9 perantara yang menyampaikan pesan tersebut. Pesan itu dapat berwujud mantra yang
diucapkan sang pawang atau kata-kata yang didapatnya dari dunia mimpi atau ketika berada dalam suasana trans tidak sadar.
Dalam pola budaya ontologi, karya sastra dapat hadir sebagai ekspresi subjek sendiri. Misalnya, manusia meluapkan ekspresinya dalam bentuk puisi ketika melakukan
pengalaman inderawi: memandang lanskap alam yang indah, menyaksikan fenomena alam yang ganjil dan menakjubkan, atau menghadapi musibah yang terus menghadang.
Dalam pola budaya fungsional dimungkinkan adanya timbal balik antara subjek dan objek. Misalnya, penyair sebagai subjek tidak lagi menanggapi objek fenomena alam,
melainkan menanggapi objek yang diciptakan oleh subjek lainnya. Timbal balik demikian dapat kita lihat dalam puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Asmaradana”,
yang menanggapi kitab Ramayana atau lakon wayang Sinta Obong, novel Redi Panuju berjudul Arjuna Mencari Mati yang selain menanggapi kitab atau cerita wayang
Mahabharata juga mereaksi novel Arjuna Mencari Cinta karya Yudhistira A.N.M. Massardi. Persoalan pengaruh dan tanggapan terhadap karya sastra yang ada sebelumnya
itu dapat dijelaskan secara analitis dan kritis apabila kita mengkajinya dengan menggunakan konsep sastra bandingan
1.1.4 Sastra Bandingan dan Pembelajaran Sastra
Genre sastra Indonesia modern, seperti puisi, prosa cerpen dan novel, dan drama adalah materi yang harus diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di
sekolah dan di jurusan sastra Indonesia atau jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Penyampaian materi sastra dalam mata pelajaran tersebut bermanfaat sebab
selain merupakan materi autentik yang berharga, pemerkaya bahasa dan budaya, sastra
10 juga dapat menerampilkan berbahasa, meningkatkan cipta dan rasa, menghaluskan
watak, dan menambah pengalaman budaya siswa Moody, 1971:4; Collie Slater, 1987:3-6. Manfaat itu relevan pula dengan salah satu tujuan dan fungsi mata pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia yang bernafas multikultural, seperti yang tertera dalam Kurikulum KTSP, yaitu sebagai sarana pemahaman keberanekaragaman budaya
Indonesia melalui khazanah kesusastraan Indonesia. Budaya Indonesia memang sangat beragam dan hal itu akan tampak dalam
khazanah sastra Indonesia yang terwujud dalam sastra-sastra daerah di seluruh Nusantara. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, keanekaragaman budaya yang tercermin dalam
karya sastra itu hanya dapat dipahami secara nasional apabila menggunakan bahasa nasional pula. Oleh sebab itu, transformasi alih bahasa dan alih wahana sastra dari
bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia merupakan suatu keniscayaan. Setakat ini siswa pada setiap jenjang sekolah telah sangat mengenal cerita rakyat
daerah yang sudah menasional, seperti Sangkuriang, yang bersumber dari cerita rakyat daerah Sunda, Malin Kundang, yang bersumber dari cerita rakyat daerah Minangkabau,
atau Bawang Merah dan Bawang Putih yang bersumber dari cerita rakyat daerah Jawa Tengah. Namun, apabila kita membaca hasil penelitian yang berkenaan dengan cerita
rakyat, maka kita dapat berkesimpulan bahwa cerita rakyat Nusantara itu banyak dan amat beragam. Akan tetapi, cerita rakyat itu akan tetap menjadi khazanah budaya daerah
setempat apabila kita tidak berusaha mentransformasikannya ke dalam bahasa Indonesia; padahal, khazanah sastra Nusantara mesti dibaca secara luas oleh seluruh bangsa
Indonesia sehingga kita akan mengetahui juga hal-hal yang sama di antara sastra daerah yang beragam itu Rusyana, 1981.
11 Transformasi sastra dengan penerjemahan dari bahasa daerah ke dalam bahasa
Indonesia merupakan upaya yang harus terus-menerus dilakukan. Usaha ke arah itu sudah dirintis, misalnya oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depatemen
Pendidikan Nasional atau oleh penerbit seperti Gramedia dan Yayasan Obor. Transformasi adalah perubahan rupa KBBI, 2008:1484. Secara khusus, Umar
Kayam dalam Esten, 1992: menjabarkan bahwa transformasi itu berlangsung dua tahap: pertama, menarik budaya etnis ke tataran budaya kebangsaan dan kedua, menggeser
budaya agraris tradisional ke tataran budaya industri. Dalam dunia sastra, tahap pertama dapat kita lihat pada sastra Indonesia modern, baik puisi, prosa cerpen dan novelroman,
maupun drama yang mengambil sumber penciptaannya dari budaya etnis tertentu, khususnya budaya daerah tempat penyair dilahirkan atau dibesarkan. Tahap kedua,
tampak dalam pencetakan buku sastra yang merupakan bagian dari industri media massa. Tahap yang disebut terakhir, pada masa budaya agraris tradisional atau pada saat
belum ditemukannya mesin cetak merupakan sesuatu yang dianggap mustahil. Pada saat itu orang menggandakan buku dengan cara menulis atau menyalin dari naskah yang
dibacanya. Namun, penulisan dan penyusunan naskah demikian, yang kini kita sebut sebagai naskah klasik, merupakan aktiviatas langka yang hanya dapat dilakukan oleh
segelintir orang yang memiliki kemampuan membaca dan munulis, khususnya dengan aksara Arab atau aksara dari daerah di Nusantara misalnya Sunda, Jawa, Batak, Bali dan
Bugis. Sebagian besar masyarakat yang tidak memiliki kemampun baca-tulis dapat melibatkan diri dalam kegiatan “literasi” itu dengan menyimak naskah yang dibacakan
atau cerita yang dituturkan oleh juru dongeng atau pelipur lara.
12 Pada masa ini transformasi sastra daerah, baik dari naskah klasik maupun cerita
lisan ke dalam bahasa Indonesia yang berlangsung secara normatif, misalnya sesuai dengan kaidah penerjemahan, tidaklah akan menjadi kendala dalam proses apresiasi dan
pembelajarannya, baik di sekolah maupun di perguruan tinggi. Akan tetapi, ada fenomena transformasi yang muncul, yaitu karya sastra Indonesia modern yang
bersumber dari khazanah cerita rakyat Nusantara. Meskipun demikian, fenomena transformasi cerita rakyat Nusantara ke dalam
sastra Indonesia modern sebetulnya dapat dikaji dengan menggunakan pendekatan sastra bandingan sehingga kita dapat mengetahui, sejauh mana cerita rakyat Nusantara yang
dijadikan teks dasarnya itu berpengaruh terhadap sastra Indonesia dan makna apa yang terkandung di dalamnya.
Karya sastra modern yang bersumber dari cerita rakyat telah banyak ditulis oleh sastrawan kita. Misalnya, dalam puisi kita dapat membaca “Asmaradana”, “Penangkapan
Sukra:, “Dongeng Sebelum Tidur, dan “Gatoloco” karya Goenawan Mohamad” yang bersumber dari cerita rakyat Jawa. Cerpen dan novel Umar Kayam, Putu Wijaya, dan
Y.B. Mangunwijaya banyak bersumber dari cerita wayang; drama-drama karya Wisran Hadi banyak bersumber dari cerita kaba Minangkabau dan dan drama dan novel karya
Saini K.M. banyak bersumber dari legenda rakyat Sunda. Karya sastra yang demikian akan menjadi kendala dalam pembelajarannya di sekolah dan di perguruan tinggi apabila
guru dan dosen tidak menggunakan pendekatan dan model yang tepat. Oleh sebab itu, perlu diupayakan satu pendekatan dan model pengajaran yang tepat terhadap materi
pembelajaran sastra tersebut. Penemuan pendekatan dan model yang tepat akan sangat
13 berguna sehingga pembelajaran yang dilakukan dapat mengungkap khazanah sastra
Indonesia secara lintas daerah dan multikultual. Untuk pembermaknaan pengajaran sastra di sekolah dan perguruan tinggi,
tampaknya harus ada penelitian yang diawali dengan mengkaji karya sastra Indonesia yang bersumber dari cerita rakyat, sehingga dapat diperoleh klasifikasi dari segi genre,
media, dan hipogram dari setiap karya. Selanjutnya, berdasarkan pengkajian tersebut perlu disusun suatu model pembelajaran yang tepat untuk kepentingan pembelajaran
sastra modern yang bersumber dari cerita rakyat Nusantara. Dalam paragraf sebelumnya telah diketahui bahwa terdapat relevansi antara
manfaat pengajaran sastra dan tujuan kurikulum, terutama dalam mengapresiasi kebhinekaan budaya Indonesia. Khazanah sastra Nusantara yang beragam itu sangat
berperan dalam pengembangan sastra, terutama sebagai penanda kekayaan budaya Indonesia, di samping sebagai modal apresiasi, dasar penciptaan sastra Indonesia modern,
dasar komunikasi, dan dasar pengembangan ilmu sastra Rusyana, 1981. Namun peran sastra Nusantara yang tersimpan dalam berbagai bahasa daerah itu
jangkauannya tidak akan menasional apabila tidak ditransformasi ke dalam bahasa nasional pula. Oleh sebab itu, transformasi sastra Nusantara ke dalam sastra berbahasa
Indonesia adalah suatu keniscayaan. Akan tetapi, transformasi sastra daerah ke dalam sastra Indonesia memunculkan masalah baru sehubungan dengan status sastra Indonesia
yang merupakan bagian dari konstelasi warga sastra dunia. Sebagai bagian dari konstelasi warga dunia, sastra Indonesia berada dalam tegangan atau tarik-menarik antara
pelestarian tradisi dan keinginan untuk berinovasi. Dengan demikian, bentuk transformasi yang muncul, selain merupakan afirmasi pengukuhan, dapat juga berbentuk restorasi
14 nostalgia, bahkan negasi penolakan terhadap sastra Nusantara yang ditransformasinya
Teeuw, 1985: 1-10. Fenomena transformasi sastra selanjutnya akan memunculkan masalah lain yang
berkaitan dengan pembelajaran sastra di sekolah. Pada usia prasekolah sebagian besar anak dibimbing langsung oleh orang tuanya. Bimbingan itu mungkin munggunakan
media bahasa daerah, namun mungkin juga menggunakan bahasa Indonesia. Bimbingan berupa penanaman nilai didaktis biasanya dilakukan orang tua dengan bantuan cerita
rakyat mite, legenda, atau dongeng. Kegiatan itu dilakukan, misalnya pada saat anak akan tidur atau anak bertanya mengenai fenomena alam, asal usul nama tempat atau
tokoh-tokoh dalam cerita rakyat dan pewayangan. Cerita yang disampaikan orang tua tentu akan mengacu pada cerita rakyat murni yang bersumber dari tradisi lisan. Oleh
sebab itu masalah akan muncul pada saat pembelajaran sastra di sekolah. Sebagai contoh, siswa dihadapkan pada teks sastra, misalnya prosa fiksi Indonesia modern, yang
melakukan negasi terhadap hipogram atau teks dasar, seperti dalam penggalan cerpen “Bisma” karya Putu Wijaya 1981:
Bisma bangkit dari tanah, udara dan air, yang melebur jasadnya setelah jutaan tahun yang lalu pralaya dalam perang Bharatayuda. Tubuhnya yang tinggi
besar dan sedikit bungkuk karena tua tampak agung ditancap oleh ribuan panah. Mukanya yang dihiasi brewok dan cambang putih sudah kisut, akan tetapi masih
tetap memancarkan sinar yang jernih. Resi yang telah memikul pengorbanan yang dahsyat itu tiba-tiba muncul di Pasar Senen.
Dalam cerita wayang sebagai teks dasar, Bisma adalah Putera Mahkota Raja Astinapura, Santanu, yang rela kehilangan mahkota kerajaan demi kebahagiaan ayahnya
dan dalam perang Bharatayuda berpihak pada Kurawa; bukan membenci Pandawa, melainkan karena secara historis dia adalah seorang dewa yang yang harus menjalani
15 hukuman sampai panah Srikandi pihak Pandawa menembus jantungnya. Namun dalam
cerpennya, Putu Wijaya menghadirkan kembali tokoh Bisma pada zaman ini dengan alur, latar, dan tema yang sangat berbeda.
Dalam mengapresiasi cerpen yang demikian, siswa tentu akan kebingungan karena karya sastra yang dihadapinya sangat jauh dari skemata dan cakrawala harapan
horizon of expetation yang ada dibenaknya. Terlebih-lebih, apabila siswa diminta untuk mengapresiasi puisi Subagio Sastrowardoyo 2005: yang berjudul “Asmaradana”:
ASMARADANA Sita di tengah nyala api
Tidak menyangkal Betapa indah cinta berahi.
Raksasa yang melarikannya ke hutan Betapa lebat bulu jantannya
Dan Sita menyerahkan diri. Dewa tak melindunginya dari neraka
Dan Sita tak merasa berlaku dosa Sekadar menurutkan naluri.
Pada geliat sekarat terlompat doa Jangan juga hangus dalam api
Sisa mimpi dari senggama.
Cerita pewayangan adalah khazanah sastra Nusantara. Wujudnya dapat berupa cerita klasik yang biasa disebut hikayat, misalnya Hikayat Pandawa Lima dan Hikayat
Seri Rama. Ada juga yang berupa cerita lisan, yang biasa dimainkan sang dalang, baik dalam lakon wayang kulit di Jawa Tengah maupun wayang golek di Jawa Barat.
Wujudnya dalam bentuk drama tari yang dimainkan langsung oleh manusia sebagai tokoh-tokoh wayang tampak dalam wayang orang di Jawa Tengah dan Arja di Bali.
16 Cerita pewayangan tersebut, meskipun wujud dan bentuknya beragam, biasanya
relatif tetap, yaitu memiliki pola dan kaidah yang serupa. Dalam dunia pewayangan biasa disebut dengan pakem. Dalam Ensiklopedi Wayang Indonesia Tim Penulis Senawangi,
1999 dijelaskan bahwa pakem wayang adalah sebutan bagi lakon-lakon yang masih berada dalam jalur cerita asli atau amat dekat dengan jalur cerita Mahabarata dan
Ramayana. Ringkasnya, cerita wayang yang dianggap pakem masih menggunakan tokoh-tokoh cerita dari kitab induk Ramayana dan Mahabarata. Sebaliknya, apabila lakon
dan tokohnya menyimpang dari pakem, dalam pewayangan disebut dengan lakon carangan atau sempalan.
Sebagai ilustrasi, kita akan ketengahkan tokoh Arjuna. Arjuna adalah orang ketiga dari Pandawa lima, putra Dewi Kunti. Dalam pewayangan ia sering dijuluki Panengah
Pandawa. Kata ”Arjuna” dalam bahasa Sanskerta artinya putih atau bening dan bersih. Dalam pewayangan, Arjuna merupakan tokoh populer selain karena kesaktiannya,
ketampanannya, juga karena banyak lakon wayang yang melibatkan namanya. Selain tampan, Arjuna sejak kecil gemar menuntut ilmu. Untuk menambah ilmunya, jika perlu
Arjuna berkelana ke negeri lain. Ia merupakan murid yang paling disayangi Begawan Drona. Guru Besar yang bekerja pada Kerajan Astina itu bahkan pernah berjanji, tidak
akan mengajarkan ilmunya kepada murid lain selengkap yang diajarkan kepada Arjuna. Putra Kunti ini juga dikenal sebagai kesatria yang tekun bertapa. Sebagian penggemar
wayang berpendapat, istri-istri Arjuna adalah lambang ilmu yang disadap Arjuna dari para gurunya Tim Penulis Senawangi, 1999: 140—145.
17 Dalam kenyataan, kita sering menggunakan tokoh Arjuna sebagai julukan bagi
lelaki yang simpatik, tampan, dan disukai banyak perempuan. Singkatnya, lelaki yang menyandang julukan Arjuna memiliki citra yang positif.
Akan tetapi, dalam karya sastra modern, tokoh Arjuna memiliki citra yang beragam. Dalam puisi ”Kayal Arjuna” karya Subagio Sastrowardoyo, Arjuna adalah
kesatria yang memiliki kekuatan luar biasa yang tidak pernah ditampakkan, baik dalam epos Mahabarata maupun lakon pewayangan. Dalam puisi tersebut, Arjuna mampu
memenangkan pertempuran, baik di dalam perang maupun di atas ranjang, meskipun semua dilakukan Arjuna dengan hanya membayangkan di benaknya musuh yang akan
diperanginya dan perempuan yang ingin dikawininya:
KAYAL ARJUNA tanpa sekali
melangkah ke medan Kuru hanya dibayangkan saja rupa lawannya
di dalam angan-angan dan ditusuknya dengan pedang
jantung dan perutnya sehingga keluar darah dan ususnya
dan terang terdengar teriak aduh dan rubuhnya ke tanah
laki-laki itu terbunuh dari jauh --bagaimana melepaskan dendam berahi?
lihat, ditegangkan pikirannya di kening terkenang kekasih
mukanya bersimbah peluh tubuhnya menggeliat dan mengerang
dan dari alat jantannya mengalir air mani
seperti di dalam mimpi.
18 Dalam drama Semar Gugat karya N. Riantiarno, Arjuna melakukan pelecehan
pada Semar yang merupakan titisan Sanghiang Ismaya, yaitu memaksa Semar untuk memotong kuncungnya sendiri demi istrinya yang sedang mengidam. Sementara itu,
dalam novel Arjuna Mencari Mati, Arjuna berupaya untuk bunuh diri karena tidak kuat menanggung beban yang dideritanya, yaitu hidup tanpa alat kelamin.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa cerita pewayangan ditanggapi pengarang modern secara beragam dan cenderung bersifat personal. Dengan demikian, cerita
pewayangan yang sudah dialih bahasa dan dialih wahana ke dalam sastra Indonesia modern bukanlah cerita wayang murni. Pengarang sastra Indonesia modern kemungkinan
besar tidak bermaksud menceritakan kembali cerita wayang tersebut, melainkan menanggapinya, bahkan mereaksinya sesuai dengan daya kreatif yang ada di benaknya.
Oleh sebab itu, pembandingan cerita wayang dengan sastra Indonesia modern perlu dilakukan sehingga kita dapat mengetahui pengaruh dan makna dari keterpengaruhan
sastra Indonesia oleh cerita wayang tersebut. Dalam dunia sastra selalu terjadi tegangan atau tarik menarik antara dua pihak
yang berseberangan. Dua pihak itu adalah lama dan baru; tradisi dan modernitas; konvensi dan inovasi. Tarik menarik di antara dua kutub yang berbeda itu akan terus
berlanjut sampai kapan pun karena kondisi itu merupakan hakikat sastra itu sendiri, seperti pernah dikatakan oleh Teeuw 1984:19-24. Dengan demikian, hakikat sastra akan
memungkinkan perkembangan sastra yang dinamis karena karya sastra yang muncul kemudian dapat merupakan respons terhadap karya sastra sebelumnya. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa roman Belenggu, yang ditulis oleh Armijn Pane pada tahun 1930-an, merupakan respons terhadap roman Layar Terkembang yang ditulis
19 oleh Sutan Takdir Alisjahbana, puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” karya Chairil Anwar,
yang ditulis pada tahun 1940-an merupakan respons terhadap puisi “Berdiri Aku”, karya Amir Hamzah, yang ditulis pada zaman Pujangga Barau pada tahun 1930-an dan drama
Semar Gugat, Konglomereat Burisrawa, Republik Bagong, dan Maaf, Maaf, Maf, Politik Cinta Dasamuka karya N. Riantiarno, yang merupakan naskah dan pementasan drama
Indonesia modern, merupakan respons terhadap” cerita rakyat atau pertunjukan teater tradisional, yaitu wayang.
Dinamika karya sastra berpengaruh juga pada dinamika ilmu sastra. Dalam penelitian sastra, para peneliti biasanya menggunakan pendekatan dalam mengkaji karya
sastra sesuai dengan kerangka yang ditawarkan Abrams 1976 dalam bukunya Mirror and the Lamp. Kerangka itu membagi pendekatan dalam mengkaji sastra pada empat
segi, yaitu semesta sumber penciptaan, pengarang, pembaca, dan karya sastra itu sendiri. Masing-masing segi mewujud dalam pendekatan mimetik, ekspresif, pragmatik, dan
objektif. Buku Abrams tersebut pertama kali diterbitkan pada tahun 1953 dan merupkan penelitianya terhadap puisi-puisi Inggris pada zaman romantik. Tentu saja selepas
penelitian Abrams karya sastra dan pengkajiannya terus berkembang hingga pada akhirnya kita menyadari bahwa ada sumber penciptaan selain realitas yang dialami
manusia. Sumber penciptaan yang dimaksud adalah “karya sastra- lainnya”. Jadi, tambahan segi karya sastra- lain, yang belum terpikirkan Abrams pada saat itu sekarang
merupakan gejala yang merebak. Roman Layar Terkembang bukanlah realitas alami, melainkan realitas imajinatif pengarangnya. Dengan kata lain, Layar Terkembang sebagai
realitas imajinatif pengarang dapat menjadi sumber penciptaan pengarang lainnya, dalam hal ini adalah terbitnya roman Belenggu. Dalam kerangka Abrams, segi ini belum
20 terwadahi. Segi ini baru ditambahkan oleh Keesey 1994 dalam bukunya berjudul
Context for Criticism. Dalam bukunya itu Keesey memanfaatkan keempat segi yang digunakan oleh Abrams, kemudian dia menambahkan satu segi lagi, yaitu segi karya
sastra- lain, yang pendekatannya disebut intertekstual. Akan tetapi, penjelasan teks sastra dengan pembandingan terhadap teks sastra lainnya, terlebih-lebih dengan melihat
keterpengaruhannya, lebih tepat disebut sebagai sastra bandingan. Dengan catatan, karya tersebut berbeda dari segi bahasa . Sementara itu, pemahaman intertekstual cenderung
ditujukan pada relasi teks sastra dengan teks-teks lain, bahkan dengan pemahan teks nonverbal musikal, pertunjukan, dan visualfilm. Pemahaman intertekstual demikian
mengacu pada pendapat Kristeva Culler, 1977:139 bahwa teks merupakan mozaik kutipan, sekaligus juga merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain.
Kenyataan di atas dapat menjadi kendala bagi pembaca yang akan mengapresiasi karya-karya tersebut. Khusus bagi pembaca yang telah mengetahui cerita pewayangan,
yang didapatkannya semasa kanak-kanak dari tuturan orang tuanya atau dari menonton wayang, mereka akan dibingungkan dengan teks sastra modern yang menampilkan fakta
cerita yang berbeda. Masalah tersebut akan bertambah pada saat teks sastra tersebut dijadikan bahan pembelajaran di sekolah atau di perguruan tinggi.
1.2 Identifikasi Masalah