Analisis Strategi Implementasi Produksi Bersih pada Rantai Logistik Industri Hortikultura (Studi Kasus Wilayah Sukabumi-Jakarta)
ANALISIS STRATEGI IMPLEMENTASI PRODUKSI BERSIH
PADA RANTAI LOGISTIK INDUSTRI HORTIKULTURA
(STUDI KASUS WILAYAH SUKABUMI - JAKARTA)
KRISNA CAHYO PRASTYO
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul analisis strategi
implementasi produksi bersih pada rantai logistik industri hortikultura adalah
benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Krisna Cahyo Prastyo
NIM F34100008
ABSTRAK
KRISNA CAHYO PRASTYO. Analisis Strategi Implementasi Produksi Bersih
pada Rantai Logistik Industri Hortikultura (studi kasus di Wilayah SukabumiJakarta). Dibimbing oleh ANAS MIFTAH FAUZI.
Produksi komoditas hortikultura di wilayah Sukabumi pada tahun 2011
untuk kol, sawi putih, cabai keriting, cabai merah besar, cabai rawit dan tomat
masing-masing sebesar 1.990 ton, 23.098 ton, 6.400 ton, 7.679 ton, 3.542 ton dan
13.451 ton, dengan tujuan pengiriman sebagian besar ke wilayah DKI Jakarta.
Proses produksi dalam industri hortikultura di sepanjang rantai logistiknya
berpotensi menghasilkan limbah dan penumpukan sampah organik. Komposisi
dan karakteristik sampah di wilayah DKI Jakarta pada tahun 2011 terdiri dari
55,37% sampah organik dan 44,63% sampah non organik. Rantai logistik industri
hortikultura melibatkan petani, pedagang pasar, packing house dan supermarket.
Tujuan penelitian adalah menganalisis potensi terbentuknya limbah pada rantai
logistik industri hortikultura dan menentukan strategi penerapan produksi bersih
terbaik untuk meminimalkan terbentuknya limbah industri hortikultura dari
Sukabumi ke Jakarta. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
quick scan pada aliran rantai logistik dan Analytical Hierarchy Process (AHP).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh packing house
memberikan nilai tambah untuk tomat, cabai keriting, cabai merah besar dan cabai
rawit masing-masing sebesar 56,3%, 56,1%, 53,7% dan 47,2%. Alternatif strategi
produksi bersih yang diusulkan antara lain penerapan Good Agricultural Practices
(GAP), penyediaan sarana dan prasarana untuk implementasi produksi bersih,
penerapan produksi berbasis permintaan, pemanfaatan limbah (sampah sayuran)
untuk produk yang memiliki nilai tambah dan penerapan sistem packing house.
Packing house dapat meminimalkan sampah sayuran tomat, cabai merah besar,
cabai keriting dan cabai rawit di tingkat konsumen (supermarket). Hasil
Analytical Hierarchy Process menunjukkan bahwa faktor terpenting untuk
minimisasi terbentuknya sampah produk hortikultura (sayuran) melalui penerapan
produksi bersih dalam rantai logistik industri hortikultura adalah faktor
lingkungan dengan petani sebagai aktor terpenting di dalamnya dan pilihan
alternatif penerapan produksi bersih terpilih adalah dengan penyediaan sarana dan
prasarana untuk implementasi produksi bersih.
Kata kunci: Analytical Hierarchy Process (AHP), industri hortikultura, produksi
bersih, rantai logistik, sampah sayuran
ABSTRAK
KRISNA CAHYO PRASTYO. Strategic Analysis of Cleaner Production
Implementation in Logistic Chain of Holticulture Industry (Case study in
Sukabumi-Jakarta Region). Supervised By ANAS MIFTAH FAUZI.
The production of horticultural commodities in Sukabumi district in 2011
for cabbage, chinese cabbage, curly chillies, big red chilli, chili and tomatoes,
were 1.990 tons, 23.098 tons, 6.400 tons, 7.679 tons, 3.542 tons and 13.451 tons
respectively, with Jakarta as the most common shipping destination area. Along
its logistic chain, the horticulture industry potentially produces wastes. The
composition of the wastes in Jakarta in 2011 was consisted of 55,37% of organic
wastes and 44,63% of non-organic wastes. Horticulture industry logistic chain
involves farmers, green grocery, packing house and supermarkets. The purpose of
this research were to analysis the potential wastes on the horticulture industry
logistics chain and to determine the application of cleaner production strategies
to minimize the wastes. The methods used in the research were quick scan
methodology on the logistics chains flow and Analytical Hierarchy Process
(AHP). The result showed that the activity held by packing house provide added
value for tomatoes, curly chillies, big red chilli and chili, each, up to 56,3%,
56,1%, 53,7% and 47,2%. Alternative strategies proposed on cleaner production
were implementation of Good Agricultural Practices (GAP), provision of facilities
and infrastructure for the implementation of cleaner production, implementation
of demand-based production, and utilization of waste (vegetable waste) for valueadded products, and implementation of packing house. Packing house could
minimize the amount of wasted vegetable for tomatoes, red peppers big, curly
chili and chili in consumen. Analytical Hierarchy Process result showed that the
most important factor for minimizing the emergence of horticultural waste
through the application of cleaner production on horticulture industry in its
logistics chain is environment factor, with farmers as the most important actors
on it the chosen strategy for cleaner production implementation is the provision of
facilities and infrastructure.
Key word: Analytical Hierarchy Process (AHP), cleaner production, horticulture
industry, logistic chain, vegetable wastes
ANALISIS STRATEGI IMPLEMENTASI PRODUKSI BERSIH
PADA RANTAI LOGISTIK INDUSTRI HORTIKULTURA
(STUDI KASUS WILAYAH SUKABUMI - JAKARTA)
KRISNA CAHYO PRASTYO
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Analisis Strategi Implementasi Produksi Bersih pada Rantai
Logistik Industri Hortikultura (Studi Kasus Wilayah SukabumiJakarta)
Nama
: Krisna Cahyo Prastyo
NIM
: F34100008
Disetujui oleh
Prof. Dr. lr. Anas Miftah Fauzi, M,Eng
Pembimbing
Diketahui oleh
Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen
Tanggal Lulus: (
)
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia
dan rahmat-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penulis mengambil
tema Lingkungan, dengan judul skripsi Analisis Strategi Implementasi Produksi
Bersih pada Rantai Logistik Industri Hortikultura (Studi Kasus Wilayah
Sukabumi - Jakarta) yang telah dilakukan dari bulan Maret hingga Mei 2014.
Ucapan terimakasih serta penghargaan penulis ucapkan kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M.Eng selaku dosen pembimbing atas
perhatian dan bimbingannya selama ini.
2. Ayahanda Subiyanto dan Ibunda Wiwik Widayati serta Arya Dipa Nugroho
Wibiyanto dan Heldinnie Gusty Atiqah atas doa, dukungan dan perhatiannya
selama ini.
3. Pihak petani, pedagang pasar, packing house dan supermarket di Sukabumi
dan Jakarta atas izin dan bantuan pengambilan data selama ini.
4. Direktorat Jendral Hortikultura Kementrian Pertanian, Dinas Pertanian dan
Dinas Kebersihan Kota Sukabumi, Dr. Anas D. Susila dan Andes Ismaya
S.TP, MSi atas bantuan dalam pengambilan keputusan strategi produksi
bersih.
5. Seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014
Krisna Cahyo Prastyo
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
METODOLOGI
Kerangka Pemikiran
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Analisis Data
Tahapan Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Rantai Logistik Industri Hortikultura
Limbah yang Terbentuk dalam Rantai Logistik
Penanganan Limbah
Analisis Keuntungan dan Nilai Tambah dalam Rantai Logistik
Penentuan Pilihan Produksi Bersih
Analisis Kelayakan Alternatif Produksi Bersih Terpilih
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
i
i
i
1
1
2
2
2
2
3
10
10
11
11
12
13
13
18
19
20
21
26
28
29
32
83
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
Tahapan metode penelitian
Aktor rantai logistik industri hortikultura
Syarat mutu buah tomat (SNI 01-3162-1992)
Persentase sampah pada model 1 rantai logistik industri hortikultura
Persentase sampah pada model 2 rantai logistik industri hortikultura
Penanganan limbah
Pilihan penerapan produksi bersih yang dapat diterapkan
Hasil analisis Analytical Hierarchy Process (AHP) dari kelompok
responden
12
14
15
18
19
19
22
23
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
Rantai logistik industri hortikultura
Identifikasi model rantai logistik industri hortikultura (sayuran)
Pola aliran dalam model 1 rantai logistik industri hortikultura
Pola aliran dalam model 2 rantai logistik industri hortikultura
Hasil analisis akhir penentuan pilihan produksi bersih
5
16
17
17
25
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Flowchart rantai logistik industri hortikultura sukabumi-jakarta
Analisis kelayakan alternatif terpilih pada pendirian greenhouse
Analisis kelayakan penerapan crisping pada pedagang pasar (kecil)
Analisis kelayakan penerapan pengolahan kompos pada supermarket
Analisis kelayakan penerapan sistem packing house
Neraca massa input, output dan limbah pada setiap aktor
Hasil analisis AHP dari expert choice 2000
Kuesioner AHP
Perhitungan keuntungan di tingkat petani
Perhitungan keuntungan di tingkat pedagang pasar (besar)
Perhitungan keuntungan di tingkat pedagang pasar (kecil)
Perhitungan nilai tambah di tingkat packing house
Perhitungan keuntungan di tingkat supermarket
Dokumentasi penelitian
33
34
36
40
43
49
65
66
77
78
79
79
80
81
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hortikultura berupa sayuran segar yang merupakan sub-sector pertanian
pada sepuluh tahun terakhir mendapatkan perhatian masyarakat Indonesia. Hal ini
tidak terlepas dari kesadaran masyarakat akan manfaat nilai nutrisi sayuran segar
bagi kesehatan. Kesadaran ini menuntut adanya rantai suplai yang mampu
memberikan penanganan dan menampilkannya dengan baik terkait mutu dan
kesegaran sayuran. Terlebih lagi adanya kecenderungan penyimpanan,
transportasi, distribusi dan pemasaran yang memerlukan waktu relatif panjang,
adanya waktu pemajangan pada pedagang-pedagang ritel dan waktu penundaan
penyiapan atau pengolahan untuk dikonsumsi di tingkat rumah tangga.
Sayuran secara alami sangat mudah mengalami kerusakan dan kebusukan.
Cara penanganan yang baik dan masukan teknologi untuk memperlambat
kemunduran mutu dan kesegaran sayuran sangatlah penting, agar tidak lagi
dihasilkan sampah sayuran yang dapat meningkatkan volume sampah di Tempat
Pembuangan Akhir (TPA). Volume sampah di wilayah DKI Jakarta meningkat
setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya kegiatan proses produksi industri
hortikultura di wilayah Jawa Barat, diantaranya di wilayah Sukabumi dengan
pengirimannya meliputi wilayah DKI Jakarta. Menurut BPS tahun 2011 produksi
hortikultura di wilayah Sukabumi untuk kol, sawi putih, cabai keriting, cabai
merah besar, cabai rawit dan tomat masing-masing sebesar 1.990 ton, 23.098 ton,
6.400 ton, 7.679 ton, 3.542 ton dan 13.451 ton. Proses produksi industri
hortikultura di sepanjang rantai logistiknya, berpotensi menghasilkan limbah dan
penumpukan sampah yang berperan serta dalam peningkatan volume sampah di
wilayah DKI Jakarta dari tahun 2005-2008 yaitu 26,264 m3/hari, 26,444 m3/hari,
27,217 m3/hari dan 29,217 m3/hari (Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta
2011). Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta (2005) memprediksi jumlah
timbulan sampah akan terus meningkat seiring dengan peningkatan aktivitas
proses produksi industri hortikultura hingga mencapai 26,720 m3/hari pada tahun
2015.
Sampah yang dihasilkan dari aktivitas proses produksi industri hortikultura
dapat berupa sampah organik atau pun non organik menjadi permasalahan
lingkungan. Sampah organik dapat berupa sisa sayuran yang rusak dan busuk dari
pasar dan sampah non organik dapat berupa plastik atau sampah lain yang sulit di
degradasi. Menurut Dinas Kebersihan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (2011),
komposisi dan karakteristik sampah di wilayah DKI Jakarta terdiri dari 55,37%
sampah organik dan 44,63% sampah non organik. Sampah organik maupun non
organik menjadi permasalahan karena mencemari lingkungan dan mengganggu
kesehatan manusia. Penanganan terhadap rantai logistik produk hortikultura dapat
mengurangi timbulnya sampah sayuran diwilayah perkotaan, khususnya di
wilayah DKI Jakarta, sehingga strategi penerapan produksi bersih sepanjang
rantai logistik industri hortikultura diperlukan untuk meminimalkan sampah
sayuran.
2
Perumusan Masalah
Sampah sayuran yang dihasilkan sepanjang rantai logistik industri
hortikultura, dapat diminimalkan terbentuknya melalui penerapan produksi bersih.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah sebagai berikut :
1) Menganalisis potensi terbentuknya limbah pada rantai logistik industri
hortikultura.
2) Menentukan strategi penerapan produksi bersih terbaik untuk meminimalkan
terbentuknya limbah di industri hortikultura dari Sukabumi ke Jakarta.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
1) Petani, pedagang pasar, packing house, supermarket dan aktor-aktor lain yang
terkait dalam rantai logistik industri hortikultura sebagai bahan informasi dan
pertimbangan dalam menerapkan strategi produksi bersih pada setiap tahapan
proses yang dilakukan.
2) Penulis sebagai sarana pengembangan wawasan serta pengalaman dalam
menganalisis permasalahan khususnya di bidang lingkungan.
3) Kalangan akademisi dapat dijadikan sebagai bahan penyusunan penelitian yang
serupa dan lebih mendalam.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mengacu pada hal-hal sebagai berikut:
1) Penelitian berfokus pada penentuan alternatif strategi produksi bersih
sepanjang rantai logistik industri hortikutura dari Sukabumi ke Jakarta.
2) Untuk komoditas yang akan diidentifikasi dalam rantai logistik industri
hortikultura adalah tomat, cabai (keriting, merah besar, rawit), sawi putih dan
kol.
3) Pihak yang terkait dalam penelitian adalah petani, pedagang pasar (besar dan
kecil), packing house dan supermarket sebagai aktor utama penelitian, ditjen
hortikultura, dinas pertanian dan dinas kebersihan sebagai dinas pemerintah
terkait, serta pakar sebagai pihak yang memiliki persepsi dan saran mengenai
faktor lingkungan yang harus diperbaiki oleh industri hortikultura.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Produk Hortikultura
Produk hortikultura terbagi menjadi tiga jenis yaitu sayuran, buah dan
bunga. Menurut Rahardi et al. (2001), ciri-ciri komoditas hortikultura adalah
sebagai berikut :
1) Dipanen dan dimanfaatkan dalam keadaan hidup atau segar sehingga bersifat
mudah rusak (perishable) karena masih ada proses metabolisme.
2) Komponen utama mutu ditentukan oleh kandungan air, bukan oleh kandungan
bahan kering (dry matter).
3) Produk hortikultura bersifat meruah (voluminous atau bulky) sehingga susah
dan mahal diangkut.
4) Harga pasar komoditas ditentukan oleh mutu atau kualitasnya bukan oleh
kuantitasnya saja.
5) Produk hortikultura bukan merupakan kebutuhan pokok yang dibutuhkan
dalam jumlah besar namun diperlukan sedikit-sedikit setiap harinya dan bila
tidak mengkonsumsinya maka tidak segera dirasakan akibatnya.
6) Produk digunakan tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan jasmani tapi juga
untuk pemenuhan kebutuhan rohani.
7) Dari segi gizi, produk hortikultura penting sebagai sumber vitamin dan
mineral, bukan diutamakan untuk sumber kalori dan protein.
Sayuran adalah salah satu produk hortikultura yang memiliki karakteristik
berbeda dengan komoditas lainnya. Kandungan vitamin dan mineral yang lengkap
serta bervariasi juga banyak mengandung serat menyebabkan tanaman ini dapat
dijadikan sebagai bahan makanan bergizi yang dapat menunjang kesehatan
(Norvary 1999).
Komoditas ini memiliki resiko yang cukup besar yang menyebabkan
ketergantungan yang tinggi antara pasar dan konsumen, juga antara pasar dan
produsen (Rahardi 2004). Menurut Rahardi (2004) sifat-sifat sayuran terdiri dari:
1) Tidak bergantung musim, karena sayuran dibedakan menjadi tanaman sayuran
semusim dan tahunan. Produk sayuran tersebut setiap hari dapat di peroleh.
Terdapat beberapa jenis sayuran tahunan yang pada saat tertentu jumlahnya
sedikit dan harganya mahal, tetapi pada saat panen raya harganya kembali
normal, karena tidak bergantung musim maka sayuran dapat dibudidayakan
kapan saja asal syarat tumbuhnya terpenuhi.
2) Mempunyai resiko tinggi, karena produk sayuran umumnya mudah rusak,
mudah busuk dan voluminous. Jika tidak ada penanganan lebih lanjut pada
pasca panen maka harganya pun akan turun bahkan tidak bernilai sama sekali.
3) Perputaran modalnya cepat walaupun beresiko tinggi. Perputaran modal usaha
sayuran lebih cepat dibandingkan dengan komoditas pertanian yang lainnya.
Hal ini terkait dengan umur tanam untuk produk sayuran lebih singkat dan
disertai dengan permintaan konsumen terhadap berbagai jenis sayuran tidak
akan pernah berhenti.
4
Industri Hortikultura
Industri hortikultura merupakan salah satu jenis agrobased industry yang
berdaya saing kuat dan mampu bertahan dalam jangka waktu yang relatif panjang
(Muslimin 1994). Industri hortikultura memiliki peran dalam memberikan
penanganan atau proses terhadap komoditas hortikultura dengan tujuan untuk
memperoleh nilai tambah, mengurangi kerusakan, mempertahankan mutu dan
masa simpan hasil panen. Penanganan atau proses dapat dilakukan dengan
berbagai cara, diantaranya melalui penanganan pasca panen produk hortikultura
(sayuran). Pada umumnya, penanganan pasca panen dalam rantai logistik industri
hortikultura dilakukan pada rumah pengemasan (packing house). Rumah
pengemasan (packing house) adalah suatu bangunan tempat menangani kegiatan
pasca panen hasil hortikultura sejak dipanen sampai pengemasan dan siap di
distribusikan ke pasar tujuan atau konsumen akhir. Penanganan yang dilakukan
harus disesuaikan dengan jenis produk (Syarief dan Irawati 1988).
Menurut Winata (2006), untuk penanganan pasca panen sayuran terdiri
atas pembersihan (cleaning), pengkelasan (grading), pengemasan (packaging),
penyimpanan (storing) dan pengangkutan (transporting).
1) Pembersihan
Menurut Pantastico et al. (1986), pembersihan bertujuan untuk membuang
kotoran yang melekat pada sayuran untuk memperbaiki penampakan sayuran
dan menghilangkan bagian yang busuk atau rusak (trimming). Pembersihan
dilakukan dengan mencuci bagian produk yang terkena tanah menggunakan air
yang mengalir dengan sprayer (Salunkhe 1976).
2) Penyortiran dan pengkelasan
Kegiatan sortasi biasanya dilakukan berdasarkan standar mutu yang telah
ditetapkan baik untuk pemasaran dalam negeri maupun ekspor. Penyortiran
dilakukan untuk memisahkan hasil panen berdasarkan kualitas sayuran yang
dihasilkan (Rahardi 2004). Menurut Trisnawati dan Setiawan (2002),
pengkelasan didasarkan pada kesehatan, ketegaran, kebersihan, ukuran, bobot,
warna, bentuk, kemasakan, kebebasan dari bahan-bahan asing dan penyakit
serta kerusakan oleh serangga dan luka-luka mekanik.
3) Pengemasan
Pengemasan untuk tujuan pasar harus mempertimbangkan tingkat
kematangan buah, jarak dan waktu yang ditempuh hingga menuju tempat
pemasaran. Tujuan pengemasan secara umum adalah untuk melindungi hasil
terhadap kerusakan, mengurangi kehilangan air, mempermudah dalam
pengangkutan dan mempermudah dalam perhitungan (Cahyono 1998).
4) Penyimpanan
Penyimpanan yang tepat sangat diperlukan agar sayuran tetap berkualitas,
baik penampilan fisik maupun kandungan gizinya. Selama penyimpanan
sayuran akan mengalami berbagai perubahan yang disebabkan oleh faktor dari
dalam sayuran dan kondisi lingkungan penyimpanan (Novary 1999). Umur
simpan sayuran dapat diperpanjang dengan mempertahankan suhu rendah
dalam tempat penyimpanan. Sayuran tropika memerlukan suhu yang lebih
tinggi untuk penyimpanan, yaitu 7-10ᵒC (Williams et al. 1993). Tempat
penyimpanan yang bersih sangat diperlukan untuk mempertahankan kualitas
sehingga mengurangi infeksi.
5
5) Pengangkutan
Menurut Cahyono (1998) fungsi pengangkutan dalam kegiatan pasca
panen adalah menyampaikan barang dari kebun atau gudang ke pusat-pusat
pemasaran, misalnya pasar induk, pasar lokal dan pasar swalayan. Dalam
pengangkutan, berbagai jenis sayuran mengalami penyusutan mutu akibat
kerusakan dan transpirasi (Balitbangtan 1987). Hal ini disebabkan karena
penanaman komoditi pertanian umumnya berada di pedesaan, sedangkan
pemasarannya di daerah perkotaan. Kerusakan saat pengangkutan banyak
disebabkan oleh penanganan yang kasar, adanya keterlambatan, pemucatan,
pembongkaran yang ceroboh, penggunaan wadah yang tak sesuai dan kondisi
pengangkutan yang kurang memadai (Trisnawati dan Setiawan 2002).
Pedagang Pasar
(kecil)
Petani
Pedagang Pasar
(besar)
Packing
House
Super
market
Industri Hortikultura
Gambar 1 Rantai logistik industri hortikultura
Konsep Nilai Tambah
Konsep nilai tambah adalah suatu perubahan nilai yang terjadi karena
adanya perlakuan terhadap suatu input pada suatu proses produksi. Arus
peningkatan nilai tambah komoditas pertanian terjadi di setiap mata rantai pasok
dari hulu ke hilir yang berawal dari petani dan berakhir pada konsumen akhir.
Nilai tambah pada setiap anggota rantai pasok berbeda-beda tergantung dari input
dan perlakuan oleh setiap anggota rantai pasok tersebut.
Nilai tambah komoditas pertanian di sektor hulu dapat dilakukan dengan
penyediaan bahan baku berkualitas dan berkesinambungan yang melibatkan para
pelaku pada mata rantai pertama, antara lain petani, penyedia sarana prasarana
pertanian dan penyedia teknologi. Nilai tambah secara kuantitatif dihitung dari
peningkatan produktivitas, sedangkan nilai tambah secara kualitatif adalah nilai
tambah dari meningkatnya kesempatan kerja, pengetahuan dan keterampilan
SDM.
6
Nilai tambah selanjutnya terjadi pada sektor hilir yang melibatkan industri
pengolahan. Komoditas pertanian yang bersifat perishable (mudah rusak) dan
bulky (kamba) memerlukan penanganan atau perlakuan yang tepat, sehingga
produk pertanian tersebut siap dikonsumsi oleh konsumen. Perlakuan tersebut
antara lain, pengolahan, pengemasan, pengawetan dan manajemen mutu untuk
menambah kegunaan atau menimbulkan nilai tambah, sehingga harga produk
komoditas pertanian menjadi tinggi. Beberapa nilai tambah yang tidak dapat
dihitung secara numerik meliputi peluang kerja yang terbuka dengan adanya
industri pengolahan dan peningkatan keterampilan kerja.
Nilai tambah pada sektor retail adalah keuntungan yang didapat oleh
retailer dalam menjual produk hasil pertanian yang sudah mengalami pengolahan.
Nilai tambah tersebut didapatkan dari beberapa hal antara lain: produk yang dijual
dalam bentuk eceran, kontinuitas persediaan barang, jaminan mutu barang dan
pelayanan terhadap konsumen. Menurut Hayami et al. (1987) dalam Sudiyono
(2001), ada dua cara untuk menghitung nilai tambah, yaitu nilai tambah untuk
pengolahan dan nilai tambah untuk pemasaran. Faktor-faktor yang mempengaruhi
nilai tambah untuk pengolahan dapat dikatagorikan menjadi dua, yaitu faktor
teknis dan faktor pasar. Faktor teknis yang berpengaruh adalah kapasitas produksi,
jumlah bahan baku yang digunakan dan tenaga kerja, sedangkan faktor pasar yang
berpengaruh adalah harga output, upah tenaga kerja, harga bahan baku dan nilai
input lain. Menurut Sudiyono (2001), besarnya nilai tambah karena proses
pengolahan didapat dari pengurangan biaya bahan baku dan input lainnya
terhadap nilai produk yang dihasilkan, tidak termasuk tenaga kerja. Dengan kata
lain, nilai tambah menggambarkan imbalan bagi tenaga kerja, modal dan
manajemen yang dapat dinyatakan secara matematik sebagai berikut:
Nilai Tambah = f { K, B, T, U, H, h, L } dimana,
Keterangan:
K
= Kapasitas produksi
B
= Bahan baku yang digunakan
T
= Tenaga kerja yang digunakan
U
= Upah tenaga kerja
H
= Harga output
H
= Harga bahan baku
L
= Nilai input lain (nilai dan semua korbanan yang terjadi selama proses
perlakuan untuk menambah nilai)
Informasi yang dihasilkan melalui analisis nilai tambah dengan metode
hayami adalah: Perkiraan besarnya nilai tambah; Rasio nilai tambah terhadap nilai
produk yang dihasilkan, menunjukkan persentase nilai tambah dari nilai produk;
Imbalan bagi tenaga kerja (Rp), menunjukkan besarnya upah yang diterima oleh
tenaga kerja langsung; Bagian tenaga kerja dari nilai tambah yang dihasilkan
menunjukkan persentase imbalan tenaga kerja dari nilai tambah; Keuntungan
pengolahan (Rp), menunjukkan bagian yang diterima pengusaha karena
menanggung risiko usaha; Tingkat keuntungan pengolahan terhadap nilai output,
menunjukkan persentase keuntungan terhadap nilai tambah; Marjin pengolahan
(Rp), menunjukkan kontribusi pemilik faktor produksi selain bahan baku yang
digunakan dalam proses produksi; Persentase pendapatan tenaga kerja langsung
terhadap marjin; Persentase keuntungan perusahaan terhadap marjin; Persentase
sumbangan input lain terhadap marjin.
7
Sampah
Berbagai aktivitas dilakukan oleh manusia untuk kesejahteraan hidupnya
dengan memproduksi barang dari sumber daya alam disamping menghasilkan
barang yang akan dikonsumsi manusia, dihasilkan pula bahan buangan yang
sudah tidak dibutuhkan lagi oleh manusia yaitu limbah (sampah). Sampah selalu
menimbulkan masalah baik secara sosial, ekonomi, maupun lingkungan. Menurut
Hadiwiyoto (1983), sampah adalah sisa-sisa bahan yang telah mengalami
perlakuan baik telah diambil bagian utamanya, telah mengalami pengolahan dan
sudah tidak bermanfaat, dari segi ekonomi sudah tidak ada harganya serta dari
segi lingkungan dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan kelestarian alam.
Menurut Suprihatin et al. (1996), sampah padat dapat dibagi menjadi dua
golongan yaitu sampah organik dan anorganik. Sampah organik adalah sampah
yang mudah diuraikan dalam proses alami. Sampah organik terdiri dari bahanbahan penyusun tumbuhan dan hewan yang diambil dari alam atau dihasilkan dari
kegiatan pertanian (sayuran dan buah-buahan), perikanan atau yang lain.
Sedangkan sampah anorganik adalah sampah yang berasal dari sumber daya yang
tidak diperbaharui. Secara keseluruhan zat anorganik yang ada tidak dapat
diuraikan oleh alam. Jenis sampah ini dapat berupa botol kaca, botol plastik,
kaleng, kayu, tulang, kertas dan lainnya.
Sampah dapat menimbulkan masalah lingkungan baik fisik, kimia dan
biologi. Masalah lingkungan fisik diantaranya adalah ketersediaan lahan semakin
berkurang, menurunnya kualitas estetika dan timbul bau tak sedap. Masalah
lingkungan kimiawi adanya gas metana (CH4) yang terlepas akibat adanya
dekomposisi sampah organik, sedangkan gas metan termasuk dalam gas rumah
kaca yang menjadi polutan di atmosfir. Selain itu terdapat juga masalah biologis
yang dapat ditimbulkan seperti Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA).
Rencana pengelolaan sampah yang komprehensif harus memperhatikan
sumber sampah, lokasi, pergerakan/peredaran dan interaksi peredaran sampah
dalam suatu lingkungan wilayah. Penanganan sampah yang tepat dapat menjadi
jalan keluar dari masalah keterbatasan lahan untuk penumpukan/pembuangan
sampah dan juga dapat memberikan manfaat atau nilai ekonomis. Dari sampah
yang dihasilkan dapat dilakukan penanganan dengan beberapa kemungkinan
yaitu, didaur ulang menjadi bahan baku pada suatu proses produksi (kertas,
karton, plastik, logam, botol dan sebagainya), diolah menjadi kompos (umumnya
dari jenis sampah organik), hingga sampah ditumpuk di Tempat Pembuangan
Akhir (TPA).
Pengolahan Sampah Organik
Sampah organik adalah sampah yang mudah diuraikan dalam proses alami.
Sampah organik terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan yang
diambil dari alam atau dihasilkan dari kegiatan pertanian (sayuran dan buahbuahan), atau yang lain. Dalam pengolahannya, dibutuhkan cara untuk
meminimalkan sampah sayuran tersebut melalui beberapa pilihan alternatif.
8
Alternatif pertama adalah penerapan Good Agricultural Practices (GAP),
dimana dengan perbaikan pada sektor hulu proses produksi diharapkan mampu
meminimumkan sampah sayuran hasil sortasi ditingkat distributor, manufacturer
hingga konsumen. GAP adalah panduan umum dalam melaksanakan budidaya
tanaman hortikultura secara benar dan tepat, sehingga diperoleh produktivitas
tinggi, mutu produk yang baik, keuntungan optimum, ramah lingkungan dan
memperhatikan aspek keamanan, keselamatan dan kesejahteraan petani, serta
usaha produksi yang berkelanjutan. Sasaran yang akan dicapai dalam penerapan
GAP adalah terwujudnya keamanan pangan, jaminan mutu, usaha agribisnis
hortikultura berkelanjutan dan peningkatan daya saing (Kementrian Pertanian
2011). Dasar hukum penerapan GAP di Indonesia adalah Peraturan Menteri
Pertanian Nomor : 61/Permentan/OT.160/11/2006, tanggal 28 November 2006
untuk komoditi buah, sedangkan untuk komoditas sayuran masih dalam proses
penerbitan menjadi Permentan. Penerapan GAP yang dilakukan oleh pelaku usaha
mendapat dukungan legal dari pemerintah pusat maupun daerah (Kementrian
Pertanian 2011).
Alternatif ke-dua adalah produksi berbasis permintaan, dimana petani
diharapkan mampu mengendalikan produksinya berdasarkan permintaan
konsumen, untuk meminimalkan sampah sayuran hasil produksi yang tidak laku
terjual. Selain petani, alternatif ini dapat ditujukan pada pihak manufacturer dan
pedagang ritel komoditas sayuran (supermarket). Pihak-pihak tersebut harus
mengetahui produk seperti apa dan jumlah produk yang diinginkan oleh
konsumen. Maka dibutuhkan suatu alat yang mampu menangkap dengan tepat
keinginan konsumen terhadap produk yang dihasilkan industri/manufacturer yaitu
berupa perencanaan dan pengaturan produksi (Marimin dan Muspitawati 2002).
Alternatif ke-tiga adalah penerapan sistem packing house yang dilakukan
melalui penanganan pasca panen dengan baik. Proses-proses yang terdapat di
dalam packing house berupa aliran bahan terkait dengan pengendalian mutu dan
kesegaran produk dimana terdapat proses sortasi yang ketat, sehingga dapat
menghasilkan produk yang baik dan bersih. Selain itu, di dalam packing house
juga terdapat proses pencucian, penyimpanan dingin dan pengemasan yang dapat
menjaga kesegaran serta mutu produk (Setyowati dan Budiarti 1992).
Alternatif ke-empat adalah penyediaan sarana dan prasarana untuk
implementasi produksi bersih. Sarana dan prasarana yang dimaksud dapat berupa
penyediaan alat-alat yang dibutuhkan dalam pembuatan pupuk kompos untuk
mengolah sampah sayuran yang terbentuk dan penyediaan teknologi pasca panen
terkait penanganan produk serta sistem distribusinya. Dalam penyediaan teknologi
pasca panen harus berdasarkan pada pertimbangan fisiologis, fisik-morfologis,
patologis produk serta pertimbangan ekonomis. Pertimbangan fisiologis terutama
laju metabolisme (dicirikan dengan laju respirasi) menjadi perhatian ahli
teknologi pasca panen untuk memperlambat kemunduran mutu dan kesegarannya.
Pendinginan adalah cara paling berarti menurunkan laju metabolisme tersebut,
seperti hydrocooling dengan air es terhadap wortel, brokoli dan kol (Jatisukarta
2004). Pertimbangan fisik-morfologis dapat dilakukan dengan teknologi crisping
sederhana yaitu mencelupkan ke dalam air hangat kemudian didinginkan
secepatnya, telah mampu menyegarkan kembali sayuran daun, sawi cina, leaks,
selada dan kangkung (Utama et al. 2007). Pertimbangan patologis dapat dilakukan
dengan usaha pencegahan dan pengendalian kontaminasi mikroorganisme
9
patogenik melalui penerapan Good Agricultural Practices (GAPs) dilanjutkan
pada periode pascapanennya dengan menerapkan Good Postharvest Handling
Practices (GPHPs). Usaha pencegahan dan pengendalian kontaminasi
mikroorganisme patogenik dilakukan tanpa menggunakan pestisida, melainkan
pembangunan greenhouse atau bangunan beratap transparan. Menurut Budiarti
(1994), greenhouse merupakan bangunan yang dibuat dari kaca dan plastik yang
merupakan bahan tembus cahaya yang dapat berpengaruh pada peningkatan
temperatur udara di dalam greenhouse, melindungi dari siraman hujan secara
langsung dan melindungi dari berbagai jenis hama serta berbagai pengaruh
perubahan intensitas cahaya matahari yang mengenai tanaman.
Alternatif ke-lima adalah pemanfaatan limbah (sampah sayuran) menjadi
produk bernilai tambah. Limbah sayuran berpotensi sebagai pengawet maupun
sebagai starter fermentasi karena memiliki kandungan asam tinggi dan mikroba
yang menguntungkan. Asam pada limbah sayuran diduga berupa asam laktat
sebagai hasil metabolisme bakteri asam laktat. Pemanfaatan ekstrak limbah
sayuran hasil fermentasi yaitu berupa asam organik, dapat digunakan sebagai
pengawetan secara biologi maupun sebagai starter untuk fermentasi pakan.
Ekstrak limbah sayuran dapat disamakan dengan sauerkraut. Sauerkraut adalah
hasil fermentasi kubis yang diambil larutan atau ekstraknya (Buckle et al. 1987).
Pembuatan saurkraut yaitu dengan cara memotong-motong limbah sayuran
kemudian ditambahkan garam 2,5%. Setelah itu didiamkan selama 5 hari,
kemudian disaring dan larutan siap digunakan (Yunizal 1986). Pemanfaatan
ekstrak limbah sayuran juga dapat digunakan sebagai starter fermentasi bekatul
yang mampu meningkatkan kandungan mineral sebesar 20%. Selain itu dapat
membuat bekatul awet disimpan selama 1 tahun pada suhu ruang tanpa mengubah
komposisi proksimat dan mampu digunakan sebagai starter fermentasi selanjutnya
(Utama 2009).
Produksi Bersih pada Rantai Logistik
Produksi bersih adalah strategi pengelolaan lingkungan yang sifatnya
mengarah pada pencegahan dan terpadu untuk diterapkan pada seluruh siklus
produksi (UNIDO 2002). Sedangkan menurut UNEP (2003), produksi bersih
merupakan sebuah strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan
terpadu yang perlu diterapkan secara terus menerus pada proses produksi dan daur
hidup produk dengan tujuan mengurangi risiko terhadap manusia dan lingkungan.
Menurut Indrastri dan Fauzi (2009), prinsip-prinsip pokok dalam produksi bersih
meliputi:
1) Mengurangi atau meminimumkan penggunaan bahan baku, air dan energi serta
menghindari pemakaian bahan baku beracun dan berbahaya serta mereduksi
terbentuknya limbah pada sumbernya.
2) Perubahan dalam pola produksi dan konsumsi berlaku baik terhadap proses
maupun produk yang dihasilkan.
3) Upaya produksi bersih tidak dapat berhasil dilaksanakan tanpa adanya
perubahan dalam pola pikir, sikap dan tingkah laku dari semua pihak terkait
baik dari pihak pemerintah, masyarakat maupun kalangan dunia
(industriawan).
10
4) Mengaplikasikan teknologi akrab lingkungan serta manajemen dan prosedur
standar operasi sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
5) Pelaksanaan program produksi bersih ini lebih mengarah pada pengaturan
sendiri dan peraturan yang sifatnya musyawarah mufakat.
Prinsip-prinsip dalam produksi bersih yang telah diuraikan dapat
diaplikasikan dalam bentuk kegiatan yang dikenal dengan 4R (Reuse, Recycle,
Reduction dan Recovery). Secara garis besarnya, pemilihan penerapan produksi
bersih dapat dikelompokkan menjadi lima bagian, yaitu good house-keeping,
perubahan material input, perubahan teknologis, perubahan produk dan on-site
Reuse.
Rantai logistik merupakan serangkaian kegiatan produktif yang terhubung
antara aktivitas nilai yang satu dengan yang lainnya membentuk rantai nilai
industri. Pada rantai logistik, produksi bersih diperlukan sebagai suatu strategi
untuk mengharmonisasikan upaya perlindungan lingkungan dari hulu hingga hilir
kegiatan produksi, mencegah terjadinya pencemaran lingkungan dengan
memelihara dan memperkuat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang untuk
setiap pelaku rantai logistik, mencegah atau memperlambat terjadinya proses
degradasi lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam melalui penerapan daur
ulang limbah serta memperkuat daya saing produk.
METODOLOGI
Kerangka Pemikiran
Kuantitas sampah di DKI Jakarta khususnya sampah sayuran yang berasal
dari aktivitas jual-beli dan produksi industri hortikultura meningkat setiap
tahunnya. Hal inilah yang menjadi landasan awal pemikiran untuk implementasi
produksi bersih pada rantai logistik industri hortikultura. Produksi bersih dapat
diterapkan untuk membantu mengatasi permasalahan limbah produk hortikultura
yaitu sampah sayuran.
Pendekatan yang dilakukan adalah dengan menganalisis timbulnya limbah
industri hortikultura disepanjang rantai logistik, peningkatan keuntungan dan nilai
tambah serta minimisasi limbah berdasarkan faktor finansial, lingkungan dan
teknis. Alternatif terbaik penerapan produksi bersih diperoleh melalui studi
pustaka, survei lapangan, wawancara kepada pelaku industri hortikultura, pakar
dan pengelola kebijakan dengan pilihan alternatifnya adalah penerapan Good
Agricultural Practices (GAP), produksi berbasis permintaan, penerapan sistem
packing house, penyediaan sarana dan prasarana implementasi produksi bersih
serta pemanfaatan limbah (sampah sayuran) menjadi produk bernilai tambah.
Komoditas hortikultura yang diamati dalam penelitian ini adalah sayuran
buah (tomat dan cabai) serta sayuran berdaun (sawi putih dan kol) sebagai
komoditas utama yang dibudidayakan di Sukabumi dan penyumbang terbesar
terbentuknya sampah sayuran. Studi kasus produksi bersih dilaksanakan pada
rantai logistik industri hortikultura dimulai dari petani sayuran di Sukabumi,
pedagang pasar (besar) pasar induk Keramat Jati, pedagang pasar (kecil) pasar
Dramaga, packing house Udi Ac. Atlantik 99 dan Lotte Distribution Center
(LDC) di Pasar Rebo, Jakarta Timur.
11
Teknik Pengumpulan Data
Pada tahapan pendahuluan penelitian dilakukan pengumpulan pustaka yang
terkait dengan tema penelitian. Data dan informasi mengenai proses penanganan
pasca panen komoditas sayuran, aliran logistik industri hortikultura, penumpukan
sampah perkotaan, serta parameter-parameter lain yang berpengaruh dalam
penelitian ini dikumpulkan dari berbagai sumber pustaka. Pada tahapan
pendahuluan penelitian juga dilakukan wawancara dengan petani sayuran di
goalpara dan pasir datar, Sukabumi.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer berupa neraca massa, penanganan limbah, perhitungan
keuntungan dan nilai tambah di setiap rantai logistik serta penentuan prioritas
alternatif produksi bersih melalui AHP. Data primer diperoleh dari setiap pelaku
yang terlibat dalam rantai logistik industri hortikultura dengan cara pengamatan
dan pengukuran langsung serta wawancara dengan pihak terkait. Data sekunder
berupa data produksi sayuran di wilayah Sukabumi yang diperoleh dari Badan
Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jendral Hortikultura, Dinas Pertanian kota
Sukabumi serta data timbulan sampah di wilayah DKI Jakarta yang diperoleh dari
Dinas Kebersihan DKI Jakarta.
Teknik Analisis Data
Analisis Quick Scan
Pada tahapan ini dilakukan pengumpulan data dari rantai logistik komoditas
sayuran (tomat, cabai, sawi putih dan kol), mulai dari petani, pedagang pasar
(besar), pedagang pasar (kecil), packing house hingga ke supermarket serta
pengumpulan data dari setiap proses yang dilakukan oleh stackeholder tersebut.
Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi proses produksi dan limbah yang
terbentuk pada setiap rantai logistik. Proses produksi di identifikasi dengan cara
wawancara, pengamatan dan pengukuran secara langsung. Identifikasi terhadap
industri dilakukan terhadap aliran rantai logistiknya. Identifikasi limbah dilakukan
dengan penyusunan neraca massa. Pelaksanaannya dilakukan dengan wawancara,
pengamatan secara langsung dalam kegiatan produksi dan pengumpulan data
perusahaan, sehingga diketahui sumber-sumber terbentuknya limbah.
Penentuan Alternatif Produksi Bersih
Setelah proses quick scan dilaksanakan pada seluruh proses produksi, data
yang diperoleh kemudian disusun berdasarkan proses produksinya dan data
tersebut dirancang menjadi berbagai alternatif produksi bersih. Rumusan alternatif
produksi bersih pada rantai logistik industri hortikultura berdasarkan dari hasil
pengamatan lapang, studi pustaka dan wawancara dengan pakar.
12
Penetapan Strategi Produksi Bersih
Alternatif produksi bersih yang telah terpilih, kemudian dianalisis
menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk didapatkan
prioritas penerapan alternatif produksi bersih pada industri hortikultura.
Pengambilan keputusan dilakukan melalui kuisioner yang diberikan kepada pakar,
petani, pedagang pasar, packing house, supermarket dan pemerintah. Prioritas
alternatif produksi bersih dianalisis menggunakan AHP dalam pengolahannya
menggunakan program Expert Choice 2000.
Analisis Kelayakan
Alternatif penerapan produksi bersih terpilih dilakukan analisis kelayakan
berupa evaluasi ekonomi. Evaluasi ekonomi merupakan analisis terhadap
alternatif penerapan produksi bersih dari segi finansial. Evaluasi ini dilakukan
dengan cara mengukur nilai payback period guna mengetahui waktu yang
diperlukan untuk mengembalikan investasi awal. Semakin cepat tingkat
pengembalian investasi, maka alternatif tersebut dinilai semakin baik untuk
dilaksanakan.
Tahapan Penelitian
Tabel 1 Tahapan metode penelitian
No
Tahap penelitian
Keterangan
1) Analisis Quick Scan
Alat pengumpulan data :
- Kuisioner
- Wawancara dengan aktor terkait rantai
logistik
- Pengamatan dan pengukuran langsung
2) Penentuan alternatif
Pengamatan langsung, studi pustaka serta
produksi bersih
wawancara dengan pakar dan pelaku
industry
3) Penentuan strategi produksi Alat analisis data :
bersih terbaik
Analytical Hierarchy Process (AHP)
4) Analisis kelayakan
Wawancara dengan pihak terkait dan kajian
ekonomi/finansial terhadap pustaka untuk mnghitung nilai investasi
alternatif terpilih
awal, keuntungan dan payback period
13
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Rantai Logistik Industri Hortikultura
Penelitian ini merupakan studi kasus di wilayah Sukabumi dan Jakarta
dengan memilih komoditas utama yang dibudidayakan. Komoditas yang menjadi
fokus penelitian adalah cabai (keriting, rawit dan merah besar), tomat, sawi putih
dan kol. Definisi logistik menurut webster dictionary adalah penyediaan,
perawatan, distribusi dan material. Rantai logistik industri hortikultura merupakan
alur distribusi komoditas hortikultura yaitu sayuran dari hulu hingga hilir proses
produksi.
Dalam rantai logistik industri hortikultura pada Lampiran 1, aktor-aktor
yang berperan dalam rantai logistik adalah Petani, Pedagang Pasar (besar/kecil),
Packing House dan Supermarket. Rantai logistik industri hortikultura dimulai dari
petani mengirim hasil panen sayuran ke pedagang pasar. Pada pedagang pasar
(besar), sayuran hanya ditumpuk berdasarkan grade dan dijual kembali ke
pedagang pasar (kecil) secara grosir serta packing house. Sayuran dengan
grade/kualitas baik akan dikirim ke packing house. Sayuran dari packing house
yang telah dikemas, kemudian di kirim ke supermarket. Setiap aktor atau pelaku
rantai logistik industri hortikultura mempunyai peran yang berbeda. Peran
masing-masing aktor dalam rantai logistik industri hortikultura dapat dilihat pada
Tabel 2.
Petani sebagai aktor bagian hulu dari rantai logistik industri hortikultura
berperan dalam suplai sayuran yang memiliki karakteristik tidak luka, memar dan
busuk atau sayuran dalam kondisi segar yang diawali dengan proses budidaya dan
pasca panen yang baik sehingga diperoleh hasil panen maksimal. Untuk
komoditas hortikultura yang telah dipanen, selanjutnya dilakukan proses sortasi
kering atau memisahkan komoditas hortikultura yang layak dengan tidak layak
untuk dijual. Proses packing dilakukan pada masing-masing komoditas guna
mempermudah proses pengangkutan dan melindungi komoditas dari kerusakan
pada saat proses distribusi.
Cabai dikemas menggunakan kardus/karung dengan kapasitas 50 - 65 kg.
Sawi putih dan kol dikemas menggunakan plastik transparan dengan kapasitas 60
- 75 kg serta tomat dikemas menggunakan peti kayu dengan kapasitas 40 kg, yang
sebelumnya dilakukan proses grading terlebih dahulu. Grade pada tomat terdiri
dari grade A, grade B dan grade C. Masing-masing grade pada tomat dibedakan
secara fisik berupa ukuran. Pembagian mutu pada tomat menurut SNI 01-31621992 dapat dilihat pada Tabel 3. Komoditas hortikultura yang telah dilakukan
packing, kemudian di distribusikan ke pedagang pasar besar (pasar induk keramat
jati) menggunakan truk bak terbuka maksimal satu hari setelah proses pemanenan.
14
Tabel 2 Aktor rantai logistik industri hortikultura
Tingkatan
Supplier
(pemasok)
Aktor
Petani
hortikultura
(sayuran)
Distributor
(pendistribusi)
Pedagang
pasar (besar)
Pembelian
Penumpukan
Pengiriman
Manufacturer
(pengolah)
Packing
house
Customer
(konsumen)
Super
Market
Pembelian
Sortasi
Penjualan
Pedagang
pasar (kecil)
Pembelian
Penjualan
Proses
Budidaya
Panen
Sortasi
Grading
Packing
Pegiriman
Pembelian
Sortasi
Re-packing
Pengiriman
Aktivitas
Melakukan proses budidaya,
produksi dan pemanenan
Melakukan proses sortasi
secara fisik/visual
Melakukan proses grading
pada komoditas tomat
Melakukan proses packing
sementara untuk distribusi
Melakukan proses distribusi
dan penjualan ke pasar induk
Melakukan
pembelian
hortikultura dari petani
Melakukan
proses
penumpukan
komoditas
sesuai jenis dan grade
Melakukan
proses
pengiriman dan penjualan ke
packing house dan pedagang
pasar (kecil)
Melakukan
pembelian
hortikultura dengan kualitas
baik dari pedagang pasar
(besar)
Melakukan proses sortasi
secara ketat pada setiap
komoditas
Melakukan
pengemasan
kembali dengan kapasitas
500 gram - 1 kg setiap
kemasan
Melakukan proses distribusi
dan
penjualan
ke
supermarket
Melakukan
pembelian
hortikultura dari packing
house
Melakukan proses sortasi
secara acak terhadap produk
dan kemasan
Melakukan proses penjualan
dengan melakukan display
pada
setiap
komoditas
kepada konsumen akhir
Melakukan
pembelian
hortikultura dari pedagang
pasar (besar)
Melakukan proses penjualan
hortikultura ke konsumen
akhir
15
Tabel 3 Syarat mutu buah tomat (SNI 01-3162-1992)
Syarat Mutu
Karakteristik
Mutu I
Mutu II
Kesamaan sifat varietas
Seragam
Seragam
Tingkat ketuaan
Tua tetapi tidak terlalu
Tua tetapi tidak terlalu
matang, tidak terlalu
matang, tidak terlalu
lunak
lunak
Ukuran
Seragam
Seragam
Kotoran
Tidak ada
Tidak ada
Kerusakan maksimum
5
10
(%)
Busuk maksimum (%)
1
1
Sumber: SNI 01-3162-1992
Setibanya di pasar, semua komoditas hortikultura yang dikirim kemudian
diturunkan dan ditumpuk pada tempat yang kering sesuai dengan jenis dan grade
masing-masing komoditas. Komoditas cabai, setelah diturunkan dan ditumpuk
selanjutnya diberi udara secara langsung menggunakan kipas angin. Hal ini
dilakukan agar uap panas yang keluar dari cabai dapat berkurang sehingga tidak
cepat susut dan busuk. Komoditas dengan grade atau kualitas baik akan dikirim
ke packing house, sedangkan untuk komoditas yang memiliki kualitas menengah
ke bawah dijual kepada pedagang pasar (kecil) secara grosir tanpa membongkar
kemasan baik kardus, karung, plastik dan juga peti kayu. Pada pedagang pasar
kecil, komoditas yang dibeli tidak lagi dilakukan proses sortasi, sehingga
komoditas yang dibeli langsung dijual kembali kepada konsumen.
Packing house melakukan proses pembelian kepada pedagang pasar (besar)
untuk komoditas dengan kualitas/grade terbaik yang nantinya akan dilakukan
proses sortasi dan pengemasan kembali. Sortasi dilakukan secara manual pada
setiap komoditas untuk memisahkan komoditas yang baik secara fisik dengan
komoditas yang kurang baik (busuk/luka). Komoditas yang lolos sortir seperti
cabai, selanjutnya dikemas kembali menggunakan plastik berlubang kapasitas 500
gram, sedangkan untuk tomat tidak dikemas atau dijual secara curah kepada
supermarket. Komoditas yang tidak lolos sortir akan dijual kembali ke pedagang
pasar.
Komoditas yang telah disortir dan dikemas oleh packing house, selanjutnya
dikirim ke supermarket menggunakan mobil box dan dilakukan proses sortasi
kembali secara keseluruhan. Sortasi secara keseluruhan meliputi sortasi kemasan
dan produk itu sendiri. Komoditas yang lolos sortir selanjutnya dilakukan display
pada supermarket untuk dijual kepada konsumen dan komoditas yang tidak lolos
sortir akan dikembalikan kepada pihak packing house.
16
Model Rantai Logistik
Pada identifikasi aliran rantai logistik industri hortikultura dilapangan,
didapatkan hasil berupa dua buah model rantai logistik yaitu model rantai logistik
1 dan model rantai logistik 2. Model rantai logistik 1 terdiri dari beberapa aktor
yaitu petani – pedagang pasar (besar) – pedagang pasar (kecil) dan model rantai
logistik 2 terdiri dari petani – pedagang pasar (besar) – packing house –
supermarket. Kedua model rantai logistik dapat dilihat pada Gambar 2.
Pedagang Pasar
(kecil)
Petani
Pedagang Pasar
(besar)
Packing
House
Supermarket
Gambar 2 Identifikasi model rantai logistik industri hortikultura (sayuran)
Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2002) dalam Marimin (2004), terdapat
beberapa aktor utama yang memiliki kepentingan dalam Supply Chain
Management yaitu sebagai supplier (pemasok), distributor (pendistribusi),
manufacturer (pengolah) dan customer (konsumen). Pada model 1 rantai logistik
industri hortikultura, petani berperan sebagai supplier (pemasok), pedagang pasar
(besar) sebagai distributor dan pedagang pasar (kecil) sebagai customer
(konsumen).
Dalam model rantai logistik 2 juga petani berperan sebagai supplier
(pemasok), pedagang pasar (besar) sebagai distributor, packing house sebagai
manufacturer (pengolah) serta supermarket berperan sebagai customer
(konsumen). Pada suatu rantai logistik umumnya terdapat tiga macam aliran yang
harus dikelola. Pertama yaitu aliran barang/logistik yang mengalir dari hulu ke
hilir (supplier-customer), kedua yaitu aliran uang/finansial yang mengal
PADA RANTAI LOGISTIK INDUSTRI HORTIKULTURA
(STUDI KASUS WILAYAH SUKABUMI - JAKARTA)
KRISNA CAHYO PRASTYO
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul analisis strategi
implementasi produksi bersih pada rantai logistik industri hortikultura adalah
benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Krisna Cahyo Prastyo
NIM F34100008
ABSTRAK
KRISNA CAHYO PRASTYO. Analisis Strategi Implementasi Produksi Bersih
pada Rantai Logistik Industri Hortikultura (studi kasus di Wilayah SukabumiJakarta). Dibimbing oleh ANAS MIFTAH FAUZI.
Produksi komoditas hortikultura di wilayah Sukabumi pada tahun 2011
untuk kol, sawi putih, cabai keriting, cabai merah besar, cabai rawit dan tomat
masing-masing sebesar 1.990 ton, 23.098 ton, 6.400 ton, 7.679 ton, 3.542 ton dan
13.451 ton, dengan tujuan pengiriman sebagian besar ke wilayah DKI Jakarta.
Proses produksi dalam industri hortikultura di sepanjang rantai logistiknya
berpotensi menghasilkan limbah dan penumpukan sampah organik. Komposisi
dan karakteristik sampah di wilayah DKI Jakarta pada tahun 2011 terdiri dari
55,37% sampah organik dan 44,63% sampah non organik. Rantai logistik industri
hortikultura melibatkan petani, pedagang pasar, packing house dan supermarket.
Tujuan penelitian adalah menganalisis potensi terbentuknya limbah pada rantai
logistik industri hortikultura dan menentukan strategi penerapan produksi bersih
terbaik untuk meminimalkan terbentuknya limbah industri hortikultura dari
Sukabumi ke Jakarta. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
quick scan pada aliran rantai logistik dan Analytical Hierarchy Process (AHP).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh packing house
memberikan nilai tambah untuk tomat, cabai keriting, cabai merah besar dan cabai
rawit masing-masing sebesar 56,3%, 56,1%, 53,7% dan 47,2%. Alternatif strategi
produksi bersih yang diusulkan antara lain penerapan Good Agricultural Practices
(GAP), penyediaan sarana dan prasarana untuk implementasi produksi bersih,
penerapan produksi berbasis permintaan, pemanfaatan limbah (sampah sayuran)
untuk produk yang memiliki nilai tambah dan penerapan sistem packing house.
Packing house dapat meminimalkan sampah sayuran tomat, cabai merah besar,
cabai keriting dan cabai rawit di tingkat konsumen (supermarket). Hasil
Analytical Hierarchy Process menunjukkan bahwa faktor terpenting untuk
minimisasi terbentuknya sampah produk hortikultura (sayuran) melalui penerapan
produksi bersih dalam rantai logistik industri hortikultura adalah faktor
lingkungan dengan petani sebagai aktor terpenting di dalamnya dan pilihan
alternatif penerapan produksi bersih terpilih adalah dengan penyediaan sarana dan
prasarana untuk implementasi produksi bersih.
Kata kunci: Analytical Hierarchy Process (AHP), industri hortikultura, produksi
bersih, rantai logistik, sampah sayuran
ABSTRAK
KRISNA CAHYO PRASTYO. Strategic Analysis of Cleaner Production
Implementation in Logistic Chain of Holticulture Industry (Case study in
Sukabumi-Jakarta Region). Supervised By ANAS MIFTAH FAUZI.
The production of horticultural commodities in Sukabumi district in 2011
for cabbage, chinese cabbage, curly chillies, big red chilli, chili and tomatoes,
were 1.990 tons, 23.098 tons, 6.400 tons, 7.679 tons, 3.542 tons and 13.451 tons
respectively, with Jakarta as the most common shipping destination area. Along
its logistic chain, the horticulture industry potentially produces wastes. The
composition of the wastes in Jakarta in 2011 was consisted of 55,37% of organic
wastes and 44,63% of non-organic wastes. Horticulture industry logistic chain
involves farmers, green grocery, packing house and supermarkets. The purpose of
this research were to analysis the potential wastes on the horticulture industry
logistics chain and to determine the application of cleaner production strategies
to minimize the wastes. The methods used in the research were quick scan
methodology on the logistics chains flow and Analytical Hierarchy Process
(AHP). The result showed that the activity held by packing house provide added
value for tomatoes, curly chillies, big red chilli and chili, each, up to 56,3%,
56,1%, 53,7% and 47,2%. Alternative strategies proposed on cleaner production
were implementation of Good Agricultural Practices (GAP), provision of facilities
and infrastructure for the implementation of cleaner production, implementation
of demand-based production, and utilization of waste (vegetable waste) for valueadded products, and implementation of packing house. Packing house could
minimize the amount of wasted vegetable for tomatoes, red peppers big, curly
chili and chili in consumen. Analytical Hierarchy Process result showed that the
most important factor for minimizing the emergence of horticultural waste
through the application of cleaner production on horticulture industry in its
logistics chain is environment factor, with farmers as the most important actors
on it the chosen strategy for cleaner production implementation is the provision of
facilities and infrastructure.
Key word: Analytical Hierarchy Process (AHP), cleaner production, horticulture
industry, logistic chain, vegetable wastes
ANALISIS STRATEGI IMPLEMENTASI PRODUKSI BERSIH
PADA RANTAI LOGISTIK INDUSTRI HORTIKULTURA
(STUDI KASUS WILAYAH SUKABUMI - JAKARTA)
KRISNA CAHYO PRASTYO
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Analisis Strategi Implementasi Produksi Bersih pada Rantai
Logistik Industri Hortikultura (Studi Kasus Wilayah SukabumiJakarta)
Nama
: Krisna Cahyo Prastyo
NIM
: F34100008
Disetujui oleh
Prof. Dr. lr. Anas Miftah Fauzi, M,Eng
Pembimbing
Diketahui oleh
Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen
Tanggal Lulus: (
)
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia
dan rahmat-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penulis mengambil
tema Lingkungan, dengan judul skripsi Analisis Strategi Implementasi Produksi
Bersih pada Rantai Logistik Industri Hortikultura (Studi Kasus Wilayah
Sukabumi - Jakarta) yang telah dilakukan dari bulan Maret hingga Mei 2014.
Ucapan terimakasih serta penghargaan penulis ucapkan kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M.Eng selaku dosen pembimbing atas
perhatian dan bimbingannya selama ini.
2. Ayahanda Subiyanto dan Ibunda Wiwik Widayati serta Arya Dipa Nugroho
Wibiyanto dan Heldinnie Gusty Atiqah atas doa, dukungan dan perhatiannya
selama ini.
3. Pihak petani, pedagang pasar, packing house dan supermarket di Sukabumi
dan Jakarta atas izin dan bantuan pengambilan data selama ini.
4. Direktorat Jendral Hortikultura Kementrian Pertanian, Dinas Pertanian dan
Dinas Kebersihan Kota Sukabumi, Dr. Anas D. Susila dan Andes Ismaya
S.TP, MSi atas bantuan dalam pengambilan keputusan strategi produksi
bersih.
5. Seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014
Krisna Cahyo Prastyo
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
METODOLOGI
Kerangka Pemikiran
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Analisis Data
Tahapan Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Rantai Logistik Industri Hortikultura
Limbah yang Terbentuk dalam Rantai Logistik
Penanganan Limbah
Analisis Keuntungan dan Nilai Tambah dalam Rantai Logistik
Penentuan Pilihan Produksi Bersih
Analisis Kelayakan Alternatif Produksi Bersih Terpilih
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
i
i
i
1
1
2
2
2
2
3
10
10
11
11
12
13
13
18
19
20
21
26
28
29
32
83
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
Tahapan metode penelitian
Aktor rantai logistik industri hortikultura
Syarat mutu buah tomat (SNI 01-3162-1992)
Persentase sampah pada model 1 rantai logistik industri hortikultura
Persentase sampah pada model 2 rantai logistik industri hortikultura
Penanganan limbah
Pilihan penerapan produksi bersih yang dapat diterapkan
Hasil analisis Analytical Hierarchy Process (AHP) dari kelompok
responden
12
14
15
18
19
19
22
23
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
Rantai logistik industri hortikultura
Identifikasi model rantai logistik industri hortikultura (sayuran)
Pola aliran dalam model 1 rantai logistik industri hortikultura
Pola aliran dalam model 2 rantai logistik industri hortikultura
Hasil analisis akhir penentuan pilihan produksi bersih
5
16
17
17
25
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Flowchart rantai logistik industri hortikultura sukabumi-jakarta
Analisis kelayakan alternatif terpilih pada pendirian greenhouse
Analisis kelayakan penerapan crisping pada pedagang pasar (kecil)
Analisis kelayakan penerapan pengolahan kompos pada supermarket
Analisis kelayakan penerapan sistem packing house
Neraca massa input, output dan limbah pada setiap aktor
Hasil analisis AHP dari expert choice 2000
Kuesioner AHP
Perhitungan keuntungan di tingkat petani
Perhitungan keuntungan di tingkat pedagang pasar (besar)
Perhitungan keuntungan di tingkat pedagang pasar (kecil)
Perhitungan nilai tambah di tingkat packing house
Perhitungan keuntungan di tingkat supermarket
Dokumentasi penelitian
33
34
36
40
43
49
65
66
77
78
79
79
80
81
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hortikultura berupa sayuran segar yang merupakan sub-sector pertanian
pada sepuluh tahun terakhir mendapatkan perhatian masyarakat Indonesia. Hal ini
tidak terlepas dari kesadaran masyarakat akan manfaat nilai nutrisi sayuran segar
bagi kesehatan. Kesadaran ini menuntut adanya rantai suplai yang mampu
memberikan penanganan dan menampilkannya dengan baik terkait mutu dan
kesegaran sayuran. Terlebih lagi adanya kecenderungan penyimpanan,
transportasi, distribusi dan pemasaran yang memerlukan waktu relatif panjang,
adanya waktu pemajangan pada pedagang-pedagang ritel dan waktu penundaan
penyiapan atau pengolahan untuk dikonsumsi di tingkat rumah tangga.
Sayuran secara alami sangat mudah mengalami kerusakan dan kebusukan.
Cara penanganan yang baik dan masukan teknologi untuk memperlambat
kemunduran mutu dan kesegaran sayuran sangatlah penting, agar tidak lagi
dihasilkan sampah sayuran yang dapat meningkatkan volume sampah di Tempat
Pembuangan Akhir (TPA). Volume sampah di wilayah DKI Jakarta meningkat
setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya kegiatan proses produksi industri
hortikultura di wilayah Jawa Barat, diantaranya di wilayah Sukabumi dengan
pengirimannya meliputi wilayah DKI Jakarta. Menurut BPS tahun 2011 produksi
hortikultura di wilayah Sukabumi untuk kol, sawi putih, cabai keriting, cabai
merah besar, cabai rawit dan tomat masing-masing sebesar 1.990 ton, 23.098 ton,
6.400 ton, 7.679 ton, 3.542 ton dan 13.451 ton. Proses produksi industri
hortikultura di sepanjang rantai logistiknya, berpotensi menghasilkan limbah dan
penumpukan sampah yang berperan serta dalam peningkatan volume sampah di
wilayah DKI Jakarta dari tahun 2005-2008 yaitu 26,264 m3/hari, 26,444 m3/hari,
27,217 m3/hari dan 29,217 m3/hari (Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta
2011). Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta (2005) memprediksi jumlah
timbulan sampah akan terus meningkat seiring dengan peningkatan aktivitas
proses produksi industri hortikultura hingga mencapai 26,720 m3/hari pada tahun
2015.
Sampah yang dihasilkan dari aktivitas proses produksi industri hortikultura
dapat berupa sampah organik atau pun non organik menjadi permasalahan
lingkungan. Sampah organik dapat berupa sisa sayuran yang rusak dan busuk dari
pasar dan sampah non organik dapat berupa plastik atau sampah lain yang sulit di
degradasi. Menurut Dinas Kebersihan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (2011),
komposisi dan karakteristik sampah di wilayah DKI Jakarta terdiri dari 55,37%
sampah organik dan 44,63% sampah non organik. Sampah organik maupun non
organik menjadi permasalahan karena mencemari lingkungan dan mengganggu
kesehatan manusia. Penanganan terhadap rantai logistik produk hortikultura dapat
mengurangi timbulnya sampah sayuran diwilayah perkotaan, khususnya di
wilayah DKI Jakarta, sehingga strategi penerapan produksi bersih sepanjang
rantai logistik industri hortikultura diperlukan untuk meminimalkan sampah
sayuran.
2
Perumusan Masalah
Sampah sayuran yang dihasilkan sepanjang rantai logistik industri
hortikultura, dapat diminimalkan terbentuknya melalui penerapan produksi bersih.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah sebagai berikut :
1) Menganalisis potensi terbentuknya limbah pada rantai logistik industri
hortikultura.
2) Menentukan strategi penerapan produksi bersih terbaik untuk meminimalkan
terbentuknya limbah di industri hortikultura dari Sukabumi ke Jakarta.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
1) Petani, pedagang pasar, packing house, supermarket dan aktor-aktor lain yang
terkait dalam rantai logistik industri hortikultura sebagai bahan informasi dan
pertimbangan dalam menerapkan strategi produksi bersih pada setiap tahapan
proses yang dilakukan.
2) Penulis sebagai sarana pengembangan wawasan serta pengalaman dalam
menganalisis permasalahan khususnya di bidang lingkungan.
3) Kalangan akademisi dapat dijadikan sebagai bahan penyusunan penelitian yang
serupa dan lebih mendalam.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mengacu pada hal-hal sebagai berikut:
1) Penelitian berfokus pada penentuan alternatif strategi produksi bersih
sepanjang rantai logistik industri hortikutura dari Sukabumi ke Jakarta.
2) Untuk komoditas yang akan diidentifikasi dalam rantai logistik industri
hortikultura adalah tomat, cabai (keriting, merah besar, rawit), sawi putih dan
kol.
3) Pihak yang terkait dalam penelitian adalah petani, pedagang pasar (besar dan
kecil), packing house dan supermarket sebagai aktor utama penelitian, ditjen
hortikultura, dinas pertanian dan dinas kebersihan sebagai dinas pemerintah
terkait, serta pakar sebagai pihak yang memiliki persepsi dan saran mengenai
faktor lingkungan yang harus diperbaiki oleh industri hortikultura.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Produk Hortikultura
Produk hortikultura terbagi menjadi tiga jenis yaitu sayuran, buah dan
bunga. Menurut Rahardi et al. (2001), ciri-ciri komoditas hortikultura adalah
sebagai berikut :
1) Dipanen dan dimanfaatkan dalam keadaan hidup atau segar sehingga bersifat
mudah rusak (perishable) karena masih ada proses metabolisme.
2) Komponen utama mutu ditentukan oleh kandungan air, bukan oleh kandungan
bahan kering (dry matter).
3) Produk hortikultura bersifat meruah (voluminous atau bulky) sehingga susah
dan mahal diangkut.
4) Harga pasar komoditas ditentukan oleh mutu atau kualitasnya bukan oleh
kuantitasnya saja.
5) Produk hortikultura bukan merupakan kebutuhan pokok yang dibutuhkan
dalam jumlah besar namun diperlukan sedikit-sedikit setiap harinya dan bila
tidak mengkonsumsinya maka tidak segera dirasakan akibatnya.
6) Produk digunakan tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan jasmani tapi juga
untuk pemenuhan kebutuhan rohani.
7) Dari segi gizi, produk hortikultura penting sebagai sumber vitamin dan
mineral, bukan diutamakan untuk sumber kalori dan protein.
Sayuran adalah salah satu produk hortikultura yang memiliki karakteristik
berbeda dengan komoditas lainnya. Kandungan vitamin dan mineral yang lengkap
serta bervariasi juga banyak mengandung serat menyebabkan tanaman ini dapat
dijadikan sebagai bahan makanan bergizi yang dapat menunjang kesehatan
(Norvary 1999).
Komoditas ini memiliki resiko yang cukup besar yang menyebabkan
ketergantungan yang tinggi antara pasar dan konsumen, juga antara pasar dan
produsen (Rahardi 2004). Menurut Rahardi (2004) sifat-sifat sayuran terdiri dari:
1) Tidak bergantung musim, karena sayuran dibedakan menjadi tanaman sayuran
semusim dan tahunan. Produk sayuran tersebut setiap hari dapat di peroleh.
Terdapat beberapa jenis sayuran tahunan yang pada saat tertentu jumlahnya
sedikit dan harganya mahal, tetapi pada saat panen raya harganya kembali
normal, karena tidak bergantung musim maka sayuran dapat dibudidayakan
kapan saja asal syarat tumbuhnya terpenuhi.
2) Mempunyai resiko tinggi, karena produk sayuran umumnya mudah rusak,
mudah busuk dan voluminous. Jika tidak ada penanganan lebih lanjut pada
pasca panen maka harganya pun akan turun bahkan tidak bernilai sama sekali.
3) Perputaran modalnya cepat walaupun beresiko tinggi. Perputaran modal usaha
sayuran lebih cepat dibandingkan dengan komoditas pertanian yang lainnya.
Hal ini terkait dengan umur tanam untuk produk sayuran lebih singkat dan
disertai dengan permintaan konsumen terhadap berbagai jenis sayuran tidak
akan pernah berhenti.
4
Industri Hortikultura
Industri hortikultura merupakan salah satu jenis agrobased industry yang
berdaya saing kuat dan mampu bertahan dalam jangka waktu yang relatif panjang
(Muslimin 1994). Industri hortikultura memiliki peran dalam memberikan
penanganan atau proses terhadap komoditas hortikultura dengan tujuan untuk
memperoleh nilai tambah, mengurangi kerusakan, mempertahankan mutu dan
masa simpan hasil panen. Penanganan atau proses dapat dilakukan dengan
berbagai cara, diantaranya melalui penanganan pasca panen produk hortikultura
(sayuran). Pada umumnya, penanganan pasca panen dalam rantai logistik industri
hortikultura dilakukan pada rumah pengemasan (packing house). Rumah
pengemasan (packing house) adalah suatu bangunan tempat menangani kegiatan
pasca panen hasil hortikultura sejak dipanen sampai pengemasan dan siap di
distribusikan ke pasar tujuan atau konsumen akhir. Penanganan yang dilakukan
harus disesuaikan dengan jenis produk (Syarief dan Irawati 1988).
Menurut Winata (2006), untuk penanganan pasca panen sayuran terdiri
atas pembersihan (cleaning), pengkelasan (grading), pengemasan (packaging),
penyimpanan (storing) dan pengangkutan (transporting).
1) Pembersihan
Menurut Pantastico et al. (1986), pembersihan bertujuan untuk membuang
kotoran yang melekat pada sayuran untuk memperbaiki penampakan sayuran
dan menghilangkan bagian yang busuk atau rusak (trimming). Pembersihan
dilakukan dengan mencuci bagian produk yang terkena tanah menggunakan air
yang mengalir dengan sprayer (Salunkhe 1976).
2) Penyortiran dan pengkelasan
Kegiatan sortasi biasanya dilakukan berdasarkan standar mutu yang telah
ditetapkan baik untuk pemasaran dalam negeri maupun ekspor. Penyortiran
dilakukan untuk memisahkan hasil panen berdasarkan kualitas sayuran yang
dihasilkan (Rahardi 2004). Menurut Trisnawati dan Setiawan (2002),
pengkelasan didasarkan pada kesehatan, ketegaran, kebersihan, ukuran, bobot,
warna, bentuk, kemasakan, kebebasan dari bahan-bahan asing dan penyakit
serta kerusakan oleh serangga dan luka-luka mekanik.
3) Pengemasan
Pengemasan untuk tujuan pasar harus mempertimbangkan tingkat
kematangan buah, jarak dan waktu yang ditempuh hingga menuju tempat
pemasaran. Tujuan pengemasan secara umum adalah untuk melindungi hasil
terhadap kerusakan, mengurangi kehilangan air, mempermudah dalam
pengangkutan dan mempermudah dalam perhitungan (Cahyono 1998).
4) Penyimpanan
Penyimpanan yang tepat sangat diperlukan agar sayuran tetap berkualitas,
baik penampilan fisik maupun kandungan gizinya. Selama penyimpanan
sayuran akan mengalami berbagai perubahan yang disebabkan oleh faktor dari
dalam sayuran dan kondisi lingkungan penyimpanan (Novary 1999). Umur
simpan sayuran dapat diperpanjang dengan mempertahankan suhu rendah
dalam tempat penyimpanan. Sayuran tropika memerlukan suhu yang lebih
tinggi untuk penyimpanan, yaitu 7-10ᵒC (Williams et al. 1993). Tempat
penyimpanan yang bersih sangat diperlukan untuk mempertahankan kualitas
sehingga mengurangi infeksi.
5
5) Pengangkutan
Menurut Cahyono (1998) fungsi pengangkutan dalam kegiatan pasca
panen adalah menyampaikan barang dari kebun atau gudang ke pusat-pusat
pemasaran, misalnya pasar induk, pasar lokal dan pasar swalayan. Dalam
pengangkutan, berbagai jenis sayuran mengalami penyusutan mutu akibat
kerusakan dan transpirasi (Balitbangtan 1987). Hal ini disebabkan karena
penanaman komoditi pertanian umumnya berada di pedesaan, sedangkan
pemasarannya di daerah perkotaan. Kerusakan saat pengangkutan banyak
disebabkan oleh penanganan yang kasar, adanya keterlambatan, pemucatan,
pembongkaran yang ceroboh, penggunaan wadah yang tak sesuai dan kondisi
pengangkutan yang kurang memadai (Trisnawati dan Setiawan 2002).
Pedagang Pasar
(kecil)
Petani
Pedagang Pasar
(besar)
Packing
House
Super
market
Industri Hortikultura
Gambar 1 Rantai logistik industri hortikultura
Konsep Nilai Tambah
Konsep nilai tambah adalah suatu perubahan nilai yang terjadi karena
adanya perlakuan terhadap suatu input pada suatu proses produksi. Arus
peningkatan nilai tambah komoditas pertanian terjadi di setiap mata rantai pasok
dari hulu ke hilir yang berawal dari petani dan berakhir pada konsumen akhir.
Nilai tambah pada setiap anggota rantai pasok berbeda-beda tergantung dari input
dan perlakuan oleh setiap anggota rantai pasok tersebut.
Nilai tambah komoditas pertanian di sektor hulu dapat dilakukan dengan
penyediaan bahan baku berkualitas dan berkesinambungan yang melibatkan para
pelaku pada mata rantai pertama, antara lain petani, penyedia sarana prasarana
pertanian dan penyedia teknologi. Nilai tambah secara kuantitatif dihitung dari
peningkatan produktivitas, sedangkan nilai tambah secara kualitatif adalah nilai
tambah dari meningkatnya kesempatan kerja, pengetahuan dan keterampilan
SDM.
6
Nilai tambah selanjutnya terjadi pada sektor hilir yang melibatkan industri
pengolahan. Komoditas pertanian yang bersifat perishable (mudah rusak) dan
bulky (kamba) memerlukan penanganan atau perlakuan yang tepat, sehingga
produk pertanian tersebut siap dikonsumsi oleh konsumen. Perlakuan tersebut
antara lain, pengolahan, pengemasan, pengawetan dan manajemen mutu untuk
menambah kegunaan atau menimbulkan nilai tambah, sehingga harga produk
komoditas pertanian menjadi tinggi. Beberapa nilai tambah yang tidak dapat
dihitung secara numerik meliputi peluang kerja yang terbuka dengan adanya
industri pengolahan dan peningkatan keterampilan kerja.
Nilai tambah pada sektor retail adalah keuntungan yang didapat oleh
retailer dalam menjual produk hasil pertanian yang sudah mengalami pengolahan.
Nilai tambah tersebut didapatkan dari beberapa hal antara lain: produk yang dijual
dalam bentuk eceran, kontinuitas persediaan barang, jaminan mutu barang dan
pelayanan terhadap konsumen. Menurut Hayami et al. (1987) dalam Sudiyono
(2001), ada dua cara untuk menghitung nilai tambah, yaitu nilai tambah untuk
pengolahan dan nilai tambah untuk pemasaran. Faktor-faktor yang mempengaruhi
nilai tambah untuk pengolahan dapat dikatagorikan menjadi dua, yaitu faktor
teknis dan faktor pasar. Faktor teknis yang berpengaruh adalah kapasitas produksi,
jumlah bahan baku yang digunakan dan tenaga kerja, sedangkan faktor pasar yang
berpengaruh adalah harga output, upah tenaga kerja, harga bahan baku dan nilai
input lain. Menurut Sudiyono (2001), besarnya nilai tambah karena proses
pengolahan didapat dari pengurangan biaya bahan baku dan input lainnya
terhadap nilai produk yang dihasilkan, tidak termasuk tenaga kerja. Dengan kata
lain, nilai tambah menggambarkan imbalan bagi tenaga kerja, modal dan
manajemen yang dapat dinyatakan secara matematik sebagai berikut:
Nilai Tambah = f { K, B, T, U, H, h, L } dimana,
Keterangan:
K
= Kapasitas produksi
B
= Bahan baku yang digunakan
T
= Tenaga kerja yang digunakan
U
= Upah tenaga kerja
H
= Harga output
H
= Harga bahan baku
L
= Nilai input lain (nilai dan semua korbanan yang terjadi selama proses
perlakuan untuk menambah nilai)
Informasi yang dihasilkan melalui analisis nilai tambah dengan metode
hayami adalah: Perkiraan besarnya nilai tambah; Rasio nilai tambah terhadap nilai
produk yang dihasilkan, menunjukkan persentase nilai tambah dari nilai produk;
Imbalan bagi tenaga kerja (Rp), menunjukkan besarnya upah yang diterima oleh
tenaga kerja langsung; Bagian tenaga kerja dari nilai tambah yang dihasilkan
menunjukkan persentase imbalan tenaga kerja dari nilai tambah; Keuntungan
pengolahan (Rp), menunjukkan bagian yang diterima pengusaha karena
menanggung risiko usaha; Tingkat keuntungan pengolahan terhadap nilai output,
menunjukkan persentase keuntungan terhadap nilai tambah; Marjin pengolahan
(Rp), menunjukkan kontribusi pemilik faktor produksi selain bahan baku yang
digunakan dalam proses produksi; Persentase pendapatan tenaga kerja langsung
terhadap marjin; Persentase keuntungan perusahaan terhadap marjin; Persentase
sumbangan input lain terhadap marjin.
7
Sampah
Berbagai aktivitas dilakukan oleh manusia untuk kesejahteraan hidupnya
dengan memproduksi barang dari sumber daya alam disamping menghasilkan
barang yang akan dikonsumsi manusia, dihasilkan pula bahan buangan yang
sudah tidak dibutuhkan lagi oleh manusia yaitu limbah (sampah). Sampah selalu
menimbulkan masalah baik secara sosial, ekonomi, maupun lingkungan. Menurut
Hadiwiyoto (1983), sampah adalah sisa-sisa bahan yang telah mengalami
perlakuan baik telah diambil bagian utamanya, telah mengalami pengolahan dan
sudah tidak bermanfaat, dari segi ekonomi sudah tidak ada harganya serta dari
segi lingkungan dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan kelestarian alam.
Menurut Suprihatin et al. (1996), sampah padat dapat dibagi menjadi dua
golongan yaitu sampah organik dan anorganik. Sampah organik adalah sampah
yang mudah diuraikan dalam proses alami. Sampah organik terdiri dari bahanbahan penyusun tumbuhan dan hewan yang diambil dari alam atau dihasilkan dari
kegiatan pertanian (sayuran dan buah-buahan), perikanan atau yang lain.
Sedangkan sampah anorganik adalah sampah yang berasal dari sumber daya yang
tidak diperbaharui. Secara keseluruhan zat anorganik yang ada tidak dapat
diuraikan oleh alam. Jenis sampah ini dapat berupa botol kaca, botol plastik,
kaleng, kayu, tulang, kertas dan lainnya.
Sampah dapat menimbulkan masalah lingkungan baik fisik, kimia dan
biologi. Masalah lingkungan fisik diantaranya adalah ketersediaan lahan semakin
berkurang, menurunnya kualitas estetika dan timbul bau tak sedap. Masalah
lingkungan kimiawi adanya gas metana (CH4) yang terlepas akibat adanya
dekomposisi sampah organik, sedangkan gas metan termasuk dalam gas rumah
kaca yang menjadi polutan di atmosfir. Selain itu terdapat juga masalah biologis
yang dapat ditimbulkan seperti Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA).
Rencana pengelolaan sampah yang komprehensif harus memperhatikan
sumber sampah, lokasi, pergerakan/peredaran dan interaksi peredaran sampah
dalam suatu lingkungan wilayah. Penanganan sampah yang tepat dapat menjadi
jalan keluar dari masalah keterbatasan lahan untuk penumpukan/pembuangan
sampah dan juga dapat memberikan manfaat atau nilai ekonomis. Dari sampah
yang dihasilkan dapat dilakukan penanganan dengan beberapa kemungkinan
yaitu, didaur ulang menjadi bahan baku pada suatu proses produksi (kertas,
karton, plastik, logam, botol dan sebagainya), diolah menjadi kompos (umumnya
dari jenis sampah organik), hingga sampah ditumpuk di Tempat Pembuangan
Akhir (TPA).
Pengolahan Sampah Organik
Sampah organik adalah sampah yang mudah diuraikan dalam proses alami.
Sampah organik terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan yang
diambil dari alam atau dihasilkan dari kegiatan pertanian (sayuran dan buahbuahan), atau yang lain. Dalam pengolahannya, dibutuhkan cara untuk
meminimalkan sampah sayuran tersebut melalui beberapa pilihan alternatif.
8
Alternatif pertama adalah penerapan Good Agricultural Practices (GAP),
dimana dengan perbaikan pada sektor hulu proses produksi diharapkan mampu
meminimumkan sampah sayuran hasil sortasi ditingkat distributor, manufacturer
hingga konsumen. GAP adalah panduan umum dalam melaksanakan budidaya
tanaman hortikultura secara benar dan tepat, sehingga diperoleh produktivitas
tinggi, mutu produk yang baik, keuntungan optimum, ramah lingkungan dan
memperhatikan aspek keamanan, keselamatan dan kesejahteraan petani, serta
usaha produksi yang berkelanjutan. Sasaran yang akan dicapai dalam penerapan
GAP adalah terwujudnya keamanan pangan, jaminan mutu, usaha agribisnis
hortikultura berkelanjutan dan peningkatan daya saing (Kementrian Pertanian
2011). Dasar hukum penerapan GAP di Indonesia adalah Peraturan Menteri
Pertanian Nomor : 61/Permentan/OT.160/11/2006, tanggal 28 November 2006
untuk komoditi buah, sedangkan untuk komoditas sayuran masih dalam proses
penerbitan menjadi Permentan. Penerapan GAP yang dilakukan oleh pelaku usaha
mendapat dukungan legal dari pemerintah pusat maupun daerah (Kementrian
Pertanian 2011).
Alternatif ke-dua adalah produksi berbasis permintaan, dimana petani
diharapkan mampu mengendalikan produksinya berdasarkan permintaan
konsumen, untuk meminimalkan sampah sayuran hasil produksi yang tidak laku
terjual. Selain petani, alternatif ini dapat ditujukan pada pihak manufacturer dan
pedagang ritel komoditas sayuran (supermarket). Pihak-pihak tersebut harus
mengetahui produk seperti apa dan jumlah produk yang diinginkan oleh
konsumen. Maka dibutuhkan suatu alat yang mampu menangkap dengan tepat
keinginan konsumen terhadap produk yang dihasilkan industri/manufacturer yaitu
berupa perencanaan dan pengaturan produksi (Marimin dan Muspitawati 2002).
Alternatif ke-tiga adalah penerapan sistem packing house yang dilakukan
melalui penanganan pasca panen dengan baik. Proses-proses yang terdapat di
dalam packing house berupa aliran bahan terkait dengan pengendalian mutu dan
kesegaran produk dimana terdapat proses sortasi yang ketat, sehingga dapat
menghasilkan produk yang baik dan bersih. Selain itu, di dalam packing house
juga terdapat proses pencucian, penyimpanan dingin dan pengemasan yang dapat
menjaga kesegaran serta mutu produk (Setyowati dan Budiarti 1992).
Alternatif ke-empat adalah penyediaan sarana dan prasarana untuk
implementasi produksi bersih. Sarana dan prasarana yang dimaksud dapat berupa
penyediaan alat-alat yang dibutuhkan dalam pembuatan pupuk kompos untuk
mengolah sampah sayuran yang terbentuk dan penyediaan teknologi pasca panen
terkait penanganan produk serta sistem distribusinya. Dalam penyediaan teknologi
pasca panen harus berdasarkan pada pertimbangan fisiologis, fisik-morfologis,
patologis produk serta pertimbangan ekonomis. Pertimbangan fisiologis terutama
laju metabolisme (dicirikan dengan laju respirasi) menjadi perhatian ahli
teknologi pasca panen untuk memperlambat kemunduran mutu dan kesegarannya.
Pendinginan adalah cara paling berarti menurunkan laju metabolisme tersebut,
seperti hydrocooling dengan air es terhadap wortel, brokoli dan kol (Jatisukarta
2004). Pertimbangan fisik-morfologis dapat dilakukan dengan teknologi crisping
sederhana yaitu mencelupkan ke dalam air hangat kemudian didinginkan
secepatnya, telah mampu menyegarkan kembali sayuran daun, sawi cina, leaks,
selada dan kangkung (Utama et al. 2007). Pertimbangan patologis dapat dilakukan
dengan usaha pencegahan dan pengendalian kontaminasi mikroorganisme
9
patogenik melalui penerapan Good Agricultural Practices (GAPs) dilanjutkan
pada periode pascapanennya dengan menerapkan Good Postharvest Handling
Practices (GPHPs). Usaha pencegahan dan pengendalian kontaminasi
mikroorganisme patogenik dilakukan tanpa menggunakan pestisida, melainkan
pembangunan greenhouse atau bangunan beratap transparan. Menurut Budiarti
(1994), greenhouse merupakan bangunan yang dibuat dari kaca dan plastik yang
merupakan bahan tembus cahaya yang dapat berpengaruh pada peningkatan
temperatur udara di dalam greenhouse, melindungi dari siraman hujan secara
langsung dan melindungi dari berbagai jenis hama serta berbagai pengaruh
perubahan intensitas cahaya matahari yang mengenai tanaman.
Alternatif ke-lima adalah pemanfaatan limbah (sampah sayuran) menjadi
produk bernilai tambah. Limbah sayuran berpotensi sebagai pengawet maupun
sebagai starter fermentasi karena memiliki kandungan asam tinggi dan mikroba
yang menguntungkan. Asam pada limbah sayuran diduga berupa asam laktat
sebagai hasil metabolisme bakteri asam laktat. Pemanfaatan ekstrak limbah
sayuran hasil fermentasi yaitu berupa asam organik, dapat digunakan sebagai
pengawetan secara biologi maupun sebagai starter untuk fermentasi pakan.
Ekstrak limbah sayuran dapat disamakan dengan sauerkraut. Sauerkraut adalah
hasil fermentasi kubis yang diambil larutan atau ekstraknya (Buckle et al. 1987).
Pembuatan saurkraut yaitu dengan cara memotong-motong limbah sayuran
kemudian ditambahkan garam 2,5%. Setelah itu didiamkan selama 5 hari,
kemudian disaring dan larutan siap digunakan (Yunizal 1986). Pemanfaatan
ekstrak limbah sayuran juga dapat digunakan sebagai starter fermentasi bekatul
yang mampu meningkatkan kandungan mineral sebesar 20%. Selain itu dapat
membuat bekatul awet disimpan selama 1 tahun pada suhu ruang tanpa mengubah
komposisi proksimat dan mampu digunakan sebagai starter fermentasi selanjutnya
(Utama 2009).
Produksi Bersih pada Rantai Logistik
Produksi bersih adalah strategi pengelolaan lingkungan yang sifatnya
mengarah pada pencegahan dan terpadu untuk diterapkan pada seluruh siklus
produksi (UNIDO 2002). Sedangkan menurut UNEP (2003), produksi bersih
merupakan sebuah strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan
terpadu yang perlu diterapkan secara terus menerus pada proses produksi dan daur
hidup produk dengan tujuan mengurangi risiko terhadap manusia dan lingkungan.
Menurut Indrastri dan Fauzi (2009), prinsip-prinsip pokok dalam produksi bersih
meliputi:
1) Mengurangi atau meminimumkan penggunaan bahan baku, air dan energi serta
menghindari pemakaian bahan baku beracun dan berbahaya serta mereduksi
terbentuknya limbah pada sumbernya.
2) Perubahan dalam pola produksi dan konsumsi berlaku baik terhadap proses
maupun produk yang dihasilkan.
3) Upaya produksi bersih tidak dapat berhasil dilaksanakan tanpa adanya
perubahan dalam pola pikir, sikap dan tingkah laku dari semua pihak terkait
baik dari pihak pemerintah, masyarakat maupun kalangan dunia
(industriawan).
10
4) Mengaplikasikan teknologi akrab lingkungan serta manajemen dan prosedur
standar operasi sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
5) Pelaksanaan program produksi bersih ini lebih mengarah pada pengaturan
sendiri dan peraturan yang sifatnya musyawarah mufakat.
Prinsip-prinsip dalam produksi bersih yang telah diuraikan dapat
diaplikasikan dalam bentuk kegiatan yang dikenal dengan 4R (Reuse, Recycle,
Reduction dan Recovery). Secara garis besarnya, pemilihan penerapan produksi
bersih dapat dikelompokkan menjadi lima bagian, yaitu good house-keeping,
perubahan material input, perubahan teknologis, perubahan produk dan on-site
Reuse.
Rantai logistik merupakan serangkaian kegiatan produktif yang terhubung
antara aktivitas nilai yang satu dengan yang lainnya membentuk rantai nilai
industri. Pada rantai logistik, produksi bersih diperlukan sebagai suatu strategi
untuk mengharmonisasikan upaya perlindungan lingkungan dari hulu hingga hilir
kegiatan produksi, mencegah terjadinya pencemaran lingkungan dengan
memelihara dan memperkuat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang untuk
setiap pelaku rantai logistik, mencegah atau memperlambat terjadinya proses
degradasi lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam melalui penerapan daur
ulang limbah serta memperkuat daya saing produk.
METODOLOGI
Kerangka Pemikiran
Kuantitas sampah di DKI Jakarta khususnya sampah sayuran yang berasal
dari aktivitas jual-beli dan produksi industri hortikultura meningkat setiap
tahunnya. Hal inilah yang menjadi landasan awal pemikiran untuk implementasi
produksi bersih pada rantai logistik industri hortikultura. Produksi bersih dapat
diterapkan untuk membantu mengatasi permasalahan limbah produk hortikultura
yaitu sampah sayuran.
Pendekatan yang dilakukan adalah dengan menganalisis timbulnya limbah
industri hortikultura disepanjang rantai logistik, peningkatan keuntungan dan nilai
tambah serta minimisasi limbah berdasarkan faktor finansial, lingkungan dan
teknis. Alternatif terbaik penerapan produksi bersih diperoleh melalui studi
pustaka, survei lapangan, wawancara kepada pelaku industri hortikultura, pakar
dan pengelola kebijakan dengan pilihan alternatifnya adalah penerapan Good
Agricultural Practices (GAP), produksi berbasis permintaan, penerapan sistem
packing house, penyediaan sarana dan prasarana implementasi produksi bersih
serta pemanfaatan limbah (sampah sayuran) menjadi produk bernilai tambah.
Komoditas hortikultura yang diamati dalam penelitian ini adalah sayuran
buah (tomat dan cabai) serta sayuran berdaun (sawi putih dan kol) sebagai
komoditas utama yang dibudidayakan di Sukabumi dan penyumbang terbesar
terbentuknya sampah sayuran. Studi kasus produksi bersih dilaksanakan pada
rantai logistik industri hortikultura dimulai dari petani sayuran di Sukabumi,
pedagang pasar (besar) pasar induk Keramat Jati, pedagang pasar (kecil) pasar
Dramaga, packing house Udi Ac. Atlantik 99 dan Lotte Distribution Center
(LDC) di Pasar Rebo, Jakarta Timur.
11
Teknik Pengumpulan Data
Pada tahapan pendahuluan penelitian dilakukan pengumpulan pustaka yang
terkait dengan tema penelitian. Data dan informasi mengenai proses penanganan
pasca panen komoditas sayuran, aliran logistik industri hortikultura, penumpukan
sampah perkotaan, serta parameter-parameter lain yang berpengaruh dalam
penelitian ini dikumpulkan dari berbagai sumber pustaka. Pada tahapan
pendahuluan penelitian juga dilakukan wawancara dengan petani sayuran di
goalpara dan pasir datar, Sukabumi.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer berupa neraca massa, penanganan limbah, perhitungan
keuntungan dan nilai tambah di setiap rantai logistik serta penentuan prioritas
alternatif produksi bersih melalui AHP. Data primer diperoleh dari setiap pelaku
yang terlibat dalam rantai logistik industri hortikultura dengan cara pengamatan
dan pengukuran langsung serta wawancara dengan pihak terkait. Data sekunder
berupa data produksi sayuran di wilayah Sukabumi yang diperoleh dari Badan
Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jendral Hortikultura, Dinas Pertanian kota
Sukabumi serta data timbulan sampah di wilayah DKI Jakarta yang diperoleh dari
Dinas Kebersihan DKI Jakarta.
Teknik Analisis Data
Analisis Quick Scan
Pada tahapan ini dilakukan pengumpulan data dari rantai logistik komoditas
sayuran (tomat, cabai, sawi putih dan kol), mulai dari petani, pedagang pasar
(besar), pedagang pasar (kecil), packing house hingga ke supermarket serta
pengumpulan data dari setiap proses yang dilakukan oleh stackeholder tersebut.
Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi proses produksi dan limbah yang
terbentuk pada setiap rantai logistik. Proses produksi di identifikasi dengan cara
wawancara, pengamatan dan pengukuran secara langsung. Identifikasi terhadap
industri dilakukan terhadap aliran rantai logistiknya. Identifikasi limbah dilakukan
dengan penyusunan neraca massa. Pelaksanaannya dilakukan dengan wawancara,
pengamatan secara langsung dalam kegiatan produksi dan pengumpulan data
perusahaan, sehingga diketahui sumber-sumber terbentuknya limbah.
Penentuan Alternatif Produksi Bersih
Setelah proses quick scan dilaksanakan pada seluruh proses produksi, data
yang diperoleh kemudian disusun berdasarkan proses produksinya dan data
tersebut dirancang menjadi berbagai alternatif produksi bersih. Rumusan alternatif
produksi bersih pada rantai logistik industri hortikultura berdasarkan dari hasil
pengamatan lapang, studi pustaka dan wawancara dengan pakar.
12
Penetapan Strategi Produksi Bersih
Alternatif produksi bersih yang telah terpilih, kemudian dianalisis
menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk didapatkan
prioritas penerapan alternatif produksi bersih pada industri hortikultura.
Pengambilan keputusan dilakukan melalui kuisioner yang diberikan kepada pakar,
petani, pedagang pasar, packing house, supermarket dan pemerintah. Prioritas
alternatif produksi bersih dianalisis menggunakan AHP dalam pengolahannya
menggunakan program Expert Choice 2000.
Analisis Kelayakan
Alternatif penerapan produksi bersih terpilih dilakukan analisis kelayakan
berupa evaluasi ekonomi. Evaluasi ekonomi merupakan analisis terhadap
alternatif penerapan produksi bersih dari segi finansial. Evaluasi ini dilakukan
dengan cara mengukur nilai payback period guna mengetahui waktu yang
diperlukan untuk mengembalikan investasi awal. Semakin cepat tingkat
pengembalian investasi, maka alternatif tersebut dinilai semakin baik untuk
dilaksanakan.
Tahapan Penelitian
Tabel 1 Tahapan metode penelitian
No
Tahap penelitian
Keterangan
1) Analisis Quick Scan
Alat pengumpulan data :
- Kuisioner
- Wawancara dengan aktor terkait rantai
logistik
- Pengamatan dan pengukuran langsung
2) Penentuan alternatif
Pengamatan langsung, studi pustaka serta
produksi bersih
wawancara dengan pakar dan pelaku
industry
3) Penentuan strategi produksi Alat analisis data :
bersih terbaik
Analytical Hierarchy Process (AHP)
4) Analisis kelayakan
Wawancara dengan pihak terkait dan kajian
ekonomi/finansial terhadap pustaka untuk mnghitung nilai investasi
alternatif terpilih
awal, keuntungan dan payback period
13
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Rantai Logistik Industri Hortikultura
Penelitian ini merupakan studi kasus di wilayah Sukabumi dan Jakarta
dengan memilih komoditas utama yang dibudidayakan. Komoditas yang menjadi
fokus penelitian adalah cabai (keriting, rawit dan merah besar), tomat, sawi putih
dan kol. Definisi logistik menurut webster dictionary adalah penyediaan,
perawatan, distribusi dan material. Rantai logistik industri hortikultura merupakan
alur distribusi komoditas hortikultura yaitu sayuran dari hulu hingga hilir proses
produksi.
Dalam rantai logistik industri hortikultura pada Lampiran 1, aktor-aktor
yang berperan dalam rantai logistik adalah Petani, Pedagang Pasar (besar/kecil),
Packing House dan Supermarket. Rantai logistik industri hortikultura dimulai dari
petani mengirim hasil panen sayuran ke pedagang pasar. Pada pedagang pasar
(besar), sayuran hanya ditumpuk berdasarkan grade dan dijual kembali ke
pedagang pasar (kecil) secara grosir serta packing house. Sayuran dengan
grade/kualitas baik akan dikirim ke packing house. Sayuran dari packing house
yang telah dikemas, kemudian di kirim ke supermarket. Setiap aktor atau pelaku
rantai logistik industri hortikultura mempunyai peran yang berbeda. Peran
masing-masing aktor dalam rantai logistik industri hortikultura dapat dilihat pada
Tabel 2.
Petani sebagai aktor bagian hulu dari rantai logistik industri hortikultura
berperan dalam suplai sayuran yang memiliki karakteristik tidak luka, memar dan
busuk atau sayuran dalam kondisi segar yang diawali dengan proses budidaya dan
pasca panen yang baik sehingga diperoleh hasil panen maksimal. Untuk
komoditas hortikultura yang telah dipanen, selanjutnya dilakukan proses sortasi
kering atau memisahkan komoditas hortikultura yang layak dengan tidak layak
untuk dijual. Proses packing dilakukan pada masing-masing komoditas guna
mempermudah proses pengangkutan dan melindungi komoditas dari kerusakan
pada saat proses distribusi.
Cabai dikemas menggunakan kardus/karung dengan kapasitas 50 - 65 kg.
Sawi putih dan kol dikemas menggunakan plastik transparan dengan kapasitas 60
- 75 kg serta tomat dikemas menggunakan peti kayu dengan kapasitas 40 kg, yang
sebelumnya dilakukan proses grading terlebih dahulu. Grade pada tomat terdiri
dari grade A, grade B dan grade C. Masing-masing grade pada tomat dibedakan
secara fisik berupa ukuran. Pembagian mutu pada tomat menurut SNI 01-31621992 dapat dilihat pada Tabel 3. Komoditas hortikultura yang telah dilakukan
packing, kemudian di distribusikan ke pedagang pasar besar (pasar induk keramat
jati) menggunakan truk bak terbuka maksimal satu hari setelah proses pemanenan.
14
Tabel 2 Aktor rantai logistik industri hortikultura
Tingkatan
Supplier
(pemasok)
Aktor
Petani
hortikultura
(sayuran)
Distributor
(pendistribusi)
Pedagang
pasar (besar)
Pembelian
Penumpukan
Pengiriman
Manufacturer
(pengolah)
Packing
house
Customer
(konsumen)
Super
Market
Pembelian
Sortasi
Penjualan
Pedagang
pasar (kecil)
Pembelian
Penjualan
Proses
Budidaya
Panen
Sortasi
Grading
Packing
Pegiriman
Pembelian
Sortasi
Re-packing
Pengiriman
Aktivitas
Melakukan proses budidaya,
produksi dan pemanenan
Melakukan proses sortasi
secara fisik/visual
Melakukan proses grading
pada komoditas tomat
Melakukan proses packing
sementara untuk distribusi
Melakukan proses distribusi
dan penjualan ke pasar induk
Melakukan
pembelian
hortikultura dari petani
Melakukan
proses
penumpukan
komoditas
sesuai jenis dan grade
Melakukan
proses
pengiriman dan penjualan ke
packing house dan pedagang
pasar (kecil)
Melakukan
pembelian
hortikultura dengan kualitas
baik dari pedagang pasar
(besar)
Melakukan proses sortasi
secara ketat pada setiap
komoditas
Melakukan
pengemasan
kembali dengan kapasitas
500 gram - 1 kg setiap
kemasan
Melakukan proses distribusi
dan
penjualan
ke
supermarket
Melakukan
pembelian
hortikultura dari packing
house
Melakukan proses sortasi
secara acak terhadap produk
dan kemasan
Melakukan proses penjualan
dengan melakukan display
pada
setiap
komoditas
kepada konsumen akhir
Melakukan
pembelian
hortikultura dari pedagang
pasar (besar)
Melakukan proses penjualan
hortikultura ke konsumen
akhir
15
Tabel 3 Syarat mutu buah tomat (SNI 01-3162-1992)
Syarat Mutu
Karakteristik
Mutu I
Mutu II
Kesamaan sifat varietas
Seragam
Seragam
Tingkat ketuaan
Tua tetapi tidak terlalu
Tua tetapi tidak terlalu
matang, tidak terlalu
matang, tidak terlalu
lunak
lunak
Ukuran
Seragam
Seragam
Kotoran
Tidak ada
Tidak ada
Kerusakan maksimum
5
10
(%)
Busuk maksimum (%)
1
1
Sumber: SNI 01-3162-1992
Setibanya di pasar, semua komoditas hortikultura yang dikirim kemudian
diturunkan dan ditumpuk pada tempat yang kering sesuai dengan jenis dan grade
masing-masing komoditas. Komoditas cabai, setelah diturunkan dan ditumpuk
selanjutnya diberi udara secara langsung menggunakan kipas angin. Hal ini
dilakukan agar uap panas yang keluar dari cabai dapat berkurang sehingga tidak
cepat susut dan busuk. Komoditas dengan grade atau kualitas baik akan dikirim
ke packing house, sedangkan untuk komoditas yang memiliki kualitas menengah
ke bawah dijual kepada pedagang pasar (kecil) secara grosir tanpa membongkar
kemasan baik kardus, karung, plastik dan juga peti kayu. Pada pedagang pasar
kecil, komoditas yang dibeli tidak lagi dilakukan proses sortasi, sehingga
komoditas yang dibeli langsung dijual kembali kepada konsumen.
Packing house melakukan proses pembelian kepada pedagang pasar (besar)
untuk komoditas dengan kualitas/grade terbaik yang nantinya akan dilakukan
proses sortasi dan pengemasan kembali. Sortasi dilakukan secara manual pada
setiap komoditas untuk memisahkan komoditas yang baik secara fisik dengan
komoditas yang kurang baik (busuk/luka). Komoditas yang lolos sortir seperti
cabai, selanjutnya dikemas kembali menggunakan plastik berlubang kapasitas 500
gram, sedangkan untuk tomat tidak dikemas atau dijual secara curah kepada
supermarket. Komoditas yang tidak lolos sortir akan dijual kembali ke pedagang
pasar.
Komoditas yang telah disortir dan dikemas oleh packing house, selanjutnya
dikirim ke supermarket menggunakan mobil box dan dilakukan proses sortasi
kembali secara keseluruhan. Sortasi secara keseluruhan meliputi sortasi kemasan
dan produk itu sendiri. Komoditas yang lolos sortir selanjutnya dilakukan display
pada supermarket untuk dijual kepada konsumen dan komoditas yang tidak lolos
sortir akan dikembalikan kepada pihak packing house.
16
Model Rantai Logistik
Pada identifikasi aliran rantai logistik industri hortikultura dilapangan,
didapatkan hasil berupa dua buah model rantai logistik yaitu model rantai logistik
1 dan model rantai logistik 2. Model rantai logistik 1 terdiri dari beberapa aktor
yaitu petani – pedagang pasar (besar) – pedagang pasar (kecil) dan model rantai
logistik 2 terdiri dari petani – pedagang pasar (besar) – packing house –
supermarket. Kedua model rantai logistik dapat dilihat pada Gambar 2.
Pedagang Pasar
(kecil)
Petani
Pedagang Pasar
(besar)
Packing
House
Supermarket
Gambar 2 Identifikasi model rantai logistik industri hortikultura (sayuran)
Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2002) dalam Marimin (2004), terdapat
beberapa aktor utama yang memiliki kepentingan dalam Supply Chain
Management yaitu sebagai supplier (pemasok), distributor (pendistribusi),
manufacturer (pengolah) dan customer (konsumen). Pada model 1 rantai logistik
industri hortikultura, petani berperan sebagai supplier (pemasok), pedagang pasar
(besar) sebagai distributor dan pedagang pasar (kecil) sebagai customer
(konsumen).
Dalam model rantai logistik 2 juga petani berperan sebagai supplier
(pemasok), pedagang pasar (besar) sebagai distributor, packing house sebagai
manufacturer (pengolah) serta supermarket berperan sebagai customer
(konsumen). Pada suatu rantai logistik umumnya terdapat tiga macam aliran yang
harus dikelola. Pertama yaitu aliran barang/logistik yang mengalir dari hulu ke
hilir (supplier-customer), kedua yaitu aliran uang/finansial yang mengal