Optimization Process Of Ethanol Production From Microalgae Chlamydomonas Sp. Icbb 9113, Icbb 9114 And Synechococcus Sp. Icbb 9111

1

OPTIMASI PROSES PRODUKSI ETANOL DARI
MIKROALGA Chlamydomonas sp. ICBB 9113, ICBB 9114 DAN
Synechococcus sp. ICBB 9111

AIDIL FADLI ILHAMDY

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

2

3

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Optimasi Proses Produksi
Etanol dari Mikroalga Chlamydomonas sp. ICBB 9113, ICBB 9114 dan

Synechococcus sp. ICBB 9111 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Aidil Fadli Ilhamdy
NRP C351110021

4

5

RINGKASAN
AIDIL FADLI ILHAMDY. Optimasi Proses Produksi Etanol Dari Mikroalga
Chlamydomonas sp. ICBB 9113, ICBB 9114 dan Synechococcus sp. ICBB 9111.
Dibimbing oleh TATI NURHAYATI, IRIANI SETYANINGSIH dan DWI
ANDREAS SANTOSA

Produksi minyak mentah (crude oil) di Indonesia adalah 860 barrel per
hari, maka cadangan minyak bumi di Indonesia sebesar 7.4 milyar barrel
kemungkinan akan habis pada tenggang waktu 24 tahun. Kebijakan energi
nasional mentargetkan pemanfaatan energi non fosil sebesar 5-20% pada tahun
2005-2020. Bahan baku generasi pertama yang digunakan untuk energi alternatif
misalnya kelapa sawit, buah jarak, singkong. Potensi lain selain tanaman terestrial
adalah organisme perairan yaitu mikroalga. Komponen makromolekul mikroalga
misalnya lipid untuk biodiesel dan karbohidrat untuk etanol. Produksi etanol dari
biomassa mikroalga dapat diperoleh melalui tahapan sakarifikasi dan fermentasi.
Kendala yang sering ditemukan dalam proses sakarifikasi adalah rendemen gula
sederhana yang masih rendah ketika menggunakan hidrolisis asam. Oleh sebab
itu, maka perlu dicari alternatif untuk meningkatkan rendemen gula sederhana
pada proses hidrolisis yaitu dengan menggunakan enzim.
Penelitian ini terdiri dari empat tahap. Tahap yang pertama berupa
peremajaan dan penyediaan stok tiga isolat dalam media BG 11. Tahap kedua
yaitu kultivasi dalam media N2P1, N2P2 dan N3P3. Tahap ketiga adalah
pengujian aktivitas enzim untuk menentukan suhu dan pH optimum. Tahap
keempat adalah proses hidrolisis mikroalga menggunakan enzim komersil αamilase dan amiloglukosidase. Hasil dari hidrolisis kemudian difermentasi selama
tujuh hari untuk produksi etanol.
Mikroalga Chlamydomonas sp. ICBB 9114 memilki yield biomassa

tertinggi 0,45 g/L dengan kadar pati 14,16% , sedangkan yield biomassa dan kadar
pati terendah pada mikroalga Synechococcus sp. ICBB 9111. Hasil karakterisasi
enzim α-amilase optimum pada pH 7 dan suhu 90oC dengan aktivitas enzim
sebesar 63,69 U/mL, sedangkan karakterisasi enzim amiloglukosidase terbaik
diperoleh pada pH 5,5 dan suhu 60oC dengan aktivitas enzim 148,59 U/mL.
Proses hidrolisis tiga jenis mikroalga dengan menggunakan enzim
α-amilase diperoleh total gula pereduksi tertinggi pada mikroalga
Chlamydomonas sp. ICBB 9114 (5,62 mg/mL), sedangkan total gula pereduksi
terendah diperoleh pada mikroalga Chlamydomonas sp. ICBB 9113
(4,39 mg/mL). Kombinasi dua jenis enzim yaitu α-amilase dan amiloglukosidase
pada proses hidrolisis meningkatkan total gula pereduksi (p 0,5
(Arisanti 2012). Nilai OD 0,5 direpresentasikan sebagai nilai kepadatan sel terbaik
pada sintesa makromolekul mikroalga untuk dikultivasi atau dilakukan
pemanenan (Ardiles 2011). Pemanenan dilakukan pada OD 0,5 dengan
menambahkan flokulan Al2(SO4)3 (alumunium sulfat) dengan konsentrasi 0,3 g/L
(desk study). Selanjutnya mikroalga disaring menggunakan kertas saring dan
dikeringkan menggunakan oven pada suhu 80oC selama 12-24 jam. Biomassa
yang diperoleh dikeringkan dengan oven pada suhu 80oC. Biomassa kering
mikroalga, kemudian dianalisis kadar air, kadar abu, kadar gula total, kadar
selulosa dan dilakukan perhitungan rendemen. Produksi biomassa mikroalga

dapat dilihat pada Gambar 2.
Pengujian aktivitas enzim α-amilase dan amiloglukosidase (Bernfeld 1955)
Aktivitas enzim α-amilase dan amiloglukosidase ditentukan menggunakan
metode Bernfeld (1955) menggunakan DNS (3.5-dinitro salicylic acid) dan pati
sebagai substrat. Enzim α-amilase komersial digunakan sebagai sampel enzim.
Satu unit aktivitas enzim α-amilase didefinisikan sebagai jumlah pati yang
terhidrolisis menjadi glukosa selama masa inkubasi 30 menit. Enzim
α-amlilase dan amiloglukosidase diencerkan menggunakan buffer fosfat sitrat
(BSF), kemudian ditambahkan 2 mL soluble starch 2% (b/v) dan diinkubasi pada
pH dan suhu yang bervariasi yaitu (5,5, 6, 6,5, 7) dan (60,70, 80, 90)oC,
sedangkan enzim amiloglukosidase diinkubasi pada pH (4,5, 5, 5,5) dan suhu
(40, 50, 60)oC. Waktu inkubasi dilakukan selama 30 menit. Hasil inkubasi yang
diperoleh diukur gula pereduksinya dengan pereaksi DNS. Satu U/mL enzim
merupakan 1µmol produk yang terbentuk dalam waktu 1 menit.

6

Synechococcus
sp ICBB 9111


Chlamydomonas
sp. ICBB 9113

Chlamydomonas
sp. ICBB 9114

Kultivasi ke media
teknis (N2P1)

Kultivasi ke media
teknis (N2P2)

Kultivasi ke media
teknis (N3P3)

Sediaan mikroalga

Kultivasi pada akuarium

Pemanenan awal stationer (OD 0,5)


Biomassa basah

Pengeringan







Biomassa

Analisis kadar air
Analisis kadar abu
Analisis kadar lemak
Analisis karbohidrat
Analisis selulosa




Gambar 2 Produksi biomassa mikroalga.
Proses produksi etanol
Proses pembuatan etanol terdiri dari 3 tahap, yaitu likuifikasi, sakarifikasi,
dan fermentasi. Likuifikasi dan Sakarifikasi adalah proses hidrolisis karbohidrat
menjadi gula sederhana menggunakan enzim α-amilase dan amiloglukosidase.
Tahap fermentasi gula sederhana akan dirubah menjadi etanol menggunakan
S. cereviceae ICBB 8808. Pada proses likuifikasi dan sakarifikasi, terlebih dahulu
enzim komersial diuji aktivitas enzim dengan menentukan pH dan suhu
optimumnya.
Hidrolisis enzim pada mikroalga
Proses hidrolisis mikroalga menggunakan biomassa kering seberat 2,5 g.
Biomassa kering ditambahkan akuades dengan rasio padatan 5% (b/v) dalam
larutan. Mikroalga yang telah dilarutkan dengan akuades ditambahkan enzim
komersial α-amilase (likuifikasi) pada konsentrasi (0,005; 0,010; 0,020; 0,040;
0,060; 0,010%) (v/v) dan kombinasi α-amilase dengan amiloglukosidase
(sakarifikasi) pada konsentrasi 0,4% (v/v), kemudian dihidrolisis pada pH dan
suhu terbaik pada tahap ketiga. Proses hidrolisis menggunakan enzim α-amilase

7


dilakukan selama 30 menit dan amiloglukosidase selama 55 menit
(Choi et al. 2010). Substrat hasil hidrolisis disaring untuk mendapatkan
hidrolisatnya. Analisis total gula pereduksi dilakukan pada hidrolisat hasil proses
liquifikasi dan sakarifikasi. Tujuannya untuk mengetahui kemampuan enzim
α-amilase dan amiloglukosidase dalam menghidrolisis substrat mikroalga.
Fermentasi
Gula yang telah terbentuk pada proses sakarifikasi kemudian diproses ke
tahap fermentasi menggunakan S. cereviceae ICBB 8808. Isolat S. cereviceae
ICBB 8808 terlebih dahulu diremajakan pada media PDA dan diinkubasi selama
24 jam. Setelah itu isolat ditumbuhkan lagi pada 50 mL media YMGP yang terdiri
dari ekstrak yeast 5 g/L, malt 5 g/L, glukosa 10 g/L dan pepton 5 g/L di dalam
erlenmeyer 200 mL. Inkubasi dilakukan pada suhu 30oC selama 24 jam dengan
shaker berkecepatan 125 rpm (Yanagisawa et al. 2011). Proses fermentasi gula
menjadi etanol dilakukan dengan cara menambahakan kultur cair S.cerevisiae
ICBB 8808 sebanyak 10% dari substrat yang digunakan kemudian diinkubasi
selama 96 jam (Arnata 2009). Setiap 24 jam disampling dan dianalisis total gula
pereduksi dan perubahan pH. Hasil fermentasi dianalisis menggunakan HPLC
untuk mengetahui kadar etanol yang dihasilkan.


Biomassa kering
3 jenis mikroalga 5% (b/v)

Pemanasan 90oC
Enzim α-amilase
0,005%, 0,010%, 0,020%, 0,040%, 0,060%, 0,1% (v/v) (liquifikasi)

Hidrolisis pH dan suhu terbaik
selama 30 menit

Hidrolisat

Enzim amiloglukosidase 0,40% (v/v) (sakarifikasi)

Hidrolisis pH dan suhu terbaik
selama 55 menit

Analisis total gula
pereduksi


8

Analisis total gula
pereduksi

Hidrolisat
2.
Analisis total gula
pereduksi
Analisis kadar etanol
(HPLC)

Fermentasi (96 jam) dengan
S. cerevisiae ICBB 8808

Distilasi

Etanol

Analisis kadar etanol

(HPLC)

Gambar 3 Proses produksi etanol.
Prosedur Pengujian
Analisis kadar air (AOAC 2007)
Cawan kosong yang akan digunakan dikeringkan terlebih dahulu pada
suhu 105-110oC selama 15 menit atau sampai berat konstan, kemudian
didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Sampel kira-kira
sebanyak 2 gram ditimbang dan diletakkan dalam cawan kemudian dipanaskan
dalam oven selama 3-4 jam pada suhu 105-110oC. Cawan kemudian didinginkan
dalam desikator dan setelah dingin ditimbang kembali. Persentase kadar air (berat
basah) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Kadar air

bobot sampel akhir b
bobot sampel awal a

Analisis kadar karbohidrat luff schrool (AOAC 1984)
Prinsip analisis karbohidrat yaitu glukosa hasil hidrolisis karbohidrat akan
mereduksi larutan luff, Cu2O dalam luff yang direduksi menjadi Cu2O sampai
berwarna merah bata. Kelebihan atau sisa Cu2O dititrasi secara iodometri.
Selanjutnya larutan Luff schrool dibuat dengan cara melarutkan CuSO45H2O
sebanyak 25 g ke dalam 50 mL air suling, 50 gram asam sitrat dilarutkan dalam
50 mL air suling dan 388 gram Na2CO210H2O dilarutkan ke dalam 400 mL
air suling. Larutan asam sitrat ditambahkan sedikit demi sedikit pada larutan
soda. Campuran ditambahkan larutan terusi (CuSO45H2O) dan diencerkan hingga
100 mL ke dalam labu ukur kemudian dimasukkan 2 g sampel kering dan
ditambahkan 200 mL HCl 3% serta batu didih. Selanjutnya labu erlenmeyer
dipasang pada pendingin tegak dan dihidrolisis selama 3 jam. Larutan kemudian
didinginkan dan dinetralkan dengan NaOH dan indikator fenolftalin. Larutan
dimasukkan ke dalam labu ukur 500 mL, ditambahkan dengan air suling sampai
pada tanda tera kemudian disaring. Sebanyak 10 mL larutan dipipet ke dalam
labu erlenmeyer 250 mL dan ditambahkan larutan luff 25 mL serta 15 mL air
suling, sedangkan untuk pembuatan blanko dibuat larutan tanpa menambahkan

9

sampel selanjutnya dianalisis. Larutan yang ada dalam labu erlenmeyer dipasang
pada pendingin balik dan dididihkan selama 10 menit setelah itu larutan tersebut
langsung didinginkan pada air akuades yang mengalir. Selanjutnya ditambahkan
larutan Ki 30% dan 25 mL H2SO4 25% ke dalam larutan yang telah didinginkan.
Proses selanjutnya larutan dititrasi sampai reaksi terhenti kemudian dititrasi lagi
dengan larutan Na2S2O3 sampai larutan berwarna biru muda. Kadar karbohidrat
dapat dihitung berdasarkan rumus:
P

Kadar karbohidrat
adar pati

g
P
g

Keterangan:
0,9
G
P
g

= Faktor pembanding berat molekul satu unit gula dalam molekul pati
= Glukosa setara dengan mL Na2S2O3 yang dipergunakan untuk titrasi
(mg) setelah gula diperhitungkan
= Pengenceran
= Bobot sampel (mg)

Kadar ADF (Van Soest 1963)
Sampel dimasukan ke dalam gelas piala 500 mL, kemudian ditambahkan
50 mL larutan ADS. Larutan ADS terdiri atas H2SO4, Cethyle trimethyl
ammonium bromidel (CTAB). Selanjutnya sampel dipanaskan selama 1 jam
di atas penangas listrik. Sampel yang telah dipanaskan dicuci dengan aseton dan
air panas, lalu disaring menggunakan pompa vakum dan dimasukkan ke dalam
filter glass. Sampel yang telah disaring lalu dicuci dengan aseton dan air panas.
Sampel yang berada dalam filter glass ditimbang masing-masing sebagai (a) dan
(b). Sampel (a) dan (b) dikeringkan menggunakan oven pada suhu 105oC selama
30 menit dan didinginkan dengan desikator dan ditimbang sebagai (c). Kadar
ADF dihitung dengan rumus:
Kadar
Keterangan:
a = bobot sampel (g)
b = bobot filter glass (g)
c = residu ADF

c

b
a

Kadar selulosa (Van Soest 1963)
Residu ADF sebagai (c) yang berada di dalam filter glass diletakkan di atas
nampan yang berisi air setinggi 1 cm, kemudian ditambahkan H2SO4 72% setinggi
¾ bagian filter glass dan didiamkan selama 3 jam, lalu diaduk perlahan-lahan.
Sampel selanjutnya dicuci dengan aseton dan air panas kemudian disaring
menggunakan pompa vakum dan dimasukkan kedalam filter glass. Sampel yang
telah disaring kemudian dicuci dengan aseton dan air panas, kemudian
dikeringkan menggunakan oven pada suhu 105oC selama 3 jam dan didinginkan
dengan desikator selama 1 jam dan ditimbang sebagai (d). Kadar selulosa
dihitung dengan rumus:

10

Kadar selulosa

d c
a

Keterangan:
a = bobot sampel (g)
c = bobot filter glass dan residu ADF awal (g)
d = bobot filter glass dan residu ADF setelah dioven (g)
Total gula pereduksi metode DNS (Miller 1959)
Prinsip metode ini adalah dalam suasana alkali gula pereduksi akan
mereduksi asam 3,5 – dinitrolisilat (DNS) membentuk senyawa yang dapat diukur
absorbansinya pada panjang gelombang 550 nm.
1. Penyiapan pereaksi DNS
Pereaksi DNS dibuat dengan melarutkan 10,6 g asam 3,5 dinitrolisilat dan
19,8 NaOH ke dalam 1416 mL akuades, selanjutnya ditambahkan 306 g Na-K
Tatrat, 7,6 g fenol yang dicairkan pada suhu 50oC dan 8,3 g Na-Metabisulfit.
Larutan ini diaduk rata, kemudian 3 mL larutan ini dititrasi dengan HCl 0,1 N
dengan indikator fenolftalein. Jumlah titran berkisar 5 – 6 mL. Jika kurang dari itu
harus ditambahkan 2 g NaOH untuk setiap ml kekurangan HCl 0,1 N.
2. Penentuan kurva standar
Kurva standar dibuat dengan mengukur mengetahui nilai gula pereduksi
pada glukosa pada selang 0,2 – 0,5 mg/L. Kemudian nilai gula pereduksi dicari
dengan metode DNS. Hasil yang didapatkan diplotkan dalam grafik secara linear.
3. Penetapan total gula pereduksi
Pengujian gula pereduksi menggunakan kurva standar DNS adalah sebagai
berikut: 1 mL sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan
3 mL pereaksi DNS. Larutan tersebut ditempatkan dalam air mendidih selama 5
menit. Larutan dibiarkan sampai dingin pada suhu ruang. Absorbansi diukur pada
panjang gelombang 550 nm.
Kadar Etanol
Pengukuran kadar etanol sampel dilakukan menggunakan HPLC
(High Performance Liquid Chromatography). Waters 1525EF Binary HPLC
Pump dengan spesifikasi sebagai berikut:
 Fase gerak
: H2SO4 0,008 N
 Kolom
: Aminex® HPX-87H, 300 mm x 7,8 mm
 Detektor
: Reactive Index
 Kecepatan aliran
: 1 mL/min
 Volume injeksi
: 20 µL
 Suhu kolom
: 35 oC
 Back Pressure
: 1176 psi

11

Analisis Data
Proses hidrolisis
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis menggunakan
rancangan acak lengkap (RAL). Perlakuan yang digunakan berupa perbedaan
konsentrasi enzim α-amilase pada proses likuifikasi serta kombinasi enzim
α-amilase dan amiloglukosidase pada tahap sakarifikasi dengan 2 ulangan.
Pengaruh perlakuan terhadap faktor respon kemudian dianalisis menggunakan
Analysis of Variance (ANOVA) (Steel dan Torrie 1991).
Yij

µ + αi + βj + εij

Keterangan:
Yij
: nilai pengamatan pada perlakuan jenis pelarut ke-i dan ulangan ke-j
µ
: rataan umum
αi
: pengaruh perlakuan jenis pelarut ke-i
βj
: pengaruh ulangan ke-j
εij
: pengaruh galat percobaan dari perlakuan jenis pelarut ke-i dan ulangan
ke-j
i
: perlakuan jenis pelarut ke-i
j
: ulangan ke-j
Berdasarkan Analysis of Variance (ANOVA), perlakuan perbedaan
konsentrasi yang memberikan pengaruh nyata (P 3000 lux, sedangkan mikroalga Spirulina sp. dapat
tumbuh dengan maksimal pada intensitas cahaya > 5400 lux dengan bantuan
lampu TL (tube lamp) (Cheirslip dan Torpee 2012; Vonshak 1985) (Gambar 4).

50

13

Mikroalga selanjutnya dikultivasi menggunakan media teknis dan
dilakukan pada skala lapang. Media teknis yang digunakan untuk pertumbuhan
mikroalga Synechococcus sp. ICBB 9111, mikroalga Chlamydomonas sp. ICBB
9113 pada media N2P2, sedangkan mikroalga Chlamydomonas sp. ICBB 9114
dikultivasi pada media N3P3.
0.6
0.6

y = 0,0191x + 0,0623
R² = 0,8578

0.5

0.5

0.4

0.4

0.3

OD

OD

y = 0,035x + 0,026
R² = 0,908

0.3

0.2

0.2

0.1

0.1
0

0
5
10
15
20
(a) Pengamatan (hari ke-)

OD

0

0

25

5

10

15

20

(b) Pengamatan (hari ke-)

0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0

y = 0,0222x + 0,0829
R² = 0,8418

0

5

10

15

20

(c) Pengamatan (hari ke-)

Gambar 5 Pertumbuhan mikroalga pada media teknis (a) Synechococcus sp. ICBB
9111 (N2P1); (b) Chlamydomonas sp. ICBB 9113 (N2P2); (c)
Chlamydomonas sp. ICBB 9114 (N3P3).
Kecepatan pertumbuhan mikroalga menggunakan media teknis pada setiap
mikroalga berbeda-beda. Mikroalga Chlamydomonas sp ICBB 9113 dan
Chlamydomonas sp ICBB 9114 mencapai OD 0,5 selama 15 dan 19 hari,
sedangkan pertumbuhan mikroalga Synechococcus sp ICBB 9111 mencapai OD
0,5 pada hari ke 27. Li et al. (2011) menjelaskan bahwa pertumbuhan dan
akumulasi biomassa mikroalga meningkat dipengaruhi oleh faktor eksternal
seperti pH, CO2 dan intensitas cahaya selama pertumbuhan. Pertumbuhan
mikroalga yang cepat pada skala lapang diduga disebabkan oleh intensitas cahaya
matahari dan suhu. Intensitas cahaya matahari dan suhu amat dipengaruhi oleh
keadaan iklim selama kultivasi. Suhu kultivasi ketiga mikroalga pada skala lapang
berkisar 29-39oC. Reynolds (1990) menyatakan nilai maksimum kecepatan proses
fotosintesis terjadi pada kisaran suhu 25-40oC. Berbagai proses dalam sel sangat
tergantung pada suhu. Kecepatan suatu proses akan terus bertambah dengan
peningkatan suhu. Suhu secara langsung mempengaruhi efisiensi fotosintesis dan
faktor yang menentukan pertumbuhan, namun temperatur tinggi yang melebihi
temperatur maksimum akan menyebabkan proses metabolisme sel terganggu.
Faktor lain yang berperan dalam pertumbuhan mikroalga adalah pH. Nilai pH
pada saat kultivasi berkisar 7-8. Blinks (1963) menjelaskan bahwa beberapa
mikroalga contohnya Centroceras sp., Botryocladia sp., dan Gastrocloniumi sp.

14

dapat tumbuh optimal pada pH 8. Proses fotosintesis mengambil karbondioksida
terlarut dalam air yang mengakibatkan penurunan kandungan CO2 terlarut dalam
air. Penurunan ini akan meningkatkan nilai pH berkaitan dengan keseimbangan
CO2 terlarut, bikarbonat (HCO3-) dan ion karbonat (CO2-) dalam air
(Golman dan Horne 1983).
Karakterisasi Biomassa Mikroalga
Kutivasi mikroalga pada skala lapang menggunakan sistem statis
(batch system), sistem kultivasi ini paling umum digunakan. Pada sistem statis,
kultur dikembangkan selama periode tertentu, kemudian dilakukan pemanenan
pada kultur secara keseluruhan. Snell (1991) menyatakan bahwa sistem statis ini
bersifat ekstensif dan membutuhkan ruang yang luas dalam pengerjaannya.
Sistem ini mempunyai kelebihan yaitu mudah untuk dilakukan. Pemanenan
mikroalga dilakukan pada saat OD 0,5 dengan menambahkan 0,3 g/L Al2(SO4)3
pada kultur. Penggunaan tawas pada metode pemanenan alga bertujuan untuk
membentuk flok mikroalga agar lebih mudah dilakukan pemisahan antara medium
kultur dan biomassa. Tenney et al. (1969) menjelaskan bahwa pemanenan dengan
cara flokulasi dapat dilakukan pada mikroalga dengan ukuran 5-5 μm
(Lampiran 2).
Yield biomassa kering mikroalga Synechococcus sp. ICBB 9111,
mikroalga Chlamydomonas sp. ICBB 9113 dan mikroalga Chlamydomonas sp.
ICBB 9114 masing-masing sebesar 0,21 g/L; 0,26 g/L; dan 0,45 g/L. Yield
biomassa mikroalga Chlamydomonas sp. ICBB 9114 lebih tinggi dibandingkan
mikroalga Synechococcus sp. ICBB 9111, dan mikroalga Chlamydomonas sp.
ICBB 9113. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan unsur NaNO3 media teknis yang
digunakan selama kultivasi (Lampiran 1). Makarevičienė et al. (2011)
menyatakan bahwa perbedaan unsur NaNO3 0,75 g/L dan 1,5 g/L sebagai sumber
nitrogen pada media kultivasi dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroalga dan
biomassa yang dihasilkan. Hasil karakterisasi biomassa kering mikroalga dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Hasil karakterisasi biomassa mikroalga
Komponen
Karbohidrat total
Pati
Glukosa
Selulosa
Kadar air
Kadar abu
Kadar lemak

Komposisi biomassa mikroalga (%)
Synechococcus
sp. ICBB 9111

Chlamydomonas
sp. ICBB 9113

Chlamydomonas
sp. ICBB 9114

13,13
11,82
3,41
1,32
10,72
43,39
3,74

17,71
15,94
4,69
3,95
10,00
30,50
1,25

15,73
14,16
7,93
2,00
8,50
36,50
2,46

±
±
±
±
±
±
±

0,09
0,08
0,01
0,00
0,31
0,15
0,37

±
±
±
±
±
±
±

0,01
0,01
0,04
0,00
0,00
0,00
0,36

±
±
±
±
±
±
±

0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,04

*Chlamydomonas
reinhardtii

59,7 + 0,5
43,6 + 1,4
44,7 + 0,8
-

*Choi et al. (2010)

Karbohidrat merupakan produk utama dari proses fotosintesis dan
metabolisme fiksasi karbon (Calvin cycle) (Ho et al. 2011). Karbohidrat
terakumulasi didalam plastida sebagai cadangan makanan misalnya pati.
Komposisi karbohidrat pada setiap mikroalga berbeda untuk setiap spesiesnya.
Hal tersebut menjadi bagian terpenting dalam memilih mikroalga dengan
produktivitas karbohidrat tertinggi serta komposisi gula yang sesuai untuk
produksi etanol atau produksi kimia lainnya. Karbohidrat total ketiga jenis

15

mikroalga berkisar antara 13,13-17,71%. Karbohidrat tertinggi pada mikroalga
Chlamydomonas sp. ICBB 9113 dan karbohidrat terendah mikroalga
Synechococcus sp. ICBB 9111. Akumulasi karbohidrat umumnya terjadi ketika
sel-sel mikroalga hidup dalam kondisi stres (keterbatasan nutrisi), namun jika
diberikan nutrisi yang terbatas akan berdampak pada pertumbuhan jumlah sel
mikroalga. Kandungan karbohidrat dapat ditingkatkan dengan beberapa cara,
yaitu radiasi, pengurangan nitrogen, variasi suhu dan pH, serta penambahan CO2.
Ho et al. (2012) menyatakan bahwa meningkatnya produktivitas karbohidrat
mikroalga Scenedesmus obliquus jika dikultivasi pada kondisi tinggi CO2 berkisar
140,4-1420,6 mg/L dan intensitas cahaya 420 µmol foton m-2 s-1 atau 21000 lux.
Hasil pengujian karbohidrat total yang dilakukan dengan metode Luff
schrool selanjutnya dikonversi untuk mengetahui kandungan pati pada setiap
mikroalga. Chlamydomonas sp. ICBB 9113 memiliki kandungan pati tertinggi
yaitu 15,94% dan Synechococcus sp. ICBB 9111 dengan kandungan pati 11,82%.
Chen dan Zhang (2012) menjelaskan bahwa pati dihasilkan oleh tumbuhan hijau
yang digunakan sebagai sumber energi dan disintesis dalam bentuk granula dan
selalu bercampur antara amilosa dan amilopektin. Fotosintesis mikroalga
Chlamydomonas sp pada fase log memiliki aktivitas mengumpulkan granular
α- ,4 dan α-1,6 glikosidik yang memilki bentuk, lokasi seluler, dan tempat
penyimpanan yang berbeda (Libessart et al.1995). Pati terdiri dari dua fraksi,
yaitu fraksi amilosa dan amilopektin. Fraksi amilosa sifatnya larut dalam air panas
dan fraksi amilopektin bersifat tidak larut. Amilosa mempunyai struktur lurus
dengan ikatan α-1.4 glikosidik, sedang amilopektin mempunyai cabang dengan
ikatan α-1.6 glikosidik sebanyak 4–5% dari berat total. Metting (1996)
menambahkan mikroalga pada divisi Cyanophyta, Synechococcus sp memiliki
dinding sel yang tersususun atas lipolisakarida dan peptidoglikan dan divisi
Chlorophyta, Chlamydomonas sp. memiliki dinding sel yang tersusun dari
selulosa dan hemiselulosa dengan cadangan makanan pati.
Mikroalga yang mengandung glukosa dengan basis karbohidrat
merupakan bahan baku yang sesuai untuk produksi etanol. Kandungan glukosa
ketiga mikroalga berkisar antara 3,41-7,93%. Glukosa tertinggi terdapat pada
mikroalga Chlamydomonas sp. ICBB 9114 dan yang terendah pada
Synechococcus sp. ICBB 9111. Chu et al. (1982) menyatakan bahwa komponen
monosakarida pada mikroalga meliputi glukosa. Glukosa merupakan polimer
utama yang dibutuhkan dalam proses fermentasi untuk menghasilkan etanol
(Wang et al. 2011).
Komponen polisakarida selain pati yang terdapat pada ketiga mikroalga
adalah selulosa. Winarno (1998) menyatakan bahwa selulosa memiliki rantai
polimer yang linear dengan berat molekul yang tinggi. Ikatan β-1,4 glikosida yang
kuat dari selulosa dapat berbentuk kristal mikrofibril, kemudian bersama-sama
membentuk serat selulosa yang bersifat tidak larut. Hasil karakterisasi komponen
selulosa ketiga jenis mikroalga berkisar 1,32-4,87%. Kandungan selulosa tertinggi
pada mikroalga Chlamydomonas sp. ICBB 9113 dan kandungan selulosa terendah
pada mikroalga Synechococcus sp. ICBB 9111. Somerville (2006) menyatakan
bahwa mikrofibril selulosa menjadi komponen inti dinding sel yang mengelilingi
setiap sel. Monomer pembentuk selulosa adalah glukosa dan berbeda dengan
hemiselulosa yang tersusun dari beberapa monomer Kumar et al. (2009)
menyatakan bahwa selulosa dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku proses etanol
namun struktur kristalin pada selulosa dapat menghambat proses hidrolisis
sehingga perlu dilakukan pretreatment untuk mendekontruksi, hal ini
menyebabkan konsumsi energi dan penggunaan bahan kimia yang lebih besar.

16

Kadar air ketiga jenis mikroalga berkisar antara 8,5-10,72%.
Synechococcus sp. ICBB 9111 mempunyai kadar air tertinggi dan
Chlamydomonas sp. ICBB 9114 memiliki kadar air terendah. Kadar air
mempengaruhi proses penyimpanan. Menurut Hodge dan Osman (1976) gugus
hidrofilik pada molekul pati menyebabkan penyerapan air sesuai dengan
kelembaban udara disekitarnya. Secara alami pati mengandung air sekitar
12-14%. Kadar air yang relatif tinggi akan mempercepat kemunduran kualitas
bahan. Kadar air pada bahan berpati dibutuhkan karena struktur amorf pati yang
memilki sifat hidrofilik akan memudahkan proses gelatinisasi sehingga fraksi
amilosa dan amilopektin akan lebih mudah pecah sebelum terjadi mekanisme
pemotongan oleh enzim. Menurut Van der Veen et al. (2005) produk berpati
dengan kadar air 10-15% dapat meningkatkan isomaltosa pada tahap likuifikasi.
Kadar lemak ketiga jenis mikroalga berkisar antara 0,75-3,74%.
Chlamydomonas sp. ICBB 9113 memiliki kadar lemak terendah, sedangkan
Synechococcus sp. ICBB 9111 memiliki kadar lemak tertinggi. Kadar lemak pada
mikroalga dipengaruhi oleh pH, suhu yang ekstrim serta kondisi lingkungan
mikroalga hidup. Keberadaan kadar lemak yang tinggi dalam proses hidrolisis
dapat mengganggu proses gelatinisasi sebab lemak mampu membuat kompleks
yang menyebabkan amilosa tidak dapat keluar dari granula pati (Sunarti 2007).
Keberadaan lemak yang tinggi dapat mengganggu proses gelatinisasi karena akan
diserap oleh permukaan granula sehingga terbentuk lapisan lemak yang bersifat
hidrofobik disekeliling granula.
Pada tahap kultivasi skala lapang media yang digunakan merupakan media
teknis yang banyak mengandung mineral. Mineral merupakan senyawa anorganik
yang tidak ikut terbakar. Hasil dari pembakaran bahan organik akan menyisakan
senyawa anorganik yang sering disebut abu (Winarno 2008). Kadar abu ketiga
jenis mikroalga berkisar 30,50 – 43,39 %. Kadar abu terendah Chlamydomonas
sp. ICBB 9113 sedangkan yang tertinggi Synechococcus sp. ICBB 9111. Kadar
abu menunjukkan kandungan senyawa logam seperti Cu, Fe, Zn dan Mg. Kadar
abu yang tinggi pada mikroalga dapat menghambat proses hidrolisis karena
senyawa logam misalnya Cu, Fe, Zn, dan Mg diketahui dapat menjadi inhibitor
enzim (Jahan et al. 2012). Hasil penelitian Linden et al. (2003) menerangkan
bahwa mineral Zn dan Ca dapat menghambat aktifitas enzim α-amilase yang di
hasilkan mikroorganisme Pyrococcus woesei, dan Sudha (2012) menyatakan
logam Fe, Cu, Zn dan Mn dapat menghambat aktivitas enzim α-amilase dari
Bacillus amyloliquefaciens pada konsentrasi 2, 5, dan 7 g/L.
Karakterisasi Enzim Komersial α-amilase dan Amiloglukosidase
Karakterisasi enzim komersial dilakukan sebelum tahap likuifikasi dan
sakarifikasi. Tahap likuifikasi menggunakan α-amilase sedangkan proses
sakarifikasi menggunakan amiloglukosidase. Karakterisasi enzim dilakukan untuk
mengetahui suhu dan pH optimum, sebelum dilakukan proses hidrolisis pada
mikroalga. Enzim sebagai katalis memiliki beberapa kelebihan dibandingkan
katalis asam. Beberapa kelebihan enzim yaitu tingkat konversi yang tinggi, rendah
polutan, dan reaksinya bersifat spesifik. Enzim α-amilase dapat berasal dari
hewan, tumbuhan maupun mikoorganisme. Hasil karakterisasi enzim α-amilase
(Tabel 2) dan amiloglukosidase (Tabel 3).
Kondisi pH dan suhu yang berbeda di setiap pengujian menunjukkan hasil
aktivitas enzim yang berbeda. Hasil karakterisasi enzim α-amilase optimum pada
pH 7 dan suhu 90oC dengan aktivitas enzim sebesar 63,69 U/mL. Enzim α-

17

amilase komersial yang mempuyai aktivitas pada suhu tinggi diduga berasal dari
mikroorganisme contoh Bacillus licheniformis. Menurut Bozic et al. (2011) enzim
α-amilase yang berasal dari B. licheniformis umumnya memiliki aktivitas
optimum pada pH 6,5 dan suhu 90oC. Menurut Naz 2 2 α-amilase yang berasal
dari Bacillus licheniformis memiliki pH kisaran optimum pada 5-7.
Tabel 2 Hasil karakterisasi enzim α-amilase
Jenis
Enzim
αamilase

Suhu
inkubasi
(oC)

pH
5,5
Glukosa
AE
(mg/mL) (U/mL)
0,45
44,51
0,51
51,35
0,56
56,36
0,59
58,93

60
70
80
90

6
Glukosa
(mg/mL)
0,46
0,50
0,50
0,59

6,5
Glukosa
AE
(mg/mL) (U/mL)
0,50
50,01
0,59
59,17
0,61
61,49
0,65
64,55

AE
(U/mL)
46,22
50,38
49,77
58,80

7
Glukosa
(mg/mL)
0,54
0,61
0,67
0,64

AE
(U/mL)
54,16
61,49
67,48
63,69

Keterangan = AE (Aktivitas enzim)

Tabel 3 Hasil karakterisasi enzim amiloglukosidase
Jenis
enzim

Amiloglu
kosidase

Suhu
inkubasi
(oC)
40
50
60

pH
5

4,5
Glukosa
(mg/mL)
0,49
0,80
1,28

AE
(U/mL)
48,79
80,30
128,07

Glukosa
(mg/mL)
0,50
0,88
1,39

AE
(U/ml)
50,30
88,49
138,94

5,5
Glukosa
(mg/mL)
0,52
0,78
1,49

AE
(U/mL)
52,94
78,47
148,59

Keterangan = AE (Aktivitas enzim)

Hasil karakterisasi enzim amiloglukosidase terbaik diperoleh pada pH 5,5
dan suhu 60oC dengan aktivitas enzim 148,59 U/mL. Hasil penelitian
Choi et al. (2010) enzim amiloglukosidase memiliki aktivitas enzim terbaik pada
pH 5,5 dengan suhu 55oC. Akyuni (2004) menyatakan bahwa enzim
amiloglukosidase optimum pada pH 4,5 dengan suhu 60oC. Naz (2002)
menyatakan bahwa enzim amiloglukosidase umumnya diperoleh dari
mikroorganisme misalnya kapang atau khamir. Enzim komersial ini biasanya
berasal dari Aspergillus niger.
Proses Hidrolisis Mikroalga
Proses hidrolisis diawali menggunakan enzim α-amilase dengan pH dan
suhu optimum pada larutan mikroalga. Tahap ini umumnya dikenal dengan tahap
likuifikasi. Thomas dan Atwell (1999) menyatakan likuifikasi merupakan proses
pencairan pati yang telah mengalami gelatinisasi. Gelatinisasi dapat diperoleh
dengan melakukan pemanasan pati di dalam air sehingga granula pati mulai
mengembang selanjutnya kekentalannya meningkat. Adanya