Nn

(1)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan usaha yang terencana untuk mewujudkan proses pembelajaran agar peserta didik dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Pendidikan merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh suatu bangsa untuk meningkatkan taraf hidupnya agar tidak tertinggal dengan bangsa lain.

Setiap warga Negara wajib ikut serta dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa agar salah satu tujuan Negara Indonesia tercapai. Berdasarkan visi dalam sistem pendidikan nasional yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi daerah dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk mewujudkan amanat tersebut, maka pada pasal 53 sistim pendidikan nasional No.20 Tahun 2003 mewajibkan penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk Badan Hukum Pendidikan yang berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.

Penyelenggaraan Badan Hukum Pendidikan merupakan implementasi dari tanggungjawab pemerintah dan bukan dimaksudkan untuk mengurangi atau


(2)

menghindari dari kewajiban Negara dibidang pendidikan sehingga memberatkan masyarakat dan atau peserta didik. Meskipun demikian pemerintah daerah dan masyarakat dapat memberikan bantuan sumber daya pendidikan kepada Badan Hukum Pendidikan (Pasal 41 ayat 2).

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung seluruh biaya pendidikan untuk Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP) dan Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD) dalam menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan.

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah menanggung paling sedikit 1/3 biaya operasional pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah. Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung paling sedikit 1/2 biaya operasional pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi. Pro kontra Undang-undang Badan Hukum Pendidikan ini terdapat dalam pasal 41 ayat (8) dan (9) karena dalam pasal 41 ayat (8) disebutkan bahwa biaya yang harus ditanggung oleh peserta didik pada pendidikan menengah adalah 1/3 dari biaya operasional, sedangkan ayat (9) dijelaskan biaya yang harus ditanggung peserta didik pada pendidikan tinggi adalah 1/2 dari biaya operasional. Hal ini secara otomatis mengakibatkan SPP semakin mahal dan pendidikan gratis yang diharapkan mahasiswa hanya akan menjadi impian saja.


(3)

Disahkannya Undang-undang Badan Hukum Pendidikan pada 17 Desember 2008 menuai berbagai pro dan kontra di berbagai kalangan terutama kalangan pendidikan. Mereka yang pro mengatakan bahwa setiap peraturan yang di buat pasti ada nilai-nilai positifnya. Nilai positif itu seperti, apabila semua Perguruan Tinggi melaksanakan peraturan tersebut maka Perguruan Tinggi tersebut akan memberikan pelayanan yang adil dan meningkatkan kualitas mutu pendidikan kepada peserta didik. Sedangkan yang kontra mengatakan bahwa apabila Undang-undang Badan Hukum Pendidikan benar-benar dilaksanakan maka secara otomatis biaya pendidikan juga akan semakin mahal.

Pendapat yang pro :

1. Mahasiswa miskin mendapat akses lebih banyak ke PTN karena UU BHP mewajibkan PTN untuk memberikan beasiswa kepada 20 persen dari jumlah keseluruhan mahasiswa. Hal ini tercantum dalam pasal 46 ayat 1 UU BHP

2. Posisi tertinggi dalam struktur perguruan tinggi tidak lagi berada pada pemerintah, rektor ataupun yayasan namun pada majelis wali amanah yang beranggotakan berbagai pemangku kepentingan seperti pemilik, akademisi dan masyarakat sehingga tidak ada lagi kesewenang-wenangan oleh pemilik ketika mengambil keputusan strategis dan operasional.

3. Laporan keuangan perguruan tinggi dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat setelah diaudit oleh kantor akuntan publik sehingga masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam pengawasan.


(4)

Pendapat yang kontra :

1. UU BHP menganggap pendidikan adalah produk bisnis dan berpotensi besar menimbulkan konflik karena substansi pendidikannya sangat minim dan cenderung melihat pendidikan sebagai sebuah corporate.

2. Pendukung UU BHP teriming-iming angin surga bahwa bila UU BHP diberlakukan, gaji mereka akan melonjak naik. Padahal UU BHP adalah contoh lain kegagalan pemerintah dalam menginplementasikan amanat Pembukaan UUD 1945 bahwa salah satu tugas negara adalah mencerdaskan bangsa.

3. UU BHP membuat liberalisasi pendidikan, karena lembaga pendidikan diminta mandiri. Dengan demikian UU BHP bertentangan dengan UUD 1945 karena di UU BHP disebutkan masyarakat ikut menanggung biaya pendidikan. Padahal, pendidikan seharusnya ditanggung pemerintah. Sehingga UU BHP membuat mahasiswa menjadi korban dan rakyat miskin tidak bisa mengenyam pendidikan.

4. UU BHP akan membuat biaya pendidikan semakin mahal dan tidak terakses oleh sebagian lapisan masyarakat.

Pro kontra Undang-undang Badan Hukum Pendidikan. Jumat 4 Desember 2009. http://gregor.web.id/2008/12/pro-kontra-undang-undangbadan-hukum


(5)

Tabel 1.Daftar nama responden pada wawancara observasi di Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan

No Nama Mahasiswa Angkatan Pendapat

1 Emi Meiriyati 2007 Peraturan yang di buat

dijalankan terlebih dulu baru lihat hasilnya

2 Ismi Sujastika 2007 Komersialisasi lembaga

pendidikan

3 Reni Febrianti 2008 SPP semakin mahal 4 Putri Nurul Fajri Rodja 2008 Komersialisasi pendidikan

5 Berta Desiani 2007 SPP mahal

6 Nurbaiti 2008 Belum paham

7 Umi Hoiriyana 2007 SPP semakin mahal

8 Evi 2008 Belum paham

9 Eko Taryono 2008 Komersialisasi pendidikan

10 Evi Yustiana 2007 SPP mahal

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan penulis, responden dapat dilihat pada tabel di atas, diketahui bahwa rata-rata mahasiswa tidak menyetujui adanya Undang-undang Badan Hukum Pendidikan hal ini disebabkan karena dengan adanya Undang-undang tersebut maka pendidikan gratis hanya akan menjadi impian saja sebab SPP akan semakin mahal dan terjadi komersialisasi di lembaga pendidikan.

Seperti yang diungkapkan beberapa mahasiswa yang mengatakan tidak setuju apabila Undang-undang Badan Hukum Pendidikan disahkan karena kalau pemerintah hanya menanggung 1/2 biaya operasional itu berarti biaya kuliah akan semakin mahal. Meskipun Badan Hukum Pendidikan menyediakan


(6)

anggaran untuk membantu peserta didik tapi apakah akan benar-benar terealisasi sedangkan sekarang saja pemerintah menanggung sepenuhnya masih ada peserta didik yang kurang mampu tidak mendapatkan beasiswa apalagi nanti kalau Undang-undang Badan Hukum Pendidikan dilaksanakan tambahnya. Sedangkan mahasiswa yang pro mengutarakan bahwa setiap peraturan yang dibuat oleh pemerintah pasti mempunyai tujuan yang positif tinggal bagaimana menjalankannya.

Demikian juga yang tercantum dalam jurnal nasional yang menyebutkan bahwa ratusan mahasiswa Universitas Indonesia berunjuk rasa menentang penerapan Biaya Operasional Pendidikan-Berkeadilan (BOP-B) dan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan. Pasalnya Undang-undang Badan Hukum Pendidikan mampu mengubah institusi pendidikan sebagai komoditas semata. Bagi kami pendidikan gratis hanya impian,” kata ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI.Edwin Nafsa Naufal, di kampus UI Depok, Jumat (19/12/08).

Dalam aksinya, sebanyak 300 mahasiswa melakukan aksi tidur di jalan. Sedangkan para mahasiswi mengumandangkan lagu Gugur Bunga sebagai simbol matinya sistim pendidikan yang berkeadilan di Indonesia. Menurut Edwin, kekhawatiran mahasiswa muncul setelah Rektor UI Gumilar Rusliwa Somantri menyatakan mendukung UU BHP. Secara teknis, kata Edwin, 20 persen dana APBN digunakan untuk pendidikan. Dengan adanya UU BHP, akan terjadi otonomi kampus. Artinya, pihak internal kampus akan mencari sumber pembiayaan mandiri yang mengarah pada komersialisasi pendidikan. Salah satu caranya, kata dia, dengan memperbanyak jalur masuk mandiri UI. (Iskandar Haji, Jurnal Nasional, 20 Desember 2008, hal.11).


(7)

Menurut Komisi Nasional Perlindungan anak (2007), sebanyak 33,9 juta anak Indonesia dilanggar hak pendidikannya, 11 juta anak usia 7-8 tahun buta huruf dan sama sekali belum pernah mengecap bangku sekolah serta sisanya putus sekolah. Bila dirinci lagi ada 4.370.492 anak putus sekolah dasar dan 18.296.332 anak putus sekolah menengah pertama.

Adapun 11 juta sisanya (lebih dari 30%) anak buta huruf karena tidak pernah bersekolah. Bahkan, hanya 70,85 persen masyarakat miskin di Indonesia mendapatkan akses pendidikan sampai pada jenjang pendidikan menengah saja, sementara kelompok kaya mencapai 94,58 persen (Susenas, 2004). Dengan disahkannya Undang-undang Badan Hukum Pedidikan maka akan semakin menghambat akses pendidikan bagi kaum miskin.

Dalam draf terakhir yang disahkan pada 17 Desember 2008 lalu, pasal-pasal tentang pendanaan pendidikan oleh BHP diarahkan untuk memperkuat peran negara dalam pembiayaan pendidikan. Khusus untuk pendanaan pendidikan bagi BHPP dan BHPPD, pemerintah dan pemerintah daerah menanggung paling sedikit 1/3 biaya operasional untuk pendidikan menengah dan paling sedikit 1/2 biaya operasional untuk pendidikan tinggi (Pasal 41 ayat 4 dan 6).

Biaya penyelenggaraan pendidikan yang ditanggung oleh peserta didik dalam BHPP dan BHPPD paling banyak 1/3 dari biaya operasional. Peserta didik yang ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan harus menanggung biaya tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik, orang tua, atau pihak yang bertanggungjawab membiayainya.


(8)

Pada dasarnya pemerintah membuat Undang-undang Badan Hukum ini mempunyai tujuan yang baik yaitu untuk meningkatkan kualitas mutu peserta didik dan memajukan pendidikan nasional tinggal bagaimana implementasinya saja. Penelitian ini perlu dilakukan terutama Undang-undang ini penting untuk diketahui dan dicermati oleh semua pihak yang bersangkutan dengan dunia pendidikan, baik yang berlatar belakang lembaga pendidikan negeri maupun swasta agar tidak terjadi lagi pro dan kontra tentang Undang-undang Badan Hukum Pendidikan.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka dapat diidentifikasikan masalah yaitu:

1. Bagaimana persepsi dan sikap mahasiswa terhadap Undang-undang Badan Hukum Pendidikan pasal 41 ayat 8 dan 9 ?

2. Bagaimana biaya penyelenggaraan pendidikan yang harus ditanggung oleh pendidikan tinggi ?

3. Bagaimana biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh pendidikan menengah ?

4. Bagaimana peran pemerintah dan pemerintah daerah dalam pendanaan BHP?

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas maka penelitian ini dibatasi pada Persepsi dan Sikap Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Terhadap Pasal 41


(9)

ayat (8) dan (9) Undang-undang Badan Hukum Pendidikan Tahun 2009. Hal ini dikarenakan oleh keterbatasan waktu dan tenaga penulis.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah tersebut di atas, maka dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah persepsi mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan terhadap pasal 41 Undang-undang Badan Hukum Pendidikan tahun 2009?

2. Bagaimana sikap mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan terhadap pasal 41 Undang-undang Badan Hukum Pendidikan tahun 2009?

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1.Untuk mendeskripsikan persepsi mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan terhadap disahkannya Undang-undang Badan Hukum Pendidikan

2.Untuk menjelaskan sikap mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan terhadap Undang-undang Badan Hukum Pendidikan

2. Kegunaan Penelitian a. Secara Teoritis

Penelitian tentang Persepsi dan Sikap Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan terhadap Pasal 41 Undang-undang Badan Hukum Pendidikan Tahun 2009. Secara teoritis penelitian ini berguna untuk


(10)

memperkaya dan mengembangkan konsep-konsep yang berkaitan dengan ilmu pendidikan, khususnya ilmu pendidikan pancasila dan kewarganegaraan yang mengkaji pendidikan politik dan kenegaraan.

b. Kegunaan Praktis

Kegunaan penelitian secara praktis dalam penelitian ini adalah:

1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi bagi mahasiswa dalam rangka meningkatkan pendidikan di Negara Indonesia

2. Penelitian ini dapat dijadikan masukan kepada lembaga-lembaga pendidikan dalam hal penambahan mutu anak didik agar menjadi mahasiswa yang berkualitas dan mampu bersaing dengan Negara lain 3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan

serta memperkaya khasanah ilmu pendidikan khususnya pendidikan kewarganegaraan bagi masyarakat dan mahasiswa

4. Hasil penelitian ini dapat dijadikan suplemen dalam mata kuliah Teori Hukum dan Konstitusi

5. Penelitian ini dapat dijadikan suplemen bagi siswa dalam membahas budaya politik dan partisipasi politik.

F. Ruang Lingkup Penelitian 1. Ruang Lingkup Ilmu

Ilmu penelitian ini adalah ilmu pendidikan, khususnya pendidikan kewarganegaraan dalam bidang kajian Pendidikan Kewarganegaraan dengan


(11)

kontribusinya untuk membentuk warga Negara yang memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap dalam kebudayaan politik dan kenegaraan.

2. Ruang Lingkup Objek

Ruang lingkup objek dalam penelitian ini adalah persepsi dan sikap mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan terhadap pasal 41 Undang-undang Badan Hukum Pendidikan tahun 2009

3. Ruang Lingkup Subyek

Subyek dalam penelitian ini adalah para mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung tahun 2007-2008.

4. Ruang Lingkup Wilayah

Ruang lingkup wilayah penelitian ini adalah di Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

5. Ruang Lingkup Waktu

Pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan sesuai dengan surat izin penelitian pendahuluan yang dikeluarkan oleh Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.


(12)

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori 1. Pengertian Persepsi

Secara umum persepsi merupakan pengamatan atau pandangan seseorang terhadap suatu objek tertentu. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Kotler (2000:62) menjelaskan “persepsi sebagai proses bagaimana seseorang menyeleksi mengatur dan menginterprestasikan masukan-masukan informasi untuk menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti”. Pendapat lain dikemukakan oleh Mangkunegara dalam Arindita (2002:151) berpendapat bahwa ”persepsi adalah suatu proses pemberian arti atau makna pada lingkungan”.

Ke dua pengertian di atas makin di perjelas oleh Robbins (2003:18) ”mendeskripsikan persepsi dalam kaitannya dengan lingkungan, yaitu sebagai proses dimana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka kepada lingkungan mereka”.

Jadi, dari pengertian di atas persepsi dapat disimpulkan sebagai pandangan seseorang terhadap suatu objek yang dipengaruhi penginderaannya, pengalamannya, dan kebiasaannya sehingga dapat memberi makna.


(13)

1.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Setelah diberikan penjelasan tentang pengertian persepsi perlulah kiranya diberikan penjelasan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi. Suatu objek dapat dipersepsikan secara berbeda-beda antara satu orang dengan orang lain, hal ini disebabkan oleh beberapa hal seperti yang dikemukakan oleh Sarlito W. Sarwono (1983:42) sebagai berikut :

a. Perhatian, biasanya seseorang tidak menangkap seluruh rangsangan yang ada disekitarnya sekaligus, akan tetapi memfokuskan perhatiannya kepada satu atau dua objek saja

b. Set, harapan seseorang akan rangsangan akan timbul misalnya seorang pelari yang telah digaris start, terhdap set bahwa akan terdengar bunyi pistol sebagai tanda dia harus berlari.

c. Kebutuhan, kebutuhan yang sesaat maupun yang menetap pada diri seseorang akan mempengaruhi persepsinya

d. Sistim nilai, sistim yang berlaku dalam suatu masyarakat berpengaruh pula terhadap persepsinya

e. Gangguan kejiwaan, hal ini akan menimbulkan kesalahan persepsi yang disebut halusinasi.

Disamping persepsi yang berbeda-beda, persepsi dapat pula berubah-ubah, seperti dari baik menjadi buruk dan sebaliknya, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-Faktor yang menpengaruhi proses pembentukan persepsi dijelaskan oleh Feigi dalam Yusuf, (1991: 108) “sebagai pemaknaan hasil pengamatan yang diawali dengan adanya stimuli”. Setelah mendapat stimuli, pada tahap selanjutnya terjadi seleksi yang berinteraksi dengan "interpretation", begitu juga berinteraksi dengan "closure". Proses seleksi terjadi pada saat seseorang memperoleh informasi, maka akan berlangsung proses penyeleksian pesan tentang mana pesan yang dianggap penting dan tidak penting.


(14)

Dijelaskan oleh Robbins (2003:49) bahwa meskipun individu-individu memandang pada satu benda yang sama, mereka dapat mempersepsikannya berbeda-beda. Ada sejumlah faktor yang bekerja untuk membentuk dan terkadang memutar-balikkan persepsi. Faktor-faktor ini dari:

1)Pelaku persepsi (perceiver) 2)Objek atau yang dipersepsikan

3)Konteks dari situasi dimana persepsi itu dilakukan

Pendapat lain dikemukakan oleh Gilmer dalam Hapsari (2004:45) menyatakan bahwa “persepsi dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor belajar, motivasi, dan pemerhati perseptor atau pemersepsi ketika proses persepsi terjadi”. Dan karena ada beberapa faktor yang bersifat subyektif yang mempengaruhi, maka kesan yang diperoleh masing-masing individu akan berbeda satu sama lain.

Oskamp dalam Hamka (2002:58) membagi empat karakteristik penting dari faktor-faktor pribadi dan sosial yang terdapat dalam persepsi, yaitu:

a.Faktor-faktor ciri dari objek stimulus.

b.Faktor-faktor pribadi seperti intelegensi, minat. c.Faktor-faktor pengaruh kelompok.

d. Faktor-faktor perbedaan latar belakang kultural

Dari beberapa faktor yang dapat mempengaruhi persepsi itu, maka peranan persepsi akan sangat mempengaruhi perilaku seseorang pada suatu objek. Jika persepsi seseorang pada suatu objek itu positif, maka ia akan melakukan aktivitas yang baik pula, diantara aktivitas itu adalah mencari tanggapan tentu


(15)

tanggapan yang diberikan baik pula, begitu pula sebaliknya bila persepsi orang itu negatif, maka ia akan melakukan aktivitas tanggapan kurang baik.

1.2 Syarat-syarat Mengadakan Persepsi

Terdapat beberapa syarat yang perlu diperhatikan agar seseorang dapat mengadakan persepsi seperti yang dijelaskan oleh Bimo Walgito, (1993 : 54) adalah sebagai berikut :

1. Adanya objek yang dipersepsi. Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera, atau resiptor.

2. Alat indera atau resiptor yaitu merupakan alat untuk menerima stimulus di samping harus ada pula syaraf yaitu otak sebagai pusat kesadaran.

Menurut Bimo Walgito (1993:54) dalam buku Psikologi Umum menyatakan bahwa proses persepsi berlangsung sebagai berikut :

a) Stimulus mengenai alat indera, ini merupakan proses yang bersifat kealaman (fisik)

b) Stimulus kemudian dilangsungkan ke otak oleh syaraf sensoris, proses ini merupakan proses isiologis

c) Di otak sebagai pusat susunan syaraf terjadilah proses yang akhirnya individu dapat menyadari atau mempersepsikan tentang apa yang diterima melalui alat indera, proses yang terjadi dalam otak ini merupakan proses psikologis.

Jadi dapat disimpulkan bahwa persepsi mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Lampung terhadap pasal 41 Undang-undang Badan Hukum Pendidikan adalah mereka mempunyai pandangan bahwa dengan adanya Undang-undang ini maka tidak akan ada lagi pendidikan gratis dan SPP semakin mahal.


(16)

2. Pengertian Sikap

Sikap merupakan salah satu aspek psikologis individu yang sangat penting karena sikap merupakan kecenderungan untuk berperilaku sehingga akan banyak mewarnai perilaku manusia. Setiap individu memiliki sikap yang berbeda dengan individu yang lainnya. Sikap seorang individu akan mencerminkan bagaimana kepribadian orang tersebut. Setiap individu harus memiliki sikap yang tegas untuk menunjukkan bahwa seseorang setuju atau tidak setuju terhadap sesuatu, seperti halnya pendapat yang dikemukakan oleh Severindan Tankard (2001:151) “sikap pada dasarnya adalah tendensi manusia terhadap sesuatu”. Sikap merupakan suatu evaluasi terhadap objek sikap dimana evaluasi rasa suka dan tidak suka terhadap objek sikap. Sikap seseorang terhadap suatu objek selalu berperan sebagai perantara antara respond an objek yang bersangkutan.

Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dari definisi sikap yang diutarakan oleh Muhhibbin, (2007:123) sebagai berikut. Dalam arti sempit sikap adalah pandangan atau kecenderungan mental. Menurut Bruno, “sikap atau attitude adalah kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap barang atau barang tertentu”.

Menurut Gerungan (2000:149) ”sikap merupakan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap objek tadi”. Sikap dapat diterjemahkan sebagai sikap dan kesediaan beraksi terhadap suatu hal.

Uraian pendapat di atas sejalan dengan pendapat Abu Ahmadi (2000:165) “apabila individu memiliki sikap yang positif terhadap suatu objek, ia akan


(17)

siap membantu, memperhatikan, berbuat sesuatu yang menguntungkan objek itu. Sebaliknya bila ia memiliki sikap negative terhadap suatu objek, maka ia akan mengecam, mencela, menyerang bahkanmembinasakan objek itu”.

Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan sikap adalah kecenderungan untuk menilai suatu objek yang sifatnya positif atau negatif. Sikap positif dapat ditunjukkan bahwa seseorang setuju, menerima, mendekati, sedangkan sikap negatif ditunjukkan dengan tidak setuju, menjauhi, dan menolak.

Pendapat lain seperti yang dikemukakan oleh Winkel (1984) dalam Edy Agusman (2003:15) “sikap adalah kecenderungan seseorang menerima atau menolak sesuatu objek berdasarkan penilaian terhadap objek itu sebagai objek yang berharga atau baik atau tidak berharga atau tidak baik”. Jadi, sikap positif dan negatif akan muncul apabila seseorang mempunyai penilaian. Apabila penilaiannya baik maka cenderung bersikap positif, sebaliknya apabila penilaianya tidak baik maka cenderung bersikap negatif.

2.1 Teori Tentang Sikap

Terdapat beberapa teori yang mengemukakan tentang sikap, yaitu : 1. Teori keseimbangan

Upaya individu untuk tetap konsisten dalam bersikap dalam hidup. Suatu sistim seimbang terjadi apabila seseorang sependapat dengan orang lain yang disukainya. Ketidakseimbangan terjadi bila seseorang tidak sependapat


(18)

dengan orang yang disukainya atau sependapat dengan orang yang tidak disukainya.

2. Teori konsistensi kognitif-afektif

Fokusnya pada bagaimana seseorang berusaha membuat kognisi mereka konsisten dengan afeksinya. Penilaian seseorang terhadap suatu kejadian akan mempengaruhi keyakinannya. Contoh: tidak jadi makan di restoran X karena temannya bilang bahwa restoran tersebut tidak halal padahal dia belum pernah makan disana.

3. Teori ketidaksesuaian

Individu menyelaraskan elemen-elemen kognisi, pemikiran atau struktur (konsonansi:selaras).

4. Teori atribusi

Individu mengetahui akan sikapnya dengan mengambil kesimpulan dari perilakunya sendiri dan persepsinya tentang situasi. Implikasinya adalah perubahan perilaku seseorang menimbulkan kesimpulan pada orang tersebut bahwa sikapnya telah berubah. Contoh: memasak tiap ada kesempatan baru sadar kalau dirinya menyukai/hobi masak.

2.2 Fungsi Sikap

Sikap yang dimiliki seseorang dapat memberi arah perilaku dalam kehidupan. Sehubungan dengan hal tersebut, Mar’at (1981:48) beranggapan, bahwa fungsi dari sikap adalah:

1)sikap memiliki fungsi instrumental dan dapat menyesuaikan atau berfungsi pula dalam memberkan pelayanan


(19)

2)sikap dapat berfungsi sebagai penahan diri ataupun fungsi dalam mengadaptasikan dunia luar

3)sikap berfungsi pula sebagai penerima terhadap suatu objek dan ilmu serta memberi arti. Sikap dapat pula menunjukkan nilai ekspresif dari diri seseorang dalam menjawab suatu situasi.

Mar’at beranggapan, bahwa sikap memiliki satu fungsi untuk menghadapi dunia luar individu agar senantiasa menyesuaikan dengan lingkungan menurut terjadinya perubahannya, sehingga terlihat terus menerus terjadinya perubahan sikap dan tingkah laku.

Fungsi (tugas) sikap dapat di bagi ke dalam empat golongan, yaitu

1. Sikap berfungsi sebagai alat untuk menyesuaikan diri. Bahwa sikap adalah sesuatu yang yang bersifat communicable, artinya sesuatu yang mudah menjalar, sehingga mudah pula menjadi milik bersama

2. Sikap berfungsi sebagai pengatur tingkahlaku.

3. Sikap berfungsi sebagai alat pengukur pengalaman-pengalaman. Dalam hal ini perlu dikemukakan bahwa manusia di dalam menerima pengalaman-pengalaman dari dunia luar sikapnya tidak pasif, tetapi diterima secara aktif, artinya pengalaman yang berasal dari dunia luar itu tidak semuanya dilayani oleh manusia, tetapi manusia memilih mana-mana yang perlu dan mana yang tidak perlu dilayani.

4. Sikap berfungsi sebagai pernyataan kepribadian. Sikap sering mencerminkan pribadi seseorang. Ini sebabnya karena sikap karena sikap tidak pernah terpisah dari pribadi yang mendukungnya.

Adapun untuk dapat memahami sikap social biasanya tidak mudah, maka dari itu perlu adanya metode-metode. Metode-metode itu antara lain :


(20)

a.Metode langsung adalah metode dimana orang itu secara langsung diminta pendapatnya mengenai obyek tertentu.

b.Metode tak langsung ialah metode dimana orang diminta supaya menyatakan dirinya mengenai obyek sikap yang diselidiki, tetapi secara tidak langsung.

c.Tes tersusun adalah tes yang menggunakan skala sikap yang dikonstruksikan terlebih dahulu menurut prinsip-prinsip tertentu

d.Tes yang tidak tersusun ialah misalnya wawancara, daftar pertanyaan, dan penelitian bibliografi

2.3 Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan sikap

Pembentukan sikap tidak terjadi dengan sendirinya atau dengan sembarangan saja. Pembentukannya senantiasa berlangsung dalam interaksi manusia, dan berkenaan dengan obyek tertentu. Interaksi sosial di dalam kelompok maupun di luar kelompok dapat mengubah atau membentuk sikap yang baru. Berikut ini faktor-faktor yang menyebabkan perubahan sikap yang di kemukakan oleh beberapa ahli. Menurut Saefuddin Azwar dalam Fredisi (2006:19), bahwa faktor yang mempengarui pembentukan dan perubahan sikap adalah :

1. pengalaman pribadi 2. kebudayaan

3. orang lain yang dianggap penting (significant others) 4. media massa

5. institusi (lembaga) pendidikan dan lembaga agama 6. emosional

Selain itu ada faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi perubahan sikap, antara lain :


(21)

1. status kesehatan, terutama status darah 2. status pikiran

3. status nilai diri dan sikap orang yang dihadapi 4. persoalan yang dibincangkan

5. nada memperbincangkan

6. kepentingan diri dalam hal yang diperbincangkan Psikologi Umum. Sabtu 7 November 2009.

(http://Sri Utami R.N. Psikologi Umum.07/11/09.Geoogle.com)

Ke dua pendapat di atas dipertegas lagi dengan pendapat yang dikemukakan oleh Abu Ahmadi (2000:171) adapun faktor-faktor yang menyebabkan perubahan sikap yaitu:

1. Faktor intern: yaitu faktor yang tedapat dalam pribadi manusia itu sendiri. Faktor ini berupa selectivity atau daya pilih seseorang untuk menerima atau mengolah pengaruh-pengaruh yang dating dari luar. 2. Faktor ekstern: yaitu faktor yang terdapat dari luar pribadi manusia.

Faktor ini berupa interaksi sosial di luar kelompok

Dalam perubahan sikap, setiap individu dihadapkan pada keadaan yang berbeda dengan apa yang mereka miliki. Seperti seseorang memiliki sikap negatif terhadap sesuatu sedangkan orang lain mempunyai pandangan yang positif terhadap hal itu. Perubahan sikap dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: 1. Sumber dari pesan

Sumber pesan dapat berasal dari; seseorang, kelompok, institusi. Dua ciri penting dari sumber pesan adalah:

 Kredibilitas ; semakin percaya dengan orang yang mengirimkan pesan, maka kita akan semakin menyukai untuk dipengaruhi oleh pemberi pesan. Dua aspek penting dalam kredibilitas yaitu;


(22)

a. kepercayaan

b. keahlian-keahlian dan kepercayaan saling berkaitan

Tingkat kredibilitas berpengaruh terhadap daya persuasif, semakin kredibilitasnya tinggi maka daya persuasifnya juga akan tinggi sebaliknya bila kredibilitasnya rendah maka daya persuasifnya juga rendah.

 Daya tarik

Efektivitas daya tarik dipengaruhi oleh; daya tarik fisik, menyenagkan, dan kemiripan.

2. Pesan (isi pesan)

Tiga hal yang berkaitan dengan isi pesan ;

 Usulan ; suatu pernyataan yang kita terima secara tidak kritis, pesan dirancang dengan harapan orang akan percaya, membentuk sikap, dan terhasut dengan apa yang dikatakan tanpa melihat faktanya. Contoh; iklan di TV

 Menakuti ; cara lain untuk membujuk adalah dengan cara menakut-nakuti. Jika terlalu berlebihan maka orang menjadi takut, sehinnga informasi justru dijauhi.

 Pesan satu sisi dan dua sisi ; pesan satu sisi lebih efektif jika orang dalam keadaan netral atau sudah menyukai suatu pesan. Pesan dua sisi lebih disukai untuk mengubah pandangan yang bertentangan


(23)

3. Penerima pesan

Beberapa ciri penerima pesan :

 Influenceability; sifat kepribadian seseorang tidak berhubungan dengan mudahnya seseorang untuk dibujuk, meski demikian anak-anak lebih mudah dipengaruhi dari pada orang dewasa. Orang berpendidikan rendah lebih mudah dipengaruhi daripada yang berpendidikan tinggi

 Arah perhatian dan penafsiran; pesan akan berpengaruh pada penerima, tergantung pada persepsi dan penafsirannya, yang terpenting pesan yang dikirim ke tangan orang pertama, mungkin dapat berbeda jika info sampai ke penerima ke dua.

Pendekatan secara umum dari perubahan sikap adalah melalui teori-teori berikut ini:

a.Teori stimulus-respon dan reinforcement (aksi, reaksi)

Dibandingkan dengan teori-teori lain, maka teori syimulus-respon menitikberatkan pada penyebab sikap yang dapat mengubahnya dan tergantung pada kualits rangsang yang berkomunikasi dengan organisme. Karakteristik dari komunikator (sumber) menentukan keberhasilan tentang perubahan sikap seperti kredibilitasnya, kepemimpinannya dan gaya berkomunikasi.

Pendekatan teori stimulus-respon ini beranggapan bahwa tingkah laku social dapat dimengerti melalui suatu analisa dari stimuli yang diberikan dan dapat mempengaruhi reaksi yang spesifik dan didukung oleh hukuman maupun


(24)

penghargaan sesuai dengan reaksi yang terjadi. Hosland, Janis dan Kelley (1953:52) beranggapan bahwa proses dari perubahan sikap adalah serupa dengan proses belajar. Dalam mempelajari sikap yang baru ada tiga variabel penting yang menunjang proses belajar tersebut, yaitu:

1. Perhatian 2. Pengertian 3. Penerimaan

b. Teori social-judgement (pengambilan pertimbangan/keputusan)

Teori pertimbangan sosial ini berasal dari psikologi eksperimental khususnya dalam bidang psikofisik (Insko,1971). Dalam hubungan ini terdapat dua pokok pendekatan:

1. The assimilation-contras theory (teori penerimaan-penolakan). Dikembangkan oleh M. Sherif dan Hovland (1961) da kemudian direvisi oleh C.W. Sherif-sherif dan Negergall (1965)

2. The Adaption-Level theory (teori tingkat adaptasi). Yang dikembangkan oleh Elson (1959, 1964), teori ini banyak digunakan dalam kaitan perubahan sosial, sedangkan teori assimilation contras digunakan dalam kaitan dengan perubahan sikap.

c. Teori consistency (keseimbangan)

Pada teori keseimbangan lebih menitikberatkan pada unsur keseimbangan yang merupakan faktor utama untuk mengevaluasi keberhasilan perubahan sikap. Pemikiran yang diajukan dalam teori ini adalah bahwa suatu sikap dari seseorang tidak relevan dengan apa yang diinginkan oleh pihak


(25)

pertama. Hal ini dinyatakan dalam ketidakseimbangan dan/atau ketidakharmonisan ; untuk mencapai ini maka dengan cara-cara persuasi atau komunikasi diadakan re-evaluasi mengenai persepsi yang dibuat terlebih dahulu.

Dalam hal ini terlihat bahwa ketidakseimbangan itu banyak ditentukan oleh faktor senang dan tidak senang. Disamping itu pola kesatuan hubungan sering kali ditentukan oleh faktor emosional. Sehingga pada teori keseimbangan ini banyak ditentukan oleh komponen afeksi. Sedangkan perubahan sikap dilakukan melalui struktur kognisi.

d.Teori fungsional

Dasar dari teori fungsional adalah bahwa perubaan sikap dari seseorang tergantung pada kebutuhan. Pendekatan dari teori ini bersifat phenomenologis yang berarti bahwa stimulus yang diberikan dapat dimengerti dalam konteks kebutuhan individu. Dalam perkembangan dari teori fungsi ini terdapat dua pandangan, ialah dari Katz (1960) dan juga dari Smith, Buner dan White (1954). Tiap teori memperlihatkan daftar dan fungsi sikap yang diperlukan. Perbedaan dari kedua teori ini adalah Katz lebih menitikberatkan pada faktor kebutuhan dan Smith, Bruner dan White lebih menitikberatkan pada sosial atau pada social relationship.

2.4 Pengukuran Sikap

Sikap setiap orang berbeda atau bervariasi, baik kualitas maupun jenisnya sehingga perilaku individu menjadi bervariasi. Pentingnya aspek sikap dalam kehidupan individu mendorong para psikolog untuk mengembangkan teknik


(26)

dan instrumen untuk mengukur sikap manusia. Cara pengukuran sikap pada dasarnya dapat dibedakan secara langsung. Menurut Bimo Walgito (1980:57), “membedakan tiga cara pengukuran sikap, yaitu pengukuran secara langsung, tak berstruktur, langsung berstruktur, dan pengukuran secara tidak langsung. Pengukuran secara langsung tak berstruktur adalah pengukuran sikap yang dilaksanakan dengan tanya jawab, interview dan atau cukup dengan pengamatan sepintas”.

Sedangkan pengukuran secara langsung berstuktur adalah pengukuran sikap yang dilaksanakan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tersusun secara tertulis yang disampaikan kepada subyek penelitian atau seseorang. Pengukuran secara langsung berstruktur ini telah dikembangkan oleh Bogardus, Thurstone Likert.

Pegukuran sikap secara tidak langsung adalah pengukuran dengan menggunakan alat-alat tertentu, yang biasanya berbentuk tes standar. Pengukuran ini cukup sulit, sehingga tidak semua orang dapat membuat analisa terhadap suatu tes. Biasanya hanya para psikolog sajalah yang berhak penuh untuk menginterprestasikan hasil tes tersebut.

Dari berbagai cara pengukuran sikap yang telah dikemukakan di atas, cara-cara pengukuran sikap dalam penelitian ini adalah cara-cara langsung berstruktur yang dikenal dengan nama “summated ratings method” (Bimo Walgito,1980:79).


(27)

2.5 Ciri-Ciri Sikap

Sikap sebagai gejala psikologis sulit untuk diamati. Hal ini dikarenakan sikap dipengaruhi oleh faktor yang ada dalam diri manusia yang dapat mendorong perbuatan-perbuatan tertentu.

Meski demikian, sikap memiliki segi-segi yang berbeda dengan pendorong-pendorong lainnya yang ada dalam diri manusia itu sendiri. Oleh sebab itu untuk membedakan sikap dengan pendorong-pendorong lainnya, di bawah ini akan dikemukakan ciri-ciri sikap menurut para ahli. Ciri-ciri sikap menurut Bimo Walgito (1987:54) adalah sebagai berikut:

1)sikap itu adalah sesuatu yang tidak di bawa sejak lahir, ini berarti individu atau manusia pada waktu lahir belumlah membawa sikap yang tertentu karena sikap itu tidak di bawa sejak individu itu dilahirkan, maka sikap itu terbentuk dalam perkembangan individu 2)selalu adanya hubungan antara individu dengan objek, melalui

proses pengenalan atau persepsi terhadap objek tersebut

3)sikap dapat tertuju pada satu objek saja tetapi dapat juga tertuju pada perkumpulan objek

4)sikap itu dapat berlangsung lama atau sebentar

5)sikap itu mengandung faktor perasaan atau motif, ini berarti bahwa sesuatu sikap terhadap sesuatu objek akan selalu diikuti oleh adanya sesuatu perasaan tertentu, apakah perasaan itu bersifat positif atau negatif terhadap suatu objek tersebut.

Adapun ciri-ciri sikap adalah sebagai berikut: a. Sikap itu dipelajari (learnability).

Sikap merupakan hasil belajar. Beberapa sikap dipelajari tidak sengaja dan tanpa kesadaran kepada sebagian individu.

b. Memiliki kestabilan (stability)

Sikap bermula dari dipelajari, kemudian menjadi lebih kuat, tetap, dan stabil melalui pengalaman. Misalnya, perasaan like dan dislike terhadap


(28)

warna tertentu yang sifatnya berulang-ulang atau memiliki frekuensi yang tinggi.

c. personal-societal significance

sikap melibatkan hubugan antara seseorang dengan orang lain dan juga antara orang dan barang atau situasi.

d. Berisi kognisi dan affeksi

Komponen kognisi dari pada sikap adalah berisi informasi yang aktual, misalnya: obyek itu dirasakan menyenangkan atau tidak menyenangkan e. Approach- avoidance directionality

Bila seseorang memiliki sikap yang favorable terhadap sesuatu obyek, mereka akan mendekati dan membantuya, sebaliknya bila seseorang memilki sikap yang unfavorable, mereka akan menghindarinya.

Menurut W.A.Gerungan (2000:152) mengemukakan ciri-ciri sikap sebagai berikut:

1. Attitude tidak di bawa sejak lahir, melainkan dibentuk atau dipelajarinya sepanjang perkembangan orang itu, dalam hubungannya dengan objeknya

2. Attitude dapat berubah-ubah, karena itu attitude dapat dipelajari orang 3. Attitude itu tidak berdiri sendiri, melainkan mempunyai hubungan

tertentu terhadap objek. Dengan kata lain, attitude itu terbentuk, dipelajari, atau berubah senantiasa berkenaan dengan suatu objek tertentu yang dapat dirumuskan dengan jelas

4. Attitude dapat berkenaan dengan satu objek saja, juga berkenaan dengan sederetan objek yang serupa

5. Attitude mempunyai segi-segi motivasi dan perasaan. Sifat inilah yang membeda-bedakan attitude dari kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang.

Dari pendapat-pendapat yang dikemukakan terlihat bahwa ada hubungan antara subjek dan objek, hubungan tersebut bisa bersifat positif, netral, atau


(29)

negatif. Sikap tidak di bawa sejak lahir melainkan terbentuk dalam perkembangan individu sebagai hasil belajar.

2.6 Pengertian Sikap Mahasiswa

Mahasiswa merupakan pemuda penerus estafet bangsa. Mereka diharapkan mampu berperan sebagai agen perubahan suatu bangsa. Menurut Wirawan Sarwono dalam Iis Siti Nuraisyah (2002:17), dikatakan bahwa, “Mahasiswa adalah suatu kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya selalu dalam ikatannya dengan perguruan tinggi”. Hal ini berarti tanpa memasuki perguruan tinggi, seseorang tidak bisa disebut sebagai mahasiswa. Bahkan Sarlito Wirawan Sarwono menjelaskan lebih jauh dalam Iis Siti Nuraisyah (2002:17) bahwa, “Tidak ada seorang pun yang dapat dinamakan mahasiswa kalau ia tidak terikat pada salah satu perguruan tinggi”.

Albach dan Knop Falmer menyatakan bahwa:

Mahasiswa berada dalam kelas yang sama dalam masyarakat, sedangkan pada Negara-negara yang sedang berkembang mahasiswa berada dalam kelas elit. Struktur masyarakat di Negara-negara berkembang seperti Indonesia memungkinkan fungsi dan peranan mahasiswa sangat menentukan dalam perubahan sosial yang terjadi di masyarakat dan komunitinya, disamping ciri-ciri calon intelektual yang kritis, berada pada posisi elit yang mampu berperan sebagai agen perubahan, mahasiswa Indonesia masih berada dalam status pemuda jika dilihat dari posisi usia (Dirjen Dikti, 1984:99).

Mengacu pada pendapat di atas, mahasiswa di Negara sedang berkembang seperti Indonesia memang memiliki peranan yang cukup penting sebagai agen perubahan yang dapat melakukan perubahan-perubahan di lingkungan sosialnya. Sikap mahasiswa berkaitan erat dengan nilai-nilai yang dapat


(30)

digunakaun sebagai suatu patokan dalam mengeluarkan sejumlah sikap. Dengan demikian, mahasiswa dapat menunjukkan sikapnya dengan menyatakan setuju atau tidak setuju, senang atau tidak senang dan pola-pola yang menentukan pandangan mereka tentang dunia.

Sikap mahasiswa berupa perasaan senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju, diserap melalui pengalaman-pengalaman yang diorganisir mengenai objek dan situasi yang menjadi pusat perhatiannya, yang nantinya akan mempengaruhi sikapnya dalam memberikan tanggapan terhadap suatu objek yakni Undang-undang Badan Hukum Pendidikan.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka yang dimaksud dengan sikap mahasiswa adalah kecenderungan untuk memberikan tanggapan terhadap objek di luar diri mahasiswa, meliputi aspek kognitif, afektif, dan konatif yang ada dalam diri mahasiswa.

Jadi sikap mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan terhadap Undang-undang Badan Hukum Pendidikan cenderung tidak setuju atau menolak Undang-undang tersebut.

3. Undang-undang Badan Hukum Pendidikan Pasal 41

Badan hukum pendidikan di atur dalam undang-undang No.9 tahun 2009. Badan hukum pendidikan adalah badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal. Badan hukum pendidikan bertujuan memajukan pendidikan nasional dengan menerapkan berbasis sekolah/madrasah pada


(31)

jenjang pendidikan dasar dan menengah dan otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi.

Menurut Suyarna (2003:160) Otonomi perguruan tinggi bertujuan untuk: (1) untuk mengambil keputusan secara bebas sesuai dengan potensi dan

kemajuan iptek;

(2) untuk meninkatkan kualitas berbagai inovasi dalam iptek;

(3) untuk meningkatkan kegiatan sosial sebagai perwujudan salah satu tri dharma perguruan tinggi

Menurut Hamijoyo (1992 : 2), otonomi perguruan tinggi sebagai salah satu model desentralisasi pendidikan adalah :

1) Pola dan pelaksanaan manajemen harus demokratis 2) Pemberdayaan masyarakat harus menjadi tujuan utama

3)Peran serta masyarakat menjadi bagian mutlak dari sistim pengelolaan

Selanjutnya Sufyarma (2003, 160) mengemukakan bahwa dengan pemberian otonomi perguruan tinggi banyak manfaat yang di dapatkan, yaitu:

a.Dapat merencanakan, melaksanakan, dan mengontrol sumberdaya perguruan tinggi secara efektif

b.Lebih fleksibel dan dinamis dalam menentukan kebijakan perguruan tinggi tanpa menunggu petunjuk dan persetujuan Dirjen Dikti

c.Lebih realistis untuk melaksanakan visi dan misinya

d.Dalam jangka panjangperguruan tinggi menjadi institusi yang independent dari pemerintah, kekuatan social, ekonomi, politik, dan sebagainya.

Pengelolaan dana secara mandiri oleh badan hukum pendidikan didasarkan pada prinsip nirlaba yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba, sehingga sisa hasil usaha dari kegiatan badan hukum pendidikan


(32)

harus ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan.

Kewajiban penanaman kembali ke dalam badan hukum pendidikan dimaksudkan untuk mencegah agar badan hukum pendidikan tidak melakukan kegiatan yang komersil. Pendanaan dalam BHP di atur dalam pasal 41 yaitu sebagai berikut:

1. Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD dalam menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional,biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik, berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan

2. Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dapat memberikan bantuan sumberdaya pendidikan kepada badan hukum pendidikan

3. Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan

4. Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung paling sedikit 1/3 (sepertiga) biaya operasional pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan


(33)

5. Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan tinggi berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan 6. Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung paling sedikit 1/2

(seperdua) biaya operasional, pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan

7. Peserta didik yang ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan harus menanggung biaya tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik, orang tua, atau pihak yang bertanggungjawab membiayainya

8. Biaya pendidikan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (7) yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan menengah berstandar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan pada BHPP atau BHPPD paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional

9. Biaya pendidikan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (7) yang ditaggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan tinggi berstandar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan pada BHPP paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional

10.Dana pendidikan dari pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya pada badan hukum pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Undang-undang Badan Hukum Pendidikan Pasal 41 membahas tentang pendanaan, yang menjadi pro dan kontra dalam pasal ini adalah pasal 41 ayat


(34)

(8) dan (9) karena dalam pasal 41 ayat (8) disebutkan bahwa biaya yang harus ditanggung oleh peserta didik pada pendidikan menengah adalah 1/3 dari biaya operasional, sedangkan ayat (9) dijelaskan biaya yang harus ditanggung peserta didik pada pendidikan tinggi adalah 1/2 dari biaya operasional. Hal itulah yang menjadi kontra dikalangan mahasiswa karena dengan demikian otomatis SPP akan semakin mahal dan pendidikan gratis hanya akan menjadi impian saja.

Menurut Suryadi (1997:11) mengemukakan bahwa perguruan tinggi harus mampu mengembangkan SDM Indonesia yang bermutu, yaitu yang mampu memberikan ketahanan bangsa dalam era global. Mungkin dapat dipahami bahwa sebuah perguruan tinggi memerlukan biaya besar dan mahal untuk menyelenggarakan proses pendidikan yang baik dan bermutu. Biaya-biaya tersebut terutama diperlukan guna menjamin keberlangsungan dan ketersediaan (1) tenaga akademik berkualitas, (2) buku perpustakaan, (3) peralatan laboratorium, (4) ruang kuliah dan kantor, (5) fasilitas pendukung lainnya seperti seperangkat komputer dan jaringan internet guna memudahkan akses ke berbagai sumber daya akademik secara elektronik (jurnal ilmiah, publiasi hasil penelitian, dan sebagainya).

B. Kerangka Pikir

Mahasiswa merupakan insan akademis dan juga sebagai agen perubahan suatu bangsa. Sikap mahasiswa berkaitan erat dengan nilai-nilai yang dapat digunakan sebagai suatu patokan dalam mengeluarkan sejumlah sikap. Dengan demikian, mahasiswa dapat menunjukkan sikapnya dengan


(35)

menyatakan setuju atau tidak setuju, senang atau tidak senang dan pola-pola yang menentukan pandangan mereka tentang dunia.

Sikap mahasiswa berupa perasaan senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju, diserap melalui pengalaman-pengalaman yang diorganisir mengenai objek dan situasi yang menjadi pusat perhatiannya, yang nantinya akan mempengaruhi sikapnya dalam memberikan tanggapan terhadap suatu objek yakni Undang-undang Badan Hukum Pendidikan.

Persepsi merupakan pandangan seseorang terhadap suatu objek yang dipengaruhi penginderaannya, pengalamannya, dan kebiasaannya sehingga dapat memberi makna.

Dalam upaya menganalisis persepsi dan sikap mahasiswa terhadap Undang-undang Badan Hukum Pendidikan maka diperlukan pengetahuan yang mendetail sehingga dapat tercapai tujuan yang diharapkan.


(36)

Gambar1. Persepsi dan sikap mahasiswa terhadap UU BHP

Sikap

Kecenderungan bertidak

Yang berdasarkan suatu objek

 Pemahaman  Penghayatan  Kecenderunga

n bertindak Persepsi

Pemahaman seseorang Terhadap suatu objek

 Pemahaman  Pengetahuan

UU BHP No.9 tahun 2009 Pasal 41

 Biaya penyelenggaraan pendidikan yang harus di tanggung peserta didik pada pendidikan menengah 1/3 dari biaya operasional

 Biaya penyelenggaraan pendidikan yang harus di tanggung peserta didik pada pendidikan tinggi 1/2 dari biaya operasional


(37)

III.METODOLOGI PENELITIAN

A.Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif karena dalam penelitian ini berusaha untuk memberikan gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat yang dirasa mendesak untuk segera dicarikan solusinya.

Menurut Hadari Nawawi (2003: 63) ”penelitian diskriptif bertujuan untuk menggambarkan atau melukiskan keadaan objek atau subjek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya”.

Pendapat di atas diperjelas oleh West (1982:80) yang mengemukakan bahwa ”penelitian ini juga sering disebut noneksperimen, karena pada penelitian ini peneliti tidak melakukan kontrol dan memanupulasi variabel penelitian. Dengan metode deskriptif, peneliti memungkinkan untuk melakukan hubungan antarvariabel, menguji hipotesis, mengembangkan generalisasi, dan mengembangkan teori yang memiliki validitas universal”.

Menurut Basrowi (1998: 102) penelitian deskriptif merupakan ”penelitian yang bertujuan untuk mengeksplorasi, mengklarifikasi, menggambarkan, keadaan objek atau subjek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai suatu fenomena sosial,


(38)

fakta-fakta, serta hubungan antarfenomena yang diselidiki dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan unit yang diteliti”. Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa metode deskriptif adalah penelitian yang berusaha untuk memecahkan atau menjawab permasalahan yang hendak dihadapi pada situasi sekarang, penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan, mendeskripsikan secara sistematis.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi merupakan komponen terpenting dalam sebuah penelitian mengingat populasi akan menentukan validitas data dalam sebuah penelitian. Hadari Nawawi (1991:40) menjelaskan bahwa ”populasi merupakan keseluruhan objek penelitian yang dapat terdiri dari manusia, hewan, benda-benda, tumbuhan, fenomena, nilai tes atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu dalam suatu penelitian ”.

Adapun populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung dari angkatan 2007 sampai dengan 2008 baik regular,non regular, maupun mandiri sebagai objek dalam penelitian ini. Berikut data jumlah mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan yang akan menjadi populasi dalam penelitian ini.


(39)

Table 2 : Data mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan menurut angkatan tahun 2007 – 2008

No Angkatan Jumlah Mahasiswa

1 2007 Reguler 44

2 2007 Non Reguler 36

3 2008 Reguler 45

4 2008 Mandiri 35

Jumlah 160

Sumber : Data Primer Mahasiswa Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan

2. Sampel

Data yang akan dipakai dalam penelitian ini belum tentu merupakan keseluruhan dari suatu populasi. Hal ini patut dimengerti mengingat adanya beberapa kendala seperti populasi yang tak terdefinisikan, waktu, tenaga,serta masalah heterogenitas atau homogenitas elemen populasi tersebut. Suharsimi Arikunto (1986:107) mengatakan “apabila subjek kurang dari seratus, lebih baik diambil semuanya sehingga penelitian tersebut menjadi populasi. Sedangkan jika jumlah relative besar, maka dapat diambil antara 10% sampai dengan 15% atau 20% sampai 25% ”.

Sampel yang akan diambil dalam penelitian ini sebanyak 25% dari 160 mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung yang diambil secara acak dari masing-masing angkatan. Dengan demikian jumlah keseluruhan adalah 40 mahasiswa.


(40)

1. Teknik Sampling

Teknik yang digunakan dalam penelitian ini menurut Yatim Riyanto (1992:60) adalah proportional stratified random sampling, cara penarikan sampel bilamana anggota stratum dalam populasi tidak sama, yang dengan cara ini akan ditemukan karakteristik masing-masing strata sebanding dengan populasi masing-masing secara proporsional. Untuk mengetahui berapa besarnya sampel dari setiap angkatan menggunakan perhitungan sebagai berikut :

N = Jumlah Mahasiswa per angkatan x Jumlah sampel Jumlah seluruh angkatan

Angkatan 2007 Reguler = 44 x 40 = 11 mahasiswa

160

Angkatan 2007 Non Reguler = 36 x 40 = 9 mahasiswa

160

Angkatan 2008 Reguler = 35 x 40 = 8,75 dibulatkan menjadi 9 mahasiswa

160

Angkatan 2008 Mandiri = 45 x 40= 11,25 dibulatkan menjadi 11 mahasiswa

160

Jadi keseluruhan sampel adalah 40 mahasiswa.

C. Variabel Penelitian, Definisi Konseptual, Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian

a.Variabel bebas (X) yaitu persepsi dan sikap mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Lampung

b.Variabel yang mempengaruhi atau juga disebut variabel terikat (Y) yaitu pasal 41 Undang-undang Badan hukum pendidikan


(41)

2. Definisi Konseptual

Persepsi adalah penginderaan terhadap suatu kesan yang timbul dalam lingkungan penginderaan dipengaruhi oleh pengalaman, kebiasaan dan kebutuhan. Persepsi mahasiswa ialah cara pandang mahasiswa dalam mengidentifikasi masalah yang terlihat dari setuju, kurang setuju, tidak setuju dan kepeduliannya terhadap menanggapi suatu isu.

Sikap menurut Abu Ahmadi (1991:164) adalah “kesiapan merespon yang sifatnya positif atau negatif terhadap objek atau situasi secara konsisten”.

Sikap mahasiswa merupakan kecenderungan seseorang untuk mengungkapkan perilakunya tercermin dari mendukung, netral, menolak dan kepeduliannya terhadap pemahaman mendukung, netral, dan menolak.

Undang-undang Badan Hukum Pendidikan Pasal 41 membahas tentang pendanaan, yang menjadi pro dan kontra dalam pasal ini adalah pasal 41 ayat (8) dan (9) karena dalam pasal 41 ayat (8) disebutkan bahwa biaya yang harus ditanggung oleh peserta didik pada pendidikan menengah adalah 1/3 dari biaya operasional, sedangkan ayat (9) dijelaskan biaya yang harus ditanggunga peserta didik pada pendidikan tinggi adalah 1/2 dari biaya operasional.

3. Definisi Operasional

Definisi operasional menurut Moh. Nazir (1999:152) adalah “suatu definisi yang diberikan kepada suatu variabel atau kontrak dengan cara memberikan arti atau menspesifikasikan kegiatan atau memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur kontrak variabel tersebut”.


(42)

1. Persepsi

Persepsi adalah pandangan atau pendapat seseorang terhadap suatu objek yang dilihatnya. Seperti halnya yang di ungkapkan oleh Onong Uchayana Efendi (1986; 127) persepsi adalah “ penginderaan terhadap suatu kesan yang timbul dalam lingkungan penginderaan, dipengaruhi oleh pengalaman, kebiasaan, dan kebutuhan”.Pada aspek persepsi dapat dilihat dari pemahaman mahasiswa terhadap suatu objek yang dilihatnya.

Indikatornya :

 Sesuai atau benar

 Kurang atau kurang benar  Tidak atau tidak benar

2. Sikap

Sikap menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap kategori rangsang tertentu dan dalam penggunaan praktis, sikap sering kali dihadapkan dengan rangsang sosial dan reaksi yang bersifat emosional. Pada aspek sikap dapat dilihat dari kecenderungan bertindak yang berdasarkan suatu objek. Indikatornya :

 Mendukung  Netral  Menolak


(43)

3.Pasal 41 Undang-undang Badan Hukum Pendidikan

Badan hukum pendidikan di atur dalam undang-undang No.9 tahun 2009. Badan hukum pendidikan adalah badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal. Badan hukum pendidikan bertujuan memajukan pendidikan nasional dengan menerapkan berbasis sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi.

Undang-undang Badan Hukum Pendidikan Pasal 41 membahas tentang pendanaan, yang menjadi pro dan kontra dalam pasal ini adalah pasal 41 ayat (8) dan (9) karena dalam pasal 41 ayat (8) disebutkan bahwa biaya yang harus ditanggung oleh peserta didik pada pendidikan menengah adalah 1/3 dari biaya operasional, sedangkan ayat (9) dijelaskan biaya yang harus ditanggunga peserta didik pada pendidikan tinggi adalah 1/2 dari biaya operasional.

D. Rencana Pengukuran

Pengukuran variabel dalam penelitian ini adalah scoring pada alternatif jawaban dalam lembaran angket yang disebarkan pada responden dengan indikator persepsi dan sikap mahasiswa terhadap Undang-undang Badan Hukum Pendidikan.

Rencana pengukuran variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Sikap mahasiswa dapat di ukur dengan mendukung, netral, dan menolak 2. Persepsi yang di ukur dengan benar, kurang benar, tidak benar.

Untuk pengukuran variabel dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator yang memberikan pertanyaan dalam bentuk soal objektif pilihan berganda,


(44)

setiap item memiliki tiga kemungkinan jawaban dari kode (a), (b), dan (c), dalam hal ini responden tinggal memilih alternatif jawaban yang tersedia. Sedangkan pemberian skor adalah, (a) diberi nilai tiga, (b) diberi nilai dua, (c) diberi nilai satu.

E.Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang dipakai untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini ada dua sumber data yang digunakan, yaitu :

1. Data Primer, yaitu data yang terpenting dalam penelitian ini menyangkut variabel yang akan diteliti. Dalam penelitian ini data primer yang diambil yaitu data persepsi dan sikap mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan terhadap Undang-undang Badan Hukum Pendidikan 2. Data Sekunder, yaitu suatu data yang mendukung data primer, data

tersebut mencangkup diantaranya tentang jumlah mahasiswa yang di ambil dari absen mahasiswa, dan data lain-lain yang mendukung masalah penelitian.

Selain ke dua sumber di atas, dalam penelitian ini juga menggunakan dua teknik pengumpulan data yaitu, teknik pokok dan teknik penunjang.

a. Teknik Pokok

Angket

Menurut Suharsimi Kunto (1989: 125), kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam artian laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang ia ketahui.


(45)

Angket yang digunakan dalam penelitian ini bersifat tertutup sehingga responden tinggal menjawab pertanyaan dari alternative jawaban yang sudah ada dan diberikan kepada subyek penelitian untuk mengetahui persepsi dan sikap mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan terhadap Undang-undang Badan Hukum Pendidikan pasal 41 tahun 2009.

b.Teknik Penunjang

Wawancara

Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan.

Dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara yang bersifat tidak terstruktur agar peneliti dapat menerima informasi seluas-luasnya mengenai permasalahan dalam penelitian ini, wawancara dilakukan kepada respoden, yaitu mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Lampung tahun 2007-2008.

F. Validitas dan Uji Reliabilitas

1.Validitas

Validitasmenurut Suharsimi Arikunto (1998:160) adalah “ukuran kevalidan instrumen pengumpul data, ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan dan keshohihan suatu instrument”.


(46)

Menurut Bruce W. Tuckman sebagaimana dikutip Panut Karsono (1992: 75) menyatakan bahwa “pengujian kesahihan pada dasarnya menguji apakah suatu butir mengukur apa yang seharusnya diukur”.

Dalam penelitian ini untuk menentukan validitas item soal dilakukan kontrol langsung terhadap teori-teori yang melahirkan indikator-indikator yang dipakai. Validitas yang digunakan adalah logical validity dimana instrumen kinerja dikembangkan berdasarkan pada teori- teori kinerja yng dikemukakan oleh para ahli.

2. Uji Reliabilitas

Untuk membuktikan kemantapan alat pengumpul data maka akan diadakan uji coba angket, reliabilitas menunjukkan bahwa suatu instrumen dapat dipercaya untuk dipergunakan sebagai alat pengumpul data instrumen tersebut sudah baik (Suharsimi Arikunto, 1982 : 151).

Langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk melakukan uji reliabilitas data adalah sebagai berikut:

1. Melakukan uji coba dengan menyebarkan kuesioner kepada mahasiswa diluar responden

2. Untuk menguji reliabilitas kuesioner digunakan teknik belah dua atau ganjil genap

3. langkah selanjutnya adalah mengkorelasikan kelompok ganjil dengan korelasi product moment, yaitu :


(47)

  

 

                   

N y Y N x x N y x XY rXY 2 2 2 2 Keterangan :

rxy = Hubungan Variabel X dan Y X = Variabel bebas

Y = Variabel terikat N = Jumlah Responden

4. Langkah terakhir adalah mencari reliabilitasnya dengan menggunakan Spearman-Brown agar diketahui koefisien seluruh item.

rXY = 2 (rgg) 1+ rgg Keterangan :

rXY = Koefisien Reliabilitas seluruh tes rgg = Koefisien korelasi item ganjil-genap (Sutisno Hadi, 1986)

Kriteria reliabel data adalah sebagai berikut : 0,90 – 1,00 = Reliabel tinggi

0,50 – 0,89 = Reliabel sedang 0,00 – 0,49 = Reliabel rendah


(48)

G. Teknik Analisis Data

Setelah data diperoleh dari penyebaran angket maka, langkah selanjutnya ialah melakukan analisis data. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan fenomena yang terjadi. Fenomena tersebut diteliti secara deskriptif dengan mencari dan mengumpulkan informasi-informasi yang mempunyai relevansi dengan tujuan penelitian. Informasi yang berhasil dikumpulkan dalam bentuk penguraian, selain itu disajikan dalam bentuk persentasi pada setiap tabel untuk menarik kesimpulan. Adapun penggolongan data ini adalah menggunakan rumus interval yaitu :

K NR NT

I  

Keterangan :

I : interval NT : nilai tinggi NR : nilai rendah K : kategori

K NR NT I  


(49)

Kemudian rumus persentase yang digunakan adalah sebagai berikut :

% 100 X N F P

Keterangan : P = Persentase

F = Jumalah jawaban dari seluruh item N = Jumlah perkalian item dengan responden ( Muhammad Ali, 1985 : 184 )

Menurut Suharsimi Arikunto, ( 1993 :210 ), bahwa untuk menafsirkan banyaknya persentase yang diperoleh digunakan kreteria persentase sebagai berikut :

76% - 100% : Baik 56% - 75% : Cukup 40% - 55% : Kurang Baik <0% : Tidak Baik


(50)

KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan

Berdasarkan analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Persepsi mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan terhadap pasal 41 Undang-undang Badan Hukum Pendidikan Tahun 2009 masuk dalam kategori kurang benar atau kurang sesuai dengan tujuan. Hal ini dapat terlihat sebanyak 27 orang dari 40 responden atau sekitar 67,5% kurang mengetahui disahkanya Undang-undang Badan Hukum Pendidikan Tahun 2009 sebagai upaya untuk memajukan kualitas dan mutu pendidikan yang ada di Indonesia, dan mereka kurang memahami isi pasal dari Undang-undang Badan Hukum Pendidikan Tahun 2009 yang menjadi kontroversi mereka hanya mengetahui pro kontra Undang-undang Badan Hukum Pendidikan tersebut melalui pemberitaan di media yang mengangkat sisi negatif dari undang-undang tersebut

2. Sikap mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan terhadap pasal 41 Undang-undang Badan Hukum Pendidikan Tahun 2009 masuk dalam kategori menolak. Hal ini dapat terlihat sebanyak 20 orang dari 40

responden atau sekitar 50% menolak disahkannya Undang-undang Badan Hukum Pendidikan Tahun 2009, karena mereka beranggapan bahwa dengan adanya Undang-undang Badan Hukum Pendidikan biaya


(51)

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :

1. Kepada mahasiswa hendaknya lebih mengetahui dan memahami isi pasal demi pasal yang tercantum dalam Undang-undang Badan Hukum Pendidikan Tahun 2009, mereka hendaknya mencerna secara objektifitas terlebih dahulu makna dari pasal-pasal yang mereka anggap kontroversi sehingga tidak berujung pada unjuk rasa menolak Undang-undang tersebut

2. Sebagai mahasiswa hendaknya tidak boleh menelan mentah-mentah segala argumen atau segala keputusan apapun baik kita pro atau kontra mengenai Undang-undang Badan Hukum Pendidikan Tahun 2009 semoga apapun yang pemerintah lakukan adalah semuanya untuk kesejahteraan rakyat, jika tidak kita sebagai mahasiswa tidak boleh hanya mengkritisi saja selain mengkritik kita harus memberikan solusi-solusi yang menurut kita baik untuk dilakukan.

3. Kepada pemerintah hendaknya untuk menyosialisasikan materi muatan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan Tahun 2009 dengan baik kepada masyarakat. Bangun kepercayaan masyarakat dengan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan yang tidak saja bisa dipahami oleh para elite, tetapi juga seluruh pemimpin pendidikan kita. Acapkali tujuan


(52)

regulasi adalah segala-galanya. padahal, ia hanya alat untuk mencapai tujuan nasional. Maka, kita harus mampu menguji, apakah Undang-undang Badan Hukum Pendidikan mampu menjadi alat rekayasa yang cerdas dalam mengartikulasikan kepentingan dan tujuan nasional melalui regulasi dan kebijakan nasional pendidikan yang "katanya" dapat

memastikan tercapainya kualitas pendidikan nasional. Begitupun, sikap yang terbaik untuk merespon Undang-undang Badan Hukum Pendidikan adalah mengujinya ke Mahkamah Konstitusi, bukan dengan demo. Apalagi berujung pada anarkisme yang meresahkan masyarakat. Sosialisasi dapat dilakukan melalui iklan di media cetak maupun media elektronik, dalam sosialisasi hendaknya juga menjelaskan apa segi positif dan negatifnya jika Undang-undang tersebut diberlakukan


(1)

46

  

 

                   

N y Y N x x N y x XY rXY 2 2 2 2 Keterangan :

rxy = Hubungan Variabel X dan Y X = Variabel bebas

Y = Variabel terikat N = Jumlah Responden

4. Langkah terakhir adalah mencari reliabilitasnya dengan menggunakan Spearman-Brown agar diketahui koefisien seluruh item.

rXY = 2 (rgg) 1+ rgg Keterangan :

rXY = Koefisien Reliabilitas seluruh tes rgg = Koefisien korelasi item ganjil-genap (Sutisno Hadi, 1986)

Kriteria reliabel data adalah sebagai berikut : 0,90 – 1,00 = Reliabel tinggi

0,50 – 0,89 = Reliabel sedang 0,00 – 0,49 = Reliabel rendah


(2)

47

G. Teknik Analisis Data

Setelah data diperoleh dari penyebaran angket maka, langkah selanjutnya ialah melakukan analisis data. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan fenomena yang terjadi. Fenomena tersebut diteliti secara deskriptif dengan mencari dan mengumpulkan informasi-informasi yang mempunyai relevansi dengan tujuan penelitian. Informasi yang berhasil dikumpulkan dalam bentuk penguraian, selain itu disajikan dalam bentuk persentasi pada setiap tabel untuk menarik kesimpulan. Adapun penggolongan data ini adalah menggunakan rumus interval yaitu :

K NR NT

I  

Keterangan :

I : interval NT : nilai tinggi NR : nilai rendah K : kategori

K NR NT


(3)

48

Kemudian rumus persentase yang digunakan adalah sebagai berikut :

% 100

X N F

P

Keterangan : P = Persentase

F = Jumalah jawaban dari seluruh item N = Jumlah perkalian item dengan responden ( Muhammad Ali, 1985 : 184 )

Menurut Suharsimi Arikunto, ( 1993 :210 ), bahwa untuk menafsirkan banyaknya persentase yang diperoleh digunakan kreteria persentase sebagai berikut :

76% - 100% : Baik 56% - 75% : Cukup 40% - 55% : Kurang Baik <0% : Tidak Baik


(4)

KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan

Berdasarkan analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Persepsi mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan terhadap pasal 41 Undang-undang Badan Hukum Pendidikan Tahun 2009 masuk dalam kategori kurang benar atau kurang sesuai dengan tujuan. Hal ini dapat terlihat sebanyak 27 orang dari 40 responden atau sekitar 67,5% kurang mengetahui disahkanya Undang-undang Badan Hukum Pendidikan Tahun 2009 sebagai upaya untuk memajukan kualitas dan mutu pendidikan yang ada di Indonesia, dan mereka kurang memahami isi pasal dari Undang-undang Badan Hukum Pendidikan Tahun 2009 yang menjadi kontroversi mereka hanya mengetahui pro kontra Undang-undang Badan Hukum Pendidikan tersebut melalui pemberitaan di media yang mengangkat sisi negatif dari undang-undang tersebut

2. Sikap mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan terhadap pasal 41 Undang-undang Badan Hukum Pendidikan Tahun 2009 masuk dalam kategori menolak. Hal ini dapat terlihat sebanyak 20 orang dari 40

responden atau sekitar 50% menolak disahkannya Undang-undang Badan Hukum Pendidikan Tahun 2009, karena mereka beranggapan bahwa dengan adanya Undang-undang Badan Hukum Pendidikan biaya


(5)

pendidikan akan semakin mahal dan semakin mempersulit masyarakat miskin untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :

1. Kepada mahasiswa hendaknya lebih mengetahui dan memahami isi pasal demi pasal yang tercantum dalam Undang-undang Badan Hukum Pendidikan Tahun 2009, mereka hendaknya mencerna secara objektifitas terlebih dahulu makna dari pasal-pasal yang mereka anggap kontroversi sehingga tidak berujung pada unjuk rasa menolak Undang-undang tersebut

2. Sebagai mahasiswa hendaknya tidak boleh menelan mentah-mentah segala argumen atau segala keputusan apapun baik kita pro atau kontra mengenai Undang-undang Badan Hukum Pendidikan Tahun 2009 semoga apapun yang pemerintah lakukan adalah semuanya untuk kesejahteraan rakyat, jika tidak kita sebagai mahasiswa tidak boleh hanya mengkritisi saja selain mengkritik kita harus memberikan solusi-solusi yang menurut kita baik untuk dilakukan.

3. Kepada pemerintah hendaknya untuk menyosialisasikan materi muatan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan Tahun 2009 dengan baik kepada masyarakat. Bangun kepercayaan masyarakat dengan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan yang tidak saja bisa dipahami oleh para elite, tetapi juga seluruh pemimpin pendidikan kita. Acapkali tujuan


(6)

mulia yang ada dibenak kita, tidak mampu ditransformasikan dengan baik dengan bahasa yang etis dan santun, karena para elite berpandangan regulasi adalah segala-galanya. padahal, ia hanya alat untuk mencapai tujuan nasional. Maka, kita harus mampu menguji, apakah Undang-undang Badan Hukum Pendidikan mampu menjadi alat rekayasa yang cerdas dalam mengartikulasikan kepentingan dan tujuan nasional melalui regulasi dan kebijakan nasional pendidikan yang "katanya" dapat

memastikan tercapainya kualitas pendidikan nasional. Begitupun, sikap yang terbaik untuk merespon Undang-undang Badan Hukum Pendidikan adalah mengujinya ke Mahkamah Konstitusi, bukan dengan demo. Apalagi berujung pada anarkisme yang meresahkan masyarakat. Sosialisasi dapat dilakukan melalui iklan di media cetak maupun media elektronik, dalam sosialisasi hendaknya juga menjelaskan apa segi positif dan negatifnya jika Undang-undang tersebut diberlakukan