Ketahanan Empat Kultivar Ubi Kayu terhadap Tetranychus kanzawai Kishida (Acari : Tetranychidae

KETAHANAN EMPAT KULTIVAR UBI KAYU
TERHADAP Tetranychus kanzawai KISHIDA
(ACARI: TETRANYCHIDAE)

WIDI ASTUTI

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Ketahanan Empat
Kultivar Ubi Kayu terhadap Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae)
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Widi Astuti
NIM A3410000

ABSTRAK

WIDI ASTUTI. Ketahanan Empat Kultivar Ubi Kayu terhadap Tetranychus
kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae). Dibimbing oleh SUGENG SANTOSO.
Tungau merah (Tetranychus kanzawai Kishida) merupakan hama penting
pada ubi kayu. Hama tersebut menyebabkan kehilangan hasil sebesar 95%.
Penggunaan kultivar merupakan faktor yang mempengaruhi kehilangan hasil.
Kultivar ubi kayu yang tahan terhadap tungau merah dapat digunakan sebagai salah
satu alternatif pengendalian. Penelitian ini bertujuan mengetahui ketahanan
kultivar Manggu, Roti, Jimbul, dan Mentega terhadap T. kanzawai. Penelitian di
rumah kaca dilakukan untuk mengetahui intensitas kerusakan pada kultivar
Mannggu, Roti, Mentega, dan Jimbul. Pengamatan biologi T. kanzawai dilakukan
di laboratorium. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa setiap kultivar
menunjukkan ketahanan terhadap T. kanzawai yang berbeda-beda. Kultivar
Manggu menunjukkan intensitas kerusakan paling rendah dan kultivar Mentega

menunjukkan intensitas kerusakan paling tinggi. Pada kultivar Manggu T. kanzawai
menunjukkan waktu perkembangan yang lebih panjang dan memiliki keperidian
yang lebih rendah.
Kata Kunci: intensitas kerusakan, kultivar, keperidian, ketahanan, siklus hidup,
Tetranychus kanzawai.

ABSTRACT
WIDI ASTUTI. The Resistance of Four Cassava Cultivars against Tetranychus
kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae). Supervised by SUGENG SANTOSO.
Red spider mite (Tetranychus kanzawai) is one of the most important pests of
cassava. The damages caused by this mites may reduce the yield up to 95%. The
tolerance of cultivar is suggested as one of the factors affected amount of yield loss.
Resistant cassava cultivars may be used as an alternative method to control the mite.
This research evaluated the resistance of four cassava cultivars against red spider
mite. Research was conducted in the greenhouse to observe the development of
damages caused by the mite on Manggu, Jimbul, Roti, and Mentega cultivars.
Observation of biology and life cycle was conducted in the laboratory. Every
cultivars showed different resistance against T. kanzawai. Manggu cultivar showed
the lowest damage, and Mentega showed the highest. On Manggu cultivar, T.
kanzawai had the longest life cycle and lowest fecundity.

Keywords: cultivar, development of damage, fecundity, life cycle, resistance,
Tetranychus kanzawai.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KETAHANAN EMPAT KULTIVAR UBI KAYU
TERHADAP Tetranychus kanzawai KISHIDA
(ACARI: TETRANYCHIDAE)

WIDI ASTUTI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memeperoleh gelar

Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

: Ketahanan Empat Kultivar Ubi Kayu terhadap Tetranychus
kanzawai Kishida (Acari : Tetranychidae)
Nama Mahasiswa : Widi Astuti
NIM
: A34100009

Judul Skripsi

Disetujui oleh

Dr Ir Sugeng Santoso, MAgr

Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Abdjad Asih Nawangsih, MSi
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Penelitian ini
dibuat sebagai salah satu komponen untuk memenuhi syarat dalam melaksanakan
tugas akhir. Tema yang dipilih dalam penelitian yaitu mengenai resistensi ubikayu,
dengan judul Ketahanan Empat Kultivar Ubi Kayu terhadap Tetranychus kanzawai
Kishida (Acari: Tetranychidae).
Penulis mengucapkan terimakasih kepada
1. Dr. Ir. Sugeng Santoso, M.Agr selaku dosen pembimbing skripsi sekaligus
pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingannya selama penulis
menempuh studi di Departemen Proteksi Tanaman terutama dalam penyusunan

tugas akhir.
2. Dr. Ir. Bonny PW Soekarno, MS selaku dosen penguji tamu yang telah
memberikan masukan untuk penulisan skripsi.
3. BIDIK MISI yang telah memberikan bantuan moril maupun materil sehingga
penulis dapat menyelesaikan masa studi di IPB.
4. Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak, ibu, adik-adik dan keluarga
yang telah memberikan do’a dan dukungannya kepada penulis. serta penulis
mengucapkan terima kasih kepada mas Bonno dan Hagia yang telah
memberikan bantuan kepada penulis selama penelitian.
5. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh dosen dan tenaga
kependidikan Departemen Proteksi Tanaman, rekan-rekan Laboratorium
Bionomi dan Ekologi Serangga, rekan-rekan PTN 47, dan sahabat Pondok
Delima.
Penulis menyadari terdapat banyak kekurangan dalam penulisan karya tulis
ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan masukan untuk perbaikan di masa
yang akan datang. Semoga karya tulis ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014
Widi Astuti


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Alat dan Bahan
Pelaksanaan Penelitian
Penanaman Ubi Kayu
Infestasi T. kanzawai
Pengamatan
Intensitas Kerusakan T. kanzawai
Biologi T. kanzawai
Asal tungau merah
Tempat percobaan
Metode

Rancangan Percobaan dan Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gejala Kerusakan pada Ubi Kayu
Intensitas Kerusakan pada Ubi Kayu
Siklus Hidup T. kanzawai
Biologi T. kanzawai
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA

viii
viii
Viii
1
1
2
3
4
4
4
4

4
5
5
5
5
5
6
6
6
7
7
7
10
12
15
16

DAFTAR TABEL
1. Skoring kerusakan pada daun ubi kayu
2. Intensitas kerusakan oleh T. kanzawai pada keempat kultivar ubi kayu

3. Lama perkembangan pradewasa T. kanzawai pada kultivar ubi kayu
4. Biologi T. kanzawai pada empat kultivar ubi kayu

5
9
12
13

DAFTAR GAMBAR
1. Infestasi tungau merah Tetranychus kanzawai
2. Gejala serangan tungau merah T. kanzawai pada ubi kayu
3. Stadia Tetranychus kanzawai
4. Jumlah telur harian T. kanzawai pada keempat kultivar ubi kayu

3
7
8
9

DAFTAR LAMPIRAN

1. Gambar skoring kerusakan pada daun
2. Gambar pertumbuhan tunas baru 8 MST
3. Sidik ragam intensitas kerusakan pada 3 MST
4. Sidik ragam intensitas kerusakan pada 4 MST
5. Sidik ragam intensitas kerusakan pada 5 MST
6. Sidik ragam intensitas kerusakan pada 6 MST
7. Sidik ragam intensitas kerusakan pada 7 MST
8. Sidik ragam intensitas kerusakan pada 8 MST
9. Sidik ragam intensitas kerusakan pada 9 MST
10. Sidik ragam intensitas kerusakan pada 10 MST
11. Sidik ragam telur betina Tetranychus kanzawai
12. Sidik ragam telur jantan T. kanzawai
13. Sidik ragam larva betina T. kanzawai
14. Sidik ragam larva jantan T. kanzawai
15. Sidik ragam nimfa betina T. kanzawai
16. Sidik ragam nimfa jantan T. kanzawai
17. Sidik ragam masa praoviposisi T. kanzawai
18. Sidik ragam keperidian T. kanzawai
19. Sidik ragam masa oviposisi T. kanzawai
20. Sidik ragam masa pascaoviposisi T. kanzawai
21. Sidik ragam lama hidup betina T. kanzawai
22. Sidik ragam lama hidup betina T. Kanzawai

19
19
20
20
20
20
20
20
20
21
21
21
21
21
21
21
22
22
22
22
22
22

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ubi kayu merupakan salah satu komoditas pangan yang sangat
penting di Indonesia yang banyak dibudidayakan oleh petani. Luas panen ubi
kayu di Indonesia pada tahun 2014 mencapai 1.1 juta ha (BPS 2014). Sentra
produksi ubi kayu di Indonesia meliputi Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, dan Nusa Tenggara Timur. Meluasnya penanaman ubi kayu di Indonesia
dapat disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya, ubi kayu dapat diusahakan
baik pada lahan basah maupun lahan kering, tanaman ubi kayu bersifat toleran
terhadap tingkat kesuburan tanah yang rendah, serta mampu berproduksi dan dapat
tumbuh dengan baik pada kondisi lingkungan suboptimal dibandingkan dengan
tanaman lain (Prihandana et al. 2007).
Sebagai komoditi yang penting, ubi kayu memiliki peranan yang sangat besar
dalam memenuhi kebutuhan pangan, mengatasi masalah ekonomi, dan pemenuhan
kebutuhan industri. Persentase penggunaan ubi kayu di Indonesia pada tahun 2003
dari total produksi 19.4 juta ton, 75% digunakan untuk memenuhi kebutuhan
pangan baik dikonsumsi langsung maupun melalui proses pengolahan, 13%-14%
digunakan sebagai bahan baku industri, 2 % untuk pakan ternak, dan 5% tercecer
(Indiati et al. 2010). Indonesia merupakan produsen ubi kayu yang menguasai 9%
produksi dunia, 12% luas panen, dan 77% produktivitasnya diatas rata-rata dunia
(Saliem et al. 2011). Jenis produk ubi kayu yang diekspor berupa gaplek (3%) dan
pati ubi kayu (1%). Namun Indonesi juga mengimpor 8% pati ubi kayu, hal ini
menunjukkan bahwa ubi kayu Indonesia kurang memiliki daya saing.
Untuk meningkatkan daya saing ubi kayu, pemerintah telah mencanangkan
pembentukan produk ubi kayu yang memiliki daya saing ekonomi tinggi. Salah
satunya yaitu menjadikan ubi kayu sebagai bahan baku bionergi alternatif. Hal ini
ditunjukkan dengan kebijakan pemerintah yang tertuang dalam perpres No. 5/2006
dan UU Energi No. 30/2007 tentang pemanfaatan bahan bakar nabati. Ubi kayu
merupakan salah satu sumber protein nabati, yang dapat menjadi sumber kekuatan
pemerintah dalam mendorong pemasaran produk ubi kayu dalam bentuk bioetanol
(Saliem et al. 2011).
Untuk mewujudkan ubi kayu sebagai bahan bakar berupa bioenergi alternatif,
diperlukan produktivitas ubi kayu yang tinggi dan unggul. Pada tahun 2010,
kebutuhan ubi kayu untuk bioetanol mencapai 1.85 juta kiloliter, artinya dibutuhkan
11 juta ton ubi kayu dengan produktifitas 25 ton/ha. Menurut Badan Pusat Statistik
(2014), produksi ubi kayu di Indonesia mencapai 26 juta ton dengan produktivitas
sebesar 22 ton/ha. Jumlah produktivitas tersebut lebih rendah dibandingkan dengan
kebutuhan untuk bioetanol, sehingga diperlukannya suatu upaya peningkatan
produktivitas ubi kayu, salah satunya yaitu dengan perbaikan sistem budidaya.
Namun, dalam budidaya ubi kayu terdapat berbagai kendala salah satunya yaitu
adanya organisme pengganggu tanaman (OPT).
Tungau merah (Tetranychus kanzawai Kishida) merupakan salah satu hama
penting pada tanaman ubi kayu. Di Indonesia keberadaan tungau merah pertama
kali ditemukan pada tahun 1915 yang menyerang pertanaman ubi kayu di Pulau
Jawa (Khalsoven 1981). Pada musim kemarau populasi tungau merah biasanya
sangat melimpah sehingga menimbulkan kerusakan yang parah. Gejala kerusakan

2
yang ditimbulkan oleh tungau merah pada ubi kayu yaitu adanya bercak nekrosis
pada daun dan pada serangan parah mampu merontokan daun, serangan secara terus
menerus mengakibatkan kematian pada tanaman (Zhang 2003). Indiati (2012)
menyatakan bahwa serangan tungau merah pada ubi kayu dapat mempengaruhi
ukuran dan kualitas umbi.
Tingginya serangan tungau merah pada ubi kayu dapat mengakibatkan
terjadinya kehilangan hasil sebesar 20%-53%. Pada tingkat serangan tinggi
kehilangan hasil dapat mencapai 95% (Prihandana et al. 2007). Di indonesia,
kehilangan hasil telah banyak dilaporkan, salah satunya yang terjadi di Jawa Timur
pada tahun 2010, kerusakan yang diakibatkan oleh tungau merah pada daerah
tersebut mencapai 54%. Hal ini menyebabkan kehilangan hasil sebesar 25%-54%
(Indiati 2010). Dengan demikian, diperlukan upaya pengendalian yang
komprehensif untuk menurunkan potensi kehilangan hasil akibat serangan T.
kanzawai.
Pengendalian terhadap tungau merah dapat dilakukan dengan berbagai cara
baik secara kimia, biologi maupun kultur teknis. Secara kimia pengendalian ubi
kayu banyak menggunakan akarisida. Salah satu akarisida yang digunakan sejak
tahun 1920 yaitu akarisida berbahan aktif sulfur, bahan aktif sulfur efektif
mengendalikan tungau, namun mengakibatkan fitotoksik pada tanaman, sehingga
saat ini bahan aktif tersebut tidak digunakan untuk pengendalian tungau (Jeppson
et al. 1975). Jeppson et al. (1975) menyatakan bahwa penggunaan akarisida telah
mengakibatkan resistensi silang pada populasi tungau. Di Indonesia, pengendalian
terhadap tungau merah pada ubi kayu belum dilakukan secara optimal oleh petani.
Hal ini berkaitan erat dengan nilai ekonomi ubi kayu yang relatif rendah sehingga
tidak sebanding dengan biaya pengendalian yang harus dikeluarkan oleh petani,
terutama harga pestisida masih relatif mahal. Dengan demikian, diperlukan teknik
pengendalian yang praktis, stabil, dan ekonomis.
Penggunaan kultivar tahan merupakan salah satu cara pengendalian yang
murah, mudah, dan tidak mencemari lingkungan. Departemen Pertanian telah
melepas sepuluh kultivar unggul ubi kayu. Sebanyak enam kultivar dimodivikasi
tahan terhadap serangan tungau merah seperti Adira 1, Adira 2, Malang 1, Malang
4, Malang 6, dan Darul Hidayah (Sundari 2010). Penggunaan kultivar ubi kayu
yang tahan mampu menurunkan intensitas kerusakan yang disebabkan oleh
serangan tungau, menghambat reproduksi tungau, sehingga penggunaan kultivar
tahan diharapkan dapat menekan kehilangan hasil. Oleh karena itu, eksplorasi
kultivar tahan ubi kayu terhadap tungau merah menjadi penting, dengan harapan
adanya informasi mengenai kultivar tahan, sehingga dapat menjadi pertimbangan
bagi petani dalam memilih kultivar ubi kayu yang akan ditanam dan dapat
meningkatkan produktivitas ubi kayu, serta mampu meningkatkan kesejahtraan
petani.
Penelitian ini dilakukan terhadap beberapa kultivar ubi kayu lokal yang
banyak dibudidayakan oleh petani di daerah Bogor. Kultivar lokal tersebut
diantaranya Manggu, Roti, Mentega dan Jimbul. Ketahanan pada keempat kultivar
tersebut terhadap serangan T. kanzawai belum banyak diketahui, oleh karena itu
penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam alternatif
pengendalain terhadap T. kanzawai.

3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketahanan kultivar Manggu,
Jimbul, Roti, dan Mentega terhadap T. kanzawai.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini yaitu memberikan informasi untuk penelitian
lanjutan tentang ketahanan ubikayu terhadap tungau merah T. kanzawai. Sehingga,
hasil penelitian tersebut dapat dikembangkan menjadi salah satu strategi
pengendalian T. kanzawai pada ubi kayu.

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Cikabayan, University Farm, Institut
Pertanian Bogor dan Laboratorium Bionomi dan Ekologi Serangga, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian
dilaksanakan dari September 2013 sampai April 2014.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah kultivar ubi kayu lokal seperti Manggu, Roti,
Mentega, dan Jimbul yang diperoleh dari petani ubi kayu di daerah Bogor. Imago
T. kanzawai yang digunakan untuk infestasi berasal dari tanaman ubi kayu yang
ditanam di rumah kaca. Alat–alat yang digunakan yaitu kotak plastik untuk
menyimpan tungau dari lapangan, mikroskop stereo, gunting, dan kuas.
Pelaksanaan Penelitian
Penanaman Ubi Kayu
Batang ubi kayu dari masing-masing kultivar dipotong berukuran 20 cm,
kemudian di tanam pada polibag berkapasitas 4 kg, dengan media tanam berupa
tanah dan kompos dengan perbandingan 3:1 (v/v). Masing-masing kultivar di tanam
sebanyak 20 kali, sehingga jumlah tanaman yang diamati sebanyak 80 tanaman.
Pada penelitian ini tidak digunakan tanaman ubi kayu rentan sebagai kontrol. Hal
ini disebabkan karena ketahanan empat kultivar ubi kayu tersebut terhadap T.
kanzawai belum diketahui.
Infestasi T. kanzawai pada Ubi Kayu
Tanaman ubi kayu yang diinfestasi T. kanzawai adalah tanaman yang
berumur 2 minggu setelah tanam (MST). Daun tanaman pada 2 MST telah
berkembang dengan sempurna. Menurut Indiati (2012), sebanyak 15 imago betina
tungau merah diinfestasikan pada daun ubi kayu berumur 1 bulan setelah tanam
(BST). Pada uji pendahuluan di laboratorium, tanaman ubi kayu yang berumur 2
MST ketika diinfestasikan 15 imago betina tungau merah, tidak dapat bertahan
lama. Sehingga, pada penelitian digunakan 5 imago betina tungau merah. Hal ini
bertujuan agar tanaman tidak mati pada awal pengamatan. Kemudian, imago betina
diinfestasikan pada permukaan bawah daun dengan menggunakan kuas. Daun yang
diinfestasi adalah daun yang berada di bagian tengah kemudian daun yang telah
diinfestasi diberi label.

Gambar 1 Infestasi T. kanzawai pada daun ubi kayu

5
Pengamatan
Intensitas Kerusakan T. kanzawai
Pengamatan intensitas kerusakan dilakukan setelah 1 minggu tanaman
diinfestasi oleh T. kanzawai (pada saat tanaman berumur 3 MST). Parameter yang
diamati yaitu intensitas serangan tungau pada 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 10 MST. Interval
pengamatan dilakukan 1 minggu sekali (Indiati 2012). Intensitas kerusakan
dihitung dengan menggunakan rumus:
I=

∑ ni x vi
NxV

x 100%

I = intensitas serangan
ni = jumlah daun dalam setiap kategori skor
vi = kategori skor (0 sampai 5)
N = jumlah daun dalam satu tanamam
V = nilai skor tetinggi (dalam hal ini 5)
Skoring intensitas kerusakan dilakukan dengan pengamatan berdasarkan metode
Indiati (2012) yang dimodifikasi.
Tabel 1 Skoring kerusakan pada daun ubi kayu
Skor

Besarnya
kerusakan (%)

Keterangan

0

0

1

0 < x ≤ 10

Ada awal bercak kekuningan (sekitar 10%) pada
beberapa daun bawah dan atau daun tengah.

2

10 < x ≤ 20

Bercak kekuningan agak banyak (11-20%) pada daun
bawah dan tengah.

20 < x ≤ 50

Kerusakan yang jelas, banyak bercak kuning (2150%), sedikit daerah yang tidak mengalami nekrotik
( 75

Kerontokan daun total, pucuk tanaman mengecil,
benang putih semakin banyak, dan kematian tanaman.

3

4
5

Daun sehat (tidak ada bercak)

Biologi T. kanzawai pada Empat Kultivar Ubi Kayu
Asal tungau. Tungau yang digunakan untuk pengamatan biologi bersal dari
lapangan. Kemudian di pelihara dan dikembangbiakn pada tanaman ubi kayu yang
ditanam di laboratorium. Tanaman yang diinfestasi tungau dipelihara di dalam
kurungan. Hal ini bertujuan mencegah terjadinya pertumbuhan hama lain pada ubi
kayu yang sudah diinfestasi T. kanzawai. Hasil perbanyakan tungau kemudian

6
digunakan untuk keperluan pengamatan biologi tungau yang dilakukan di
laboratorium.
Media percobaan. Percobaan dilakukan di cawan petri berdiameter 6 cm, di
dalamnya diletakkan busa plastik berdiameter 5 cm. Di atas busa diletakkan kapas
berukuran 3 cm x 3 cm. Pada permukaan kapas diletakkan daun ubi kayu berukuran
2 cm x 2 cm. Busa dan kapas dijenuhi dengan air. Hal ini bertujuan untuk menjaga
kelembaban dan kesegaran daun, serta mencegah tungau keluar dari arena
percobaan.
Metode. Imago betina T. kanzawai dipelihara pada permukaan daun yang
sama dengan kultivar asal T. kanzawai, kemudian imago dibiarkan selam 2 jam agar
bertelur. Setelah imago meletakkan telur, telur yang digunakan dalam setiap arena
percobaan hanya satu butir telur (50 butir telur dari tiap kultivar ubi kayu). Setelah
itu, telur diamati setiap 6 jam sampai menetas dan menjadi imago. Lama
perkembangan dari setiap stadia dicatat. Imago yang terbentuk dihitung dan dilihat
nisbah kelaminya. Setelah menjadi imago pengamatan dilakukan setiap hari untuk
mengetahui masa praoviposisi, oviposisi, pascaoviposisi, keperidian, serta lama
hidup imago.
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini yaitu rancangan
acak lengkap (RAL) dengan kultivar sebagai perlakuan dan setiap perlakuan
diulang sebanyak 20 kali. Intensitas kerusakan dan biologi tungau diolah dengan
menggunakan Microsoft Office Excell 2007. Data dianalisis ragam menggunakan
program Statistical Analysis System (SAS). Perlakuan yang berpengaruh kemudian
diuji lanjut dengan menggunakan uji Duncan pada taraf nyata 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gejala Kerusakan pada Ubi Kayu
Gejala serangan tungau merah T. kanzawai pada ubi kayu mulai tampak pada
saat tanaman berumur 3 MST (1 minggu setelah infestasi). Pada bagian permukaan
bawah daun terlihat bintik-bintik kuning yang berada disekitar tulang daun dekat
dengan pangkal daun. Reddal et al. (2004) menyatakan bahwa, tungau lebih
menyukai bagian pangkal daun karena kandungan klorofil pada pangkal daun lebih
banyak dibandingkan pada ujung daun. Serangan pada pangkal daun dapat
mengakibatkan penurunan klorofil menjadi lebih cepat, hal ini menyebabkan proses
fotosintesis terganggu, sehingga daun lebih cepat menguning.
Serangan di pangkal daun tersebut menyebabkan daun mengalami bercak
nekrosis dan bercak berubah menjadi berwarna coklat. Serangan yang parah
menyebabkan bercak nekrosis meluas ke seluruh permukaan daun, kemudian
sampai ke pucuk daun. Pucuk daun yang terserang mengalami perubahan bentuk
menjadi mengerut dan kerdil serta pada permukaan daun terdapat benang-benag
putih dari T. kanzawai, kemudian daun menjadi kering dan rontok. Menurut Belloti
et al. (1990), serangan tungau merah pada ubi kayu diawali dari daun-daun yang
berada di bagian bawah kemudian meluas menyerang daun-daun yang berada di
bagian atas, sehingga bagian pucuk mengalami serangan paling akhir.

(a)

(b)

(c)
(d)
Gambar 2 Gejala serangan tungau merah T. kanzawai pada ubi kayu (a) gejala awal
serangan (b) bercak nekrotik meluas kepermukaan daun (c) pucuk daun
mengalami perubahan bentuk (d) daun mengering dan rontok.
Secara alami gejala kerusakan tungau merah pada ubi kayu di lapangan,
umumnya terjadi pada saat tanaman berumur 5 bulan setelah tanam (BST) baik
pada kultivar tahan maupun pada kultivar tidak tahan. Perbedaan tingkat kerusakan
ditunjukkan dengan ada atau tidaknya suatau pengendalian yang dilakukan. Gejala

8
kerusakan pada kultivar yang dikendalikan secara kimia (dikofol 2 ml/L)
menunjukkan gejala kerusakan yang lebih ringan dibandingkan dengan kultivar
yang tidak dikendalikan (Indiati 2012).
Perbedaan kemunculan gejala di rumah kaca dan lapangan dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor di antaranya yaitu faktor lingkungan dan musuh alami.
Populasi tungau merah dan kerusakan ubi kayu lebih tinggi terjadi pada saat musim
kemarau dibandingkan musim hujan. Pada musim kering bisa menyediakan nutrisi
yang baik untuk tungau, sehingga tungau dapat berkembang dengan cepat
(Huffaker et al. 1969). Sedangkan, Pada musim hujan daun tanaman mudah tercuci
oleh air hujan. Hal ini menyebabkan tungau merah yang berada pada daun ikut
tercuci oleh air hujan, sehingga populasinya menurun dan kerusakan pada daun
menjadi berkurang.
Kondisi lapangan sangat mendukung perkembangan musuh alami.
Keberadaan musuh alami di lapangan dapat berperan mengendalikan populasi
tungau merah. Pada umumnya musuh alami golongan Arthropoda terdiri dari
Thysanoptera, Coleoptera, Hemiptera, Neuroptera, Diptera, Acarina, dan Araenida.
Golongan Acarina yang menjadi musuh alami tungau laba-laba yaitu Phytoseiidae.
Famili ini memiliki jumlah spesis yang besar salah satunya yaitu Phytoseiulus
persimilis (Gultom 2010).
Intensitas Kerusakan pada Ubi Kayu
Intensitas kerusakan pada saat tanaman berumur 3 MST menunjukkan
tingkat kerusakan relatif rendah yaitu kurang dari 10% pada keempat kultivar.
Intensitas kerusakan meningkat pada saat tanaman berumur 5 MST. Intensitas
kerusakan pada Roti, Mentega, dan Jimbul lebih dari 35%, sedangkan Manggu
menunjukkan intensitas kerusakan yang lebih rendah yaitu 14.95%. Kerusakan
maksimum terjadi pada saat tanaman berumur 7 MST yaitu daun tanaman
mengalami rontok total dan tanaman mengering. Pada kultivar Mentega hampir
90% tanaman mati, sedangakan persentase kematian pada kultivar Manggu
Mentega dan Jimbul yaitu 5%, 20%, dan 15%. Tingginya persentase kematian
tanaman pada kultivar Mentega menyebabkan intensitas kerusakan yang terjadi
pada kultivar tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan kultivar lainnya, dengan
intensitas kerusakan pada kultivar tersebut mencapai 95% (Tabel 2).
Kultivar Manggu pada saat terjadi kerusakan maksimum (7 MST) memiliki
jumlah daun hijau yang lebih banyak dibandingkan kultivar lainnya. Hal ini
menyebabakan intensitas kerusakan yang terjadi pada Manggu lebih rendah
dibandingkan dengan kultivar lainnya (Tabel 2). Nukenin et al. (1999) menyatakan
bahwa, tanaman ubi kayu yang toleran terhadap kekeringan memiliki kemungkinan
tahan terhadap serangan tungau merah dan secara genetik memiliki kemampuan
mempertahankan jumlah daun hijau yang banyak.
Setelah mengalami kerontokan, beberapa tanaman mengalami pertumbuhan
tunas baru. Kemunculan tunas baru terjadi pada saat tanaman berumur 8 MST.
Kerusakan yang terjadi pada tunas baru relatif rendah, sehingga intensitas
kerusakan keempat kultivar pada 8 MST mengalami penurunan. Menurut Gultom
(2010), kerusakan dan populasi tungau merah T. kanzawai pada daun sedang dan
tua lebih tinggi dibandingkan dengan daun muda. Daun muda pada tanaman ubi
kayu memiliki trikoma yang lebih banyak, namun pada saat daun tanaman
berkembang trikoma tersebut hilang (Indiati 2012). Trikoma merupakan struktur

9
seperti rambut yang berada di permukaan daun. Trikoma pada daun tanaman
berfungsi sebagai pertahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit.
Setelah daun tanaman berkembang, bercak nekrosis meluas pada permukaan
daun, sehingga intensitas kerusakan meningkat kembali, seperti yang terjadi pada
saat tanaman berumur 9 dan 10 MST (Tabel 2). Namun, pada kultivar Manggu
intensitas kerusakan yang terjadi setelah daun berkembang menunjukkan intensitas
kerusakan yang lebih rendah dibandingkan dengan kultivar lainnya dengan
intensitas kerusakan di bawah 40% (Tabel 2). Menurut Carlson et al. (1979),
tanaman dapat dikatakan toleran terhadap tungau, ketika menunjukkan tingkat
kerusakan yang rendah.
Tabel 2 Intensitas kerusakan oleh T. kanzawai pada keempat kultivar ubi kayu
Umur tanaman
(MST)
3
4
5
6
7
8
9
10

Intensitas kerusakan pada kultivar-x (%)a
Manggu
Roti
Mentega
Jimbul
4.625b
6.400ab
9.200a
7.945a
14.270b
27.015a
28.965a
14.275b
14.950b
38.395a
35.330a
35.060a
52.710b
79.257a
79.045a
61.220b
74.405b
81.655ab
95.170a
82.600ab
34.980b
36.530b
77.500a
55.150ab
28.260c
50.140b
75.620a
52.360b
38.720c
62.920b
95.055a
64.200b

a

Rataan pada baris yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji selang ganda
Duncan pada  = 0.05).

Selama pengamatan intensitas kerusakan pada kultivar Manggu cenderung
lebih rendah jika dibandingkan kultivar lainnya dan perkembangan intensitas
kerusakan lebih tinggi terjadi pada kultivar Mentega. Pada kultivar Roti dan Jimbul
besarnya intensitas kerusakan relatif sama pada setiap minggunya. Menurut Indiati
(2012), pada tingkat serangan tinggi, semua kultivar pada umumnya akan
menunjukkan intensitas kerusakan yang tinggi, perbedaan ketahanan pada masingmasing kultivar terletak pada waktu munculnya gejala serangan awal sampai
terbentuk serangan yang parah, adapun munculnya gejala serangan pada kultivar
tahan lebih lama dibandingkan dengan kultivar yang tidak tahan.
Parameter ketahanan atau toleransi tanaman ubi kayu terhadap tungau merah
dapat dipengaruhi oleh vigor tanaman, perkembangan daun muda menjadi daun tua,
dan mekanisme antibiosis (Kawano et al. 1980). Vigor tanaman berkaitan erat
dengan tingkat sukulen jaringan tanaman, serangan hama akan tinggi pada jaringan
tanaman yang sukulen dibandingkan dengan jaringan yang tidak sukulen, karena
jaringan tanaman sukulen memiliki jumlah air yang lebih banyak, sehingga hama
lebih mudah untuk menusukkan alat mulutnya untuk menghisap cairan tanaman.
Hama akan lebih sulit menyerang tanaman yang tidak sukulen dikarenakan pada
jaringan tersebut memiliki kandungan unsur kalium yang lebih banyak. Kalium
pada jaringan tanaman berfungsi dapat meningkatkan vigor tanaman sehingga dapat
menjadi salah satu bentuk pertahanan tanaman terhadap hama dan penyakit.
Perkembangan daun muda menjadi daun tua memberikan pengaruh terhadap
ketahanan ubi kayu. Selain trikoma kandungan gula pada daun dapat
mempengaruhi ketahanan tanaman inang terhadap tungau.

10
Menurut Bernays (1985), kandungan gula pada daun dapat memicu
kemampuan makan serangga dan tungau. Selain itu, gula dapat menjadi faktor
pembatas bagi tungau untuk bertahan. Daun muda lebih resisten terhadap serangan
tungau dibandingkan daun tua, karena pada daun muda memiliki konsentrasi gula
yang lebih sedikit (Chaaban et al. 2011). Dengan kandungan gula pada daun muda
sedikit maka akan menghambat kemampuan makan pada tungau, sehingga hal ini
dapat mengakibatkan terjadinya penurunan intensitas kerusakan. Pada pengamatan,
penurunan intensitas kerusakan terjadi pada daun muda yaitu pada saat terjadi
pertumbuhan tunas baru pada 8 MST (Tabel 2). Pertumbuhan tunas baru (daun
muda) mengakibatkan terjadinya penurunan intensitas kerusakan dari 7 MST ke 8
MST (Tabel 2).
Mekanisme antibiosis pada ubi kayu dapat dipengaruhi oleh pertahanan
biokimia yang dihasilkan oleh ubi kayu. Senyawa biokimia yang dihasilkan oleh
ubi kayu salah satunya yaitu sianida (HCN). Kandungan HCN yang terdapat pada
bagian daun dan umbi ubi kayu dapat memicu aktivitas makan serangga, adapun
aktivitas makan serangga pada ubi kayu yang memiliki kandungan HCN tinggi
lebih tinggi dibandingkan dengan ubi kayu yang memiliki HCN rendah (Wardani
2014). Aktivitas makan yang tinggi mengakibatkan tungau mendapatkan cukup
nutrisi untuk berkembang biak, sehingga populasi tungau akan meningkat dan
berdampak pada peningkatan intensitas kerusakan. Mutisya et al. (2013)
menyatakan bahwa, kultivar ubi kayu yang memiliki kandungan HCN tinggi
menunjukkan perkembangan populasi tungau lebih cepat dan penurunan daerah
fotosintesis pada daun menjadi lebih tinggi.
Kandungan HCN pada umbi kultivar Manggu, Jimbul, dan Roti berdasarkan
hasil penelitian yaitu 31.20 mg/Kg, 32.06 mg/Kg, dan 44.85 mg/Kg (Wardani 2014)
dan kandungan HCN pada kultivar Mentega yaitu sebesar 32 mg/Kg. Hasil
penelitian menunjukkan kultivar Mentega memiliki intensitas kerusakan paling
tinggi, namun kandungan HCN pada kultivar tersebut lebih rendah dibandingkan
dengan kultivar Roti dan Jimbul, sehingga kandungan HCN pada ubi kayu menurut
Indiati (2012); Belloti (1990) tidak berkorelasi nyata dengan serangan tungau.
Mutisya et al. (2013) menyatakan bahwa kandungan HCN pada ubi kayu bukan
merupakan satu-satunya faktor penentu ketahanan ubi kayu terhadap serangan
tungau.
Pada umumnya, kerusakan pada daun terjadi lebih dulu dibandingkan dengan
bagian tanaman lainnya. Menurut Mutisya et al. (2013), skoring kerusakan visual
dapat disamakan dengan persentase kehilangan biomassa pada daun yang
mengindikasi adanya pengurangan daerah fotosintesis pada daun. Pada beberapa
kultivar pengurangan daerah fotosintesis pada daun selalu lebih tinggi
dibandingkan dengan bagian lainnya, hal ini disebabkan bagian daun lebih rentan
terhadap serangan tungau, serangan yang terjadi pada daun akan mengakibatkan
kehilangan hasil pada bagian umbi menjadi semakin tinggi (Ayanru et al. 1984).
Siklus Hidup Tetranychus kanzawai
Intensitas kerusakan pada ubi kayu dapat dipengaruhi oleh siklus hidup dan
reproduksi dari tungau merah T. kanzawai. Siklus hidup T. kanzawai terdiri dari
fase telur, larva, nimfa, dan imago (Gambar 3). Fase nimfa terdiri dari dua bagian
yaitu protonymfa dan deutonymfa. Pergantian fase pada tahap perkembangan
pradewasa diikuti dengan fase istirahat yang disebut fase chrysalis (Kalshoven

11
1981). Fase istirahat dari larva menjadi protonymfa disebut protokrisalis, fase
istirahat dari protonymfa menjadi deutonymfa disebut deutokrisalis, dan fase
istirahat dari deutonymfa menjadi imago disebut teliokrisalis (Jeppson et al. 1975).
Fase istirahat yang terjadi pada T. kanzawai bertujuan untuk mempertahankan diri
ketika menghadapi lingkungan yang kurang baik (Zhang 2003).
Telur T. kanzawai berwarna putih bening, dan menjadi berwarna kuning tua
saat akan menetas. Telur berbentuk bulat, dan diletakkan satu persatu oleh imago
betina dibawah permukaan daun disekitar tulang daun dan telur berukuran 0.05 cm.
Larva T. kanzawai berwarna kuning dan dapat berubah menjadi kunig kehijauan.
Menurut Deciyanto et al. (1991), larva dapat berubah warna menjadi kehijauan
disebabkan karena larva telah mampu menghisap cairan tanaman. Larva memiliki
tiga pasang tungkai, dan berukuran 0.2 cm. Nimfa berwarna hijau kekuningan pada
bagian tubuhnya terdapat bercak berwarna hitam. Nimfa memiliki empat pasang
tungkai, dan berukuran 0.35 cm.
Imago berwarna merah agak kekuningan dan memiliki empat pasang tungkai.
Ukuran imago betina lebih besar dibandingkan dengan imago jantan. Imago betina
memiliki ukuran dua sampai tiga kali lebih besar dari pada imago jantan (Takafuji
et al. 1989). Selain ukuran tubuh, perbedaan antara imago jantan dan betina juga
terletak pada ujung abdomen. Imago betina memiliki ujung abdomen berbentuk
bulat sedangkan ujung abdomen pada imago jantan berbentuk agak karucut. Pada
umumnya ukuran dan warna tubuh setiap stadia T. kanzawai pada keempat kultivar
ubi kayu (Manggu, Roti, Mentega, dan Jimbul) tidak memiliki perbedaan.

a

b

d

c

e

Gambar 3 Stadia Tetranychus kanzawai (a) telur (b) larva (c) Nimfa (d) imago
betina (e) imago jantan.
Total waktu perkembangan pradewasa dimulai sejak telur diletakkan sampai
terbentuknya imago. Jenis kultivar ubi kayu, memberikan pengaruh terhadap lama
perkembangan pradewasa. Kultivar Manggu menunjukkan total perkembangan
pradewasa yang lebih lama dibandingkan dengan kultivar lainnya baik pada

12
pradewasa betina maupun pradewasa jantan, dan secara berturut-turut lama
perkembangan yaitu sekitar 8.8 hari dan 7.5 hari. Sedangkan pada kultivar Roti,
Mentega, dan Jimbul lama perkembangan pradewasa betina dan jantan secara
berturut-turut berkisar antara 7.1-7.6 hari dan 6.7-7.1 hari (Tabel 3). Khoiri (2005)
menyatakan bahwa lama perkembangan pradewasa tungau merah pada ubi kayu
pahit yaitu 7.80 hari dan pada ubi kayu manis 7.70 hari.
Pada umunya, total perkembangan pradewasa betina pada keempat kultivar
lebih lama dibandingkan dengan waktu perkembangan pradewasa jantan. Hal ini
menunjukakan bahwa imago jantan terbentuk lebih dulu dibandingkan imago
betina. Imago jantan sering berada disamping betina untuk mendampingi betina
ketika masih dalam fase teliokrisalis. Proses pendampingan ini disebut dengan
precopulatory cuarding (Gultom 2010). Ketika imago betina terbentuk maka jantan
akan segera menyodorkan alat kopulasinya kepada betina. Dengan waktu
pembentukan betina yang lebih lama akan memperlambat terjadinya kopulasi.
Waktu kopulasi yang terhambat mengakibatkan perkembangan regenersi T.
kanzawai akan lama karena waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan siklus
hidup menjadi semakin lama.
Tabel 3 Lama perkembangan pradewasa T. kanzawai pada kultivar ubi kayu
Kultivar
Manggu
Roti
Mentega
Jimbul

Lama perkembangan stadia (hari)a
Telur
Larva
Nimfa
Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina
3.05a 3.55a 2.05a 2.65a 2.47a 2.60a
2.47a 2.95b 2.38a 2.29b 2.29ab 2.44ab
2.28a 2.88b 2.51a 2.12b 1.96b 2.21b
2.47a 2.86b 2.03a 2.22b 2.27a 2.20b

Total
Jantan Betina
7.35a 8.88a
7.01a 7.76b
6.75b 7.08c
6.78b 7.84b

a

Rataan selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan.
 = 0.05).

Suhu memberikan pengaruh terhadap lama perkembangan tungau merah.
Suhu rata-rata harian di laboratorium berkisar antara 25-28 °C dan kelembaban ratarata berkisar 76%. Suhu optimum untuk perkembangan tungau merah yaitu berkisar
antara 15-37.5 °C (Ullah at al. 2011). Suhu dan kelembaban merupakan faktor yang
sangat penting dalam perkembangan tungau merah, kelembaban yang tinggi
berpotensi dalam menurunkan populasi tungau terutama berpengaruh pada masa
oviposisi yang semakin lambat, pergantian kulit, dan mempengaruhi kemampuan
larva untuk bertahan hidup (Belloti at al. 1986).
Biologi Tetranychus kanzawai
Hasil perkawinan menunjukkan jumlah imago betina yang terbentuk pada
keempat kulivar lebih banyak dibandingkan imago jantan. Perkembangan tungau
merah terjadi secara partenogenesis. Imago betina pada tungau akan menghasilkan
keturunan meski tidak terjadi pembuahan. Nisbah kelamin betina tungau merah
pada suatu populasi dapat mencapai 67% dari jantan (Zhang 2003). Jumlah jantan
pada kultivar Mentega lebih sedikit dibandingkan kultivar lainnya, dengan nisbah
kelamin jantan terhadap betina pada mentega sebesar 0.35 (Tabel 4). Jumlah imago
betina yang lebih banyak akan menghasilkan keturunan betina yang lebih banyak
sehingga akan meningkatkan populasi tungau merah dan akan berdampak pada
peningkatan intensitas kerusakan.

13
Lama hidup imago jantan lebih singkat dibandingkan imago betina pada suhu
30 °C (Tsai et al. 1989). Suhu harian rata-rata di laboratorium yaitu sekitar 26 °C.
Kalshoven (1981) menyatakan bahwa siklus hidup tungau merah secara umum
berlangsung selama 7-14 hari, dan perkembangan setiap stadia tidak lebih dari dua
hari. perkembangan tungau merah akan lebih lambat pada suhu yang terendah dan
akan lebih cepat pada suhu yang tinggi (Tsai et al. 1989).
Hasil pengamatan menunjukkan lama hidup imago betina jantan pada
keempat kultivar lebih singkat dibandingkan imago betina. Lama hidup imago
jantan T. kanzawai pada Mentega lebih singkat dibandingkan dengan kutivar
lainnya (Tabel 4). Imago betina T. kanzawai pada kultivar Manggu menunjukkan
lama hidup yang lebih panjang dibandingkan kultivar lainnya. Dengan lama hidup
imago yang semakin cepat memungkinkan terjadinya regenerasi T. kanzawai
menjadi semakin cepat. Menurut Belloti et al. (1986), kultivar ubi kayu memiliki
pengaruh terhadap waktu perkembangan tungau merah, yaitu perkembangan tungau
merah pada kultivar tahan menunjukkan waktu perkembangan yang lebih lambat
dibandingkan dengan kultivar tidak tahan.
Tabel 4 Biologi T. kanzawai pada empat kultivar ubi kayu
Parameter
Masa Praoviposisi (hari)
Oviposisi (hari)
Kepiridian (telur/betina)
Pascaoviposisi (hari)
Lama hidup imago (hari)
Jantan
Betina
Nisbah kelamin
(jantan dan betina)

Stadia T. kanzawai pada kultivar- Xa
Manggu
Roti
Mentega
Jimbul
1.300a
5.150c
15.825b
2.225a

0.800bc
6.448b
28.448a
0.931b

1.045ab
7.540a
33.270a
0.459c

0.800c
7.933a
34.000a
0.567bc

6.950a
10.693a

6.769a
8.379b

5.952b
8.283b

6.975a
9.035b

0.72

0.35

0.66

0.4

a

Rataan pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji selang
ganda Duncan pada  = 0.05).

Lama hidup imago betina T. kanzawai terdiri dari fase praoviposisi, oviposisi,
dan pascaoviposisi. Masa praoviposisi merupakan masa sebelum imago meletakan
telur pertama. Umumnya masa praoviposisi terjadi dalam waktu yang singkat. Pada
kultivar Manggu masa praoviposisi berlangsung selama 1.3 hari dan kultivar
Mentega 1.04 hari, sedangkan kultivar Roti dan Jimbul memilki masa praoviposisi
yang sama yaitu 0.8 hari (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa masa praoviposisi
pada kultivar Manggu lebih lama dibandingkan dengan kultivar lainnya. Masa
praoviposisi yang lebih lama akan menyebabakan terjadinya penundaan terhadap
peletakan telur harian. Menurut Takafuji et al. (2007) masa imago betina mulai
meletakkan telur yaitu 2 hari pada suhu 25 °C.
Masa imago betina mulai meletakkan telur disebut dengan masa oviposisi.
Kultivar Mentega dan Jimbul memiliki masa oviposisi lebih lama dibadingkan
dengan kultivar lainnya. Adapun waktu oviposisi pada kedua kultivar tersebut tidak
berbeda nyata yaitu biperkisar antara 7.5-7.9 hari (Tabel 4). T. kanzawai pada
kultivar Manggu menunjukkan masa oviposisi lebih singkat yaitu 5.5 hari dan

14
oviposisi pada kultivar Roti yaitu berlangsung selama 6.4 hari (tabel 3). Menurut
Zhang (2003) masa oviposisi tungau merah berlangsung sealama sekitar 10 hari.
semakin lama masa oviposisi akan berpengaruh terhadap tingkat keperidian yang
semakin tinggi (Gultom 2010).
Menurut Khoiri (2005), imago betina tungau merah pada ubi kayu pahit
mampu meletakkan telur hingga 54.70 butir/betina. Tingkat keperidian imago
betina T. kanzawai menurut Zhang (2003) pada suhu rendah (15 °C) yaitu sekitar
28 telur/betina sedangkan pada suhu tinggi (30 °C) yaitu mencapai 76 telur/betina.
Rata-rata keperidian imago T. kanzawai pada kultivar Mentega, Jimbul, dan Roti
tidak berbeda nyata, dengan jumlah telur yaitu 34, 33, dan 28 telur/betina.
Sedangkan kultivar Manggu menunjukkan keperidian T. kanzawai yang lebih
rendah dibandingkan dengan kultivar lainnya (Tabel 4). Skorupska (2004)
menyatakan bahwa, kondisi terbaik untuk perkembangan tungau dapat ditentukan
oleh nilai reproduksi. Pada jarak pagar, keperidian T. kanzawai akan lebih tinggi
terjadi pada varietas yang cocok untuk perkembangan hama tersebut (Gultom
2010). Dengan demikian, berdasarkan tingkat keperidian kultivar Mentega cocok
untuk perkembangan T.kanzawai.

Jumlah telur harian

7
6
5
4
3
2
1

Manggu

Roti

Mentega

Jimbul

0
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

Waktu oviposisi (hari)
Gambar 4 Jumlah telur harian Tetranychus kanzawai pada keempat kultivar ubi
kayu
Kultivar ubi kayu memberikan pengaruh terhadap jumlah peletakkan telur
harian (Gambar 4). Menurut Easterbrook et al. (1994), keperidian (peletakkan telur
harian) pada tungau dapat digunakan untuk mengukur ketahanan tanaman inang
terhadap tungau, tungau merah pada kultivar tahan menunjukkan jumlah peletakkan
telur harian yang rendah. Tungau merah T. kanzawai pada kultivar Manggu
meletakkan jumlah telur harian yang lebih sedikit dibandingkan kultivar lainnya
(Gambar 4). Dengan jumlah telur harian yang diletakkan sedikit, maka akan
menurunkan jumlah T. kanzwai pada generasi berikutnya, sehingga intensitas
kerusakan pada ubi kayu akan menurun.
Pada awal peneluran, telur yang diletakkan imago betina T. kanzawai pada
keempat kultivar jumlahnya sedikit, dan pada hari berikutnya jumlah telur
meningkat, kemudian mengalami penurunan hingga akhirnya imago tidak
meletakan telur. Saat imago betina sudah tidak mampu meletakkan telur, hal ini

15
menunjukkan bahwa, imago betina telah memasuki masa pascaoviposisi. Betina
pada masa pascaoviposisi cenderung diam, tidak aktif bergerak, kemudian mati.
Intensitas kerusakan pada kultivar tahan relatif rendah dan perkembangan T.
kanzawai relatif lambat. Populasi tungau merah di rumah kaca terkait dengan
keperidian imago betina. Siklus hidup yang lama berpengaruh pada nilai keperidian
yang rendah, karena waktu yang dibutuhkan untuk meningkatkan populasi menjadi
lebih lama.

KESIMPULAN
Kultivar Manggu menunjukkan tingkat ketahanan yang lebih tinggi
dibandingkan kultivar lainya. Sehingga, kultivar Manggu efektif sebagai alternatif
pengendalian terhadap serangan tungau merah T. kanzawai.

SARAN
Diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui pengaruh senyawa kimia
yang terkandung dalam kultivar ubi kayu dan anatomi daun terhadap intensitas
kerusakan pada tanaman dan biologi T. kanzwai.

DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Tabel Luas Panen- Produktivitas- Produksi
Tanaman Ubi Kayu Seluruh Provinsi. Jakarta (ID): BPS.
Ayanru DKG, Sharma VC. 1984. Change in total cyanide content of tissues from
cassava plant infested by mite (Mononychellus tanajoa) and mealybugs
(Phenacoccus manihoti). Agriculture, Ecosystems, and Environment. 12: 3546.
Belloti AC, Reyyes JA, Guerero JM. 1986. Cassava Mite and Their Control.
Colombia (CO): Centro Internacional de Agricultura Tropical
Bellotti, A.C. 1990. A review of control strategies for four important cassava pests
in the Americas. Di dalam: S.K. Hahn, and F.E. Caveness. Integrated Pest
Management for Tropical Root and Tuber Crops. hlm:58-65.
Bernays EA. 1985. Regulation of feeding behaviour. Di dalam: Kerkut GA, Gilbert
LI. Regulation: Digestion, Nutrition, Excretion. hlm:1-32.
Chaaban SB, Chermiti B, Kreiter S. 2011. Comparative demography of the spider
mite, Oligonychus afrasiaticus, on four date palm varieties in southwestern
Tunisia. Journal of Insect Science. 11(136):1-8.
Carlson EC, Beard BH, Tarailo R, Witl RL. 1979. Testing soybeans for resistence
to spider mites. California Agriculture. hlm:9-11.
Deciyanto S, Trisawa IM, Adriani RR. 1991. Studi beberapa inang hama tungau
(Tetranichus sp) asal tanaman Mentha sp. Penelitian Tanaman Industri.
17(2): 48-55.
Easterbrook MA, Simpson DW. 1994. Strawberry: host plant resistance to twospotted spider mite. Relevance to Growers and Practical Application. hlm:117.
Gultom NM. 2010. Biologi dan kelimpahan populasi tungau merah Tetranychus
kanzawai (Acari: Tetranychidae) pada dua kultivar jarak pagar (Jatropa
curcas) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Huffaker CB, Van de vrie M, McMurtry JA. 1969. The ecology of tetranychid mites
and their natural control. Ann Rev Entomol. 14:125-174.
Indiati SW. 2012. Ketahanan varietas/klon ubi kayu genjah terhadap tungau merah.
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 31(1):53-59.
Indiati SW, Saleh N. 2010. Hama tungau merah Tetranychus urticae pada tanaman
ubi kayu dan upaya pengendalianya. Buletin Palawija. 20:72-79.
Jeppson LR, Keifer HH, Barker EW. 1975. Mites Injourius to Economic Plants.
California (US): University of California Press.
Kawano K, Bellotti A. (1980). Breeding approaches in cassava. Di dalam:
Maxwell, F.G. and Jennings PR. Breeding plants resistant to insects.
hlm:313.
Khalsoven LGE. 1981. The Pets of Crops in Indonesia. van der Laan PA,
penerjemah. Jakarta (ID): PT Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De
Plagen van de Cultuurgawessen in Indonesie.
Khoiri, MR. 2005. Tetranychus kanzawai (Acari: Tetranychidae) biologi dan
populasinya pada ubi kayu di Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.

18
Mutisya DL, Khamala CPM, El Banhwy EM, Khariuki CW. 2013. Cassava variety
tolerant to spider mite attack in relation to leaf cyanide level. Journal of
Biology Agriculture and Healthcare. 3(5):24-30.
Wardani N. 2014. Parameter neraca hayati dan pertumbuhan populasi kutu putih
Phenacocus manihoti Matile Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae) pada dua
varietas ubi kayu. Hama Penyakit Tumbuhan Tropika. hlm 1-10.
Nukenine EN, Dixon AGO, Hassan AT, Asiwe JAN. 1999. Evaluation of cassava
cultivar for canopy retention and it’s relationship with field resistence to
green spider mite. African Corp Science Journal. 7(1):47-45. Doi: c599005.
Prihandana R, Noerwijan K, Adinura PG, Setyaningsih D, Setiadi S, Hendroko R.
2007. Bioetanol Ubikayu: Bahan Bakar Masa Depan. Jakarta (ID): PT
Agromedia Pustaka.
Reddal A, Sadras VO, Wilson LJ, Gregg PC 2004. Physiological responses of
cotton to two spotted spider mite damage. Crop Sci. 44:835-846.
Saliem HP, Nurhayati S. 2011. Prespektif Ekonomi Global Kedelai dan Ubi Kayu
Mendukung Swasembada. Jakarta (ID): Kementrian Pertanian.
Skorupska A. 2004. Resistance of apple cultivars to two-spotted spider mite,
Tetranychus urticae Koch (Acarina: Tetranychidae) part 1. Bionomi of twospotted spider mite on selected cultivars of apple trees. Journal of Plant
Protection Research. 44(1):75-80.
Sundari T. 2010. Pengenalan Varietas Unggul dan Teknik BudidayaUbikayu
(Materi Pelatihan Agribisnis bagi KMPH) Malang (ID): Balai Penelitian
Kacang-kacangan dan Umbi-umbian.
Takafuji A, Ishii T. 1989. Inheritance of sex ratio in the Kanzawa spider mite
Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae). Researches on
Population Ecology. 31(1):123-128.
Takafuji A, Tajima R, Amano H. 2007. The over wintering ecology and diapause
capacyty of Tetranichus kanzawai Kishida (Acari: tetranychidae) in WestCentral Taiwan. Journal of the Acarological Society of Japan. 16(1):29-34.
Tsai SM, Kung KS, Shih CI. 1989. The effect of temperature on life history and
population parameters of Kanzawa spider mite, Tetranychus kanzawai
Kishida (Acari: Tetranychidae) on tea. Plant Protection Bulletin [Internet].
[diunduh 2013 November 8]; 31(2):119-130. Doi: 9901176268.
Ullah MS, Moriya D, Badii MH, Nachman G, Gotoh T. 2011. A comparative study
of depelovment and demographic parameters of Tetranychus merganser and
Tetranychus kanzawai (Acari: Tetranychidae) at different temperatur. Exp
Appl Acarol. 54:1-19. Doi: 10.1007/s1043-010-9420-6.
Zhang ZQ. 2003. Mites of Greenhouse: identification, biology, an control.
Cambridge (GB): CABI Publishing.

19

LAMPIRAN

20
Skoring Kerusakan pada Daun

Skor 0

Skor 1

Skor 2

Skor 3

Skor 4

Skor 5

Gambar Pertumbuhan Tunas Baru pada 8 MST

21
Sidik Ragam
Sidik ragam intensitas kerusakan ubi kayu pada 3 MST
Sumber keragaman
Perlakuan
Galat
Total

Db
3
76
79

JK
234.528
1756.707
1991.235

KT
78.176
23.114

F hitung
3.38

Pr > F
0.0224

Sidik ragam kerusakan ubi kayu pada 4 MST
Sumber keragaman
Perlakuan
Galat
Total

Db
3
76
79

JK
3801.421
12507.890
16309.311

KT
1267.140
164.577

F hitung
7.70

Pr > F
0.0001

Sidik ragam kerusakan ubi kayu 5 MST
Sumber keragaman
Perlakuan
Galat
Total

Db
3
76
79

JK
6950.069
23283.729
30233.798

KT
2316.689
306.364

F hitung
7.50

Pr > F
0.0002

Sidik ragam kerusakan ubi kayu 6 MST
Sumber keragaman
Perlakuan
Galat
Total

Db
3
76
79

JK
10577.090
41131.777
51708.867

KT
3525.696
541.207

F hitung
6.51

Pr > F
0.0006

Sidik ragam kerusakan ubi kayu 7 MST
Sumber keragaman
Perlakuan
Galat
Total

Db
3
76
79

JK
4462.294
37029.261
41491.555

KT
1487.4315
487.227

F hitung
3.05

Pr > F
0.0335

Sidik ragam kerusakan ubi kayu 8 MST
Sumber keragaman
Perlakuan
Galat