Parent’s Perception of High School Education and Allocation of Expenditure for Education in Farmer Family at Bogor City

PERSEPSI ORANG TUA TENTANG PENDIDIKAN
MENENGAH DAN ALOKASI PENGELUARAN UNTUK
PENDIDIKAN PADA KELUARGA PETANI DI KOTA BOGOR

WINDA DWI GUSTIANA

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

 
 

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Persepsi Orang Tua tentang
Pendidikan Menengah dan Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan pada Keluaga
Petani di Kota Bogor adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing skripsi
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2012

Winda Dwi Gustiana
NIM. I24080016

 
 

 
 
ABSTRACT
WINDA DWI GUSTIANA. Parent’s Perception of High School Education and Allocation of
Expenditure for Education in Farmer Family at Bogor City. Supervised by ISTIQLALIYAH
MUFLIKHATI.
Education is one of the most important factors to support human resources
improvement. But, in fact, there was many children dropped out or did not continue to

high school because of cost constrains. The purpose of research was to investigate
parent’s perception of high school for children and allocation of expenditure for education
in farmer family at urban area. This study used survey method in Kertamaya Village. Data
collection was conducted in May 2012. The research involved 60 farm families who had
children aged 6-18 years. The results showed that families agreed about sent their
children to high school could improved human resources and developed children’s
potential. However, families had a hunch that the cost of high school was too expensive,
so they could be burdened. Therefore, the perception of high school education was
classified as medium category. Family who had higher income per capita and education
level had higher perception about high school education for children. Family who had
higher income per capita and wife’s age had higher allocation of expenditure for
education.
Keywords : allocation of expenditure, farmer family, perception.

ABSTRAK
WINDA DWI GUSTIANA. Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan Menengah dan
Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan pada Keluarga Petani di Kota Bogor. Dibimbing
oleh ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI.
Pendidikan merupakan salah satu faktor penting untuk mendukung peningkatan
kualitas sumber daya manusia. Namun, pada kenyataanya masih banyak anak putus

sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah karena kendala biaya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji persepsi orang tua tentang pendidikan
menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan pada keluarga petani di perkotaan.
Penelitian ini menggunakan metode survei yang dilakukan di Kelurahan Kertamaya.
Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei 2012. Penelitian melibatkan 60 keluarga
petani yang memiliki anak usia 6-18 tahun. Hasil penelitian menunjukan bahwa
responden menyetujui pendidikan menengah dapat meningkatkan kualitas dan
mengembangkan potensi anak. Namun, responden beranggapan biaya pendidikan
menengah terlalu mahal hingga memberatkan keluarga. Oleh karena itu, persepsi orang
tua tentang pendidikan menengah termasuk dalam kategori sedang. Meningkatnya
pendidikan istri dan pendapatan per kapita akan meningkatkan persepsi tentang
pendidikan menengah. Meningkatnya pendapatan per kapita dan usia istri akan
meningkatkan alokasi pengeluaran untuk pendidikan.
Kata kunci : alokasi pengeluaran, keluarga petani, persepsi.

 
 

 
 


RINGKASAN
WINDA DWI GUSTIANA. Persepsi Orang tua tentang Pendidikan Menengah dan
Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan pada Keluarga Petani di Kota Bogor.
Dibimbing oleh ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI.
Pertanian merupakan salah satu sektor yang turut berkontribusi dalam
pembangunan Indonesia. Pendidikan merupakan salah satu hak dasar bagi
setiap warga negara, termasuk keluarga petani. Namun, mahalnya biaya
pendidikan, khususnya pendidikan menengah membuat keluarga terbebani.
Pada akhirnya banyak orang tua yang lebih mementingkan anak bekerja
membantu perekonomian keluarga dibandingkan dengan melanjutkan sekolah ke
jenjang selanjutnya. Kebutuhan pendidikan merupakan suatu hal yang perlu
dipertimbangkan cukup matang bagi setiap keluarga petani. Penelitian ini secara
umum bertujuan untuk mengkaji persepsi orang tua tentang pendidikan
menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan pada keluarga petani di
Kota Bogor. Tujuan khusus penelitian ini adalah: (1) mengetahui persepsi orang
tua tentang pendidikan menengah pada keluarga petani, (2) menganalisis alokasi
pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga petani, (3) menganalisis
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap persepsi orangtua tentang pendidikan
menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga petani.

Desain penelitian adalah cross sectional study dengan metode survey.
pengambilan data dilaksanakan pada bulan Mei 2012. Lokasi penelitian
ditentukan secara purposive yaitu Kelurahan Kertamaya, Kecamatan Bogor
Selatan, Kota Bogor. Populasi dalam penelitian ini ialah keluarga petani di
Kelurahan Kertamaya. Metode penarikan contoh dilakukan dengan cara non
probability sampling secara purposive dengan syarat keluarga petani yang
memiliki anak usia 6-18 tahun. Jumlah contoh yang diambil sebanyak 60
keluarga. Responden dalam penelitian ini adalah istri petani.
Data primer dalam penelitian ini meliputi karakteristik keluarga, persepsi
orang tua tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk
pendidikan yang diperoleh melalui wawancara menggunakan bantuan kuesioner.
Data sekunder meliputi keadaan umum wilayah penelitian dan data
kependudukan yang diperoleh dari instansi terkait yang meliputi Kantor
Kelurahan Kertamaya, Kantor Kecamatan Bogor Selatan, dan Kantor Badan
Pusat Statistik Kota Bogor.
Pertanian merupakan pekerjaan utama seluruh kepala keluarga.
Berdasarkan kepemilikan lahan pertanian, sebesar 85,0 persen keluarga tidak
memiliki lahan pertanian sendiri yang meliputi petani penggarap (28,3%) dan
buruh tani (56,7%). Sementara itu, sebesar 15,0 persen keluarga memiliki lahan
pertanian sendiri atau berstatus sebagai petani pemilik.

Rata-rata usia istri adalah 41,55 tahun dan tergolong pada usia dewasa
madya (41-60 tahun). Begitu pula dengan usia suami dengan rata-rata 47,42
tahun yang tergolong kategori dewasa madya. Rata-rata pendidikan suami
adalah 6,07 tahun dan istri 6,33 tahun. Hal tersebut menunjukan bahwa tingkat
pendidikan suami dan istri masih rendah. Hampir separuh istri (45,0%) tidak
bekerja atau hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Lebih dari separuh keluarga responden (55,0%) termasuk dalam keluarga
sedang (5-7 orang). Tipe keluarga dibedakan menjadi dua, yaitu keluarga inti
(nuclear family) dan keluarga luas (extended family). Keluarga inti merupakan
keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Sedangkan keluarga luas
 
 

 
 
merupakan keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain
seperti nenek, kakek, menantu, cucu, dan lain-lain. Hasil penelitian menunjukan
bahwa lebih dari tiga perempat keluarga (76,7%) merupakan keluarga inti.
Jumlah anak sekolah yang dimiliki oleh setiap keluarga petani berkisar antara
satu sampai tiga orang. Lebih dari separuh keluarga contoh (61,7%) memiliki

anak sekolah sebanyak satu orang.
Rata-rata pendapatan per kapita adalah Rp310.105/bulan. Rata-rata
pengeluaran per kapita adalah Rp309.600,32. Lebih dari separuh keluarga
responden (61,7%) memiliki pendapatan per kapita di bawah Garis Kemiskinan
Kota Bogor. Hal tersebut menunjukan bahwa keluarga petani masih banyak yang
tergolong keluarga miskin.
Persepsi responden tentang pendidikan menengah bagi anak termasuk
dalam kategori sedang (58,4%). Hampir seluruh responden menyetujui bahwa
pendidikan menengah merupakan hak setiap anak (98,3%), pendidikan
menengah penting untuk meningkatkan kualitas anak (95,0%), pendidikan
menengah penting sebagai gerbang pencapaian cita-cita (93,3%). Namun, masih
ada responden yang beranggapan bahwa setelah tamat pendidikan dasar anak
lebih diutamakan membantu perekonomian keluarga dibandingkan dengan
melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan menengah (36,6%) karena kendala
ekonomi. Selain itu, lebih dari tiga per empat responden beranggapan bahwa
pendidikan menengah membutuhkan biaya yang besar (80,4%) sehingga
memberatkan keluarga.
Rataan alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga
responden sebesar Rp319.914,26 dengan presentase 23,9 persen dari total
pengeluaran keluarga. Proporsi terbesar pada alokasi pengeluaran untuk

pendidikan anak terdapat pada pengeluaran untuk uang saku (37,2%). Terdapat
perbedaan nyata antara persepsi responden yang memiliki anak putus sekolah
dan yang tidak memiliki anak putus sekolah. Responden yang tidak memiliki
anak putus sekolah memiliki persepsi tentang pendidikan menengah lebih baik
dibandingkan dengan responden yang memiliki anak putus sekolah. Terdapat
pernedaan nyata antara persepsi responden yang memiliki suami berstatus
sebagai petani pemilik, petani penggarap, dan buruh tani. Responden yang
memiliki suami berstatus sebagai petani pemilik memiliki persepsi pendidikan
menengah yang lebih baik dibandingkan dengan responden yang memiliki suami
berstatus sebagai petani penggarap dan buruh tani.
Hasil uji regresi linear menunjukan beberapa faktor yang secara signifikan
memengaruhi persepsi istri terhadap pendidikan menengah dan alokasi
pengeluaran untuk pendidikan. Persepsi tentang pendidikan menengah
dipengaruhi oleh pendidikan istri dan pendapatan per kapita. Meningkatnya
pendapatan per kapita dan semakin lama pendidikan yang ditempuh istri akan
menaikan persepsi tentang pendidikan menengah bagi anak. Sementara itu,
alokasi pengeluaran untuk pendidikan dipengaruhi oleh usia istri dan pendapatan
per kapita. Semakin tinggi pendapatan per kapita dan usia istri, semakin banyak
keluarga mengalokasikan dana untuk pendidikan anak.
Kata kunci: alokasi pengeluaran, keluarga petani, persepsi.


 
 

 
 

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan
pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian dan seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

 
 


 
 

 
 

PERSEPSI ORANG TUA TENTANG PENDIDIKAN
MENENGAH DAN ALOKASI PENGELUARAN UNTUK
PENDIDIKAN PADA KELUARGA PETANI DI KOTA BOGOR

WINDA DWI GUSTIANA

Skripsi
Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2012

 
 
Judul Skripsi

:

Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan Menengah dan
Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan pada Keluarga
Petani di Kota Bogor

Nama

:

Winda Dwi Gustiana

NRP

:

I24080016

Disetujui,

Dr.Ir. Istiqlaliyah Muflikhati, M.Si
Dosen Pembimbing

Diketahui,

Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc
Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

Tanggal Lulus :

 
 

 
 
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga
penyusunan skripsi yang berjudul “Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan
Menengah dan Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan pada Keluarga Petani di
Kota Bogor” dapat diselesaikan. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu
syarat untuk mendapatkan gelar sarjana sains di Departemen Ilmu Keluarga dan
Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini dapat
diselesaikan dengan bantuan doa, dukungan, bimbingan, motivasi, dan kerja
sama dengan berbagai pihak. Sebagai bentuk penghargaan kepada berbagai
pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Istiqlaliyah Muflikhati, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah sabar membimbing, mengarahkan, dan memberi saran serta
dukungan selama penulis mengerjakan skripsi.
2. Dosen penguji ujian sidang skripsi: Dr. Ir. Lilik Noor Yulianti, M.FSA dan
Alfiasari, Sp., M.si atas saran dan kritik yang telah diberikan kepada
penulis untuk perbaikan skripsi.
3. Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc, selaku Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan
Konsumen dan Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc, M.Sc selaku dosen
pembimbing akademik atas ilmu dan bantuan yang telah diberikan kepada
penulis.
4. Seluruh Staff Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen atas segala
bantuannya
5. Orang tua yang saya sayangi, Bapak Uun Sumiarsa (alm), Ibu Nina
Herlina yang selalu memberikan dukungan, doa, saran dan nasehat, serta
kakak-kakak dan adikku, Teh Riesa, A Hendi, dan Angga Tri Yudha.
6. Rekan penelitian satu bimbingan, Annisa Saraswati, Dewi Sekar Mukhti,
Rr. Dewi Suci C.I.A, Arina Zuliany, dan Iin Khoirunnisa atas saransarannya.
7. Pengurus Kelurahan Kertamaya yang telah mengizinkan penulis untuk
melakukan penelitian di Kelurahan Kertamaya dan warga Kelurahan
Kertamaya khususnya ibu-ibu/istri petani yang telah bersedia menjadi
responden penelitian ini.
8. Yayang Ayesya, Amania Farah, Fasih Vidyastuti, R. Ifah Kholifah, Rafida
Zakiman, Eka Istiqomah, Putri Wika Sari, Putri Widha Sari, Intan Islamia,
Nisrinah Kharisma, dan Tri Sari Asih, atas persahabatan, keceriaan, dan
semangatnya yang sangat memotivasi.
9. Teman-teman IKK 45 atas kebersamaan selama tiga tahun di departemen.
10. Untuk pihak-pihak yang belum penulis sebutkan, terima kasih atas kerja
sama, bantuan, dan bimbingannya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak
kekurangan dan keterbatasan, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis
berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi berbagai pihak.

Bogor, November 2012

Winda Dwi Gustiana
 
 

 
 

 
 

 
 

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL…………………………………………………………………….

xii

DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………………….

xiii

PENDAHULUAN……………………………………………………………………

1

Latar Belakang…………………………………………………………………..

1

Perumusan Masalah……………………………………………......................

3

Tujuan Penelitian……………………………………………………………….

5

Kegunaan Penelitian………………………………………………..................

6

TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………………...

7

Keluarga Petani…………………………………………………………………

7

Peran Keluarga dalam Investasi Sumber Daya Manusia……....................

8

Pendidikan Menengah………………………………………………………….

9

Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan……………………………………..

10

Alokasi Pengeluaran Uang untuk Pendidikan Anak…………………………

11

KERANGKA PEMIKIRAN………………………………………………………….

13

METODE PENELITIAN…………………………………………………………….

15

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian……………………………………..

15

Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh…………………………………….

15

Jenis dan Teknik Pengumpulan Data……………………………………….

15

Pengolahan dan Analisa Data………………………………………………..

17

Definisi Operasional…………………………………………………………..

18

HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………………………….

21

Gambaran Umum Lokasi Penelitian………………………………………...

21

Karakteristik Usaha Tani……………………………………………………..

22

Karakteristik Keluarga………………………………………………………...

23

Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan Menengah……………………..

33

Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan……..………………………………

38

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi Pendidikan Menengah…....

40

 
 

 
 
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alokasi Pengeluaran untuk
Pendidikan Anak……………………………………………………...............

42

PEMBAHASAN……………………………………………………….....................

45

SIMPULAN DAN SARAN…………………………………………………………..

49

Simpulan……………………………………………………………………….

49

Saran……………………………………………………………………………

49

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….....................

51

LAMPIRAN………………………………………………………………………….

55

RIWAYAT HIDUP…………………………………………………….....................

60

XI

 

 

 
 

DAFTAR TABEL
No.

Halaman

1.

Jenis data, variabel, skaala data, dan pengkategorian data…………..

16

2.

21

3.

Jumlah anak sekolah dan putus sekolah berdasarkan tingkat
pendidikan di Kelurahan Kertamaya, tahun 2010………………………
Sebaran keluarga berdasarkan usia suami dan istri……………………

23

4.

Sebaran keluarga berdasarkan tingkat pendidikan suami dan istri…..

24

5.

Sebaran keluarga berdasarkan status pekerjaan suami……………….

24

6.

Sebaran keluarga berdasarkan pekerjaan utama istri………………….

25

7.

Sebaran keluarga berdasarkan tipe keluarga…………………………..

25

8.

Sebaran keluarga berdasarkan jumlah anggota keluarga…………….

26

9.

Sebaran keluarga berdasarkan jumlah anak sekolah………………….

26

10.

Sebaran anak sekolah dan putus sekolah berdasarkan tingkat
pendidikan…………………………………………………………………..

27

Jumlah anak sekolah dan putus sekolah berdasarkan pendapatan
per kapita……………………………………………………………………

27

12.

Sebaran keluarga berdasarkan status kepemilikan rumah……………

27

13.

Sebaran keluarga berdasarkan kepemilikan aset keluarga……………

28

14.

Sebaran keluarga berdasarkan pendapatan keluarga…………………

29

15.

Rataan pendapatan berdasarkan sumber pendapatan ……………….

30

16.

Sebaran keluarga berdasarkan pendapatan per kapita………...…..…

30

17.

Sebaran keluarga berdasarkan dana bantuan yang diterima……..…..

31

18.

Sebaran keluarga berdasarkan kepemilikan tabungan untuk
pendidikan…………………………………………………………………..

31

19.

Rata-rata alokasi pengeluaran keluarga dan per kapita………...……..

32

20.

Sebaran keluarga berdasarkan persepsi pendidikan menengah.........

33

21.

Sebaran persepsi orang tua tentang pendidikan menengah………….

34

22.

Sebaran keluarga berdasarkan kategori persepsi pendidikan
menengah, kepemilikan anak SMA, rata-rata, dan standar deviasi…..

35

Sebaran keluarga berdasarkan kategori persepsi pendidikan
menengah, status sekolah anak, rata-rata, dan standar deviasi……...

36

11.

23.

 
 

 
 
24.

25.

26.

27.

28.

29.

30.

Sebaran keluarga berdasarkan kategori persepsi pendidikan
menengah, status bekerja istri, rata-rata, dan standar deviasi………

37

Sebaran keluarga berdasarkan kategori persepsi pendidikan
menengah, status petani, rata-rata, dan standar deviasi……………..

38

Statistik deskriptif alokasi pengeluaran keluarga untuk pendidikan
anak pada keluarga responden…………………………………………..

39

Rataan alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak berdasarkan
jenjang pendidikan dan rata-rata per anak ..........................................

40

Faktor-faktor yang memengaruhi persepsi orang tua tentang
pendidikan menengah .........................................................................

41

Faktor-faktor yang memengaruhi alokasi pengeluaran untuk
pendidikan anak…………………………………………………………...

42

Faktor-faktor yang memengaruhi alokasi pengeluaran untuk
pendidikan anak dalam persentase………………………………………

44

DAFTAR LAMPIRAN
No.

Halaman

1.

Peta Kelurahan Kertamaya………………………………………………..

57

2.

Koefisien Korelasi antar Variabel Penelitian…………………………….

58

3.

Dokumentasi Penelitian……………………………………………………

59

XIII

 

 

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertanian merupakan salah satu sektor yang turut berkontribusi dalam
pembangunan Indonesia. Pertanian memegang peranan untuk menyediakan
bahan baku pangan maupun non pangan. Begitu pentingnya peran petani dalam
negara agraris ini, namun, kesejahteraan keluarga petani masih kurang
mendapat perhatian. Menurut Witrianto (2005), pada umumnya keluarga petani
yang tinggal di daerah padat penduduk ataupun perkotaan hidup di bawah garis
kemiskinan.
Kemiskinan yang dialami oleh petani merupakan kondisi nyata yang saat
ini banyak terjadi. Tingkat produktivitas yang tidak menaik (atau bahkan turun)
menyebabkan pendapatan rendah. Seseorang yang bermatapencaharian
sebagai petani sangat tergantung kepada keadaan alam yang tak terduga.
Banyak di antara petani, terutama buruh tani dan petani yang memiliki lahan
sempit tidak dapat mencukupi atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya,
terutama jika panen gagal akibat hama atau buruknya cuaca. Selain itu, para
petani juga dihadapkan pada kendala panen di mana frekuensi panen tidak
selalu sesuai harapan, hal tersebut menyebabkan petani mengalami penurunan
penghasilan dan kendala ekonomi dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari
termasuk untuk biaya pendidikan.
Pendidikan merupakan salah satu hak dasar bagi setiap warga negara.
Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama
pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin
banyak orang yang berpendidikan, semakin mudah suatu negara untuk
membangun bangsanya. Hal ini karena telah dikuasainya keterampilan, ilmu
pengetahuan, dan teknologi oleh sumberdaya manusia sehingga pemerintah
lebih mudah dalam menggerakan pembangunan nasional (Sulistyatuti 2007).
Pendidikan diharapkan dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia
serta kualitas sumberdaya manusia. Pendidikan yang ditempuh oleh anak
merupakan tanggung jawab keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Oleh karena
itu, diperlukan kerjasama antara ketiga lembaga tersebut. Pendidikan bagi anak
petani merupakan salah satu bentuk pendidikan pada umumnya yang dirasakan
oleh setiap manusia. Dalam hal ini, kebutuhan pendidikan merupakan suatu hal
yang perlu dipertimbangkan cukup matang bagi setiap keluarga petani.


 
Karakteristik keluarga merupakan faktor yang memengaruhi persepsi atau
cara pandang keluarga, termasuk tentang pendidikan. Para petani lebih memilih
pendidikan yang seperlunya dibanding pendidikan yang dijalani oleh masyarakat
pada umumnya. Kebanyakan para petani lebih memilih pendidikan yang bersifat
agama dan kemasyarakatan daripada pendidikan formal, karena dalam proses
menempuh pendidikan formal, mereka terkendala berbagai masalah yang
membuat anak petani kebanyakan mengalami putus sekolah karena masalah
biaya (Barada 2008).
Keluarga memegang peranan penting dalam proses peningkatan sumber
daya manusia. Keluarga merupakan tempat pertama dan utama untuk mendidik
(Sadli 1993). Keadaan keluarga yang mendukung terbentuknya pertumbuhan
dan perkembangan anak yang baik dapat menghasilkan manusia yang
berkualitas. Keluarga yang berpendidikan setidaknya dapat mewujudkan tiga hal,
yaitu:

Pertama,

dapat

membebaskan

dirinya

dari

kebodohan

dan

keterbelakangan. Kedua, mampu berpartisipasi dalam proses politik untuk
mewujudkan masyarakat yang demokratis dan ketiga, memiliki kemampuan
untuk membebaskan diri dari kemiskinan (Sulistyastuti 2008). Oleh karena itu,
pendidikan adalah unsur penting bagi manusia untuk menjadi sejahtera dan
mandiri. Melalui pendidikan, manusia memperoleh pengetahuan sehingga
memiliki kesempatan lebih besar untuk meraih peluang kemajuan (Muchtar
2003). Pendidikan yang baik merupakan salah satu prasyarat terbentuknya
sumber daya manusia yang berkualitas. Namun, yang masih menjadi kendala
ialah biaya pendidikan, khususnya pada jenjang pendidikan menengah yang
memerlukan biaya lebih mahal dibandingkan jenjang pendidikan sebelumnya.
Berbagai program kebijakan pemerintah telah dibuat untuk membantu
biaya pendidikan, namun ironisnya pencapaian HDI (Human Development Index)
di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Berdasarkan data United Nation for
Development Programe (UNDP), Indeks Pembangunan Manusia atau HDI pada
tahun 2011 Negara Indonesia menempati peringkat ke-124 dari 187 negara.
Peringkat ini jauh di bawah negara tetangga yaitu Singapura, Brunei Darussalam,
dan Malaysia yang masing-masing secara berurutan menempati peringkat ke-26,
33, dan 61 (UNDP 2011). Hal ini menunjukan pendidikan di Indonesia masih
relatif rendah dan tertinggal dari Negara lain. Selain itu, Suprianto1 mencatat
hanya sekitar 23 persen siswa yang dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan
                                                            
1

Kepala Bagian Perencanaan dan Penganggaran Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kemendikbud.
www.edukasi.kompas.com (2011) Biaya Mahal Picu Anak Putus Sekolah. 


 
menengah pada tahun 2011. Hal tersebut menunjukan bahwa sebanyak 77
persen siswa pendidikan dasar tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan
menengah. Hal ini dikarenakan kendala biaya dan persepsi orang tua yang lebih
mementingkan anak bisa secepatnya mencari uang untuk membantu memenuhi
kehidupan keluarga dibanding dengan melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang
menengah. Dana bantuan dari pemerintah, seperti BOS (Bantuan Operasional
Sekolah) hanya diberikan hingga sembilan tahun, yang artinya, pada saat orang
tua dan anak ingin melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan menengah, maka
bantuan dana pemerintah sudah tidak diberikan lagi. Hal tersebut yang
memberatkan keluarga petani, khususnya orang tua untuk membiayai sekolah
anak hingga ke jenjang pendidikan menengah, ataupun jika anak dapat
melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan menengah, orangtua tidak dapat
mencukupi kebutuhan yang menunjang pendidikan anak, hingga mengakibatkan
anak putus sekolah. Pendidikan orang tua memengaruhi pandangan atau
persepsi orangtua mengenai pentingnya anak untuk masa depan. Persepsi
pentingnya pendidikan akan berpengaruh terhadap perilaku yang dicerminkan
dalam alokasi pengeluaran untuk pendidikan (Jerrim dan Micklewright 2009).
Alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak merupakan cerminan
investasi yang dilakukan oleh orangtua untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia. Bryant (1990) mengemukakan bahwa bentuk investasi dalam
keluarga yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas anak dalam rangka
membentuk sumber daya manusia yang berkualitas adalah waktu dan
pendapatan.
Perumusan Masalah
Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang sebagian besar
matapencaharian penduduknya ialah petani. Para petani pada umumnya
bertempat tinggal di pedesaan dekat dengan lokasi lahan garapan mereka.
Masyarakat petani yang tinggal di pedesaan pada umumnya memiliki lahan
garapan yang cukup luas jika dibandingkan dengan lahan garapan petani di
pinggir perkotaan. Masyarakat tani perkotaan semakin sulit untuk memanfaatkan
sumber daya alam yang tersedia karena maraknya pengalihan fungsi lahan
pertanian.
Jika melihat perkembangan pembangunan di perkotaan yang semakin
pesat, tentunya semakin jarang pula ditemukan lahan pertanian seperti sawah
dan

perkebunan.

Masyarakat

perkotaan

saat

ini

lebih

akrab

dengan
 

 


 
pemandangan perumahan, mall, dan tempat-tempat rekreasi. Meski masih dapat
ditemui, namun keberadaan lahan pertanian sudah sangat sempit dan jarang
ditemui. Semakin sempitnya lahan pertanian di perkotaan dapat dilihat dari salah
satu kota di Jawa Barat, yaitu Kota Bogor, dengan luas total 11.850 hektar.
Lahan pertanian sawah hanya terdapat 3,46 persen saja sedangkan lahan
pertanian bukan sawah sekitar 10,74 persen (BPS 2010).
Menurut data dari Dinas Pertanian tahun 2010 di Kota Bogor lahan yang
berpotensi sebagai lahan pertanian ialah 1.315,621 hektar yang meliputi 1.006
hektar lahan sawah, dan 309,621 hektar lahan perkebunan. Sedangkan
perumahan

penduduk,

dan

lainnya

yang

meliputi

(pusat

perbelanjaan,

infrastruktur industri, dan lahan kering bekas lahan pertanian yang akan dijadikan
bangunan) masing-masing sebanyak 6.217,292 hektar dan 3.186,327 hektar.
Lebih lanjut, Data Dinas Pertanian Kota Bogor menyatakan pada tahun 2011
lahan pertanian sawah dan perkebunan di Kota Bogor menghilang sekitar 300
hektar. Hal tersebut disebabkan adanya pembangunan perumahan dan juga para
petani yang tidak lagi memanfaatkan lahannya. Perbandingan yang cukup besar
antara luas lahan pertanian (lahan sawah dan perkebunan) dengan lahan nonpertanian akibat pengalihan fungsi lahan membuat masyarakat petani di
perkotaan mengalami kendala ekonomi, bahkan kehilangan pekerjaannya,
sehingga banyak dari mereka yang memutuskan untuk beralih profesi ke bidang
lain, misalnya bidang industri atau memilih untuk berwirausaha. Namun, ada pula
petani yang masih bertahan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tetap
menjadi petani di pinggiran kota.
Kecamatan Bogor Selatan adalah kecamatan yang memiliki jumlah
keluarga pra sejahtera terbanyak, yaitu sebanyak 38,0 persen dari total
penduduk yang tergolong ke dalam keluarga pra sejahtera di Kota Bogor (BPS
2010), yang diantaranya ialah masyarakat petani. Kecamatan ini memiliki lahan
pertanian seluas 898,9 hektar dari luas total 2.926,7 hektar, dengan jumlah
rumah tangga petani terbanyak di Kota Bogor, yaitu 240 rumah tangga dan
memiliki kelompok tani terbanyak di Kota Bogor, yaitu 26 kelompok tani (BPS
2010).
Kecamatan Bogor Selatan terdiri dari 16 kelurahan. Lima kelurahan di
Kecamatan Bogor Selatan yaitu Lawanggintung, Batutulis, Bondongan, Empang
dan Pakuan tidak memiliki lahan pertanian (sawah dan non-sawah) sama sekali,
sementara sebelas kelurahan lainnya masih memiliki lahan pertanian (sawah dan


 
perkebunan) yang relatif sempit, yaitu 898,9 hektar tersebar di 11 kelurahan.
Wijayanti (2003) mengemukakan bahwa keadaan petani di pinggiran kota
keadaannya cukup memprihatinkan, hal tersebut salah satunya dikarenakan
perubahan fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman penduduk ataupun
infrastruktur industri, terutama di perkotaan yang menyebabkan menurunnya
penghasilan petani. Menurunnya penghasilan petani berdampak pada rendahnya
alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak. Hasil penelitian Permatasari (2010)
menunjukan

bahwa

keluarga

yang

tergolong

miskin

masih

sedikit

mengalokasikan pengeluaran untuk pendidikan anak, baik karena kemampuan
ekonomi yang rendah atau karena kesadaran yang masih kurang terhadap
pendidikan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik pertanyaan pada
penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimana persepsi orang tua pada keluarga petani tentang pentingnya
pendidikan menengah?
2. Bagaimana alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga
petani?
3. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap persepsi orang tua
tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan
anak pada keluarga petani?
Tujuan Umum
Mengkaji persepsi orang tua tentang pendidikan menengah dan alokasi
pengeluaran untuk pendidikan pada keluarga petani di Kota Bogor.
Tujuan Khusus
1. Mengetahui persepsi orang tua pada keluarga petani tentang pentingnya
pendidikan menengah.
2. Mengetahui alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga
petani.
3. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap persepsi orang tua
tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan
anak pada keluarga petani.

 
 


 
Kegunaan penelitian
Manfaat penelitian ini bagi beberapa pihak antara lain :
a. Bagi peneliti, dapat mengaplikasikan ilmu-ilmu yang telah didapatkan dan
sebagai media pengembangan keilmuan sesuai bidang keilmuan peneliti.
b. Bagi civitas akademika (IPB) dapat menyumbang referensi tentang kajian
mengenai persepsi orang tua tentang pendidikan menengah dan alokasi
pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga petani.
c. Bagi pemerintah, khususnya Pemerintah Kota Bogor ialah untuk
memberikan informasi terkait persepsi orang tua tentang pendidikan
menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga
petani di wilayah penelitian. Selain itu, dapat digunakan sebagai salah
satu referensi untuk memecahkan permasalahan dan pengambilan
keputusan penentu kebijakan bagi masyarakat, khususnya masalah
peningkatan kualitas sumber daya manusia.

TINJAUAN PUSTAKA
Keluarga Petani
Keluarga petani ialah keluarga yang kepala keluarga atau anggota
keluarganya bermatapencaharian sebagai petani. Keluarga petani mendapatkan
penghasilan utama dari kegiatan bertani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Secara umum, petani bertempat tinggal di pedesaan dan sebagian besar di
antaranya di pinggiran kota, keluarga petani yang tinggal di daerah-daerah yang
padat penduduk ataupun perkotaan hidup di bawah garis kemiskinan (Witrianto
2005). Pendapatan yang diterima seorang petani dalam satu musim atau satu
tahun berbeda dengan pendapatan yang diterima oleh petani lainnya. Bahkan
petani yang mengusahakan pada lahan yang sama dari musim ke musim
menerima pendapatan yang berbeda-beda pula dari tahun ke tahun. Berbagai
faktor mempengaruhi pendapatan petani, namun ada beberapa faktor yang tidak
dapat diubah, salah satunya yaitu kendala iklim. Kemampuan petani dalam
mempengaruhi iklim sangat terbatas. Selain kendala iklim, luas lahan, efisiensi
kerja, dan efisiensi produksi masih ada dalam batas kemampuan petani untuk
mengubahnya (Soeharjo dan Patong 1977). Lebih lanjut, Soeharjo dan Patong
membedakan status petani dalam usaha tani menjadi empat, yaitu :
a. Petani pemilik
Petani pemilik adalah petani yang memiliki tanah dan secara langsung
mengusahakan dan menggarapnya. Semua faktor-faktor produksi, baik berupa
tanah, peralatan, dan sarana produksi yang digunakan adalah milik petani
sendiri.
b. Petani penyewa
Petani penyewa adalah petani yang mengusahakan tanah orang lain,
dengan cara menyewa karena tidak memiliki tanah sendiri. Besarnya sewa dapat
berbentuk produksi fisik atau sejumlah uang yang sudah ditentukan sebelum
penggarapan dimulai. Dalam sistem sewa, resiko usaha tani hanya ditanggung
oleh penyewa. Pemilik tanah hanya menerima sewa tanahnya tanpa dipengaruhi
oleh resiko usaha taninya.
c. Petani penggarap
Petani penyakap adalah petani yang mengusahakan tanah orang lain
dengan sistem bagi hasil. Resiko usaha tani ditanggung bersama dengan pemilik
tanah dan penyakap dalam sistem bagi hasil. Besar bagi hasil tidak sama untuk


 
setiap daerah. Biasanya bagi hasil ini ditentukan oleh tradisi daerahnya masingmasing.
d. Buruh tani
Buruh tani adalah orang yang bekerja untuk sawah orang lain, yang
nantinya akan memperoleh upah dari pemilik sawah. Hidupnya sangat
bergantung pada pemilik sawah yang mempekerjakannya.
Peran Keluarga dalam Investasi Sumber Daya Manusia
Keluarga berperan penting untuk menentukan investasi sumberdaya
manusia. Undang-undang No. 10 tahun 1992, mendefinisikan keluarga sebagai
unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-isteri, atau suami, isteri,
dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Mead (1949) diacu
dalam Guhardja, et. al (1992) mendefinisikan keluarga sebagai dasar dari
masyarakat yang berfungsi mengantarkan sejarah kebudayaan, menanamkan
sistem nilai yang dianut, dan melaksanakan sosialisasi pada generasi penerus
untuk menjadi manusia dan warga masyarakat yang efektif dan produktif.
Sehingga dapat terbentuk sumberdaya manusia yang berkualitas.
Peran keluarga diterapkan berdasarkan teori struktural fungsional yang
terlihat dalam struktur dan aturan yang diterapkan. Struktur dan fungsi yang
terbentuk dalam keluarga tidak akan pernah lepas dari pengaruh budaya, norma,
dan nilai sosial yang melandasi sistem masyarakat. Struktural fungsional
berpegang bahwa sebuah struktur keluarga membentuk kemampuannya untuk
berfungsi secara efektif dan bahwa sebuah keluarga inti tersusun dari seorang
suami pencari nafkah dan wanita ibu rumah tangga adalah yang paling cocok
untuk memenuhi kebutuhan anggota dan ekonomi industry baru (Parson dan
Bales 1955, diacu dalam Hill 2006).
Megawangi (1999) menyatakan bahwa tanpa ada pembagian tugas yang
jelas pada masing-masing aktor dengan status sosialnya, maka fungsi keluarga
akan terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem yang lebih besar
lagi. Hal ini bisa terjadi bila ada satu posisi yang peranannya tidak dapat
dipenuhi, atau konflik akan terjadi karena adanya kebingungan peran. Menurut
Megawangi (1993) fungsi penting keluarga adalah menjadi fungsi penerus nilai,
karena lingkungan keluargalah yang pertama mempersiapkan anggotanya untuk
dapat berprilaku sesuai dengan budaya dan harapan di mana mereka berada.


 
Pendidikan Menengah
Pendidikan adalah salah satu aspek penting untuk meningkatkan mutu
kehidupan seseorang yang akan berlanjut pada pembangunan suatu bangsa ke
arah yang lebih baik. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003
BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 11 menyebutkan bahwa jenjang pendidikan
formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi. Selanjutnya, bagian kedua pasal 17 tentang Pendidikan Dasar Ayat 1-2
menyebutkan bahwa pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang
melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk sekolah
dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta
Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau
bentuk lainnya yang sederajat.
Pada bagian ketiga pasal 18 tentang Pendidikan Menengah Ayat 1-3
menyebutkan bahwa pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan
dasar. Beberapa jenis pendidikan menengah mempersiapkan seseorang memiliki
keterampilan tertentu untuk dipersiapkan langsung ke lapangan kerja, bentukbentuk sekolah menengah ialah Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah
Aliyah (MA), dan Sekolah Kejuruan seperti Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
dan Madrasah Aliyah Kejuruan atau bentuk lain yang sederajat. Dalam UndangUndang No. 2 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab V
pasal 15 Ayat 1 menyebutkan bahwa Pendidikan menengah diselenggarakan
untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta
didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mangadakan
hubungan timbal balik dengan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat
mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan
tinggi.
Pendidikan menengah diselenggarakan untuk mengembangkan potensi
individu yang telah ada sebelumnya. Pendidikan menengah mengarahkan siswa
untuk menghadapi tantangan yang lebih besar guna meningkatkan kemampuan
individu, baik untuk persiapan bekerja, maupun untuk meningkatkan status sosial
dalam masyarakat. Namun demikian, kendala biaya merupakan masalah yang
kerap kali terjadi pada keluarga untuk memutuskan apakah akan melanjutkan
sekolah anak hingga jenjang menengah atau tidak. Hasil penelitian Rout (2008)
dalam Journal of Health Management mengemukakan bahwa biaya untuk
pendidikan dasar tidak terlalu menimbulkan beban keuangan bagi keluarga,

 
 

10 
 
sekalipun keluarga tersebut tergolong keluarga miskin, namun mahalnya biaya
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi dapat membebani keluarga lebih
besar daripada pendidikan dasar. Hal tersebut dapat dilihat pula dari hasil
penelitian Septiana (2010) tentang Remaja Putus Sekolah usia SMA di Provinsi
Jawa Timur yang memperlihatkan hasil tingginya angka putus sekolah di lokasi
penelitian yang diakibatkan beberapa faktor yaitu biaya, lokasi tempat tinggal,
besar keluarga, jenis kelamin, dan pendidikan kepala keluarga.
Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan
Salah satu faktor yang sangat penting dalam memengaruhi kualitas hidup
individu dalam keluarga ialah pendidikan. Tingkat pendidikan seseorang dapat
dilihat dari jenis pendidikan yang pernah dialami atau lamanya mengikuti
pendidikan formal atau non-formal. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (1991)
tingkat pendidikan yang dicapai seseorang akan memengaruhi dan membentuk
cara, pola, dan kerangka berpikir, persepsi, pemahaman dan kepribadiannya
yang semua itu merupakan bagian integral sebagai bekal dalam berkomunikasi.
Persepsi merupakan suatu proses meningterpretasikan rangsanganrangsangan yang diterima menjadi suatu gambaran yang berarti dan lengkap
tentang dunianya (Schiffman dan Kanuk 2000). Sriyani, Muflikhati, dan Fatchiya
(2006) dalam penelitiannya mengenai persepsi nelayan tentang pendidikan
formal di Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah
menyatakan bahwa persepsi nelayan tentang pendidikan formal dapat diperoleh
dari lima variabel seperti: arti penting sekolah, manfaat sekolah, manfaat sekolah
tinggi, biaya pendidikan dan peningkatan status sosial melalui pendidikan formal.
Lebih lanjut penelitian ini menunjukan bahwa sebagian besar responden memiliki
tingkat persepsi yang tinggi terhadap pendidikan formal. Hal ini disebabkan
karena responden menganggap pendidikan penting bagi kehidupan anakanaknya kelak, karena dengan sekolah maka seseorang akan lebih dihormati
oleh masyarakat dan mampu mendapatkan kehidupan yang baik.
Persepsi pentingnya pendidikan dipengaruhi pula oleh tingkat pendidikan
orangtua. Suryawati (2002) dalam hasil penelitiannya mengemukakan bahwa
orangtua masih ragu-ragu untuk menyekolahkan anak-anaknya karena sebagian
besar orangtua tidak pernah duduk di bangku sekolah atau tidak selesai
sekolahnya, orangtua dengan pendidikan yang rendah berpandangan sempit
terhadap

pendidikan

dan

lebih

mengutamakan

melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya.

anak

bekerja

daripada

11 
 
Hasil penelitian Permatasari (2010) menunjukkan bahwa sebagian besar
orang tua contoh memiliki persepsi yang tinggi terhadap tingkat kepentingan
pendidikan, memiliki tingkat pendapatan keluarga dan pendidikan orangtua yang
tinggi. Sementara itu Barada (2008) menganalisis persepsi orangtua terhadap
pendidikan anak pada masyarakat petani di Kabupaten Banjar. Hasil penelitian
ini menunjukan bahwa kebanyakan petani lebih memilih pendidikan yang bersifat
agama dan kemasyarakatan daripada pendidikan formal, karena dalam proses
menempuh pendidikan formal mereka terkendala berbagai masalah yang
membuat anak petani kebanyakan mengalami putus sekolah karena masalah
biaya, pendidikan orangtua pun berpengaruh terhadap persepsinya tentang
pentingnya pendidikan bagi anak.
Alokasi Pengeluaran Uang untuk Pendidikan Anak
Manusia berinvestasi dengan cara yang beranekaragam. Investasi pun
memiliki bentuk yang bermacam-macam. Investasi berupa pendidikan adalah
salah satu investasi yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya
keluarga. Bryant (1990) menyatakan bahwa bentuk investasi dalam keluarga
yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas anak dalam rangka
pembentukan Sumberdaya Manusia yang berkualitas adalah waktu dan
pendapatan. Hartoyo (1998) mengemukakan bahwa Investasi orang tua dalam
bentuk uang adalah semua pendapatan keluarga yang digunakan untuk
kebutuhan anak dalam rangka meningkatkan kualitas anak. Investasi uang pada
anak digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan pangan.
Menurut Bryant dan Zick (2006) investasi pada anak terdiri dari dua
komponen, yaitu nilai uang dan jasa (makanan, pakaian, rumah, transportasi,
pendidikan, dan perawatan kesehatan) dan nilai waktu (seperti waktu yang
dihabiskan orangtua, khususnya ibu untuk membesarkan anak baik melalui
perawatan ataupun pemeliharaan). Alokasi pengeluaran untuk pendidikan
merupakan salah satu bentuk cermin investasi untuk meningkatkan kualitas
sumberdaya keluarga. Alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak meliputi: SPP,
uang untuk membeli buku sekolah, pakaian seragam, uang BP3, dan lain-lain
(Syarief 1997).
Suryawati (2002) dalam hasil penelitiannya menunjuakan variabelvariabel yang memengaruhi alokasi pengeluaran keluarga untuk pendidikan anak
adalah besar keluarga, jumlah anak sekolah, tingkat pendidikan ibu dan tingkat
pendidikan ayah. Glinskaya (2005) dalam Journal of Developing Societies yang
 
 

12 
 
meneliti

tentang

alokasi

pengeluaran

untuk

pendidikan

dan

kesehatan

menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara pendidikan orang tua
dengan alokasi pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan keluarga, orang
tua yang pendidikannya tinggi, semakin perhatian pula terhadap pendidikan dan
kesehatan anggota keluarganya dibandingkan yang berpendidikan rendah.
Tingkat pendidikan seseorang juga akan mempengaruhi nilai-nilai yang
dianutnya, cara berpikir, cara pandang, bahkan persepsi terhadap suatu masalah
(Sumarwan 2004).
Keluarga

dengan

jumlah

anggota

keluarga

yang

banyak

akan

menurunkan proporsi pengeluaran untuk pendidikan. Menurut Tjokrowinoto
(1984) keluarga dengan jumlah anak terlalu banyak menyebabkan pendidikan
dan pengasuhan anak menjadi terlantar. Hal tersebut dikarenakan penggunaan
uang yang dimiliki keluarga telah habis untuk pemenuhan kebutuhan seluruh
anggota keluarga, sehingga pengeluaran untuk pendidikan anak berkurang.

KERANGKA PEMIKIRAN
Keluarga merupakan kelompok sosial terkecil yang memiliki peranan
penting dalam membentuk dan membina sumber daya manusia yang berkualitas,
begitu pula pada keluarga petani di perkotaan. Seperti pada keluarga lainnya,
keluarga petani melakukan investasi untuk meningkatkan kualitas sumberdaya
keluarga. Salah satu bentuk investasi yang dilakukan keluarga petani ialah
investasi pendidikan. Pendidikan terdiri dari tiga jenjang, yaitu pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan menengah merupakan
lanjutan

dari

pendidikan

dasar.

Pendidikan

menengah

sangat

penting

dilaksanakan sebagai sarana pengembangan potensi anak. Namun, dalam
pelaksanaannya, pendidikan menengah membutuhkan biaya yang mahal dan
memberatkan keluarga, sehingga hal tersebut akan memengaruhi persepsi
pentingnya pendidikan menengah.
Persepsi pentingnya pendidikan menengah bagi anak dapat dipengaruhi
oleh karakteristik keluarga seperti jumlah anggota keluarga, usia orang tua,
pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua dan pendapatan per kapita. Persepsi
pentingnya pendidikan akan memengaruhi perilaku investasi keluarga dalam hal
pendidikan yang tercermin dalam alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak.
Dana pendidikan yang dikeluarkan oleh orang tua untuk pendidikan anak
dipengaruhi oleh karakteristik keluarga dan persepsi orang tua tentang
pendidikan. Orang tua dengan persepsi yang baik tentang pentingnya pendidikan
bagi anak akan lebih memerhatikan kebutuhan anak-anaknya dalam hal
pendidikan dengan memenuhi biaya pendidikan dan menyediakan fasilitasfasilitas pendukung yang memadai. Alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak
merupakan salah satu bentuk investasi yang digunakan untuk meningkatkan
kualitas anak sehingga dapat meningkatkan sumber daya keluarga.
Secara ringkas, hubungan antara variabel-variabel yang mempengaruhi
alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak disajikan pada Gambar 1.

14 
 

Karakteristik Keluarga 
‐Usia suami dan istri 
‐ Pendidikan suami dan istri 
‐ Pekerjaan suami dan istri 
‐ Besar keluarga 
‐Jumlah anak sekolah 
‐Tipe Keluarga 
‐Jenjang pendidikan anak 
‐ Pendapatan per kapita 
‐Aset 

Keterangan :

Persepsi Orang Tua 
tentang Pendidikan 
Menengah  

Alokasi Pengeluaran untuk 
Pendidikan Anak 

Kualitas Anak 

= variabel yang diteliti
= variabel yang tidak diteliti

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan Menengah dan Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan pada
Keluarga Petani di Kota Bogor

METODE PENELITIAN
Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study dengan metode
survey di Kelurahan Kertamaya, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor.
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive berdasarkan data BPS
Kota Bogor tahun 2010, karena Kelurahan Kertamaya memiliki jumlah rumah
tangga petani terbanyak di Kecamatan Bogor Selatan. Waktu pengambilan data
dilaksanakan pada bulan Mei 2012.
Contoh dan Metode Penarikan Contoh
Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga petani yang memiliki anak
usia 6-18 tahun di Kelurahan Kertamaya. Metode penarikan contoh dilakukan
dengan cara non probability sampling dengan contoh sebanyak 60 keluarga.
Populasi keluarga petani diketahui yaitu sebanyak 172 keluarga, namun tidak
tersedia data keluarga petani yang memiliki anak usia 6-18 tahun. Sehingga
contoh diambil secara purposive sesuai dengan kriteria penelitian dan yang
bersedia diwawancarai. Responden berasal dari 5 RW yang memiliki jumlah
keluarga petani terbanyak, yaitu RW 1, 2, 3, 4, dan 8. Responden penelitian ini
adalah ibu/istri dari keluarga petani.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan
data sekunder. Data primer pada penelitian diambil dari contoh yang merupakan
keluarga petani yang berada di Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Dalam
penelitian ini data primer diperoleh langsu