HUBUNGAN ANTARA NILAI FORCED EXPIRATORY VOLUME IN ONE Hubungan Antara Nilai Forced Expiratory Volume In One Second (Fev1) Dengan Kejadian Barrel Chest Pada Penderita Gangguan Paru Obstruksi Di Rumah Sakit Paru Dr. Ario Wirawan Salatiga.

(1)

HUBUNGAN ANTARA NILAI FORCED EXPIRATORY VOLUME IN ONE SECOND (FEV1) DENGAN KEJADIAN BARREL CHEST PADA PENDERITA GANGGUAN PARU OBSTRUKSI DI RUMAH SAKIT

PARU Dr. ARIO WIRAWAN SALATIGA

NASKAH PUBLIKASI

Diajukan Guna Melengkapi Tugas dan Memenuhi Sebagian Persyaratan Menyelesaikan Program Pendidikan Strata 1 Fisioterapi

Disusun oleh : Setianingrum J 120 151 116

PROGRAM STUDI S1 FISIOTERAPI FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

1

HUBUNGAN ANTARA NILAI FORCED EXPIRATORY VOLUME IN ONE SECOND (FEV1) DENGAN KEJADIAN BARREL CHEST PADA PENDERITA GANGGUAN PARU OBSTRUKSI DI RUMAH SAKIT

PARU Dr. ARIO WIRAWAN SALATIGA Abstrak

Latar Belakang: Forced Expiratory Volume in One Second (FEV1) adalah volume udara yang dihembuskan dalam detik pertama dari ekspirasi yang didahului dengan inspirasi yang sedalam-dalamnya (Sherwood, 2001), merupakan indeks sensitif pada perkembangan paru dan berkaitan dengan antropometri dan usia. FEV1 merupakan indeks yang paling sering digunakan untuk menentukan kelainan obstruksi jalan napas, bronkokonstriksi maupun bronkodilatator (Astell-Burt et al., 2013). Faktor yang mempengaruhi nilai FEV1 antara lain umur, jenis kelamin, riwayat merokok, perokok pasif, IMT, riwayat asma, penggunaan inhaler, dan kualitas udara (Wheeler et al., 2005). Sedangkan Barrel chest bukan merupakan penyakit melainkan gejala yang memanifestasikan suatu penyakit (PDPI, 2003), yaitu bentuk dada abnornal yang menyerupai tong. Dimana diameter anteroposterior membesar karena adanya hiperinflasi paru yang menetap di hasilkan dari obstruksi jalan nafas yang berkelanjutan sehingga perbandingan diameter anteroposterior dan transversal menjadi 1:1 (Somantri, 2008).

Kata Kunci: FEV1, Forced Expiratory Volume in One Second, dada tong, obstruksi, paru.

Abstract

Background: Forced expiratory volume in One Second (FEV1) is the volume of air exhaled in the first second of expiration preceded by inspiration profusely (Sherwood, 2001), is a sensitive index of the development of the lungs and are associated with anthropometry and age. FEV1 is the index most often used to determine abnormalities of airway obstruction, bronchoconstriction and bronchodilator (Astell-Burt et al., 2013). Factors affecting the value of FEV1 were age, sex, history of smoking, passive smoking, BMI, history of asthma, inhaler use, and air quality (Wheeler et al., 2005). While Barrel chest is not a disease but a symptom of a disease that manifests (PDPI, 2003), which forms abnornal chest that resembles a barrel. Where the anteroposterior diameter enlarged for their lung hyperinflation were settled derived from continuous airway obstruction that anteroposterior and transverse diameter ratio to 1: 1 (Somantri, 2008).

Keywords: FEV1, Forced Expiratory Volume in One Second, barrel chest, obstruction, lung.


(6)

1. PENDAHULUAN

Polusi udara sangat berhubungan dengan keaadaan paru, terutama pada fungsi paru. Sesorang yang terkena polusi udara secara terus menerus, maka akan terjadi perubahan pada fungsi paru-paru mereka (Schikowski et al., 2013). Indonesia merupakan negara dengan tingkat polusi udara tertinggi ke-3 di dunia dengan 70% polutan berasal dari emisi kendaraan bermotor (Halim dan Ghozali, 2011). Polusi udara menurunkan Forced Expiratory Flow (FEF) pada 25-75 % dan juga menyebabkan penurunan nilai FEV1. Tanda ini merupakan marker awal dari kerusakan saluran pernapasan (Downs et al., 2007 dalam Schikowski et al., 2013).

Penyakit pada paru secara garis besar dibagi dalam 2 kelompok, yaitu penyakit paru restriksi dan obstruksi. Restriksi adalah keterbatasan kemampuan paru untuk mengembang dan mengempis sesuai aliran udara yang masuk dan keluar. Restriksi paru dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti adanya fibrosis, debris atau sisa infeksi (pneumonitis) maupun gangguan pada neuromuskular. Sementara, obstruksi adalah sumbatan saluran napas (dalam hal ini ialah paru). Sumbatan ini dapat disebabkan oleh fibrosis, cairan, partikel solid ataupun benda lain yang bisa berada di dalam paru (Price & Wilson, 2005).

Forced Expiratory Volume in One Second (FEV1) merupakan indeks sensitif pada perkembangan paru dan berkaitan dengan antropometri dan usia. FEV1 merupakan indeks yang paling sering digunakan untuk menentukan kelainan obstruksi jalan napas, bronkokonstriksi maupun bronkodilatator (Astell-Burt et al., 2013). Faktor yang mempengaruhi nilai FEV1 antara lain umur, jenis kelamin, riwayat merokok, perokok pasif, IMT, riwayat asma, penggunaan inhaler, dan kualitas udara (Wheeler et al., 2005).

Barrel chest bukan merukapan penyakit melainkan gejala yang memanifestasikan suatu penyakit (PDPI, 2003). Umumnya merupakan tanda pada fase akhir PPOK akibat penambahan volume paru karena adanya hambatan aliran


(7)

3 2. METODE

Penelitian ini menggunakan metode observasional dengan pendekatan Cross-Sectional, yaitu penelitian noneksperimental dalam mempelajari korelasi faktor risiko dengan efek berupa penyakit atau status kesehatan dengan pengambilan data variabel dilakukan sekali waktu pada saat bersamaan (Sumantri, 2011). Dalam studi cross-sectional, variabel independen atau variabel tergantung dinilai secara simultan pada satu saat, jadi tidak ada follow-up pada studi cross-sectional (Sastroasmoro, 2014).

3. PEMBAHASAN

3.1 Hubungan antara Nilai Forced Expiratory Volume In One Second (FEV1) dengan Kejadian Barrel Chest

Penderita penyakit paru obstuksi akan mengalami kesulitan saat melakukan ekspirasi, udara di dalam paru sulit dikeluarkan karena saluran udara yang tersumbat sehingga cenderung akan melakukan pernafasan kuat atau disebut juga hiperpnea, melibatkan pergerakan aktif inspiratori dan ekspiratori. Inhalasi pada pernapasan kuat dibantu oleh otot aksesori, ekshalasi melibatkan kontraksi otot internal interkostal. Pada tingkat pernapasan kuat mutlak, otot abdominal juga dilibatkan dalam ekshalasi. Kontraksinya dapat memampatkan isi abdomen, mendorongnya ke atas melawan diafragma sehingga menurunkan volume rongga dada (Dhedia, 2008).

Reaksi inflamasi sistemik yang terjadi memicu terjadinya perubahan struktur dan degradasi protein pada otot-otot diafragma dan otot-otot skeletal lainnya (Ottenheijm et al., 2005). Terjadinya degradasi protein tidak diimbangi dengan sintesis protein sehingga terjadi perubahan struktur serta penurunan kekuatan pada otot-otot skeletal maupun diafragma yang akhirnya menyebabkan terjadinya penurunan nilai volume paru pada pemeriksaan fungsi paru (Kim et al., 2008).

Penyakit paru banyak merubah volume paru pada pemeriksaan spirometri. Pada penderita penyakit paru, baik obstruksi maupun retriksi akan mengalami penurunan nilai Forced Expiratory Volume (FEV). Untuk tujuan diagnosa biasanya menggunakan FEV yang dipersingkat, yaitu Volume Ekspirasi Paksa


(8)

Detik Pertama (VEP1) atau Forced Expiratory Volume in One Second (FEV1) (Davies dan Moores, 2003).

Forced Expiratory Volume in One Second (FEV1) merupakan indeks sensitif pada perkembangan paru dan berkaitan dengan antropometri dan usia. FEV1 merupakan indeks yang paling sering digunakan untuk menentukan kelainan obstruksi jalan napas, bronkokonstriksi maupun bronkodilatator (C).

Barrel chest bukan merukapan penyakit melainkan gejala yang memanifestasikan suatu penyakit (PDPI, 2003). Barrel chest umumnya merupakan tanda pada fase akhir PPOK terutama PPOK tipe emfisema, pada emfisema terjadi kelainan anatomis paru yang ditandai dengan pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli yang menyebabkan terhambatnya aliran udara. Kerusakan ini menyebabkan terjadinya hiperinflasi di paru yang secara bertahap akan menambah volume paru, sehingga diafragma akan terdesak ke bawah, tulang sternum terdorong ke depan dan tulang iga terlihat mendatar sehingga dada selalu tampak seperti pada kondisi inspirasi, selanjutnya secara perlahan dada normal akan berubah bentuk menjadi barrel chest akibat penambahan volume paru karena adanya hambatan aliran udara yang berlangsung kronik (Ballestas et al., 2008).

Seseorang yang mengalami perubahan bentuk dada seperti barrel chest akan mengalami gagguan mobilisasi rongga thoraks sehingga mengakibatkan pengurangan compliance paru. Compliance paru merupakan indikasi kemampuan perluasan paru-paru, bagaimana paru-paru dengan mudahnya mengembang dan mengempis. Semakin rendah compliance, semakin besar gaya yang dibutuhkan untuk mengisi dan mnegosongkan paru-paru. Semakin besar compliance, semakin mudah bagi paru-paru, semakin mudah paru-paru untuk mengisi dan mengosongkan paru-paru (Dhedia, 2008). Barrel chest dapat memperburuk masalah pernafasan pada PPOK, sehingga membuat pernafasan semakin sulit (Spriggs, 2014).


(9)

5 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang cukup signifikan antara nilai forced expiration volume in one second (FEV1) dengan kejadian barrel chest pada penderita gangguan paru obstruksi di Rumah Sakit Dr. Ario Wirawan Salatiga.

DAFTAR PUSTAKA

Astell-Burt, T., Maynard, M.J., Lenguerrand, E., Whitrow, M.J., Molaodi, O.R., & Harding, S. 2013. Effect of Air Pollution and Racism on Ethnic Differences in Respiratory Health among Adolescents Living in an Urban Environment. Journal of Health and Place. 23(100):171-178.

Ballestas, H.C., Calvery, J.A., Cooper, K., Gambilan, V.C., Reeves, D., & Seiler, K.S., 2008. Interprenting Signs and Symptoms. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.

Davies, A & Moores, C. 2003. The Respiratory System: Basic Science and Clinical Condition. Philadelphia: Elsevier Science.

Dhedia. 2008. Informasi Kesehatan: Sistem Respirasi. Diakses 20 Juni 2016 dari https://dhedia.wordpress.com/2008/05/23/sistem-respirasi/html.

Downs et al., 2007 dalam Schikowski et al., 2013

Halim, D.P. & Ghozali, P.A. 2011. Korelasi Lama Bekerja dengan Nilai Kapasitas Vital Paru pada Operator Stasiun pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Sokaraja-Purwokerto. Journal Mandala of Health. 5(3):1-6.

Kim, H.C., Mohaffarahi, M., Hussain, S.N.A. 2008. Skeletal Muscle Dysfunction in Patient with Chronic Obstructive Pulmonary Disease. International Journal of COPD. 3(4):637-58

Ottenheijm, C.A.C., Heunks,lL.M.A., Sieck, G.C., Zhan, W.Z., & Jansen, S.M. 2005. Diaphragm Dysfunction in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine. 172(2):200.205.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2003. Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Paru Obstruksi Kronik di Indonesia. Jakarta: PDPI Price, S.A. & Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit. Edisi ke-6 Volume ke-2. Jakarta: ECG.

Sastroasmoro, S. 2014. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-5. Jakarta: Sagung Seto.

Schikowski, T., Schaffner, E., Meier, F., Phuleria, H.C., Vierkotter, A., Schindler, C., Kriemler, S., Zemp, E., Kramer, U., Bridevaux, P.O., Rochat, T., Schwartz, J., Kunzli, N., & Probst-Hensch, N. 2013. Improved Air Quality and Attenuated Lung Function Decline: Modification by Obesity in the SALPADIA Cohort. Journal of Enviromental Health Perspectif. 121(9):1034-1039.


(10)

Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia; dari Sel ke Sistem. Edisi ke-2. Jakarta: EGC.

Somantri, I. 2008. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika. Spriggs, B. 2014. A Look at COPD: Barrel Chest, Blue Lips & More. Diakses 4

Desember 2015. http://www.healthline.com/health-slideshow/a-look-at-copd.

Sumantri A. 2011. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Wheeler, B., & Ben-Shlomo, Y. 2005. Enviromental Equity, Air Quality, Socioeconomic status, and respiratory health: A Linkage Analysis of Routine Data from The Health Survey for England. Journal Epidemial Community Health.59:948-954.


(1)

HUBUNGAN ANTARA NILAI FORCED EXPIRATORY VOLUME IN ONE SECOND (FEV1) DENGAN KEJADIAN BARREL CHEST PADA PENDERITA GANGGUAN PARU OBSTRUKSI DI RUMAH SAKIT

PARU Dr. ARIO WIRAWAN SALATIGA

Abstrak

Latar Belakang: Forced Expiratory Volume in One Second (FEV1) adalah volume udara yang dihembuskan dalam detik pertama dari ekspirasi yang didahului dengan inspirasi yang sedalam-dalamnya (Sherwood, 2001), merupakan indeks sensitif pada perkembangan paru dan berkaitan dengan antropometri dan usia. FEV1 merupakan indeks yang paling sering digunakan untuk menentukan kelainan obstruksi jalan napas, bronkokonstriksi maupun bronkodilatator (Astell-Burt et al., 2013). Faktor yang mempengaruhi nilai FEV1 antara lain umur, jenis kelamin, riwayat merokok, perokok pasif, IMT, riwayat asma, penggunaan inhaler, dan kualitas udara (Wheeler et al., 2005). Sedangkan Barrel chest bukan merupakan penyakit melainkan gejala yang memanifestasikan suatu penyakit (PDPI, 2003), yaitu bentuk dada abnornal yang menyerupai tong. Dimana diameter anteroposterior membesar karena adanya hiperinflasi paru yang menetap di hasilkan dari obstruksi jalan nafas yang berkelanjutan sehingga perbandingan diameter anteroposterior dan transversal menjadi 1:1 (Somantri, 2008).

Kata Kunci: FEV1, Forced Expiratory Volume in One Second, dada tong, obstruksi, paru.

Abstract

Background: Forced expiratory volume in One Second (FEV1) is the volume of air exhaled in the first second of expiration preceded by inspiration profusely (Sherwood, 2001), is a sensitive index of the development of the lungs and are associated with anthropometry and age. FEV1 is the index most often used to determine abnormalities of airway obstruction, bronchoconstriction and bronchodilator (Astell-Burt et al., 2013). Factors affecting the value of FEV1 were age, sex, history of smoking, passive smoking, BMI, history of asthma, inhaler use, and air quality (Wheeler et al., 2005). While Barrel chest is not a disease but a symptom of a disease that manifests (PDPI, 2003), which forms abnornal chest that resembles a barrel. Where the anteroposterior diameter enlarged for their lung hyperinflation were settled derived from continuous airway obstruction that anteroposterior and transverse diameter ratio to 1: 1 (Somantri, 2008).

Keywords: FEV1, Forced Expiratory Volume in One Second, barrel chest, obstruction, lung.


(2)

1. PENDAHULUAN

Polusi udara sangat berhubungan dengan keaadaan paru, terutama pada fungsi paru. Sesorang yang terkena polusi udara secara terus menerus, maka akan terjadi perubahan pada fungsi paru-paru mereka (Schikowski et al., 2013). Indonesia merupakan negara dengan tingkat polusi udara tertinggi ke-3 di dunia dengan 70% polutan berasal dari emisi kendaraan bermotor (Halim dan Ghozali, 2011). Polusi udara menurunkan Forced Expiratory Flow (FEF) pada 25-75 % dan juga menyebabkan penurunan nilai FEV1. Tanda ini merupakan marker awal dari kerusakan saluran pernapasan (Downs et al., 2007 dalam Schikowski et al., 2013).

Penyakit pada paru secara garis besar dibagi dalam 2 kelompok, yaitu penyakit paru restriksi dan obstruksi. Restriksi adalah keterbatasan kemampuan paru untuk mengembang dan mengempis sesuai aliran udara yang masuk dan keluar. Restriksi paru dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti adanya fibrosis, debris atau sisa infeksi (pneumonitis) maupun gangguan pada neuromuskular. Sementara, obstruksi adalah sumbatan saluran napas (dalam hal ini ialah paru). Sumbatan ini dapat disebabkan oleh fibrosis, cairan, partikel solid ataupun benda lain yang bisa berada di dalam paru (Price & Wilson, 2005).

Forced Expiratory Volume in One Second (FEV1) merupakan indeks sensitif pada perkembangan paru dan berkaitan dengan antropometri dan usia. FEV1 merupakan indeks yang paling sering digunakan untuk menentukan kelainan obstruksi jalan napas, bronkokonstriksi maupun bronkodilatator (Astell-Burt et al., 2013). Faktor yang mempengaruhi nilai FEV1 antara lain umur, jenis kelamin, riwayat merokok, perokok pasif, IMT, riwayat asma, penggunaan inhaler, dan kualitas udara (Wheeler et al., 2005).

Barrel chest bukan merukapan penyakit melainkan gejala yang memanifestasikan suatu penyakit (PDPI, 2003). Umumnya merupakan tanda pada fase akhir PPOK akibat penambahan volume paru karena adanya hambatan aliran udara yang berlangsung kronik (Ballestas et al., 2008).


(3)

2. METODE

Penelitian ini menggunakan metode observasional dengan pendekatan Cross-Sectional, yaitu penelitian noneksperimental dalam mempelajari korelasi faktor risiko dengan efek berupa penyakit atau status kesehatan dengan pengambilan data variabel dilakukan sekali waktu pada saat bersamaan (Sumantri, 2011). Dalam studi cross-sectional, variabel independen atau variabel tergantung dinilai secara simultan pada satu saat, jadi tidak ada follow-up pada studi cross-sectional (Sastroasmoro, 2014).

3. PEMBAHASAN

3.1 Hubungan antara Nilai Forced Expiratory Volume In One Second (FEV1) dengan Kejadian Barrel Chest

Penderita penyakit paru obstuksi akan mengalami kesulitan saat melakukan ekspirasi, udara di dalam paru sulit dikeluarkan karena saluran udara yang tersumbat sehingga cenderung akan melakukan pernafasan kuat atau disebut juga hiperpnea, melibatkan pergerakan aktif inspiratori dan ekspiratori. Inhalasi pada pernapasan kuat dibantu oleh otot aksesori, ekshalasi melibatkan kontraksi otot internal interkostal. Pada tingkat pernapasan kuat mutlak, otot abdominal juga dilibatkan dalam ekshalasi. Kontraksinya dapat memampatkan isi abdomen, mendorongnya ke atas melawan diafragma sehingga menurunkan volume rongga dada (Dhedia, 2008).

Reaksi inflamasi sistemik yang terjadi memicu terjadinya perubahan struktur dan degradasi protein pada otot-otot diafragma dan otot-otot skeletal lainnya (Ottenheijm et al., 2005). Terjadinya degradasi protein tidak diimbangi dengan sintesis protein sehingga terjadi perubahan struktur serta penurunan kekuatan pada otot-otot skeletal maupun diafragma yang akhirnya menyebabkan terjadinya penurunan nilai volume paru pada pemeriksaan fungsi paru (Kim et al., 2008).

Penyakit paru banyak merubah volume paru pada pemeriksaan spirometri. Pada penderita penyakit paru, baik obstruksi maupun retriksi akan mengalami penurunan nilai Forced Expiratory Volume (FEV). Untuk tujuan diagnosa biasanya menggunakan FEV yang dipersingkat, yaitu Volume Ekspirasi Paksa


(4)

Detik Pertama (VEP1) atau Forced Expiratory Volume in One Second (FEV1) (Davies dan Moores, 2003).

Forced Expiratory Volume in One Second (FEV1) merupakan indeks sensitif pada perkembangan paru dan berkaitan dengan antropometri dan usia. FEV1 merupakan indeks yang paling sering digunakan untuk menentukan kelainan obstruksi jalan napas, bronkokonstriksi maupun bronkodilatator (C).

Barrel chest bukan merukapan penyakit melainkan gejala yang memanifestasikan suatu penyakit (PDPI, 2003). Barrel chest umumnya merupakan tanda pada fase akhir PPOK terutama PPOK tipe emfisema, pada emfisema terjadi kelainan anatomis paru yang ditandai dengan pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli yang menyebabkan terhambatnya aliran udara. Kerusakan ini menyebabkan terjadinya hiperinflasi di paru yang secara bertahap akan menambah volume paru, sehingga diafragma akan terdesak ke bawah, tulang sternum terdorong ke depan dan tulang iga terlihat mendatar sehingga dada selalu tampak seperti pada kondisi inspirasi, selanjutnya secara perlahan dada normal akan berubah bentuk menjadi barrel chest akibat penambahan volume paru karena adanya hambatan aliran udara yang berlangsung kronik (Ballestas et al., 2008).

Seseorang yang mengalami perubahan bentuk dada seperti barrel chest akan mengalami gagguan mobilisasi rongga thoraks sehingga mengakibatkan pengurangan compliance paru. Compliance paru merupakan indikasi kemampuan perluasan paru-paru, bagaimana paru-paru dengan mudahnya mengembang dan mengempis. Semakin rendah compliance, semakin besar gaya yang dibutuhkan untuk mengisi dan mnegosongkan paru-paru. Semakin besar compliance, semakin mudah bagi paru-paru, semakin mudah paru-paru untuk mengisi dan mengosongkan paru-paru (Dhedia, 2008). Barrel chest dapat memperburuk masalah pernafasan pada PPOK, sehingga membuat pernafasan semakin sulit (Spriggs, 2014).


(5)

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang cukup signifikan antara nilai forced expiration volume in one second (FEV1) dengan kejadian barrel chest pada penderita gangguan paru obstruksi di Rumah Sakit Dr. Ario Wirawan Salatiga.

DAFTAR PUSTAKA

Astell-Burt, T., Maynard, M.J., Lenguerrand, E., Whitrow, M.J., Molaodi, O.R., & Harding, S. 2013. Effect of Air Pollution and Racism on Ethnic Differences in Respiratory Health among Adolescents Living in an Urban Environment. Journal of Health and Place. 23(100):171-178.

Ballestas, H.C., Calvery, J.A., Cooper, K., Gambilan, V.C., Reeves, D., & Seiler, K.S., 2008. Interprenting Signs and Symptoms. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.

Davies, A & Moores, C. 2003. The Respiratory System: Basic Science and Clinical Condition. Philadelphia: Elsevier Science.

Dhedia. 2008. Informasi Kesehatan: Sistem Respirasi. Diakses 20 Juni 2016 dari https://dhedia.wordpress.com/2008/05/23/sistem-respirasi/html.

Downs et al., 2007 dalam Schikowski et al., 2013

Halim, D.P. & Ghozali, P.A. 2011. Korelasi Lama Bekerja dengan Nilai Kapasitas Vital Paru pada Operator Stasiun pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Sokaraja-Purwokerto. Journal Mandala of Health. 5(3):1-6.

Kim, H.C., Mohaffarahi, M., Hussain, S.N.A. 2008. Skeletal Muscle Dysfunction in Patient with Chronic Obstructive Pulmonary Disease. International Journal of COPD. 3(4):637-58

Ottenheijm, C.A.C., Heunks,lL.M.A., Sieck, G.C., Zhan, W.Z., & Jansen, S.M. 2005. Diaphragm Dysfunction in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine. 172(2):200.205.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2003. Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Paru Obstruksi Kronik di Indonesia. Jakarta: PDPI Price, S.A. & Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit. Edisi ke-6 Volume ke-2. Jakarta: ECG.

Sastroasmoro, S. 2014. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-5. Jakarta: Sagung Seto.

Schikowski, T., Schaffner, E., Meier, F., Phuleria, H.C., Vierkotter, A., Schindler, C., Kriemler, S., Zemp, E., Kramer, U., Bridevaux, P.O., Rochat, T., Schwartz, J., Kunzli, N., & Probst-Hensch, N. 2013. Improved Air Quality and Attenuated Lung Function Decline: Modification by Obesity in the SALPADIA Cohort. Journal of Enviromental Health Perspectif. 121(9):1034-1039.


(6)

Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia; dari Sel ke Sistem. Edisi ke-2. Jakarta: EGC.

Somantri, I. 2008. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika. Spriggs, B. 2014. A Look at COPD: Barrel Chest, Blue Lips & More. Diakses 4

Desember 2015. http://www.healthline.com/health-slideshow/a-look-at-copd.

Sumantri A. 2011. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Wheeler, B., & Ben-Shlomo, Y. 2005. Enviromental Equity, Air Quality, Socioeconomic status, and respiratory health: A Linkage Analysis of Routine Data from The Health Survey for England. Journal Epidemial Community Health.59:948-954.


Dokumen yang terkait

PERBANDINGAN NILAI KAPASITAS VITAL PARU, FORCED EXPIRED VOLUME IN ONE SECOND DAN MEAN ARTERIAL BLOOD PRESSURE PADA ATLET BASKET DAN ATLET LARI SPRIN

5 56 79

SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA NILAI FORCED EXPIRATORY VOLUME IN ONE Hubungan Antara Nilai Forced Expiratory Volume In One Second (Fev1) Dengan Kejadian Barrel Chest Pada Penderita Gangguan Paru Obstruksi Di Rumah Sakit Paru Dr. Ario Wirawan Salatiga.

0 2 18

PENDAHULUAN Hubungan Antara Nilai Forced Expiratory Volume In One Second (Fev1) Dengan Kejadian Barrel Chest Pada Penderita Gangguan Paru Obstruksi Di Rumah Sakit Paru Dr. Ario Wirawan Salatiga.

0 3 5

PENGARUH PURSED LIPS BREATHING (PLB) TERHADAP NILAI Pengaruh Pursed Lips Breathing (PLB) Terhadap Nilai Forced Expiratory Volume In One Second (FEV1) Pada Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis Di Rs Paru Dr Ario Wirawan Salatiga.

0 2 15

PENDAHULUAN Pengaruh Pursed Lips Breathing (PLB) Terhadap Nilai Forced Expiratory Volume In One Second (FEV1) Pada Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis Di Rs Paru Dr Ario Wirawan Salatiga.

0 3 4

PENGARUH PURSED LIPS BREATHING (PLB) TERHADAP NILAI Pengaruh Pursed Lips Breathing (PLB) Terhadap Nilai Forced Expiratory Volume In One Second (FEV1) Pada Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis Di Rs Paru Dr Ario Wirawan Salatiga.

0 4 15

HUBUNGAN ANTARA LAMA KERJA DENGAN FORCE Hubungan Antara Lama Kerja Dengan Force Expiratory Volume In One Second Pada Operator Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).

0 3 16

HUBUNGAN ANTARA LAMA KERJA DENGAN FORCE EXPIRATORY Hubungan Antara Lama Kerja Dengan Force Expiratory Volume In One Second Pada Operator Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).

0 3 13

PENGARUH AUTOGENIC TRAINING DENGAN PURSED LIPS BREATHING TERHADAP KECEMASAN DAN FORCED EXPIRATORY VOLUME IN 1 SECOND (FEV1) PASIEN PPOK Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 6

PENGARUH KOMBINASI HOME BASED WALKING EXERCISE DAN PURSED LIPS BREATHING TERHADAP FORCED EXPIRATORY VOLUME IN ONE SECOND (FEV1) DAN DYSPNEA PASIEN PPOK Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 167