
8
9
9

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan

9
9
13

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

17
17
17

DAFTAR PUSTAKA

17

LAMPIRAN

23

RIWAYAT HIDUP

29

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Perbedaan arkaea metanogen dan bakteri metanotrof
Karakteristik beberapa arkaea metanogen
Runutan sekuen primer gen 16S rRNA
Konsentrasi dan purifikasi DNA
BLAST sekuen hasil PCR

4
5
8
10
12

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

Skema produksi, oksidasi dan emisi metana di lahan sawah
Fluks metana tanaman padi pada 26 HST, 47 HST, dan 96 HST
Hasil amplifikasi menggunakan gen 16S rRNA arkaea metanogen
Hasil profil DGGE gen 16S rRNA
Hasil amplifikasi ulang pita hasil DGGE
Pohon filogeni arkaea metanogen di lahan sawah Sukabumi

3
10
11
11
12
13

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Media tumbuh bakteri metanotrof
Hasil uji tanah
Sistem klasifikasi jenis tanah
Runutan basa BLAST-N pita MIR 1
Runutan basa BLAST-N pita MIR 2

23
24
25
26
27

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lahan Sawah merupakan kegiatan antropogenik di sektor pertanian yang
menjadi salah satu sumber terjadinya pemanasan global yang mengemisikan
metana (CH4), dan dinitrooksida (N2O). Lahan sawah melepaskan emisi metana
ke atmosfer kira–kira sebesar 15% dari total emisi global (IPCC 1994). IPCC
(2007) melaporkan kontribusi metana terhadap pemanasan global menempati
urutan kedua setelah karbondioksida. Kemampuan metana untuk meningkatkan
suhu bumi sangat tinggi, hal ini karena kapasitas absorbsi sinar infra merah per
molekul 25 kali lebih besar dibandingkan karbondioksida (Lelieveld et al. 1993;
Hanson dan Hanson 1996).
Tanah sawah merupakan salah satu daerah khas, lingkungan aerobik
dihuni oleh komunitas bakteri metanotrof dan lingkungan anerobik, umumnya
didominasi oleh komunitas arkaea yang memiliki kemampuan metanogenesis
(Adachi 2011). Proses perubahan metana terdapat dua mekanisme alamiah yaitu,
pertama, reaksi metana dengan radikal OH di lapisan troposfera. Kedua, oksidasi
oleh bakteri metanotrof di daerah rhizosfer. Sehubungan dengan proses oksidasi
metana, Conrad dan Rothfus (1991) melaporkan oksidasi metana oleh bakteri
metanotrof di lahan sawah dapat mencapai 80%. Hal ini menjadi sebuah
pendekatan baru yang strategis sebagai upaya mitigasi emisi metana di lahan
sawah dengan memanfaatkan bakteri metanotrof yang secara alami mampu
menggunakan metana sebagai sumber karbon juga mampu melakukan fiksasi
nitrogen karena memiliki gen nifH dan nifD (Dedysh et al . 2004). Pingak (2013)
melaporkan bahwa aplikasi pupuk hayati yang terdiri atas konsorsium bakteri
metanotrof, efektif menurunkan emisi metana sekaligus meningkatkan produksi
gabah.
Eksplorasi menumbuhkan mikroorganisme dalam suatu media telah
banyak dilakukan dengan berbagai formula senyawa sintesis namun secara
kuantitas hanya 1% mikroorganisme yang dapat dikulturkan (Sekiguchi 2006;
Kellenberger 2001), sedangkan selebihnya 99% belum diketemukan formula ideal
untuk pertumbuhannya (Amann et al.1995; Cowan 2008). Untuk mengatasi
keterbatasan ini diperlukan metodologi yang efektif untuk menginvestigasi
kelimpahan mikroorganisme di suatu lingkungan. Metagenomik merupakan
sebuah pendekatan molekuler yang menganalisis DNA dari lingkungan (Chen dan
Pachter 2005) atau studi genomik mikroorganisme yang tidak dapat dikulturkan
(Schloss dan Handelsman 2003). Salah satu pendekatan metagenom yang
dilakukan ialah Polymerase Chain Reaction Denaturing Gradient Gel
Electrophoresis (DGGE). PCR-DGGE adalah teknik molekuler yang umum
digunakan untuk analisis cepat fingerprint komunitas, keragaman, dan dinamika
mikroorganisme di suatu lingkungan (Green et al. 2010). Prinsip sederhana
teknik molekular ini yaitu terjadi pemisahan fragmen DNA yang mempunyai
panjang sama, namun dengan sekuen pasangan basa yang berbeda, bahkan
perbedaan hanya satu pasang basa nukleotida, akan muncul sebagai pita pada
posisi yang berbeda di dalam gel poliakrilamid (Muyzer dan Smalla 1998).
Berdasarkan pemaparan diatas sehingga perlu sebuah kajian guna mengetahui

2
emisi metana melalui pemberian konsorsium bakteri metanotof keragaman arkaea
metanogen melalui pendekatan PCR-DGGE.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efektivitas kombinasi bakteri
metanotrof, sebagai agen pereduksi metana (CH4) dan mengamati keragaman
komunitas arkaea metanogen melalui analisis PCR-DGGE.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mendapatkan informasi mengenai efektifitas
reduksi gas metana (CH4) dan keragaman komunitas arkaea metanogen di lahan
sawah, Desa Cidahu, Kecamatan Cicurug, Sukabumi.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini meliputi pengambilan sampel tanah sawah, pengukuran emisi
metana, ekstraksi DNA asal tanah sawah, amplifikasi DNA, analisis DGGE,
sekuensing, dan pembuatan pohon filogeni untuk melihat kekerabatan.

TINJAUAN PUSTAKA
Emisi Metana di Lahan Sawah
Fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun terjadi
kerena efek rumah kaca yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas
karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan kloroflouro karbon
(CFC) sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi.
Metana merupakan salah satu gas rumah kaca yang diemisikan oleh tanah
dari sumber biotik. Peningkatan emisi metana saat ini berada pada kisaran 30
hingga 40 Tg (1012 g) per tahun. Agar konsentrasi emisi metana global pada taraf
tersebut stabil, diperlukan pengurangan emisi metana atau peningkatan
penyerapan metana kira-kira pada jumlah yang sama dengan emisi metana yang
dikeluarkan. Salah satu situs yang memberi pengaruh terhadap emisi metan ialah
lingkungan akuatik seperti tanah sawah. Tanah sawah merupakan salah satu
daerah yang khas lingkungan aerobik dan anerobik tempat untuk arkaea
metanogen dan bakteri metanotrof (Adachi 2011). Lahan persawahan Indonesia
yang luasnya sekitar 10.9 juta hektar diduga memberi kontribusi sekitar 1% dari
total global metana (Setyanto 2006). Pada skala global, pemanfaatan lahan
pertanian telah berkontribusi sekitar 15-16% dari seluruh emisi gas rumah kaca
(Dalal et al. 2003). Emisi metana pada lahan sawah terjadi melalui tiga cara yaitu
ebulisi, difusi dan difusi melalui aerenkim tanaman (Gambar 1). Menurut

3
(Couwenberg 2009 di dalam Muna 2011) keberadaan aerenkim digunakan untuk
mendistribusikan oksigen ke zona akar sebagai bentuk adaptasi sistem
perakaran di tanah yang lembab. Keberadaan oksigen di zona perakaran
memungkinkan terjadinya oksidasi metana di zona tersebut. Pada saat yang
sama, metana yang ada di zona perakaran ditrasportasikan menuju atmosfer
dengan melewati zona aerob melalui jaringan aerenkim. Setyanto (2006)
tanaman padi berperan aktif sebagai media pengangkut metana dari lahan sawah
ke atmosfer lebih dari 90% diemisikan melalui jaringan aerenkim.

Gambar 1 Skema produksi, oksidasi dan emisi metan di lahan sawah (Mer dan
Roger 2001)

Komunitas Metanogen dan Metanotrof
Dilingkungan akuatik seperti tanah sawah, emisi metana ditentukan oleh
dua proses mikroorganisme yang berbeda, yaitu produksi metana oleh arkaea
metanogen dan konsumsi metana oleh bakteri metanotrof (Rudd dan Taylor 1980).
Kedua komunitas mikroorganisme ini memiliki ciri dan karakter yang berbeda
(Tabel 1).
Arkaea metanogen adalah mikroorganisme prokariotik filum
Euryarchaeota yang menghasilkan metana sebagai produk akhir metabolisme
Proses metabolism yang terjadi pada arkaea metanogen dapat mengubah karbon
dioksida, asam format, asetat, metanol, metilamin dan karbon monoksida menjadi
metana (Tabel 2) (Ciceron dan Oremland 1988). Arkaea metanogen menggunakan
asetat sebagai sumber karbon utama menghasilkan kira-kira 80% produksi metana,
sedangkan susbtrat lainnya seperti CO2 dan format berkontribusi 10-30%
(Achtrich et al. 1995; Chin dan Conrad 1995). Komunitas metanogen terdistribusi
luas di berbagai lingkungan tetapi hanya terbatas niches yang anaerob seperti usus
ruminansia, pencernaan manusia, sawah, danau, limbah, tempat pembungan
sampah, sumur minyak bahkan dapat hidup di habitat ekstrem seperti suhu,

4
salinitas, dan pH tinggi (Liu et al. 2008; Jones et al. 1987). Sebagian besar arkaea
metanogen bersifat termofilik, dapat berfungsi pada rentang suhu 20 – 40oC
bahkan pada suhu 98oC (Topp dan Pattey 1997).
Arkaea metanogen secara filogeni dibagi lima ordo, yaitu
Methanobacteriales, Methanococcales, Methanosarcinales, Methanophyrales, dan
Methanomicrobiales (Boone et al. 1993). Menurut Garcia (1990) kategori arkaea
metanogen berdasarkan gen 16S rRNA menjadi tiga kelompok : kelompok I yaitu
Methanobacterium and Methanobrevibacter, kelompok II yaitu Methanococcus,
serta kelompok III yaitu Methanospirillum dan Methanosarcina.
Tabel 1 Perbedaan arkaea metanogen dan bakteri metanotrof
Ciri
Bentuk sel
Reaksi gram
Klasifikasi
Dinding sel

Metanogen
Batang, kokus, spiral
gram +/Arkaeabakteria
Pseudomurein, protein,
heteropolisakarida,
Metabolisme
Anaerobik
Sumber karbon H2, CO2, H2+metanol;
dan energi
format; metilamin;
metanol, asetat
Produk katabolik
Siklus TCA

CH4 atau CH4 + CO2
Tidak kompleks

Isi GC mol %
Spesies

20 – 60
Methanobacterium bryanthii
Methanobrevibacter smithii
Methanomicrobium mobile

Metanotrof
Batang, kokus, vibrio
gram Eubakteria
Peptidoglikan
Aerobik
metana; metanol;
dimetil-eter, metil
format, dimetil
karbonat
CO2
Tidak kompleks (tipe I) atau
kompleks (tipe II) ribulosa
monofosfat
50 – 62.5
Methylosinus trichosporium
Methylomonas methanica
Methylocystis minimus

Dubey (2005)
Bakteri metanotrof adalah mikroorganisme aerob yang dapat tumbuh dan
berkembang menggunakan metana sebagai satu-satunya sumber energi. Oleh
karena itu, oksidasi metana hanya dapat terjadi pada lingkungan yang bersifat
aerob pada zona perakaran dan pada bagian yang bersifat aerob pada lapisan
permukaan tanah.
Whittenbury et al. (1981,1984) menggolongkan bakteri metanotrof ke
dalam lima genus berdasarkan perbedaan morfologi, tipe sel istirahat, struktur
membran intrasitoplasma, dan beberapa karakteristik fisiologis. Kelima genus
tersebut ialah Methylomonas, Methylobacter, Methylococcus, Methylosistis, dan
Methylosinus. Berdasarkan perbedaan lintasan asimilasi formaldehida dan
morfologinya, bakteri metanotrof digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu
metanotrof tipe I yang terdiri atas Methylomonas dan Methylobacter, serta tipe II
yang terdiri atas genus Methylosistis, dan Methylosinus. Bakteri metanotrof yang
belum termasuk kedua tipe tersebut digolongkan dalam metanotrof tipe X. Astuti
(2009) melaporkan isolasi bakteri metanotrof di lahan sawah, menggunakan

5
analisis gen 16S rRNA menunjukkan bahwa isolat BGM 1 dan BGM 3 memiliki
kemiripan dengan Methylocystis rosea (Metanotrof tipe II), BGM 2 dan BGM 9
memiliki kemiripan dengan Methylococcus capsulatus (Metanotrof tipe X), dan
SKM 14 memiliki kemiripan dengan Methylobacter sp. (Metanotrof tipe I).
Tabel 2 Karakteristik beberapa arkaea metanogen
Jumlah
Spesies

Substrat
Metanogenesis

DNA (mol% GC)

Methanobacteriales
Methanobacterium
Methanobrevibacter
Methanosphaera
Methanothermus

19
7
2
2

H2 + CO2, format
H2 + CO2, format
Metanol + H2
H2+CO2; dapat
mereduksi S0

29‒61
27‒31
26
33

Methanococcales
Methanococcus

11

H2+CO2,
piruvat+CO2,
format

29‒34

Methanomicrobiales
Methanomicrobium
Methanogenium

2
11

H2 + CO2, format
H2 + CO2, format

45‒49
51‒61

Methanospirillum
Methanocorpusculum

1
5

H2 + CO2, format
H2+CO2, format,
alkohol
H2+CO2, format,
alkohol

46‒50
48‒52

Ordo/Genus

Methanoculleus

54‒62

Methanosarcinales
Methanosarcina

8

H2+CO2, metanol,
metilamin, asetat

41‒43

Methanolobus

5

metanol,
metilamin

38‒42

Methanohalobium

1

metanol,
metilamin

44

Methanococoides

2

Methanohalophilus

3

Methanosaeta

4

Methanopyrales
Methanopyrus

1

Madigan et al. (2000)

42
metanol,
metilamin
metanol,
metilamin, metil
sulfida
asetat
H2+CO2;
hipertemofil,
tumbuh 110oC

41
52‒61

60

6
Metagenomik
Metagenomik merupakan pendekatan yang dapat diajukan sebagai solusi
untuk mengatasi keterbatasan pemetaan genom yang berbasis kultur.
Metagenomik dikembangkan dengan pendekatan pengumpulan informasi genetik
dari total DNA mikroorganisme yang berasal dari sampel lingkungan, termasuk
dari lingkungan yang ekstrem, tanpa melalui tahap kultur terlebih dahulu.
Menurut Patrick dan Handelsman (2005) metagenomik merupakan analisis tanpa
pengkulturan dari campuran genom mikroorganisme. Upaya analisis
metagenomik memerlukan penanda molekuler baik universal maupun penanda
yang spesifik. Beberapa gen telah digunakan sebagai penanda molekuler bagi
kelompok prokariot dan yang paling banyak digunakan ialah gen penyandi 16S
rRNA. Stackebrandt dan Goebel (1995) melaporkan gen 16s rRNA bersifat
ubikuitus dengan fungsi yang identik pada seluruh organisme sehingga dapat
digunakan sebagai penanda molekuler. Gen ini mengkode RNA ribosomal pada
subunit kecil ribosom dan memiliki urutan nukleotida yang khas. Perkembangan
teknologi molekuler dalam menganalisis ekologi bakteri, dengan menggunakan
sekuen gen 16S rRNA sebagai marker molekular untuk mengidentifikasi
mikroorganisme telah mengubah persepsi tentang keragaman komunitas bakteri.
Gen 16S rRNA memiliki sembilan region (V1–V9) yang memiliki ukuran
panjang basa yang berbeda-beda.
Beberapa teknik berbasis metagenomik yang digunakan untuk menganalisis
keanekaragaman mikroorganisme ialah Low Molecular Weight (LMW),
Denaturing Gradient Gel Electrophoresis (DGGE), Temperature Gradient Gel
Electrophoresis (TGGE), Fluorescent in-situ Hybridization (FISH), Terminal
Restriction Fragment Length Polymorphism (TRFLP) dan Amplified Ribosomal
DNA Restriction Analysis (ARDRA), dan Single Stranded Conformation
Polymorphism (SSCP) (Höfle 1998; Muyzer et al. 1993; Amann et al. 1990; Liu
et al. 1997; Smit et al. 1997; Schwieger dan Tebbe 1998). DGGE pertama kali
dilakukan untuk menganalisis sampel air danau (Ovreas et al. 1997) kemudian
dikembangkan untuk meneliti keragaman komunitas mikroorganisme. Variasi
sekuen di antara gen 16S rRNA dari bakteri yang berbeda-beda memberikan
sifat ”melting” yang berbeda, sehingga molekul-molekul DNA yang bervariasi
sekuennya tersebut dapat dipisahkan dengan menggunakan elektroforesis gel
poliakrilamid yang mengandung gradien denaturan DNA yang bertambah secara
linear. Prinsip penggunaan DGGE yaitu terjadi pemisahan fragmen DNA yang
mempunyai panjang sama, namun dengan sekuen pasangan basa yang berbeda
bahkan perbedaan hanya satu pasang basa nukleotida, akan muncul sebagai pita
pada posisi yang berbeda di dalam gel poliakrilamid (Muyzer dan Smalla 1998).
DNA yang diisolasi dari campuran spesies mikroorganisme yang berbeda
diamplifikasi menggunakan primer universal untuk suatu kelompok organisme
yang disisipi dengan susunan GC berulang (sepanjang 40 basa, yang disebut GCclamp). GC-clamp ini berfungsi sebagai penjepit rantai ganda DNA sehingga
tidak terpisah menjadi rantai tunggal pada saat dielektroforesis pada gel yang
mengandung zat pendenaturasi (Muyzer et al. 1993).

7

METODE
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain benih padi Varietas
Ciherang, pupuk NPK dan pupuk hayati dengan kombinasi isolat bakteri
metanotrof yaitu BGM 1, BGM 5, BGM 9, dan SKM 14 (Hapsari 2008).
Prosedur Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan tiga perlakuan yaitu: Kontrol
(300 kg/ha NPK), Celup (Pupuk hayati + 200 kg/ha NPK) dan Sebar (Pupuk
hayati + 200 kg/ha NPK). Metode celup didahului dengan proses perendaman
benih dalam kultur konsorsium bakteri metanotrof selama ± 15 menit sedangkan
metode sebar hanya menyebarkan atau menyiramkan kultur bakteri di sekitar
petak. Peremajaan isolat bakteri dilakukan dengan menumbuhkan kembali isolat
bakteri sesuai dengan media tumbuhnya. Isolat bakteri metanotrof diremajakan
pada media agar – agar Nitrate Mineral Salt (NMS) + 1% metanol (Lampiran 1).
Masing-masing biakan kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 3–7 hari.
Bakteri-bakteri hasil peremajaan dikulturkan dalam media cair sesuai jenisnya.
Kultur kemudian diinkubasi selama 5–7 hari pada penangas bergoyang dalam
suhu ruang (± 37oC).
Sampling Tanah
Sampel tanah dikoleksi pada bulan Juni – September 2013 di sawah Desa
Cidahu, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Analisis
molekuler dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, FMIPA
dan Labaratorium Terpadu, Institut Pertanian Bogor (IPB). Tanah untuk keperluan
ekstraksi diambil menggunakan syringe ukuran 10 mL pada 26 HST, 47 HST dan
96 HST. Analisis karakteristik fisik dan kimiawi tanah diambil dari setiap petak
lokasi petak perlakuan, sebanyak ±1000 gram kemudian dikirim ke Balai
Penelitian Tanah, Bogor.
Pengukuran Emisi Gas Metana
Gas dikumpulkan dengan menggunakan sungkup statis tertutup pada
tanaman padi. Sampel gas sebanyak 100 mL diambil dengan menggunakan
syringe dan dimasukkan ke dalam tabung kosong. Sampel gas diambil pada saat
setelah penyungkupan (t0), dan 3 jam (t3) setelah penyungkupan. Sampel gas
kemudian dianalisis menggunakan kromatografi gas di Balai Penelitian
Lingkungan Pertanian, Jakenan, Pati, Jawa Tengah.

8

Ekstraksi Total DNA
Ekstraksi DNA dilakukan dengan menggunakan PowerSoil® DNA Isolation
Kit (Mobio Laboratories, Carlsbad,CA, USA). Prosedur ekstraksi mengikuti
protokol yang direkomendasikan oleh produsen. DNA hasil ekstraksi diukur
konsentrasi dan kemurniannya dengan teknik spektrofotometri menggunakan
Nano drop 2000 (Thermo Scientific,Wilmington, DE, USA). Di samping itu,
DNA hasil ekstraksi dan amplifikasi dicek dengan cara elektroforesis pada gel
agarosa dalam Tris-Acetic acid-EDTA (TAE) 1X (1% agarosa untuk DNA
genom; 1.5% agarosa untuk DNA amplikon). Elektroforesis dilakukan pada
tegangan 80 volt selama 1 jam. Pita DNA hasil elektroforesis diwarnai
menggunakan etidium bromide selama ± 15 menit. Selanjutnya gel diamati UV
Transiluminator dan Gel Doc.Untuk keperluan dokumentasi dengan menggunakan
G : BOX (Syngene, Frederick, MD, USA).
Amplifikasi Fragamen Gen 16s rRNA
Amplifikasi gen 16S rRNA dilakukan menggunakan GoTaq Green Master
Mix (Promega, Madison, WI, USA). Komponen reaksi PCR dilakukan dengan
total volume 25 µL terdiri atas masing–masing 1.5 µL primer forward dan reverse
(10 pmol µL), 13 µL GoTaq® DNA Polymerase, 4 µL DNA sebagai cetakan, dan
Nuclease-Free Water. Kondisi PCR yang digunakan yaitu denaturasi awal pada
suhu 95 oC selama 2 menit, diikuti denaturasi pada suhu 95 oC selama 1 menit,
penempelan primer pada suhu 63 oC selama 1 menit, perpanjangan primer pada
suhu 72 oC selama 1 menit, dan pemanjangan akhir pada suhu 72 oC selama 5
menit. Amplifikasi dilakukan sebanyak 30 siklus. Amplifikasi menggunakan
Perkin Elmer (Gene PCR System 2400). Runutan primer yang digunakan untuk
amplifikasi gen 16S rRNA arkaea metanogen tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3 Runutan sekuen primer gen 16S rRNA
Primer
0357F*
0915aR

Sekuen
5’- CCCTACGGGGCGCAG CAG -3’
5’- GTGCTCCCCCGCCAATTCCT-3’

*Sekuen GC-Clamps CGCCCGCCGCGCGCGGCGGGCGGGGCGGGGGCACGGGGGG
(Watanabe 2004) dihibridisasi pada ujung 5’ primer forward.

Komposisi Denaturing Gradient Gel Electrophoresis (DGGE)
DGGE dilakukan dengan menggunakan alat D Code Universal Mutation
Detection System (Bio-Rad, Hercules, CA, USA). Sebanyak 30 µL (20 µL produk
PCR + 5 µL Loading Dye) dimigrasikan pada 1 mm gel poliakrilamid 6%
(Akrilamid-Bisakrilamid [37.5:1]) dalam 7 L TAE 1X (40mM Tris, 20mM asam
asetat, dan 1mM EDTA) menggunakan urea sebagai denaturan dengan gradien
denaturan 40 – 56% (100%) denaturan dibuat dengan 7M Urea dan 40% (v/v)
formamida). Migrasi dilakukan dengan pada suhu 60ºC, tegangan 150 volt selama
6 jam. Gel direndam dan diwarnai dengan SYBR Safe (Invitrogen-Molecular

9
Probes, Carlsbad, CA, USA) selama ± 1 jam. Visualisasi gel dilakukan dengan
menggunakan G:BOX (Syngene, Frederick, MD, USA). Pita DNA pada gel
DGGE dipotong menggunakan scalpel steril. Potongan gel direndam dalam
tabung mikro berisi 100 µL aqua bidestillata steril, dilanjutkan dengan inkubasi
pada suhu 37oC selama ± 2 jam, kemudian disimpan pada suhu 4oC (Bodelier et al.
2005). Sebanyak 10 µL DNA hasil elusi digunakan sebagai cetakan untuk reaksi
nested PCR. Amplifikasi dilakukan menggunakan primer dan kondisi PCR yang
sama dengan sebelumnya tetapi tanpa GC-clamp. DNA amplikon kemudian
dikirim ke perusahaan jasa sekuensing.
Determinasi dan Pembuatan Pohon Filogeni
Sekuen yang diperoleh dibandingkan dengan sekuen yang tersedia di
NCBI (http://www.ncbi.nlm.nih.gov). Database sekuen gen 16s rRNA yang
diperoleh dari penelitian dideterminasi menggunakan program Basic Local
Alignment Search Tool Nucleotide (BLAST- N). Aligment sekuen dan konstruksi
pohon filogeni menggunakan piranti lunak program Mega 5.2.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Karakteristik tanah
Tanah pada petak perlakuan kontrol pada 26 HST waktu pengambilan
sampel tersusun dari 10% pasir, 43% debu dan 47% liat. Tanah pada petak
perlakuan celup pada 26 HST tersusun dari 16% pasir, 33% debu dan 51% liat.
Tanah pada petak perlakuan sebar pada 26 HST tersusun 18% pasir, 38% debu
dan 48% liat. Petak kontrol, celup, dan sebar memiliki kisaran pH yang relatif
sama, yaitu masing-masing 5.3, 5.3 dan 5.1. Kandungan karbon dari petak kontrol,
celup, dan sebar secara berurutan ialah 1.97%, 1.81%, dan 1.91%. Kandungan
nitrogen dari petak kontrol, celup, dan sebar secara berurutan ialah 0.17%, 0.17%
dan 0.14%. Rasio C/N dari tiap petak ialah 12, 11 dan 14. (Lampiran 2).
Emisi metana
Hasil analisis gas menunjukkan terdapat perbedaan antara tiga perlakuan
kontrol, metode celup dan metode sebar (Gambar 2). Berdasarkan analisis fluks
metana (CH4) tertinggi secara berurutan terdapat pada perlakuan sebar pada 47
HST, sebar 96 HST, kontrol 47 HST, celup 96 HST dan kontrol 47 HST dengan
emisi masing–masing 4.69 mg/m2/jam, 1.67 mg/m2/jam, 1.30 mg/m2/jam dan 0.26
mg/m2/jam. Metode celup, sebar dan kontrol juga bersifat negatif. Nilai yang
paling rendah yaitu pada metode celup 26 HST dan 47 HST yaitu masing–masing
-144.59 mg/m2/jam dan -0.15 mg/m2/jam. Nilai negatif juga terdapat pada
perlakuan kontrol 96 HST sebesar – 0.46 mg/m2/jam.

10

Fluks CH4 (mg/m2/jam)

6
4
2
0
-2

Kontrol

-4

Celup

-6

Sebar

-8
-144
-10
26 HST

47 HST

96 HST

Gambar 2 Fluks metana pada tanaman padi pada 26 HST, 47 HST, dan 96 HST
Ekstraksi dan amplifikasi DNA
DNA ekstraksi menunjukkan hasil yang bervariasi berkisar 13 ~ 44 ng/µL
(Tabel 4). Konsentrasi DNA tertinggi diperoleh pada perlakuan metode celup dan
sebar 96 HST sekitar 44 ng µL. Sedangkan konsentrasi DNA terendah diperoleh
pada perlakuan kontrol 96 HST sekitar 13 ng/µL. Sementara yang lainya
menunjukan konsentrasi yang sama berkisar 33 ng/µL.
Tabel 4 Konsentrasi dan purifikasi DNA
Sampel tanah
Kontrol
Celup
Sebar
Kontrol
Celup
Sebar
Kontrol
Celup
Sebar

Hari Setelah
Tanam (HST)
26
26
26
47
47
47
96
96
96

DNA konsentrasi
[ng/µL]
35.7
32.8
33.5
33.1
33.3
25.2
13.0
44.9
44.9

A260/280
1.96
1.98
1.97
1.91
1.95
1.98
2.16
1.93
1.97

Hasil amplifikasi menggunakan gen 16S rRNA arkaea metanogen
menunjukkan ukuran fragmen berada pada kisaran 500 dan 600 pb pada posisi
Marker. Ukuran amplikon tersebut sesuai dengan ukuran fragmen yang diinginkan
yaitu 558 pb (Gambar 3).

M

a

b

c

d

e

f

g

h

i

11

558 pb

Gambar 3 Hasil amplifikasi menggunakan primer gen 16S rRNA arkaea
metanogen. Sumur dari kiri ke kanan: marker 100 bp, (a) kontrol 26
HST, (b) celup 26 HST, (c) sebar 26 HST, (d) kontrol 47 HST, (e)
celup 47 HST, (f) sebar 47 HST, (g) kontrol 96 HST, (h) 96 HST, (i)
sebar 96 HST
Profil DGGE
Profil DGGE menunjukkan keseragaman pita pada setiap perlakuan.
Pembeda antara perlakuan adalah ketebalan pita (Gambar 4). Pita yang tebal
terlihat pada lajur perlakuan celup 26 HST pita 1 dan 2, sebar 26 HST pita 1 dan
2, perlakuan kontrol 47 HST pita 1 dan 2, metode celup pita 1, metode sebar pita 1,
perlakuan kontrol 96 HST pita 1 dan 2 dan metode celup pita 1 dan 2. Pita yang
tipis terlihat terlihat pada lajur perlakuan kontrol 26 HST pita 1 dan 2, metode
celup dan sebar 47 HST pita 2 dan metode sebar 96 HST pita 2.
a b c

d e f

g h i

a

b

c

d

e

f

g h

i

Gambar 4 Hasil profil DGGE gen 16S rRNA. Kiri: Foto dari G:BOX dan Kanan:
Interpretasi. Sumur dari kiri ke kanan: (a) kontrol 26 HST, (b) celup 26
HST, (c) sebar 26 HST, (d) kontrol 47 HST, (e) celup 47 HST, (f) sebar
47 HST, (g) kontrol 96 HST, (h) 96 HST, (i) sebar 96 HST

12

Posisi pita yang sama pada profil DGGE dicukupkan dengan mengelusi 2
pita yang tebal. Hasil elusi digunakan sebagai cetakan untuk melakukan
amplifikasi ulang dengan primer yang sama tanpa GC-clamp. Dua pita DGGE
yang dipotong berhasil diamplifikasi ulang dan menunjukkan fragmen yang
diharapkan memiliki ukuran target 558 pb (Gambar 5).
M

a

b

Gambar 5 Hasil amplifikasi ulang pita hasil DGGE. Primer yang digunakan
tampa GC Clamp dengan marker 1 kb. Sumur dari kiri ke kanan:
marker 1 kb, pita 1, pita 2
BLAST dan pohon filogeni
Hasil BLAST dua pita produk PCR (Tabel 5) menunjukkan bahwa pita
MIR 1 memiliki kemiripan 82% dengan Ignisphaera aggregans (Lampiran 4),
pita MIR 2 kemiripan dengan Methanosarcina 82% (Lampiran 5).
Tabel 5 BLAST sekuen hasil PCR
Sampel Hasil Blast
MIR 1

MIR 2

Ignisphaera
aggregans galur
AQI.S1
Methanosarcina
barkeri galur MS

Total
Skor

Nilai E

Identitas

484

1e-136

82%

NR 043512.1

320

4e-87

82%

NR 074253.1

No. Akses

13
Konstruksi pohon filogeni menggunakan metode Neighbour Joining
dengan best model Tamura 3 Parameter dan nilai bootstrap 1000 kali.

Gambar 6 Pohon filogenetik arkaea metanogen dari DGGE di lahan sawah
Sukabumi. Sekuen yang diperoleh ditandai segitiga (▲)

Pembahasan
Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi keberadaan komunitas arkaea
metanogen dan bakteri metanotrof di dalam tanah. Dubey (2005) menjelaskan
emisi metana dari sawah dikendalikan oleh parameter yang kompleks dan
berhubungan dengan karakteristik fisik dan biologis tanah dengan praktek
budidaya yang spesifik. Berdasarkan kriteria dari USDA (1987), tanah perlakuan
kontrol termasuk kategori tanah lempung berdebu (Silty Clay) sedangkan
perlakuan celup dan sebar tergolong tanah liat (Clay) (Lampiran 3). Sass et al.
(1999) melaporkan emisi metana di tanah liat (Clay) sangat rendah. Menurut
Sulaeman et al. (2005) bahwa pH tanah pada semua perlakuan kontrol, celup dan
sebar tergolong masam. Kondisi tanah masam mempengaruhi aktivitas metabolik
arkaea metanogen.
Emisi metana
Emisi metana (CH4) pada masing-masing perlakuan relatif rendah, emisi
tertinggi hanya sebesar 4.69 mg/m2/jam. Ernawanto et al. (2003) melaporkan
bahwa fluks sistem penanaman padi walik jerami ialah 7.18 mgm-2jam-1
selanjutnya Suprihati et al. (2006) menunjukan bahwa tanaman padi sawah
menghasilkan fluks metana paling tinggi 7.4976 mgCm-2 jam-1. Fluks metana pada
penelitian ini bernilai positif dan negatif, nilai positif menunjukkan adanya emisi
yang menuju atmosfer sedangkan nilai negatif menunjukkan kemungkinan adanya
aktivitas metanotrof yang memanfaatkan metana yang dihasilkan oleh arkaea
metanogen. Dua hal yang menyebabkan emisi metana rendah yang menuju ke
atmosfer yaitu, pertama adanya aktivitas bakteri metanotrof lokal di setiap
perlakuan dan pemberian konsorsium isolat bakteri metanotrof yang diberikan
yang secara optimal mampu menyerap metana yang dihasilkan oleh aktivitas

14
metabolik arkaea metanogen. Isolat bakteri metanotrof sebelumnya telah diuji di
laboratorium. Rusmana dan Akhdiya (2009) serta Hapsari (2008) menunjukkan
bahwa isolat BGM 9 memiliki aktivitas mengurangi CH4 yang paling baik.
Selanjutnya Hanif (2010) melaporkan isolat SKM 14 memiliki aktivitas oksidasi
metan tertinggi. Kedua, rendahnya emisi metana ke atmosfer diduga aktivitas
arkaea metanogen yang kurang optimal. Fenomena ini didasarkan pada hasil
analisis pH tanah yang rendah yaitu rata-rata pH 5. Kondisi pH tanah