Faktor Penentu Keberadaan Larva Aedes Spp. Pada Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue Tertinggi Dan Terendah Di Kota Bogor

FAKTOR PENENTU KEBERADAAN LARVA Aedes spp. PADA
DAERAH ENDEMIS DEMAM BERDARAH DENGUE
TERTINGGI DAN TERENDAH DI KOTA BOGOR

EVI SULISTYORINI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA *
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Faktor Penentu
Keberadaan Larva Aedes spp. pada Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue
Tertinggi dan Terendah di Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

Evi Sulistyorini
NIM B252140091

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama terkait.

RINGKASAN
EVI SULISTYORINI. Faktor Penentu Keberadaan Larva Aedes spp. pada
Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue Tertinggi dan Terendah di Kota Bogor.
Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI dan SUSI SOVIANA.
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit yang menjadi masalah
kesehatan masyarakat. Kasus DBD tertinggi di kota Bogor pada 2015 terjadi di
Kelurahan Baranangsiang (43 kasus) dan terendah di Kelurahan Bojongkerta (0 kasus).
Tujuan penelitian untuk menganalisis faktor vektor (kepadatan larva, identifikasi
spesies dan resistensi), faktor lingkungan (karakteristik habitat, suhu dan kelembaban)
dan faktor inang (perilaku manusia) dengan keberadaan larva Aedes spp. pada daerah

endemis DBD tertinggi dan terendah di Kota Bogor. Penelitian ini merupakan
observasional deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional study. Sampel 100
rumah di masing-masing kelurahan Baranangsiang dan Bojongkerta. Metode yang
digunakan dalam setiap rumah yaitu koleksi larva dilakukan dengan metode single
larva, selanjutnya larva dikoleksi dan diidentifikasi jenisnya. Larva yang diperoleh
dikembangbiakkan menjadi dewasa lalu diuji resistensinya terhadap insektisida
malation 0.8%, bendiokarb 0.1% dan deltametrin 0.025% dengan metode susceptibility
test standar WHO. Pengukuran faktor lingkungan dilakukan secara visual terhadap
kontainer habitat larva Aedes spp. yaitu jenis, letak, bahan, warna, kondisi tertutup,
perkiraan volume, pengurasan kontainer, sumber air, pemeliharaan ikan dan
penggunaan temephos. Suhu air diukur dengan menggunakan sinar infra merah,
sedangkan pH air dengan pH meter. Faktor perilaku inang diukur melalui wawancara
mendalam dengan kuesioner terhadap penentu kebijakan dinas kesehatan, pemegang
program DBD puskesmas, petugas pest control, tokoh masyarakat dan masyarakat di
kedua wilayah kelurahan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan perhitungan house index,
container index, breteau index dan density figure di Baranangsiang (HI = 33%; CI =
17.4%; BI = 42; DF = 5) dan di Bojongkerta (HI = 42%; CI = 23.2%; BI = 54; DF = 6),
maka dapat dikategorikan bahwa kepadatan larva Aedes spp. di Baranangsiang termasuk
sedang dan di Bojongkerta tinggi. Jenis larva yang diperoleh adalah 99.98% Aedes

aegypti di Baranangsiang dan Bojongkerta, sisanya Ae. albopictus. Berdasarkan persen
kematian nyamuk di Baranangsiang status Ae. aegypti rentan terhadap malathion,
resisten terhadap bendiokarb dan resisten terhadap deltametrin, sedangkan di
Bojongkerta status Ae. aegypti resisten terhadap malathion, resisten terhadap
bendiokarb dan toleran terhadap deltametrin.
Faktor lingkungan yang berhubungan dengan keberadaan larva Aedes spp. di
Baranangsiang adalah jenis, letak, bahan, volume dan pengurasan kontainer, sedangkan
di Bojongkerta adalah jenis, bahan dan pengurasan kontainer. Hasil analisis multivariat
menunjukkan hanya faktor tidak dikuras yang berisiko terhadap keberadaan larva di
Baranangsiang (p = 0.00; OR = 116.44), sedangkan di Bojongkerta faktor yang berisiko
adalah jenis kontainer TPA (p = 0.00; OR = 0.02), letak di dalam rumah (p = 0.04; OR
= 3.32), serta bahan kontainer yang terbuat dari semen, karet dan tanah (p = 0.04; OR =
3.05). Faktor inang (perilaku manusia yaitu pengetahuan, sikap dan praktik) tidak
berpengaruh terhadap keberadaan larva nyamuk.
Kata Kunci : Demam berdarah dengue, Aedes spp., habitat Aedes spp., resistensi,
perilaku manusia

SUMMARY
EVI SULISTYORINI. Determinants the Presence of Aedes spp. Larvae in The Highest
and Lowest Dengue Haemorhagic Fever Endemic Areas in Bogor City. Supervised by

UPIK KESUMAWATI HADI and SUSI SOVIANA.
Dengue haemorrhagic fever (DHF) is viral disease that a problem in public
health. The highest dengue case in Bogor city at 2015 occured in Baranangsiang village
(43 cases) and the lowest in Bojongkerta village (no case). The aim of research is to
analyze the vector factors (larvae density, species identification and resistance),
environmental factors (habitat characteristics, temperature and humidity) and host
factors (human behavior) with the presence of Aedes spp. larvae in the highest and
lowest dengue haemorhagic fever endemic areas in Bogor city. This study was
observational descriptive analytic with cross sectional study. Samples were collected
from 100 houses in each of Baranangsiang and Bojongkerta village. All water
containers on each house were observed for the presence of Aedes spp. larvae and the
characteristics of each container were recorded, collected and identified. The larval
collected were reared until F2 generations and tested resistance to the insecticide
malathion 0.8%, bendiocarb 0.1% and deltamethrin 0.025% by using bioassay method
of WHO susceptibility test standard. Measurement of environmental factors were
visually by observing the container habitat mosquito larvae i.e. type, location, materials,
colors, closed conditions, the estimated volume, draining containers, water resources,
fish farming and the use of temephos while measuring the water temperature using
infrared light and pH water using a pH meter. Host behavior factors was measured using
in-depth interviews with policy makers health departments, community health centers

holders dengue program, pest control officers, community leaders and communities in
both of subdistrics area.
The result showed that Aedes larvae density in Baranangsiang was lower (HI =
33%; CI = 17.4%; BI = 42) than in Bojongkerta (HI = 42%; CI = 23.2%; BI = 54).
Based on WHO density figure, Baranangsiang had moderate potency for dengue
transmission (DF = 5), while Bojongkerta had high potency (DF = 6). Larval species
obtained was 99.98% Aedes aegypti in Baranangsiang and Bojongkerta, 0.02% was
Aedes albopictus. Based on the percentage of mortality in Baranangsiang of Ae. aegypti
were susceptible to malathion, resistant to bendiokarb and deltamethrin, while in
Bojongkerta were resistant to malathion and bendiokarb, tolerant to deltamethrin. The
multivariate analysis showed that the containers which not drained in Baranangsiang
had potentially as Aedes breeding places (sig = 0.000; OR = 116.44). Meanwhile in
Bojongkerta, the higher potentially risk for Aedes habitat larvae were the type of water
reservoir (sig = 0.00; OR = 0.02), the indoor containers (sig = 0.04; OR = 3.32) and the
material of the containers such as cement, rubber and soil (0.04; OR = 3.05). Host
factors (such as knowledge of human behavior, attitudes and practices) has no affect the
presence of mosquito larvae.
Keywords : Dengue haemorrhagic fever, Aedes spp., habitat Aedes spp., insecticide
resistance, human behavior


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

FAKTOR PENENTU KEBERADAAN LARVA Aedes spp.
PADA DAERAH ENDEMIS DEMAM BERDARAH DENGUE
TERTINGGI DAN TERENDAH DI KOTA BOGOR

EVI SULISTYORINI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Master Sains

pada
Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Drh Yusuf Ridwan, MSi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala sebaikbaik pemberi, atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Agustus 2015 ini ialah
Faktor Penentu Keberadaan Larva Aedes spp. pada Daerah Endemis Demam Berdarah
Dengue Tertinggi dan Terendah di Kota Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof Drh Upik Kesumawati Hadi,
MS PhD dan Dr Drh Susi Soviana, MSi selaku pembimbing yang telah banyak
memberikan bimbingan, arahan dan saran kepada penulis. Terima kasih yang sebesarbesarnya penulis ucapkan kepada para staf Program Studi Parasitologi dan Entomologi
Kesehatan (PEK) yang telah memberikan ilmu selama masa penyelesaian studi. Kami
haturkan terima kasih kepada Dinas Kesehatan Kota Bogor beserta jajarannya yang

telah memberikan izin penelitian di wilayah kerjanya. Penulis ucapkan terima kasih
kepada teman-teman seperjuangan PEK 2014 (Ica Bukittinggi, mbak Nindia Aceh,
Irpan Baturaja, Umar Ciamis, Rasyid Tanahbumbu, Bang Joel Aceh, Pak Anto
Sumedang, Bos Simba Sumbawa, Firman Tegal, Wiro Cirebon, Pak Amalan Ternate,
Novi dan Milda Bengkulu). Kita pernah bertumbuh dalam penggalan episode Agatis,
kita selalu berpendapat, kita ini yang terhebat, kesombongan di masa muda yang indah,
arti teman lebih dari sekedar materi, tetap semangat dan sukses selalu. Kepada kakak
angkatan, mbak Zahara dan mas Imam yang telah membantu penelitian, serta temanteman B2P2VRP Bu Widiarti, Bu Wiwik, Aryani, Kakak Lasmiati dan Mas Ratno yang
telah membantu dan memberikan masukan atas penulisan tesis ini. Ungkapan terima
kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh keluarga di Jogja dan Salatiga, jagoanku
Nararheea TFA (karya ini penyemangat kita le.... tidak ada yang tidak mungkin, tinjulah
congkaknya dunia buah hatiku, doa kami di nadimu) atas segala spirit, do’a dan kasih
sayangnya selama ini.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih banyak kekurangan, namun
penulis berharap karya ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Agustus 2016

Evi Sulistyorini


DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

xii
xiii
xiv
xv

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
2

2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Faktor Vektor
Faktor Lingkungan
Faktor Inang

3
6
7

3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Koleksi dan Identifikasi Larva Aedes spp.
Pemeliharaan Nyamuk
Pengujian Resistensi
Pengukuran Faktor Lingkungan
Pengukuran Faktor Inang
Analisis Data


9
9
9
9
10
10
11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Faktor Vektor
Faktor Lingkungan
Faktor Inang

15
18
28

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

36
36

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Nomor

Teks

1
2
3

Kriteria density figure (kepadatan populasi) larva nyamuk
Kepadatan vektor DBD berdasarkan perhitungan HI, BI dan CI.
Status kerentanan nyamuk Ae. aegypti terhadap malation, bendiokarb
dan deltametrin
Hasil lethal time 50 dan 95 serta ratio resistance 50 dan 95
Hasil analisis regresi logistik faktor lingkungan terhadap keberadaan larva
pada daerah dengan kasus DBD tertinggi dan terendah bulan Januari-Juli
2015 di Kota Bogor
Pengaruh antara pengetahuan, sikap dan praktik terhadap keberadaan larva
pada kasus DBD tertinggi dan terendah di Kota Bogor bulan Januari-Juli
2015

4
5

6

Halaman
11
17
19
19

30

37

DAFTAR GAMBAR

Nomor
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Teks
Peta wilayah Kota Bogor
Data kasus DBD di Kota Bogor tahun 2009-2015
Grafik suhu air dalam kontainer yang digunakan responden di
Baranangsiang dan di Bojongkerta bulan Januari-Juli 2015 di Kota Bogor
Grafik kelembaban udara di rumah responden Baranangsiang dan di
Bojongkerta bulan Januari-Juli 2015 di Kota Bogor
Diagram distribusi usia responden pada daerah dengan kasus DBD
tertinggi dan terendah di Kota Bogor bulan Januari-Juli 2015
Diagram distribusi pendidikan responden pada daerah dengan kasus DBD
tertinggi dan terendah di Kota Bogor bulan Januari-Juli 2015
Diagram distribusi pekerjaan responden pada daerah dengan kasus DBD
tertinggi dan terendah di Kota Bogor bulan Januari-Juli 2015
Penggunaan insektisida rumah tangga oleh responden di Kelurahan
Baranangsiang
Penggunaan insektisida rumah tangga oleh responden di Kelurahan
Bojongkerta

Halaman
15
16
27
28
34
35
35
38
38

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
1

2

3

4

5
6
7

8

9

10

11

12

13
14
15
16
17
18

Teks
Larva, pupa dan spesies nyamuk yang ditemukan dalam kontainer
responden dengan keberadaan larva nyamuk pada daerah dengan kasus
DBD tertinggi dan terendah bulan Januari-Juli 2015 di Kota Bogor
Jenis kontainer NON TPA lainnya yang digunakan responden dengan
keberadaan larva nyamuk pada daerah dengan kasus DBD tertinggi dan
terendah bulan Januari-Juli 2015 di Kota Bogor
Sumber air bersih, jenis, letak, bahan, warna, kondisi tertutup (kontainer),
pelihara ikan, volume, dikuras 1 minggu terakhir, ditaburi temephos, suhu
air, kelembaban dan pH air kontainer yang digunakan responden dengan
keberadaan larva nyamuk pada kasus DBD tertinggi dan terendah bulan
Januari-Juli 2015 di Kota Bogor
Hasil analisis regresi logistik metode enter faktor entomologi terhadap
keberadaan larva pada daerah dengan kasus DBD tertinggi dan terendah
bulan Januari-Juli 2015 di Kota Bogor
Hasil susceptibility test Ae. aegypti terhadap malation 0,8%, bendiokarb
0,1% dan deltametrin 0,025%
Hasil wawancara mendalam dengan responden penentu kebijakan,
masyarakat pest control, pemegang program DBD dan tokoh masyarakat
Hubungan antara karakteristik responden dengan pengetahuan responden
pada daerah dengan kasus DBD tertinggi dan terendah di Kota Bogor
bulan Januari-Juli 2015
Hubungan antara karakteristik dengan sikap responden pada daerah
dengan kasus DBD tertinggi dan terendah di Kota Bogor bulan JanuariJuli 2015
Hubungan antara karakteristik responden dengan praktik pada daerah
dengan kasus DBD tertinggi dan terendah di Kota Bogor bulan JanuariJuli 2015
Hubungan antara pengetahuan dan sikap dengan praktik responden pada
daerah dengan kasus DBD tertinggi dan terendah di Kota Bogor bulan
Januari-Juli 2015
Hubungan antara pengetahuan, sikap dan praktik responden terhadap
keberadaan larva pada daerah dengan kasus DBD tertinggi dan terendah di
Kota Bogor bulan Januari-Juli 2015
Pengaruh antara pengetahuan, sikap dan praktik terhadap keberadaan larva
pada daerah dengan kasus DBD tertinggi dan terendah di Kota Bogor
bulan Januari-Juli 2015
Dokumen gambar survei larva
Dokumen gambar identifikasi larva
Dokumen gambar uji susceptibility test
Dokumen gambar survei lingkungan habitat larva Aedes spp.
Dokumen gambar wawancara dengan responden menggunakan kuesioner
Riwayat hidup

Halaman

48

48

49

50
51
52

59

60

61

62

63

64
65
66
67
68
69
70

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang
menjadi masalah kesehatan masyarakat dan endemis di hampir seluruh
kota/kabupaten di Indonesia. Sejak ditemukan hingga saat ini jumlah kasus yang
dilaporkan meningkat dan penyebarannya semakin meluas mencapai seluruh
provinsi di Indonesia (Kemenkes RI. 2014a).
Provinsi Jawa Barat dengan jumlah kasus DBD sebesar 19.138 orang dan
159 orang meninggal pada tahun 2014 tersebar di 27 kabupaten/kota (Kemenkes
RI. 2014b). Sebagai satu di antara kabupaten/kota di Jawa Barat, Kota Bogor
memiliki kasus DBD yang relatif tinggi. Pada tahun 2009 hingga 2015 ditemukan
kasus DBD yaitu tahun 2009 terdapat 1 344 orang penderita, 9 orang meninggal,
tahun 2010 terdapat 1 769 orang penderita, 5 orang meninggal. Pada tahun 2011
terdapat 608 orang penderita, 1 orang meninggal, tahun 2012 terdapat 1 011 orang
penderita, 2 orang meninggal, tahun 2013 terdapat 729 orang penderita, 7 orang
meninggal. Pada tahun 2014 terdapat 669 orang penderita, 8 orang meninggal dan
tahun 2015 terdapat 1 107 penderita dengan 8 orang meninggal. Kasus DBD
tahun 2015 (Januari – Juli) yang tertinggi berada di Kelurahan Baranangsiang 43
kasus dan terendah di Kelurahan Bojongkerta 0 kasus (Dinkes Kota Bogor 2016).
Demam berdarah dengue terjadi karena didukung oleh beberapa komponen
yaitu vektor, virus, lingkungan dan manusia. Pemutusan rantai penularan oleh
vektor nyamuk dapat dilakukan dengan menghindari atau mengurangi kontak
terhadap nyamuk, membunuh larva nyamuk dan menghilangkan tempat
perindukan (breeding place) nyamuk. Suatu strategi yang menyeluruh dari
berbagai pihak diperlukan untuk menurunkan faktor risiko penularan oleh vektor
yaitu dengan meminimalkan habitat perkembangbiakan vektor, menurunkan
kepadatan dan umur vektor, mengurangi kontak antara vektor dengan manusia
serta memutus rantai penularan. Metode pengendalian vektor DBD bersifat lokal
spesifik dengan mempertimbangkan beberapa faktor pendukung terjadinya kasus
DBD, yaitu vektor, lingkungan fisik (cuaca, permukiman, habitat
perkembangbiakan), perilaku inang (manusia) sosial budaya (pengetahuan, sikap
dan praktik) (Kemenkes RI. 2014a).
Faktor vektor dapat diketahui dari siklus hidupnya, dewasa dan pra
dewasa. Pengendalian vektor pra dewasa lebih mudah dibandingkan dengan
pengendalian vektor dewasa. Pengendalian vektor pra dewasa dilakukan
berdasarkan faktor lingkungan habitatnya, telah diketahui bahwa vektor DBD
mempunyai habitat yang spesifik. Habitat Aedes spp. dapat dilihat berdasarkan
jenis tempat penampungan air (TPA) (Salim dan Febriyanto 2007), letak
kontainer, bahan dasar TPA, warna kontainer dan keberadaan penutup kontainer
(Hasyimi et al. 2008). Vektor yang ditemukan lebih banyak nyamuk Aedes
aegypti 84.09% dibandingkan dengan Aedes albopictus 15.91% di Kelurahan
Bantarjati Kota Bogor. Jumlah nyamuk Aedes aegypti istirahat ditemukan hampir
sama antara di dalam rumah 54.05% dan di luar rumah 45.95% (Fadilla 2015).
Faktor lingkungan dari habitat yaitu suhu dan kelembaban dapat mempengaruhi
rentang waktu yang diperlukan untuk siklus hidup nyamuk.

2

Faktor perilaku manusia dalam menggunakan insektisida yang tidak tepat
dapat mengakibatkan terjadinya resistensi vektor. Munculnya galur serangga
resisten dipicu dengan adanya pajanan insektisida yang berlangsung lama. Hal ini
terjadi karena nyamuk Ae. aegypti dan vektor dengue lainnya mampu
mengembangkan sistem kekebalan terhadap insektisida yang sering dipakai
(Brown dan Pal 1971).
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka perumusan masalah
adalah belum diketahuinya beberapa faktor penentu keberadaan larva Aedes spp.
pada daerah endemis DBD tertinggi dan terendah di Kota Bogor. Penelitian
mengenai faktor-faktor seperti vektor, lingkungan dan inang (perilaku manusia)
dengan keberadaan larva Aedes spp. pada daerah endemis DBD tertinggi dan
terendah di Kota Bogor sangat penting dilakukan.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis faktor-faktor seperti vektor
(kepadatan larva, identifikasi spesies dan resistensi), lingkungan (karakteristik
habitat, suhu dan kelembaban) dan inang (perilaku manusia) dengan keberadaan
larva Aedes spp. pada daerah endemis DBD tertinggi dan terendah di Kota Bogor.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini memberikan informasi mengenai faktor vektor
(kepadatan larva, identifikasi spesies dan resistensi), faktor lingkungan
(karakteristik habitat, suhu dan kelembaban) dan faktor inang (perilaku manusia)
dengan keberadaan larva pada daerah endemis DBD tertinggi dan terendah
sehingga bisa menjadi pertimbangan terhadap pengendalian DBD di Kota Bogor.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Faktor Vektor
Serotipe virus dalam DBD ada empat yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan
DEN-4. Keempat serotipe virus ini telah ditemukan di berbagai wilayah
Indonesia. Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa DEN-3 sangat
berkaitan dengan kasus DBD berat dan merupakan serotipe yang paling luas
distribusinya, disusul oleh DEN-2, DEN-1 dan DEN-4 (Perez et al. 1998). Sekali
nyamuk terinfeksi oleh Arbovirus, sepanjang hidupnya nyamuk tersebut tetap
terinfeksi dan dapat mentransmisikan virus kepada manusia atau kera. Nyamuk
betina yang terinfeksi juga dapat menularkan virus kepada generasi berikutnya
melalui proses transmisi transovarial. Transmisi ovarial masih ditemukan sampai
dengan generasi ketujuh (Joshi et al. 2002). Namun proses transmisi semacam ini
jarang terjadi dengan persentase yang sangat rendah bagi penyebaran infeksi
dengue kepada manusia.
Vektor epidemik DBD yang paling penting adalah Ae. aegypti, sementara
spesies lain seperti Aedes albopictus, Aedes polynesiensi, anggota kelompok
Aedes scutellaris dan Aedes finlayaniveus juga telah dikonfirmasi sebagai vektor
sekunder. Semua spesies tersebut, kecuali Ae. aegypti, memiliki willayah
penyebarannya sendiri, walaupum mereka merupakan vektor yang sangat baik
untuk virus dengue, epidemi yang di timbulkannya tidak seluas yang diakibatkan
oleh Ae. aegypti (WHO 2001).
Nyamuk yang berperan dalam wabah penyakit DBD adalah nyamuk Aedes
spp. betina, karena nyamuk ini memerlukan darah untuk mematangkan telurnya.
Vektor nyamuk betina ini biasanya mengisap darah disiang hari. Perilaku berbeda
ditunjukkan oleh nyamuk jantan, nyamuk jantan hidup hanya dari nektar bunga
(Abednego 1997). Berbeda dengan hal tersebut, hasil penelitian Hadi et al. (2012)
menunjukkan bahwa kedua jenis vektor DBD tidak hanya aktif menghisap darah
di siang hari tetapi juga di malam hari. Aktifitas Ae. aegypti dan Ae. albopictus
menghisap darah pada malam hari (nokturnal) dari jam 18:00 – 05:50 ditemukan
di beberapa daerah di Indonesia yaitu Cikarawang, Babakan dan Cibanteng
Kabupaten Bogor (2004), Cangkurawuk Darmaga Bogor (2005, 2007), Pulau
Pramuka, Pulau Pari Kepulauan Seribu (2008), Gunung Bugis, Gunung Karang,
Gunung Utara Balikpapan (2009) dan Kayangan, Lombok Utara (2009).
Nyamuk mengalami metamorfosis sempurna. Telur menetas dalam waktu
1 sampai 3 hari pada suhu 30oC, telur Ae. aegypti dapat bertahan dalam waktu
yang lama tanpa air. Setelah telur menetas akan menjadi larva dan mengalami 4
kali pergantian kulit (instar) dan berubah menjadi pupa. Pada stadium pupa
dibutuhkan waktu 2 – 3 hari, tetapi dapat lebih panjang pada suhu rendah.
Nyamuk jantan dewasa umumnya bertahan hidup hanya 6 sampai 7 hari
sedangkan nyamuk betina dapat bertahan selama 2 minggu di alam (Hadi dan
Soviana 2010).
Nyamuk Ae. aegypti bersifat antropofilik, walaupun mungkin juga
mengisap darah hewan lainnya. Aedes spp. Nyamuk ini memiliki perilaku yang
dapat mengisap darah lebih dari satu orang, sehingga perilaku ini dapat
meningkatkan efektivitas dalam penyebaran kasus DBD (WHO 2004).

4

Pengendalian kasus demam berdarah dengue diperlukan suatu strategi
yang menyeluruh dari berbagai pihak, diantaranya adalah dengan pemberdayaan
masyarakat. Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pencegahan dan
pengendalian penyakit DBD merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam
upaya pengendalian DBD (Kemenkes RI. 2014b).
Pengendalian terkini menggunakan bermacam metode, salah satunya
dengan metode biologi. Penggunaan bakteri banyak dikembangkan untuk
menekan pertumbuhan vektor DBD. Menurut Gama et al. (2010), toksisitas
Bacillus thuringiensis isolat Madura dalam membunuh larva nyamuk instar I
sebanyak 88.89%. Toksisitas yang tinggi tersebut terdapat pada kepadatan bakteri
sebanyak 1,51 x 108 selml-1, tetapi untuk kepadatan bakteri di bawahnya kurang
efektif dalam membunuh larva nyamuk Ae. aegypti. Pada kepadatan bakteri
tertinggi, semakin tua umur stadium larva nyamuk maka semakin resisten
terhadap serangan toksin yang dihasilkan oleh bakteri B. thuringiensis isolat
Madura. Pengaruh kristal toksin B. thuringiensis isolat Madura terhadap struktur
epitel dan jaringan usus tampak pada jaringan usus yang tidak utuh dan inti sel
epitel hancur serta bagian dalam usus berlubang-lubang, sedangkan bagian
luarnya berwarna hitam.
Menurut peneliti lain di Australia, bakteri gram negatif yang dapat
mengendalikan vektor DBD yaitu Wolbachia pipientis, dimana strain wMel dan
wMelPop-CLA dapat memblok virus dengue serotipe 2 (DENV-2), hal ini
menjadi dasar penggunaan bakteri ini untuk mengendalikan Ae. aegypti dan
sedang dikembangkan di beberapa negara (Walker et al. 2011). Penelitian senada
juga telah dilakukan dengan hasil bahwa Ae. aegypti yang telah diinfeksi dua
strain W. pipientis sekaligus (wMel dan wAlbB) menunjukkan bahwa superinfeksi
yang stabil ini lebih efektif memblokir dengue dibandingkan single infeksi.
Superinfeksi juga menunjukkan fenotipe ketidakcocokan sitoplasma yang
memungkinkan untuk menggantikan infeksi tunggal di lapangan. Ini merupakan
potensi mekanisme pengelolaan resistensi di daerah dimana infeksi tunggal sudah
diterapkan (Joubert et al. 2016).
Penelitian lain menyebutkan bahwa bakteri kitinolitik (isolat LMB 1 – 5)
menyebabkan kematian larva 86.7% dalam waktu 7 hari, sedangkan (isolat B6)
yang memiliki kemampuan besar dalam mengendalikan larva nyamuk Ae.
aegypti. Bakteri ini dapat menyebabkan kematian larva sebesar 97% dalam waktu
108 jam. Isolat bakteri kitinolitik B6 dari klaten, Boyolali dan Jepara ini sangat
berpotensi dikembangkan sebagai galur untuk pengendalian vektor DBD
(Pujiyanto et al. 2011).
Penelitian yang dilakukan di laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan
IPB, ditemukan bahwa isolat kapang entomopatogen yang diperoleh dari isolasi
larva Ae. aegypti salah satunya yaitu Lagenidium giganteum. Kapang ini dapat
digunakan sebagai alternatif pengendali hayati terhadap vektor penyebab penyakit
DBD. Pada konsentrasi 9 x 105 zoospora/ml sampai 1.5 x 107 zoospora/ml mampu
mematikan lebih dari 40% larva. Pengendalian larva instar 2 nyamuk Ae. aegypti
membutuhkan konsentrasi zoospora sebesar 2.35 x 106 / ml untuk menekan
sampai 50% populasi larva nyamuk, sedangkan kematian sebanyak 95% terjadi
apabila menggunakan konsentrasi 1.35 x 107 zoospora/ml. Dengan menggunakan
lactophenol cotton blue (LPCB) ataupun toluidin blue 2.5% proses infeksi
zoospora L. giganteum dapat teramati. Bervariasinya angka kematian larva ini

5

selain dipengaruhi oleh konsentrasi zoospora, kemungkinan dipengaruhi oleh
daya tahan tubuh dari masing-masing larva, makanan, serta viabilitas zoospora
dalam menyerang larva (Indrawati et al. 2011).
Cendawan entomopatogen lain yang berhasil diidentifikasi di kawasan
Bandung, adalah Beauveria bassiana, diketahui dapat menimbulkan penyakit
pada serangga. Putri et al. (2015) melaporkan bahwa penggunaan cendawan ini
mempunyai potensi mengendalikan larva dan imago Ae. aegypti selama 24 jam
dan 48 jam setelah aplikasi perlakuan yaitu nilai LC50 24 jam dan 48 jam yang
dapat menyebabkan kematian pada larva sebesar 49 × 109 spora/mL dan 19.0 ×
108 spora/mL. Nilai LC50 24 jam dan 48 jam pada imago Ae. aegypti sebesar
1.07 × 107 spora/mL spora/mL dan 1.49 × 105 spora/mL.
Larva Odonata (Bradinopyga geminata) diketahui secara umum menjadi
predator yang memangsa larva Ae. aegypti pada instar I dalam jumlah yang paling
banyak dan jumlahnya menurun sebanding dengan peningkatan tingkat instar
larva nyamuk tersebut, hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Tamil
Nadu, India (Venkatesh dan Tyagi 2015).
Alternatif metode menggunakan teknik nuklir sangat bermanfaat dalam
proses pemandulan nyamuk Ae. aegypti sebagai vektor penyakit DBD. Irradiasi
yang dilakukan pada stadium telur dan larva tidak menunjukkan hasil yang baik
karena tidak terjadi perkembangan lebih lanjut pasca radiasi. Irradiasi gamma
dosis 65 Gy pada stadium pupa dapat memandulkan 98.0% populasi dan dosis 70
Gy menyebabkan kemandulan 100%. Teknik pengendalian vektor dengan teknik
serangga mandul (TSM) sangat spesifik, ramah lingkungan, tidak menimbulkan
resistensi dan hanya berpengaruh pada spesies target saja. TSM merupakan teknik
pilihan yang sangat efektif dan efisien baik secara tersendiri maupun terintegrasi
dengan teknik lain dan dalam pelaksanaannya akan lebih baik bila
dikombinasikan dengan pengendalian vektor lain secara terpadu (Nurhayati dan
Rahayu 2006).
Pengendalian secara kimiawi masih paling populer baik bagi program
pengendalian DBD dan masyarakat. Penggunaan insektisida dalam pengendalian
vektor DBD bagaikan pisau bermata dua, artinya bisa menguntungkan sekaligus
merugikan. Insektisida kalau digunakan secara tepat sasaran, tepat dosis, tepat
waktu dan cakupan akan mampu mengendalikan vektor dan mengurangi dampak
negatif terhadap lingkungan dan organisme yang bukan sasaran. Penggunaan
insektisida dalam jangka tertentu secara akan menimbulkan resistensi vektor.
Insektisida untuk pengendalian DD/DBD harus digunakan dengan bijak dan
merupakan senjata pamungkas (Sukowati 2010).
Lee et al. (2003) melaporkan kebutuhan insektisida rumah tangga pada
sektor domestik di Malaysia mempunyai persentase terbesar yaitu 40%,
sedangkan kantor, perusahaan dan gudang terdapat 25%, untuk komplek sekitar
perkantoran 15%, pada hotel, apartemen serta penjual makanan membutuhkan
10%, lainnya 10%.
Beberapa penelitian sebelumnya mengindikasikan bahwa di Indonesia,
populasi nyamuk Ae. aegypti di beberapa daerah sudah mulai resisten terhadap
berbagai jenis insektisida, termasuk piretroid. Insektisida rumah tangga yang
beredar di masyarakat menunjukkan semua insektisida dengan bahan aktif
golongan synthetic pyrethroid. Penggunaan insektisida rumah tangga ini diduga

6

turut berperan dalam terjadinya resistensi terhadap insektisida golongan synthetic
pyrethroid (Joharina dan Alfiah 2012).
Munculnya galur serangga resisten dipicu dengan adanya pajanan yang
berlangsung lama. Hal ini terjadi karena nyamuk Ae. aegypti dan vektor dengue
lainnya mampu mengembangkan sistem kekebalan terhadap insektisida yang
sering dipakai. Beberapa penelitian menunjukkan pula adanya resistensi silang,
yaitu timbulnya resistensi terhadap suatu insektisida karena pajanan oleh
insektisida lainnya. Penentuan status resistensi spesies nyamuk vektor secara
berkala sangat diperlukan untuk mendapatkan data dasar deteksi lebih lanjut dan
monitoring terjadinya resistensi. Dengan demikian karakteristik potensial
terjadinya resistensi dapat diketahui lebih awal untuk bahan pertimbangan dalam
strategi pengendalian vektor. Insektisida golongan organoklorin dapat diganti
dengan insektisida yang cara kerjanya berbeda dalam membunuh serangga, yaitu
insektisida golongan organofosfat atau karbamat. Golongan organofosfat atau
karbamat bekerja dengan menghambat aktivitas enzim kholinesterase (Matsumura
1976).
Resistensi terhadap insektisida telah dilaporkan di beberapa wilayah di
Indonesia. Ae. aegypti di Bandung, telah resisten terhadap permetrin dan
deltametrin dengan RR90 79.3 dan 23.7, di Palembang resisten terhadap permetrin
(RR90 11.1) tetapi rentan terhadap deltametrin (RR90 2.2). Strain yang rentan
terhadap keduanya terjadi di Surabaya (RR90 8.6 dan 2.5) (Ahmad et al. 2007). Di
Sumatera Selatan, telah dilakukan uji kerentanan Ae. aegypti terhadap insektisida
malathion, dengan hasil strain dari 7 kab/kota telah resisten, 3 kab/kota berstatus
toleran dan 1 kabupaten masih rentan (Ambarita et al. 2014). Senada dengan
penelitian tersebut, di Kecamatan Bukit Kecil, Sukarami dan Ilir Timur I Kota
Palembang terjadi resistensi yang bersifat target site atas sintetik piretroid
(Ghiffari et al. 2013). Uji kerentanan Ae. aegypti juga dilakukan di Jawa Tengah
dengan hasil sembilan kabupaten pada lokasi survei telah resisten terhadap
malathion, delapan kabupaten telah resisten sipermetrin, satu kabupaten yaitu
Banjarnegara masih toleran terhadap sipermetrin (Ikawati et al. 2015).
Resistensi Ae. aegypti terhadap sipermetrin di Lombok Barat adalah
toleran, sedangkan terhadap malation adalah rentan (Kristinawati 2013), di Ciamis
resistensi Ae. aegypti terhadap sipermetrin (73.3%) (Pradani et al. 2011), di
keempat kelurahan wilayah kerja KKP Bandar Udara Sam Ratulangi Manado
menunjukkan Ae. aegypti resisten terhadap malation 0.8% (Soenjono 2011).
Resisten terhadap insektisida sintetik piretroid juga terjadi pada Ae. aegypti di
Kecamatan Tembalang (Widiastuti et al. 2015) dan status kerentanan Ae. aegypti
di lima wilayah di Jakarta dan di Kota Bogor telah resisten terhadap malation
0.8% dan lambdasihalotrin 0.05% (Shinta et al. 2008).
Selama tahun 2014 sampai dengan 2015, dilakukan penelitian resistensi
Ae. aegypti terhadap 3 golongan insektisida pada 35 kelurahan di Kota Bogor
dengan hasil yaitu adanya perubahan dari rentan ke arah resisten dan toleran.
Antara kelurahan satu dengan lainnya menunjukkan status kerentanan yang
berbeda-beda (Hadi 2016).

7

Faktor Lingkungan
Habitat Ae. aegypti biasanya pada ban bekas, vas bunga yang terbuat dari
logam, plastik dan keramik. Populasi Ae. aegypti dipengaruhi faktor kompetisi
intraspesifik dan tergantung pada keberadaan dan jenis kontainer yang tersedia.
Larva Ae. albopictus banyak ditemukan pada guci, sampah, kaleng, ember, botol
dan pipa. Apabila dibandingkan dengan Ae. aegypti, kelimpahan Ae. albopictus
jauh lebih rendah namun larva kedua spesies nyamuk vektor DBD ini sering
ditemukan berada dalam wadah yang sama di Argentina (Vezzani dan Carbajo
2008).
Penelitian yang lain menyebutkan bahwa bak mandi merupakan key
container (gambaran jenis tempat penampungan air yang paling berperan sebagai
tempat perkembangbiakan nyamuk vektor DBD) tempat perkembangbiakan
nyamuk vektor DBD di Kabupaten Tulungagung, Kota Malang dan Kota Kediri
Jawa Timur (Joharina dan Widiarti 2014).
Tempat perkembangbiakan utama Ae. aegypti di air jernih, tetapi bisa juga
berkembang biak di air yang terpolusi. Persentase keberhasilan nyamuk Ae.
aegypti dari mulai penetasan sampai mencapai dewasa tergolong tinggi. Salah
satu faktor yang mempengaruhi peletakan telur adalah indera olfaktori dan
kehadiran mikroorganisme. Perkembangan nyamuk pradewasa tergantung pada
ketersediaan makanan, bahan organik dan anorganik. Hasil penelitian di
Laboratorium Entomologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB ini juga
menunjukkan bahwa air yang terpolusi tanah dapat menjadi tempat perindukan
dan berkembangbiaknya nyamuk Ae. aegypti (Agustina 2013).
Suhu dan kelembaban udara mempunyai hubungan yang signifikan dengan
peningkatan kasus DBD. Suhu udara merupakan salah satu faktor lingkungan
yang mempengaruhi kehidupan Ae. aegypti. Nyamuk Aedes spp. akan meletakkan
telurnya pada temperatur udara sekitar 20 °C – 30 °C. Nyamuk Aedes spp. dapat
hidup pada suhu rendah tetapi proses metabolismenya menurun atau bahkan
berhenti (Hidayati dalam Hadi 2016). Penelitian yang dilakukan di Salatiga
menunjukkan bahwa suhu rata-rata mingguan dalam rumah berkisar antara 21.95
– 25.05 0C umur nyamuk Ae. aegypti sekitar 50 hari, sedangkan suhu rata-rata
mingguan luar rumah berkisar antara 22.29 – 24.47 0C umur nyamuk Ae. aegypti
sekitar 52 hari (Mintarsih et al. 1996).
Kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam
udara, hal ini berkaitan dengan sistem pernafasan nyamuk Ae. aegypti yaitu
dengan menggunakan trachea yang bermuara pada spiracle. Adanya spiracle
yang terbuka lebar tanpa ada mekanisme pengaturnya, maka pada kelembaban
rendah akan menyebabkan penguapan air dalam tubuh nyamuk dan salah satu
musuh nyamuk dewasa adalah penguapan (Chapman 1973). Kelembaban udara
kurang dari 60% mengakibatkan umur nyamuk menjadi pendek, tidak bisa
menjadi vektor karena tidak cukup waktu untuk perpindahan virus dari lambung
ke kelenjar. Penelitian di Brazil menyebutkan kelembaban 60% dan suhu 35 0C
akan menurunkan tingkat oviposisi nyamuk (rata-rata 54.53 ± 4.81 telur),
sedangkan kelembaban 85% dan suhu 25 0C potensial untuk oviposisi nyamuk
(rata-rata 99.08 ± 3.56 telur) (Costa et al. 2010).

8

Faktor Inang
Strategi pengendalian DBD yaitu pengendalian vektor dengan
mengedepankan upaya pemberdayaan dan peran serta masyarakat, penguatan
sistem surveilans untuk deteksi dini, pencegahan dan pengendalian kasus serta
kejadian luar biasa (KLB). Penatalaksanaan penderita secara adekuat di fasilitas
pelayanan kesehatan untuk mencegah kematian disertai dukungan manajemen
termasuk anggaran, sumber daya manusia dan alat pengendalian DBD. Langkahlangkah penyelidikan epidemiologi (PE) yaitu jika ditemukan 1 atau lebih
penderita infeksi dengue dan atau ≥ 3 penderita tersangka serta ditemukan larva (≥
5%) dari radius 100 meter dari rumah penderita, maka dilakukan penanggulangan
fokus. Penanggulangan ini berupa kegiatan fogging khusus pada radius 200 meter
selama 2 siklus dengan interval 1 minggu, penyuluhan, PSN, 3M+ dan larvasidasi
selektif. Tetapi bila hasilnya negatif maka hanya dilakukan penyuluhan, PSN,
3M+ dan larvasidasi selektif (Kemenkes 2015a).
Salah satu solusi mengendalikan vektor DBD adalah upaya meningkatkan
pendidikan dan pengetahuan masyarakat, dengan konsep one health dari pusat
sampai tingkat RT mengharuskan peran lintas program dan lintas sektor bersatu
padu menerapkan program 4M+ maka diharapkan kelak Indonesia terbebas dari
DBD. Personal protection sebagai salah satu bentuk praktik pengendalian vektor,
konsep ini merupakan makna dari simbol “+” nya. Pelengkap perlindungan diri itu
berupa proteksi dengan berbagai macam formulasi insektisida yang beredar di
masyarakat, misalnya aerosol, mat dan liquid vaporizer, anti nyamuk bakar,
repellent juga dengan menggunaan kassa nyamuk, raket nyamuk, kelambu dan
lain sebagainya. Tetapi itu semua adalah pelengkap dan pada intinya yang bisa
dilakukan semua orang tanpa mengeluarkan biaya lebih dengan menggunakan
konsep 4M+ itu sendiri, yaitu Menguras kalau mungkin, Menutup jangan lupa,
Mengubur/Memusnahkan/Mendaur ulang, Memantau atau Memonitor semua
tempat yang berpotensi menjadi perkembangbiakan Ae. aegypti dan Ae.
albopictus (Hadi 2016).
Pelaksanaan program pengendalian DBD di Dinas Kesehatan Kota
Semarang sering mendapat keluhan dari masyarakat terutama masalah fogging,
masyarakat menghendaki setiap ada kasus harus difogging, sedangkan
berdasarkan kriteria dari hasil PE tidak perlu dilakukan fogging. Untuk
memberikan tanggapan terhadap keluhan dari masyarakat atas pelayanan yang
diberikan, Dinas Kesehatan Kota Semarang telah membentuk Tim Penanganan
Keluhan Masyarakat yang ditetapkan dengan keputusan Kepala Dinas Kesehatan.
Ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat (Sulistyorini dan
Trapsilowati 2007).
Wahana kerjasama lintas sektoral di Salatiga yaitu Pokjanal/Pokja DBD
yang telah terbentuk tetapi tidak memberikan pembinaan pada tokoh masyarakat
bahkan keberadaannya tidak dikenal oleh masyarakat. Dengan melihat kondisi di
atas, tujuan program DBD sulit tercapai. Dukungan, perhatian dan pembinaan dari
sektor kesehatan maupun di luar sektor kesehatan sangat diperlukan untuk lebih
meningkatkan peran tokoh masyarakat dalam pemberantasan DBD secara mandiri
dan berkesinambungan (Trapsilowati dan Suskamdani 2007).
Partisipasi masyarakat merupakan suatu proses yang panjang dan
berkesinambungan melibatkan seluruh aspek yang ada dari individu, kelompok,

9

masyarakat dan pejabat pemerintah untuk diberikan pemahaman dan motivasi
tentang pengendalian DBD. Upaya yang dilakukan harus terarah, untuk itu perlu
diketahui karakteristik individu dalam masyarakat dan edukasi secara terus
menerus kepada masyarakat tentang DBD (Sukowati 2010). Fadilla et al. (2015)
melaporkan di Kelurahan Bantar Jati, Bogor Utara, Kota Bogor, terdapat korelasi
positif antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan serta antara keikutsertaan
dalam penyuluhan dengan praktik penanggulangan DBD.

10

3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dengan desain observasional deskriptif analitik, pendekatan
cross sectional study, dilakukan di Kelurahan Baranangsiang (kasus DBD
tertinggi) dan di Kelurahan Bojongkerta (kasus DBD terendah) di Kota Bogor.
Penelitian dilakukan selama 2 bulan dengan mengambil sampel sebanyak 100
rumah pada masing-masing kelurahan dari bulan September sampai dengan
Oktober 2015 (Kemenkes RI. 2014a).
Faktor Vektor
Koleksi dan Identifikasi Larva Aedes spp.
Koleksi larva dilakukan dengan metode single larva. Setiap kontainer yang
ditemukan larva, diambil satu menggunakan pipet atau selang larva. Larva
ditempatkan pada wadah plastik yang sudah diberi label sesuai dengan lokasi.
Selanjutnya identifikasi larva dilakukan menggunakan alkohol pada gelas objek,
diamati menggunakan mikroskop di Laboratorium Entomologi, Fakultas
Kedokteran Hewan IPB menggunakan kunci identifikasi nyamuk Aedes
(Farajollahi dan Price 2013).
Pemeliharaan Nyamuk
Larva yang telah dikoleksi dari lokasi penelitian, dipelihara di wadah
plastik (tray) berukuran (20 x 30 x 5) cm3 yang berisi air, kemudian diberi makan
rebusan hati ayam sampai menjadi pupa. Pupa dipindahkan ke dalam mangkuk
plastik yang diletakkan di kandang nyamuk dengan ukuran (40 x 40 x 60) cm3,
kemudian dipelihara sampai dewasa. Nyamuk dewasa umur 2 – 3 hari diberi
makan darah marmut selama 1 – 2 jam untuk membantu proses pematangan telur.
Air gula 10% disediakan dengan botol vial yang terdapat kapas, kemudian
diletakkan di dalam kandang untuk mengganti kebutuhan nektar alami di alam.
Setelah nyamuk menghisap darah, 2 – 3 hari kemudian dipasang perangkap telur
(ovitrap) berupa kertas saring yang diletakkan melingkar di dalam mangkuk
plastik berisi air. Nyamuk-nyamuk generasi kedua (F2) inilah yang digunakan
untuk pengujian resistensi.
Pengujian Resistensi
Pengujian resistensi dengan hewan uji nyamuk Ae. aegypti dewasa (F2)
kondisi perut kenyang larutan gula (glucozed fed). Uji kerentanan (susceptibility
test) dengan standar WHO yaitu menggunakan tiga impregnated paper yaitu
malation 0.8%, bendiokarb 0.1% dan deltametrin 0.025%, setiap uji menggunakan
4 tabung perlakuan dan 1 tabung kontrol. Pada setiap tabung uji dimasukkan
nyamuk betina umur 3-5 hari sebanyak 25 ekor. Nyamuk dibiarkan berkontak
dengan kertas berinsektisida selama 1 jam, kemudian dipindahkan ke dalam
tabung holding (penyimpanan). Selama penyimpanan kelembaban dijaga dan pada
tabung holding dilengkapi handuk basah (Widiarti et al. 2011).
Kematian nyamuk dihitung dan diamati setelah 24 jam penyimpanan.
Nyamuk dinyatakan mati apabila nyamuk tersebut sudah tidak mampu bergerak

11

lagi. Apabila kematian nyamuk pada kelompok kontrol lebih besar dari 20% maka
harus dilakukan pengujian ulang dan bila kematian terjadi antara 5 – 20% maka
data dilakukan koreksi dengan rumus abbot.

Pengukuran Faktor Lingkungan
Pengukuran faktor lingkungan dilakukan secara visual dengan mengamati
kontainer yang menjadi habitat larva nyamuk yaitu jenis, letak, bahan, warna,
kondisi tertutup, perkiraan volume, pengurasan kontainer, sumber air,
pemeliharaan ikan dan penggunaan temephos sedangkan pengukuran suhu air
menggunakan sinar infra merah dan pH air menggunakan pH meter.
Pengukuran Faktor Inang
Data yang diketahui menggunakan kuesioner tertutup untuk responden
masyarakat adalah tentang pengetahuan mengenai demam berdarah dengue,
perilaku vektor dan pengendaliannya, sedangkan sikap dan praktik tentang
pengendalian demam berdarah dan vektornya. Data yang diketahui menggunakan
kuesioner terbuka adalah mengenai cara pengendalian DBD yang telah dilakukan,
penggunaan insektisida baik dosis dan cara aplikasinya.
Wawancara mendalam dengan tiga orang penentu kebijakan dinas
kesehatan (Kabid P3KL, Kasie P2M dan Supervisor Fogger). Petugas wawancara
memberi informasi pada responden mengenai gambaran studi dengan panduan
naskah penjelasan. Responden menandatangani lembar kesediaan (informed
consent) sebelum wawancara dilakukan. Menggunakan panduan wawancara
mendalam dan alat perekam. Petugas mengucapkan terima kasih setelah selesai
melakukan wawancara.
Wawancara mendalam dengan satu orang pemegang program DBD
puskesmas kasus tertinggi dan terendah. Petugas wawancara memberi informasi
pada responden mengenai gambaran studi dengan panduan naskah penjelasan.
Responden menandatangani lembar kesediaan (informed consent) sebelum
wawancara dilakukan. Menggunakan panduan wawancara mendalam dan alat
perekam. Petugas mengucapkan terima kasih setelah selesai melakukan
wawancara.
Wawancara mendalam dengan petugas dua orang petugas pest control.
Petugas wawancara memberi informasi pada responden mengenai gambaran studi
dengan panduan naskah penjelasan. Responden menandatangani lembar kesediaan
(informed consent) sebelum wawancara dilakukan. Menggunakan panduan
wawancara mendalam dan alat perekam. Petugas mengucapkan terima kasih
setelah selesai melakukan wawancara.
Wawancara mendalam dengan dua orang tokoh masyarakat di kelurahan
kasus tertinggi dan terendah. Petugas wawancara memberi informasi pada
responden mengenai gambaran studi dengan panduan naskah penjelasan.
Responden menandatangani lembar kesediaan (informed consent) sebelum
wawancara dilakukan. Menggunakan panduan wawancara mendalam dan alat

12

perekam. Petugas mengucapkan terima kasih setelah selesai melakukan
wawancara.
Wawancara terstruktur dengan warga kelurahan yang menjadi responden.
Petugas wawancara memberi informasi pada responden mengenai gambaran studi
dengan panduan naskah penjelasan. Responden menandatangani lembar kesediaan
(informed consent) sebelum wawancara dilakukan. Mewawancarai responden
yang tinggal di rumah dan telah cukup dewasa untuk diwawancara berusia
minimal 15 tahun. Responden diwawancarai untuk mengetahui pengetahuan,
sikap dan praktik terkait tentang penyakit DBD dan penggunaan insektisida.
Petugas mengucapkan terima kasih setelah selesai melakukan wawancara.
Analisis Data
Faktor Vektor
Data hasil penelitian, larva diidentifikasi dan dideskripsikan. Pengukuran
populasi larva Ae. aegypti dapat dilakukan dengan penghitungan indeks CI
(container index) yang menunjukan persentase kontainer yang ditemukan larva
Ae. aegypti dibagi dengan jumlah kontainer yang diperiksa; HI (house index)
adalah persentase rumah yang ditemukan larva dibagi dengan jumlah rumah yang
diperiksa; BI (breteau index) yang merupakan nilai persentase kontainer yang
ditemukan larva dibagi dengan jumlah rumah yang diperiksa; DF (density figure)
adalah tingkat kepadatan larva nyamuk dalam 100 rumah yang diamati
(Kemenkes 2014a; WHO 1972).
Kriteria kepadatan vektor atau DF didapat dari gabungan nilai HI, BI, CI
yang dinyatakan dalam skala 1 – 9, yang dibagi dalam tiga kategori, yaitu DF = 1
(kepadatan rendah), DF = 2 – 5 (kepadatan sedang) dan DF = 6 – 9 (kepadatan
tinggi), seperti pada tabel 1.
Data yang diperoleh dari hasil uji resistensi (susceptibility test) dianalisis
dengan kriteria yaitu rentan (susceptible) jika > 98 – 100% kematian nyamuk,
toleran (tolerance) jika 80 – 97% kematian nyamuk dan resisten (resistance) jika
< 80% kematian nyamuk (Brown dan Pall 1971).
Status kerentanan juga ditentukan dari rasio resistensi (RR) berdasarkan
kriteria Brown. Bila nilai RR ≤ 10 maka dikatakan tidak resisten dan bila RR > 10
maka dinyatakan resisten. Rasio resistensi dihitung berdasarkan perbandingan
nilai lethal time (LT) yaitu LT50 dan LT95 terhadap isolat pembanding.
Perhitungan nilai LT50 dan LT95 dilakukan dengan analisis probit (probability unit)
berdasarkan fungsi sebaran peluang normal kumulatif baku menggunakan
software SPSS 22.0 yaitu probit regression.
RR =

13

Tabel 1. Kriteria Density Figure (Kepadatan Populasi) Larva Nyamuk
HI
CI
BI
1–3
1–2
1–4
4–7
3–5
5–9
8 – 17
6–9
10 – 19
18 – 28
10 – 14
20 – 34
29 – 37
15 – 20
35 – 49
38 – 49
21 – 27
50 – 74
50 – 59
28 – 31
75 – 99
60 – 76
32 – 40
100 – 199
77 +
41 +
200 +
Sumber : WHO (1972)

DF
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Kepadatan
Rendah
Sedang

Tinggi

Faktor Lingkungan
Data yang ditabulasi adalah data hasil pengamatan karakteristik habitat.
Analisis dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat komputer melalui
program SPSS, masing-masing menggunakan uji chi square atau uji fisher’s exact
atau continuity correction. Kemaknaan hasil korelasi melalui nilai probabilitas
dengan hipotesis sebagai berikut : Ho = Tidak ada hubungan yang bermakna
antara dua variabel; Hα = Ada hubungan yang bermakna antara dua variabel
(Riwidikdo 2010).
Analisis multivariat dengan menampilkan hasil odds ratio (OR) sebagai
perhitungan perkiraan dimana jika nilai OR lebih besar dari 1 berarti
mempertinggi risiko, jika OR = 1 berarti tidak terdapat hubungan dan jika OR
lebih kecil dari 1 berarti mengurangi risiko, sedangkan confidence interval (CI)
sebesar 95% juga bisa untuk mengetahui batas atas dan batas bawah dari OR,
kemudian secara keseluruhan menggunakan uji multivariat yaitu binary logistic
regression. Semua variabel dimasukkan dalam analisis regresi logistik linier
menggunakan metode enter, sehingga diperoleh variabel yang signifikan dan
variabel lainnya sebagai variabel moderator terjadinya keberadaan larva maupun
kasus DBD. Untuk mengetahui variabel yang berpengaruh, maka dilanjutkan
dengan metode forward conditional dengan memasukkan variabel yang signifikan
saja dalam analisis. Analisis Kemaknaan hasil uji regresi melalui nilai
probabilitas dengan hipotesis sebagai berikut : Ho = Tidak ada pengaruh variabel
independen terhadap variabel dependen; Hα = Ada pengaruh variabel independen
terhadap variabel dependen Tingkat kepercayaan yang digunakan 95%, maka jika
nilai probabilitas (p value) lebih besar dari 0.05 maka Ho diterima, sebaliknya jika
p value lebih kecil dari 0.05 maka H0 ditolak (Riwidikdo 2010).
Faktor Inang
Analisis data kualitatif dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data.
Langkah-langkah analisis data kualitatif adalah (1) Koding: pernyataan informan
dikelompokkan ke dalam unit bermakna (meaning unit); (2) Kategorisasi:
mengelompokkan hasil koding ke dalam suatu kelompok dengan karakteristik
tema/ kategori yang hampir