Pedoman praktis kesehatan reproduksi pad

PEDOMAN PRAKTIS KESEHATAN REPRODUKSI
PADA PENANGGULANGAN BENCANA DI INDONESIA

DAFTAR ISI
Sambutan Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat ........................... 3
Kata Pengantar Direktur Bina Kesehatan Ibu............................. 5
Bab I

Pendahuluan
1.1. Latar Belakang ....................................................... 7
1.2. Dasar Hukum ......................................................... 9
1.3. Pengertian Dasar .................................................. 10
1.4. Tujuan ................................................................. 10
1.5. Sasaran ................................................................ 11

Bab II

Tahap-tahap bencana ................................................. 12

Bab III


Pengorganisasian tim siaga bencana Kesehatan
Reproduksi ................................................................. 14
3.1. Pengorganisasian badan penanggulangan
bencana di Indonesia ........................................... 14
3.2. Pengorganisasian tim siaga kesehatan reproduksi
pada badan penanggulangan Bencana di
Indonesia ............................................................. 14
3.3. Pembagian tanggung jawab pada masing-masing
badan penanggulangan bencana .......................... 17
3.4. Pembagian tugas dan tanggung jawab ................ 19
3.5. Pembagian tugas sub tim siaga Kesehatan
Reproduksi .......................................................... 19
1

Bab IV

Langkah-langkah penanganan kesehatan reproduksi
tiap tahapan penanggulangan bencana .................... 20
4.1. Tahap pra bencana .............................................. 20
4.2. Saat tanggap bencana .......................................... 24

4.2.1. Panduan tindakan operasional .................... 24
4.2.2. Tahapan tindakan operasional ................... 25
4.3. Pasca bencana .................................................... 26

Bab V

Monitoring dan evaluasi ............................................ 28

Daftar Lampiran ...................................................................... 30
Daftar Apendiks ...................................................................... 40
Form Surveillans ...................................................................... 52

2
2

SAMBUTAN
DIREKTUR JENDERAL
BINA KESEHATAN MASYARAKAT
Mengingat kondisi negara Indonesia yang secara geografis
maupun sosial sangat rentan tehadap bencana baik bencana alam

maupun bencana yang diakibatkan oleh perbuatan manusia,
Departemen Kesehatan beserta jajarannya sangat diharapkan untuk
lebih bersiap diri dalam menghadapi akibat dari semua bencana
tersebut termasuk dampak bencana terhadap status kesehatan
masyarakat pada umumnya dan status kesehatan reproduksi
masyarakat pada khususnya. Dengan adanya paradigma baru
dalam penanganan bencana saat ini, upaya tidak hanya difokuskan
pada respon terhadap bencana melainkan juga difokuskan pada
pengurangan risiko bencana melalui kesiapan penanggulangan
bencana (emergency preparedness).
Upaya kesiapan penanggulangan bencana dapat dilaksanakan
melalui penyusunan rencana kesiapsiagaan di bidang kesehatan
reproduksi di tiap tingkatan mulai dari tingkat Kabupaten/Kota,
Provinsi maupun Nasional. Tersusunnya Pedoman Praktis Kesehatan
Reproduksi dalam Penanggulangan Bencana di Indonesia yang
dilengkapi dengan rencana kesiapsiagaan ini, diharapkan respon
bencana yang cepat, tepat dan efisien melalui penerapan Paket
Pelayanan Awal Minimum (PPAM) untuk kesehatan reproduksi dapat
dilaksanakan sejak mulai fase awal bencana. Dengan adanya rencana
kesiapsiagaan maka segala kebutuhan dalam penanggulangan

bencana termasuk mekanisme koordinasi yang selama ini masih
menjadi kendala sudah bisa dipersiapkan sebelum peristiwa bencana
itu terjadi, sehingga bila terjadi bencana tinggal mengoperasionalkan
rencana kesiapsiagaan yang sudah dibuat. Dalam pedoman ini,
dipaparkan langkah-langkah yang harus dilakukan pada tiap tahapan
bencana termasuk penyusunan tim siaga kesehatan reproduksi dan
penyusunan rencana kesiapsiagaan.

3

Saya menyambut baik terbitnya buku ini, dan mengharapkan
semua jajaran Departemen Kesehatan di setiap tingkatan sudah
mulai menyusun langkah kesiapsiagaan pada penanggulangan
bencana di wilayah masing-masing. Hal ini juga harus disertai
dengan upaya peningkatan kesadaran masyarakat maupun di dalam
jajaran Departemen Kesehatan sendiri akan pentingnya penyediaan
pelayanan kesehatan reproduksi, mengingat selama ini pelayanan
kesehatan reproduksi pada fase awal bencana dianggap tidak penting
dan masih belum tersedia.
Mudah-mudahan dengan adanya buku pedoman praktis ini

akan memudahkan upaya kita dalam mempersiapkan diri lebih baik
pada penanganan dampak bencana terutama di bidang kesehatan
reproduksi.

4
4

KATA PENGANTAR

Pengalaman di Indonesia untuk penanganan permasalahan
dalam situasi bencana di lapangan yang paling krusial adalah
ketidaksiapan lokal mulai dari pengurangan dampak risiko melalui
tahap kesiapsiagaan hingga tahap rehabilitasi. Paradigma baru
dalam penanggulangan bencana saat ini adalah upaya tidak hanya
difokuskan pada respon terhadap bencana melainkan juga fokus
pada pengurangan risiko bencana melalui kesiapan penanggulangan
bencana (emergency preparedness) dengan penyusunan rencana
kesiapsiagaannya.
Kesehatan Reproduksi dalam kondisi darurat sering kali tidak
tersedia karena tidak dianggap sebagai kebutuhan yang mendesak

dan bukan merupakan prioritas. Padahal pada kondisi darurat, tetap
saja ada ibu-ibu hamil yang membutuhkan pertolongan, tetap ada
proses kelahiran yang tidak bisa ditunda ataupun adanya kebutuhan
akan layanan keluarga berencana. Dengan mengintegrasikan Paket
Pelayanan Awal Minimum (PPAM) atau Minimum Initial Service
Package (MISP) Kesehatan Reproduksi ke dalam setiap penanganan
bencana di bidang kesehatan, diharapkan kebutuhan tersebut dapat
terpenuhi.
Departemen Kesehatan telah menerbitkan Pedoman Teknis
Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana (Technical
Guidelines for Health Crisis Response on Disaster) yang diadopsi
dari pedoman-pedoman teknis serta referensi yang telah ada. Selain
itu, khusus untuk kesehatan reproduksi, juga telah ada Referensi
bagi Pengelolaan program. Namun untuk mendukung penerapannya
di lapangan, masih diperlukan manajemen penanganan yang lebih
spesifik dan lebih praktis, terutama bagi pengelola program. Untuk
itu, dengan dukungan UNFPA, Departemen Kesehatan telah menyusun
Pedoman Praktis Kesehatan Reproduksi pada Penanggulangan
Bencana di Indonesia. Pedoman ini berisi tentang informasi mengenai


5

penanggulangan bencana, langkah-langkah pengorganisasian tim
siaga bencana kesehatan reproduksi, dan langkah-langkah yang harus
dilakukan pada setiap tahapan bencana, termasuk kesiapsiagaan
dalam penerapan PPAM kesehatan reproduksi.
Akhirnya, diharapkan agar pedoman praktis kesehatan reproduksi
dalam penanggulangan bencana ini dapat membantu pengelola
program dalam manajemen penanganan kesehatan reproduksi pada
situasi bencana di Indonesia dan pedoman ini kelak akan dimasukkan
dalam adendum Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan
Akibat Bencana.

6
6

BAB I. PENDAHULUAN
1.1

LATAR BELAKANG


Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan terhadap
semua jenis bencana yang tidak semuanya dapat diperkirakan
datangnya dan tidak semuanya dapat dicegah. Bencana tersebut dapat
berupa bencana alam maupun bencana akibat perbuatan manusia.
Konflik antar pemeluk agama maupun antar etnis telah beberapa
kali terjadi di Indonesia seperti konflik yang terjadi di Kabupaten
Sampit dan Sambas di Kalimantan, konflik antar agama di Ambon
dan Sulawesi Tengah (Kota Palu dan Kabupaten Poso), dll.
Diantara semua jenis bencana, bencana alam merupakan bencana
yang paling sering terjadi dan kerap menyebabkan korban jiwa dan
dampak kerusakan yang hebat. Tsunami yang melanda provinsi
Nangroe Aceh Darusalam (NAD) dan Sumatera Utara pada akhir tahun
2004 menyebabkan kematian lebih dari 160,000 orang, 37,000 orang
hilang dan 500.000 penduduk kehilangan rumah. Menyusul Tsunami,
Gempa besar melanda Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan
Jawa Tengah (Jateng) pada akhir bulan Mei 2006 dan merusak lebih
dari 550.000 rumah penduduk, 5.760 korban jiwa dan 37,000 korban
luka. Setelah kejadian dua bencana besar tersebut, bencana lain
datang silih berganti seperti tsunami di pantai selatan Pangandaran,

Cilacap sampai Yogyakarta, dan tanah longsor di Sumatera Barat dan
beberapa bencana di daerah lainnya .
Banyak pihak telah berupaya memberikan pelayanan kesehatan
pada kondisi krisis akibat bencana di atas, namun masih terbatas
pada penanganan masalah kesehatan secara umum; sedang
kesehatan reproduksi masih belum menjadi prioritas dan sering kali
tidak tersedia. Padahal pada kondisi darurat, tetap saja ada ibu-ibu
hamil yang membutuhkan pertolongan, tetap ada proses kelahiran
yang tidak bisa ditunda ataupun adanya kebutuhan akan layanan
keluarga berancana temasuk juga kebutuhan khusus perempuan.

7

Dalam kondisi darurat resiko terjadinya kekerasan berbasis jender
cenderung untuk meningkat oleh karena itu perlu adanya upaya
pencegahan maupun penanganannya.
Guna mewujudkan tersedianya pelayanan kesehatan reproduksi
yang berkualitas pada situasi apapun terutama situasi emergensi
diperlukan kesiapsiagaan semua pihak lintas sektor dan lintas program,
baik dari pemerintah maupun non pemerintah. Departemen Kesehatan

RI telah menterjemahkan dan mengadopsi buku “Reproductive Health
in refugee situation” yang disusun oleh Inter Agency Working Group on
Reproductive Health in emergency situation menjadi buku pedoman:
“Kesehatan Reproduksi bagi pengungsi” dan juga telah memulai
program kegiatan program penanggulangan kekerasan berbasis
gender sejak tahun 2003 sebagai upaya untuk meningkatkan kesiapan
dan pelaksanaan program kesehatan reproduksi dalam penanganan
bencana. Namun demikian, penerapan panduan tersebut di lapangan
masih sangat kurang dan program kesehatan reproduksi masih kerap
terabaikan.
Oleh karena itu, untuk memudahkan pemahaman dan penerapan
program kesehatan reproduksi dalam situasi bencana, Departemen
Kesehatan dengan dukungan dari United Nations Population Fund
(UNFPA) telah menyusun pedoman praktis pelaksanaan program
kesehatan reproduksi dalam situasi bencana bencana. Pedoman ini
merupakan buku pelengkap dari buku “Kesehatan Reproduksi
bagi pengungsi” dan buku tersebut diterjemahkan dalam bentuk
langkah-langkah singkat dalam membentuk Tim Siaga Kesehatan
Reproduksi dan mempersiapkan Tim Siaga Kesehatan Reproduksi
dalam melaksanakan program pelayanan kesehatan reproduksi

pada saat bencana, saat tanggap bencana dan pasca bencana.
Pemakai buku pedoman ini diharapkan untuk memahami terlebih
dahulu buku pedoman “Kesehatan Reproduksi bagi pengungsi”
sebelum mempelajari buku pedoman praktis ini.

8
8

1.2. DASAR HUKUM
Dasar hukum penanganan kesehatan reproduksi pada penyelenggaraan
penanggulangan kesehatan reproduksi adalah:
a. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak.
b. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Ratifikasi
CEDAW (Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan).
c. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
d. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
di Daerah.
e. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
f. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).
g. Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2000 tentang
Pelimpahan Tugas dan Wewenang.
h. Inpres Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan
Gender.
i. Kepmenkes Nomor 131/II/2004 tentang Sistem Kesehatan
Nasional.
j. UU no 21 tahun 2007 tentang Trafiking.
k. Undang – Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana. Pasal 55, ayat (1) menyatakan bahwa perlindungan
terhadap kelompok rentan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 48 huruf e dilakukan dengan memberikan prioritas
kepada kelompok rentan berupa penyelamatan, evakuasi,
pengamanan, pelayanan kesehatan, dan psikososial. Ayat (2)
menyebutkan bahwa kelompok rentan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas: a. bayi, balita, dan anak-anak; b.
ibu yang sedang mengandung atau menyusui; c. penyandang
cacat; dan d. orang lanjut usia.
l. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
145/MENKES/SK/I/2007 tentang Pedoman Penanggulangan
Bencana Bidang Kesehatan.
9

1.3. PENGERTIAN DASAR
a. Bencana
Adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor
non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Berdasarkan UU Nomor 24 tahun 2007, bencana dibagi menjadi
bencana alam, bencana non alam dan bencana sosial.
b. Penanggulangan Bencana (Disaster Management)
Adalah seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan
penanggulangan bencana pada sebelum, saat dan sesudah
terjadi bencana mencakup tanggap darurat, pemulihan,
pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan.
c. Kesehatan Reproduksi
Adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial secara utuh,
tidak semata-mata terbebas dari penyakit atau kecacatan dalam
semua hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi,
fungsi dan prosesnya.

1.4. TUJUAN
Tujuan Umum
Meningkatkan kesiapsiagaan dan kualitas pelaksanaan
pelayanan Kesehatan Reproduksi dalam situasi bencana.
Tujuan Khusus
1. Terbentuk dan terkoordinasinya tim yang melibatkan seluruh
pihak yang terkait baik dari pemerintah maupun non
pemerintah termasuk komponen masyarakat
2. Tersedianya
tingkatan.
10
10

rencana

kesiapsiagaan

di

masing-masing

3. Terjaminnya pelaksanaan Paket Pelayanan Awal Minimum
untuk Kesehatan Reproduksi pada fase awal bencana.

1.5. SASARAN
Panduan ini diperuntukkan bagi :
1. Penanggung jawab dan pengelola program
Reproduksi beserta komponen-komponennya.

Kesehatan

2. Penanggung jawab dan pengelola lintas program dan lintas
sektor baik pemerintah maupun non pemerintah termasuk
lembaga donor dan badan – badan PBB.
3. Penanggung jawab dan pengelola bidang kesehatan pada
Badan Penanggulangan Bencana (BPB).

11

BAB II. TAHAP-TAHAP BENCANA
Menurut Undang – Undang No. 24 Tahun 2007 tahapan bencana
dibagi menjadi 3 tahap.
Tahap – tahap tersebut meliputi :
1. Pra Bencana
Tahap pra bencana, dibagi menjadi;
a. Fase kesiapan (situasi normal)
b. Fase kesiapsiagaan (situasi dimana dinyatakan adanya
potensi bencana)
Perbedaan antara kedua situasi tersebut terletak pada kondisi
masing – masing wilayah pada suatu waktu. Ketika pihak yang
berwenang menyatakan bahwa suatu wilayah berpotensi akan
terjadi suatu bencana maka situasi yang semula dinyatakan
tidak terjadi bencana akan secara otomatis berubah menjadi
situasi terdapat potensi bencana.
2. Saat Tanggap Darurat
Keadaan yang mengancam nyawa individu dan kelompok
masyarakat luas sehingga menyebabkan ketidakberdayaan
yang memerlukan respon intervensi sesegera mungkin guna
menghindari kematian dan atau kecacatan serta kerusakan
lingkungan yang luas. (SK Menkes no 145 tahun 2007,
Pedoman Penanggulangan Bencana di bidang kesehatan).
Pada masa tanggap bencana ditandai dengan besarnya angka
kematian kasar di daerah bencana sebesar ≥1 per 10,000
penduduk per hari.
Status tanggap darurat akan ditentukan oleh pemerintah
berdasarkan rekomendasi dari Badan Penanggulangan
Bencana.
12
12

3. Pasca Bencana
Transisi dari fase tanggap bencana ke fase pasca bencana
tidak secara tegas dapat ditetapkan. Keadaan pasca bencana
dapat digambarkan dengan keadaan:
a) Angka kematian sudah menurun hingga