Kajian Penggunaan Paclobutrazol Terhadap Pertumbuhan Semai Agathis Loranthifolia

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XII No. 1 : 63-73 (2006)

Artikel (Article)

KAJIAN PENGGUNAAN PACLOBUTRAZOL TERHADAP
PERTUMBUHAN SEMAI AGATHIS LORANTHIFOLIA
(The Study of paclobutrazol on the growth of Agathis loranthifolia
seedlings)
OMBO SATJAPRADJA1), L. SETYANINGSIH2), D. SYAMSUWIDA3) dan A. RAHMAT4)

ABSTRACT
Paclobutrazol is one of hormone which able to inhibit the growth of tree seedling. This kind
of hormone is usually used extensively in horticulture in stimulating flowering and enhancing
fruiting. The objective of the research was to know the effect of paclobutrazol on the growth of
Agathis loranthifolia seedlings during storage under different condition, in order to support
seedling supply programs for forest establishment and rehabilitation. There were two factors of the
trial i.e.) growth inhibitors (paclobutrazol, NaCl and aquadest) and 2) storage conditions (growth
house, heavy shading and light shading). A complete randomized design with two factors and 3
replication were used in this trial.
The result of the research showed that the treatment of paclobutrazol to the seedlings stored
at a green house gave an effect to the height and diameter growth of Agathis loranthifolia seedlings

which were lower than those treated by NaCl and aquades. While paclobutrazol treated seedlings
stored under light shading, gave higher value of seedling height and diameter than those stored
under green house condition and heavy shading. The highest value of seedling survival Agathis
loranthifolia achieved by paclobutrazol treated seedlings which were stored at the green house and
under light shading. Field testing after 3 months plantation showed that paclobutrazol – treated
seedlings and seedlings, stored under light shading gave a highest value of seedling survival (100%)
and seedling quality index (0,095).

Keywords : paclobutarazol hormone, seedling storage technique, recalcitrant seed, seedling
survival, seedling quality index.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki sumberdaya alam hutan yang luas.
Dengan adanya penebangan liar dan kebakaran hutan akhir-akhir ini menyebabkan hutan
1)

Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Nusa Bangsa, Silvikultur e-mail: [email protected]
Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Nusa Bangsa, Silvikultur
3)

Peneliti, Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan, Bogor
4)
Peneliti, Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan, Bogor

2)

Trop. For. Manage. J. XII (1) : 63-73 (2006)

64
yang ada mengalami degradasi. Oleh karena itu perlu adanya pemulihan kembali yaitu
dengan reboisasi dan rehabilitasi lahan. Akan tetapi untuk pemulihan kembali hutan yang
ada masih banyak kendala yang dihadapi diantaranya adalah bahan tanaman seperti
pengadaan benih bermutu dari mulai pengumpulan, penanganan hingga penyimpanan
benih, terutama terhadap benih yang bersifat rekalsitran.
Benih rekalsitran adalah benih yang tidak bisa disimpan lama kalau kadar airnya
diturunkan, demikian pula kalau disimpan dalam keadaan kering maupun dingin
sedangkan benih ortodok adalah benih yang dapat disimpan lama dengan menurunkan
kadar airnya dan dalam ruang simpan yang kering dan dingin (Sadjad, 1999).
Agathis loranthifolia Salisb merupakan salah satu jenis tanaman hutan yang
memiliki benih bersifat rekalsitran, jenis ini mempunyai potensi untuk dikembangkan

dimana kayunya dapat digunakan untuk industri kayu lapis, mebel dan untuk kayu
perumahan. Selain itu getahnya dalam perdagangan dikenal kopal dapat digunakan
sebagai bahan dalam pembuatan pelitur dan bahan pembuatan minyak pelapis kayu lantai
(Nurhasybi, 2000).
Untuk menghadapi permasalahan ini maka perlu penelitian dalam penanganan
benih yang bersifat rekalsitran yang meliputi teknologi penyimpanan serta pengujian
kualitas benih. Benih rekalsitran sangat sulit disimpan bahkan dalam kondisi optimal.
Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam penelitian ini dicoba pendekatan lain yaitu
penyimpanan dalam bentuk semai sebagai upaya untuk mempertahankan daya hidup dan
daya tumbuh semai. Pada prinsipnya selama penyimpanan semai dihambat
pertumbuhannya dengan cara memanipulasi faktor lingkungan (pengaturan cahaya, suhu
dan sebagainya) atau memberi zat pengatur tumbuh (Syamsuwida et.al., 2002).
Bahan pengatur tumbuh yang bersifat menghambat pertumbuhan seperti
paclobutrazol dan NaCl telah berhasil dicoba pada beberapa jenis tanaman hutan seperti
semai Shorea pinanga (Handayani, 2000), Shorea selanica (Suminta, 2004).
Paclobutrazol merupakan bahan penghambat pertumbuhan yang bekerja pada
bagian meristem dengan cara menghambat biosintesa geberelin, sehingga terjadi
penghambatan terhadap perpanjangan sel (Berova, et.al., 2002). Sedangkan NaCl
merupakan garam yang tersusun dari unsur Na+ dan Cl- yang mana ion Cl-nya secara
analogis mempunyai sifat mekanisme sama dengan ion Cl yang terdapat dalam

paklobutrazol (Hawley, 1981).
Tujuan
Mengetahui pengaruh paclobutrazol dan NaCl terhadap pertumbuhan semai asal
benih rekalsitran (Agathis loranthifolia) selama penyimpanan pada berbagai kondisi
naungan.

65

METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di laboratorium, rumah kaca, persemaian dan rumah
tumbuh BP2TP Bogor. Penelitian dilaksanakan 6 bulan untuk kegiatan penyimpanan dan 3
bulan di lapang.
Bahan dan Peralatan Penelitian
Bahan yang digunakan adalah semai Agathis loranthifolia yang berumur 4 minggu,
paclobutrazol 250 ppm, NaCI 5% dan akuades. Sedangkan alat yang digunakan sebagai
berikut: (1). Peralatan laboratorium : Timbangan analitis, gelas ukur oven, amplop,
desikator dan penggaris. (2). Peralatan rumah kaca : bak perkecambahan, media
perkecambahan, tempat penyiraman, label dan tusuk gigi. (3). Peralatan persemaian :
cangkul, polybag, penggaris, kaliper, label, shading net dan lux meter.

Prosedur Penelitian
Persiapan Media
Campuran media pasir dan tanah (1:1) dimasukkan ke dalam polybag dengan
ukuran 12 x 20 cm. Media disusun pada tempat penyimpanan masing-masing yaitu rumah
tumbuh, naungan berat 80% dan naungan ringan 40%.
Pengumpulan Buah dan Pengecambahan Benih
Buah dikumpulkan dari tegakan pohon di Gn. Walat Sukabumi, selanjutnya di
ekstraksi. Benih kemudian dikecambahkan dalam bak kecambah, biarkan tumbuh hingga
± 4 minggu
Perlakuan
Semai yang telah berumur 4 minggu dipindahkan (disapih) kedalam polybag ukuran
12 x 20 cm yang berada pada masing-masing tempat penyimpanan. Setelah semai terlihat
kokoh, semai diukur tinggi dan diameternya sebagai data awal kemudian disemprot dengan
bahan pengatur tumbuh paclobutrazol, NaCI dan akuades.
Semai disimpan pada masing-masing tempat penyimpanan selama 6 bulan dan
setiap interval dua bulan diamati dan diukur respon pertumbuhannya. Setelah
penyimpanan semai di tanam di lapang masing-masing 5 bibit per ulangan kemudian di
ukur setiap bulan selama 3 bulan.
Metode Pengambilan Data
Data pertambahan tinggi, pertambahan diameter, persen hidup, suhu dan cahaya

diperoleh dari hasil pengukuran langsung di penyimpanan, di lapang dan Laboratorium
Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.

66
Rancangan Penelitian
Percobaan terdiri dari 2 faktor perlakuan yaitu :
Faktor 1. Bahan pengatur pertumbuhan :
ƒ
ƒ
ƒ

Paclobutrazol 250 ppm
NaCI 5%
Tanpa perlakuan (Akuades)

Faktor 2. Kondisi naungan
ƒ
ƒ
ƒ


Rumah tumbuh dengan cahaya 650 Lux dan Suhu 240 – 28 0C
Naungan berat dengan cahaya 8935 Lux dan Suhu 240 – 320 C
Naungan ringan dengan cahaya 17593 Lux dan 240 – 350 C

Untuk kegiatan penyimpanan rancangan percobaan dengan rancangan acak lengkap
faktorial 3 x 3 dengan ulangan 3 kali sehingga diperoleh 9 kombinasi perlakuan dan 27
satuan percobaan. Setiap unit percobaan terdiri dari 20 semai.
Respon pertumbuhan yang diamati adalah sebagai berikut:
1. Pertambahan tinggi semai, yaitu dengan mengukur bagian batang mulai dari batang
yang muncul dari permukaan tanah sampai pucuk semai.
2. Pertambahan diameter semai, yaitu dengan mengukur bagian batang setinggi 1,5 cm
dari tanah dengan menggunakan kaliper.
3. Prosentase hidup semai, yaitu dengan mengamati jumlah semai yang hidup pada
masing-masing perlakuan setiap bulannya. Sedangkan untuk menghitung prosentase
hidup semai dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Jumlah semai yang hidup
x 100% ...................................................................(1)
Jumlah semai yang ditanam

4.


Indek mutu bibit untuk mengetahui bibit yang paling tinggi mutunya. Menurut Bichel
h (1980) dalam Hendromono 1995 untuk mengetahui indek mutu bibit menggunakan
rumus:
Indeks mutu bibit = Berat kering tajuk (g) + Berat kering akar (g) ...............(2)
 Tinggi (cm)   Bobot kering tajuk (g) 

 + 

 Diameter (mm)   Berat kering akar (g) 
Indeks mutu bibit hanya dilihat di lapangan selama 3 bulan

67

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertambahan Tinggi Semai
Tinggi tanaman merupakan indikator pertumbuhan yang paling mudah diukur
(Lakitan, 1996). Setelah dilakukan penyemprotan pada masing – masing tanaman, terlihat
bahwa pertambahan tinggi tanaman Agathis loranthifolia tertinggi setelah enam bulan
adalah perlakuan akuades pada naungan ringan (cahaya 8935 Lux) dengan pertambahan

6,85 cm, sedangkan pertambahan tinggi terendah pada perlakuan NaCl pada rumah
tumbuh dengan pertambahan 0,46 cm.
Hasil analisis ragam pengaruh bahan pengatur tumbuh (A), naungan (B) dan
interaksi bahan pengatur tumbuh dan naungan (AB) terhadap pertambahan tinggi Agathis
loranthifolia disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Analisis ragam pengaruh bahan pengatur tumbuh, naungan dan interaksi
keduanya terhadap pertambahan tinggi semai Agathis loranthifolia di
penyimpanan
Sumber
F Tabel
Db
JK
KT
F Hitung
keragaman
5%
1%
A
2
0,7165

0,3582
0,48tn
3,55
6,01
B
2
155,1911
77,5955
103,38**
3,55
6,01
AB
4
12,4643
3,1160
4,15*
2,93
4,58
Galat
18

13,5104
0,7505
Total
26
181,8825
Ket : A = Bahan pengatur tumbuh , B = Naungan;
AB = Interaksi bahan pengatur tumbuh dan naungan; ** = Sangat nyata ;
* = Nyata; tn = Tidak nyata
Dari hasil analisis ragam pada Tabel 1 menunjukkan bahwa bahan pengatur tumbuh
tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi Agathis loranthifolia. Sedangkan
faktor naungan berpengaruh sangat nyata terhadap penambahan tinggi Agathis
loranthifolia, adapun interaksi keduanya (bahan pengatur tumbuh dan naungan)
berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi Agathis loranthifolia.
Untuk mengetahui pengaruh nyata dari interaksi kedua perlakuan bahan pengatur
tumbuh dan naungan (AB) terhadap pertambahan tinggi Agathis loranthifolia, maka
dilakukan uji Duncan yang disajikan pada Tabel 2.
Hasil uji Duncan interaksi NaCl dan rumah tumbuh (A2B1) memberikan
pertambahan tinggi terendah dengan pertambahan 0,33 cm, sedangkan interaksi akuades
dan naungan ringan memberikan pertambahan tertinggi dengan pertambahan 6,85 cm.
Penggunaan NaCl dan rumah tumbuh cukup efektif menekan pertambahan tinggi. Hasil
ini sesuai dengan pernyataan Hendromono (2001) bahwa ion Cl- yang terkandung
mempunyai efek menghambat pertumbuhan tanaman. Selain itu cahaya yang sedikit
diterima pada rumah tumbuh menyebabkan semakin tertekannya pertumbuhan semai,
karena cahaya merupakan salah satu faktor pertumbuhan tanaman (Lakitan, 1996).

68
Berdasarkan data rata-rata pertambahan tinggi Semai A. Loranthifolia pada Tabel 2
tanpak bahwa pemberian Paclobutrazol pada semai yang disimpan pada rumah tumbuh
(A1B1) memberikan efek penghambatan yang signifikan terhadap pertumbuhan tinggi
(0,53) dibandingkan dengan pemberian paclobutrazol pada semai yang disimpan pada
kondisi naungan berat (A1B2 = 3,74 cm) dan naungan ringan (A1B3 = 5,95 cm). Tren
penghambatan yang sama ditujukan pula oleh penambahan NACl, dimana semai yang
disimpan pada rumah tumbuh (A2B1 = 0,33 cm) lebih rendah pertambahan tingginya
secara signifikan dibanding yang disimpan pada naungan berat (A2B2 = 3,65 cm) dan
naungan ringan (A2B3 = 6,81 cm). Hal yang sama juga ditunujukkan oleh semai yang
hanya diberikan aquades.
Tabel 2. Uji Duncan pengaruh faktor interaksi naungan dan bahan pengatur tumbuh
terhadap pertambahan tinggi Agathis loranthifolia
Perlakuan

Rata – rata (cm)

A3B3

6,85a

A2B3

6,81a

A1B3

5,95a

A1B2

3,74b

A2B2

3,65b

A3B2

1,45c

A3B1

1,29c

A1B1

0,53c

A2B1

0,33c

Keterangan :
Nilai rata – rata yang diikuti huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji
Duncan pada taraf 5 %
A1B1: Paclobutrazol pada rumah tumbuh
A1B2: Paclobutrazol pada naungan berat
A1B3: Paclobutrazol pada naungan ringan
A2B1: NaCl pada rumah tumbuh
A2B2: NaCl pada naungan berat
A2B3: NaCl pada naungan ringan
A3B1: Akuades pada rumah tumbuh
A3B2: Akuades pada naungan berat
A3B3: Akuades pada naungan ringan

Nilai pertambahan tinggi semai Agathis loranthifolia, yang disemprot paclobutrazol
dan disimpan pada kondisi rumah tumbuh cukup rendah (0,53 cm) dan pertambahan
menunjukkan perbedaan yang nyata dengan nilai tertinggi (6,85 cm) yaitu aquades pada
naungan ringan. Hal ini menjelaskan bahwa paclobutrazol merupakan salah satu jenis
bahan penghambat yang telah dikenal sejak lama (Watimena dalam Syamsuwida, 2000).
Daya kerja paclobutrazol ini adalah menghambat biosintesa giberellin. Giberellin
merupakan salah satu hormon yang terdapat dalam tanaman merupakan senyawa
isoprenoid yang berperan dalam pemanjangan sel dan juga merangsang pembungaan
(Lakitan, 1996). Penghambatan terjadi pada pembentukan kaurenoat dari oksidasi kauren
(Wattimena dalam Syamsuwida, 2000).
Sementara itu, semai yang disimpan pada kondisi ruangan yang sama, pemberian
Paclobutrazol, NACl atau hanya aquades saja tidak menunjukan perbedaaan pertambahan
tinggi yang siginifikan. (lihat A1B1 = A2B1 = A3B1; A1B3 = A2B3 = A3B3; A1B2 =
A2B2. Atau dapat dikatakan bahwa perbedaan pertambahan tinggi atau penghambatan
pertambahan tinggi lebih dipicu oleh perbedaan naungan daripada oleh jenis zat
penghambat tumbuh. Namun demikian pemberian NaCl pada semai yang disimpan pada

69
ruang tumbuh mengalami penghambatan tumbuh terbesar yang ditujukan dengan
pertambahan tinggi terendah (0,33 cm) selama 6 bulan.
Pertambahan Diameter Semai
Setelah dilakukan penyemprotan pada masing-masing tanaman terlihat bahwa
pertambahan diameter terbesar selama penyimpanan enam bulan terjadi pada interaksi
perlakuan NaCl dan naungan ringan dengan rata-rata pertambahan 0,18 cm, sedangkan
pertambahan diameter terkecil pada interaksi perlakuan NaCl dan rumah tumbuh dengan
nilai rata – rata 0,02 cm.
Hasil analisis ragam pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pengaruh bahan pengatur
tumbuh tidak berbeda nyata terhadap penambahan diameter Agathis loranthifolia .
Sedangkan naungan dan interaksi keduanya berpengaruh sangat nyata terhadap
penambahan diameter Agathis loranthifolia.
Tabel 3. Analisis ragam pengaruh zat pengatur tumbuh, naungan dan interaksi keduanya
terhadap pertambahan diameter semai Agathis loranthifolia di penyimpanan
Sumber
Db
Jk
KT
keragaman
A(Zat pengatur tumbuh)
2
0.000096
0.000048
B(Naungan)
2
0.038362
0.019181
AB (interaksi AB)
4
0.00637
0.001592
Galat
18
0.00533
0.000296
Total
26
0.05016
Keterangan :** = Sangat nyata; * = Nyata; tn = Tidak nyata

F Hit.
0.16 tn
64.24**
5.38**

F Tabel
5%
1%
3.55 6.01
3.55 6.01
2.93 4.58

Untuk mengetahui perbedaan pengaruh nyata interaksi keduanya (bahan pengatur
tumbuh dan naungan) maka dilakukan uji Duncan yang disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Uji Duncan interaksi bahan pengatur tumbuh dan naungan terhadap
pertambahan diameter Agathis loranthifolia
Perlakuan
A3B3
A2B3
A1B3
A2B2
A1B2
A3B2
A3B1
A1B1
A2B1

Rata –rata (cm)
0,14a
0,11ab
0,10b
0,09b
0,08bc
0,04c
0,03c
0,02c
0,02c

Keterangan :
Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda berdasarkan uji Duncan
pada taraf 5%.
A1B1: Paclobutrazol pada rumah tumbuh
A1B2: Paclobutrazol pada naungan berat
A1B3: Paclobutrazol pada naungan ringan
A2B1: NaCl pada rumah tumbuh
A2B2: NaCl pada naungan berat
A2B3: NaCl pada naungan ringan
A3B1: Akuades pada rumah tumbuh
A3B2: Akuades pada naungan berat
A3B3: Akuades pada naungan ringan

70
Hasil uji Duncan pada Tabel 4 menunjukkan bahwa interaksi keduanya (bahan
pengatur tumbuh dan naungan) yang memberikan pertambahan diameter terkecil adalah
perlakuan NaCl dan rumah tumbuh (A2B1) dengan pertambahan 0,02 cm, sedangkan yang
memberikan pertambahan terbesar adalah perlakuan akuades pada naungan ringan (A3B3)
dengan penambahan 0,14 cm.
Zat pengatur tumbuh paclobutrazol memberikan pertambahan diameter terkecil
dibandingkan NaCl dan akuades, nilai ini sejalan dengan pertambahan tinggi yang
terhambat setelah diberi paclobutrazol.
Naungan ringan memberikan pertambahan diameter semai terbesar hal ini diduga
karena naungan ringan memberikan intensitas cahaya (17593 Lux) lebih besar daripada
naungan berat (8953 Lux) dan rumah tumbuh (650 Lux). Sebagaimana yang dikatakan
Lakitan (1996) cahaya merupakan salah satu faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan tanaman.
Persentase Hidup Semai
Persentase hidup semai dihitung dari keseluruhan jumlah semai Agathis
loranthifolia yang hidup dibandingkan jumlah semai yang ditanam pada awal penelitian.
Tabel 5 menampilkan persentase hidup semai dari mulai semai umur 1 bulan sampai semai
umur 6 bulan.
Tabel 5. Persentase hidup semai selama penyimpanan
Perlakuan
Bln 1
Bln 2
A1B1
100
100
A1B2
100
98,3
A1B3
100
100
A2B1
98,3
98,3
A2B2
98,3
98,3
A2B3
98,3
98,3
A3B1
98,3
96,7
A3B2
100
98,3
A3B3
100
100
Keterangan :
A1B1: Paclobutrazol pada rumah tumbuh
A1B2: Paclobutrazol pada naungan berat
A1B3: Paclobutrazol pada naungan ringan
A2B1: NaCl pada rumah tumbuh
A2B3: NaCl pada naungan ringan

Bln 3
100
98,3
100
98,3
98,3
96,7
96,7
96,7
98,3

Bln 4
100
98,3
100
96,7
96,7
95
95
96,7
98,3

Bln 5
100
98,3
100
96,7
95
95
95
95
98,3

Bulan 6
100
98,3
100
95
95
95
95
93,3
98,3

A3B1: Akuades pada rumah tumbuh
A3B2: Akuades pada naungan berat
A3B3: Akuades pada naungan ringan
A2B2 : NaCl pada naungan berat

Dari Tabel 5 di atas terlihat bahwa persentase hidup semai damar (Agathis
loranthifolia) rata-rata memiliki nilai yang lebih tinggi (100%) pada perlakuan yang
menggunakan paclobutrazol (A1B1; A1B2; A1B3) daripada perlakuan NaCl atau
aquades. Hasil analisis ragam persentase hidup semai pada umur 6 bulan disajikan Tabel
6.

71
Tabel 6. Analisis ragam persentase hidup semai Agathis loranthifolia umur 6 bulan
F Tabel
Sumber
Db
Jk
KT
F Hitung
Keragaman
5%
1%
A
2
79,6296
39,8148
2,26 tn
3,55
6,01
B
2
51,8518
25,9259
1,47 tn
3,55
6,01
AB
4
14,8148
3,703
0,21 tn
2,93
4,58
Galat
18
316,6666 17,5925
Total
26
462,9629
Keterangan : A = Zat pengatur tumbuh; B = Naungan;
AB = Interaksi naungan dan zat pengatur tumbuh; tn = tidak nyata
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa bahan pengatur tumbuh, ruang simpan
dan interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persen hidup
semai Agathis loranthifolia selama di penyimpanan.
Pemberian zat pengatur tumbuh (paclobutrazol) terhadap semai Agathis
loranthifolia memberikan persentase hidup lebih besar dibandingkan dengan semai yang
diberi NaCl dan kontrol. Peningkatan persentase hidup semai ini terkait dengan pengaruh
paclobutrazol terhadap pemendekan semai sehingga mempertinggi ketahanan fisik semai
terhadap gangguan – gangguan dari luar yang dapat menyebabkan kematian semai.
Indek Mutu Bibit
Indek mutu bibit merupakan suatu nilai yang didapat dari beberapa parameter
pertumbuhan seperti : tinggi, diameter, berat basah akar dan batang, berat kering akar dan
batang (Bichel h (1980) dalam Hendromono (1995). Indek mutu bibit merupakan nilai
yang menggambarkan kemampuan bibit untuk dapat tidaknya beradaptasi dengan
lingkungan yang baru. Bibit yang memiliki nilai indek mutu bibit dibawah 0,09
mempunyai kemampuan rendah beradaptasi di lapang. Dari hasil pengukuran
menunjukkan nilai tertinggi terjadi pada perlakuan akuades dan naungan ringan (A3B3)
dengan nilai 0,095 sedangkan nilai terendah terjadi pada perlakuan paclobutrazol dan
rumah tumbuh dengan nilai 0,0046. Hasil analisis ragam pengaruh bahan pengatur tumbuh
dan naungan terhadap Indek mutu bibit ditampilkan pada Tabel 7.
Tabel 7.

Analisis ragam pengaruh bahan pengatur
indek mutu bibit Agathis loranthifolia.

Sumber
keragaman
Kelompok
A(Z pengatur)
B (R simpan)
AB
Galat
Total
Ket : tn = tidak nyata

tumbuh dan naungan terhadap

Db

Jk

KT

FHitung

2
2
2
4
16
26

0,4494
1,1701
0,9512
2,3423
3,1989
8,1120

0,2247
0,5850
0,4756
0,5855
0,1999

1,12tn
2,93tn
2,38tn
2,93tn

F Tabel
5%
1%
3,63
6,22
3,63
6,22
3,63
6,22
3,01
4,77

72
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pengaruh bahan pengatur tumbuh (A),
naungan dan interaksi bahan pengatur tumbuh dan naungan (AB) tidak berpengaruh nyata
terhadap indek mutu bibit Agathis loranthifolia. Setelah 3 bulan penanaman di lapangan.
Hal ini menunjukan bahwa pemberian zat penghambat pertumbuhan vegetatif
(Paclobutrazol dan NaCl) pada semai yang disimpan pada berbagai kondisi naungan
ternyata tidak menyebabkan terjadinya penurunan atau peningkatan indeks mutu bibit,
setelah berada di lapangan dibandingkan dengan semai kontrol. Dengan demikian
perlakuan yang diberikan selama proses penyimpanan semai (6 bulan) tidak memberikan
efek negatif terhadap semai setelah di lapangan.
Paclobutrazol memberikan indek mutu bibit lebih tinggi daripada NaCl hal ini
diduga bahwa dengan diberi paclobutrazol pada tanaman Agathis loranthifolia
memberikan penambahan kandungan organik sehingga mempertinggi ketahanan fisik
karena adanya penyerapan air dan hara yang lebih banyak untuk bahan makanan Naungan
ringan memberikan indek mutu bibit lebih tinggi daripada naungan berat dan rumah
tumbuh. Keadaan tersebut disebabkan karena intensitas cahaya pada waktu penyimpanan
tinggi dan mampu beradaptasi di lapang sehingga pertumbuhan Agathis loranthifolia bagus
sejalan dengan tingginya indek mutu bibit terhadap tanaman Agathis loranthifolia.
Pada waktu penyimpanan interaksi paclobutrazol, rumah tumbuh dan NaCl,
rumah tumbuh memberikan pertambahan tinggi yang rendah dan ternyata setelah di lapang
memberikan indek mutu bibit terendah. Interaksi paclobutrazol dan naungan ringan
(A1B3) memberikan indek mutu tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi
paclobutrazol dan naungan ringan cukup baik untuk digunakan. Karena pada kondisi
naungan ringan, lingkungan memberikan cahaya yang optimum untuk proses fotosintesis
guna ketersediaan karbohidrat yang diperlukan semai untuk pertumbuhannya.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Penggunaan paclobutrazol dan NaCl belum memberikan penghambatan yang
signifikan terhadap pertumbuhan semai A. Loranthifolia yang disimpan 6 bulan
2. Penggunaan paclobutrazol pada semai Agathis loranthifolia tidak menurunkan persen
hidup pada setiap kondisi penyimpanan.
3. Penyimpanan semai pada ruang tumbuh baik yang diberikan Paclobutrazol atau tanpa
Paclobutrazol cenderung terhambat pertumbuhannya dibandingkan dengan yang
disimpan pada kondisi naungan yang lain.
4. Penggunaan Paclobutrazol tidak menurunkan indek mutu bibit setelah ditanam di
lapangan.

73
Saran
Untuk teknik penyimpanan bibit dalam bentuk semai, disarankan menggunakan
paclobutrazol pada naungan ringan dengan memperbesar pemberian dosis paclobutrazol
serta sebelum ditanam di lapang dilakukan aklimatisasi lebih dulu.

DAFTAR PUSTAKA
Berova, M., Z. Zlatev, N. Stoeva. 2002. Effect of Paclobutrazol on Wheat Seedling Under
Low Temperature Stress. Jurnal Plant Physical. Bulgaria. p. 76
Handayani E, 2000. Pengaruh Paclobutrazol, Kondisi Ruang Simpan Terhadap
Pertumbuhan Semai Meranti Merah (Shorea Pinanga Schef). Skripsi Jurusan
Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB Bogor.
Hawley, G.G. 1981. Condeses Chemical Dictionary 10 th ed Nostrand Reihold. Co. New
York. p. 40
Hendromono, 1995. Pengaruh Pupuk NPK Dan Frekuensi Penyiraman Pada Dua Jenis
Tanah Terhadap Pertumbuhan Dan Mutu Bibit Jeungjing (Albizia Falcataria).
, 2001. Batas Toleransi Bibit Gmelina (Gmelina Arborea Roxb) Dan
Mahoni (Swietenia Macrophylla King) Terhadap Kandungan Garam Air Penyiram.
Buletin Penelitian Hutan. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hutan Dan
Konservasi Alam. Bogor.
Lakitan B, 1996. Fisiologi Pertumbuhan Dan Perkembangan Tanaman. PT Raya Grafindo.
Nurhasybi, 2003. Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia Jilid I. Publikasi Khusus
Diterbitkan Oleh Balai Penelitian Dan Pengembangan Teknologi Perbenihan
Bogor.
Sadjad, 1999. Parameter Pengujian Vigor Benih Dari Komperatif Ke Sumulatif. Penerbit
PT Grasindo Bekerjasama Dengan PT Sang Hyang Seri, Jakarta.
Suminta, I. 2004. Pengaruh paclobutrazol dan NaCl terhadap Pertumbuhan Semai Agathis
selanica Blume pada Beberapa Periode dan Kondisi Simpan. Skripsi Sarjana pada
Fakultas MIPA. Universitas Pakuan. Bogor.
Syamsuwida, 2000. Paclobutrazol : Manfaat Dan Kegunaanya Untuk Tanaman Kehutanan.
Diterbitkan Oleh Balai Penelitian Dan Pengembangan Teknologi Perbenihan
Bogor.
Syamsuwida, 2002. Metode Alternatif Penyimpanan Rekalsitran. Publikasi Khusus Buletin
Penelitian Dan Pengembangan Hutan

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. VII No. 2 : 63-73 (2001)

Artikel (Article)

STUDY ON THE USE OF
SMALL FORMAT NON-METRIC AERIAL PHOTOS
FOR ESTABLISHING AERIAL TEAK STAND VOLUME TABLE
(A case study in Randublatung Forest Management Unit,
PT. Perhutani Unit I, Central Java)
AGUNG BUDI CAHYONO1), I NENGAH SURATI JAYA2) and
BAMBANG SAPTO PRATOMOSUNU3)

ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji tentang pemanfaatan foto udara non-metrik format kecil (SFNAP)
guna menyusun tabel volume udara tegakan jati (aerial stand volume table of teak wood) di KPH
Randublatung, Perum Perhutani Unit I, Jawa Tengah. Sebagai perbandingan, pengkajian terhadap
penggunaan potret udara metrik konvensional (CAP) juga dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa secara teknis SFNAP layak digunakan untuk mengestimasi potensi tegakan sebagaimana
ditunjukkan oleh hasil tes statistik. Model terbaik untuk estimasi volume tegakan jati menggunakan
SFNAP di lokasi penelitian adalah V = 52,4 – 0,469 C (r2 = 76,2%), sedangkan model terbaik
menggunakan CAP adalah V = 32,4 – 0,246 C (r2 = 69,1%).

INTRODUCTION
During the last three decades, forest as a natural resource given a significant
contribution to the Indonesia’s economic growth. To keep its existence and sustainability,
it should be well managed. This forest resource can only be well managed when supported
by accurate and reliable data that could be detected through forest inventory. Due to the
vastness of the forest area, the terrestrial inventory method is usually cost consuming.
Alternatively, the application of remote sensing technique through the application of aerial
photographs and satellite imagery followed by adequate ground checking are more
preferable. In Java, teak wood (Tectona grandis L.f) has been long time as a main forest
product that consumed by most of population either for their life or for industrial intake.
Randublatung forest management unit (Kesatuan Pemangkuan Hutan/KPH), is one of the
concession areas of PT. Perhutani that recently sufferred from illegal cutting. To monitor
and inventory the remaining forest stand in accurate and speedy manner, there is a need to
use remote sensing technique, particularly using large scale of aerial photos.

1)

Scientist and lecturer at the Geodetic Department, Sepuluh November Institute of Technology (ITS), Surabaya
Scientist and lecturer at the Faculty of Forestry, Bogor Agriculture University
3)
Scientist at the Coordinating Agency for National Survey and Mapping (BAKOSURTANAL), Indonesia
2)

Trop. For. Manage. J. VII (2) : 63-73 (2001)

64
Now, availability of non-metric cameras, which technically become more and more
sophisticated, provided an opportunity that aerial photos with a small format could be able
to substitute conventional aerial photos (CAP) usually taken with metric cameras.
To support the government programs in natural resources inventory (NRI), especially
for production forest, now, PT. Perhutani had established forest mapping and inventory
programs using SFNAP. The work presented in this research was a part of the work
initiated by the cooperation between PT. Waindo SpecTerra and the Geodetic Engineering
Department, Gadjah Mada University on Forest Mapping Project using small format aerial
photos. It is expected that the result of SFNAP would be applicable in forest inventory,
such as estimating stand or tree volumes.
The small format non-metric aerial photos (SFNAP) used in this study is aerial
photos taken from small/light aircraft using 35 mm or 70 mm type camera and has
standard picture format of 2.4 x 3.6 cm or 5.5 x 5.5 cm. Warner et al (1996) noted that
small format aerial photography provides a low-cost source of aerial photo with simple
technology. It could be applied when aerial photos are needed immediately at a low cost,
e.g. disaster mitigation (flooding, earthquakes). Jaya and Cahyono (2001) found that the
SFNAPs are feasible to be used for forest interpretation. In particular, planners, managers
and decision-makers need an up-to-date data to monitor and control the developments in
fast changing areas (e.g. urban and sub-urban areas). The small format image quality
depend on: (1) the subject, which will have certain qualities, such as terrain contrast,
lighting and atmospheric haze; (2) the camera lens quality; (3) the type of film used,
granularity and tonal quality; (4) the exposure and film processing; (5) the degree of
apparent image motion and (6) the print quality.
Objectives
The main objective of this study is to evaluate the technical applicability of Small
Format Non-metric Aerial Photograph in establishing aerial stand volume table of teak
forest in comparison with the CAP.

METHODS
Study area and data
Major of the study area is part located in Banjarrejo, Kradenan and Randublatung,
Jati Districts, Regency of Blora, while the rest is located in Gabus District, Regency of
Grobogan, Forest Management Unit (KPH) Randublatung Central Java. The areas extend
from 111°20’ to 111°28’ East longitude (Perum Perhutani, 1993), and from 7°10’ to 7°15’
South latitude. This research was conducted from February to August 2001.
The photos examined in this study were small format non-metric aerial photos
acquired in 2001 and conventional (metric) aerial photos acquired in 1992. Data
processing was done in several places namely PT. Waindo SpecTerra, BTIC building SEAMEO – BIOTROP, Laboratory of Aerial Photo Interpretation, Faculty of Forestry,
Bogor Agriculture University and SPH Salatiga. Field observations were done within

65
Randublatung Forest Management Unit (Kesatuan Pemangkuan Hutan/KPH), Bekutuk and
Ngliron Forest Division (Bagian Hutan / BH).
Tools and equipment used were light aircraft (KitFox™ series 5 voyager) with 3
passengers, camera Canon EOS 1000, stereoscope, parallax bar, micrometer wedge, crown
density scale, measuring tape, compass, hagameter and GPS Garmin 38.
Data processing were used are Arc View for processing SDH-PDE, ERMapper 6,0,
MapInfo 5, Ozy Explorer, AutoCAD 2000, Transform (Geodetic Department, UGM) for
UTM - Polyeder transformation, Minitab 11 for statistic calculation, Excel and Microsoft
Word 2000 for reporting.
General Procedures
SFNAP data acquisition
The procedure of data acquisition was adopted from the work of PT. Waindo
SpecTerra in collaboration with the Geodetic Engineering Department, the University
Gadjah Mada on Forest Mapping Project using small format aerial photos. According to
Haryuatmanto (1995), the procedure of data collection using small format non-metric
aerial photography technique, includes (1) data recording using 35 mm camera, (2) making
ground control using GPS-Video and (3) photo acquisition. The specifications of SFNAP
are as follows:
Photograph
Camera focal length
Flying height average
Photo Scale
Film size
Photo Size
Photo Type
Run
Photo ID
Date of photo acquisition
Courtesy

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

small format non-metric aerial photo
35 mm
1500 m
1: 8000
2.4 cm x 3.6 cm
15.2 cm x 10.1 cm
Color
20
18024-18025
February, 2001
PT. Waindo Specterra

Photo interpretation
The steps of image interpretation implemented in this study consisted of (1) selection
of sampling plot, (2) choosing aerial photo both CAP and SFNAP and (3) interpretation of
stand variables such as crown cover (C), tree height (H), crown diameter (D) and number
of tree (N). Technical procedure for measuring C, H, D and N follows the standard method
as described in Paine (1981). Number of plots that were interpreted on the SFNAP and
CAP are 25 and 26 plots, respectively. These sampling plots were selected in such manner
so they can represent available stand age, bonita (site index) in each forest division. Tables
1 and 2 describe the bonita (site index), stand age and forest division represented by
sample plots in the both SFNAP and the CAP, respectively.

66
Table 1. CAP plot sampling
Cutting/planting plot
86
87a
88ab
127
128

Year of
planting
1979
1971
1958
1934
1933

Bonita (site
index)
3.5
4-4.5
4
3.5
4-4.5

Stand age

Year of
planting
1979
1971
1958
1934
1933
1957
1946
1952
1963

Bonita (site
index)
3
3
4
3.5 - 4
4.5
3
3.5
3.5
3

Stand age

12
20
33
57
58

Forest
Division
Ngliron
Ngliron
Ngliron
Bekutuk
Bekutuk

Table 2. SFNAP plot sampling
Cutting/planting plot
86
87a
88ab
127
128
74
76b
76d
77c

22
30
43
67
68
44
55
49
38

Forest
Division
Ngliron
Ngliron
Ngliron
Bekutuk
Bekutuk
Ngliron
Ngliron
Ngliron
Ngliron

Ground measurement
To establish the regression model expressing the relationship between stand variables
and stand volume, the plots interpreted in the SFNAP were also checked in the fields. The
field measurements were done between April and June 2001. For 26 sample plots
measured on the CAP, the field data were derived from the tally sheet collected by PT.
Perhutani in 1991. It should be noted that the CAPs were taken 1992. The ground activities
covered in this research are measurement of tree height, tree diameter, and counting of tree
number per plot. The tree height from the base until top of the tree crown was measured
using hagameter. The diameter of tree was measured at the breast height. These variables
are used to predict the total tree volume based on Local Volume Table.
The sampling plots were selected using systematic sampling with random start. The
0.1-ha ground sample plots were laid out across the stand, in which the distance between
plot was 200 m x 200 m. The coordinate of plot location was mapped using GPS.
Data analysis
Analysis of the data included (1) data processing and (2) establishment of the
regression model for both the CAP and SFNAP.

67
(1) Data processing
Prior to establish the regression model, the field data were processed into stand
volume per plot (m3/plot). Furthermore, the ground stand volume was treated as
dependent variable (V), while the stand variables measured on the photos such as
crown cover (C), stand height (H), crown diameter (D) and number of tree (N) were
treated as independent variables.
(2) Establishment of the best regression model
The regression models examined in this study are simple and multiple regressions. To
build the model of stand volume from aerial photo, it is necessary to select the most
appropriate variables and model. Various researches found that the relationship
between the stand volume and the stand variable were in the form of linear,
logarithmic and or exponential model. In this study, selection of the model was based
upon practical and statistical considerations. The best regression model is the model
that explains the close relationship between predictor (dependent variable), y, and
independent variable, x. During selection of the model, the best model should
consider the fewer number of independent variables in the equation and the easiness
level on measuring those independent variables in the photos.
Statistically, determination of the best model was based on statistic of F and
coefficient correlation (r) test. F-test was used for examining the significance of
regression. If the calculated F exceeds the critical F-value in the table (95%
confidence level), then it means that at least one coefficient of regression is
significant (reject the hypothesis Ho: 1=0 running a risk of less than 5% of being
wrong). In the particular case of fitting a straight line, this F-test for “regression” is
equivalent to the t-test, when testing individual coefficient (Draper and Smith, 1981).
The r-test performed in this study was intended to measure whether the linear
association between x and y is significant (r > 0). The coefficient regression and
coefficient of regression are closely related but provide different interpretation. The
coefficient of regression is a measure of the size of the change in y that can be
predicted when a unit change is made in x.

68

RESULTS AND DISCUSSION
Coefficient correlation
Table 3. Simple regressions using CAP
Linear regression equation

Coefficient correlation
(r)

V = 32.4 – 0.246 C
R-Sq = 69.1%
V = 0,98 + 0.474 H
R-Sq = 43.3%
V = 3.93 + 1.46 D
R-Sq = 52.4%
V = 18.9 – 0.628 N
R-Sq = 51.2%

r table
(0.05)

r table
(0.01)

0.374

0.478

0.831
0.658
0.724
0.716

Table 4. Simple regressions using SFNAP
Linear regression equation
V = 54.2 – 0.469 C
R-Sq = 76.2%
V = -0.29 + 0.584 H
R-Sq = 36.2%
V = 3.77 + 1.34 D
R-Sq = 49.1%
V = 18.4 – 0.425 N
R-Sq = 59.7%

Coefficient of correlation
(r)

r table
(0.05)

r table
(0.01)

0.381

0.487

0.873
0.602
0.601
0.773

In Table 3 it was shown that the calculated r-values of C, H, D and N are all higher
than r table both at the 95% (0.374) and 99% (0.478) confidence levels. These mean that the
relationships between V and C, H, D or N measured from conventional aerial photo (CAP)
are closely related at the 95% and 99% confidence levels.
In comparison with the use of SFNAP, all of the C, H, D and N variables measured
on SFNAP (Table 4) also have calculated r-value higher than r table value of 0.381 at the
95% confidence level or 0.487 at the 99% confidence levels. This describes that the
relationship between V and C, H, D and N measured on the SFNAP are statistically close.
Among the r-values obtained, the r-values between V and H either measured on SFNAP or
CAP somehow lower. This is might due to the difficulty in measuring H precisely on the
photos, especially to place the floating mark exactly at the base of the tree. Measuring C

69
and/or N is a little bit easier than measuring H. Using the SFNAP, the correlation between
D and V is also lower than the correlation between V and N; and V and C.
Table 5. Multiple regressions
Coefficient of
correlation
(r)

r table
(0.05)

r table
(0.01)

0.808

0.381

0.487

0.633
0.653

4.25

V = 33.0 - 0.204 C - 0.363 N
R-Sq = 52.0 %
Log V = 3.52 - 1.08 Log C - 0.393 Log N

0.721

0.374

0.496

4.23

Ln V = 4.04 - 0.0145 C - 0.0358 N

0.482

Multiple Regression

SFNAP

CAP

V = 40.3 - 0.309 C - 0.070 N
R-Sq = 65.4 %
Log V = 4.50 - 1.70 Log C - 0.100 Log N
Ln V = 4.51 - 0.0221 C - 0.00594 N

0.487

To compare their relationship, the use of multiple regression was also reformed.
Table 5 shows that r-values of multiple regression derived either from CAP or SFNAP is
higher than rtable. In comparison with the simple regression, the multiple regression in
predicting using C and N variables decrease r-values from 0.873 to 0.808. The same
pattern was also found on multiple regressions derived from the CAP, where the calculated
r-values decrease significantly from 0.831 to 0.721. These results explained that the
addition of N variable degraded the estimation accuracy. Ultimately, it could be concluded
that the use of only C variable could provide better estimation.
In comparison with the previous research, Suar (1993) found that the best model for
estimating teak stand volume in BKPH Cikampek, KPH Purwakarta is V = -10.2 + 0.169 N
+ 8.2D having r2 = 0.538, while Effendi (1998) found the best model for estimating teak
stand volume in KPH Jombang is of V = 0.0013182 C 0.989 D 2,5, having r2 = 0,851. The
work of Perum Perhutani and Fakultas Kehutanan IPB (1998) in KPH Nganjuk, Madiun
and Jombang, found that the best models were made using variables C and D. The above
results coincided with the study results obtained in this study, in which the inclusion of C
always performs the best model.
Test for significance of regression
Statistical test for evaluating the significance of regression was performed. As
described in Table 6, the calculated F value of C, H, D and N variables exceed the critical
F value in table (Ftable) either at the 95% or 99% confidence level. This means that each
variable has a significant role in estimating stand volume. The C variable is the most
significant variable than H, D or N. The test for evaluating coefficient of regression for
predicting stand volume using C, H, and D & N variables measured on the SFNAP is
shown in Table 7.

70
Table 6. F-test for significance of simple regression using CAP
DF

Source
V = f (C)

V = f (H)

V = f (D)

V = f (N)

Regression
Error
Total
Regression
Error
Total
Regression
Error
Total
Regression
Error
Total

1
16
17
1
24
25
1
24
25
1
22
23

SS

MS

Fcal

F(0.05)

F(0.01)

151.26
67.53
218.78
213.54
279.17
492.71
258.17
234.54
492.71
172.05
163.85
335.90

151.26
4.22

35.84

4.23

7.72

213.54
11.63

18.36

4.23

7.72

258.17
9.77

26.42

4.23

7.72

172.05
7.45

23.10

4.23

7.72

Remarks:
DF = degree of freedom; SS = sum of square; MS = mean of square; F cal = F calculate; F (0.05) = F table at 95%
confidence level; F (0.01) = F table at 99% confidence level.

Table 7. F-test for significance of simple regression using SFNAP

V = f (C)

V = f (H)

V = f (D)

V = f (N)

Source

DF

SS

MS

Focal

F (0.05)

F (0.01)

Regression
Error
Total
Regression
Error
Total
Regression
Error
Total
Regression
Error
Total

1
19
20
1
22
23
1
23
24
1
19
20

260.70
81.28
341.98
159.65
281.45
441.10
233.53
241.66
475.19
123.33
83.20
206.53

260.70
4.28

60.94

4.25

7.87

159.65
12.79

12.48

4.25

7.87

233.53
10.51

22.23

4.25

7.87

123.33
4.38

28.16

4.25

7.87

Remarks:
DF = degree of freedom; SS = sum of square; MS = mean of square; F cal = F calculate; F (0.05) = F
table at 95% confidence level; F (0.01) = F table at 99% confidence level.

As also described in Table 7, the calculated F values of C, H and D and N variables
are higher than Ftable either at the 95% or 99% confidence level. This expresses that on the
95% and 99% confidence levels the C, H, D and N are good predictor of stand volume.
According to Drapper and Smith (1981) the estimator model is feasible to be used when
the value of Fcalculate is four time larger than the Ftable. As shown in Tables 6 and 7, except
using H variable for SFNAP, all stand variables either measured on the SFNAP or the
CAP are feasible to be used to estimate stand volume using simple linear regression. This

71
concludes that the stand volume in the study site can be predicted by using crown cover
(C), tree height (H) and crown diameter (D) measured on the SFNAP. The models are
depicted in Table 4. Among these variables, the C variable was the most recommended
variable for predicting stand volume through the SFNAP. The use of multiple regression
could not be recommended since it reduces the accuracy.
The best model
For practical purposes, Jaya (1986) expressed that the best model should be simple;
using only few numbers of independent variables and those variables should be easy to be
measured. For practical reason, the easiest variables include C (crown cover) and N
(number of tree). Both C and N variables are easy to be measured providing consistent
interpretation result. Based on r-values and F-test, the best models for the study site are:
V = 54.2 – 0.469 C for the SFNAP and
V = 32.4 – 0.246 C for the CAP
The aerial volume tables for these equations are shown in Tables 8 and 9.
Table 8. Aerial stand volume table of teak wood using the SFNAP
Crown cover (%)
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100

1
490
444
397
350
303
256
209
162
115
68

2
486
439
392
345
298
251
204
157
111

3
481
434
387
340
293
247
200
153
106

Crown cover (%)
4
5
6
476 472 467
429 425 420
383 378 373
336 331 326
289 284 279
242 237 232
195 190 186
148 143 139
101
96
92

Remarks: The values inside the table express the stand volume (m3/ha).
Example: the volume of stand having crown cover 65% is 237 m3/ha

7
462
415
368
322
275
228
181
134
87

8
458
411
364
317
270
223
176
129
82

9
453
406
359
312
265
218
171
125
78

72
Table 9. Aerial stand volume table of teak wood using the CAP
Crown cover (%)
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100

1
297
272
248
223
199
174
149
125
100
76

2
294
270
245
221
196
171
147
122
98

3
292
267
243
218
194
169
144
120
95

Crown cover (%)
4
5
6
290
287
285
265
263
260
240
238
235
216
213
211
191
189
186
167
164
162
142
140
137
117
115
112
93
90
88

7
282
258
233
208
184
159
135
110
85

8
280
255
231
206
181
157
132
108
83

9
277
253
228
203
179
154
130
105
80

Remarks: The values inside the table express the stand volume (m3/ha).
Example: the volume of stand having crown cover 65% is 164 m3/ha

CONCLUSIONS AND RECOMMENDATIONS
Conclusions
Based on the results obtained in this study, the following conclusions were derived:
1. The SFNAPs are technically feasible to be used for estimating stand volume of teak
forest, through establishment of aerial stand volume table.
2. Either on the conventional aerial photo or small format non-metric aerial photograph
the study found that there are a strong correlation between the stand volume and C, H,
D and N variables.
3. The most accurate model for estimating the stand volume are:
V = 54.2 – 0.469 C (r2 = 76.2%) for SFNAP, and
V = 32.4 – 0.246 C (r2 = 69.1%) for CAP
Recommendation
1. The research result obtained in this study is specific to the study area. The model
verification in other site should be performed. The quality of photos must also be
analyzed before it used at the operational scale.
2. For application, a comparison study to evaluate the efficiency of SFNAP & CAP is
recommended to be conducted