Pengukuran Kaki Lereng Eauripik Rise dengan Multibeam Echosounder di Perairan Utara Papua

PENGUKURAN KAKI LERENG EAURIPIK RISE
DENGAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER
DI PERAIRAN UTARA PAPUA

LA ELSON

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Pengukuran Kaki Lereng
Eauripik Rise dengan Multibeam Echosounder di Perairan Utara Papua adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir Tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, 11 Agustus 2014
La Elson
NIM C552120011

RINGKASAN
LA ELSON. Pengukuran Kaki Lereng Eauripik Rise dengan Multibeam
Echosounder di Perairan Utara Papua. Dibimbing oleh HENRY MUNANDAR
MANIK dan UDREKH.
Teknologi akustik multibeam echosounder sangat baik digunakan untuk
mendeteksi dasar laut. Prinsip kerja dari teknologi ini adalah pola pancarannya
melebar dan melintang terhadap badan kapal. Setiap beam akan mendapatkan satu
titik kedalaman dan apabila titik-titik kedalaman tersebut dihubungkan akan
membentuk profil topografi dasar laut. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan
posisi kaki lereng Eauripik rise di perairan utara Papua menggunakan teknologi
akustik multibeam echosounder melalui pendekatan model matematika dan
bentuk topografi permukaan dasar laut. Data batimetri diperoleh dari hasil survei
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Japan Agency for
Marine-Earth Science and Technology (JAMSTEC) yang dilaksanakan pada tahun
1998 − 2012 di perairan utara Papua pada titik koordinat 2°LS − 10°LU dan 135°

− 150° BT. Proses pengolahan dan analisis data meliputi koreksi data batimetri
dan penentuan kaki lereng melalui pendekatan model matematika dan bentuk
topografi dasar laut. Koreksi data batimetri yang diperoleh sudah sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan oleh International Hidrographic Organization
(IHO) 2008. Nilai kesalahan pengkuran kedalaman perairan maksimal 5,265
meter dengan batas tolerensi kesalahan ± 54,270 meter. Batas tolerensi yang lebih
besar dari nilai kesalahan pengukuran kedalaman perairan menunjukan bahwa
teknologi akustik multibeam echosounder memiliki akurasi yang tinggi dalam
mendeteksi dasar perairan. Melalui pendekatan model matematika diperoleh nilai
perubahan gradien maksimum pada masing-masing profil batimetri yang
merupakan daerah perkiraan kaki lereng. Penentuan daerah perkiraan kaki lereng
Eauripik rise dilakukan dengan menggambungkan antara hasil perhitungan
perubahan gradien maksimum dengan bentuk topografi permukaan dasar laut.
Berdasarkan nilai perubahan gradien maksimum dan bentuk topografi permukaan
dasar laut ditemukan informasi keberadaan kaki lereng Eauripik rise pada titik
koordinat 0° 00 01,53 − 7° 59 44,85 LU dan 139° 43 23,86 − 144° 05 00,47
BT di kedalaman antara 3.506,30 meter sampai 4.298,20 meter dengan jarak
antara 116,16 sampai 347,19 kilometer. Posisi kaki lereng tersebut masing-masing
terbagi dalam tiga lokasi di bagian barat dan timur puncak Eauripik rise perairan
utara Papua.

Kata kunci: batimetri, Eauripik rise, kaki lereng, multibeam echosounder

SUMMARY
LA ELSON. Measurement of Foot of Slope the Eauripik Rise Using Multibeam
Echosounder in Northern Papua Waters. Supervised by HENRY MUNANDAR
MANIK and UDREKH.
Acoustic technology of multibeam echosounder can be used for detection of
the seabed. The principle of multibeam is transmission of sound pulse with beam
pattern wider and transverse to the hull. Each beam will receive one point of each
depth for the whole depth data and connected to form a profile of the seabed
topography. The purpose of the study was to determine the position of the foot of
slope the Eauripik rise in the northern Papua waters using Acoustic technology of
multibeam echosounder through the mathematical model and form of seabed
topography. Bathymetry data were obtained from the survey Agency for the
Assessment and Application of Technology (BPPT) and the Japan Agency for
Marine-Earth Science and Technology (JAMSTEC) in 1998 − 2012 in the
northern Papua waters within the coordinates of 2° S − 10° N and 135° − 150° E.
Data processing and analysies included bathymetry data correction and
determination of the foot the Eauripik rise was computed using mathematical
model and seabed topography form. Corection of bathymetry data was conducted

using International Hydrographic Organization (IHO) 2008. The measurements
error of value maximum waters depth of 5,265 meters with limit error ± 54,270
meters. Limit error greater than the value of the waters depth measurement
indicates that the acoustic technology of multibeam echosounder has high
accuracy in detection the seabed for the determination of the foot of the Eauripik
rise. Through the mathematical model approach was obtained maximum gradient
of change value in each bathymetric profiles which is foot of the Eauripik rise
area estimates. Determination of the foot of the Eauripik rise are estimates was
combined between seabed topography with the calculated maximum gradient of
change. Based on maximum gradient of change value and form of seabed
topography, we found the foot of slope the Eauripik rise located at coordinates 0°
00' 01,53" ‒ 7° 59' 44,85" N and 139° 43' 23,86" ‒ 144 ° 05 '00,47 "E at depth
ranging from 3.506,30 meter to 4.298,20 meter at a distance of between 116,16
kilometer to 347,19 kilometer. The position of the foot of slopes each divided in
three locations in the west and east of peaks Eauripik rise of northern Papua
waters.
Keywords: bathymetry, Eauripik rise, foot of slope, multibeam echosounder

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGUKURAN KAKI LERENG EAURIPIK RISE
DENGAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER
DI PERAIRAN UTARA PAPUA

LA ELSON

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Kelautan


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Totok Hestirianoto, MSc

PRAKATA
Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar magister
sains pada Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor. Penelitian ini menggunakan data hasil survei batimetri yang
dilaksanakan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Japan
Agency for Marine-Earth Science and Technology (JAMSTEC) pada bulan
Desember 1998 sampai bulan Juli 2012 di perairan utara Papua. Pengolahan dan
analisis data dilaksanakan di Laboratorium Geosistem Teknologi BPPT Jakarta,
dan Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan
Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor pada bulan Desember 2013 sampai bulan April 2014. Judul penelitian ini
adalah Pengukuran Kaki Lereng Eauripik Rise dengan Multibeam Echosounder di
Perairan Utara Papua.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Henry M Manik, MT dan
Dr Ir Udrekh, MSc sebagai komisi pembimbing atas segala arahan dan
bimbingannya selama proses penelitian, pengolahan data dan penulisan Tesis; Dr
Ir Totok Hestirianoto, MSc sebagai penguji luar komisi pada ujian Tesis atas
masukan dan sarannya dalam penulisan Tesis ini; Dr Ir Bisman Nababan, MSc
sebagai komisi pendidikan Program Studi Teknologi Kelautan pada ujian Tesis
atas masukan dan sarannya dalam penulisan Tesis ini; kepala BPPT yang telah
memberikan izin penelitian menggunakan data hasil survei batimetri di perairan
utara Papua; Bakrie Centre Foundation yang telah memberikan bantuan beasiswa
pendidikan dan penelitian melalui program Bakrie Graduate Fellowship tahun
2013/2014; Yayasan Toyota dan Astra Indonesia yang telah memberikan bantuan
dana penelitian tahun 2014; kedua orang tua, keluarga, istri dan anak-anak saya
yang selalu memberikan motivasi, semangat dan doa selama menempuh
pendidikan magister di IPB; serta semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan Tesis ini. Semoga karya ilmiah ini tidak semata-mata menjadi syarat
kelulusan dari program magister pada Program Studi Teknologi Kelautan,
Sekolah Pascasarjana IPB, akan tetapi penulis berharap semoga karya ilmiah ini
dapat memberikan kontribusi dan bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkannya. Penulis mengakui bahwa karya ilmiah ini masih banyak
kekurangan, saran dan kritik dari pembaca sangat penulis harapkan sehingga

kedepan bisa menjadi lebih baik.

Bogor, 11 Agustus 2014
La Elson

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

xi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang

Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
3
3
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Topografi Dasar Laut
Kaki Lereng (Foot of Slope)
Multibeam Echosounder

4
4
5

6

3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Akuisisi Data Batimetri
Pengolahan Data Batimetri
Koreksi Data Batimetri
Penentuan Kaki Lereng Eauripik Rise
Pemetaan Kaki Lereng Eauripik Rise

8
8
9
9
10
11
13
15


4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kualitas Data Batimetri
Posisi Kaki Lereng Eauripik Rise
Profil batimetri
Perubahan gradien maksimum dan topografi dasar laut
Peta Posisi Kaki Lereng Eauripik Rise

15
15
18
18
19
35

5 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

36
36
36

DAFTAR PUSTAKA

37

LAMPIRAN

39

RIWAYAT HIDUP

45

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Standar ketelitian pengukuran kedalaman perairan
12
Kualitas data batimetri hasil pengukuran MBES di perairan utara Papua
18
Kualitas data batimetri hasil pengukuran MBES dan SRTM di perairan
utara Papua
17
Posisi horizontal dan kedalaman profil batimetri di bagian Eauripik rise
perairan utara Papua
18
Nilai perubahan gradien maksimum pada masing-masing profil batimetri 20
Posisi horizontal daerah perkiraan kaki lereng Eauripik rise masing-masing
profil batimetri di perairan utara Papua
35

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

Bentuk topografi dasar laut
Pencarian dasar lereng kontinen
Visualisasi bentuk sapuan multibeam echosounder
Lokasi survei batimetri di perairan utara Papua
Diagram alir akuisisi dan pengolahan data batimetri
Diagram alir proses pengolahan data batimetri menggunakan perangkat
lunak HIPS and SIPS of Caris 7.0
Posisi profil batimetri di bagian Eauripik rise perairan utara Papua
Visualisasi 2D perubahan gradien maksimum (a) dan bentuk permukaan
dasar laut (b) sepanjang profil satu
Visualisasi 3D bentuk topografi dasar laut jalur sapuan MBES (a) dan
batimetri SRTM hasil model hydrodinamic (b) pada profil satu
Visualisasi 2D perubahan gradien maksimum (a) dan bentuk permukaan
dasar laut (b) sepanjang profil dua
Visualisasi 3D bentuk topografi dasar laut jalur sapuan MBES (a) dan
batimetri SRTM hasil model hydrodinamic (b) pada profil dua
Visualisasi 2D perubahan gradien maksimum (a) dan bentuk permukaan
dasar laut (b) sepanjang profil tiga
Visualisasi 3D bentuk topografi dasar laut jalur sapuan MBES (a) dan
batimetri SRTM hasil model hydrodinamic (b) pada profil tiga
Visualisasi 2D perubahan gradien maksimum (a) dan bentuk permukaan
dasar laut (b) sepanjang profil empat
Visualisasi 3D bentuk topografi dasar laut jalur sapuan MBES (a) dan
batimetri SRTM hasil model hydrodinamic (b) pada profil empat
Visualisasi 2D perubahan gradien maksimum (a) dan bentuk permukaan
dasar laut (b) sepanjang profil lima
Visualisasi 3D bentuk topografi dasar laut jalur sapuan MBES (a) dan
batimetri SRTM hasil model hydrodinamic (b) pada profil lima
Visualisasi 2D perubahan gradien maksimum (a) dan bentuk permukaan
dasar laut (b) sepanjang profil enam
Visualisasi 3D bentuk topografi dasar laut jalur sapuan MBES (a) dan
batimetri SRTM hasil model hydrodinamic (b) pada profil enam
Peta posisi kaki lereng Eauripik rise di perairan utara Papua

5
6
8
9
10
11
19
21
22
23
25
26
27
28
30
31
32
33
34
36

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Syntax proses smoothing data kedalaman masing-masing profil batimetri
menggunakan perangkat lunak matlab
Syntax proses perhitungan perubahan gradien maksimum menggunakan
perangkat lunak matlab
Syntax visualisasi dua dimensi perubahan gradien maksimum menggunakan perangkat lunak matlab
Syntax visualisasi data batimetri dua dimensi dan tiga dimensi menggunakan perangkat lunak matlab
Spesifikasi kapal yang digunakan pada saat survei batimetri
Spesifikasi sistem akustik multibeam echosounder yang digunakan pada
saat survei batimetri

39
39
40
40
42
44

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagai negara kepulauan Indonesia memiliki peluang untuk melakukan
perluasan batas wilayah perairan lebih dari 200 Nautical Mile (NM) dan kurang
dari 350 NM dengan mempertimbangkan beberapa kriteria yang telah ditetapkan
oleh hukum laut internasional United Nations Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS) 1982. Hasil studi sementara berdasarkan data geologi, seismik, grafiti
dan batimetri menunjukan bahwa terdapat tiga lokasi di Indonesia mempunyai
prospek untuk melaksanakan submisi landas kontinen di luar 200 NM yaitu, di
perairan barat Aceh, selatan Sumbawa dan perairan utara Papua (Bakosurtanal
2010). Perluasan batas wilayah di perairan barat Aceh telah berhasil dilakukan
dan mendapat pengakuan dari UNCLOS pada tanggal 28 Maret 2011 (BIG 2013).
Perluasan wilayah perairan tersebut diusulkan berdasarkan ketebalan sedimen
menggunakan formula Gardiner. Klaim ini di dukung oleh kajian ilmiah
menggunakan data seismik refleksi kanal ganda dengan kualitas yang lebih baik.
Perairan selatan Sumbawa dan perairan utara Papua saat ini masih dalam proses
kajian teknik perluasan batas wilayah yang dilakukan oleh Badan Informasi
Geospasial (BIG) bersama instansi terkait seperti Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
Pusat Pengembangan dan Penelitian Geologi Kelautan (P3GL), Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Dinas Hidro-oseanografi Tentara Nasional
Indonesia-Angkatan Laut (Dishidros TNI-AL).
Perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan batas wilayah laut
atas kalim negara lain dalam sidang internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) telah banyak dilakukan termasuk wilayah perairan yang memiliki potensi
untuk dilakukan perluasan batas wilayah lebih dari 200 NM. Artikel 76 UNCLOS
1982 membuka peluang untuk melakukan perluasan wilayah berdasarkan struktur
tinggian di dasar laut. Tinggian yang dimaksud tersebut dapat diartikan sebagai
suatu tinggian yang memanjang dengan topografi yang relatif tidak beraturan atau
halus dengan lereng yang tajam (IHO 1993). Paragraf 6 artikel 76 UNCLOS 1982
menjelaskan bahwa tinggian bawah laut yang dimaksud adalah tinggian yang
serupa dengan tinggian tengah samudera (mid ocean ridges), dimana tinggian
tersebut merupakan bagian tidak terpisahkan dari rangkaian pelamparan samudera
yang memanjang hingga sekitar 60.000 kilometer. Berdasarkan hal tersebut di
sekitar wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dapat diamati adanya
penampakan batimetri yang diketahui sebagai manifestasi hasil pelamparan
samudera namun diduga tidak aktif (P3GL 2013). Salah satu aspek praktis yang
dapat digunakan untuk melakukan perluasan batas wilayah berdasarkan paragraf 6
artikel 76 UNCLOS 1982 adalah menggunakan titik tertinggi dan kaki lereng dari
tinggian bawah laut sebagai titik pangkal yang merupakan representasi dari
perubahan yang tercuram dari lereng itu sendiri (BIG 2013). Berdasarkan
beberapa hal tersebut penerapan paragraf 6 artikel 76 UNCLOS 1982
memungkinkan untuk malakukan perluasan batas wilayah antara 200 NM dan 350
NM di Eauripik rise perairan utara Papua. Wilayah Eauripik rise dipilih karena
berdasarkan kajian awal yang dilakukan oleh Badan Informasi Geospasial

2
menunjukan adanya peluang Indonesia untuk melakukan perluasan batas wilayah
menggunakan klausul tinggian samudera (BIG 2013). Kajian awal yang dilakukan
di wilayah Eauripik rise perairan utara Papua merupakan hasil kesepakatan
bersama dalam sidang internasional di PBB yang dihadiri oleh delegasi Indonesia,
Papua New Guinea, Mikronesia dan Palua. Hasil kesepakatan sidang disetujui
bahwa untuk melakukan submisi kepada UNCLOS dilakukan secara bersama
berdasarkan kajian teknik secara ilmiah dari masing-masing negara yang
bersangkutan. Namun, perkembangan terkini menunjukkan bahwa negara
tetangga Mikronesia dan Papua New Guinea telah dengan sendiri-sendiri
mengajukan klaim perluasan batas wilayah perairan kepada UNCLOS (BIG
2013). Perluasan wilayah yang dilakukan oleh negara Mikronesia dan Papua New
Guine di perairan utara Papua diusulkan berdasarkan titik kaki lereng dari
Eauripik rise dan Mussau ridge menggunakan data batimetri dari Suttle Radar
Topography Mission (FSM 2013).
Kaki lereng adalah tempat perubahan gradien maksimum atau tempat
pertemuan antara material asli dan endapannya yang terletak pada bagian
permukaan lereng terjauh atau bagian terdalam atau kaki dekat cekungan di dasar
laut (Djunarsjah 2004). Posisi kaki lereng dapat diketahui melalui informasi
tentang karakteristik batimetri atau topografi dasar laut suatu perairan
(Poerbandono dan Djunarsjah 2005). Informasi batimetri tersebut dapat diperoleh
melalui teknik deteksi atau pengukuran dengan menggunakan teknologi akustik
bawah air. Salah satu jenis teknologi untuk tujuan tersebut adalah multibeam
echosounder. Teknologi ini mampu melakukan pemeruman (sounding) di dasar
laut dengan akurasi tinggi dan cakupan yang luas (Anderson et al. 2008).
Multibeam echosounder menggunakan prinsip yang sama dengan single beam
echosounder namun jumlah beam yang dipancarkan adalah lebih dari satu
pancaran. Pola pancarannya melebar dan melintang terhadap badan kapal, yaitu
setiap beam akan mendapatkan satu titik kedalaman dan apabila titik-titik
kedalaman tersebut dihubungkan akan membentuk profil topografi dasar laut (Ona
et al. 2009). Secara kontinyu multibeam mengirimkan pulsa suara dalam jumlah
yang banyak ke dasar perairan, sehingga hal ini memungkinkan untuk dapat
melakukan pemetaan dasar laut secara luas (Korneliussen dan Ona 2002).
Teknologi akustik multibeam echosounder memiliki beberapa kelebihan
dibanding dengan teknologi sebelumnya, antara lain sistem ini dapat mengakses
daerah yang sangat luas dengan resolusi tinggi, sehingga menjadikan teknologi ini
sangat banyak digunakan dalam kegiatan pemetaan alur pelayaran, penelitian dan
pemetaan geologi dasar laut, peletakan pipa minyak dan gas bumi, pencarian
kapal tenggelam, pencarian objek wisata dasar laut dan penentuan gunung api
bawah laut (Djunarsjah 2005).
Perairan utara Papua memiliki potensi perluasan batas wilayah lebih dari
200 NM dengan luas 385.300 km2 (Bakosurtanal 2010). Salah satu permasalahan
penting untuk menetapkan penambahan batas wilayah di perairan utara Papua
adalah belum adanya informasi mengenai posisi kaki lereng Eauripik rise yang
bisa dijadikan sebagai titik acuan pengukuran penambahan batas wilayah perairan
dari data batimetri yang memiliki tingkat akurasi yang lebih baik. Berdasarkan hal
tersebut penelitian mengenai pengukuran kaki lereng Eauripik rise dengan
multibeam echosounder di perairan utara Papua menjadi sangat penting karena
data batimetri yang diperoleh memiliki akurasi yang lebih baik.

3
Perumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan mengenai informasi keberadaan posisi kaki
lereng Eauripik rise di perairan utara Papua sebagai salah satu titik acuan
perluasan batas wilayah perairan Indonesia lebih dari 200 NM dan kurang dari
350 NM, maka dapat dirumuskan beberapa masalah dalam penelitian ini: [1]
teknik apa yang bisa digunakan dalam melakukan deteksi atau pengukuran posisi
kaki lereng Earipik rise di perairan utara Papua; [2] bagaimana cara memberikan
informasi kepada pemerintah Indonesia, khususnya di perairan utara Pupua
mengenai lokasi atau posisi keberadaan kaki lereng Eauripik rise dari data
batimetri yang memiliki tingkat akurasi yang lebih baik, hubungannya dengan
perluasan batas wilayah perairan Indonesia lebih dari 200 NM.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan posisi kaki lereng
Eauripik rise di perairan utara Papua menggunakan teknologi akustik multibeam
echosounder melalui pendekatan model matematika dan bentuk topografi
permukaan dasar laut.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kontribusi
terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama dari aspek
teknis secara ilmiah dalam perluasan batas wilayah perairan suatu negara
kepulauan dan memberikan informasi mengenai keberadaan posisi kaki lereng
Eauripik rise di perairan utara Papua sebagai acuan dalam penentuan potensi
penambahan batas wilayah perairan Indonesia lebih dari 200 NM dengan negara
tetangga seperti Papua New Guinea, Mikronesia dan Palau.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada aspek batimetri untuk penentuan kaki lereng
Eauripik rise di perairan utara Papua. Aspek batimetri yang dimaksud adalah
kualitas data kedalaman, karakteristik topografi permukaan dasar laut dan posisi
kaki lereng. Kualitas data kedalaman dilakukan dengan menghitung nilai
penyimpangan atau kesalahan pengukuran pada titik perpotongan jalur survei arah
melintang dan membujur, karakteristik topografi permukaan dasar laut diketahui
berdasarkan data batimetri hasil koreksi dan smoothing menggunakan perangkat
lunak Matlab 10, penentuan posisi kaki lereng dilakukan melalui pendekatan
model matematika dan bentuk topografi permukaan dasar laut. Data dan informasi
berkaitan dengan aspek tersebut dapat diperoleh melalui survei akustik kelautan
dan peta laut sebagai validasi. Survei akustik kelautan dilakukan dengan kapal
penelitian Mirai milik Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology
(JAMSTEC) dan peta laut diperoleh dari Badan Informasi Geospasial (BIG).

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Topografi Dasar Laut
Dasar laut dan tanah di bawahnya serta sumberdaya alam yang terkandung
di dalamnya merupakan kelanjutan alamiah dari daratan dan ada hubungannya
dengan sumberdaya alam yang terkandung di dalam daratan tersebut
(Poerbandono 1999). Sumberdaya alam tersebut tidak hanya terbatas pada dasar
laut dan tanah di bawahnya yang terletak di dalam wilayah teritorial suatu negara
kepulauan tetapi juga terletak di luar wilayah teritorialnya (Parthiana 1990).
Perpanjangan massa daratan yang berada di bawah laut secara berurutan dari
bagian dangkal ke bagian yang lebih dalam disebut tepian kontinen (Poerbandono
1999). Tepian kontinen terdiri dari landas kontinen (continental shelf), lereng
kontinen (continental slope), dan punggungan kontienen (continental rise).
Landas kontinen merupakan bagian dari lempeng kontinen yang dibentuk oleh
material alamiah yang terdiri dari batuan dasar (basement rock) dan endapan
batuan sedimen yang menumpang di atasnya. Batuan dasar pada lempeng
kontinen umumnya berupa batuan beku yang mempunyai berat jenis lebih ringan
daripada berat jenis batuan dasar lempeng lautan (oceanic plate) dan memiliki
karakteristik topografi permukaan dasar laut lebih datar dengan kemiringan ratarata 0,1º serta kedalaman 130 meter sampai 200 meter. Tepian pada tipe Pasifik
umumnya sempit dan bebatuan karena pembentukannya dipengaruhi oleh proses
erosi. Lereng kontinen dimulai dari batas kontinen yang merupakan bagian terluar
dari landas kontinen dan berakhir pada kedalaman 1.500 meter sampai 4.000
meter yang dicirikan dengan adanya lereng yang curam. Kemiringan rata-rata
pada lereng kontinen berkisar pada 3º sampai 6º. Lereng kontinen pada tepian
Pasifik dicirikan dengan lereng yang terjal dan menerus hingga mencapai laut
dalam. Punggungan kontinen memiliki karakteristik kemiringan rata-rata 0.1º
sampai 1º ke arah dasar laut yang lebih dalam dengan kedalaman antara 4.000
meter sampai 5.000 meter.
Menurut Hutabarat dan Evans (1985) secara geologi bagian-bagian
topografi dasar laut meliputi:
1) Paparan (shelf), yaitu zona laut dangkal yang meluas dari batas bagian yang
selalu terendam air sampai pada kedalaman sekitar 120 meter berlanjut ke
bagian-bagian yang menurun curam searah laut dalam;
2) Lereng (slope), yaitu bagian dasar laut yang curam mulai dari batas luar
paparan sampai ke bagian air yang lebih dalam;
3) Tanjakan (rise), yaitu punggungan yang lebar dan memanjang, lerengnya lebih
landai dari pematang gunung;
4) Cekungan (basin), yaitu bentuk depresi yang besar menyerupai bentuk bulat
atau oval;
5) Pematang gunung (ridges), yaitu bentuk punggungan yang memanjang dan
puncaknya sempit dengan lereng yang curam;
6) Gunung laut (seamont), yaitu gunung yang menjulang dari dasar laut ke arah
permukaan dan terpencil;
7) Parit (trench), yaitu bentuk depresi yang sempit dan memanjang dengan lereng
yang curam;

5
8) Busur (arc), yaitu pematang gunung yang membentuk kurva dan beberapa
bagian ada yang muncul ke atas permukaan air laut; dan
9) Palung (rough), yaitu depresi yang memanjang dan lebar dengan bentuk lereng
yang lebih curam dan dalam.
Penggambaran bentuk morfologi dasar perairan dapat dilakukan dengan
membuat peta batimetri menggunakan garis kontur, yaitu garis khayal untuk
menggambarkan semua titik yang mempunyai ketinggian yang sama di atas atau
di bawah permukaan datum tertentu (Porbandono 1999).

Gambar 1 Bentuk topografi dasar laut (Hutabarat dan Evans 1985)
Kaki Lereng (Foot of Slope)
Kaki lereng (foot of slope) merupakan sebuah tempat perubahan atau tempat
pertemuan antara material asli dan endapanya (akumulasi material). Endapan
tersebut bermula dari tempat yang stabil dengan gradien yang kecil atau
mendekati yang mendatar (Djunarsjah 2004). Keberadaan endapan pada tempat
yang stabil menunjukan bahwa kaki lereng terdapat pada permukaan lereng
terjauh atau bagian terdalam atau kaki dekat cekungan di dasar laut. Menurut
Djunarsjah (2004) kaki lereng memilki karakteristik sebagai berikut:
1) Memiliki garis lipatan antara dua lereng atau permukaan yang berbeda;
2) Memiliki garis penghubung antar dua struktur kerak yang berbeda;
3) Permukaan atas mewakili struktur asli kerak tepian kontinen;
4) Permukaan bawah mewakili struktur endapan kerak tepian kontinen yang
sesuai;
5) Permukaan tertinggi memiliki gradien yang lebih besar dari permukaan yang
lebih rendah;
6) Permukaan bawah atau endapan terletak di dekat cekungan dasar laut;
7) Jika terdapat beberapa lipatan, maka lipatan yang terdalam memiliki
kemungkinan terbesar sebagai kaki lereng; dan
8) Memiliki perubahan gradien lereng.
Keberadaan kaki lereng dapat dilihat dari perubahan gradien lereng,
apabila perubahan gradien lebih besar maka keberadaan kaki lereng tersebut
sangat jelas kelihatan. Namun, apabila perubahan gardien lebih kecil, maka lokasi
yang tepat di kaki lereng tidak jelas terlihat, sehingga perlu dilakukan pencarian
dari dua arah, yaitu ke arah kontinen atau ke arah samudera seperti ditunjukan

6
pada Gambar 2. Aturan umum yang berlaku untuk menentukan keberadaan kaki
lereng adalah melalui perhitungan perubahan gradien maksimum pada dasar
lereng (CLCS 1999). Namun apabila ada bukti yang bertentangan dengan hal
tersebut, maka kaki lereng ditentukan tidak berdasarkan aturan umum, sehingga
untuk memastikan letak kaki lereng perlu dilakukan identifikasi terhadap wilayah
dasar lereng berdasarkan bukti-bukti geologi dan geofisika. Menurut Pratomo
(2007) terdapat dua tahapan untuk menentukan keberadaan kaki lereng, yaitu
identifikasi wilayah dasar lereng dan penentuan lokasi titik perubahan gardien
maksimum di wilayah dasar lereng. Identifikasi terhadap dasar lereng dapat
dilakukan dengan melihat pada bukti morfologi dasar laut, dan bukti geologi dan
geofisika. Hal tersebut dapat diketahui melalui survei seismik kelautan karena
pemanfaatan teknologi seismik dapat mengetahui struktur dan karakteristik
lapisan dasar laut dan sedimen yang terkandung di dalamnya (P3Gl 2013).
Penentuan lokasi titik perubahan gradien maksimum di wilayah dasar lereng dapat
diketahui melalui survei batimetri menggunakan teknologi akustik bawah air
seperti multibeam echosounder.

Gambar 2 Pencarian dasar lereng (Djunarsjah 2004)

Multibeam Echosounder
Multibeam echosounder merupakan salah satu teknologi akustik bawah air
yang banyak digunakan dalam kegiatan survei batimetri. Hal ini disebabkan
karena kemampuan teknologi tersebut dalam melakukan pemeruman dasar laut
dengan akurasi tinggi dan cakupan yang luas (Anderson et al. 2008). Sistem
akustik multibeam echosounder (MBES) mengirimkan pulsa suara dalam jumlah
yang banyak ke dasar perairan, sehingga memungkinkan untuk dapat dilakukan
pemetaan dasar laut secara luas. Teknologi akustik MBES merupakan instrumen
yang menggunakan sejumlah beam yang dirangkai dengan frekuensi yang sama.
Pemancar dan penerima beam disusun dengan spasi tertentu, sehingga
memungkinkan pancaran gelombang akustik memberikan kerapatan sebaik
mungkin (CSI 2003). Setiap transducer pengirim memancarkan sinyal pulsa
akustik dengan karakteristik atau kode tertentu, agar sinyal yang dipantulkan dari
dasar perairan hanya diterima oleh masing-masing transducer penerima seperti
terlihat pada Gambar 3. Komponen utama MBES yaitu, transmiter berfungsi
menghasilkan pulsa yang akan dipancarkan. Suatu kotak perintah dari kotak
pemicu pulsa pada recorder akan memberitahukan kapan pembentuk pulsa
bekerja. Pulsa dibangkitkan oleh oscillator kemudian diperkuat oleh power
amplifier sebelum pulsa tersebut disalurkan ke transducer. Transducer berfungsi

7
mengubah energi listrik menjadi energi suara ketika akan dipancarkan ke medium
dan mengubah energi suara menjadi energi listrik ketika echo diterima dari suatu
target. Selain itu fungsi lain dari transducer adalah memusatkan energi suara yang
akan dipantulkan sebagai beam. Receiver berfungsi menerima pulsa dari objek
yang ditampilkan pada display atau recorder yang berfungsi sebagai pencatat
hasil echo. Sinyal listrik lemah yang dihasilkan oleh tranducer setelah echo
diterima harus diperkuat beberapa ribu kali sebelum disalurkan ke recorder.
Selama penjalaran beam menerima echo dari target, maka target yang terdeteksi
oleh transducer terletak dari pusat beam suara dan echo dari target akan
dikembalikan dan diterima oleh transducer pada waktu yang bersamaan. Recorder
berfungsi untuk merekam atau menampilkan sinyal echo dan juga berperan sebagi
pengatur kerja transmiter dan mengukur waktu antara pemancaran pulsa suara dan
penerimaan echo atau recorder memberikan sinyal kepada transmiter untuk
menghasilkan pulsa pada saat yang sama recorder juga mengirimkan sinyal ke
receiver untuk menurunkan sensitifitasnya (Lurton 2002).
Teknologi akustik MBES menggunakan prinsip yang sama dengan single
beam echosounder namun jumlah beam yang dipancarkan adalah lebih dari satu
pancaran. Pola pancarannya melebar dan melintang terhadap badan kapal. Setiap
beam akan mendapatkan satu titik kedalaman dan apabila titik-titik kedalaman
tersebut dihubungkan akan membentuk profil dasar laut (Ona et al. 2009). Kapal
yang bergerak maju, hasil sapuan MBES mengasilkan suatu luasan yang
menggambarkan permukaan dasar laut (Moustier 1996). Data kedalaman yang
akurat dari hasil pengukuran dikoreksi terhadap kesalahan dari sumber-sumber
kesalahan yang mungkin terjadi, seperti kecepatan kapal, sistem pengukuran,
offset kapal, dan posisi kapal (Medwin dan Clay 1998).
Multibeam echosounder merupakan alat perum gema yang terdiri atas
puluhan hingga ratusan transducer dan hydrofon yang terdapat dalam satu tempat
dan membentuk sudut pancar seperti kipas dengan menggunakan frekuensi yang
sama. Deteksi arah datangnya sinyal yang dipantulkan oleh dasar laut, transducer
pada MBES menggunakan tiga metode pendeteksian, yaitu deteksi amplitudo,
fase, dan inferometrik (Lurton 2002). Umumnya MBES menggunakan teknik
inferometrik untuk mendeteksi arah datangnya gelombang pantul sebagai fungsi
dari waktu. Pendeteksian inferometrik digunakan untuk menentukan sudut sinyal
datang, dengan menggunakan akumulasi sinyal yang diterima pada dua array
yang terpisah, sehingga suatu pola interferensi akan terbentuk. Pola ini
menunjukkan hubungan fase tiap sinyal yang diterima. Berdasarkan hubungan
yang ada, suatu arah akan dapat ditentukan. Informasi ini jika dikombinasikan
dengan jarak maka akan menghasilkan data kedalaman (Ona et al. 2009).
Prinsip pengukuran MBES yang digunakan adalah pengukuran selisih fase
pulsa. Teknik pengukuran yang digunakan selisih fase pulsa ini merupakan fungsi
dari selisih pulsa waktu pemancaran dan penerimaan pulsa akustik serta sudut
datang dari sinyal tiap-tiap transducer, sehingga kedalaman merupakan fungsi
dari selang waktu. Selisih pulsa dalam MBES artinya sebagai fungsi dari selisih
fase waktu pemancaran dan waktu penerimaan. Perhitungan waktu tempuh dan
arah sudut pancaran setiap stave ditentukan dari pengukuran selisih fase pulsa
MBES (Lurton 2002). Keuntungan dari teknologi akustik MBES ini adalah
memiliki kemampuan penentuan posisi yang akurat dan tepat sehingga dapat
membantu untuk menghasilkan peta batimetri dengan resolusi tinggi.

8
Teknologi akustik MBES dapat diaplikasikan dalam usaha pemanfaatan dan
pengolahan sumber daya laut secara optimal, seperti pemetaan dasar laut dangkal
maupun dalam yang dapat digunakan untuk kegiatan survei pemetaan alur
pelayaran, pemetaan dan penelitian geologi, peletakan pipa minyak dan gas bumi,
pemetaan dasar laut, pencarian kapal tenggelam, pencarian objek wisata dasar laut
dan lain-lain yang berhubungan dengan survei batimetri dan hidrografi
(Djunarsjah 2005). Bentuk sapuan dari sistem akustik MBES yang dipancarkan
oleh transducer ke dalam kolom perairan ketika melakukan kegiatan pemeruman
ditampilkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Visualisasi bentuk sapuan multibeam echosounder (CSI 2003)

3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini menggunakan data hasil survei batimetri yang dilaksanakan
oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Japan Agency for
Marine-Earth Science and Technology (JAMSTEC) pada bulan Desember 1998
sampai bulan Juli 2012 di perairan utara Papua pada koordinat 2° LS − 10° LU
dan 135° − 150° BT. Pengolahan dan analisis data dilaksanakan pada bulan
Desember 2013 sampai bulan April 2014 di Laboratorium Geosystem Technology
BPPT Jakarta, dan Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan,
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor. Lokasi survei batimetri ditampilkan pada Gambar 4.

9

Gambar 4 Lokasi survei batimetri di perairan utara Papua
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data batimetri hasil
pengukuran multibeam echosounder (MBES) dan peta suttle radar topography
mission (SRTM). Peralatan yang digunakan dalam survei batimetri antara lain,
kapal Mirai yang dilengkapi dengan perangkat teknologi akustik multibeam
echosounder tipe seabeam 2112.004, frekuensi 12 kHz, sudut sapuan maksimum
150°, sudut beam 2º x 2°, jumlah beam 151 dan jangkauan kedalaman sampai
11.000 meter; Global Positioning System (GPS); sensor attitude and positioning
Coda Octopus F 180; Conductivity Temperature Depth (CTD); komputer sistem
windows dan linux serta peralatan pendukung lainnya yang digunakan selama
survei berlangsung. Peralatan yang digunakan dalam proses pengolahan data
antara lain komputer sistem windows dan linux yang dilengkapi dengan perangkat
lunak HIPS and SIPS of Caris 7.0, Global Mapper 12, Matlab 10, ArcGis 10,
Surfer 11 dan Microsoft Office 2013.
Akuisisi Data Batimetri
Pengukuran data batimetri yang dilakukan oleh team peneliti lapang
dikumpulkan berdasarkan jalur survei yang bersifat acak atau tidak beraturan. Hal
ini disebabkan karena desain survei tersebut tidak difokuskan pada pentuan kaki

10
lereng Eauripik rise tetapi untuk tujuan eksplorasi sumberdaya alam yang terdapat
di perairan utara Papua. Pemanfaatan data batimetri yang digunakan dalam
penelitian ini penting karena peralatan yang digunakan, yaitu multibeam
echosounder memiliki akurasi yang tinggi dalam mendeteksi dasar perairan
(Anderson et al. 2008), sehingga data batimetri tersebut secara teknis dapat
digunakan untuk penentuan kaki lereng Eauripik rise. Teknologi akustik MBES
sudah terpasang secara otomatis pada kapal selama survei berlangsung dan sistem
navigasi yang digunakan pada kapal survei diatur dalam perangkat lunak hypack
yang secara langsung terhubung dengan sistem akuisisi data MBES. Data
batimetri yang diperoleh pada masing-masing jalur survei langsung dilakukan
koreksi terhadap pengaruh pergerakan kapal seperti pitch, roll dan heave. Koreksi
tersebut menggunakan sensor attitude and positioning coda octopus F 180. Hasil
koreksi tersebut selanjutnya digunakan untuk proses koreksi offset static. Selain
melakukan koreksi terhadap pergerakan kapal juga dilakukan koreksi terhadap proses
perambatan gelombang suara ke dalam medium air laut (sound velocity correction).
Pengolahan Data Batimetri
Data batimetri dalam bentuk raw hasil pemeruman selanjutnya diproses
dengan perangkat lunak HIPS and SIPS of Caris untuk menghasilkan data posisi
lintang dan bujur serta kedalaman terukur. Proses akuisisi data batimetri MBES di
lokasi survei dan pengolahan data sampai mendapatkan nilai lintang, bujur dan
kedalaman ditampilkan pada Gambar 5.

Gambar 5 Diagram alir akuisisi dan pengolahan data batimetri

11
Proses pengolahan data batimetri secara umum dimulai dengan konfigurasi
kapal atau pembuatan file kapal (vessel file). File kapal ini memuat informasi
mengenai koordinat setiap sensor yang direferensikan terhadap titik pusat kapal.
Proses berikutnya adalah pembuatan project, menentukan sistem koordinat yang
digunakan dan melakukan konversi data (conversion wizard) sesuai dengan jenis
multibeam yang digunakan dan penyimpanan session yang akan menampilkan
urutan objek yang ditampilkan dalam windows display. Proses selanjutnya yang
harus dilakukan adalah melakukan beberapa koreksi terhadap data sensor seperti
navigation editor, swath editor, dan altitude editor pada fase clean auxiliary
sensor data. Kemudian dilakukan proses penggabungan (merge) file untuk
membuat lembar kerja baru (new field sheet). Hasil akhir dari pengolahan data
tersebut berupa peta batimetri (mapping product) yang selanjutnya di export
berupa gambar berektensi *.bmp. Proses pengolahan data batimetri menggunakan
perangkat lunak HIPS and SIPS of Caris ditampilkan pada Gambar 6.

Gambar 6 Diagram alir proses pengolahan data batimetri menggunakan
perangkat lunak HIPS and SIPS of Caris 7.0
Koreksi Data Batimetri
Tingkat ketelitian dari data hasil pemeruman menjadi hal utama untuk
diketahui, karena berhubungan dengan seberapa akurat data tersebut memberikan
informasi mengenai nilai kedalaman sebenarnya di lokasi penelitian. Agar data
yang diperoleh sesuai dengan standar yang telah ditentukan, maka perlu dilakukan
suatu kontrol kualitas berupa koreksi data batimetri. Koreksi data batimetri
dilakukan dengan mengacu pada International Hidrographic Organization (IHO)
2008. Proses koreksi tersebut dilakukan dengan menghitung penyimpangan
kedalaman di titik analisis, yaitu titik perpotongan antara jalur melintang dan
membujur pada wilayah survei yang dinyatakan sebagai kesalahan (s) berdasarkan
persamaan sebagai berikut:
s = dl – db

(1)

12
Keterangan:
s
dl
db

= Kesalahan kedalaman
= Kedalaman titik analisis pada jalur melintang
= Kedalaman titik analisis pada jalur membujur.

Besarnya kesalahan kedalaman perairan hasil pengukuran dibatasi
berdasarkan standar yang telah ditetapkan oleh IHO (2008), yaitu tidak boleh
melebihi batas toleransi sebesar 2σ. Ketetapan ini didasarkan pada nilai a dan b
yang terdapat pada tabel standar minimum survei hidrografi (Tabel 1). Standar
ketelitian pengukuran kedalaman orde spesial digunakan pada kondisi perairan
kritis, seperti perairan dangkal dengan dasar perairan yang berlumpur; orde 1a
merupakan daerah perairan dangkal kurang dari 100 meter, yaitu jarak di bawah
lunas kapal pengaruh critical area lebih kecil; orde 1b merupakan daerah perairan
dangkal kurang dari 100 meter, yaitu jarak bawah lunas kapal tidak
dipertimbangkan lagi karena termasuk daerah tipe permukaan yang diharapkan;
dan orde 2 digunakan pada kedalaman perairan lebih dari 100 meter atau perairan
dalam (IHO 2008). Standar ketelitian pengukuran kedalaman perairan dalam
penelitian ini menggunakan standar survei orde dua, karena lokasi penelitian
memiliki kedalaman lebih dari 100 meter atau termasuk perairan laut dalam.
Tabel 1 Standar ketelitian pengukuran kedalaman perairan
Orde
Ketelitian kedalaman

Spesial
a = 0,25 m
b = 0,0075

1a
a = 0,5 m
b = 0,013

1b
a = 0,5 m
b = 0,013

2
a = 1,00 m
b = 0,023

Proses perhitungan limit error atau batas toleransi kesalahan pengukuran
kedalaman perairan mengacu pada standar IHO (2008), yang secara matematik
dapat diperoleh melalui persamaan:
(2)
Keterangan:
a
= Konstanta kesalahan yang bersifat tetap (m)
b
= Faktor kesalahan kedalaman yang bersifat tidak tetap
d
= Kedalaman terukur (m)
bxd
= Kesalahan kedalaman yang bersifat tidak tetap (m).
Penentuan batas toleransi kesalahan pengukuran batimetri dalam penelitian
ini ditetapkan pada nilai kedalaman terukur (d) yang terkecil atau kedalaman
minimum di lokasi jalur survei. Nilai kedalaman minimum tersebut dihitung
berdasarkan persamaan dua, kemudian hasilnya dibandingkan dengan nilai
kesalahan pengukuran pada titik perpotongan jalur survei berdasarkan hasil
perhitungan dari persamaan satu yang memiliki nilai kesalahan paling besar.
Selanjutnya dilakukan analisis akurasi pengukuran, yaitu jika nilai kesalahan hasil
pengukuran lebih besar dari batas toleransi kesalahan yang ditetapkan berdasarkan
hasil perhitungan dari persamaan dua, maka data batimetri tersebut tidak akurat,
sebaliknya jika nilai kesalahan pengukuran lebih kecil dari batas toleransi
kesalahan yang telah ditetapkan, maka data batimetri yang digunakan tersebut
memiliki akurasi yang lebih baik (De Robertis dan Higginbottom 2007).

13
Kualitas data batimetri MBES juga dibandingkan dengan data batimetri
SRTM. Hal ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana perbedaan kedua data ini,
sehingga pada saat dilakukan overlay data batimetri di wilayah penelitian untuk
pemetaan lokasi kaki lereng Earipik rise memiliki akurasi yang lebih baik. Titik
analisis koreksi data batimetri SRTM dilakukan di lokasi yang sama dengan
koreksi data batimetri MBES. Kualitas data batimetri SRTM dapat diketahui
dengan membandingkan nilai kedalaman perairan hasil pengukuran MBES pada
titik jalur survei arah melintang dengan data batimetri SRTM pada titik yang sama
dengan jalur survei arah melintang oleh MBES. Titik analisis tersebut ditarik
secara tegak lurus dari awal sampai akhir titik perpotongan jalur survei. Jarak titik
analisis disesuaikan dengan panjang perpotongan masing-masing jalur survei.
Perbandingan data batimetri SRTM dengan data batimetri MBES ditampilkan
dalam bentuk tiga dimensi untuk melihat tingkat ketelitian dalam menentukan
posisi kaki lereng Eauripik rise di lokasi yang sama.
Penentuan Kaki Lereng Eauripik Rise
Teknik penentuan posisi kaki lereng Eauripik rise dilakukan dengan cara
menarik garis profil kedalaman dari data batimetri yang sudah dilakukan gridding
secara tegak lurus dari garis isobath di tempat titik perubahan gradien pada dasar
lereng. Selanjutnya pada garis profil kedalaman tersebut dihitung gradien dan
perubahannya. Kaki lereng merupakan perubahan gardien maksimum pada dasar
lereng sepanjang profil batimetri yang dibentuk. Khafid (2009) menyatakan
bahwa untuk menentukan keberadaan kaki lereng harus dicari perubahan gradien
maksimum pada profil kedalaman tersebut di daerah dasar lereng menggunakan
pendekatan model matematika. Garis profil batimetri ditarik tegak lurus garis
kontur kedalaman dengan interval jarak maksimal 60 NM antar profil kedalaman
dan pendekatan model matematika dibangun menggunakan data batimetri dengan
asumsi bahwa tegak lurus dengan lereng tepian kontinen (Khafid 2009). Data
batimetri yang diperoleh dikelompokan berdasarkan wilayah atau lokasi
pengambilannya, agar lebih mudah dalam menganalisis perubahan gardien secara
maksimum. Selanjutnya data spasial yang diperoleh dari hasil survei yang sudah
melalui proccessing selanjutnya dilakukan proses smoothing menggunakan
moving average dalam perangkat lunak Matlab 10 (Lampiran 1). Data batimetri
hasil smoothing tersebut kemudian digunakan untuk menghitung perubahan
gradien maksimum pada masing-masing profil data batimetri melalui pendekatan
model matematika menggunakan perangkat lunak Matlab 10 (Lampiran 2). Model
matematika tersebut dibangun dari data batimetri berupa data spasial (XYZ)
secara kontinyu, yaitu X merupakan jarak dua titik bujur, Y merupakan jarak dua
titik lintang dan Z adalah kedalaman. Menurut Khafid (2009) untuk memperoleh
turunan pertama atau gradien diperlukan perhitungan jarak (dx) antara kedua
koordinat (XY) menggunakan persamaan sebagai berikut:
(3)

14
Selanjutnya nilai kedalaman diturunkan terhadap nilai jarak untuk
memperoleh nilai perubahan gradien. Menurut CLCS (1999) secara matematik
perubahan gradien dapat dirumuskan sebagai berikut:

Jika fungsi dari profil batimetri pada tepian kontinen adalah y = f(x) yang secara
kontinyu dapat diturunkan dua kali, maka fungsi perubahan gradien merupakan
fungsi turunan keduanya, yaitu:

Kaki lereng merupakan perubahan gradien maksimum yang diperoleh dari turunan
ketiganya, yaitu:

Perubahan gradien maksimum yang diperoleh dari hasil turunan ketiga
dapat terjadi di beberapa lokasi sepanjang profil kedalaman yang terbentuk.
Analisis posisi kaki lereng dilakukan dengan melihat perbedaan jarak antar titik
kaki lereng. Jarak diukur dengan acuan titik kaki lereng yang diperoleh dari data
batimetri memiliki tanda positif dan negatif. Tanda positif berarti kaki lereng
menuju ke arah perairan yang lebih dalam, sedangkan tanda negatif berarti kaki
lereng menuju ke arah sebaliknya. Analisis terhadap penentuan posisi kaki lereng
dilakukan dengan memilih salah satu titik perubahan gradien maksimum di bagian
dasar lereng yang disesuaikan dengan bentuk topografi dasar laut melalui
identifikasi wilayah dasar lereng. Identifikasi terhadap wilayah dasar lereng dapat
dilakukan dengan melihat bentuk morpologi dasar laut melalui variasi perubahan
kedalaman masing-masing jalur profil batimetri. Penentuan posisi kaki lereng
ditetapkan berdasarkan jarak paling jauh dari titik awal penarikan garis profil
kedalaman (Khafid 2009). Selanjutnya untuk visulasasi nilai perubahan gradien
maksimum dan bentuk topografi dasar laut digunakan perangkat lunak Matlab 10
(Lampiran 3 dan 4) untuk mempermudah dalam penentuan posisi kaki lereng
Eauripik rise. Visualisasi ditampilkan dalam bentuk dua dimensi (2D) untuk nilai
perubahan gradien maksimum dan bentuk perubahan kedalaman atau topografi
permukaan dasar laut masing-masing profil batimetri, dan tiga dimensi (3D) untuk
bentuk topografi dasar laut sepanjang jalur sapuan multibeam echosounder pada
masing-masing profil batimetri. Penentuan kaki lereng secara spasial sepanjang
jalur sapuan MBES dan data batimetri SRTM dilakukan melalui proses digitasi
menggunakan perangkat lunak Matlab 10 berdasarkan perubahan kontur
kedalaman di titik terjadinya perubahan gradien maksimum yang telah ditetapkan
pada masing-masing profil batimetri di bagian dasar lereng. Proses digitasi
tersebut sangat memudahkan dalam menentukan posisi kaki lereng Eauripik rise
secara spasial atau horizontal pada masing-masing profil batimetri yang terbentuk
di perairan utara Papua.

15
Pemetaan Kaki Lereng Eauripik Rise
Hasil penentuan daerah perkiraan kaki lereng Eauripik rise di wilayah
penelitian dikelompokan berdasarkan posisi lintang dan bujur pada masingmasing profil batimetri. Posisi titik-titik kaki lereng yang ditemukan berdasarkan
data batimetri MBES selanjutanya dipetakan menggunakan perangkat lunak
Global Mapper 12 dan ArcGis 10, kemudian dilakukan overlay dengan data
batimetri SRTM untuk memudahkan teknik pengukuran perluasan wilayah
perairan lebih dari 200 NM bagi negara-negara yang ada di sekitar perairan utara
Papua termasuk Indonesia. Pemetaan tersebut diharapkan dapat memudahkan
dalam penentuan potensi penambahan batas wilayah perairan Indonesia lebih dari
200 NM, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh UNCLOS 1982.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kualitas data Batimetri
Koreksi kedalaman perairan sangat menentukan tingkat keakuratan data
batimetri yang digunakan untuk menentukan posisi kaki lereng. Beberapa titik
kedalaman yang dipakai dalam melakukan koreksi terhadap data batimetri
ditentukan berdasarkan titik perpotongan jalur survei yang sudah dilakukan
gridding. Penentuan ini dimaksudkan agar dapat mengetahui seberapa besar
simpangan atau kesalahan deteksi di posisi yang sama pada waktu yang berbeda.
Besar kesalahan setiap titik koreksi kedalaman perairan tidak melebihi batas
toleransi yang telah ditetapkan oleh IHO (2008). Titik perpotongan jalur survei
yang digunakan dalam koreksi kedalaman pada penelitian ini berjumlah 10 titik.
Nilai kedalaman yang digunakan dalam koreksi kesalahan pengukuran merupakan
rata-rata kedalaman masing-masing titik perpotongan jalur survei batimetri yang
telah ditentukan. Hal ini dimaksudkan agar kedalaman perairan di wilayah
penelitian yang ditentukan pada setiap titik perpotongan jalur survei menyebar
merata sesuai dengan bentuk topografi dasar lautnya.
Kualitas data batimetri hasil survei dapat diketahui dengan membandingkan
nilai kedalaman perairan pada titik perpotongan antara jalur melintang dan ja