The Biology and Predation Rate of Predatory Mite, Neoseiulus longispinosus Evans (Acari: Phytoseiidae), on Its Prey Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae).

BIOLOGI DAN POTENSI PREDASI TUNGAU PREDATOR Neoseiulus
longispinosus Evans (ACARI: PHYTOSEIIDAE) PADA TUNGAU HAMA
Tetranychus kanzawai Kishida (ACARI: TETRANYCHIDAE)

MIA NURATNI YANTI RACHMAN
A351080051

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Biologi dan Potensi Predasi
Tungau Predator Neoseiulus longispinosus Evans (Acari: Phytoseiidae) pada
Tungau Hama Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae) ” adalah
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.


Bogor, Juli 2011

Mia Nuratni YR
NRP 351080051

ABSTRACT
MIA NURATNI YANTI RACHMAN. The Biology and Predation Rate of
Predatory Mite, Neoseiulus longispinosus Evans (Acari: Phytoseiidae), on Its Prey
Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae). Supervised by SUGENG
SANTOSO and PUDJIANTO
Predatory mite, Neoseiulus longispinosus Evans (Acari: Phytoseiidae), is a
potensial predator of a polyphagous spider mite, Tetranychus kanzawai Kishida
(Acari: Tetranychidae). Research was conducted to study the biological
characteristics of N. longispinosus, including the life table, life cycle,
fecundity,functional response, numerical response, prey prefference, and the
ability of individual predatory mite in suppressing the prey population. The study
revealed that the life cycle of N. longispinosus was short, i. e. 3.23 days. The
oviposition period was 8.76 days with maximum daily egg production was 4
eggs/female/day when the predatory mite was 6 days old. When fed with T.
kanzawai, the intrinsic rate of increase (rm) of N. longispinosus was 0.44, mean

generation time (T) was 4.05 days, and ner reproduction rate (R0) was 24.96
individuals. Neoseiulus longispinosus showed a type III functional response.
Fecundity of N. longispinosus would increase when the prey population increased;
so the numerical response of N. longispinosus was direct response. Neoseiulus
longispinosus preffered to consume eggs than the other stages of T. kanzawai.

RINGKASAN

MIA NURATNI YANTI RACHMAN. Biologi dan Potensi Predasi Tungau
Predator Neoseiulus longispinosus Evans (Acari: Phytoseiidae) pada Tungau
Hama Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae). Dibimbing oleh
SUGENG SANTOSO dan PUDJIANTO.

Tetranychus kanzawai Kishida termasuk dalam famili Tetranychidae dan
merupakan spesies tungau hama yang sering menimbulkan kerugian secara
ekonomis.
Salah satu pengendalian tungau hama Tetranychidae adalah
pemanfaatan tungau predator. Neoseiulus longispinosus merupakan agen hayati
potensial untuk pengendalian tungau Tetranychidae. Tungau predator tersebut
adalah predator lokal Indonesia yang belum dimanfaatkan secara maksimal.

Penelitian ini dilakukan untuk melihat biologi dan potensi tungau predator N.
longispinosus pada tungau hama T. kanzawai.
Neraca hayati merupakan salah satu percobaan yang dilakukan untuk
mengetahui biologi tungau predator N. longispinosus. Sedangkan potensi predasi
diketahui dengan melakukan percobaan tanggap fungsional, tanggap numerik,
preferensi mangsa, kemampuan menekan populasi mangsa oleh individu betina,
dan potensi pemangsaan predator selama masa perkembangan pradewasa. Data
neraca hayati dianalisis dengan rumus parameter demografi. Tanggap fungsional
diuji dengan fungsi polinom yang akan membedakan tanggap fungsional tipe II
dan III. Sementara parameter lainnya dianalisis menggunakan excel dan SPSS.
Hasil analisis data neraca hayati menunjukkan bahwa N. longispinosus
memiliki nilai waktu generasi (T) sebesar 4.05 hari dengan laju reproduksi bersih
(Ro) sebesar 24.96 butir telur per generasi. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa
populasi N. longispinosus dapat berkembang sebanyak 24.96 kali dalam satu
generasi selama 4.05 hari. Nilai laju pertambahan intrinsik rm adalah 0.44
betina/betina/hari dan laju pertambahan terbatas λ sebesar 1.55 betina/betina/hari.
Distribusi sebaran umur N. longispinosus memperlihatkan bahwa sebagian besar
populasi sekitar 83.78% merupakan populasi pradewasa dan siasnya 16.22%
adalah populasi dewasa.
Waktu perkembangan N. longispinosus dari pradewasa menjadi dewasa

realtif singkat yaitu 3.23 hari. Waktu tersebut merupakan waktu yang paling
singkat karena pada umumnya tungau predator Phytoseiidae memiliki waktu
perkembangan selama 4 hari. Masa oviposisi lebih singkat yaitu 8.76 hari namun
keperidian yang diperoleh lebih tinggi. Nilai keperidian N. longispinosus yang
dibiakkan pada T. kanzawai adalah 32.78 butir telur.
N. longispinosus memiliki kurva sintasan tipe I. Hal ini menandakan
bahwa tingkat kematian N. longispinosus yang tinggi dialami saat N.
longispinosus berumur tua. Mortalitas mulai terjadi saat imago N. longispinosus
berumur 2 hari. Masa oviposisi mulai terjadi saat imago N. longispinosus

berumur 3 hari. Tingkat produksi telur tertinggi dicapai saat tungau predator
betina N. longispinosus berumur 6 hari dengan rata-rata produksi telur 4 butir.
Preferensi N. longispinosus terhadap mangsa tertentu akan meningkatkan
perilaku pemangsaan yang tinggi. Stadia dan jenis mangsa mempengaruhi
perilaku pemangsaan predator terhadap mangsa. Sebagian besar imago N.
longispinosus lebih banyak dijumpai pada daun yang berisi telur tungau T.
kanzawai. Hal ini menunjukkan bahwa N. longispinosus memiliki ketertarikan
yang cukup tinggi terhadap mangsa dalam stadia telur.
N. longispinosus yang diberikan mangsa T. kanzawai memiliki tanggap
fungsional tipe III. Tanggap fungsional tipe III ditunjukkan oleh koefisien linear

yang bernilai positif. Hal ini menunjukkan bahwa pada awalnya proporsi mangsa
yang dipredasi meningkat kemudian menurun seiring dengan bertambahnya
kepadatan mangsa. Tanggap fungsional tipe III merupakan satu-satunya tipe
tanggap fungsional yang memiliki kontribusi nyata dalam regulasi populasi hama
sehingga N. longispinosus berpotensi sebagai agen biokontrol yang efisien.
Tanggap numerik N. longispinosus yang diberikan mangsa T. kanzawai
menunjukkan model respons langsung. Model respons langsung merupakan
model yang menunjukkan dimana populasi predator akan meningkat seiring
dengan peningkatan jumlah mangsa.
Kemampuan individu imago betina tungau predator N. longispinosus
menekan populasi tungau hama T. kanzawai selama 3 hari dengan kepadatan awal
mangsa yang berbeda (4, 8, 16, 32 ekor imago betina) diuji di laboratorium.
Jumlah predator pada hari terakhir pengamatan tidak berbeda nyata antar
kepadatan. Jumlah mangsa terbanyak dijumpai pada kepadatan awal 32 ekor
mangsa.

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

BIOLOGI DAN POTENSI PREDASI TUNGAU PREDATOR Neoseiulus
longispinosus Evans (ACARI: PHYTOSEIIDAE) PADA TUNGAU HAMA
Tetranychus kanzawai Kishida (ACARI: TETRANYCHIDAE)

MIA NURATNI YANTI RACHMAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2011

Judul Tesis

Nama
NRP
Program Studi

: Biologi dan Potensi Predasi Tungau Predator
Neoseiulus longispinosus (Acari: Phytoseiidae)
pada Tungau Hama Tetranychus kanzawai Kishida
(Acari: Tetranychidae)
: Mia Nuratni Yanti Rachman
: A 351080051
: Entomologi

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Pudjianto, MSi

Anggota

Dr. Ir. Sugeng Santoso, MAgr.
Ketua anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Dr. Ir. Pudjianto, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karuniaNya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan
kepada Dr. Ir. Sugeng Santoso, MAgr dan Dr. Ir. Pudjianto, MSi selaku
pembimbing. Selain itu, penulis sampaikan terima kasih kepada Bapak Wawan,

teman-teman Entomologi 2008 (Yani, bang Dedi, kak Kiki, pak Umbu, mbak
Nella, mbak Rika, pak Gatot, pak Aser), Nia, Putri, dan teman-teman Wisma
Bintang (Nahrin dkk) yang membantu penulisan tesis baik secara langsung
maupun tidak langsung. Ungkapan terima kasih juga penulis haturkan kepada
Papa, Mama, suami serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Departemen Pendidikan Tinggi
Republik Indonesia atas beasiswa pascasarjana yang diperoleh.

Bogor, Juli 2011

Mia Nuratni YR

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 23 September 1982 dari ayah H.
Taufik Rachman dan ibu Hj. Fatmah AF. Penulis merupakan putri pertama dari
empat bersaudara.
Tahun 2001 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bekasi dan pada tahun yang
sama lulus seleksi masuk IPB melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri.
Penulis memilih program studi Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas

Pertanian. Pada tahun 2006, penulis menamatkan sarjana.
Sebelumnya penulis bekerja sebagai guru freelance di sebuah bimbingan
belajar dan membantu proyek Departemen Proteksi Tanaman. Kesempatan untuk
melanjutkan ke program pascasarjana diperoleh pada tahun 2008. Beasiswa
pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Republik
Indonesia.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL……………………………………………………...

i

DAFTAR GAMBAR…………………………………………………..

ii

PENDAHULUAN…………………………………………..................


1

Latar belakang .............................................................................
Tujuan..........................................................................................

1
2

TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................

3

Tungau Merah Tetranychus kanzawai ........................................
Karakter Morfologi ..........................................................
Bioekologi ........................................................................
Tungau Predator Famili Phytoseiidae .........................................
Tungau Predator Neoseiulus longispinosus.................................
Karakter Morfologi ..........................................................
Bioekologi ........................................................................
Neraca Hayati………………………………………………… ..
Tanggap Fungsional…………………………………………….
Tanggap Fungsional Tipe I .............................................
Tanggap Fungsional Tipe II ............................................
Tanggap Fungsional Tipe III ...........................................
Tanggap Numerik………………………………………………
Preferensi Mangsa………………………………………………

3
3
3
4
6
6
8
9
10
11
12
13
13
14

BAHAN DAN METODE .......................................................................

17

Waktu dan Tempat ......................................................................
Metode Penelitian ........................................................................
Pemeliharaan Tungau ......................................................
Neraca Hayati Tungau Predator N.longispinosus ............
Preferensi Mangsa ...........................................................
Tanggap Fungsional……………………………………
Tanggap Numerik………………………………………
Kemampuan Menekan Populasi
Mangsa oleh Individu Predator……………………….. .

17
17
17
18
19
20
21

HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................

23

Neraca Hayati ..............................................................................
Siklus Hidup dan Perkembangan ................................................
Sintasan dan Jumlah Telur Predator Harian ................................
Preferensi Stadia Mangsa ............................................................
Tanggap Fungsional ....................................................................
Tanggap Numerik ........................................................................

23
25
28
30
31
34

22

Kemampuan Individu Imago Betina Tungau Betina Predator
N.longispinosus Menekan Populasi Tungau Hama T. kanzawai

36

PEMBAHASAN UMUM .......................................................................

41

KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................

43

Kesimpulan..................................................................................
Saran ............................................................................................

43
43

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................

45

DAFTAR TABEL

Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Statistik demografi N. longispinosus.............................................
Proporsi berbagai fase perkembangan N. longispinosus
pada persebaran umur stabil ..........................................................
Berbagai parameter kehidupan N. longispinosus yang
dibiakkan pada T. kanzawai ..........................................................
Hasil analisis regresi logistik proporsi mangsa
T. kanzawai yang mangsa N. longispinosus ..................................
Estimasi masa penanganan dan rataan jumlah mangsa
yang dimangsa N.longispinosus………………………………….
Rataan predasi, produksi telur predator
dan ratio predator:mangsa……………………………………….
Predator dan mangsa yang tersisa pada hari terakhir
pengamatandi laboratorium………………………………………
Jumlah kumulatif stadia predator yang ditemukan
padahariterakhirpengamatan……………………………………...

24
25
27
31
33
35
38
39

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.

Tetranychus kanzawai ..................................................................
Bagian dorsal Phytoseiidae ...........................................................
Bentuk dan jumlah seta pada bagian dorsal N. longispinosus ......
Tipe pola kawin N.longispinosus…………………………………
N. longispinosus………………………………………………….
Grafik tanggap fungsional tipe I…………………………………
Grafik tanggap fungsional tipe II………………………………..
Grafik tanggap fungsional tipe III……………………………….
Potongan daun ubi kayu………………………………………….
Sintasan dan rata-rata jumlah telur harian tungau predator………
Keberadaan imago N. longispinosus selama 3 jam……………….
Kurva tanggap fungsional………………………………………...
Proporsi pemangsaan pada tanggap fungsional tungau predator
N. longispinosus…………………………………………………...
Laju rataan produksi telur predator
pada kepadatan mangsa berbeda………………………………….
Populasi tungau hama T. kanzawai dengan predator……………..
Populasi tungau hama T. kanzawai tanpa predator……………….

3
5
7
8
9
12
12
13
17
29
31
33
34
36
37
37

PENDAHULUAN

Latar belakang
Salah satu famili tungau yang menjadi pusat perhatian dalam pertanian
adalah Tetranychidae. Sebagian besar spesies famili Tetranychidae merupakan
hama yang bersifat polifag (Kalshoven 1981; Walter & Proctor 1999; Zhang
2003).

Tetranychus kanzawai Kishida merupakan salah satu spesies famili

Tetranychidae yang sangat merusak dan bersifat kosmopolit (Walter & Proctor
1999; Zhang 2003; Kasap 2005). Tungau ini dapat dijumpai di berbagai belahan
dunia dan menyerang lebih dari 100 spesies tanaman termasuk tanaman pertanian
dan tanaman hias (Zhang 2003). Tanaman yang terinfestasi T. kanzawai akan
memiliki gejala seperti berikut: permukaan bawah daun berwarna perak
kekuningan sampai kecoklatan, jaring-jaring menutupi daun dan batang serta
kering dan mati bila populasi tungau sangat padat (Zhang 2003).
Pengendalian hayati merupakan salah satu pengendalian yang dilakukan
untuk mengatasi masalah yang disebabkan oleh T. kanzawai. Pengendalian hayati
menggunakan musuh alami T. kanzawai seperti tungau predator dari famili
Phytoseiidae, sudah dilakukan di beberapa Negara. Beberapa tungau predator
bahkan telah dibiakkan secara komersial (Driesche & Bellows 1996; Zhang 2003).
Phytoseiulus persimilis dan Amblyseius californicus merupakan contoh spesies
yang telah diproduksi secara komersial (Luz 2003; Cakmak et al. 2004). Di
Indonesia, Yulianah (2008) melaporkan adanya tungau predator yang berasosiasi
dengan T. kanzawai pada tanaman stroberi di Cisarua dan Lembang. Tungau
predator yang ditemukan oleh Yulianah (2008) termasuk famili Phytoseiidae,
spesies Amblyseius longispinosus.
Neoseiulus (Amblyseius) longispinosus merupakan tungau predator lokal
Indonesia. Tungau predator ini pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun
1952, dan dilaporkan berasosiasi dengan Tetranychus bimaculatus pada tanaman
ubi kayu (Evans 1952). N. longispinosus mudah dijumpai pada tanaman yang
terinfestasi tungau Tetranychidae.

Hal tersebut berkaitan dengan preferensi

mangsa dan tipe predator N. longispinosus yang termasuk dalam tipe predator II,
yang memiliki preferensi mangsa pada tungau Tetranychidae (Zhang 2003;

Kongchuensin et al. 2006). Kelimpahan N. longispinosus relatif tinggi berkaitan
dengan karakter spesies ini yang dapat digunakan sebagai agens hayati tungau
Tetranychidae. Oleh karena itu, potensi N. longispinosus sebagai agens hayati
tungau Tetranychidae di Indonesia relatif tinggi.
Beberapa negara di Asia seperti Thailand, Philipina dan Taiwan telah
mempelajari dan memanfaatkan N. longispinosus sebagai agens hayati
pengendalian tungau. Sebaliknya, pengetahuan biologi dan ekologi tentang N.
longispinosus di Indonesia masih minim,

padahal peluang penggunaan N.

longispinosus sebagai agens hayati cukup tinggi. Oleh karena itu, faktor-faktor
yang berkaitan dengan bioekologi predator ini perlu dipelajari untuk mengetahui
potensi tungau predator N. longispinosus dalam pengendalian tungau T. kanzawai
di Indonesia.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan sebagai berikut: (1) mengetahui pertumbuhan dan
perkembangan tungau predator N. longispinosus yang meliputi neraca hayati,
lama hidup, dan fekunditas; (2) preferensi mangsa; (3) tanggap fungsional; (4)
tanggap numerik tungau predator; dan (5) kemampuan individu imago betina N.
longispinosus dalam menekan populasi hama T. kanzawai.

TINJAUAN PUSTAKA

Tungau Merah Tetranychus kanzawai
Karakter Morfologi
Siklus hidup T. kanzawai terdiri dari telur, larva, nimfa (protonimfa dan
deutonimfa) dan dewasa. Telur umumnya diletakkan pada permukaan bawah
daun tapi terkadang juga pada permukaan atas daun bila populasi T. kanzawai
berlimpah. Telur berbentuk bulat seperti bola dan saat baru diletakkan berwarna
putih bening. Larva dan nimfa berwarna hijau kekuningan dengan bintik gelap
pada bagian dorsolateral idiosoma seperti pada gambar 1 (Ehara 2002). Tungau
dewasa umumnya berwarna merah atau merah kekuningan (Ehara 2002). Warna
tubuh imago T. kanzawai terkadang dipengaruhi oleh tanaman inangnya. Tungkai
berwarna kekuningan. Betina dewasa berukuran sekitar 400-500 µm dan jantan
dewasa lebih kecil dengan hysterosoma yang meruncing. Imago T. kanzawai
jantan memiliki knob yang besar pada aedeagus (Zhang 2003).
a

b

Gambar 1 Tetranychus kanzawai (a, pradewasa; b, dewasa; sumber Ehara, 2002)

Bioekologi
T. kanzawai pertama kali ditemukan pada tanaman murbei di Jepang
(Kishida 1927). Walter & Proctor (1999) menyatakan bahwa sebelum perang
dunia II, tungau ini merupakan hama sekunder. Penggunaan pestisida kimiawi
secara intensif menyebabkan perubahan status pada spesies ini.
Spesies tungau ini bersifat kosmopolit dan dapat dijumpai hampir di
seluruh belahan dunia. T. kanzawai merupakan spesies tungau hama yang cukup
terkenal di Asia. Tungau ini mudah dijumpai pada pertanaman teh sehingga

dikenal juga sebagai tungau merah teh. Selain itu, T. kanzawai dapat menyerang
lebih dari 100 spesies tanaman. Pada umumnya tungau ini mudah dijumpai di
lapangan, namun juga menjadi hama pada pertanaman dalam rumah kaca seperti
anggur, stroberi, dan lain-lain.
Gejala kerusakan yang diakibatkan oleh tungau hama ini bervariasi
tergantung jenis tanamannya. Nekrotik merupakan gejala yang pasti terjadi pada
daun yang terserang tungau hama ini, kemudian daun tersebut mengering.
Populasi tungau yang sangat tinggi dapat menyebabkan kematian tanaman.
Populasi T. kanzawai dapat meningkat dalam waktu yang cepat. Hal ini
berkaitan dengan waktu perkembangan T. kanzawai yang singkat, yaitu berkisar
12-19 hari pada suhu 20-25°C (Zhang 2003). Keberhasilan hidup sampai tahap
imago dapat mencapai 80 %. Nisbah kelamin bersifat female biased dengan nilai
1:3. Imago betina memiliki lama hidup yang lebih panjang dibandingkan imago
jantan. Tingkat fekunditas bervariasi dan dipengaruhi oleh suhu. Satu imago
betina dapat bertelur sebanyak 28-76 butir pada kisaran suhu 15-30°C (Zhang
2003).

Tungau Predator Famili Phytoseiidae
Kelompok tungau predator yang banyak digunakan sebagai agens
pengendali hama tanaman berasal dari famili Phytoseiidae.

Selain memakan

tungau fitofag, tungau predator famili Phytoseiidae juga memakan serangga kecil
yang berada di tanaman.

Beberapa spesies juga memakan nematoda, spora

cendawan, polen, dan eksudat tanaman.
Famili Phytoseiidae memiliki tiga subfamili yaitu Amblyseiinae,
Phytoseiinae, dan Typhlodrominae. Spesies tungau yang telah dikembangkan
secara komersial adalah genera Neoseiulus dan Phytoseiulus yang termasuk dalam
subfamili Amblyseiinae dan Phytoseiinae (Zhang 2003).
Siklus hidup tungau predator terdiri dari telur, larva, protonimfa,
deutonimfa, dan imago. Telur memiliki bentuk oval memanjang dan berwarna
bening.

Kelembapan yang tinggi yaitu berkisar 90-100%, dibutuhkan untuk

penetasan telur. Perilaku makan larva berbeda untuk beberapa spesies. Beberapa
spesies tungau predator memiliki stadium larva yang tidak makan, sementara larva

beberapa spesies membutuhkan makanan untuk perkembangannya.

Pada

umumnya perkembangan tungau predator lebih cepat dibandingkan dengan
tungau Tetranychus sp. Sebagian besar tungau predator membutuhkan waktu
sekitar satu minggu untuk perkembangannya.

Beberapa spesies Phytoseiulus

bahkan dapat menyelesaikan siklus hidupnya dalam waktu 4 hari.
Famili Phytoseiidae bersifat pseudo-arrhenotokous, yaitu menghasilkan
keturunan jantan haploid dari telur yang dibuahi yang akan kehilangan genom
induk pada awal perkembangan (Walter & Proctor 1999).

Oleh karena itu,

kopulasi sangat penting dalam reproduksi. Nisbah kelamin jantan:betina adalah
1:3 (Zhang 2003).

Watson (2008) menjelaskan bahwa secara morfologi

perbedaan antara tungau betina dan jantan terletak pada bagian lapisan pelindung
ventral. Tungau jantan hanya memiliki satu lapisan ventral sedangkan tungau
betina memiliki tiga lapis pelindung, yaitu sternal, genital dan anal.
Seta merupakan salah satu unsur dalam klasifikasi tungau.

Beberapa

peneliti memiliki penamaan letak seta pada idiosoma dorsal tungau. Pada gambar
2, Zhang (2003) mendeskripsikan ciri khas pada famili Phytoseiidae yaitu
idiosoma bagian dorsal memiliki tidak lebih dari 24 pasang seta dan pada bagian
J1, J3, serta J4 tidak terdapat seta.
Salah satu ciri khas tungau predator adalah pergerakannya yang cepat. Hal
tersebut disebabkan oleh tungkai tungau predator yang relatif panjang. Olfaktori
sangat berguna dalam pencarian mangsa sehingga tungau predator dapat
mengetahui tanaman yang terinfestasi oleh tungau fitofag (Boom et al. 2002;
Zhang 2003, Nachappa 2008 ).

Gambar 2 Bagian dorsal Phytoseiidae (Zhang 2003)

Tungau Predator Neoseiulus longispinosus
Karakter Morfologi
N. longispinosus termasuk dalam famili Phytoseiidae, ordo Mesostigmata.
Gerson et al. (2003) menyatakan bahwa N. longispinosus sangat berhubungan
dekat dengan N. womersleyi secara biosistematika. Penampakan morfologi secara
kasat mata hampir sama untuk kedua predator ini. Bentuk tungau betina N.
longispinosus lebih besar dibandingkan tungau betina N. womersleyi (Gerson et
al. 2003). Zhang (2003) menambahkan bahwa N. longispinosus memiliki tekstur
seta lebih halus dan panjang pada seta S5.
Siklus hidup N. longispinosus terdiri dari telur, larva, protonimfa,
deutonimfa dan dewasa. Telur berbentuk oval dan transparan serta berwarna
putih bening.

Perubahan warna telur menjadi putih agak keruh terjadi saat

menjelang penetasan. Telur diletakkan secara individu pada permukaan bawah
daun. Stadia telur berlangsung selama 1-2 hari (Puspitarini 2005; Yulianah 2008).
Larva N. longispinosus berwarna putih dengan 3 pasang tungkai. Pada
stadia larva, predator tidak mengkonsumsi mangsa. Mobilitas larva terbilang
pasif karena cenderung lebih banyak diam. Masa stadia larva pada umumnya
relatif singkat dan biasanya hanya dalam hitungan jam.
Stadia nimfa terdiri dari protonimfa dan deutonimfa. Pada stadia ini,
predator lebih aktif dalam mobilitas dan memangsa. Nimfa berwarna putih agak
keruh dan memiliki 4 pasang tungkai. Setelah memangsa, warna nimfa berubah
menjadi putih kekuningan atau kemerahan pada bagian dorsal. Lama stadia nimfa
biasanya berlangsung selama satu hari.
Tungau dewasa memiliki banyak seta pada bagian dorsal. Lapisan dorsal
memiliki 17 pasang seta. Gambar 3 menunjukkan bahwa seluruh seta pada bagian
dorsal berukuran panjang dan berduri kecuali seta pada J1 dan S5 (Zhang 2003).
Tungau dewasa memiliki warna yang sama seperti pada stadia nimfa. Tungau
betina dewasa memiliki ukuran rata-rata sekitar 350 µm. Ukuran tungau dewasa
jantan lebih kecil dibandingkan tungau dewasa betina. Perbedaan tungau jantan
dan betina terletak pada bagian genitalia.

Tungau jantan memiliki kaliks

spermateka berbentuk seperti botol. Lama hidup tungau jantan lebih pendek
dibandingkan tungau betina.

Gambar 3 Bentuk dan jumlah seta pada bagian dorsal N. longispinosus (Zhang
2003)
Kopulasi terjadi ketika tungau betina menjadi dewasa. Tungau dewasa
jantan akan menunggu deutonimfa betina. Saat penantian tersebut, tungau jantan
akan menjaga area di sekeliling deutonimfa berada.

Vantornhout (2006)

menyatakan bahwa detonimfa memiliki feromon seks yang dapat menarik tungau
jantan. Apabila tungau jantan lain memasuki area tersebut maka akan terjadi
pertarungan. Perilaku kawin tungau jantan N. longispinosus cukup unik (Gambar
4). N. longispinosus memiliki pola kawin tipe Phytoseiulus. Tipe Phytoseiulus
memiliki karakter saling berhadapan lalu tungau jantan akan merayap secara
perlahan di bawah tungau betina.

Gambar 4 Tipe pola kawin N. longispinosus (Vantornhout 2006)

Bioekologi
Neoseiulus longispinosus dilaporkan berada di Indonesia pertama kali
dengan nama Typhlodromus longispinosus (Evans 1952). Kongchuesin et al.
(2005) menyatakan bahwa populasi N. longispinosus akan melimpah pada
tanaman yang terinfestasi tungau merah dengan produksi jaring yang banyak pada
permukaan bawah daun. Predator ini banyak dijumpai pada tanaman ubi kayu
yang terinfestasi tungau Tetranychidae terutama T. kanzawai di Indonesia
(Santoso, komunikasi pribadi). Selain itu, predator ini juga ditemui pada tanaman
stroberi dan jeruk di lapangan (Puspitarini 2005; Yulianah 2008).

N.

longispinosus ditemukan pada 33 spesies tanaman di Thailand (Kongchuesin et al.
2005).

Gambar 5 N. longispinosus (a, telur; b, tungau dewasa; Koleksi Pribadi)

N. longispinosus banyak ditemui di beberapa negara seperti di India, Cina
bagian timur, Philiphina, Indonesia, Thailand, Malaysia, Taiwan, Hawaii,
Pakistan, Papua Nugini, Australia dan New Zealand (Gerson et al. 2003;
Kongchuensin et al. 2005; Raza 2008).
Masa siklus hidup N. longispinosus dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
terutama suhu. Zhang (2003) melaporkan bahwa perkembangan N. longispinosus
berlangsung selama 5 hari pada suhu 28 °C. Penelitian Puspitarini (2005) dan
Yulianah (2008) menunjukkan hasil yang sama bahwa siklus hidup N.
longispinosus berlangsung selama 4-5 hari dalam kondisi laboratorium. Hal ini
memperlihatkan bahwa siklus hidup N. longispinosus lebih cepat dibandingkan
siklus hidup tungau Tetranychidae.

Neraca Hayati
Neraca hayati merupakan ringkasan pernyataan tentang kehidupan
individu dalam populasi atau kelompok (Price 1997).

Lincoln et al. (1982)

mendefinisikan neraca hayati sebagai tabulasi data mortalitas lengkap dari
populasi terhadap umur. Neraca hayati merupakan riwayat perkembangan cohort
yang bersifat dinamis (Tarumingkeng 1992). Neraca hayati berisi informasi dasar
tentang mortalitas dan kelangsungan hidup suatu populasi dalam penjelasan
statistik.

Informasi tersebut diperlukan untuk mengetahui dinamika populasi

suatu organisme.

Pertumbuhan populasi suatu organisme akan dipengaruhi oleh tiga faktor
yaitu kelahiran, kematian dan migrasi. Pertumbuhan populasi positif terjadi bila
angka kelahiran lebih besar daripada angka kematian dan migrasi bernilai 0
(angka emigrasi = angka imigrasi). Apabila terjadi sebaliknya maka akan terjadi
pertumbuhan populasi negatif (Oka 1995).
Neraca hayati digolongkan menjadi dua tipe yaitu neraca hayati horizontal
yang lebih bersifat spesifik umur dan neraca hayati vertikal yang bersifat spesifik
waktu (Bellows & Van Driesche 1992).

Neraca hayati horizontal meliputi

penghitungan berulang terhadap suatu kelompok (cohort) tunggal yang terdiri dari
umur individu yang sama. Data yang berasal dari suatu kejadian tunggal yang
diasumsikan bahwa semua generasinya saling lingkup dengan sempurna karena
kelas umur yang secara simultan sama, merupakan neraca kehidupan vertikal.
Parameter-parameter yang terdapat dalam neraca hayati meliputi laju
reproduktif kotor (GRR), laju reproduktif bersih (Ro), waktu generasi (T), laju
pertambahan intrinsik (r), laju pertambahan terbatas (λ) dan doubling time (DT)
(Rauf dan Hidayat 1987).

Parameter tersebut berisi informasi dasar seperti

keperidian, kemampuan hidup harian, nisbah kelamin dan laju pertambahan suatu
organisme dalam analisa dinamika populasi. Laju reproduktif kotor (GRR) adalah
rata-rata jumlah keturunan betina per generasi (Σ mx). Laju reproduktif bersih
(Ro) menunjukkan jumlah keturunan betina yang berhasil menjadi imago. Waktu
generasi (T) merupakan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan siklus hidup
per generasi. Laju pertambahan intrinsik (r) menggambarkan laju pertambahan
populasi pada keadaan lingkungan konstan, sumber daya tak terbatas serta
kematian yang terjadi hanya disebabkan oleh faktor fisiologi (Birch 1948). Laju
pertambahan terbatas (λ) menunjukkan nilai kelipatan populasi organisme per
hari. Doubling time (DT) merupakan kemampuan organisme berkembang dalam
satu generasi. Pada umumnya tungau predator famili Phytoseiidae memiliki nilai
laju pertambahan intrinsik yang berkisar dari 0.1 - 0.4 (Escudero LA & Ferragut
F. 2005; Vasconcelos et al. 2008).

Tanggap Fungsional

Keberhasilan pengendalian hayati ditentukan oleh dinamika interaksi
predator-mangsa.

Perubahan jumlah mangsa dapat direspons oleh predator.

Peningkatan jumlah generasi predator (tanggap numerik) dan tingkat predasi
predator secara individu (tanggap fungsional) merupakan respon predator
terhadap perubahan jumlah mangsa (Taylor 1984).
Tanggap fungsional merupakan respon perilaku predator terhadap
perubahan jumlah mangsa dalam waktu yang relatif singkat. Keefektifan predator
atau parasitoid dapat dilihat dari tanggap fungsionalnya. Salah satu ciri predator
yang baik adalah memiliki tanggap fungsional yang tinggi.
Tanggap fungsional merupakan komponen yang sangat esensial dari
dinamika interaksi antara predator/parasitoid dan mangsa/inang serta sangat
penting untuk determinasi stabilitas dari sistem yang dikelola (Oaten & Murdoch
1975 dalam Wang & Ferro 1998).
hubungan

antara

jumlah

Tanggap fungsional menggambarkan

mangsa/inang

yang

dikonsumsi/diparasit

per

predator/parasitoid dan kepadatan mangsa/inang (Wang & Ferro 1998; Speight
1999). Holling 1959 dalam Hassel 2000 menggolongkan tanggap fungsional
menjadi tiga tipe: linier (Tipe I), hiperbolik (Tipe II), dan sigmoid (Tipe III).

Tanggap Fungsional Tipe I
Tanggap fungsional tipe I memiliki grafik bersifat linier.

Hal ini

menunjukkan hubungan yang bersifat konstan. Tingkat predasi meningkat secara
linier dengan peningkatan kepadatan mangsa, kemudian tingkat predasi menjadi
konstan setelah predator berada dalam kondisi kenyang.
Tipe I berasal dari modifikasi sederhana tanggap fungsional linier dari
persamaan Lotka-Volterra. Tipe I dijumpai pada interaksi yang stabil. Tanggap
fungsional tipe I biasa ditemukan pada predator yang bersifat pasif seperti labalaba.

Gambar 6 Grafik tanggap fungsional tipe I. Hubungan antara mangsa yang
dimakan (Ne) dengan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada
gambar A; hubungan antara proporsi mangsa yang dimakan (Ne/N)
dan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar B
(Vantornhout 2006)
Tanggap Fungsional Tipe II
Tanggap fungsional tipe II memiliki grafik yang bersifat hiperbolik.
Model tipe II berasal dari persamaan cakram Holling. Tingkat predasi meningkat
seiring dengan peningkatan kepadatan mangsa secara konstan pada awalnya
hingga kepadatan mangsa maksimum. Penurunan tingkat predasi akan terjadi
secara cepat seiring meningkatnya mangsa sehingga terjadi bentuk grafik yang
hiperbolik.
Pada tanggap fungsional tipe II terdapat waktu penanganan dan laju
pemangsaan. Tanggap fungsional tipe II juga mudah ditemukan dalam kondisi
lingkungan yang stabil. Grafik tipe II umumnya ditemukan pada predator atau
parasitoid.

Gambar 7 Grafik tanggap fungsional tipe II. Hubungan antara mangsa yang
dimakan (Ne) dengan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada
gambar C; hubungan antara proporsi mangsa yang dimakan (Ne/N)
dan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar D
(Vantornhout 2006)

Tanggap Fungsional Tipe III
Tanggap fungsional tipe III memiliki grafik sigmoid. Tingkat predasi
bersifat cekung pada kepadatan mangsa rendah, tapi akan bersifat cembung pada
kepadatan mangsa tinggi.

Tanggap fungsional tipe III dapat terjadi karena

pembelajaran hal baru, perubahan kemampuan, atau hal lain yang belum diketahui
yang terkadang disebut sebagai ekspresi preferensi.

Sebagian besar proses

menyertai perubahan nutrisi dari satu tipe mangsa ke tipe mangsa lainnya.
Tanggap fungsional tipe III biasanya terjadi pada lingkungan sekitar kepadatan
mangsa yang seimbang.

Ketika kepadatan mangsa bertambah banyak, predator

pun meningkat dan pengaruh stabilisasi lain mengakibatkan perilaku predator
hilang. Stabilitas pada sistem tanggap fungsional tipe III dipengaruhi seluruh
komponen dari biologi spesies dan interaksi antar spesies tersebut (Taylor 1984).
Grafik tipe III umumnya terdapat pada predator yang memangsa beberapa spesies
(Sharov 1996 dalam Hidrayani 2002).
Model tanggap fungsional tipe III menggambarkan bentuk grafik secara
sigmoid. Pada awalnya predasi terjadi secara lambat kemudian meningkat cepat
seiring bertambahnya kepadatan mangsa lalu tingkat predasi akan menurun pada
kepadatan mangsa yang lebih tinggi lagi hingga mencapai kejenuhan.

Gambar 8 Grafik tanggap fungsional tipe III. Hubungan antara mangsa yang
dimakan (Ne) dengan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada
gambar E; hubungan antara proporsi mangsa yang dimakan (Ne/N)
dan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar F
(Vantornhout 2006)

Tanggap Numerik
Setiap makhluk hidup membutuhkan nutrisi untuk pertumbuhan dan
perkembangannya. Sumber daya makanan yang berlimpah akan memberikan
keuntungan bagi makhluk hidup tersebut. Nutrisi makanan yang berlimpah akan
mempengaruhi tingkat reproduksi makhluk hidup dan secara tidak langsung
berkontribusi terhadap generasi berikutnya.
Peningkatan populasi mangsa dapat menyebabkan perubahan laju
penyerangan per individu predator. Selain itu, peningkatan populasi mangsa juga
dapat mengakibatkan perubahan kepadatan populasi predator. Perubahan populasi
predator ini merupakan respon atau tanggap terhadap peningkatan populasi
mangsa. Respon atau tanggap ini disebut sebagai tanggap numerik.
Tarumingkeng (1992) menguraikan mekanisme terjadinya tanggap
numerik sebagai berikut. Pertama, peningkatan populasi predator karena imigrasi
yang berasal dari daerah sekeliling. Hal ini berkaitan dengan perilaku predator
yang berkelompok dan menempati daerah-daerah dengan tingkat kerapatan
populasi predator yang tinggi. Sekelompok burung yang bergerombol di tempat
dengan kepadatan populasi belalang yang tinggi. Kedua, peningkatan populasi
predator karena peningkatan reproduksi (Ro).

Waktu generasi (Ro) predator

umumnya lebih lama daripada waktu generasi (Ro) mangsa.

Hal tersebut

menimbulkan penundaan dalam perubahan keterpautan kepadatan atau senjang
waktu (lag).

Senjang waktu (lag) menyebabkan terjadinya peningkatan

reproduksi predator.
Tanggap numerik dibatasi oleh waktu generasi makhluk hidup tersebut.
Makhluk hidup yang memiliki siklus hidup yang relatif pendek cenderung
memiliki respon lebih cepat dengan tingkat fluktuasi terhadap kelimpahan sumber
daya makanan.

Preferensi Mangsa
Makanan merupakan salah satu komponen yang mempengaruhi suatu
makhluk hidup dalam kehidupan seperti bertahan dan berkembang. Kualitas dan
kuantitas makanan adalah aspek penting untuk diperhatikan dalam pertumbuhan
dan perkembangan makhluk hidup. Kualitas makanan akan berkaitan langsung
dengan fisiologi makhluk hidup.

Keberadaan jumlah makanan akan

mempengaruhi kelimpahan populasi suatu makhluk hidup.
Mangsa merupakan sumber daya nutrisi penting bagi predator. Mangsa
yang berbeda dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan predator.
Oleh karena itu, tungau predator memiliki preferensi mangsa.

Berdasarkan

preferensi mangsa, tungau predator dapat digolongkan dalam 4 tipe (Zhang 2003),
yaitu: 1) predator spesialis, hanya memakan spesies Tetranychus yang
menghasilkan sarang yang besar contoh spesies dari genera Phytoseiulus; 2)
tungau Phytoseiidae yang memiliki preferensi makan tungau Tetranychinae,
terkadang tungau kecil, dan polen contoh spesies Neoseiulus californicus
(McGregor); 3) predator generalis yang memakan berbagai jenis tungau, polen,
dan serangga tapi tidak dapat mengendalikan spesies Tetranychus yang
menghasilkan sarang yang besar contoh Iphiseius degenerans Berlese; dan 4)
predator generalis tungau dan serangga tapi bersifat spesialis terhadap polen
contoh spesies dari genera Euseius. N. longispinosus termasuk predator tipe 2,
yang memiliki preferensi mangsa pada tungau Tetranychidae dan juga dapat
memakan polen (Gerson et al. 2003; Zhang 2003).

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan pada bulan April-September 2010 di Laboratorium
Ekologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Metode Penelitian
Asal Tungau
Tungau hama T. kanzawai dan tungau predator N. longispinosus diperoleh
dari tanaman ubi kayu di daerah Dramaga, dan dibiakkan di laboratorium dalam
suatu arena.

Arena Percobaan
Arena percobaan berupa petri dish berdiameter 8 cm. Busa (diameter ± 7
cm) diletakkan dalam arena lalu kapas diletakkan di atas busa dan diberikan air
hingga jenuh. Setelah itu, potongan daun ubi kayu yang berukuran 3 cm x 3 cm
diletakkan di atas kapas. Air ditambahkan pada arena percobaan apabila kapas
atau busa mulai terlihat kering. Potongan daun ubi kayu dalam arena percobaan
diganti setiap 3 hari.

Gambar 9 Potongan daun ubi kayu

Pemeliharaan Tungau
Tungau hama T. kanzawai dan tungau predator N. longispinosus dipelihara
dalam laboratorium dengan suhu 25-29°C dan RH 60-70%, menggunakan
potongan daun ubi kayu dan arena percobaan.

Neraca Hayati Tungau Predator N. longispinosus
Percobaan neraca hayati bertujuan untuk mengetahui parameter demografi,
siklus hidup, perkembangan, sintasan dan sebaran umur tungau predator N.
longispinosus. Seratus telur predator ditempatkan secara individual pada arena
percobaan yang baru. Semua telur predator yang digunakan berasal dari umur
yang sama. Satu hari sebelum perlakuan, tiga ekor tungau betina T. kanzawai
juga ditempatkan dalam setiap arena percobaan dan dibiarkan bertelur. Telurtelur yang dihasilkan dijadikan mangsa bagi predator dalam arena percobaan.
Metode pengamatan terbagi menjadi dua tahap yaitu stadia pradewasa dan
dewasa. Pada stadia pradewasa, pengamatan dilakukan setiap 6 jam untuk melihat
lama pergantian stadia dan jumlah predator yang masih hidup. Pengamatan pada
stadia dewasa dilakukan setiap 24 jam.

Tungau dewasa jantan dan betina

dipasangkan. Setelah itu, pengamatan dilakukan dengan melihat parameter seperti
fekunditas, lama hidup, masa praoviposisi, oviposisi, dan pascaoviposisi. Selama
pengamatan berlangsung, tungau predator diberi mangsa berbagai stadia tungau
hama yang berlimpah. Penggantian daun dilakukan setiap 3 hari.
Analisis data neraca hayati tipe kohort menggunakan tabel kehidupan dan
grafik klasifikasi kurva keberhasilan hidup. Data biologi dianalisis menggunakan
excel.
Perumusan neraca hayati merupakan langkah pertama dalam menghitung
laju pertambahan intrinsik (r). Perhitungan parameter r didasarkan hanya pada
populasi betina, dan diasumsikan bahwa jantan cukup tersedia di sekitarnya.
Beberapa parameter yang dibutuhkan dalam perhitungan tersebut adalah sebagai
berikut (Tarumingkeng 1992):
1.

x adalah kelas umur kohort (hari);

2.

ax adalah jumlah individu yang hidup pada setiap umur pengamatan;

3.

lx adalah proporsi individu yang hidup pada umur x (l : living, lx = ax/a0);

4.

dx adalah jumlah individu yang mati di setiap kelas umur (d. : death, dx = lx –
lx+1);

5.

qx adalah proporsi mortalitas pada masing-masing umur (qx = dx/ax);

6.

Lx merupakan jumlah rata-rata individu pada kelas umur x dan kelas umur
berikutnya, x+1 [Lx = (lx + lx+1)/2)];

7.

Tx adalah jumlah individu yang hidup pada kelas umur x = 0 …w (x = w
adalah kelas umur terakhir) (

);

, T1 = T0 – L0, T2 = T1

– L1, Tx = Tx-1 – Lx-1;
8.

ex adalah harapan hidup individu pada setiap kelas umur x (ex = Tx/lx);

9.

mx adalah keperidian spesifik individu-individu pada kelas umur x atau
jumlah anak betina perkapita yang lahir pada kelas x;

10. lxmx adalah banyaknya anak yang dilahirkan pada kelas umur x,

lxmx

merupakan proporsi banyaknya anak (betina) dilahirkan oleh semua individu
(betina) sepanjang generasi kohort dan disebut laju reproduksi bersih (R0);
11. xlxmx adalah perkalian x, lx, dan mx untuk setiap kelas umur x yang
digunakan untuk mengaproksimasi lamanya generasi (Tc);
12. px (peluang survival) adalah proporsi individu yang hidup pada kelas umur x
dan mencapai kelas umur x + 1 (px = Lx+1/Lx). Parameter ini digunakan
dalam matriks proyeksi Leslie untuk memprediksi pertumbuhan populasi
secara diskrit.
Dari data neraca hayati tersebut perhitungan dilanjutkan untuk
menentukan parameter-parameter demografi lainnya (Price 1997) seperti:
1. Laju reproduksi kotor (GRR) =

∑ mx

2. Laju reproduksi bersih (Ro)

=

∑ lxmx

3. Waktu generasi (Tc)

=

∑ x lxmx / ∑ lxmx

4. Laju pertambahan intrinsik

=

Log e R0/Tc

Preferensi Tungau Predator terhadap Mangsa
Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui preferensi mangsa tungau
predator N. longispinosus pada tingkat stadia (telur, nimfa, dan imago) tungau
hama T. kanzawai. Stadia mangsa yang digunakan dalam percobaan adalah telur,
nimfa, dan imago T. kanzawai. Jumlah telur, nimfa, dan imago yang digunakan
berbeda berturut-turut 25 butir, 10 ekor dan 5 ekor. Perbedaan jumlah tersebut
didasarkan pada jumlah maksimum pada uji tanggap fungsional.

Perlakuan

diulang sebanyak 10 kali.
Tungau predator yang digunakan berumur sama yaitu imago berumur 2
hari. Tungau predator diletakkan secara individu dalam arena percobaan. Arena

percobaan dimodifikasi dalam percobaan preferensi mangsa. Tiga potongan daun
ubi kayu berukuran 1.5 cm x 1.5 cm diletakkan dalam satu arena percobaan.
Setiap helai daun berisi mangsa (telur, nimfa dan imago) yang berbeda dengan
jumlah mangsa yang sama. Jarak antar daun berkisar 0.5-1.0 cm. Penghubung
antar daun digunakan jembatan parafilm selebar 2 mm dan berbentuk T. Tungau
predator diletakkan di tengah jembatan. Pengamatan dilakukan setiap 30 menit
selama 3 jam dengan menghitung jumlah mangsa dan keberadaan tungau predator
pada tiap helai daun dalam arena percobaan.
Data percobaan preferensi mangsa dianalisis menggunakan excel dengan
melihat keberadaaan imago N. longispinosus pada arena percobaan setiap 30
menit selama 3 jam.

Tanggap Fungsional
Percobaan tanggap fungsional merupakan percobaan yang dilakukan untuk
mengetahui hubungan antara tingkat predasi tungau predator N. longispinosus
dengan tingkat kepadatan tungau hama T. kanzawai. Mangsa yang digunakan
dalam percobaan ini adalah stadia telur. Kepadatan telur yang digunakan adalah
5, 10, 20, 40 dan 80 butir telur. Masing-masing perlakuan diulang 10 kali.
Percobaan tanggap fungsional menggunakan arena percobaan seperti pada
percobaan neraca hayati. Imago T. kanzawai dimasukkan dalam arena percobaan
tersebut dan dibiarkan selama 24 jam agar bertelur dan telur-telur tersebut yang
digunakan dalam uji tanggap fungsional.
Predator yang digunakan berasal dari stadia imago yang berumur 2 hari.
Predator-predator tersebut dipuasakan selama 8 jam secara individu. Pemuasaan
tersebut bertujuan agar pencernaan setiap predator dalam kondisi yang sama saat
dilakukan perlakuan. Setelah 8 jam, predator tersebut dimasukkan dalam arena
percobaan yang berisi telur dan dibiarkan selama 24 jam. Setelah itu, telur-telur
yang tersisa dihitung.
Tipe tanggap fungsional diketahui dengan menggunakan regresi logistik.
Regresi logistik berasal dari proporsi mangsa yang diserang (Ne/No) sebagai
suatu fungsi dari kepadatan mangsa yang tersedia (No). Data tanggap fungsional

diuji sesuai pada fungsi polinom yang menggambarkan hubungan Ne/No dan No
sebagai berikut:
=
Keterangan:

P0 = titik potong
P1 = koefisien linear
P2 = koefisien kuadratik
P3 = koefisien kubik

Pendugaan parameter (P) dilakukan dengan prosedur PROC CATMOD
SAS (SAS Institute 1989). Tanggap fungsional tipe II akan digambarkan dengan
nilai P1 yang lebih kecil dari 0 atau negatif (P1 < 0). Tanggap fungsional tipe III
akan ditunjukkan dengan nilai P1 yang positif (P1 > 0) namun P2 bernilai negatif
(P2 < 0). Pada tanggap fungsional tipe II dan III terdapat waktu penanganan
mangsa (Th) dan laju pencarian mangsa (a). Pendugaan Th dan a didapatkan dari
persamaan cakram Holing untuk tanggap fungsional tipe II dan persamaan Hassel
untuk tanggap fungsional tipe III (Hassel 1978).

Tanggap Numerik
Percobaan tanggap numerik dilakukan hampir sama dengan percobaan
tanggap fungsional, bertujuan untuk mengetahui hubungan antara peningkatan
populasi predator dengan tingkat kepadatan hama.

Kepadatan telur yang

digunakan adalah 5, 10, 20, 40 dan 80 butir. Masing-masing perlakuan diulang 10
kali. Beberapa imago T. kanzawai dimasukkan dalam setiap arena percobaan dan
dibiarkan selama 24 jam. Telur-telur yang dihasilkan dihitung untuk digunakan
dalam percobaan tanggap numerik dan imago dipindahkan dari arena percobaan.
Predator yang digunakan adalah stadia imago yang berumur 2 hari. Setelah 24
jam, pengamatan dilakukan terhadap jumlah telur predator yang dihasilkan dalam
arena percobaan.

Kemampuan Menekan Populasi Mangsa oleh Individu Predator
Percobaan ini bertujuan mengetahui kemampuan individu tungau predator
menekan populasi mangsa dengan kepadatan mangsa yang berbeda. Kepadatan
imago mangsa yang digunakan sebagai berikut: 4, 8, 16 dan 32 ekor. Imagoimago mangsa dibiarkan selama 24 jam. Setelah itu, seekor N. longispinosus
betina berumur 5-6 hari dimasukkan dalam arena percobaan yang telah berisi
mangsa. Pengamatan dilakukan setiap hari dengan mencatat jumlah semua stadia
predator dan mangsa yang ada dalam arena percobaan. Pengamatan berlangsung
selama 3 hari. Setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Perlakuan kontrol
(tanpa predator) hanya diulang sebanyak 3 kali dan pengamatan berlansung
selama 96 jam.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Neraca Hayati
N. longispinosus memiliki nilai waktu generasi (T) sebesar 4.05 hari
dengan laju reproduksi bersih (Ro) sebesar 24.96 butir telur per generasi pada
tabel 1. Hal ini menunjukkan bahwa populasi N. longispinosus dapat berkembang
sebanyak 24.96 kali dalam satu generasi selama 4.05 hari. Nilai laju pertambahan
intrinsik rm adalah 0.44 betina/betina/hari dan laju pertambahan terbatas (λ)
sebesar 1.55 betina/betina/hari.
Nilai laju pertambahan intrinsik rm tungau predator N. longispinosus
adalah 0.44 betina/betina/hari. Nilai rm tersebut lebih tinggi dibandingkan rm
Tetranychidae. Nilai rm Tetranychidae memiliki kisaran 0.1 - 0.3 (Wrensch 1979;
Razmjou et al. 2009). Hal ini menunjukkan bahwa populasi tungau predator N.
longispinosus berkembang lebih cepat dibandingkan tungau Tetranychidae. Oleh
karena itu, N. longispinosus cenderung memiliki potensi tinggi sebagai musuh
alami dalam pengendalian tungau Tetranychidae.

Nilai rm diperoleh dari

persamaan Σe-rx lx mx = 1 (Carey 1993).
GRR dan Ro menunjukkan tingkat reproduksi N. longispinosus yang diberi
mangsa T. kanzawai. Nilai GRR adalah 32.78 individu, yang menunjukkan ratarata jumlah keturunan betina per generasi.

Ro bernilai 24.96 individu,

menunjukkan jumlah keturunan betina yang berhasil menjadi imago. Nilai GRR
dan Ro N. longispinosus yang diberi mangsa T. kanzawai lebih tinggi
dibandingkan dengan mangsa lain (Puspitarini 2005; Thongtab et al 2002).
Jumlah keturunan betina yang relatif tinggi berimplikasi pada jumlah telur
yang dihasilkan dala

Dokumen yang terkait

Perilaku Pemangsaan Neoseiulus californicus (McGregor) (Acarina: Phytoseiidae) terhadap Tetranychus kanzawai (Kishida) (Acarina Tetranychidae) di Laboratorium

0 8 65

Biology and population abundance of spider mite tetranychus kanzawai (Acari Tertanychidae) on Two cultivars of Jatropha curcas

0 6 50

The Biology and Predation Rate of Predatory Mite, Neoseiulus longispinosus Evans, on Its Prey Tetranychus kanzawai Kishida (Acari Tetranychidae)

0 11 58

Ketahanan Empat Kultivar Ubi Kayu terhadap Tetranychus kanzawai Kishida (Acari : Tetranychidae

0 5 34

Preference and functional response of Neoseiulus californicus McGregor (Acari: Phytoseiidae) as predator of Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae)

0 0 7

Biology and abundance of spider mite Tetranychus sp. (Acari: Tetranychidae) on two Jatropha curcas cultivars

0 0 9

Predation capacities of Neoseiulus longispinosus Evans (Acari: Phytoseiidae) against Tetranychus urticae Koch and Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae) and its cannibalistic behavior

0 0 8

INFECTION PROCESS OF ENTOMOPATHOGENIC FUNGI Metarhizium anisopliae IN THE Tetrancyhus kanzawai (KISHIDA) (TETRANYCHIDAE: ACARINA)

0 0 9

IDENTIFICATION OF POTENTIAL ENTOMOPATHOGENIC FUNGI OF Tetranychus kanzawai Kishida (Tetranychidae: Acarina) USING ITS-5.8s rDNA REGION AS MOLECULAR MARKER

0 0 7

BIOLOGICAL STUDY OF TWO-SPOTTED SPIDER MITE, Tetranychus sp. (ACARI: TETRANYCHIDAE) ON THREE LEAF PHASES OF MUNG BEAN AND ADZUKI BEAN FOR MITE MASS REARING

0 0 7