PERAN HAKIM AD HOC PADA PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (Studi pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang)

M. Ersyad Bafadhal

ABSTRAK

PERAN HAKIM AD HOC PADA PERADILAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
(Studi pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri Tanjung Karang)

Oleh:
M. Ersyad Bafadhal

Sejalan dengan tuntutan kemajuan zaman untuk mengantisipasi penyelesaian dan
penyaluran sengketa buruh dan tenaga kerja, maka dibuat dan diundangkan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 sebagai dasar peradilan Hubungan
Industrial di samping peradilan umum. Dalam penyelesaian perselisihan hubungan
industrial di Pengadilan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
terdapat peran dari hakim Ad Hoc selain dari hakim karier. Hakim Ad Hoc
merupakan hakim yang diangkat dari luar hakim karier yang memenuhi
persyaratan profesional, berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghayati cita-cita
negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, memahami dan

menghormati hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia. Akan tetapi dalam
pelaksanaannya tugasnya, hakim Ad Hoc belum sepenuhnya sesuai yang
diharapkan. Berdasarkan hal ini, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian
dengan permasalahan sebagai berikut: a) Bagaimanakah kedudukan hakim Ad
Hoc pada Peradilan Hubungan Industrial? b) Bagaimanakah peran hakim Ad Hoc
pada Peradilan Hubungan Industrial?
Pendekatan masalah dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis
normatif dan pendekatan yuridis empiris. Sumber data dalam penelitian ini terdiri
dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang bersumber dari
hasil studi lapangan yaitu wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan
penelitian. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi pustaka terhadap
bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tersier. Peneliti melakukan studi kepustakaan dan studi lapangan
untuk mengumpulkan data. Metode pengolahan data yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu editing, sistematisasi dan klasifikasi data. Analisis data
dilakukan dengan cara analisis kualitatif.

M. Ersyad Bafadhal

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa: a) Kedudukan Hakim Ad

Hoc adalah sebagai Hakim Anggota dalam suatu Majelis Hakim yang memiliki
tugas untuk memeriksa dan memutuskan perkara perburuhan atau perkara
hubungan industrial yang pengangkatannya atas usul serikat pekerja/serikat buruh
dan organisasi pengusaha. Hakim Ad Hoc mempunyai tugas dan wewenang yang
sama dengan Anggota Majelis lainnya. Hakim Ad Hoc hanya dapat menjadi
Hakim Anggota dan tidak dapat menjadi Hakim Ketua Majelis. b) Keterlibatan
Hakim Ad Hoc dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, memegang
peranan penting mengingat Perselisihan Hubungan Industrial bukan perkara yang
bersifat umum tapi merupakan perkara yang bersifat khusus, sehingga dibutuhkan
aparat penegak hukum yang benar-benar berpengalaman di bidang hubungan
industrial. Hakim Ad Hoc untuk perkara-perkara di pengadilan dibutuhkan untuk
mendapatkan keseimbangan dalam memeriksa dan memutus perkara terutama jika
ada masalah-masalah yang kompleks yang menyangkut hukum ketenagakerjaan
atau hukum perburuhan.
Saran yang diajukan dalam penelitian ini adalah perekrutan hakim Ad Hoc pada
Pengadilan Hubungan Industrial sebaiknya dilakukan dengan lebih transparan dan
efisien, sehingga hakim Ad Hoc yang diterima merupakan orang yang benar-benar
ahli di bidang perburuhan atau ketenagakerjaan.
Kata kunci: hakim Ad Hoc, peradilan hubungan industrial, perburuhan dan
ketenagakerjaan


M. Ersyad Bafadhal

ABSTRACT

THE ROLE OF AD HOC JUDGE ON THE INDUSTRIAL RELATIONS
COURT
(Study on Industrial Relations Court in the Tanjung Karang District Court)

By:
M. Ersyad Bafadhal

In line with the demands of the ages to anticipate the completion and distribution
of labor and employment disputes, therefore, Act No. 2 of 2004 was created and
enacted as a basis for the Industrial Relations Court besides General Court. In the
settlement of industrial disputes in the court, according to Act No. 2 of 2004
which suggests the role of a ad hoc judge other than the career judge. Ad hoc
judge is the judge appointed from outside the career judge which has already
fulfilled professional requirements, dedicated and high integrity, appreciate the
aims of state law and the welfare state appreciate the ideals of state law and the

welfare state were cored to justice, understanding and respect for human rights
and basic human duty. However, in implementation of tasks, ad hoc judge not
completely as expected. Based on this, researchers interested in conducting
research with the following problems: a) What is the position of a ad hoc judge in
the Industrial Relations Court? b) What is the role of ad hoc judge of Industrial
Relations Court?
This research was conducted using the normative juridical approach and empirical
juridical approach. Sources of data in this study consisted of primary data and
secondary data. Primary data is data which sourced from the results of a field
study by conducting interviews with related parties to the research. Secondary
data is data which obtained from the literature study on legal materials such as
primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials.
Researchers conducted a literature study and field study to collect data. Data
processing method that are used in this study consists of a process editing,
systematization and classification of data. Method of data analysis was conducted
by qualitative analysis.
The results and discussion of the study showed that: a) The position Ad Hoc
Judge is as Judge Member in the Panel of Judge whose has a duty to examine and
determine cases of labor or industrial relations matters which are appointed upon


M. Ersyad Bafadhal

the recommendation of trade unions/labor unions and employers' organizations.
Ad Hoc Judges have the duty and authority same as the other Council Members.
Ad Hoc Judges can only be a Judge Member and can not be Chairman of the
Panel of Judges. b) The involvement of Ad Hoc Judge in the Settlement Of
Industrial Disputes, plays an important role considering the Industrial Dispute is
not a matter of a general nature but a matter of a special nature, therefore needed
law enforcement officers who actually experienced in the field of industrial
relations. The role of the Ad Hoc Judge in the settlement of matters in court is
needed to get the balance in the examining and deciding cases, especially when
there are complex issues relating to employment law or labor law.
The proposed suggestions in this study is the recruitment of ad hoc judges in the
Industrial Relations Court should be more transparent and efficient, so the ad hoc
judge was accepted is truly experts in the field of labor and employment.
Keywords: Ad hoc judges, Industrial Relations Court, labor and employment

I. PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang


Dalam hubungan industrial di Indonesia, setiap permasalahan yang terjadi di tingkat perusahaan
dan masalah-masalah ketenagakerjaan yang timbul harus diselesaikan terlebih dahulu secara
kekeluargaan atau musyawarah, namun demikian disadari bahwa tidak semua perselisihan yang
terjadi antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha atau gabungan
pengusaha atau antar serikat pekerja/buruh dalam suatu perusahaan, dapat diselesaikan secara
kekeluargaan atau musyawarah. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaaan persepsi
mengenai berbagai hal yang berkenaan dengan hubungan kerja atau syarat-syarat kerja lain,
sehingga timbulnya Perselisihan Hubungan Industrial tidak dapat dihindarkan (2007: 39-40).

Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak menghendaki terjadinya perselisihan Hubungan
Industrial antara kedua belah pihak yang terkait dalam perusahaan, karena dengan adanya
perselisihan tersebut yang menderita kerugian bukan hanya kedua belah pihak, melainkan juga
masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu, untuk mengatasi perselisihan tersebut, sejak
zaman Pemerintahan Hindia Belanda sampai sekarang, pemerintah telah mengeluarkan berbagai
peraturan perundang-undangan.
Di zaman Pemerintahan Hindia Belanda, ketika para pekerja kereta api pertama kali melakukan
pemogokan, Pemerintah Hindia Belanda membentuk verzoeningsraad (Dewan Pendamai),
dengan Regerings Besluit tanggal 26 Februari 1923 Stb. 1923 No. 80 yang kemudian diganti
dengan Stb. 1926 No. 224 ini adalah Penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial khusus di


perusahaan kereta api dan term untuk Jawa dan Madura. Pada tahun 1937 peraturan di atas
dicabut dan diganti dengan Regerings Besluit tanggal 24 November 1937 Stb. 1937 No. 31, ini
berlaku untuk seluruh Indonesia. Selanjutnya pada tahun 1939, dibuat peraturan tentang cara
penyelesaian perselisihan industrial pada perusahaan lain di luar kereta api dan term, dengan
Regerings Besluit tanggal 20 Juli 1939 No. 407 yang kemudian diubah dengan Stb. 1948 No.
238.

Pada awal kemerdekaan, masalah perselisihan industrial tidak begitu tajam dan belum sampai
pada taraf yang mengganggu perekonomian, baru setelah pengakuan kedaulatan RI tanggal 27
Desember 1949 mulai timbul pertentangan/perselisihan industrial antara pekerja dan pengusaha
sampai menimbulkan pemogokan maupun penutupan perusahaan, sehingga dikeluarkan Instruksi
Menteri Perburuhan No. PBU.1022-45/U.4191 tanggal 20 Oktober 1950 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan, namun Instruksi Menteri ini ternyata tidak dapat mengatasi perselisihan
hubungan industrial pada waktu itu karena perselisihan lebih bersifat politis dari pada ekonomis,
sehingga pemogokkan sangat banyak terjadi, oleh karena itu dikeluarkanlah Peraturan
Kekuasaan Militer tanggal 13 Februari 1951 No.1 tentang Penyelesaian Pertikaian Perburuhan,
namun peraturan inipun tidak membawa hasil seperti yang diinginkan, maka pada tahun 1951
pemerintah mengeluarkan lagi Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Undang-undang darurat ini sering mendapat kecaman

karena dianggap pengekangan terhadap hak mogok, oleh karenanya undang-undang ini dicabut
dan keluarlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial.

Selain itu Pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan

Kerja,

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981

tentang Wajib

Lapor

Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek, Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2004
tentang Jaminan Sosial Nasional. Semua ini mencerminkan perhatian pemerintah terhadap
masalah ketenagakerjaan. Di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 mengenal ada 2
(dua) jalur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yaitu:

1. Penyelesaian secara wajib; yaitu (a) Penyelesaian secara Bipartit; (b) Penyelesaian melalui
pegawai perantara; dan (c) Penyelesaian melalui panitia penyelesaian perselisihan
perburuhan; dan
2. Penyelesaian secara sukarela.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 menyatakan bahwa perselisihan hanya bisa terjadi
antara pengusaha dengan serikat pekerja saja. Pekerja secara perorangan tidak bisa menjadi
pihak yang berselisih, namun dalam prakteknya malah yang sering kali berselisih adalah
pengusaha dengan pekerja perorangan. Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957
dirasakan tidak sesuai lagi lalu dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Perselisihan Hubungan Industrial
menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu
perusahaan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, penyelesaian perkara perburuhan atau
perkara perselisihan hubungan industrial dapat diselesaikan melalui proses di Pengadilan
Hubungan Industrial, apabila penyelesaian melalui jalur musyawarah seperti bipartit, tripartit,

mediasi dan abritrasi gagal mencapai kesepakatan. Penyelesian perkara perselisihan hubungan
industrial di Pengadilan Hubungan Industrial melibatkan peran dari Hakim Ad Hoc.

Keberadaan Hakim Ad Hoc di Indonesia pada saat ini tidak dapat terpisahkan dalam sistem
peradilan di Indonesia. Hakim Ad Hoc digunakan dalam peradilan khusus, misalnya peradilan
tindak pidana korupsi, peradilan niaga dan peradilan hubungan industrial. Hakim Ad Hoc
merupakan hakim yang diangkat dari luar hakim karier yang memenuhi persyaratan profesional,
berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghayati cita-cita negara hukum dan negara
kesejahteraan yang berintikan keadilan, memahami dan menghormati hak asasi manusia dan
kewajiban dasar manusia. Penggunaan Hakim Ad Hoc dari kalangan di luar hakim karier untuk
memeriksa perkara hubungan industrial diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Keberadaan Hakim Ad Hoc sudah
diperkenalkan sekitar 26 (dua puluh enam) tahun lalu yaitu melalui Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pasal 135 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 menyatakan bahwa:
(1) Dalam hal Pengadilan memeriksa dan memutus perkara PTUN tertentu yang
memerlukan keahlian khusus, maka Ketua Pengadilan dapat menunjuk seorang Hakim
Ad Hoc sebagai anggota majelis.
(2) Untuk dapat ditunjuk sebagai Hakim Ad Hoc seseorang harus memenuhi syarat-syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) kecuali huruf (e) dan (f).

(3) Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf (c) tidak berlaku bagi
Hakim Ad Hoc.
(4) Tata cara penunjukan Hakim Ad Hoc pada pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Hakim Ad Hoc adalah hakim, pihak yang akan membantu majelis menangani perkara-perkara
yang memang punya kekhasan tertentu dalam bidang akademis, biasanya dalam bidang
perpajakan, dalam bidang kedokteran dan lain-lain. Disadari atau tidak memang pengetahuan
hakim sangatlah terbatas. Dalam praktek, untuk mengatasi hal tersebut di atas, maka biasanya
dilakukan pemanggilan saksi ahli yang dapat dilakukan secara cepat dalam waktu kurang lebih
satu atau dua minggu, yang akhirnya secara substansial, kegunaannya sama seperti Hakim Ad
Hoc.

Hakim Ad Hoc merupakan orang yang ahli di bidang tertentu. Mengenai pengertian ahli ini
memang tidak ada definisi khusus dalam peraturan perundangan. Pasal 1 ayat (2) Peraturan MA
Nomor 2 Tahun 2000 tentang Penyempurnaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun
1999 tentang Hakim Ad Hoc hanya menyatakan bahwa, ahli adalah seorang yang memiliki
disiplin ilmu yang cukup dan berpengalaman di bidangnya sekurang-kurangnya 10 tahun.
Definisi Pasal 1 ayat (2) Peraturan MA Nomor 2 Tahun 2000 tidak menjelaskan mengenai
bidang keilmuan apa yang disandang, siapa yang menilai cukup bagi disiplin ilmu tersebut dan
siapa yang mengawasi jangka waktu 10 (sepuluh) tahun tersebut.

Sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, penyelesaian sengketa perburuhan diatur di dalam Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1957 melalui peradilan P4D dan P4P. Hubungan Industrial, yang merupakan
keterkaitan kepentingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha, berpotensi menimbulkan
perbedaan pendapat, bahkan perselisihan antara kedua belah pihak.
Untuk mengantisipasi penyelesaian dan penyaluran sengketa buruh dan tenaga kerja sejalan
dengan tuntutan kemajuan zaman dibuat dan diundangkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2004 sebagai wadah peradilan Hubungan Industrial di samping peradilan umum. Pasal 56
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 mengatakan Pengadilan Hubungan Industrial bertugas
dan berwenang memeriksa dan memutuskan:
a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
dalam satu perusahaan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, disebutkan bahwa hakim yang bersidang terdiri dari 3 hakim, satu hakim karier dan
dua Hakim Ad Hoc. Hakim Ad Hoc adalah anggota majelis hakim yang ditunjuk dari organisasi
pekerja dan organisasi pengusaha. Seorang Hakim Ad Hoc tidak diperbolehkan untuk merangkap
jabatan sebagaimana juga yang telah ditentukan oleh undang-undang. Masa tugas Hakim Ad Hoc
pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung adalah lima
tahun dan kemudian dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan, namun demikian
dalam masa tugasnya Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan pada Mahkamah
Agung dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya (Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004).

Hakim Ad Hoc merupakan orang yang mengerti dan memahami hukum perburuhan saat ini
dengan baik. Tujuannya, karena hukum perburuhan ini mempunyai sifat yang spesifik, maka
dibutuhkan orang-orang khusus yang mengerti permasalahan perburuhan. Masalah perburuhan
melibatkan faktor sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya, berbeda dengan hakim peradilan

umum yang merupakan murni hukum. Keberadaan Hakim Ad Hoc pada peradilan hubungan
industrial perlu diperhatikan dan dikaji mengenai kedudukan dan perannya sebagai hakim dalam
memberikan putusan mengenai sengketa hubungan industrial, agar putusan yang dikeluarkan
sejalan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan uraian
singkat di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Peran Hakim Ad Hoc
Pada Peradilan Hubungan Industrial (Studi pada Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Tanjung Karang)”.

1. 2 Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. 2. 1 Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini
adalah:
a. Bagaimanakah kedudukan Hakim Ad Hoc pada Peradilan Hubungan Industrial?
b. Bagaimanakah peran Hakim Ad Hoc pada Peradilan Hubungan Industrial?

1. 2. 2 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini meliputi lingkup bidang ilmu dan lingkup pembahasan. Lingkup
bidang ilmu berkenaan dengan Hukum Administrasi Negara. Lingkup pembahasan yaitu
mengenai Hukum Penyelesian Hubungan Industrial berkaitan dengan kedudukan dan peran
Hakim Ad Hoc pada peradilan hubungan industrial.

1. 3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. 3. 1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Mengetahui kedudukan Hakim Ad Hoc pada Peradilan Hubungan Industrial.
b. Mengetahui peran Hakim Ad Hoc pada Peradilan Hubungan Industrial.

1. 3. 2 Kegunaan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas, maka kegunaan penelitian ini, yaitu:
a. Kegunaan teoritis, yaitu berguna sebagai upaya pengembangan wawasan pemahaman di
bidang Hukum Administrasi Negara khususnya mengenai mengenai Hukum Penyelesian
Hubungan Industrial berkaitan dengan kedudukan dan peran Hakim Ad Hoc pada
peradilan hubungan industrial.
b. Kegunaan praktis, yaitu penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan kepada
Mahkamah Agung dan pemerintah mengenai pengaturan mengenai kedudukan dan peran
Hakim Ad Hoc pada Peradilan Hubungan Industrial, serta sebagai bahan bacaan dan
rujukan bagi masyarakat dan peneliti hukum.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Pengertian Peran

Peran adalah suatu sistem kaidah-kaidah yang berisikan patokan-patokan perilaku, pada
kedudukan-kedudukan tertentu dalam masyarakat, kedudukan dimana dapat dimiliki pribadi atau
kelompok-kelompok (Soerjono Soekanto, 1982: 60). Istilah peran sering diucapkan banyak
orang. Kata peran dikaitkan dengan posisi atau kedudukan seseorang atau peran dikaitkan
dengan apa yang dimainkan oleh seorang aktor dalam suatu drama. Istilah peran dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang
yang berkedudukan di masyarakat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 854).

Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang
sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam
maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari
seseorang pada situasi sosial tertentu. Peran adalah suatu pola sikap, nilai dan tujuan yang
diharapkan dari seseorang yang berdasarkan posisinya di masyarakat. Posisi ini merupakan
identifikasi dari status atau tempat seseorang dalam suatu sistem sosial dan merupakan
perwujudan aktualisasi diri. Peran juga diartikan sebagai serangkaian prilaku yang diharapkan
oleh lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi individu dalam berbagai kelompok sosial.
Peran merupakan salah satu komponen dari konsep diri.

Ketika istilah peran digunakan dalam lingkungan pekerjaan, maka seseorang yang diberi (atau
mendapatkan) sesuatu posisi, juga diharapkan menjalankan perannya sesuai dengan apa yang

diharapkan oleh pekerjaan tersebut, karena itu ada yang disebut dengan role expectation.
Harapan mengenai peran seseorang dalam posisinya, dapat dibedakan atas harapan dari si
pemberi tugas dan harapan dari orang yang menerima manfaat dari pekerjaan/posisi tersebut.
Peranan berasal dari kata peran, berarti sesuatu yang menjadi bagian atau memegang pimpinan
yang terutama (Kamus Bahasa Indonesia, 1985: 735). Levinson sebagaimana dikutip oleh
Soejono Soekamto menyatakan peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan
oleh individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat. Peranan meliputi norma-norma yang
dikembangkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat, peranan dalam arti ini
merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan
kemasyarakatan (Soejono Soekamto, 1982: 238). Pribadi yang mempunyai peran dinamakan
pemegang peranan (role occupant) dan perilakunya adalah berperannya pemegang peranan,
dapat sesuai atau mungkin berlawanan dengan apa yang ditentukan di dalam kaidah-kaidah.
Pemegang peranan adalah subyek hukum.

Peranan merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan yang dimiliki seseorang. Apabila
seseorang yang melakukan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia
menjalankan suatu peranan. Soerjono Soekanto juga mengatakan bahwa syarat-syarat peranan
mencakup tiga hal, yaitu:
1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang
2. dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang
membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat;
3. Peranan adalah suatu konsep prilaku yang dapat dilaksanakan oleh individu-individu
dalam masyarakat dalam suatu organisasi;
4. Peranan juga dapat dikatakan sebagai prilaku individu yang penting bagi struktur sosial
masyarakat (Soerjono Soekanto, 1982: 65).

2. 2 Perselisihan Hubungan Industrial

Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan
antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat buruh karena
adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan (Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004).

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 mengenal 4 (empat) jenis perselisihan yaitu:
a. perselisihan hak;
b. perselisihan kepentingan;
c. perselisihan PHK; dan
d. perselisihan antara Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam satu perusahaan.

Mekanisme yang harus ditempuh dalam setiap perselisihan adalah sebagai berikut:
a. Bipartit, yaitu Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial.
b. Mediasi, yaitu penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya
dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih
mediator yang netral.
c. Konsiliasi, yaitu penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu

perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang
netral.
d. Arbitrasi, yaitu penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan
Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan
penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan
bersifat final.
e. Pengadilan Hubungan Industrial, yaitu pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan
pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap
perselisihan hubungan industrial.

Semua jenis perselisihan ini harus diselesaikan terlebih dahulu melalui musyawarah secara
bipartit, apabila perundingan mencapai persetujuan atau kesepakatan, maka persetujuan bersama
(PB) tersebut dicatatkan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), namun apabila perundingan
tidak mencapai kata sepakat, maka salah satu pihak mencatatkan perselisihannya ke instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan pada kabupaten/kota.

2. 3 Jenis Perselisihan Hubungan Industrial

Menurut Charles D. Drake perselisihan antara pekerja/buruh dengan pengusaha dapat terjadi
karena didahului oleh pelanggaran hukum juga dapat terjadi karena bukan pelanggaran hukum.
Perselisihan perburuhan yang terjadi akibat pelanggaran hukum pada umumnya disebabkan
karena:

a. Terjadi perbedaan paham dalam pelaksanaan hukum perburuhan. Hal ini tercermin dari
tindakan pekerja/buruh atau pengusaha yang melanggar suatu ketentuan hukum, misalnya
pengusaha tidak mempertanggungkan buruh/pekerjanya pada program Jamsostek,
membayar upah di bawah ketentuan standar minimum yang berlaku, tidak memberikan cuti
dan sebagainya. Perselisihan perburuhan yang terjadi tanpa didahului oleh suatu
pelanggaran, umumnya disebabkan oleh:
1) Perbedaan dalam menafsirkan hukum perburuhan, misalnya menyangkut cuti melahirkan
dan gugur kandungan, menurut pengusaha buruh/pekerja wanita tidak berhak atas cuti
penuh karena mengalami gugur kandungan, tetapi menurut buruh/serikat buruh hak cuti
harus tetap diberikan dengan upah penuh meskipun buruh hanya mengalami gugur
kandungan atau tidak melahirkan.
2) Terjadi karena ketidaksepahaman dalam perubahan syarat-syarat kerja, misalnya
buruh/serikat buruh menuntut kenaikan upah, uang makan, transport, tetapi pihak
pengusaha tidak menyetujuinya (Lalu Husni, 2004: 42).
b. Tindakan pengusaha yang diskriminatif, misalnya jabatan, jenis pekerjaan, pendidikan, masa
kerja yang sama tapi karena perbedaan jenis kelamin dan diperlakukan berbeda (Lalu Husni,
2004: 42).

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Hubungan Industrial, bahwa jenis-jenis perselisihan hubungan industrial meliputi:
a. Perselisihan hak;
b. Perselisihan kepentingan; dan
c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja

Ad. 1 Perselisihan hak, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat
adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundangundangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Asri Wijayanti,
2009: 180)

Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa perselisihan hak (rechtsgeschil) merupakan
perselisihan hukum karena perselisihan ini terjadi akibat pelanggaran kesepakatan yang telah
dibuat oleh para pihak termasuk di dalamnya hal-hal yang sudah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Karena itu, menurut Imam Soepomo, perselisihan hak terjadi
karena tidak adanya persesuaian paham mengenai pelaksanaan hubungan kerja.

Ad. 2 Perselisihan kepentingan, yaitu perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena
tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/ atau perubahan syarat-syarat kerja
yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
(Asri Wijayanti, 2009: 180). Dari pengertian mengenai perselisihan kepentingan tersebut,
jelaslah perbedaannya dengan perselisihan hak. Obyek sengketa perselisihan hak adalah tidak
dipenuhinya hak yang telah ditetapkan karena adanya perbedaan dalam implementasi atau
penafsiran ketentuan peraturan perundang-undanngan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama yang melandasi hak yang disengketakan, sedangkan dalam
perselisihan kepentingan, obyek sengketanya karena tidak adanya kesesuaian paham/pendapat
mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian
kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Dengan kata lain, dalam
perselisihan hak yang dilanggar adalah hukumnya, baik yang ada dalam peraturan perundangundangan, dalam perjanjian kerja, peaturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, sedangkan

dalam perselisihan kepentingan menyangkut pembuatan hukum dan/atau perubahan terhadap
substansi hukum yang sudah ada.

Ad. 3 Perselisihan pemutusan hubungan kerja, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak
adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah
satu pihak (Asri Wijayanti, 2009: 180).

Perselisihan mengenai pemutusan hubungan kerja yang paling banyak terjadi selama ini.
Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi atas inisiatif dari pihak pengusaha maupun buruh/
pekerja, di mana dari pihak pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja dikarenakan
buruh/pekerja melakukan berbagai tindakan pelanggaran. Demikian sebaliknya, para
buruh/pekerja juga dapat mengajukan permohonan untuk dilakukan pemutusan hubungan
pemutusan kerja karena pihak pengusaha tidak melaksanakan kewajiban yang teelah disepakati
atau bertindak sewenang-wenang kepada buruh/pekerja. Pemutusan Hubungan Kerja seringkali
tidak dapat dihindari. Hal ini dapat dipahani karena hubungan antara buruh/pekerja dengan
pengusaha didasarkan atas kesepakatan untuk mengikatkan diri dalam suatu hubungan kerja. Jika
salah satu pihak sudah tidak menghendaki lagi untuk terikat atau diteruskan dalam hubungan
kerja, sulit untuk mempertahankan hubungan kerja yang harmonis diantara kedua belah pihak.
(Lalu Husni, 2004: 47).

Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh, yaitu perselisihan antara serikat pekerja/serikat
buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak
adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban
keserikatpekerjaan. Perselisihan ini biasanya menyangkut masalah dominasi keanggotaan dan

keterwakilan dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama (PKB) di suatu perusahaan
(Maimun, 2007: 153).

2.4 Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial Melalui Pengadilan
Industrial

Hubungan

Pengadilan Hubungan Industrial dalam sistem peradilan Indonesia termasuk pengadilan khusus
dalam lapangan peradilan umum. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Penyelesaian perselisihan
hubungan industrial melalui pengadilan hubungan industrial masih memberlakukan hukum acara
perdata yang termasuk pada ruang lingkup peradilan umum, kecuali diatur dengan ketentuan
yang berbeda dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 menyatakan bahwa hakim yang bersidang terdiri dari 3 (tiga) hakim, satu hakim karier dan
dua Hakim Ad Hoc. Hakim Ad Hoc adalah anggota majelis hakim yang ditunjuk dari organisasi
pekerja dan organisasi pengusaha. Hakim Ad Hoc merupakan orang yang dianggap mengerti dan
memahami hukum perburuhan saat ini dengan baik. Tujuannya, karena hukum perburuhan ini
mempunyai sifat yang spesifik, maka, dibutuhkan orang-orang khusus yang mengerti
permasalahan perburuhan. Masalah perburuhan tidak hukumansis, ada faktor sosial, ekonomi,
politik, dan sebagainya. Berbeda dengan hakim peradilan umum yang merupakan murni hukum.

Sebelum keluarnya Undang-Undang Hubungan Industrial penyelesaian sengketa perburuhan
diatur di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 melalui peradilan P4D dan P4P. Untuk
mengantisipasi penyelesaian dan penyaluran sengketa Buruh dan Tenaga Kerja sejalan dengan
tuntutan kemajuan zaman dibuat dan diundangkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
sebagai wadah peradilan Hubungan Industrial di samping peradilan umum. Dalam Pasal 56

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 menyatakan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial
bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan:
a.
b.
c.
d.

di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
dalam satu perusahaan.

Para pihak yang beracara dipengadilan hubungan industrial tidak dikenakan biaya perkara
termasuk biaya pelaksanaan putusan yang nilai gugatannya kurang dari 150.000.000 Rupiah,
artinya untuk nilai gugatan di bawah jumlah nominal tersebut para pihak beracara dengan cumacuma. Hal tersebut sangat berbeda dengan acara peradilan perdata atau agama yang walaupun
juga berawal dari gugatan, namun tetap membayar biaya perkara tanpa memperhatikan berapa
nilai gugatannya, kecuali jika Penggugat mengajukan prodeo kepada hakim. Prodeo pun
membutuhkan proses yang tidak sederhana, karena hakim akan mengadakan pra peradilan untuk
memutuskan apakah Penggugat layak untuk mendapat prodeo atau tidak. Pengadilan Hubungan
Industrial dibentuk di Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung. Pengadilan Hubungan
Industrial juga dibentuk di provinsi dan kabupaten/kota tertentu.

Susunan Pengadilan Hubungan Industrial terdiri dari:
1) Hakim;
2) Hakim Ad Hoc (mewakili organisasi pekerja dan organisasi pengusaha
3) Panitera Muda; dan
4) Panitera Pengganti.

Susunan Pengadilan Hubungan Industrial di Mahkamah Agung terdiri dari:
1) Hakim Agung;

2) Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung; dan
3) Panitera.
Hakim Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan
d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
dalam satu perusahaan.

Hukum acara yang digunakan pada Peradilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata
yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali secara khusus diatur
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial.
Gugatan perselisihan Hubungan Industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri yang daerah Hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.
Pengajuan gugatan wajib dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, apabila
tidak lampirkan dengan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi berkas dikembalikan
kepada para pihak. Gugatan dapat dicabut Penggugat sebelum Tergugat memberi jawaban.
Dalam hal perselisihan hak dan atau perselisihan kepentingan diikuti dengan perselisihan
hubungan kerja, Pengadilan Hubungan Industrial wajib memutus terlebih dahulu perselisihan
hak dan atau perselisihan kepentingan. Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha
dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk
mewakili anggotanya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada
lingkungan peradilan umum, yang bertugas dan berwenang untuk memeriksa dan memutus:
a. Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan
kerja;
b. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan
antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan (Zaeni Asyhadie II, 2007: 158).

Pengadilan Hubungan Industrial untuk pertama kalinya dibentuk pada setiap Pengadilan Negeri
Kabupaten/Kota di setiap ibukota provinsi yang mempunyai daerah hukum meliputi seluruh
wilayah provinsi bersangkutan dan pada Mahkamah Agung di tingkat kasasi. Untuk
kabupaten/kota yang padat industri juga dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri setempat. Susunan hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri terdiri dari Hakim, Hakim Ad Hoc, Panitera Muda dan Panitera Pengganti (Maimun,
2007: 169).

Ketua Pengadilan Hubungan Industrial adalah Ketua Pengadilan Negeri setempat, dengan
Majelis Hakim terdiri dari 1 (satu) Ketua Majelis dari Hakim Karier, 2 (dua) anggota Hakim Ad
Hoc masing-masing dari unsur pengusaha dan unsur pekerja yang diangkat oleh Presiden atas
usul Ketua Mahkamah Agung (Agusmidah, 2010: 163). Susunan hakim pada Mahkamah Agung
terdiri dari Hakim Agung, Hakim Agung Ad Hoc dan Panitera (Maimun, 2007: 91).
Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah hukum acara perdata
yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali bila ada hal-hal yang
diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Para pihak yang berperkara

di Pengadilan Hubungan Industrial tidak dikenakan biaya apapun juga termasuk biaya eksekusi
apabila nilai gugatannya di bawah Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dalam
proses beracara (Maimun, 2007: 173). Beracara di Pengadilan Hubungan Industrial dilakukan
dengan pemeriksaan acara biasa dan pemeriksaan dengan acara cepat. Pemeriksaan melalui acara
biasa meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Gugatan;
Jawaban Tergugat;
Replik (tanggapan Penggugat atas jawaban Tergugat);
Duplik (tanggapan Tergugat atas replik Penggugat);
Pembuktian (surat dan saksi-saksi);
Kesimpulan para pihak, dan
Putusan hakim (Adrian Sutedi, 2009: 132).

2. 5 Hakim Ad Hoc Pada Pengadilan Hubungan Industrial

Kata hakim secara etimologi berarti orang yang memutuskan hukum. Berdasarkan Kamus Besar
Bahasa Indonesia definisi hakim, yaitu orang yang mengadili perkara (dalam pengadilan atau
mahkamah). Hakim Ad Hoc merupakan hakim yang diangkat dari luar hakim karier yang
memenuhi persyaratan profesional, berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghayati cita-cita
negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, memahami dan menghormati
hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia.

Pasal 60 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, menyatakan bahwa susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
terdiri dari:
a. Hakim;
b. Hakim Ad Hoc;
c. Panitera Muda; dan

d. Panitera Pengganti.

Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung terdiri dari:
a. Hakim Agung;
b. Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung; dan
c. Panitera.

Pasal 61 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, menyatakan bahwa Hakim Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diangkat dan diberhentikan berdasarkan Keputusan
Ketua Mahkamah Agung. Pengangkatan Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 63 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 menyatakan Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial
diangkat dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Calon Hakim Ad Hoc
diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung dari nama yang disetujui oleh Menteri atas usul serikat
pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha. Ketua Mahkamah Agung mengusulkan
pemberhentian Hakim Ad Hoc Hubungan Industrial kepada presiden.

Berdasarkan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, seseorang untuk dapat diangkat
menjadi Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad Hoc pada
Mahkamah Agung, harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
d. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun;

e. berbadan sehat sesuai dengan keterangan dokter;
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. berpendidikan serendah-rendahnya Strata Satu (S-1) kecuali bagi Hakim Ad Hoc pada
Mahkamah Agung syarat pendidikan Sarjana Hukum; dan
h. berpengalaman di bidang hubungan industrial minimal 5 (lima) tahun.

Sebelum memangku jabatannya, Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial wajib
mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya, bunyi sumpah atau janji
itu adalah sebagai berikut:
“Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk memperoleh jabatan
saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga,
tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari
siapapun juga suatu janji atau pemberian.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara, dan ideologi
nasional, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan segala
undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan
jujur, seksama dan dengan tidak membedakan orang dan akan melaksanakan kewajiban
saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.”

Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diambil sumpah atau
janjinya oleh Ketua Pengadilan Negeri atau pejabat yang ditunjuk. Berdasarkan Pasal 66
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, Hakim Ad Hoc tidak boleh merangkap jabatan sebagai:
a.
b.
c.
d.
e.

anggota Lembaga Tinggi Negara;
kepala daerah/kepala wilayah;
lembaga legislatif tingkat daerah;
pegawai negeri sipil;
anggota TNI/Polri;

f.
g.
h.
i.
j.
k.

pengurus partai politik;
pengacara;
mediator;
konsiliator;
arbiter; atau
pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau pengurus organisasi pengusaha.

Dalam hal seorang Hakim Ad Hoc yang merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), jabatannya sebagai Hakim Ad Hoc dapat dibatalkan. Pasal 67 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004, Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad Hoc Hubungan
Industrial pada Mahkamah Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a.
b.
c.
d.

e.
f.
g.
h.

meninggal dunia;
permintaan sendiri;
sakit jasmani atau rohani terus menerus selama 12 (dua belas) bulan;
telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi Hakim Ad Hoc pada Pengadilan
Hubungan Industrial dan telah berumur 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi Hakim Ad Hoc
pada Mahkamah Agung;
tidak cakap dalam menjalankan tugas;
atas permintaan organisasi pengusaha atau organisasi pekerja/organisasi buruh yang
mengusulkan; atau
telah selesai masa tugasnya.
Masa tugas Hakim Ad Hoc untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

Pasal 68 menyatakan bahwa Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diberhentikan tidak
dengan hormat dari jabatannya dengan alasan:
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. selama 3 (tiga) kali berturut-turut dalam kurun waktu 1 (satu) bulan melalaikan
kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya tanpa alasan yang sah; atau
c. melanggar sumpah atau janji jabatan.

Pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengajukan pembelaan kepada

Mahkamah Agung. Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial sebelum diberhentikan tidak
dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1), dapat diberhentikan sementara
dari jabatannya. Hakim Ad Hoc yang diberhentikan sementara sebagai-mana dimaksud dalam
ayat (1), berlaku pula ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2).

Pasal 70 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Pengangkatan Hakim Ad Hoc Pengadilan
Hubungan Industrial dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan dan sumber daya yang
tersedia. Untuk pertama kalinya pengangkatan Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri paling sedikit 5 (lima) orang dari unsur serikat pekerja/serikat buruh dan
5 (lima) orang dari unsur organisasi pengusaha.

III. METODE PENELITIAN

3. 1 Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan
pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan sebagai usaha
mengadakan pembahasan dengan bertitik tolak kepada peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan mengadakan pengamatan terhadap
kenyataan yang ada di lapangan dalam rangka pelaksanaan peraturan-peraturan yang berlaku,
khususnya mengenai peran Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial.

3. 2 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder.
a. Data primer adalah data yang bersumber dari hasil studi lapangan yaitu wawancara dengan
pihak-pihak yang terlibat dengan penelitian. Wawancara tersebut dilakukan dengan informan,
yaitu Janter, S.H. selaku Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial Bandar Lampung.

b. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi pustaka terhadap bahan hukum yang
terdiri dari:
a) bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
penelitian, antara lain:

1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial; dan
2) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan dan
Pemberhentian Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad Hoc
Pada Mahkamah Agung.
b) bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang bersumber dari buku-buku ilmu hukum
dan tulisan-tulisan hukum lainnya.
c) bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang bersumber dari kamus hukum, Kamus
Besar Bahasa Indonesia majalah, surat kabar dan jurnal penelitian hukum serta bersumber
dari bahan-bahan yang didapat melalui internet.

3. 3 Metode Pengumpulan Data

Peneliti dalam pengumpulan data menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
a.

Studi Kepustakaan (Library Research)
Studi kepustakaan dimaksud adalah usaha untuk memperoleh data sekunder. Peneliti dalam
memperoleh data sekunder melakukan serangkaian studi dokumentasi dengan cara
mengumpulkan, membaca atau mempelajari, membuat catatan-catatan dan kutipan-kutipan
serta menelaah bahan-bahan pustaka yaitu berupa karya tulis dari para ahli yang tersusun
dalam literatur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan
permasalahan yang sedang dibahas dalam penelitian ini.

b.

Studi Lapangan (Field Research)
Studi lapangan merupakan usaha yang dilakukan untuk memperoleh data primer. Kegiatan
yang dilakukan untuk memperoleh data primer tersebut dengan mengajukan pertanyaan dan

meminta penjelasan kepada beberapa pihak yang dianggap mengetahui masalah yang
berhubungan dengan penelitian ini.

3. 4 Metode Pengolahan Data

Data sekunder dan data primer terkumpul dan diolah, maka untuk menentukan hal yang baik
dalam melakukan pengolahan data, peneliti melakukan kegiatan sebagai berikut:
a. Editing, yaitu memeriksa dan mengoreksi data yang masuk, apakah berguna atau tidak,
sehingga data yang terkumpul benar-benar bermanfaat untuk menjawab permasalahan dalam
penelitian ini.
b. Sistematisasi, yaitu proses penyusunan data menurut sistem yang telah ditetapkan.
c. Klasifikasi data, yaitu menyusun dan mengelompokkan data berdasarkan jenis data.

3. 5 Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan cara analisis kualitatif, yaitu dengan cara menguraikan secara
terperinci hasil penelitian dalam bentuk kalimat-kalimat sehingga diperoleh gambaran yang jelas
dari jawaban permasalahan yang dibahas dan kesimpulan atas permasalahan tersebut. Penarikan
kesimpulan dari analisis menggunakan cara berfikir deduktif, yaitu cara berfikir dalam menarik
kesimpulan dari hal-hal yang umum menuju hal-hal yang khusus yang merupakan jawaban dari
permasalahan berdasarkan hasil penelitian.

1

V. PENUTUP

5. 1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Kedudukan Hakim Ad Hoc adalah sebagai Hakim Anggota dalam suatu
Majelis Hakim yang memiliki tugas untuk memeriksa dan memutuskan
perkara perburuhan atau perkara hubungan industrial yang pengangkatannya
atas usul serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha. Hakim Ad
Hoc mempunyai tugas dan wewenang yang sama dengan Anggota Majelis
lainnya. Hakim Ad Hoc hanya dapat menjadi Hakim Anggota dan tidak dapat
menjadi Hakim Ketua Majelis.
b. Keterlibatan Hakim Ad Hoc dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, memegang peranan penting mengingat Perselisihan Hubungan
Industrial bukan perkara yang bersifat umum tapi merupakan perkara yang
bersifat khusus, sehingga dibutuhkan aparat penegak hukum yang benar-benar
berpengalaman di bidang hubungan industrial. Hakim Ad Hoc untuk perkaraperkara di pengadilan dibutuhkan untuk mendapatkan keseimbangan dalam
memeriksa dan memutus perkara terutama jika ada masalah-masalah yang
kompleks yang menyangkut hukum ketenagakerjaan atau hukum perburuhan.

5. 2 Saran

2

Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti menyarankan:
a. Sebaiknya dalam perekrutan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Hubungan
Industrial lebih dengan transparan dan efisien, sehingga Hakim Ad Hoc yang
diterima merupakan orang-orang benar-benar ahli di bidang perburuhan atau
ketenagakerjaan.
b. Sebaiknya Hakim Ad Hoc diberikan pelatihan yang lebih mendalam tentang
perselis