Status dan Pengelolaan Sumber Daya Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus Lowe, 1839) di Perairan Samudera Hindia.

STATUS DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA
IKAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus Lowe, 1839)
DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA

SITI NUR KHOTINI

MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Status dan
Pengelolaan Sumber Daya Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus Lowe, 1839)
di Perairan Samudera Hindia” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.


Bogor, Agustus 2015

Siti Nur Khotini
NIM C24110056

ABSTRAK
SITI NUR KHOTINI. Status dan Pengelolaan Sumber Daya Ikan Tuna Mata
Besar (Thunnus obesus Lowe, 1839) di Perairan Samudera Hindia. Dibimbing
oleh RAHMAT KURNIA dan YONVITNER.
Ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) merupakan salah satu ikan pelagis
besar di perairan Samudera Hindia dengan komposisi hasil tangkapan sekitar 23%
dari total tangkapan ikan pelagis besar yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan
Samudera (PPS) Cilacap. Tujuan penelitian ini adalah menentukan status kondisi
sumber daya ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) dan memberikan upaya
pengelolaan sumber daya ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) yang tepat dan
berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2014 hingga Maret
2015 yang berlokasi di PPS Cilacap. Hasil analisis menunjukkan bahwa status
ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) telah mengalami tangkap lebih secara
biologi dan ekonomi. Upaya pengelolaan yang dapat direkomendasikan adalah

mengatur upaya penangkapan dan penetapan kuota hasil tangkapan (kondisi
MEY), mengatur musim penangkapan dan daerah penangkapan, menjalankan
sistem insentif, dan membangun kerja sama antar stakeholder.
Kata kunci: Bieokonomi, Ikan tuna mata besar (Thunnus obesus), PPS Cilacap,
Samudera Hindia, Tangkap lebih

ABSTRACT
SITI NUR KHOTINI. Status and Management of Big Eye Tuna (Thunnus obesus
Lowe, 1839) Resources in The Indian Ocean. Supervised by RAHMAT
KURNIA and YONVITNER.
Big Eye Tuna (Thunnus obesus) is one of large pelagic fish in Indian Ocean
which composition about 23% from total fish catch was landed on PPS Cilacap.
PPS Cilacap is laid on the south coast of Java, which deal directly with the Indian
Ocean. The aim of this research is to find out the condition of Big Eye Tuna
(Thunnus obesus) resources and give recomendation for proper and sustainable to
its management. The research was conducted from Desember 2014 until March
2015 in PPS Cilacap. The analysis indicated that the Big Eye Tuna fishing has
been overexploited both biological and economical point of view. Management
effort that could be recommended to its management is fishing effort limitation,
regulation of fishing season and fishing area, performing incetives system, and

development cooperation among the stakeholder.
Keywords: Bioeconomic, Big Eye Tuna (Thunnus obesus), PPS Cilacap, Indian
Ocean, Overfishing

STATUS DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA
IKAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus, Lowe 1839)
DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA

SITI NUR KHOTINI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Manajemen Sumber daya Perairan

MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2015

PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga
Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Status dan Pengelolaan
Sumber daya Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus Lowe, 1839) di Perairan
Samudera Hindia.”. Skripsi ini disusun dan diajukan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Manajemen Sumber
daya Perairan , Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan untuk menempuh
studi kepada Penulis.
2. Beasiswa Bidik Misi Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan beasiswa
akademik selama 4 tahun ini kepada Penulis.
3. Inna Puspa Ayu, SPi MSi selaku komisi pembimbing akademik yang telah
memberi saran selama perkuliahan.
4. Dr Ir Rahmat Kurnia, MSi dan Dr Yonvitner, SPi MSi selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan masukan dan arahan dalam
menyelesaikan penulis skripsi ini.
5. Dr Ir Niken Tunjung Murti Pratiwi, MSi dan Ali Mashar, S.Pi M.Si selaku

Komisi Pendidikan Program S1 dan Dr Ir Etty Riani, MS selaku dosen penguji
yang telah memberikan arahan dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Kelurga; Siyam (Kakek), Saniyem (Nenek), Siswoyo dan Suprianto (Paman),
Sumaryani (Ibu), Supanderi (Bapak), Yuwono (Sepupu), Tera dan keluarga
(Orang Tua Angkat), serta seluruh keluarga yang telah memberikan doa, kasih
sayang, dan dukungan kepada Penulis baik moril maupun materil.
7. Pihak PPS Cilacap; Bu Eko, Mas Agung, Pak Taufik, Mas Ibnu, Mas Ikbal dan
seluruh tim lapangan yang telah membantu dalam pengambilan data.
8. Sahabat; Ilmy, Aisya, Meti, Poppy, Anisa, Rina, Fitri, Yulia, Gama, Nanda,
Annisa, Risma, Rosita dan MSP 48 atas doa, motivasi dan dukungannya.
9. Teman-teman; Selvia, Novita (MSP 46) dan Widyanti (MSP 47) yang telah
membantu dalam membimbing pengolahan data, Asrama A1 lorong 10, Wisma
Nusantara, Sangga Buana, Wisma Fahmeda lantai 2, seluruh Asisten dan
Laboran Lab. MOSI, Ekobio, Proling, dan seluruh civitas akademik dan non
akademik MSP atas doa, dukungan dan bantuannya.

Bogor, Agustus 2015
Siti Nur Khotini

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengumpulan Data
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
KESIMPULAN
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP


viii
viii
viii
1
1
1
2
2
2
3
4
8
8
15
20
20
21
24
47


vii

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8

Jenis dan sumber data penelitian
Mortalitas dan laju eksploitasi
Pendugaan MSY dan fMSY dengan pendekatan model Fox
Estimasi parameter biologi
Parameter ekonomi sumber daya ikan tuna besar
Perbandingan pola pertumbuhan di berbagai lokasi
Perbandingan parameter pertumbuhan di berbagai lokasi
Nilai mortalitas dan laju eksploitasi dari berbagai lokasi


4
11
13
14
14
15
16
17

DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir rumusan masalah
2 Peta lokasi penelitian
3 Penentuan panjang cagak (A-B) ikan tuna mata besar (Thunnus obesus)
4 Komposisi hasil tangkapan jenis ikan di PPS Cilacap
5 Komposisi hasil tangkapan ikan tuna mata besar (Thunnus obesus)
6 Hubungan panjang dan bobot
7 Kurva parameter pertumbuhan dengan model von Bertalanffy
8 Pergerakan nilai IMP
9 Hubungan hasil tangkapan dan upaya penangkapan

10 Kurva model bioekonomi

2
3
3
9
9
10
11
12
13
15

DAFTAR LAMPIRAN
1 Dokumentasi penelitian
2 Daftar pertanyaan (kuisioner) hasil penelitian
3 Prosedur perhitungan IMP dengan metode rata- rata bergerak
4 Poses penentuan model produksi surplus dan parameter biologi
5 Penentuan perhitungan kondisi pengelolaan model bioekonomi
6 Daerah Penangkapan Ikan Mata Besar (Thunnus obesus)

7 Pola pertumbuhan ikan tuna mata besar (Thunnus obesus)
8 Pendugaan parameter pertumbuhan
9 Pendugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi
10 Perhitungan Nilai IMP ikan tuna mata besar (Thunnus obesus)
11 Catch per Unit Effort ikan tuna mata besar (Thunnus obesus)
12 Model Produksi Surplus
13 Estimasi parameter biologi
14 Analisis bioekonomi

viii

24
26
29
30
33
34
35
36
37
38
39
40
45
46

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) merupakan bagian dari ikan pelagis
besar (Thunnus obesus) yang memiliki karakteristik oseanik. Sumber daya ikan
tuna mata besar (Thunnus obesus) memiliki nilai ekonomis penting dan banyak
tersebar hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia, salah satunya adalah
perairan Samudera Hindia. Ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) menjadi salah
satu komoditas unggulan dari sub sektor perikanan yang umum dikonsumsi baik
skala lokal maupun ekspor.
Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap, Kabupaten Cilacap,
merupakan salah satu pendaratan ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) yang
ditangkap dari Samudera Hindia. Kabupaten Cilacap memiliki posisi yang
berhadapan langsung dengan Samudera Hindia dengan panjang garis pantai 105
km. Keadaan tersebut menjadi keuntungan tersendiri bagi sektor perikanan,
terutama perikanan tangkap karena memiliki fishing ground yang luas.
Menurut data statistik perikanan PPS Cilacap (2014) produksi ikan tuna
mata besar (Thunnus obesus) sebesar 390,15 ton. Produksi ini menurun dua kali
lipat jika dibandingkan dengan tahun 2013 dan 58,75% pada tahun 2012. Hal ini
dapat mengindikasikan telah terjadi overfishing.
Berdasarkan hal ini
diperlukannya analisis tentang status dan pengelolaan sumber daya ikan tuna mata
besar (Thunnus obesus) agar keberadaan ikan tuna mata besar (Thunnus obesus)
tetap lestari.

Perumusan Masalah
Pemanfaatan yang terus–menerus menyebabkan timbulnya permasalahan
yang mengancam keberadaan sumber daya ikan tuna mata besar (Thunnus obesus)
tersebut di masa datang. Permasalahan yang mengancam keberadaan Kondisi ini
akan berdampak pada menurunnya pendapatan nelayan. Solusi mencegah
permasalahan yang timbul tidak terjadi secara terus-menerus, yaitu dibutuhkannya
suatu pengelolaan berbasis ekologi (MSY) dan ekonomi (MEY). Tujuan utama
dari kedua pengelolaan tersebut adalah lestarinya sumber daya ikan tuna mata
besar (Thunnus obesus). Berikut ini merupakan diagram alir rumusan masalah
dalam penentuan status dan upaya pengelolaan sumber daya ikan tuna mata besar
(Thunnus obesus) di perairan Samudera Hindia.

2

Upaya
meningkat

Produksi
menurun

Hasil
tangkapan
menurun

Status stok
dan upaya
pengelolaan

Keberlanjutan sumber
daya ikan tuna mata
besar (Thunnus
obesus)

Pendapatan
menurun
Gambar 1 Diagram alir rumusan masalah

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah menentukan status kondisi sumber daya ikan tuna
mata besar (Thunnus obesus) di perairan Samudera Hindia, dan memberikan
upaya pengelolaan untuk pemanfaatan sumber daya ikan tuna mata besar
(Thunnus obesus) secara tepat dan berkelanjutan.

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengambilan data primer dan sekunder dilakukan di PPS Cilacap, Jawa
Tengah (Gambar 2). Waktu pengambilan contoh ikan dilakukan pada bulan
Desember 2014 hingga Maret 2015 dengan interval waktu lebih kurang selama 30
hari. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2.

3

Gambar 2 Peta lokasi penelitian

Pengumpulan Data
Data yang diteliti terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer
berupa data panjang ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) yang berjumlah 1549
ekor dengan metode Penarikan Contoh Acak Sederhana (PCAS). Panjang ikan
tuna mata besar (Thunnus obesus) yang diukur adalah panjang cagak yaitu
pengukuran dari ujung mulut ikan sampai dengan pangkal ekor menggunakan alat
ukur panjang dengan skala terkecil 1 cm (Gambar 3). Pengukuran bobot
dilakukan di Jakarta, sehingga peneliti menggunakan pendekatan dengan metode
W = aLb berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Loka Penelitian Perikanan
Tuna, Benoa Bali (2012) in Jaenudin (2013) diperoleh untuk koefisien nilai a dan
b sebesar 0,00002 dan 2,9731.

Gambar 3 Penentuan panjang cagak (A-B) ikan tuna mata besar (Thunnus obesus)
Data sekunder yang diperlukan adalah data berkala (time series) dan
wawancara. Data sekunder diperoleh dari PPS Cilacap yang meliputi kondisi
umum PPS Cilacap, letak geografis dan topografis, hasil tangkapan (catch), upaya
tangkap (effort), dan musim penangkapan. Wawancara dilakukan secara
purposive sampling kepada nelayan longline. Jumlah nelayan yang diwawancara
adalah 32 responden. Salah satu indikator responden adalah memahami bahasa
Indonesia dalam berkomunikasi. Informasi yang diperoleh dari wawancara antara
lain rata–rata produksi hasil tangkapan per trip, rata–rata biaya operasi
penangkapan per trip, rata – rata pendapatan per trip, lama operasi penangkapan,

4

musim dan daerah penangkapan.
penelitian disajikan pada Tabel 1.

Informasi mengenai jenis dan sumber data

Tabel 1 Jenis dan sumber data penelitian
No. Data
Analisis Data
1.
Panjang ikan (P)
Hubungan panjang dan
bobot

2.

Panjang ikan (P)

Model von Bertalanffy
dan metode Pauly

3.

1. Panjang ikan (P)
2. Fekuensi ikan (P)
3. Selang kelas ikan
(P)
4. Nilai K, L∞, t0 (P)
CPUE (S)

Metode kurva tangkapan
yang dilinierkan
berdasarkan data
komposisi panjang

4.

5.

1. Produksi ikan tuna
mata besar
(Thunnus obesus)
(S)
2. Upaya
Penangkapan (S)
3. CPUE (S)
4. Harga ikan tuna
mata besar
(Thunnus obesus)
(S)
5. Biaya melaut (S)

Indeks Musim
Penangkapan (IMP)

1.Model Produksi Surplus
2.Analisis parameter
biologi
3.Analisis Bioekonomi

Tujuan
Menganalisis nilai b
dan pola
pertumbuhan ikan
tuna mata besar
(Thunnus obesus)
Menganalisis
parameter
pertumbuhan ikan
tuna mata besar
(Thunnus obesus)
Menganalisis laju
mortalitas dan
eksploitasi ikan
tuna mata besar
(Thunnus obesus)
Menganalisis pola
musim
penangkapan ikan
tuna mata besar
(Thunnus obesus)
Mengidentifikasi
model pengelolaan
yang tepat bagi ikan
tuna mata besar
(Thunnus obesus)

Keterangan: (P) = data primer; (S) = data sekunder

Analisis Data
Hubungan panjang bobot
Model pertumbuhan diasumsikan mengikuti pola hukum kubik dari dua
peubah yang dijadikan analisis, yaitu peubah panjang dan bobot. Analisis
hubungan panjang bobot masing-masing spesies ikan menggunakan formula
sebagai berikut (Effendie 2002):

5

L

(1)

W adalah bobot (kilogram), L adalah panjang (cm), a dan b adalah koefisien
pertumbuhan bobot. Nilai a dan b diduga dari bentuk linier persamaan di atas,
yaitu:
log

log

log L

(2)

Dugaan parameter a dan b diperoleh melalui analisis regresi linier sederhana
dengan log W sebagai y dan log L sebagai x, sehingga diperoleh persamaan
regresi:
yi

i

(3)

i

sebagai model observasi dan sebagai model dugaannya:
ŷ i

(4)

i

Konstanta b1 dan b0 masing-masing diduga dengan:
∑ni

i yi

y̅-

̅

∑ni

- ∑ni
n

i

- (∑ni
n

n
i ∑i

i)

yi

(5)

Dan
(6)

sedangkan a dan b diperoleh melalui hubungan a = 10 o dan b
1.
Pola hubungan panjang dan bobot dapat dilihat dari nilai konstanta
(sebagai penduga tingkat kedekatan hubungan kedua parameter) dengan hipotesis:
1
Bila H0:
3, ikan dikatakan memiliki hubungan isometrik (pola
pertumbuhan bobot sebanding pola pertumbuhan panjang).
2
Bila H0:
≠ 3, ikan dikatakan memiliki hubungan allometrik (pola
pertumbuhan bobot tidak sebanding pola pertumbuhan panjang).
Pola pertumbuhan allometrik ada dua macam, yaitu allometrik positif
( >3) yang mengindikasikan bahwa pertumbuhan bobot lebih
dominan dibandingkan dengan pertumbuhan panjang dan allometrik
negatif ( ttabel, maka hipotesis nol (H0) dapat
ditolak atau pola pertumbuhan ikan allometrik dan jika thitung < ttabel, maka
hipotesis nol (H0) gagal ditolak sehingga pola pertumbuhan ikan isometrik
(Walpole 1993).
Parameter pertumbuhan
Pendugaan parameter pertumbuhan (L∞ dan K) menggunakan program
FISAT (FAO-ICLARM Stock Assesment Tools) II versi 1.2.2 dengan metode
length frequency analysis bantuan ELEFAN I (Electronic Length-Frequency
Analysis). Pendugaan terhadap nilai t0 diperoleh melalui persamaan Pauly (1983)
in Sparre dan Venema (1999):
log (-t0) = -0,3922 – 0,2752 (logL∞) – 1,038 (logK)

(9)

Lt adalah panjang ikan pada saat umur t (cm), L∞ adalah panjang asimtotik
ikan (cm), K adalah koefisien laju pertumbuhan, t adalah umur ikan, dan t0 adalah
umur teoritik ikan pada saat panjang sama dengan nol.
Mortalitas dan laju eksploitasi
Konsep parameter pertumbuhan penting untuk diketahui guna pengelolaan
sumber daya perkanan selanjutnya. Parameter mortalitas ini meliputi mortalitas
alami dan mortalitas penangkapan (Sparre dan Venema 1999). Pendugaan nilai
mortalitas dan laju eksploitasi menggunakan program FISAT (FAO-ICLARM
Stock Assesment Tools) II versi 1.2.2 dengan metode length frequency analysis
bantuan Mortality Estimation. Mortality Estimation ini untuk mengetahui laju
mortalitas alami (M) dan mortalitas total (Z).
Laju mortalitas alami (M) dapat diduga dengan menggunakan rumus
empiris Pauly (1983) in Sparre dan Venema (1999) sebagai berikut :
M = 0,8 e (-0,0066 – 0,

79(lnL∞)

,6543(lnK

,4634(lnT))

(10)

M adalah mortalitas alami (per tahun), L∞ adalah panjang asimtotik pada
persamaan pertumbuhan von Bertalanffy (cm), K adalah koefisien pertumbuhan,
t0 adalah umur ikan pada saat panjang 0, dan T adalah suhu rata-rata permukaan
air (ºC). Laju mortalitas total (Z) dan laju mortalitas alami (M) diketahui maka
laju mortalitas penangkapan (F) dapat ditentukan dengan rumus :

7

F=Z–M

(11)

Laju eksploitasi (E) ditentukan dengan membandingkan laju mortalitas
penangkapan (F) dengan laju mortalitas total (Z):
M

(12)

Pola musim penangkapan
Indeks Musim Penangkapan (IMPi) sebagai pertimbangan dalam
melakukan operasi penangkapan dengan menggunakan data Catch Per Unit
Effort (CPUE) dari data bulanan ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) dengan
metode rata-rata bergerak. Metode rata-rata bergerak (moving average) memiliki
keuntungan, yaitu dapat mengestimasi fluktuasi musim sehingga dapat
menentukan saat yang tepat untuk melakukan operasi penangkapan. Kerugian
dari metode rata-rata bergerak (moving average) adalah tidak dapat menghitung
pola musim penangkapan saat tahun terakhir data (Bahdad 2006). Distibusi
temporal diperoleh menggunakan metode dekomposisi klasik dengan ratio pada
rata-rata bergerak terhadap data hasil tangkapan bulanan selama beberapa tahun
(Dajan 1986). IMPi ditentukan dengan RBBi yang dikalikan dengan Faktor
Koreksi (FK):
IMPi = RBBi x FK

(13)

IMPi adalah indeks musim penangkapan bulan ke-i, RBBi adalah rasio rata-rata
untuk bulanan ke-i, dan i adalah 1, 2, 3, ....., 12. Prosedur perhitungan IMP
disajikan pada Lampiran 3.
Model surplus produksi dan estimasi parameter biologi
Model Surplus produksi yang akan digunakan dan dicobakan dalam
penelitian ini adalah Model Schaefer, Fox, Walter Hilbron, Schnute, dan Clarke
Yoshimoto Pooley (CYP). Model terbaik diantara kelima model dipilih untuk
menentukan tingkat upaya optimum yang dapat menghasilkan suatu hasil
tangkapan maksimum lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara
jangka panjang.
Model tersebut menggunakan pendekatan regresi linear
sederhana Y=b0+b1x dan regresi linear berganda Y=b0+b1x1+b2x2. Proses
penentuan model produksi surplus dan parameter biologi disajikan di Lampiran 4.
Analisis bioekonomi
Parameter-parameter yang diperoleh dari model terbaik digunakan untuk
analisis bioekonomi. Sementara biaya penangkapan yang digunakan merupakan
rata-rata dari biaya operasional penangkapan yang meliputi biaya bahan bakar, oli,

8

pangan, dan retribusi. Menurut Fauzi (2006), rata-rata biaya penangkapan dapat
dihitung dengan menggunakan rumus:
c=

∑ ci

(14)

n

c adalah rata-rata biaya penangkapan (rupiah/trip), ci adalah biaya
penangkapan nominal responden ke-i, dan n adalah jumlah responden. Harga ikan
tuna mata besar (Thunnus obesus) ditentukan berdasarkan harga ikan tuna mata
besar (Thunnus obesus) rata-rata dengan rumus (Fauzi 2006):
p=

∑ pi

(15)

n

p adalah harga ikan rata-rata (rupiah per kg), pi adalah harga nominal ikan
tuna mata besar (Thunnus obesus) pada responden ke-i, dan n adalah jumlah
responden. Jika kedua parameter ekonomi tersebut telah diketahui, maka TR
(Total Revenue), TC (Total Cost), dan keuntungan ekonomi ( diperoleh dengan
persamaan (Fauzi 2006) :
TR = pY

(16)

TC = cf

(17)

= TR – TC

(18)

Parameter biologi dan ekonomi yang diperoleh digunakan untuk
membandingkan kondisi pengelolaan pada Maximum Sustainable Yield (MSY),
Maximum Economic Yield (MEY), dan Open Access (OA). Informasi terkait
penentuan rumus perhitungan pada ketiga kondisi pengelolaan kelima model
bioekonomi tersebut disajikan pada Lampiran 5.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kondisi sumber daya perikanan di PPS Cilacap
Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap merupakan tempat
pendaratan ikan paling besar dan produksinya paling banyak di Jawa Tengah.
PPS Cilacap secara geografis terletak di Desa Tegalkamulyan, Kecamatan Cilacap
Selatan, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah pada posisi 9” ” 8,4” BT
dan 7”43’3 , ” LS, dan merupakan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) yang
berada di pantai selatan Jawa serta berhadapan langsung dengan Samudera Hindia

9

(WPP 573) yang dikenal memiliki potensi sumber daya ikan yang cukup
melimpah.
Produksi perikanan yang didaratkan di PPS Cilacap terdiri dari ikan pelagis,
demersal, moluska dan krustase. Menurut PPS Cilacap (2014), ikan tuna mata
besar (Thunnus obesus) termasuk jenis ikan pelagis besar yang mendominasi hasil
tangkapan terbanyak dari keseluruhan perikanan yang didaratkan. Informasi
komposisi hasil tangkapan kelompok ikan di PPS Cilacap disajikan di Gambar 4.
Pelagis besar
Pelagis kecil

11%
10%
14%

Demersal besar

43%

Demersal kecil

10%

Moluska
12%

Krustase

Gambar 4 Komposisi hasil tangkapan jenis ikan di PPS Cilacap
Sumber: PPS Cilacap (2014)
Ikan pelagis besar lebih mendominasi tertangkap daripada ikan demersal
maupun moluska dan krustase. Ikan tuna mata besar (Thunnus obesus)
merupakan ikan dengan tangkapan paling banyak, yaitu mencapai 23% atau
senilai 390,15 ton dari keseluruhan ikan pelagis besar. Informasi mengenai
komposisi hasil tangkapan ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) di PPS Cilacap
disajikan di Gambar 5.
4% 3%
6%
23%

6%
7%
4%

5%
40%

2%

Meka
Layaran
Layur
Lemadang
Setan
Tenggiri
Cakalang
Tuna Albakor
Tuna Bigeye
Tuna Madidihang

Gambar 5 Komposisi hasil tangkapan ikan tuna mata besar (Thunnus obesus)
Sumber: PPS Cilacap (2014)

10

Kondisi ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) di PPS Cilacap
Alat tangkap untuk menangkap ikan tuna mata besar (Thunnus obesus)
adalah rawai tuna. Satu unit rawai tuna umumnya mengoperasikan 1000–2000
mata pancing per waktu pengoperasian (Saputra et al. 2011). Rawai tuna
dioperasikan dengan menggunakan kapal motor berukuran 21-30 GT.
Hasil yang diperoleh dari wawancara antara lain adalah harga jual, dan biaya
penangkapan, lama melaut, serta daerah penangkapan. Harga jual ekspor ikan
tuna mata besar (Thunnus obesus) berkisar antara 2500–3000¥ tergantung mutu
dari ikan itu sendiri, sedangkan biaya penangkapan berkisar antara Rp500000000Rp1000000000/trip. Waktu nelayan sekali melaut adalah 5-6 bulan. Nelayan
sering menangkap ikan di perairan Samudera Hindia, yaitu lintang 7-8, namun
apabila hasil tangkapan kurang, nelayan berlayar ke daerah lebih jauh seperti
perairan selatan Jawa seperti perairan Cilacap, Palabuhanratu, Pangandaran,
Gombong, Kebumen, Yogyakarta, dan perairan Samudera Hindia hingga
mendekati Pulau Christmas (Lampiran 6).
Hubungan panjang dan bobot
Hasil analisis hubungan panjang dan bobot ikan tuna mata besar (Thunnus
obesus) didapatkan persamaan W = 0,00002L2,9731. Pola pertumbuhan ikan tuna
mata besar (Thunnus obesus) diperoleh setelah mendapatkan persamaan yang
kemudian dilakukan uji t. Hasil uji t (Lampiran 7) diperoleh kesimpulan bahwa
pola pertumbuhan ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) adalah allometrik
negatif ( 0,5) (Pauly 1984),

12

yakni mencapai 0,8036, sehingga dapat disimpulkan bahwa ikan tuna mata besar
(Thunnus obesus) telah mengalami overexploited (tangkap lebih).
Pola musim penangkapan

0.60

550
500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0

0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
0.00

Rata-rata CPUE (ton/trip)

IMP (%)

Nilai IMP ini didapatkan dengan cara mengolah data jumlah hasil tangkapan
setiap bulan dan upaya penangkapan setiap bulannya. Hasil tangkapan dan upaya
penangkapan yang dihitung, yaitu pada tahun 2008-2014. Besarnya nilai IMP
dinyatakan dalam satuan persen (%). Pergerakan nilai IMP ikan tuna mata besar
(Thunnus obesus) disajikan pada Gambar 8.

Bulan
IMP

Rata-rata CPUE (ton/trip)

Gambar 8 Pergerakan nilai IMP
Gambar 8 menjelaskan puncak musim penangkapan ikan tuna mata besar
(Thunnus obesus) yang didaratkan di PPS Cilacap berada pada bulan September.
Musim sedang ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) yakni pada bulan
November dan musim paceklik ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) yakni pada
bulan Desember-Juni. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan nelayan di
PPS Cilacap, dimana puncak musim penangkapan ikan tuna mata besar (Thunnus
obesus) berkisar pada bulan Juli-Oktober. Informasi mengenai nilai presentase
IMPi disajikan pada Lampiran 10.
Model produksi surplus
Model produksi surplus digunakan untuk menduga tingkat upaya optimum.
Upaya optimum yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu tangkapan
maksimum lestari. Data hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan tuna mata
besar (Thunnus obesus) disajikan pada Gambar 9.

13

1500
2009

Hasil tangkapan (ton)

1250

2008

1000
2010

2013

MSY (ton)

750
2012

f MSY

2011

500

Tahun
2014

250
0
0

1000

2000

3000

4000

5000

Upaya (trip)

Gambar 9 Hubungan hasil tangkapan dan upaya penangkapan
Gambar 9 menjelaskan hubungan hasil tangkapan dan upaya penangkapan.
Gambar tersebut memberikan informasi penangkapan aktual belum melebihi
upaya optimal. Namun, apabila dibandingkan dengan kondisi sebelumnya, yaitu
pada tahun 2008-2011, ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) sudah melebihi
upaya optimal.
Data yang terlihat sebagian besar menunjukkan kondisi
lingkungan yang overfishing. Hal ini dapat menjadi indikasi bahwa sumber daya
ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) telah mengalami overfishing.
Hasil tangkapan ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) terbanyak pada
tahun 2009, yaitu sebanyak 1295,05 ton dengan upaya penangkapan sebanyak
1527 trip. Hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan tuna mata besar
(Thunnus obesus) mengalami penurunan pada tahun 2010 hingga 2014, akan
tetapi pada tahun 2013 hasil tangkapan ikan tuna mata besar (Thunnus obesus)
mengalami peningkatan. Hal ini berbanding lurus dengan hasil tangkapan, ketika
upaya meningkat maka hasil tangkapan meningkat begitu pula sebaliknya.
Informasi mengenai pendugaan MSY dan fMSY dengan pendekatan model Fox
disajikan pada Tabel 3 dan Lampiran 11 .
Tabel 3 Pendugaan MSY dan fMSY dengan pendekatan model Fox
Parameter
Nilai Parameter
fMSY (trip)
872 f aktual (trip)
MSY (ton/tahun)
1080 C aktual (ton)
JTB (ton/tahun)
864 Status

Nilai
120
390,15
Overfishing

Hasil pendugaan MSY belum mengalami overfishing apabila dilihat dari
data upaya aktual yakni tahun 2014. Namun, data upaya penangkapan tahun
2008-2011 menunjukkan kondisi pemanfaatan yang telah overfishing. Model
produksi surplus yang digunakan adalah model Fox berdasarkan nilai koefisien
determinasi tertinggi, yaitu sebesar 84,65%.

14

Parameter biologi
Pendugaan parameter biologi yang meliputi nilai laju pertumbuhan instrinsik
(r), koefisien daya tangkap (q) dan daya dukung (K). Model yang digunakan
untuk mengestimasi parameter biologi, yaitu model Schaefer, Fox, Walter Hilborn,
Schnute, dan CYP. Informasi parameter biologi ikan tuna mata besar (Thunnus
obesus) dengan lima model tersebut disajikan di Tabel 4 dan Lampiran 12 dan 13.
Tabel 4 Estimasi parameter biologi
Model
Schaefer
Fox
Walter Hilborn
Schnute
CYP

r (%/tahun)
3,2156
0,8825
29,8655
2371,7950
3,2559

Parameter biologi
q (/unit penangkapan) K (ton/tahun)
0,0051
632,8827
0,0005
6720,6105
0,0141
254,8718
0,0018
3,1632
0,0043
997,8498

R2 (%)
81,87%
84,65%
58,15%
22,92%
84,07%

Koefisien determinasi (R2) dari model Fox merupakan R2 terbesar, yaitu
84,65%, sehingga untuk menduga parameter biologi, model Fox yang digunakan
untuk analisis bioekonomi. Estimasi parameter biologi ikan tuna mata besar
(Thunnus obesus) diperoleh nilai daya dukung lingkungan (K) sebesar 6720,6105
ton/tahun. Parameter biologi lain seperti kemampuan alat tangkap untuk satu
periode melaut sebesar 0,0005/unit penangkapan dan laju instrinsik ikan tuna mata
besar sebesar 0,8825% /tahun.
Analisis bioekonomi
Analisis bioekonomi diperlukan dalam pengelolaan sumber daya ikan tuna
mata besar (Thunnus obesus) karena selama ini permasalahan perikanan terfokus
pada memaksimalkan penangkapan, dengan mengabaikan faktor produksi yang
diperlukan dalam usaha perikanan. Parameter ekonomi seperti biaya operasional
dan harga ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) diperoleh dari hasil wawancara.
Informasi parameter ekonomi yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada
Tabel 5.
Tabel 5 Parameter ekonomi sumber daya ikan tuna besar (Thunnus obesus)
Parameter ekonomi
Nilai (Rupiah)
Rata-rata biaya operasional per trip
750000000
Rata-rata harga jual per kg
271635
(Sumber: Nelayan PPS Cilacap 2015)

Parameter biologi dan ekonomi tersebut digunakan untuk menentukan
jumlah tangkapan lestari, upaya optimum, dan keuntungan ekonomi pada kondisi
MEY, MSY, OA, dan aktual. Upaya penangkapan pada kondisi OA lebih besar
daripada pada kondisi MSY, MEY, dan aktual. Informasi hasil bioekonomi
disajikan pada Gambar 10 dan Lampiran 14.

15

Rp400

TC

Rp350

Rp350

A B

Rp300

Rp300

C

Rp250

Rp250

Rp200

Rp200

Rp150

Rp150

Rp100

Biaya (Milyar Rp)

Pendapatan (Milyar Rp)

Rp400

Rp100

D

Rp50

TR

Rp-

Rp50
Rp-

0

1000

2000

3000
Upaya (trip)

4000

5000

A : MEY; B : MSY; C : OA; D : Aktual; TR : Total Revenue; dan TC : Total Cost

Gambar 10 Kurva model bioekonomi
Gambar 10 menjelaskan upaya penangkapan pada kondisi pengelolaan OA,
MSY, MEY dan aktual di perairan Samudera Hindia adalah 1223 trip/tahun, 872
trip/tahun, 650 trip/tahun, dan 120 trip/tahun. Hasil tangkapan yang diperoleh
pada kondisi OA, MSY, MEY, dan aktual sebanyak 1013 ton/tahun, 1080
ton/tahun, 1039 ton/tahun, 390 ton/tahun. Keuntungan yang diperoleh pada
kondisi MSY, MEY, OA dan aktual adalah Rp97 Milyar, Rp136 Milyar, Rp0
Milyar dan Rp79 Milyar.

Pembahasan
Pola pertumbuhan ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) adalah allometrik
negatif. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian di berbagai lokasi yang
menunjukkan bahwa pola pertumbuhan ikan tuna mata besar adalah allometrik
negatif. Informasi pola pertumbuhan ikan tuna mata besar di berbagai lokasi
disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Perbandingan pola pertumbuhan di berbagai lokasi
Sumber
Lokasi
Nilai b
Sun et al. (2001)
Samudera Pasifik
2,9278
Zhu et al. (2008)
Samudera Hindia
2,9362
Faizah (2010)
Samudera Hindia
2,8623
Riswanto (2012)
Samudera Hindia
2,8623
Penelitian ini (2015) Samudera Hindia
2,9734

Pola pertumbuhan
Allometrik negatif
Allometrik negatif
Allometrik negatif
Allometrik negatif
Allometrik negatif

Perbedaan nilai b yang diperoleh dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di
antaranya faktor eksternal yang meliputi musim, area, suhu, dan ketersediaan
makanan, sedangkan faktor internal meliputi jenis kelamin, umur, dan genetik dari
ikan tersebut (Effendie 2002). Pola pertumbuhan allometrik negatif ini juga

16

terlihat dari morfologi tubuh ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) yang pipih.
Persamaan pola pertumbuhan disebabkan oleh adanya persamaan kisaran nilai b
(Tabel 6).
Koefisien pertumbuhan (K) didefinisikan sebagai parameter yang
menyatakan kecepatan kurva pertumbuhan dalam mencapai panjang asimtotiknya
(L∞) dari pola pertumbuhan ikan (Sparre dan Venema 1999). Semakin tinggi
nilai koefisien pertumbuhan, semakin cepat mencapai panjang asimtotik dan
beberapa spesies kebanyakan di antaranya berumur pendek. Berbeda halnya
dengan ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) memiliki koefisien pertumbuhan
rendah, yaitu 0,35 dan umur semakin tinggi karena lama mencapai panjang
asimtotiknya. Informasi mengenai perbandingan parameter pertumbuhan ikan
tuna mata besar (Thunnus obesus) disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Perbandingan parameter pertumbuhan di berbagai lokasi
Parameter pertumbuhan
Sumber
Lokasi
K L∞ (cm) t0 (per waktu)
Farley et al. (2006) Samudera Pasifik
0,230
169,09
-0,4400
Farley et al. (2006) Samudera Hindia
0,176
178,41
-2,500
Zhu et al. (2009)
Samudera Atlantik
0,230
217,90
-0,4400
Zhu et al. (2009)
Samudera Pasifik
0,230
207,40
-0,4000
Riswanto (2012)
Samudera Hindia
0,420
176,93
-1,1461
Penelitian ini (2015) Samudera Hindia
0,350
215,2
-0,2748
Adanya perbedaan nilai K, L∞, dan t0 dapat disebabkan oleh dua faktor,
yakni faktor internal dan faktor eksternal (suhu dan ketersediaan makanan).
Faktor internal di antaranya meliputi keturunan, parasit, dan penyakit, sedangkan
faktor eksternal di antaranya meliputi suhu dan ketersediaan makanan (Effendie
). Oleh karena itu, perbedaan nilai K, L∞, dan t0 ikan tuna mata besar
(Thunnus obesus) pada penelitian ini dengan ikan tuna mata besar (Thunnus
obesus) di perairan lainnya disebabkan oleh faktor genetik dan kondisi lingkungan
yang berbeda karena kondisi perairan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan
ikan.
Tingginya permintaan pasar lokal dan ekspor terhadap ikan tuna mata besar
(Thunnus obesus) dalam bentuk segar dan olahan ikan kaleng menyebabkan
aktivitas penangkapan meningkat. Tabel 2 menjelaskan bahwa ikan tuna mata
besar (Thunnus obesus) yang tertangkap di perairan Samudera Hindia telah
mengalami overfishing, dimana Eoptimum>0,5 (Pauly 1984). Laju eksploitasi
dipengaruhi oleh laju mortalitas penangkapan (F), semakin tinggi laju mortalitas
penangkapan maka akan semakin tinggi pula laju eksploitasi.
Perbedaan nilai mortalitas dan laju eksploitasi menurut Amine (2012),
disebabkan adanya perbedaan dalam hal variasi pada struktur populasi dan kondisi
lingkungan. Ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) ini juga memiliki nilai
mortalitas alami dan penangkapan yang berbeda-beda (Tabel 8). Informasi
mengenai perbedaan nilai mortalitas dan laju eksploitasi di berbagai lokasi
disajikan pada Tabel 8.

17

Tabel 8 Nilai mortalitas dan laju eksploitasi dari berbagai lokasi
Sumber
Zhu et al. (2009)
Zhu et al. (2009)
Riswanto (2012)
Penelitian ini (2015)

Lokasi
Samudera Hindia
Samudera Pasifik
Samudera Hindia
Samudera Hindia

Parameter mortalitas dan eksploitasi
Z
F
M
E
0,8200-1,0200 0,5400 0,3900 0,3500
0,6000 0,2500 0,3500 0,6000
0,7020 0,0857 0,6163 0,1221
2,1700 1,7438 0,4262 0,8036

Nilai indeks musim penangkapan (IMPi) dapat dijadikan dasar untuk
menentukan pola musim penangkapan ikan sehingga dapat ditentukan waktu
penangkapan yang tepat (Syahrir et al. 2010). Pola musim yang berlangsung di
suatu perairan sangat dipengaruhi oleh pola arus yang terjadi karena interaksi
antara udara dan laut (Nontji 2007). Musim puncak ikan tuna mata besar
(Thunnus obesus) terjadi pada saat musim peralihan II (Juli-Oktober). Puncak
musim ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) di musim peralihan II ini
dimungkinkan karena pada bulan tersebut angin barat sudah bertiup lebih awal,
mengingat terjadinya musim barat atau timur bisa terjadi lebih cepat dan tidak
menentu (Purwanto 2013).
Nontji (2007) menyatakan bahwa penyebaran ikan tuna mata besar (Thunnus
obesus) sangat luas, meliputi perairan tropis dan sub tropis yang saling
berkesinambung dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Kondisi geografis
Indonesia yang terletak di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia
merupakan jalur perlintasan bagi ikan tuna yang bermigrasi jauh. Sebaran ikan
tuna mata besar (Thunnus obesus) dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
persebaran horisontal seperti selatan Sumatera, selatan Jawa, Bali, NTT, Laut
Flores, sedangkan penyebaran vertikal meliputi penyebaran yang dipengaruhi oleh
suhu dan kedalaman renang ikan tersebut (Novianto et al. 2013).
Nelayan PPS Cilacap sudah bisa mengelompokkan daerah penangkapan ikan
berdasarkan musim. Pada saat musim penangkapan, operasi penangkapan yang
dilakukan tidak jauh dari perarain selatan Jawa yakni di sekitar lintang 7-8.
Lokasi penangkapan tersebut menjadi strategis karena tidak jauh dari lokasi
pendaratan ikan.
Pada saat musim barat dimana curah hujan tinggi sehingga gelombang yang
dihasilkan sangat besar (Amri 2002) maka nelayan cenderung untuk tidak melaut,
dikhawatirkan akan gelombang yang tinggi tersebut menyebabkan kapal-kapal
nelayan terhantam badai. Semenjak ada Peraturan Menteri Perikanan dan
Kelautan Nomor 57 tahun 2014 mengenai
larangan bongkar muatan
(transhipment) di laut, nelayan saat ini cenderung tidak melaut saat bukan musim
penangkapan. Hal ini dikarenakan biaya melaut yang besar akan membuat
nelayan rugi apabila hasil tangkapan yang didapatkan hanya sedikit.
Pengelolaan perikanan sangat erat kaitannya dengan pengaturan upaya
penangkapan. Model produksi surplus yang paling baik digunakan untuk
menentukan tingkat upaya optimum dan potensi lestari adalah model Fox dengan
nilai keterwakilan (R2) sebesar 84,65%. Menurut Pyndick dan Rubinfeld (1998)
in Octoriani (2014), R2 lazim digunakan untuk mengukur goodness of fit dari
model regresi dan untuk membandingkan tingkat validitas hasil regresi terhadap
variabel independen dalam model, dimana semakin besar nilai R2 menunjukkan
bahwa model tersebut semakin baik. Pada model Fox, memperhitungkan adanya

18

decrease rate upaya penangkapan, berbeda dengan model Schaefer karena asumsi
decreasing rate upaya diabaikan atau menggunakan asumsi constan rate upaya
penangkapan (Hutagalung et al. 2015).
Peningkatan dan penurunan produksi hasil tangkapan ikan tuna mata besar
(Thunnus obesus) di perairan Samudera Hindia ini sangat mempengaruhi ekonomi
lokal karena produksi hasil tangkapan ikan tuna mata besar (Thunnus obesus)
dapat menaikan ataupun menurukan pendapatan nelayan di PPS Cilacap.
Peningkatan atau penurunan jumlah upaya penangkapan ini dapat disebabkan oleh
bertambahnya atau berkurangnya jumlah armada penangkapan yang beroperasi
sehingga mempengaruhi hasil tangkapan sumber daya ikan tersebut. Hal ini dapat
terjadi kapan saja karena sumber daya perikanan bersifat open access artinya
kondisi dimana setiap orang diperbolehkan masuk ke dalam suatu perikanan (Widodo
& Suadi 2006).
Status sumber daya ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) telah mengalami
overfishing sesaat pada tahun 2008-2011, dan penurunan upaya penangkapan dari
tahun 2012-2014 ini belum menunjukkan peningkatan hasil tangkapan yang
diperoleh. Hal ini dikarenakan ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) memiliki
laju pulih yang kecil dilihat dari nilai laju pertumbuhan instrinsik (r) ikan tuna
mata besar (Thunnus obesus) sebesar 0,8825%/tahun sehingga untuk dapat pulih
kembali membutuhkan waktu yang lama.
Sumber daya perikanan yang bersifat renewable ini menuntut adanya
pengelolaan dengan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati (Fauzi
2005). Langkah yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kembali hasil
tangkapan ikan tuna mata besar (Thunnus obesus), yaitu mengatur upaya
penangkapan, dan menerapkan pendekatan kehati-hatian melalui jumlah
tangkapan yang diperbolehkan (JTB), yaitu 80% dari MSY (Pasisingi 2011). JTB
ini diharapkan mampu untuk mencegah estimasi yang berlebihan, sehingga stok
ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) di perairan Samudera Hindia dapat terjaga
kelestariannya.
Menurut Zulbainarni (2012) estimasi parameter biologi perlu diketahui
sebelum estimasi parameter ekonomi karena sumber daya perikanan selalu
bergerak dan bersifat diburu. Konsep MEY menekankan pada keuntungan
maksimum namun kelestarian sumber daya ikan tersebut tetap terjaga (Simarmata
2014). Menurut Christensen (2009), pengelolaan perikanan kondisi MEY lebih
optimal, namun produksinya dibawah MSY. Menurut Dichmont et al. (2009),
operasional MEY membutuhkan model pengembangan yang menggunakan aspek
stok, biaya, dan harga.
Tabel 3 menunjukkan bahwa hasil tangkapan pada kondisi aktual mencapai
390,15 ton dengan effort 120 trip. Hasil tangkapan dan effort pada kondisi aktual
belum melebihi MSY dan MEY. Namun jika dibandingkan dengan effort tahun
2008-2011 dimana nilai effort melebihi fMSY, maka dapat dikatakan bahwa sumber
daya ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) telah mengalami tangkap lebih sesat
baik secara biologi maupun ekonomi.
Pengelolaan MEY memberikan keuntungan tertinggi apabila dibandingkan
dengan pengelolaan MSY dan OA. Hasil analisis keuntungan yang diperoleh
pada kondisi MEY mencapai Rp136 Milyar. Status pemanfaatan sumber daya
ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) di perairan Samudera Hindia telah
mengalami tangkap lebih secara ekonomi. Masalah tangkap lebih secara ekonomi

19

akan terjadi pada perikanan yang tidak terkontrol (Kartika 2010). Peningkatan
upaya penangkapan yang tidak diatur terjadi pada PPS Cilacap.
Sumber daya perikanan merupakan barang umum (common good resources)
yang bersifat open access, artinya gambaran kegiatan perikanan yang sedemikian
sehingga tidak ada yang bertanggung jawab dalam pemeliharaan kelestarian
sumber daya karena setiap orang berhak menangkap ikan dan mengeksploitasi
sumber daya hayati lainnya kapan saja, dimana saja, berapa sebanyak jumlahnya,
dan dengan alat tangkap apa saja (Sobari 2003). Pada perikanan open access
dimana nelayan bebas menangkap ikan sehingga terdapat kecenderungan pada
nelayan lainnya untuk ikut menangkap ikan sebanyak-banyaknya. Ikan tuna mata
besar (Thunnus obesus) di perairan Samudera Hindia masih dalam pengelolaan
open access.
Pada kondisi open access sumber daya ikan yang ada tidak dimanfaatkan
secara efisien, sehingga dapat menyebabkan penurunan stok ikan tuna mata besar
(Thunnus obesus) dan pendapatan nelayan. Hal ini dikarenakan setiap pengguna
potensial memiliki hak otonom penuh dalam memanfaatkan sumber daya (Bulte et
al. 1995). Keuntungan yang diperoleh pada pengelolaan open access bernilai 0.
Hal ini dikarenakan biaya yang dikeluarkan sama dengan biaya yang diterima
(Bortier 2002).
Prediksi teori ekonomi menjelaskan bahwa pada kondisi open access,
sumber daya alam akan dieksploitasi dengan cepat sehingga mengurangi
keuntungan yang diperoleh, dan bahkan total pengeluaran sama dengan total
pemasukan (Gordon 1954; Schaefer 1957; Bjorndal dan Condrad 1987 in Bulte et
al. 1995). Pengelolaan pada kondisi open access menimbulkan dampak negatif,
seperti yang dikenal dengan tragedy of common baik berupa kerusakan sumber
daya perikanan maupun konflik antar pelaku perikanan. Oleh karena itu, perlu
diatur regulasi dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan.
Menurut Fauzi (2010) mengungkapkan bahwa beberapa permasalahan
perikanan modern yang dihadapi adalah tekanan yang masif akibat eksploitasi
menyebabkan terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya ikan di
dunia. Tekanan yang masif tesebut disebabkan oleh terjadinya dua hal, yakni
tangkap lebih (overfishing) baik secara ekonomi dan biologis dan terjadinya
kapasitas lebih (overcapacity) pada perikanan ekonomis penting. Masalah lain
juga yang telah menjadi isu internasional adalah maraknya Illegal, Unrepported,
Unregulated Fishing (IUU Fishing) atau kegiatan penangkapan secara ilegal,
tidak dilapokan, dan tidak memenuhi aturan.
IUU Fishing bukan saja
menimbulkan kerugian namun juga menimbulkan masalah lingkungan dan
dampak sosial di masa yang akan mendatang.
Pengelolaan perikanan meliputi banyak aspek termasuk sumber daya ikan,
lingkungan perairan, dan sumber daya manusia. Menurut Fauzi dan Anna (2005)
dasar pengelolaan sumber daya ikan adalah bagaimana memanfaatkan sumber
daya sehingga menghasilkan ekonomi yang tinggi bagi pengguna namun
kelestarian tetap terjaga. Realita di lapangan, bahwa belum ada batasan mengenai
upaya penangkapan dan hasil tangkapan yang diperbolehkan.
Adanya ketiga kondisi pengelolaan, yaitu MSY, MEY, dan OA. Nelayan
disarankan untuk melakukan kegiatan penangkapan pada kondisi MEY.
Pengaturan upaya penangkapan dan penetapan kouta hasil tangkapan pada kondisi
MEY sebesar 650 trip/tahun dan 1039 ton/tahun. Oleh karena itu, pengaturan

20

upaya penangkapan dan penetapan kuota hasil tangkapan ditetapkan sebagai
alternatif pengelolaan yang tepat.
Upaya pengelolaan yang dapat dilakukan adalah pengaturan musim
penangkapan. Menurut Beddington dan Rettig (1983) in Basson et al. (1995)
mengatakan paling tidak ada dua bentuk penutupan musim penangkapan ikan, di
antaranya menutup musim penangkapan ikan pada waktu tertentu untuk
memungkinkan ikan dapat memijah dan berkembang dan penutupan kegiatan
penangkapan karena telah mengalami degradasi, dan ikan yang ditangkap semakin
sedikit.
Penutupan musim penangkapan dapat membantu mengatasi
ketidakpastian dan mampu meningkatkan keuntungan ketika hasil tangkapannya
optimal (Grafton et al. 2006).
Aturan tersebut dapat terlaksana apabila didukung dengan sisem insentif,
artinya nelayan mendapat nilai lebih setelah melakukan aturan-aturan yang
ditetapkan (Wijayanto 2007 in Suryawati et al. 2011). Insentif ini dapat diberikan
kepada nelayan yang sudah menggunakan alat tangkap yang ditetapkan, nelayan
yang menangkap ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) dengan ukuran yang
ditetapkan (ikan-ikan yang ukurannya di atas ukuran rata-rata matang gonad dan
ukuran pertama kali tertangkap), dan nelayan yang menangkap di daerah
penangkapan yang diperbolehkan.
Grafton et al.
(2006), mengusulkan
pendekatan berbasis insentif untuk perikanan yang berkelanjutan sebagai
pelengkap pendekatan pengelolaan yang sudah berjalan. Nelayan berhak
mendapatkan keadilan ekonomi dan turut serta bertanggung jawab dalam
mencapai perikanan yang berkelanjutan.
Saran upaya pengelolaan ini memerlukan kerjasama dan koordinasi antar
masing-masing stakeholder. Saran upaya pengelolaan apabila diimplementasikan
dapat memberikan manfaat terpadu dalam tiga aspek yakni ekonomi, ekologi dan
sosial. Ketiga manfaat ini diharapkan dapat menjadi tiga tujuan pilar perikanan,
yakni kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan.

KESIMPULAN
Kesimpulan
Ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) di perairan Samudera Hindia telah
mengalami tangkap lebih baik secara biologi maupun ekonomi.
Upaya
pengelolaan dapat dilakukan dengan cara mengatur upaya penangkapan, mengatur
musim penangkapan dan daerah penangkapan, sistem insentif serta membangun
kerja sama antar stakeholder.

21

DAFTAR PUSTAKA
Amine AM. 2012. Biology and assesment of the thread fin bream Nemipterus
japonicus in Gulf of Suez, Eigypt. J. Aquat. Biol. And Fish. 16(2): 47-57.
Amri K. 2002. Hubungan Kondisi Oseanografi (Suhu Permukaan Laut, Klorofila, dan Arus) dengan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil Di Perairan Selat
Sunda [skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Basson M, Heddington JR, Crombie JA, Holden SJ, Purchase LV, Tingley GA.
1995. Assesment and management techniques for migratory annual squid
stocks: the Illex argentinus fisheries in the Southwest Atlantic as an example.
Fisheries Research. 28(1): 3-27.
Bortier MB. 2002. A bioeconomic analysis of the Ghanaian tuna fisheries (19802000) [disertasi]. Norwegia(NO): University of Thomso, Norway.
Bulte E, Folmer H, Heijiman W. 1995. Open access, common property and
scarcity rent in fisheries. Environmental and Resources Economics.
6(4):309-320.
Bahdad. 2006. Analisis dan Pendugaan Hasil Tangkapan Cakalang (Katsuwonus
pelamis) di Perairan Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara [tesis].
Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Christensen V. 2009. MEY=MSY. Fish and Fisheries. 11(1): 105-110.
Dajan A. 1986. Pengantar Metode Statistik Jilid I. Jakarta(ID): LP3ES.
Dichmont CM, Pascoe S, Kompas T, Punt AE, dan Deng R. 2009. On
implementing maximum economic yield in commercial fisheries. PNAS.
107(1): 16-21.
Effendie MI. 2002. Biologi Perikanan. Yogyakarta(ID): Yayasan Pustaka
Nusatama.
Faizah R. 2010. Biologi Reproduksi Ikan Tuna Mata besar (Thunnus obesus) di
Perairan Samudera Hindia [tesis]. Bogor(ID): IPB Pr.
Farley JH, Clear NP, Leroy B, Davis LO. 2006. Age, growth and preliminary
estima