Peranan Pengadilan Hubungan Industrial dalam Memberikan Kepastian Hukum Terhadap Perkara Pemutusan Hubungan Kerja (Studi Terhadap Putusan Pemutusan Hubungan Kerja-Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan)

(1)

KERJA-PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN)

TESIS

Oleh

ANNISA SATIVA

067005082/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

KERJA-PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

Dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ANNISA SATIVA

067005082/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

HUBUNGAN INDUSTRIAL PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN)

Nama Mahasiswa : Annisa Sativa

Nomor Pokok : 067005082

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) K e t u a

(Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum)

A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof . Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA

: Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

ANGGOTA

: 1. Dr. Sunarmi, SH, M. Hum

2. Dr. Mahmul Siregar, SH, M. Hum

3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH


(5)

merupakan awal dari hilangnya mata pencaharian bagi pekerja/buruh karena kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Para pekerja/buruh beserta keluarganya akan merasakan derita akibat PHK tersebut. Dampak PHK ini, sangat kompleks dan cenderung menimbulkan perselisihan. Oleh karena itu, mekanisme dan prosedur PHK telah diatur sedemikian rupa, agar pekerja/buruh yang di PHK tetap mendapatkan perlindungan yang layak dan memperoleh hak-hak normatifnya sesuai dengan ketentuan. Selama ini (dari tahun 1957), penanganan perselisihan PHK ditangani oleh Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah/Pusat (P4D/P4P) dibawah naungan Departemen Ketenagakerjaan. Akan tetapi, sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, penanganannya dialihkan ke Pengadilan Negeri, dimana Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) tersebut berada. Sebelum permasalahan perselisihan hubungan industrial ini dibawa ke PHI, terlebih dahulu telah dilakukan perundingan secara bipartit atau tripartit. Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini meliputi faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya PHK, kompensasi yang diberikan kepada pekerja/buruh yang di PHK berdasarkan putusan hakim PHI dan peranan hakim PHI dalam memberikan kepastian hukum terhadap kasus-kasus PHK.

Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan penelitian yang bersifat deskriptif analisis dengan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif. Tesis ini menggunakan metode pendekatan kasus, yang kajian pokoknya adalah pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu keputusan. Sumber-sumber penelitian hukum yang digunakan, terdiri dari: bahan hukum primer berupa aturan hukum yang terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, bahan sekunder berupa buku-buku teks, hasil-hasil penelitian, majalah, jurnal-jurnal ilmiah dan pendapat sarjana, serta bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan, yang dalam hal ini peneliti menetapkan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sebagai tempat melakukan penelitian lapangan tersebut. Keseluruhan data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan akan ditelaah dan dianalisi secara kualitatif dan diolah menggunakan metode induktif dan deduktif sehingga pada akhirnya diperoleh solusi dari permasalahan dalam penelitian ini.

Berdasarkan putusan-putusan hakim PHI mengenai PHK yang diteliti dalam tesis ini, ada beberapa faktor penyebab terjadinya PHK tersebut, antara lain:

1. Adanya kinerja yang tidak baik;

2. Adanya penolakkan dari pekerja/buruh untuk menandatangani surat kontrak;


(6)

kompensasi upah kepada pekerja/buruh yang hubungan kerjanya terputus dengan pengusaha. Berdasarkan putusan-putusan yang dianalisis dalam tesis ini, dasar pertimbangan hakim PHI dalam pemberian kompensasi upah kepada pekerja/buruh yang di PHK adalah adanya perbuatan melawan hukum, maka hakim memutuskan pembayaran upah yang wajib dipenuhi oleh pihak pengusaha harus sesuai dengan ketentuan UMP/UMK di Sumatera Utara, kemudian dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dan kekurangan-kekurangan upah pekerja/buruh, pengusaha juga berkewajiban untuk membayarkannya. Peranan hakim PHI dalam memberikan kepastian hukum terhadap kasus-kasus PHK terlihat dalam setiap putusannya. Kepastian hukum dapat berarti keharusan adanya suatu peraturan. Walaupun peraturan-peraturan mengenai hukum ketenagakerjaan tidak terhimpun dalam suatu kodifikasi, peraturan tersebut tetap dapat memberikan suatu kepastian hukum. Terkecuali Undang-Undang tidak ada mengaturnya, maka hakim harus menemukan hukumnya (sesuai dengan ketentuan Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004). Kepastian hukum dapat juga berarti memberikan perlindungan terhadap individu yang disewenang-wenangkan oleh individu lain. Pelaksanaan PHK ini seharusnya mengikuti prosedur hukum sesuai ketentuan perundang-undangan sehingga pada akhirnya tidak menimbulkan perselisihan yang berakhir sampai ke pengadilan.

Kata-Kata Kunci : Peranan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial, Pemutusan Hubungan Kerja, dan Kepastian Hukum.


(7)

beginning of the loosing of job that will result in suffering for the workers and their families. The impact of laid-off is very complex and tends to result in dispute; therefore, the mechanism and procedure of laid-off has been regulated in such a way that the worker who have been laid-off will still get appropriate protection and their normative rights in accordance with the existing stipulation. From 1957 to present, any laid-off based dispute is handle by Central/Regional Labor Dispute Settlement Committee (P4D/P4P) under the auspices of the Department of Manpower. But, since the issuance of Law No. 2/2004 on Industrial Relation Dispute Settlement, its handling is transferred to the court of first instance (PN) where the Industrial Relation Court (PHI) is located. Before, the problem industrial relation dispute had been taking to PHI, for the first were obtained negotiation according to bipartite or tripartite. The problem looked at in this study includes the factors that cause the incident of laid-off (PHK), compensation given to the laid-off workers based on the decision made by the PHI judge, and role of PHI judge giving legal certainty to the laid-off cases.

This analytical descriptive study with qualitative normative juridical research method employs the case approach method. The data for this study were obtained through collecting primary legal materials such as legal regulations found in several legal system or regulation of legislation and the decision made by the judges; secondary legal materials such as text books, research finding, magazines, scientific journals and scholars’ opinions; and tertiary legal materials such as legal materials that give a lead of significant explanation to the primary and secondary legal materials. The data in the form of legal materials were obtained through library research and field research conducted in the Industrial Relation Court (PHI). The data obtained were qualitatively analyzed and processed using deductive and inductive methods that the solution to the problems in this study was finally achieved.

Based on the decisions about the laid-off made by judges of Industrial Relation Court, several causal factors of laid-off incident studied are among other things:

1. Poor performance;

2. Workers refuse to sign the work agreement;

3. Workers have made serious mistakes;

4. Workers demand to be promoted permanent employees; and

5. Company makes efficiency that result in the incident of being laid-off.

Being laid-off always has its legal consequence either to the entrepreneur or to the workers themselves. Legal consequence is defined as the form of salary compensation payment to the workers whose work relation to the entrepreneur is terminated. Based on decisions analyzed in this study, the basic considerations taken by the judges of Industrial Relation Court is paying the salary compensation to the


(8)

workers’ salary which are not yet fully paid. The role of judges of Industrial Relation Court in providing legal certainty to the cases of laid-off seen any decision they made. Legal certainty can mean there must be a regulation. Even though the regulations of Law of Manpower are not compiled in a codification, the regulations can still give a legal certainty. Unless the laws are regulated, the judges must find the law for it (according to Article 16 (1) of Law No. 4/2004). Legal certainty can also mean to protect an individual arbitrarily treated by the other individual. The implementation of laid-off should follow the legal procedure which is in accordance with the existing legislation that it will not eventually result in the dispute which ends in the court.

Key words: Role of Industrial Relation Court Judge, Severance of Work Relation, Legal Certainty


(9)

segala rahmat dan karunianya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan judul: ”PERANAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM MEMBERIKAN KEPASTIAN HUKUM TERHADAP PERKARA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (STUDI TERHADAP PUTUSAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA-PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN)”.

Penulisan tesis merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam rangka menyelesaikan studi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan tesis ini, penulis telah banyak memperoleh bantuan dari berbagai pihak, baik yang sifatnya bantuan material maupun bantuan moril. Oleh karena itu pada kesempatan baik ini, saya mengucapkan terima kasih yang tulus kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Chairuddin P., Lubis, DTM&H, Sp.

A (K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program magister;

2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Ir. T.

Chairunnisa B., M. Sc, atas kesempatan menjadi mahasiswa program magister ilmu hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas


(10)

Sumatera Dr. Sunarmi, SH, M. Hum selaku pembimbing II sekaligus menjadi komisi penguji, yang dengan penuh perhatian memberikan arahan dan bimbingan bagi penulis;

5. Dr. Mahmul Siregar, SH, M. Hum selaku pembimbing III sekaligus menjadi

komisi penguji, yang dengan penuh perhatian memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini;

6. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku dosen penguji penulis;

7. Dr. T. Keizerina Devi Anwar, SH, CN, M.Hum, selaku dosen penguji penulis;

8. Bapak dan Ibu Dosen pengajar serta seluruh staf pegawai di Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

9. Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri

Medan, Bapak Ibnu Affan, SH, yang telah banyak membantu dan meluangkan waktu untuk penulis dalam menyelesaikan tesis ini dengan memberikan sejumlah putusan-putusan pengadilan yang penulis analisis didalam tesis ini;

10.Panitera Muda Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri

Medan, yang telah membantu penulis dalam memberikan data-data yang dibutuhkan dalam tesis ini;


(11)

12.Adik-adikku Muhammad Harris, dan Alyssa Fitri yang selalu memberikan do’a dan membantu menyemangati penulis dalam menyelesaikan tesis ini;

13.Seseorang yang selama ini telah setia mendampingi, selalu memberi doa dan

semangat kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini (Zulkifli Sitorus, SH);

14.Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara stambuk

2002 dan Civitas Akademika Program Studi Ilmu Hukum (Reguler) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara stambuk 2006 yang tidak dapat penulis disebutkan satu-persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan studi dan tesis ini;

Akhir kata, semoga segala bantuan dan bimbingan yang penulis terima, dibalas oleh Allah SWT dan penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, terutama bagi penulis dan pihak-pihak yang memerlukan dan mengembangkannya, khusus dalam hukum perburuhan.

Medan, 15 Juli 2008 Penulis,


(12)

Tempat/Tgl. Lahir : Medan, 19 Juli 1984

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Belum Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jl. Karya Wisata Komp. Johor Indah Permai 1 Blok C No. 3

Medan 20144

PENDIDIKAN FORMAL

- Sekolah Dasar Swasta Al-Azhar Medan dari tahun 1990 s/d 1996.

- Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 2 Medan dari tahun 1996 s/d 1999. - Sekolah Menengah Umum Kemala Bhayangkari 1 Medan dari tahun 1999 s/d 2002. - Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) dari tahun 2002 s/d 2006 - Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU) dari tahun 2006 s/d sekarang.


(13)

ABSTRACT………. iii

KATA PENGANTAR………. v

RIWAYAT HIDUP………. viii

DAFTAR ISI……… ix

DAFTAR TABEL……… xii

DAFTAR ISTILAH………. xiii

DAFTAR SINGKATAN... xv

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 16

C. Tujuan Penelitian... 17

D. Manfaat Penelitian... 17

E. Keaslian Penulisan... 18

F. Kerangka Teori Dan Landasan Konsepsional... 19

1. Kerangka Teori... 19

2. Landasan Konsepsional... 31

G. Metode Penelitian... 33

1. Jenis Dan Sifat Penelitian... 33

2. Pendekatan Penelitian... 35

3. Sumber Data... 35

4. Teknik Pengumpulan Data... 36


(14)

B. Faktor Penyebab Pemutusan Hubungan Kerja Dari Pekerja/

Buruh... 43

C. Faktor Penyebab Pemutusan Hubungan Kerja Demi

Hukum... 45 D. Analisis Faktor-Faktor Penyebab Pemutusan Hubungan Kerja

Berdasarkan Putusan-Putusan Hakim Pengadilan Hubungan

Industrial... 47

BAB III : KOMPENSASI SEBAGAI PEMENUHAN HAK NORMATIF PEKERJA/BURUH BERDASARKAN PUTUSAN

PENGADILAN... 55 A. Batasan Kompensasi... 55

B. Komponen Kompensasi Yang Diberikan Kepada Pekerja/

Buruh... 58 C. Dasar Perhitungan Kompensasi... 63 D. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memberikan Kompensasi

Upah Kepada Pekerja/Buruh... 77

BAB IV : PERANAN HAKIM PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRI- AL DALAM MEMBERIKAN KEPASTIAN HUKUM TERHA- DAP KASUS-KASUS PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA... 85 A. Gambaran Umum Mengenai Pengadilan Hubungan Industrial... 85 B. Kedudukan Dan Peranan Hakim Pengadilan Hubungan

Industrial... 92 C. Peranan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Dalam


(15)

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN... 119

A. Kesimpulan... 119

B. Saran... 121

DAFTAR PUSTAKA... 123


(16)

1. Gugatan Perselisihan Hubungan Industrial di PN

Medan Tahun 2006-2007... 86

2. Gugatan Perselisihan Hubungan Industrial di PN


(17)

Begriff : Pengertian-Pengertian Baru

Blue Collar : Orang-Orang yang Melakukan Pekerjaan Kasar,

seperti: kuli. Tukang dan mandor

Case Approach : Pendekatan Kasus

Convention Concorning Freedom of Association and Protection of the Right to

Organise : Konvensi tentang Kebebasan Berserikat dan Perlin-

dungan Hak Untuk Berorganisasi

Decision Making : Membuat Keputusan

Delegated Legislation : Pelimpahan Dari Badan Legislatif

Dienstverhoeding : Hubungan Kerja

Dikhotomi : Pemisahan

Doctrinal Research : Penelitian Doktrinal

Ekstensif : Memperluas

Force Majeur : Keadaan Memaksa

Food And Beverages : Tata Hidangan

Inferior Court : Peradilan Tingkat Pertama

In natura; In kind : Pembagian Catu (bagian yang sudah ditentukan

Banyaknya)

Ius Curia Novit : Hakim Mengetahui Hukumnya

Iustitia, Ius, Recht : Keadilan

Jurisdiction : Yurisdiksi

Labour : Pekerja/Buruh

Labour Force : Kelompok Usia Kerja yang Potensial Untuk Bekerja

Law Applying : Melaksanakan Hukum

Law Enforcement : Penegakan Hukum

Law Making : Membuat Hukum

Legal Problem Identification : Mengidentifikasi Permasalahan Hukum

Legal Problem Solving : Menyelesaikan Permasalahan Hukum

Legges, Wetten : Kaidah-Kaidah

Lex, Wet : Undang-Undang

Gesetzliches Unrecht : Ketidakadilan Dalam Undang-Undang Yang Resmi

Berlaku

Library Research : Penelitian Kepustakaan

Market Dicipline : Disiplin Pasar

Moral Hazard : Aji Mumpung (Kesempatan Yang Datang di Waktu


(18)

Van Recht : Hakikat Hukum ialah Membawa Aturan Yang Adil dalam Masyarakat

Ratio Decidendi/Reasoning : Pertimbangan Pengadilan Untuk Sampai Kepada Suatu Keputusan

Rechtconstructie : Konstruksi Hukum

Rechthandhaving : Mempertahankan Hukum

Rechtvinding : Menemukan Hukum

Regere : Memimpin

Restriktif : Membatasi

Reward : Penghargaan

Single Union : 1 (satu) Organisasi Pekerja/Buruh

Sliding Scale : Secara Landai

Spannungs-Verhaltnis : Ketegangan Satu Sama Lain

Stakeholders : Pemangku Kepentingan

Superior Court : Peradilan Yang Lebih Tinggi

Uebergesetzliches Recht : Keadilan Di Luar Undang-Undang

Unfair Labour Practices : Itikad Yang Tidak Baik

Verbintenis : Perikatan, Perhutangan, Perjanjian

Volonte Generale : Kehendak Rakyat Bersama

White Collar : Orang-Orang yang Melakukan Pekerjaan Halus,

seperti: Karyawan/Pegawai


(19)

Dirjen : Direktur Jendral

Disnaker : Dinas Ketenagakerjaan

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

FBSI : Federasi Buruh Seluruh Indonesia

HIP : Hubungan Industrial Pancasila

Inpres : Instruksi Presiden

ILO : International Labour Organization

Jamsostek : Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Keppres : Keputusan Presiden

Kepmen : Keputusan Menteri

KHM : Kebutuhan Hidup Minimum

KUH Perdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

MA : Mahkamah Agung

P4D : Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah

P4P : Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat

PA : Pengadilan Agama

PAMUD : Panitera Muda

Parpol : Partai Politik

Permen : Peraturan Menteri

Permenaker : Peraturan Menteri Tenaga Kerja

PHI : Pengadilan Hubungan Industrial

PHK : Pemutusan Hubungan Kerja/Pengakhiran Hubungan

Kerja

PHL : Perjanjian Harian Lepas

PKB : Perjanjian Kerja Bersama

PKWT : Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

PKWTT : Perjanjian Kerja Waktu Tak Tertentu

PN : Pengadilan Negeri

PNS : Pegawai Negeri Sipil

PP : Peraturan Pemerintah

PPHI : Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

PTTUN : Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

RS : Rumah Sakit

S1 : Strata Satu

SP/SB : Serikat Pekerja/Serikat Buruh

s/d : Sampai Dengan


(20)

(21)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap orang memerlukan penghasilan agar dapat membeli, memperoleh atau membiayai segala benda atau sarana yang diperlukan dan juga untuk mempertahankan segala kekayaan dan sarana yang telah dimiliki atau secara rutin dapat digunakan untuk memenuhi segala keperluan hidupnya. Dalam usaha untuk mendapatkan penghasilan guna dapat memenuhi berbagai keperluan hidupnya itulah setiap orang pasti akan memerlukan orang lain dalam hubungan saling bantu-mambantu atau saling tukar bantu dalam memberikan segala sesuatu yang telah dimiliki dan saling memberikan segala sesuatu yang masih diperlukan dari orang lain.1

Seseorang yang kurang memiliki modal atau penghasilan memerlukan pekerjaan yang dapat memberikan penghasilan kepadanya, sehingga ia dapat memenuhi segala keperluannya, setidaknya sebatas kemampuannya. Sebaliknya seseorang yang telah tergolong orang yang mampu dan bila pun ia dapat dikatakan telah memiliki segala sesuatu yang diinginkannya, namun jelas ia pun tidak mampu memelihara, merawat atau mempertahankannya seorang diri.

1

A. Ridwan Halim dan Sri Subiandini Gultom, Sari Hukum Perburuhan Aktual, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1987), hal. 1.


(22)

Tenaga kerja memiliki peran dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku (actor) dalam mencapai tujuan pembangunan. Sejalan dengan itu, pembangunan ketenagakerjaan diarahkan untuk meningkatkan kualitas dan kontribusinya dalam pembangunan serta melindungi hak dan kepentingannya sesuai

dengan harkat dan martabat kemanusiaan.2 Pembangunan ketenagakerjaan

diselenggarakan atas asas keterpaduan dan kemitraan.3 Oleh karena itu, sebagaimana

ditetapkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa pembangunan ketenagakerjaan bertujuan untuk :

1. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan

manusiawi;

2. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang

sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;

3. Memberikan perlindungan bagi tenaga kerja dalam mewujudkan

kesejahteraan;

4. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

2

B. Siswanto Sastrohadiwiryo, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, Pendekatan

Administratif Dan Operasional, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005), hal. 1. 3

Lihat, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenegakerjaan yang berbunyi “Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional sektoral pusat dan daerah”, bahwa penjelasan dari Pasal tersebut asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas adil dan merata. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/buruh. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerjasama yang saling mendukung.


(23)

Pasal 50 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja atau buruh. Hubungan kerja yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 ini adalah suatu perikatan kerja yang bersumber dari perjanjian, tetapi tidak mencakup perikatan kerja yang bersumber dari undang-undang. Ketentuan perjanjian kerja yang ada hubungan kerja atau ketenagakerjaan bukan merupakan bagian dari hukum perjanjian, oleh karena itu dikatakan bahwa ketentuan perjanjian kerja bukan hukum pelengkap. Hal ini berarti ketentuan perjanjian kerja bersifat memaksa artinya ketentuan perjanjian kerja dalam hukum ketenagakerjaan tersebut wajib ditaati atau diikuti. 4

Soepomo memberikan definisi mengenai hubungan kerja, yaitu : 5

“Suatu hubungan antara seorang buruh dan seorang majikan, dimana hubungan kerja itu terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara kedua belah pihak. Mereka terikat dalam suatu perjanjian, di satu pihak pekerja/buruh bersedia bekerja dengan menerima upah dan pengusaha mempekerjakan pekerja dengan buruh dengan memberi upah”.

Hubungan kerja terjadi apabila seseorang (karyawan, pekerja, atau pegawai) menyediakan keahlian dan tenaganya untuk orang lain (majikan atau pimpinan)

4

Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan 2003, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hal. 70, bahwa para pihak dalam perjanjian kerja tidak dapat membuat perjanjian kerja yang menyimpang dari ketentuan peraturan undang-undang ketenagakerjaan. Hukum ketenagakerjaan bersifat memaksa yaitu tidak dapat dikesampingkan oleh para pihak dalam membuat perjanjian kerja adalah merupakan bagian hukum ketenagakerjaan, bukan bagian dari hukum perjanjian. Hukum perjanjian yang mengatur ketentuan umum, sepanjang tidak diatur oleh hukum ketenagakerjaan berlaku dalam perjanjian kerja, tetapi bila undang-undang ketenagakerjaan telah mengaturnya maka ketentuan tersebut bersifat memaksa, artinya tidak dapat dikesampingkan.

5

Iman Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta: Djambatan, 2001), hal. 1.


(24)

sebagai imbalan sejumlah uang. Hubungan kerja tersebut harus dilakukan secara teratur dan terus-menerus, untuk membedakannya dengan keadaan bahwa seorang kontraktor bebas membuat perjanjian hanya untuk suatu pekerjaan tertentu, kemudian ia pergi dan menjual jasanya di tempat lain. Pekerjaan itu dapat dilakukan selama jangka waktu tertentu dan tidak tertentu, lama atau singkat, atau sampai suatu pekerjaan tertentu itu diselesaikan; tetapi pada umumnya pihak-pihak lebih terikat secara teratur. Sebuah perusahaan dapat mempekerjakan beberapa direkturnya sendiri dengan membuat suatu perjanjian kerja dan menjadi anggota serikat buruh. Jika terjadi suatu perselisihan yang mengakibatkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK), maka serikat buruhlah yang akan memberikan perlindungan hukum terhadap

para pekerjanya.6

Hubungan kerja ini pada dasarnya adalah hubungan antara buruh dan majikan setelah adanya perjanjian kerja. Perjanjian kerja yang akan ditetapkan oleh pekerja/buruh dan majikan tidak boleh bertentangan dengan perjanjian perburuhan yang telah dibuat oleh majikan dengan serikat buruh yang ada pada perusahaannya.

6

S.B. Marsh dan J. Soulsby dialih bahasa oleh Abdulkadir Muhammad, Hukum

Perjanjian,(Bandung: PT. Alumni, 2006), hal. 314, bahwa suatu persekutuan tidak mempunyai

kepribadian hukum tersendiri, karena walaupun seorang sekutu itu digaji, ia bukanlah seorang pekerja. Pekerja sering juga menjadi agen dari majikannya, jika mereka berhubungan dengan pihak ketiga atas nama majikannya. Jadi, seorang penjual barang itu mungkin kedua-duanya sebagai pekerja dan sebagai agen. Pekerjaan itu adalah suatu perjanjian, dan syarat-syarat perjanjian ini baik secara tegas maupun secara diam-diam selalu menjadi dasar hubungan antara majikan dan pekerja. Sebaliknya, karena alasan-alasan sosial, ekonomi, dan politik, pemerintah telah meningkatkan campur tangannya dalam menangani masalah hubungan kerja dalam waktu 150 tahun terakhir ini. Dewasa ini banyak hak dan kewajiban pihak-pihak diatur dengan undang-undang. Menganggap pekerjaan itu semata-mata sebagai suatu perjanjian akan merupakan hal yang sangat keliru.


(25)

Demikian juga dengan perjanjian kerja tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perusahaan yang dibuat oleh pengusaha.7

Adanya hubungan kerja ini maka lahirlah perjanjian kerja. Istilah perjanjian sebenarnya tidak dikenal dalam KUH Perdata, yang ada ialah perikatan atau verbintenis (Pasal 1233 KUH Perdata) dan persetujuan atau overeenkomst (Pasal 1313 KUH Perdata). Beberapa ahli hukum juga berbeda pendapat dalam menggunakan istilah-istilah tersebut. Di Indonesia istilah verbintenis diterjemahkan dalam 3 (tiga) arti, yaitu: perikatan, perhutangan dan perjanjian, sedangkan istilah overeenkomst diterjemahkan dalam 2 (dua) arti, yaitu : perjanjian dan persetujuan.

Definisi perjanjian kerja adalah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu buruh, mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu

majikan dengan upah selama waktu tertentu.8 Perjanjian kerja diatur dalam Bab IX

Undang Ketenagakerjaan Tahun 2003. Dalam Pasal 1 Angka 14 Undang-Undang Ketenagakerjaan Tahun 2003 disebutkan bahwa Perjanjian kerja adalah

7

Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 51, bahwa perjanjian kerja dan perjanjian perburuhan mempunyai manfaat yang besar bagi para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Hal ini dikarenakan dengan perjanjian kerja dan perjanjian perburuhan yang dibuat dan ditaati secara baik akan dapat menciptakan suatu ketenangan kerja, jaminan kepastian hak dan kewajiban baik bagi pihak pekerja/buruh maupun pengusaha/majikan.

8

Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 28, bahwa prinsip yang

menonjol dalam perjanjian kerja, yaitu adanya keterikatan seseorang (pekerja/buruh) kepada orang lain (pengusaha) untuk bekerja di bawah perintah dengan menerima upah. Jadi, apabila seseorang telah mengikatkan diri di dalam suatu perjanjian kerja, berarti ia secara pribadi otomatis harus bersedia bekerja di bawah perintah orang lain. Hal ini yang disebut ahli hukum sebagai “hubungan kerja” atau


(26)

perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka di dalam perjanjian kerja harus dipenuhi 3 (tiga) unsur, sebagai berikut:

1. Ada orang di bawah pimpinan orang lain. Dalam perjanjian kerja, adanya

unsur perintah dalam perjanjian kerja, kedudukan kedua belah pihak tidaklah sama yaitu pihak yang satu kedudukannya diatas (pihak yang memerintah), sedang pihak lain kedudukannya di bawah (pihak yang diperintah). Kedudukan yang tidak sama ini disebut hubungan subordinansi serta ada yang menyebutnya hubungan kedinasan;

2. Penunaian kerja maksudnya melakukan pekerjaan. Di sini tidak dipakai istilah

melakukan pekerjaan sebab istilah tersebut mempunyai arti ganda. Istilah melakukan pekerjaan dapat berarti persewaan tenaga kerja atau penunaian kerja. Dalam persewaan tenaga kerja yang tersangkut dalam kerja adalah tenaga manusia, sehingga upah sebagai kontraprestasi dipandang dari sudut ekonomi. Dalam penunaian kerja, yang tersangkut dalam kerja adalah manusia itu sendiri sehingga upah sebagai kontraprestasi dipandang dari sudut

sosial ekonomis;9

9

Lihat, A. Ridwan Halim dan Sri Subiandini Gultom, Op.Cit, hal. 8, bahwa yang menjadi masalah sentral dalam hukum ketenagakerjaan maupun hukum ekonomi adalah hal imbalan kerja atau segala hak yang diperoleh seseorang karena ia bekerja membantu orang lain tertentu. Dengan perkataan lain, imbalan kerja tentu tidak akan ada bila yang bersangkutan tidak bekerja sebagaimana


(27)

3. Adanya upah, hal ini diatur dalam Pasal 1 Angka 30 Undang-Undang Ketenagakerjaan 2003 adalah

Hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

Dengan dipenuhinya 3 (tiga) unsur tersebut, maka perjanjian yang memenuhi 3 (tiga) unsur adanya perintah, pekerjaan dan upah disebut perjanjian kerja. Adapun pihak yang memerintah disebut pengusaha/pemberi kerja, sedangkan pihak yang

diperintah disebut pekerja/buruh.10

Istilah buruh sangat populer dalam dunia perburuhan/ketenagakerjaan. Pada zaman penjajahan Belanda yang dimaksudkan dengan buruh adalah pekerja kasar, seperti kuli, tukang, dan mandor yang melakukan pekerjaan kasar (blue collar), sedangkan yang melakukan pekerjaan di kantor pemerintah maupun swasta disebut

sebagai karyawan/pegawai (white collar).11 Pembedaan tersebut membawa

konsekuensi pada perbedaan perlakuan dan hak-hak oleh pemerintah Belanda yang

yang dikehendaki oleh yang memberi imbalan tersebut. Bagi hukum ketenagakerjaan, permasalahan ini dapat dikatakan merupakan masalah sentral karena jelas merupakan hak dari buruh atau pekerja/karyawan yang melaksanakan pekerjaan atau tugas yang diemban untuk menerimanya dan kewajiban majikan atau pihak yang memberi pekerjaan/tugas untuk memberikannya.

10

F.X. Djumialdji, Perjanjian Kerja, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2005), hal. 9

11

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), hal. 21, bahwa blue collar merupakan sebutan bagi orang-orang yang melakukan pekerjaan kasar, sedangkan white collar merupakan sebutan bagi orang-orang yang melakukan pekerjaan ”halus” yang tidak pernah bergelut dengan pekerjaan-pekerjaan kasar. Biasanya orang-orang yang termasuk white collar ini adalah para pekerja (bangsawan) yang bekerja di kantor dan orang-orang Belanda beserta Timur Asing lainnya.


(28)

berupaya untuk memecah belah orang pribumi. Akan tetapi setelah merdeka, perbedaan antara buruh halus dan buruh kasar tersebut tidak ada lagi.

Dalam perkembangan hukum perburuhan di Indonesia, istilah buruh diupayakan untuk diganti dengan istilah pekerja, sebagaimana yang diusulkan oleh pemerintah (Depnaker) pada waktu Kongres Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) II tahun 1985. Alasannya dikarenakan istilah buruh lebih cenderung menunjuk pada golongan yang selalu ditekan dan berada di bawah pihak lain, yakni majikan. Istilah pekerja secara yuridis baru ditemukan dalam peraturan ketenagakerjaan yang lama, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 .

Bagi pekerja/buruh, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan awal hilangnya mata pencaharian, berarti pekerja/buruh kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Oleh sebab itu, istilah PHK bisa menjadi momok bagi setiap pekerja/buruh karena mereka dan keluarganya terancam kelangsungan hidupnya dan merasakan derita akibat dari PHK itu. Mengingat fakta dilapangan bahwa mencari pekerjaan tidaklah mudah seperti yang dibayangkan. Semakin ketatnya persaingan, angkatan kerja terus bertambah dan kondisi dunia usaha yang selalu fluktuatif, sangatlah wajar jika pekerja atau buruh selalu khawatir dengan ancaman PHK tersebut.

Berdasarkan data (tahun 2001 s/d 2005), perkara-perkara PHK dari 25 (dua puluh lima) Kabupaten/Kota se-Propinsi Sumatera Utara kurang lebih 500-700


(29)

perkara yang ditangani oleh 3 (tiga) majelis. penanganan Perkara-perkara ini notabene bagi Pengadilan Negeri karena masih merupakan hal baru dalam menangani

masalah ketenagakerjaan yang multi kompleks.12

Sehubungan dampak PHK sangat kompleks dan cenderung menimbulkan perselisihan, maka mekanisme dan prosedur PHK diatur sedemikian rupa agar pekerja/buruh tetap mendapatkan perlindungan yang layak dan memperoleh hak-haknya sesuai dengan ketentuan. Perlindungan pekerja tersebut dalam bahasa Belanda disebut arbeidsbescherming. Maksud dan tujuan perlindungan buruh atau perlindungan pekerja adalah agar pekerja dapat dilindungi dari perlakuan pemerasan oleh pihak pengusaha. Pemerintah sangat menaruh perhatian terhadap masalah perlindungan pekerja/buruh karena pada umumnya posisi pekerja masih lemah, sehingga perlindungan kerja dan keselamatan kerja akan dapat mewujudkan terpeliharanya kesejahteraan, kesehatan, kedisiplinan pekerja yang berada di bawah

pimpinan pengusaha. 13

12

Thoga M. Sitorus, Masalah Ketenagakerjaan Di Indonesia Dan Daerah (Pasca Reformasi), (Medan: Bina Media Perintis, 2007), hal. 75, bahwa permasalahan ketenagakerjaan yang multi kompleks ini meliputi: masalah pengangguran, kesempatan kerja, Upah Minimum Propinsi (UMP), investasi, masalah kepentingan, unjuk rasa, pelanggaran norma, pekerja kontrak (out sourcing), hubungan pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja, konvensi ILO, gerakan SP/SB dan lain-lain yang kesemuanya terkait dengan masalah PHK.

13

Saiful Anwar, Sendi-Sendi Hubungan Pekerja Dengan Pengusaha, (Medan: Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 1991), hal. 46, bahwa perlindungan dan keselamatan pekerja ini dikelola oleh Bidang Pembinaan Norma-Norma Perlindungan Kerja dalam 3 Sub. Dit Dalam Departemen Tenaga Kerja, yaitu :

a. Pembinaan dan Pengawasan Perundang-undangan; b. Norma-Norma Kerja;

c. Tunjangan kecelakaan.

Dan untuk Bidang Pembinaan Norma-Norma Keselamatan Kerja, Higiene Perusahaan dan Keselamatan Kerja, dikelola oleh 3 Sub. Dit, yaitu :


(30)

Adanya kehadiran organisasi pekerja/buruh dimaksudkan untuk memperjuangkan hak dan kepentingan pekerja, sehingga tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak pengusaha. Hal ini sangat tergantung dari kesadaran para pekerja/buruh untuk mengorganisasikan dirinya. Sebagai implementasi dari amanat ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 tentang kebebasan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan yang ditetapkan dengan undang-undang, maka pemerintah telah meratifikasi Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 98 dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1956

mengenai dasar-dasar hak berorganisasi dan berunding bersama.14

a. Tenaga Uap dan Tenaga Listrik; b. Tenaga Mekanik;

c. Higiene Perusahaan dan Keselamatan Kerja.

14

Lalu Husni, Op. Cit, hal. 24, bahwa didalam memori penjelasan atas UU Nomor 18 Tahun 1956 tentang persetujuan konvensi organisasi mengenai berlakunya dasar-dasar daripada hak untuk berorganisasi dan untuk berunding bersama berbunyi : ”Semenjak tanggal 12 Juli 1950, Indonesia adalah anggota Organisasi Perburuhan Internasional. Salah satu kewajiban dari Indonesia sebagai anggota Organisasi Perburuhan Internasional menurut Pasal 19 ayat (5) dari anggaran dasar organisasi tadi ialah meratifisir konvensi-konvensi yang telah diterima oleh Konfrensi Perburuhan Internasional dan yang isinya dapat (sudah) dilaksanakan di Indonesia. Menurut Pasal 120 UUDS Republik Indonesia ratifikasi demikian harus dilakukan dengan Undang-Undang (yaitu pemerintah bersama-sama dengan DPR). Konvensi-konvensi yang sekarang dianggap mengikat Indonesia (berjumlah 4 (empat) konvensi, yaitu konvensi Nomor 19, 27, 29 dan 45) semuanya telah diratifisir oleh Pemerintah Belanda dahulu. Semenjak Indonesia menjadi anggota dari Organisasi Perburuhan Internasional, Indonesia belum pernah meratifisir suatu konvensi. Kalau diingat bahwa negara-negara tetangga Indonesia, seperti India dan Pakistan yang dalam banyak hal keadaannya hampir serupa dengan negara Indonesia, telah meratifisir lebih dari 20 konvensi, maka jelaslah bahwa dalam hal ini Indonesia banyak ketinggalan. Rencana Undang-Undang untuk meratifisir konvensi Nomor 98 mengenai berlakuknya hak-hak dassar untuk berorganisasi dan untuk berunding bersama dapat dianggap sebagai langkah pertama dalam menyusul ketinggalan ini. Maksud dari konvensi ini adalah

a. Menjamin kebebasan untuk masuk atau tidak masuk serikat buruh; b.Melindungi buruh terhadap campur tangan majikan dalam hal ini;

c. Melindungi serikat buruh terhadap campur tangan majikan dalam mendirikan, cara kerja, serta mengurus organisasinya, khususnya mendirikan organisasi di bawah pengaruh majikan atau yang disokong dengan cara lain oleh majikan;


(31)

Sejalan dengan babak baru pemerintahan Indonesia yakni era reformasi yang menuntut pembaharuan di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, pemerintah melalui Keppres Nomor 83 Tahun 1998 telah mengesahkan konvensi International Labour Organisation (ILO) Nomor 87 Tahun 1948 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi (Convention Concorning Freedom of Association and Protection of the Right to Organise). Pemerintah Indonesia telah merespon secara positif konvensi ILO yang telah diratifikasi. Hal ini terbukti dari rumusan substansi pengaturan dalam Undang-Undang serikat pekerja/serikat buruh yang sangat aspiratif (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000). Seiring dengan kebebasan pekerja/buruh untuk mengorganisasikan dirinya, maka tugas yang diemban oleh serikat pekerja/serikat buruh semakin berat, yakni tidak saja memperjuangkan hak-hak normatif pekerja/buruh, tetapi juga memberikan perlindungan, pembelaan dan mengupayakan peningkatan kesejahteraan

e. Menjamin perkembangan serta penggunaan badan perundingan suka rela untuk mengatur syarat-syarat dan keadaan-keadaan kerja dengan perjanjian perburuhan.

Dalam perundang-undangan Indonesia, hak setiap orang untuk mendirikan serikat buruh dan masuk kedalamnya untuk melindungi dan memperjuangkan kepentingannya, dijamin dalam Pasal 29 UUDS. Selanjutnya Undang-Undang tentang Perjanjian Perburuhan antara serikat buruh dan majikan menyatakan tidak sah sesuatu aturan yang mewajibkan seorang majikan supaya hanya menerima atau menolak buruh atau mewajibkan seorang buruh supaya hanya bekerja atau tidak bekerja pada majikan dari suatu golongan, baik berkenaan dengan agama, golongan warga negara atau bangsa, maupun karena keyakinan politik atau anggota dari suatu perkumpulan. Bahwasanya serikat buruh harus dibentuk secara sukarela, jadi bebas tekanan majikan, dinyatak an pada Pasal 1 dan Peraturan Menteri Perburuhan tentang Pendaftaran Serikat Buruh. Hak untuk berorganisasi dalam pelbagai perjanjian perburuhan dihargai dengan memberikan pelbagai kelonggaran kepada petugas-petugas tertentu dari serikat buruh untuk melakukan pekerjaan serikat buruh dalam waktu kerja, untuk mengunjungi kongres disediakannya ruang oleh majikan untuk kepentingan serikat buruh dan sebagainya. Dalam tata cara penyelesaian perselisihan perburuhan yang kini berlaku, cukup dijamin perkembangan serta penggunaan bahan perundingan sukarela sehingga perantaraan oleh badan-badan pemerintah baru diberikan setelah ternyata bahwa perundingan sukarela itu menemui kegagalan. Berhubung dengan telah dilaksanakannya asas-asas konvensi Nomor 98 di negara Indonesia, maka konvensi tersebut dapat diratifisir”. (Termasuk Lembaran Negara Nomor 1050)


(32)

pekerja/buruh terutama jika pekerja/buruh terlibat perselisihan yang mengakibatkan

terjadinya PHK.15

PHK terjadi jika pengusaha menghadapi hal-hal :

1. Kesalahan pekerja yang tidak dapat dipertanggung jawabkan lagi;

2. Perusahaan tersebut mengalami penurunan perkembangannya (di ambang

kebangkrutan).

Pekerja dapat pula mengadakan PHK dengan alasan :

1. Karena keinginannya sendiri untuk meminta berhenti dari pekerjaannya;

2. Karena keinginan sendiri disebabkan pindah domisili atau mencari lapangan

kerja lain atau karena memasuki dinas militer dan lain-lain.

Harapan pemerintah agar PHK tidak dilakukan oleh pengusaha terhadap buruhnya, tercantum dalam Pasal 153 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan Pengusaha dilarang melakukan PHK dengan alasan :

1. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan

dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;

2. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi

kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

15


(33)

3. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;

4. Pekerja/buruh menikah;

5. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau

menyusui bayinya;

6. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan

pekerja/buruh lainnya di dalam 1 (satu) perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau PKB;

7. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat

pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau PKB;

8. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai

perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;

9. Karena perbedaan pahan, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan,

jenis kelamin, kondisi fisik atau status perkawinan;

10.Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau

sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

Walaupun lazimnya PHK dilakukan oleh pengusaha terhadap buruhnya, tetapi dalam kehidupan dunia usaha ini tidak jarang pula terjadi bahwa pihak buruh melakukan PHK dengan alasan yang seharusnya menjadi cambuk bagi pengusaha, seperti misalnya karena merasa kesal atau tidak tahan menghadapi pengusaha yang berperilaku kurang baik, sering merendahkan derajatnya, menerima perintah kerja secara terus-menerus tanpa adanya waktu untuk mengaso yang justru tindakan-tindakan atau perilaku pengusaha yang demikian sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Sebaliknya di pihak pengusaha enggan pula untuk melakukan PHK, karena buruh yang telah ada dapat dikatakan sebagai buruh yang telah mempunyai


(34)

pengalaman dalam pelaksanaan kerja di perusahaannya, misalnya baru 1 (satu) atau 2 (dua) bulan, pembinaan terhadap mereka sekedar untuk lebih memantapkan produktivitas kerjanya. Memberhentikan pekerja/buruh yang telah bekerja beberapa bulan di perusahaannya hanya dilakukan karena keterpaksaan, dikarenakan buruh yang bersangkutan walaupun telah sering dinasihati, diberi peringatan, tetap tidak mau mengubah sikap dan perilakunya yang kurang baik, sehingga selalu mengesalkan pengusaha. Hanya saja dalam melakukan PHK karena adanya keterpaksaan tersebut, maka pengusaha yang baik akan tetap memperhatikan ketentuan perundang-undangan atau hukum yang berlaku.

Penanganan perselisihan PHK selama ini (dari tahun 1957) ditangani oleh Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah/Pusat (P4D/P4P) di bawah naungan Departemen/Instansi Ketenagakerjaan, sedangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) yang ditetapkan tanggal 14 Januari 2005, penanganannya dialihkan ke PN. Adapun kasus-kasus yang ditangani adalah kasus-kasus PHK di daerah yang tidak selesai di tingkat perantara. Oleh P4D, kasus-kasus tersebut disidangkan dengan memanggil pihak-pihak yang berselisih, yaitu pengusaha dan pekerja/buruh atau

Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB).16

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang PPHI, disebutkan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) merupakan Pengadilan Khusus yang berada

16


(35)

pada lingkungan peradilan umum (Pasal 55). Pada Pasal 51 ayat (1) disebutkan untuk pertama kali dengan Undang-Undang ini dibentuk PHI pada setiap PN Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota Propinsi yang di daerah hukumnya meliputi propinsi yang bersangkutan. Untuk Propinsi Sumatera Utara ditetapkan pertama kali adalah Kota Medan.

PN seluruh Indonesia sudah melakukan persiapan-persiapan, termasuk PN Medan yang telah mempersiapkan tempat/ruang persidangan di PN dan Bimbingan Teknis (Bimtek) bagi Hakim dari pengadilan dan Hakim Ad-Hoc yang terdiri dari unsur SP/SB dan Organisasi Pengusaha (APINDO) yang telah dilaksanakan di Jakarta, kerjasama Mahkamah Agung (MA) dan Depnakertrans. Untuk PN Medan sementara ditetapkan 3 (tiga) majelis dan mengangkat Panitera Muda dan Panitera Pengganti dari P4D Sumut sesuai dengan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004.

Apabila para pihak yang berselisih melakukan upaya penyelesaian melalui pengadilan, maka di dalam Pasal 55 UU Nomor 2 tahun 2004 yang berhak memeriksa, mengadili dan memutuskan perselisihan hubungan industrial adalah PHI yang merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum. PHI bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus ditegaskan dalam Pasal 56

Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004, meliputi :17

17

Lihat, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.


(36)

1. Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;

2. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;

3. Di tingkat pertama mengenai perselisihan PHK;

4. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar SP/SB dalam 1

(satu) perusahaan.

Dengan dasar alasan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang Peranan Pengadilan Hubungan Industrial Dalam Memberikan Kepastian Hukum Terhadap Perkara Pemutusan Hubungan Kerja (Studi Terhadap Putusan Pemutusan Hubungan Kerja-Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Medan).

B. Rumusan Masalah

Untuk menemukan identifikasi masalah dalam penelitian ini, maka perlu dipertanyakan apakah yang menjadi masalah dalam penelitian yang akan dikaji lebih

lanjut untuk menemukan suatu pemecahan masalah yang diidentifikasi tersebut.18

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukankan sebelumnya, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini, antara lain :

18

Ronny Kountur, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, (Jakarta: PPM, 2003), hal. 35, Bahwa masalah penelitian merupakan suatu pertanyaan yang mempersoalkan keberadaan suatu variable atau mempersoalkan hubungan antara variable pada suatu fenomena. Variabel merupakan suatu arti yang dapat membedakan antara sesuatu dengan yang lainnya. Untuk membedakan antara manusia dalam wujud pria dan wanita dengan manusia dalam wujud yang lulus SD, SMU atau Sarjana, diberikan suatu arti pada wujud pertama di atas sebagai ”jenis kelamin” (variabel pertama) dan kedua sebagai tingkat pendidkan (variabel kedua). Jenis kelamin dan tingkat pendidkan adalah 2 (dua) variabel yang berbeda.


(37)

1. Apakah yang menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya PHK?

2. Bagaimana kompensasi yang diberikan terhadap pekerja/buruh yang di PHK

berdasarkan putusan hakim PHI?

3. Bagaimana peranan hakim PHI dalam memberikan kepastian hukum terhadap

kasus-kasus PHK?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya PHK.

2. Untuk mengetahui dasar hukum yang digunakan hakim PHI dalam

memutuskan kompensasi yang akan diberikan kepada pekerja/buruh yang di PHK.

3. Untuk mengetahui peran hakim PHI dalam memberikan kepastian hukum

terhadap kasus-kasus PHK.

D. Manfaat Penelitian

Bertitik tolak dari tujuan penulisan yang didasarkan pada tujuan penelitian, yaitu :


(38)

”...to discover answers to question throught the application of scientific procedures. These procedures have been developed in order to increase the likelihood that the information gathered will be relevant to the question asked and

will be reliable and unbiased.”19

Dengan terjawabnya permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan serta tercapainya tujuan penelitian tesis ini diharapkan dapat memberikan sejumlah manfaat secara teoritis maupun manfaat secara akademis. Manfaat teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terutama dalam bidang Hukum Perburuhan yang kelak penelitian ini dapat bermanfaat bila timbul suatu perselisihan.

Dalam tataran kegunaan praktis, hasil penelian ini dapat memberikan

masukan bagi para pelaku usaha/pengusaha/majikan dalam mengambil tindakan PHK dapat mengantisipasi dengan baik agar semua yang menjadi hak pekerja/buruh dapat terpenuhi dan di kemudian hari memungkinkan untuk tidak menimbulkan perselisihan perburuhan.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan informasi dan penelusuran terhadap hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis di perpustakaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara baik untuk program studi ilmu hukum maupun program studi

19

Calire Seltz et.al: 1977, seperti dikutip oleh Soerdjono Soekanto, Pengantar Penelitian


(39)

kenotariatan, bahwa belum pernah dilakukan penelitian mengenai Peranan Pengadilan Hubungan Industrial Dalam Memberikan Kepastian Hukum Terhadap Perkara Pemutusan Hubungan Kerja (Studi Terhadap Putusan Pemutusan Hubungan Kerja-Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Medan). Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan, yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Dalam setiap masyarakat, hukum buatan orang itu akan berkembang untuk mengontrol hubungan-hubungan yang terjadi antara anggota-anggotanya. Peraturan-peraturan esensial kalau masyarakat bekerja, dan Peraturan-peraturan-Peraturan-peraturan itu akan dijumpai dalam semua bentuk kegiatan yang bergantung kepada suatu bentuk kerjasama dalam permainan, dalam sekolah, dalam kelompok. Peraturan-peraturan muncul dalam bermacam-macam cara, walaupun dalam kebanyakan hal harus sudah terjadi persetujuan antara paling sedikit beberapa anggota masyarakat bahwa peraturan-peraturan itu diinginkan. Apabila seseorang atau beberapa orang yang mempunyai kekuasaan dalam masyarakat melaksanakan peraturan-peraturan, maka


(40)

peraturan-peraturan tersebut akan memperoleh status sebagai ”hukum” dalam arti kata diterima secara umum.20

Apabila pemerintah yang sah mengeluarkan suatu peraturan menurut perundang-undangan yang berlaku, peraturan tersebut ditanggapi sebagai norma yang berlaku secara yuridis sehingga seorang yang tidak patuh terhadap peraturan tersebut dapat dikritik kelakuannya, bahkan dapat dituntut hukuman melalui pengadilan. Hal

tersebut dikatakan bahwa hukum bersifat normatif.21 Hukum ditanggapi sebagai

kaidah-kaidah (legges, wetten) yang mengatur hidup bersama, yang dibuat oleh instansi yang berwenang dan berlaku sebagai norma.

Menurut Satjipto Rahardjo, hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk manusia dan masyarakat. Berangkat dari situ maka menjalankan hukum tidak dapat dilakukan secara matematis atau dengan cara yang disebut ”mengeja pasal-pasal undang-undang”. Dengan meneruskan pendapat Radburch, maka dalam hukum tidak hanya ada 1 (satu) logika, yaitu logika hukum, melainkan juga logika filosofis dan sosial. Ketiga-tiganya akan selalu berada dalam persaingan satu sama lain.22

20

S. B. Marsh dan J. Soulsby, Op.Cit, hal 1.

21

Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hal. 45, bahwa hukum bersifat normatif tampak dalam perumusan kaidah-kaidah hukum. Bila hukum itu diakui sebagai normatif, diakui bahwa hukum itu mewajibkan dan harus ditaati. Ketaatan itu tidak dapat disamakan dengan ketaatan suatu perintah. Hukum ditaati bukan karena terdapat suatu kekuasaan dibelakangnya, melainkan karena mewajibkan yang merupakan hakikat hukum tersebut.

22

Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Krisis Tentang Pergulatan Manusia


(41)

Dalam sistem hukum yang disebut kontinental, hukum terjalin dengan prinsip-prinsip keadilan, hukum adalah Undang-Undang yang adil. Pengertian hukum ini serasi dengan ajaran filsafat tradisional dimana pengertian hukum yang hakiki

berkaitan dengan arti hukum sebagai keadilan. 23 Pengertian hukum ini sesuai dengan

yang ada pada orang-orang Indonesia bahwa hakikat hukum adalah menjadi sarana bagi penciptaan suatu aturan masyarakat yang adil. Hakikat hukum ialah membawa

aturan yang adil dalam masyarakat (rapport du droit, inbreng van recht).24

Memasuki era reformasi tahun 1998 terjadi perubahan yang sangat mendasar di bidang ketenagakerjaan, diawali dengan diratifikasinya oleh Indonesia konvensi ILO Nomor 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 1998. Sebelumnya pada masa orde baru tidak terdapat kebebasan berserikat karena hanya dikenal 1 (satu) organisasi pekerja /buruh (single union), menjadi lebih dari 1 (satu) organisasi

pekerja/buruh (multi union) pada masa reformasi. 25 Dengan diberikannya kebebasan

23

Theo Huijbers, Op. Cit, hal. 71, bahwa hukum bersifat etis, sebab harus digabungkan dengan keadilan, seperti yang sudah dikemukakan oleh para tokoh filsafat Yunani : Sokrates, Plato dan Aristoteles, yang kemudian dipertahankan dalam sistem hukum Romawi yang membedakan antara hukum sebagai ius dan hukum sebagai lex. Hukum Romawi itu dengan tanggapan-tanggapan fundamentalnya menjadi sumber utama hukum perdata Eropa Kontinental. Apabila telah ditetapkan secara prinsipil bahwa undang-undang hanya dapat disebut hukum dan karenanya mewajibkan, bila sungguh-sungguh adil, jangan ditarik kesimpulan bahwa tiap-tiap orang pada tiap-tiap saat dapat menilai Undang-Undang sebagai tidak adil, dan karenanya tidak sah. Menurut para pemikir yang menuntut supaya Undang-Undang adil untuk dapat disebut hukum, selalu harus diandaikan bahwa Undang-Undang yang dibentuk oleh instansi yang berwenang adalah adil dan sah,asal saja dasarnya sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan.

24

Ibid, hal. 77.

25


(42)

berserikat dan menyampaikan pendapat secara terbuka (transparan), hal yang tabu pada masa lalu, para pekerja merasa telah memiliki kembali haknya untuk berserikat, maka berdirilah SP/SB di Indonesia bagaikan jamur di musim hujan.

Kondisi perekonomian yang terpuruk telah memaksa pemerintah dan dunia usaha untuk lebih kreatif dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif agar mampu membuka peluang investasi baru dan atau mempertahankan/memajukan usaha-usaha yang telah ada. Melalui berbagai regulasi, pemerintah telah menciptakan perangkat hukum bagi berkembangnya investasi melalui dunia usaha. Di sisi lain, pengusaha juga berupaya untuk menangkap setiap peluang bisnis yang ada, baik melalui pemanfaatan berbagai kemudahan usaha yang diberikan pemerintah maupun melalui upaya-upaya internal, misalnya melakukan efisiensi untuk menghemat biaya operasional.

Menurut Erman Rajagukguk, bahwa penyebab lain krisis ekonomi selain sistem hukum adalah disebabkan penurunan dalam disiplin pasar (market dicipline) atau sikap aji mumpung (moral hazard) di berbagai sektor baik ekonomi, politik dan

permasalahan moral hazard itu sudah cukup luas dan mendalam. 26 Untuk membuat

sistem hukum yang efektif harus ditujukan pula untuk mengurangi moral hazard yang berarti sekaligus untuk mengatasi krisis ekonomi. Kalau diperhatikan lebih jauh hukum yang melandasi pembangunan ekonomi masih kurang berfungsi dan

26

Erman Rajagukguk, Peranan Hukum Di Indonesia: Menjaga Persatuan, Memulihkan

Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, Pidato disampaikan pada Dies Natalis dan Perigatan


(43)

menyebabkan kurang memberi kepastian hukum. Hukum yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen akan memberikan keadilan dan kepastian hukum yang menjadi tujuan dari hukum itu sendiri. Faktor pendidikan baik moral maupun akademis adalah sangat penting untuk memperbaiki budaya hukum di negara berkembang, misalnya Indonesia.

Serangkaian peraturan yang merupakan sumber hukum yang berkaitan dengan hukum perburuhan/hukum ketenagakerjaan bukannya terkodifikasi dalam satu buku, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tetapi tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam era tahun 2000-an ada 3 (tiga) peraturan perundang-undangan yang dapat dikategorikan sebagai sumber hukum ketenagakerjaan, antara lain :

1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh

(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3889);

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran

Negara Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279);27

27

Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal.3, bahwa dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 ini mencabut 15 (lima belas) ordonansi, yaitu:

a.Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk melakukan Pekerjaan di Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8);

b.Ordonansi tanggal 17 desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak dan Kerja Malam bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Mo. 647);


(44)

3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Undang-Undang ini mencabut :

a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian

Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227); dan

c.Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak-Anak dan Orang Muda di Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);

d.Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk mengatur Kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun1936 Nomor 208);

e.Ordonansi tentang Pemulangan Buruh yang Diterima atau Dikerahkan dari Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);

f.Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-Anak (Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8);

g.Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2);

h.Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 589a);

i. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8);

j. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270);

k.Undang-Undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) di Perusahaan Jawatan dan Badan yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67);

l. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912); m. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun

1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702);

n.Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791); dan

o.Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042).


(45)

b. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686);

Selain peraturan-peraturan tersebut, ada lagi sumber hukum tertulis yang datangnya dari para pihak yang terikat dalam hubungan kerja, yaitu :

1. Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh

pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan;

2. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau

pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak;

3. Perjanjian Kerja Bersama (PKB) adalah perjanjian yang merupakan hasil

perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban kedua belah pihak.28

Salah satu regulasi yang banyak mendapat sorotan adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Meskipun Undang-Undang tersebut sebagian besar merupakan pembaharuan atau perpanjangan dari Undang-Undang

28


(46)

Ketenagakerjaan yang lama, namun karena memuat beberapa ketentuan baru banyak mengundang perdebatan menyangkut kepentingan buruh dan pengusaha. Masalah ketenagakerjaan ini tak kalah penting karena merupakan salah satu sub sistem dari sistem sosial ekonomi dan selalu menarik untuk dibahas karena menyangkut kepentingan rakyat banyak, dimana lebih kurang 50 % penduduk Indonesia masuk dalam kategori angkatan kerja yang berusia 15 tahun ke atas dan sebagian besar diantaranya masuk kelompok usia kerja yang potensial untuk bekerja (labour

force)

Antara majikan/pengusaha dengan pekerja/buruh membuat suatu perjanjian kerja yang mana perjanjian ini mempunyai manfaat yang besar bagi para pihak yang membuatnya. Hal ini disadari karena dengan perjanjian kerja yang dibuat dan ditaati dengan itikad baik dapat menciptakan suatu ketenangan kerja dan memberikan jaminan kepastian hak serta kewajiban bagi para pihak. Pada dasarnya setiap perjanjian harus memenuhi unsur syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, ya

.29

itu adanya kesepakatan, adanya kecakapan, suatu hal tertentu, dan sebab yang halal.

Perjanjian kerja tanpa adanya kesepakatan para pihak atau salah satu pihak tidak mampu atau tidak cakap melakukan perbuatan hukum, maka perjanjian kerja tersebut dapat dibatalkan. Sebaliknya, jika dibuat tanpa adanya pekerjaan yang

29

Sehat Damanik, Outsourcing Dan Perjanjian Kerja Menurut UU Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan sebagai Penuntun Untuk Merencanakan-Melaksanakan Bisnis Outsourcing Dan Perjanjian Kerja, (Jakarta: DSS Publishing, 2007), hal.1.


(47)

diperjanjikan dan pekerja yang diperjanjikan tersebut bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka perjanjian tersebut batal dem

agi menjadi 2 (dua) macam:

1.

Pasal 60 Undang-erjaan.

2.

i hukum.

Berdasarkan jangka waktunya perjanjian kerja dib

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Perjanjian kerja ini diatur dalam Pasal 56 sampai dengan Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagak

Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)

Perjanjian kerja ini tersurat pada Pasal 1603 q ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa lamanya hubungan kerja tidak ditentukan baik dalam perjanjian atau peraturan majikan maupun dalam peraturan perundang-undangan atau pula menurut kebiasaan, maka hubungan kerja itu dipandang diadakan untuk waktu tertentu. Selanjutnya PKWTT dinyatakan dalam Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

Dalam kehidupan sehari-hari PHK antara pekerja/buruh dengan pengusaha

dapat terjadi karena telah berakhirnya waktu tertentu yang telah

disepakati/diperjanjikan sebelumnya dan dapat pula terjadi karena adanya perselisihan antara pekerja/buruh dan pengusaha, meninggalnya pekerja/buruh atau karena sebab lainnya. Dalam praktek, PHK terjadi karena berakhirnya waktu yang


(48)

telah ditetapkan dalam perjanjian kerja, tidak menimbulkan permasalahan terhadap kedua belah pihak (pekerja/buruh maupun pengusaha) karena pihak-pihak yang bersangkutan sama-sama telah menyadari atau mengetahui saat berakhirnya hubungan kerja tersebut sehingga masing-masing telah berupaya mempersiapkan diri

dalam menghadapi kenyataan itu.30 Berbeda halnya dengan pemutusan yang terjadi

karena adanya perselisihan, keadaan ini akan membawa dampak terhadap kedua belah pihak lebih-lebih pekerja/buruh yang dipandang dari sudut ekonomis mempunyai kedudukan yang lemah jika dibandingkan dengan pihak pengusaha, karena PHK bagi pihak pekerja/buruh akan memberi pengaruh psikologis, ekonomis

keluarganya sebelum mendapat pekerjaan yang baru sebagai penggantinya.

dan finansial, sebab :

1. Dengan adanya PHK, bagi pekerja/buruh telah kehilangan mata pencaharian;

2. Untuk mencari pekerjaan yang baru sebagai penggantinya, harus banyak

mengeluarkan biaya (biaya keluar masuk perusahaan, disamping biaya-biaya lain seperti surat-surat untuk keperluan lamaran dan fotokopi surat-surat lain);

3. Kehilangan biaya hidup untuk diri dan

Jika PHK terjadi disebabkan karena adanya perselisihan, maka peranan SP/SB sangat besar untuk melindungi buruh dan menangani perselisihan yang terjadi

30


(49)

di perusahaan.31 Apabila terjadi perselisihan industrial, setiap pengusaha dan pekerja atau SP/SB bersama-sama harus menyelesaikan perselisihan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat. Adanya pelanggaran terhadap hak normatif pekerja/buruh, SP/SB dapat mengadukan hal tersebut kepada Disnaker guna dilaksanakannya perundingan. Namun, jika ternyata melalui perundingan yang telah

ya SP/SB ini pada hakekatnya sangat menguntungkan karena

32

elisihan

dilakukan tidak mencapai kesepakatan, pihak yang berselisih dapat menempuh jalur penyelesaian melalui pengadilan atau jalur di luar pengadilan.

Kalau ditinjau dari segi hukum terutama yang menyangkut ketertiban, keamanan dan ketenangan kerja dalam perusahaan, baik bagi buruh maupun bagi pengusaha adanya SP/SB dalam perusahaan adalah sangat bermanfaat. Bagi pekerja/buruh adanya SP/SB ini merupakan kemanunggalan suara buruh dalam perusahaan, kemanunggalan usaha dan perbuatan yang tertib dan teratur agar perlindungan dan perbaikan dapat tercapai dengan penuh keberhasilan, sedangkan bagi pengusaha, adan

dapat membantu dalam penyusunan lembaga musyawarah untuk mencapai kesepakatan kerja.

Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tidak mencabut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang PHK di Perusahaan Swasta karena Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 merupakan hukum formal atau cara penyelesaian pers

31

Thoga. M. Sitorus, Op.Cit, hal. 73.

32

G. Kartasapoetra, dkk, Hukum Perburuhan Di Indonesia Berlandaskan Pancasila, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985), hal. 202.


(50)

PHK di perusahaan swasta. Undang tersebut baru dicabut dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 hanya mengatur masalah PHK di

dalam Pasal 150 ditentukan bahwa ketentuan mengenai PHK yang diatur dalam Undang-Undang tersebut meliputi PHK yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, m

perusahaan swasta, sedangkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tersebut

aupun usaha-usaha sosial dan

kan salah satu perwujudan riil dari pemberian mpen

dalam wilayah kekuasaan kehakiman yang usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Dengan terjadi PHK terhadap pekerja/buruh, maka timbul permasalahan lain yaitu mengenai upah. Upah merupa

ko sasi. Bagi perusahaan, upah adalah perwujudan dari kompensasi yang paling

besar diberikan kepada tenaga kerja.

Apabila terjadi perselisihan PHK, penanganannya berada di PHI. Lembaga peradilan perburuhan/hubungan industrial ini menjadi penting karena realitas menunjukkan perselisihan antara pekerja/buruh dan pengusaha sulit dihindari. Untuk itulah kehadiran lembaga PHI yang berada


(51)

dapat m

Untuk dapat menyelesaikan suatu sengketa atau perkara, hakim harus mengetahui

ktian. Setelah suatu peristiwa dinyatakan terbukti,

hakim harus m 34

karena suatu hal tertentu yang

enyelesaikan sengketa sesuai dengan prinsip peradilan cepat, murah dan biaya ringan sangat didambakan.33

Hakim memegang peranan penting dalam menegakkan hukum dan keadilan.

terlebih dahulu secara lengkap dan objektif tentang duduk perkara yang sebenarnya dapat diketahui dari proses pembu

enemukan hukum dari peristiwa yang disengketakan.

2. Landasan Konsepsional

Agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami istilah atau konsep yang dipergunakan, maka dapat diberikan definisi operasional sebagai berikut :

a. PHK adalah pengakhiran hubungan kerja

mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.35

b. Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian yang dibuat antara pekerja dengan

majikan/pengusaha dengan objeknya pekerjaan.36

33

Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan & Di

Luar Pen : PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 26.

Bagi Pekerja Untuk

Memper g: PT. Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 67.

gadilan, (Jakarta 34

Ibid, hal. 116.

35

Pasal 1 Angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

36

Darwan Prinst, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Buku Pegangan


(52)

c. Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan

memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.37

d. Pengadilan Negeri adalah pengadilan tingkat 1 (satu) yang berwenang untuk

balas jasa yang diberikan oleh

lah ditetapkan.39

rena tidak adanya

oleh salah satu pihak.40

41

MA

yang pengangkatannya atas ususl SP/SB dan organisasi pengusaha.42

memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang berkedudukan di Kabupaten/Kota dengan daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota tersebut.38

e. Kompensasi adalah imbalan jasa atau

perusahaan kepada para tenaga kerja, karena tenaga kerja tersebut telah memberikan sumbangan tenaga dan pikiran demi kemajuan perusahaan guna mencapai tujuan yang te

f. Perselisihan PHK adalah perselisihan yang timbul ka

kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan

g. Hakim adalah hakim karier PN yang ditugasi pada PHI.

h. Hakim Ad-Hoc adalah hakim Ad-Hoc pada PHI atau hakim Ad-Hoc pada

37

Lalu Husni, Op. Cit, hal.16.

38

Ibid, hal. 11.

39

Siswanto Sastrohadiwiryo, Op.Cit, hal. 181.

40

Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004.

41


(53)

i. Hakim Kasasi adalah hakim agung dan hakim Ad-Hoc pada MA yang

berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap PHI.43

j. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan

bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, m

untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang

embela serta melindungi hak dan kepentingan

k. Perundingan Bipartit adalah Forum komunikasi dan konsultasi mengenai

hal-kat pekerja/serihal-kat buruh yang sudah

u warah

h ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur

organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pemerintah.46

G. Metode Penelit

pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.44

hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di 1 (satu) perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha, seri

tercatat instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.45

l. Perundingan Tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan m sya

tentang masala

ian

42

Pasal 1 Angka 19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004.

43

Pasal 1 Angka 20 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004.

44

Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004.

45

Pasal 1 Angka 18 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

46


(54)

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan penelitian yang bersifat deskriptif analitis, yaitu penelitian ini hanya untuk menggambarkan tentang situasi

membatasi kerangka studi kepada suatu analisis terhadap hukum dan peraturan atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dengan

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan tesis ini adalah metode

, yaitu penelitian yang menganalisis hukum baik yang rtulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang mengenai ketenagakerjaan dan perselisihan perburuhan serta berusaha untuk memaparkan bagaimana peranan hakim PHI dalam memberikan kepastian hukum terhadap perkara PHK dengan menganalisis dari putusan-putusan PHK yang ada.

yuridis normatif yang bersifat kualitatif. Metode penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam

peraturan perundang-undangan.47 Dalam penelitian yuridis normatif yang

dipergunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam perangkat hukum.

Ronald Dworkin menyebut penelitian semacam ini sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research)

te

47

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 14.


(55)

diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is decides by the judge

through judicial process)48

2. Pendekatan Penelitian

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan m

melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi ng telah mempunyai kekuatan yang tetap. Yang menjadi kajian pokok

ai kepada suatu keputusan.49 .

endapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Tesis ini sendiri akan menggunakan metode pendekatan kasus (case approach).

Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara

putusan pengadilan ya

didalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan untuk samp

3. Sumber Data

48

Pendapat Ronald Dworkin, sebagaimana dikutip dari Bismar Nasution, Metode Penelitian

Hukum Normatif Dan Perbandingan Hukum, Makalah, Disampaikan pada Dialog Interaktif tentang

Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, 18 Februari 2003, hal. 1.

49

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hal. 94, menurut Goodheart, ratio decidendi dapat diketemukan dengan memperhatikan fakta materiil. Fakta-fakta tersebut berupa orang, tempat, waktu dan segala yang menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya. Ratio decidendi inilah yang menunjukkan bahwa ilmu hukum bersifat preskriftif. Di dalam hukum Indonesia yang menganut civil law sistem, ratio decidendi tersebut dapat dilihat pada konsiderans ”Menimbang” pada ”Pokok Perkara”. Tidak dapat disangkal bahwa tindakan hakim untuk memberikan alasan-alasan yang mengarah kepada putusan merupakan tindakan yang kreatif. Ratio tersebut bukan tidak mungkin merupakan pilihan dari berbagai kemungkinan yang ada. Ratio dapat diketemukan dengan memperhatikan fakta materiil dan putusan yang didasarkan atas fakta itu.


(56)

Adapun sumber-sumber penelitian hukum yang digunakan didalam tesis ini, terdiri dari :

1. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif artinya

mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari aturan hukum yang terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan

tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau ap bahan hukum primer dan bahan hukum

hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi hasil

4.

a. P

hukum, artikel-artikel, pendapat para sarjana, dan bahan-bahan lainnya. dan putusan-putusan hakim.

2. Bahan hukum sekunder berupa buku-buku teks, hasil-hasil penelitian, majalah

dan jurnal-jurnal ilmiah dan pendapat sarjana yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini.

3. Bahan hukum

penjelasan bermakna terhad

sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum dan bahan-bahan diluar bidang

penelitian ini.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan bahan hukum penelitian dilakukan dengan cara:

enelitian kepustakaan (library research), yaitu meneliti sumber bacaan yang berhubungan dengan topik dalam tesis ini, seperti : buku-buku hukum, majalah


(1)

Ketenagakerjaan dalam Pasal 156. Selain itu jumlah kompensasi upah telah disesuaikan dengan ketentuan UMP/UMK di Sumatera Utara. Akan tetapi, terhadap 2 putusan hakim, yakni dalam Perkara No. 92/G/2006/PHI Medan mengenai ketentuan UMP/UMK 2005 di Sumatera Utara berbeda dengan ketentuan UMP/UMK 2005 dalam perkara No. 147/G/2007/PHI Medan, dimana UMP/UMK 2005 dalam perkara No. 92/G/2006/PHI Medan sebesar Rp 600.000,-/bulan, sedangkan ketentuan UMK/UMP 2005 dalam perkara No. 147/G/2007/PHI Medan sebesar Rp 640.000,-/bulan. Diharapkan bagi hakim PHI untuk lebih teliti lagi, sebab hal ini bisa saja menimbulkan kebingungan bagi pihak-pihak yang membaca putusan-putusan tersebut, bisa saja hal tersebut disebabkan karena salah pengetikan ataupun jumlahnya yang keliru.

3. Hendaknya peranan hakim PHI dalam memberikan kepastian hukum dapat terlaksana dalam setiap putusan-putusannya. Akan tetapi, diharapkan dalam putusan juga terdapat nilai keadilan dan kemanfaatan, sehingga pada akhirnya dapat menjadi suatu sistem penegakan hukum yang individu didalamnya adalah seorang hakim.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Affandi, Wahyu, Hakim Dan Penegakan Hukum, Bandung: Alumni, 1984.

Anwar, Saiful, Sendi-Sendi Hubungan Pekerja Dengan Pengusaha, Medan: Kelompok Studi Hukum Dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 1991.

Arrasjid, Chainur, Pengantar Ilmu Hukum, Medan: Yani Corporation, 1988.

Asikin, Zainal, dkk, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Jakarta: PT. RajaGarfindo Persada, 1994.

Asyhadie, Zaeni, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007.

Budiono, Herliene, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006.

Damanik, Sehat, Hukum Acara Perburuhan, Menyelesaikan Perselisihan Hubungan Industrial Menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 Disertai Contoh Kasus, Jakarta: DSS Publishing, 2006.

---, Outsourcing Dan Perjanjian Kerja Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Sebagai Penuntun Untuk Merencanakan-Melaksanakan Bisnis Outsourcing Dan Perjanjian Kerja, Jakarta: DSS Publishing, 2007.

Djumialdji, F.X., Perjanjian Kerja, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2005.

Halim, A. Ridwan & Sri Subiandini Gultom, Sari Hukum Perburuhan Aktual, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1987.

Halim, A. Ridwan, Hukum Perburuhan Dalam Tanya Jawab, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.

Harahap, Yahya, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Perkara Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.


(3)

Husni, Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001.

---, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan & Di Luar Pengadilan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004.

Kartasapoetra, G., dkk, Hukum Perburuhan Di Indonesia Berlandaskan Pancasila, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985.

Khakim, Abdul, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003, Bandung: PT. Alumni, 2003.

Kountur, Ronny, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, Jakarta: PPM, 2003.

Manan, Bagir, Sistim Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), Yogyakarta: FH UII Press, 2005.

Marsh, S.B. & J. Soulsby, alih bahasa Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Bandung: PT. Alumni, 2006.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005.

Mertokusumo, Sudikno & A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993.

---, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2006.

M. Sitorus, Thoga, Masalah Ketenagakerjaan Di Indonesia Dan Daerah (Pasca Reformasi), Medan: Bina Media Perintis, 2007.

Nasution, Bahder Johan, Hukum Ketenagakerjaan, Kebebasan Berserikat Bagi Pekerja, Bandung: CV. Mandar Maju,2004.

Prinst, Darwan, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Buku Pegangan Bagi Pekerja Untuk Mempertahankan Hak-Haknya), Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994.

Rahardjo, Satjipto, Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Krisis Tentang Pergulatan Manusia Dan Hukum, Jakarta: Kompas, 2007.


(4)

Sastrohadiwiryo, B. Siswanto, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, Pendekatan Administratif dan Operasional, Jakarta: PT. Bina Aksara, 2005.

Sidabutar, Edy Sutrisno, Pedoman Penyelesaian PHK, Jakarta: Praninta Offset, 2007.

Soekanto, Soerdjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986.

Soekanto, Soerdjono & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Soepomo, Iman, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta: Djambatan, 2001.

Suprihanto, John, Hubungan Industrial Sebuah Pengantar, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2002.

Toha, Halili dan Hari Pramono, Hubungan Kerja Antara Majikan Dan Buruh, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987.

Winarni, F., dan G. Sugiyarso, Administrasi Gaji Dan Upah, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006.

B. Makalah

Nasution, Bismar, ”Metode Penelitian Hukum Normatif Dan Perbandingan Hukum”, Makalah disampaikan pada dialog interaktif tentang penelitian hukum dan hasil penulisan hukum pada majalah akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003.

Rajagukguk, Erman, ”Peranan Hukum Di Indonesia Menjaga Persatuan, Memulihkan Ekonomi Dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, Pidato disampaikan pada Dies Natalis Dan Peringatan Tahun Emas Universitas Indonesia (UI), Depok, Tanggal 5 Februari 2000.


(5)

C. Diktat Kuliah

Lubis, M. Solly, ”Teori Hukum”, Diktat diberikan pada mata kuliah Teori Hukum Pada Program Studi Ilmu Hukum, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, 2006.

D. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata/Burgerlijk Wetboek)

Republik, Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945

Republik, Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh

Republik, Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Republik, Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Covention Nomor 81 Concerning Labour Inspection In Industry And Commerce (Konvensi ILO Nomor 81 mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan)

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Republik, Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Yang Diterima Oleh Pekerja Sampai Dengan Sebesar Upah Minimum Propinsi atau Upah Minimum Kabupaten/Kota

Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor KEP-105/MEN/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja Dan Ganti Kerugian Di Perusahaan

Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor KEP-171/MEN/2000 tentang Perbaikan Penulisan Pada Pasal 1 Angka 12 dan Pasal 18 Ayat (1) Huruf g, h dan i Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Penyelesaian Pemutusan Hubungan


(6)

Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan

Kumpulan Keputusan Dan Peraturan Terkait Dengan Penyelesaian Hubungan Industrial, terdiri atas: Keputusan Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial Nomor KEP.01A/DPHI/I/2005, Keputusan Menteri Mo. KEP.92/MEN/VI/2004, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor PER. 01/MEN/XII/2004, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor PER.02/MEN/I/2005, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2004, Semarang: Effhar Offset,2006.


Dokumen yang terkait

Prosedur Pengajuan PHK Melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Studi Atas Putusan UU Nomor 2 Tahun 2004

3 65 95

PERAN HAKIM AD HOC PADA PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (Studi pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang)

0 17 49

PENULISAN HUKUM/ SKRIPSITINJAUAN YURIDIS PROSES PENYELESAIAN SENGKETA TINJAUAN YURIDIS PROSES PENYELESAIAN SENGKETA PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA PADA PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (Analisis Putusan Pengadilan Hubungan Industrial No. 4/ G/ 2010/

0 4 15

PENDAHULUAN TINJAUAN YURIDIS PROSES PENYELESAIAN SENGKETA PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA PADA PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (Analisis Putusan Pengadilan Hubungan Industrial No. 4/ G/ 2010/ PHI.YK).

0 3 17

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PADA PENGADILAN NEGERI PADANG.

0 0 7

PERLINDUNGAN HUKUM TERAHADAP PEKERJA DALAM PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA OLEH PT. BUANA AGUNG LESTARI INDAH INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Denpasar Nomor: 05/PHI/2013/PN.DPS).

0 4 73

STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PADA PENGADILAN NEGERI BANDUNG NOMOR: 90/G/2012/PHI/PN.Bdg TENTANG PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA ANTARA DEWI YANTI DENGAN PT JAKARAN.

0 1 1

KEDUDUKAN SERIKAT PEKERJA SEBAGAI KUASA HUKUM DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL KARENA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA MELALUI PENGADILAN.

0 1 13

PELUANG MEDIASI DI PENGADILAN TERHADAP PERKARA PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

0 0 7

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL SEMARANG TENTANG PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (STUDI KASUS TENTANG PUTUSAN PERKARA NOMOR 27/PDT.S

0 0 12