Induksi Umbi Mikro Kentang (Solanum tuberosum L.) secara In Vitro pada Suhu Medium dengan Beberapa Konsentrasi Gula.

INDUKSI UMBI MIKRO KENTANG (Solanum tuberosum L.)
SECARA IN VITRO PADA SUHU MEDIUM DENGAN
BEBERAPA KONSENTRASI GULA

DEWI CITRA SARI

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Induksi Umbi Mikro
Kentang (Solanum tuberosum L.) secara In Vitro pada Suhu Medium dengan
Beberapa Konsentrasi Gula adalah benar karya saya dengan arahan dari
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Dewi Citra Sari
NIM A24090004

ABSTRAK
DEWI CITRA SARI. Induksi Umbi Mikro Kentang (Solanum tuberosum L.)
secara In Vitro pada Suhu Medium dengan Beberapa Konsentrasi Gula.
Dibimbing oleh DINY DINARTI dan AGUS PURWITO.
Hambatan pengembangan kentang (Solanum tuberosum L) di Indonesia
adalah karakteristik tanaman kentang yang spesifik pada suhu rendah sehingga
diperlukan adaptasi kentang pada suhu medium. Penelitian ini bertujuan
mempelajari pengaruh peningkatan suhu dan konsentrasi gula terhadap produksi
umbi mikro kentang in vitro pada kultivar Granola, DTO 28, dan CIP 801040.
Induksi umbi mikro kentang secara in vitro dilakukan pada suhu rendah (18–23
0
C) dan suhu medium (28-31 0C) dengan tiga konsentrasi gula (90, 105, dan 120 g
l-1) menggunakan rancangan acak lengkap. Perlakuan suhu medium pada suhu 28–
31 0C masih mampu merangsang pembentukan umbi mikro meskipun dengan

jumlah, berat, dan persentase bahan kering umbi yang lebih rendah, tetapi dengan
tebal kulit dan kandungan senyawa fenol yang lebih tinggi. Perbedaan konsentrasi
gula tidak berpengaruh nyata terhadap produksi umbi mikro kentang baik pada
suhu rendah maupun suhu medium. Interaksi antara peningkatan suhu dan
konsentrasi gula berpengaruh nyata terhadap peningkatan jumlah tunas Granola
dan peningkatan jumlah stolon, akar, serta umbi CIP 801040 pada suhu medium.
Kata kunci: gula, in vitro, Solanum tuberosum L., suhu medium, umbi mikro
ABSTRACT
DEWI CITRA SARI. In Vitro Microtuberization of Potato (Solanum tuberosum
L.) at medium temperature with Some Concentration of Sugar. Supervised by
DINY DINARTI dan AGUS PURWITO.
The barrier of potato development in Indonesia was the characteristics of
potato that specific at low temperature. Therefore, it was important to adaptate
potatoes on medium temperature. This research were aimed to study the effect of
temperature increasing and sugar concentration on in vitro microtuberization of
potato. Potato microtuber of Granola, DTO 28, and CIP 801040 was inducted at
low (18–23 0C) and medium temperature (28–31 0C) with three sugar
concentrations (90, 105, and 120 g l-1) which used completely randomized design.
Medium temperature (28–31 0C) still able to stimulate the formation of
microtubers despite the number, fresh weight and tuber dry matter percentage

were lower and also had a thick skin and higher phenolic compound. Differences
of sugar concentrations did not significantly affect the production of potato
microtubers at low temperature and medium temperature. Interaction between
increasing of temperature and sugar concentration affected induction of Granola’s
buds and the number of CIP 801040’s stolons, roots, and tubers at medium
temperature.
Key words: in vitro, medium temperature, microtuber, Solanum tuberosum L.,
sugar

INDUKSI UMBI MIKRO KENTANG (Solanum tuberosum L.)
SECARA IN VITRO PADA SUHU MEDIUM.DENGAN
BEBERAPA KONSENTRASI GULA

DEWI CITRA SARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura


DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Induksi Umbi Mikro Kentang (Solanum tuberosum L.) secara In
Vitro pada Suhu Medium dengan Beberapa Konsentrasi Gula.
Nama
NIM

: Dewi Citra Sari
: A24090004

Disetujui oleh

Dr Ir Diny Dinarti, MSi
Pembimbing I


Dr Ir Agus Purwito, MScAgr
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Agus Purwito, MScAgr
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini ialah Induksi
Umbi Mikro Kentang (Solanum tuberosum L) Secara In Vitro pada Suhu Medium
dengan Beberapa Konsentrasi Gula. Penelitian ini merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Agronomi dan
Hortikultura Fakultas Pertanian IPB. Selain itu, penelitian ini merupakan salah
satu langkah awal dalam upaya pengembangan genotipe kentang yang adaptif
pada suhu medium. Dengan diketahuinya klon kentang yang adaptif pada suhu
medium tersebut diharapkan produksi kentang dapat ditingkatkan hingga ke

dataran menengah.
Ungkapan terima kasih disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya selama penulis menempuh
pendidikan dan menyelesaikan studi. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir
Diny Dinarti, MSi dan Dr Ir Agus Purwito, MScAgr sebagai pembimbing atas
segala pengarahan dan bimbingan dalam perencanaan, pelaksanaan, penulisan
skripsi hingga pendanaan melalui dana hibah penelitian dari PKHT. Terima kasih
penulis ucapkan kepada Dr Willy Bayuardi, MSi sebagai dosen penguji atas
koreksi dalam penulisan skripsi ini. Di samping itu, terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Ibu Siti Kholifah dari Laboratorium Kultur Jaringan 3, Bapak
Joko dari Laboratorium Mikroteknik dan juga rekan mahasiswa baik S1 dan S2
yang sedang melaksanakan penelitian di laboratorium tersebut yang telah
membantu memberikan informasi selama pelaksanaan penelitian ini.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman di Departemen
Agronomi dan Hortikultura 46 (SOCRATES 46), sahabat lorong 4B Asrama TPB
terutama kamar 416, Keluarga Etos Bogor terutama etoser 46 (17 Pearls), Sahabat
Kemdik BEM KM IPB Bersahabat dan BEM KM IPB Berkarya, pejuang
pendidikan di IPB Mengajar 2012-2013, Keluarga PMTM, pejuang di Komunitas
Sobat Bumi Bogor dan teman-teman di Wisma SQ yang selalu memberi semangat
dan inspirasi dalam segala hal.

Semoga hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan informasi dalam
pengembangan genotipe kentang unggul selanjutnya.

Bogor, Juli 2013
Dewi Citra Sari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN


1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

3

Botani Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.)


3

Induksi Umbi Mikro Kentang secara In Vitro

3

Peran Zat Pengatur Tumbuh dalam Pengumbian Kentang

4

Klon dan Kultivar Kentang

5

METODE

6

Bahan


6

Alat

6

Pelaksanaan

6

Prosedur Analisis Data

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Vigor Tanaman Kentang In Vitro
Produksi Umbi Mikro Kentang In Vitro
KESIMPULAN DAN SARAN


9
9
15
20

Kesimpulan

20

Saran

20

DAFTAR PUSTAKA

21

LAMPIRAN

23

RIWAYAT HIDUP

25

DAFTAR TABEL
1 Rata-rata jumlah tunas per eksplan pada perlakuan suhu rendah dan
suhu medium
2 Rata-rata jumlah tunas per eksplan pada perlakuan konsentrasi gula 90,
105, dan 120 g l-1
3 Rata-rata jumlah buku per eksplan pada perlakuan suhu rendah dan
suhu medium
4 Rata-rata jumlah stolon per eksplan pada perlakuan suhu rendah dan
suhu medium
5 Rata-rata jumlah stolon CIP 801040 9 MST pada perlakuan konsentrasi
gula 90, 105, dan 120 g l-1
6 Jumlah stolon CIP 801040 selama masa pengumbian sebagai respon
interaksi antara peningkatan suhu dan konsentrasi gula
7 Rata-rata jumlah akar per eksplan pada perlakuan suhu rendah dan suhu
medium
8 Rata-rata tinggi tanaman (cm) pada 4 dan 12 MST pada dua perlakuan
suhu ruang.
9 Hasil analisis sidik ragam tinggi tanaman pada 12 MST
10 Rata-rata jumlah umbi normal kentang pada perlakuan suhu rendah dan
suhu medium pada 12 MST
11 Rata-rata jumlah umbi tumbuh tunas pada 12 MST
12 Rata-rata bobot basah umbi per eksplan pada perlakuan suhu rendah
dan suhu medium.
13 Rata-rata panjang (cm) dan diameter(cm) umbi mikro pada dua
perlakuan suhu
14 Ketebalan periderm umbi mikro Granola pada perlakuan suhu rendah
dan medium

10
10
11
12
12
13
13
14
15
15
16
17
18
19

DAFTAR GAMBAR
1 Lay out penelitian
2 Perbedaan vigor tanaman kentang Granola, DTO 28, dan CIP 801040 in
vitro pada umur 3 MST.
3 Interaksi antara peningkatan suhu dan konsentrasi gula terhadap jumlah
tunas per eksplan pada kultivar Granola 12 MST
4 (a) Kematian jaringan yang menyebabkan penurunan jumlah tunas, (b)
umbi normal, dan (c) umbi yang kembali berkembang menjadi tunas
5 Interaksi antara peningkatan suhu dan konsentrasi gula terhadap jumlah
akar per eksplan pada klon CIP 801040 12 MST
6 Pengaruh interaksi peningkatan suhu dan konsentrasi gula terhadap
jumlah umbi normasl CIP 801040
7 Perbandingan persentase bobot kering umbi per eksplan (%) kentang
Granola, DTO 28, dan CIP 801040
8 Hasil analisis korelasi ukuran umbi dengan bobot umbi (setiap titik
merupakan nilai setiap satuan percobaan pada semua genotipe). (a)
panjang umbi dan jumlah umbi tidak berkorelasi nyata ( r = 0.174 tn).
(b) diameter umbi dan jumlah umbi memiliki korelasi nyata tetapi
dengan nilai yang kecil ( r = 0.313**).
9 Lapisan berwarna coklat pada periderm umbi Granola yang diduga
diakibatkan peningkatan fenol pada suhu medium.

7
9
10
11
14
16
17

18
19

DAFTAR LAMPIRAN
1 Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi gula pada
6, 9, dan 12 MST.
2 Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam interaksi peningkatan suhu
dengan peningkatan konsentrasi gula pada 6, 9, dan 12 MST.
3 Hasil analisis korelasi antara jumlah buku, jumlah stolon, dan tinggi
tanaman pada kentang Granola, DTO 28, dan CIP 801040 pada
perlakuan suhu rendah dan medium
4 Perbedaan anatomi umbi kentang Granola pada suhu rendah dan
medium setelah dipanen umur 12 MST dengan perbesaran 40x.

23
23

23
24

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman Kentang (Solanum tuberosum) merupakan salah satu tanaman
pangan. Umbi kentang memiliki kandungan vitamin terutama B1 dan C,
karbohidrat yang tinggi (347 kalori dalam 100 gram kentang), serta kadar protein
yang rendah (0.3 gram dalam 100 gram kentang) (Samadi 2007). Kentang juga
memiliki kandungan senyawa alkaloid yaitu solanin yang berbahaya apabila
dikonsumsi (Phillips dan Rix 1993). Keracunan senyawa glikoalkaloid termasuk
solanin dengan konsentrasi rendah dapat menyebabkan gangguan gastrointestinal
berupa diare, muntah-muntah dan nyeri perut, sedangkan pada konsentrasi tinggi
dapat menyebabkan demam, penurunan tekanan darah, dan kerusakan syaraf
(Friedman dan Levin 2009).
Permintaan kentang saat ini cukup tinggi, sedangkan produksi kentang
cenderung menurun tiap tahun. Pada tahun 2009 produksi kentang di Indonesia
masih mencapai sekitar 1.18 juta ton, sedangkan pada tahun 2011 hanya mencapai
sekitar 0.96 juta ton (BPS 2013). Untuk mencukupi kesenjangan antara
permintaan dan produksi kentang pemerintah mengimpor kentang hingga 100 217
ton pada tahun 2012 (Ditjen Hortikultura 2013). Peningkatan produksi kentang di
Indonesia terkendala oleh syarat tumbuh kentang yang membutuhkan suhu
lingkungan yaitu antara 15–20 0C yang hanya dapat dipenuhi pada ketinggian
diatas 1500 mdpl (Flach dan Rumawas 1996). Menurut Parry et al. (2007), ratarata kenaikan suhu permukaan bumi secara global meningkat 0.6 oC sejak 1850.
Kenaikan suhu akibat pemanasan global dapat berdampak pada budidaya dan
produksi tanaman yang hanya dapat tumbuh pada suhu tertentu termasuk kentang.
Menurut Las (2007), pemanasan global menimbulkan berbagai dampak negatif,
salah satunya pada bidang pertanian, terjadinya perubahan iklim, dan cuaca yang
semakin ekstrim.
Menurut Acquaah (2007), suhu optimum untuk pembentukan umbi adalah
18 0C. Pada suhu yang tinggi pada malam hari, pertumbuhan lebih banyak pada
bagian tajuk. Tanaman akan lebih banyak menghasilkan daun baru, cabang, dan
bunga. Stolon berkembang menjadi batang dan jumlah umbi yang terbentuk
berkurang. Suhu yang tinggi juga menyebabkan peningkatan kadar giberelin yang
mengakibatkan terhambatnya pembentukan umbi. Suhu tinggi dapat menghambat
perkembangan umbi karena laju respirasi yang tinggi menyebabkan jumlah
karbohidrat yang tersedia berkurang (Fernie dan Willmitzer 2001). Suhu
lingkungan yang lebih tinggi juga dapat berpengaruh pada morfologi umbi. Pada
suhu tinggi, lapisan periderm pada kentang akan semakin tebal dan kasar sehingga
menurunkan kualitas umbi (Ginzberg et al. 2009).
Dalam upaya peningkatan produksi kentang, seleksi tanaman kentang pada
suhu medium menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan
kenaikan suhu pada daerah-daerah sentra produksi kentang. Kultivar atau klon
adaptif tersebut diharapkan dapat tumbuh dengan baik pada dataran medium
sehingga produksi kentang dapat ditingkatkan. Klon kentang yang berpotensi
untuk dikembangkan di lingkungan dengan suhu medium adalah klon DTO 28
dan CIP 801040. Klon DTO 28 merupakan hasil silangan dari International
Potato Center (CIP) yang berasal dari Peru. Persilangan ini menghasilkan sifat-

2
sifat seperti produksi tinggi, kandungan berat kering rendah, tahan penyakit layu
bakteri, dan peka terhadap penyakit hawar daun serta tahan terhadap suhu tinggi
(Rustianingsih 2000; Delfiani 2003). Klon CIP 801040 merupakan salah satu klon
hasil introduksi dari International Potato Center (CIP) (Delfiani 2003).
Pemanfaatan seleksi sifat tertentu pada kultur in vitro memiliki peluang
untuk mendapatkan kultivar atau klon kentang adaptif pada suhu medium dengan
waktu, tenaga, biaya, dan bahan tanam yang lebih sedikit. Menurut Gopal (2001),
pengujian pengumbian kentang in vivo dan in vitro memiliki korelasi positif
nyata. Sehingga sebagai langkah awal, induksi umbi mikro secara in vitro pada
suhu medium diharapkan dapat memberikan informasi tentang potensi budidaya
tanaman kentang pada suhu medium sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan
pelaksanaan penelitian pengembangan kentang pada suhu medium di lapangan.
Dalam kegiatan induksi umbi mikro secara in vitro dibutuhkan gula dalam
media dengan konsentrasi tinggi. Karjadi et al (2007) menyatakan bahwa
kombinasi penambahan sumber gula dapat meningkatkan kualitas umbi mikro
kentang. Wattimena et al. (2001) dan Gopal et al.( 2004) menyatakan bahwa
produksi umbi mikro secara in vitro baik secara kualitas maupun kuantitas tidak
hanya dipengaruhi oleh suhu tetapi juga dipengaruhi oleh komposisi media
tumbuh serta kualitas dari pertumbuhan planlet yang akan diinduksi umbi mikro.
Oleh karena itu, pengujian pengumbian in vitro ini juga disertai dengan uji respon
pemberian konsentrasi gula yang berbeda pada media pengumbian cair.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh peningkatan suhu dan
konsentrasi gula terhadap produksi umbi mikro kentang in vitro pada kultivar
Granola, klon DTO 28, dan klon CIP 801040.
Manfaat Penelitian
Pada penelitian terhadap induksi umbi mikro kentang secara in vitro pada
suhu medium dengan beberapa konsentrasi gula dalam media pengumbian ini
akan dihasilkan beberapa informasi tentang potensi produksi umbi secara in vitro.
Hasil tersebut diharapkan menjadi gambaran potensi produksi umbi kentang di
lapangan sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan pelaksanaan penelitian
pengembangan kentang pada suhu medium di lapangan.

3
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.)
Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman setahun yang
berbentuk semak. Dalam sistem taksonomi, kentang termasuk dalam Kingdom
Plantae, Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas Dicotyledonae,
Ordo Solanales, Famili Solanaceae, Genus Solanum dan Spesies Solanum
tuberosum (Rubatzky dan Yamaguchi 1998).
Menurut Tindall (1986), tanaman kentang memiliki batang yang tumbuh di
bawah tanah (underground). Batang yang tumbuh di bawah tanah ini terdiri dari
stolon yang dapat berkembang menjadi umbi. Daun kentang berupa daun
majemuk dengan anak daun yang tersusun pada tangkai daun utama. Susunan
daun primer terdiri dari 3–4 pasang anak daun dan diakhiri dengan daun tunggal
pada ujung tangkai. Bunga kentang berwarna putih, kuning, biru, atau ungu
dengan ukuran mahkota 3.5–4 cm. Pada daerah yang beriklim tropis jarang
dijumpai tanaman kentang yang dapat berbunga.
Umbi kentang mengandung 20–25 % bahan kering dengan kandungan 65–
80 % tepung. Warna daging umbi biasanya kuning muda atau putih, tetapi ada
juga kultivar yang berwarna kuning cerah, jingga, merah, atau ungu (Rubatzky
dan Yamaguchi 1998). Umbi kentang memiliki kandungan vitamin terutama B1
dan C, karbohidrat yang tinggi sebesar 18.5 gram dalam 100 gram kentang atau
setara dengan 347 kalori, serta kadar protein yang rendah sekitar 0.3 gram dalam
100 gram kentang (Samadi 2007). Kentang juga mengandung niasin 1.5 mg,
tiamin 0.1 mg, riboflavin 0.04 mg, asam askorbat 20 mg, kalsium 9 g, fosfor 50
mg, kalium 410 mg, dan Fe 0.8 mg (Flach dan Rumawas 1996).
Spesies ini berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan tepatnya di
daerah pegunungan Andes (Flach dan Rumawas 1996; Rubatzky dan Yamaguchi
1998). Pada awal penyebaran, budidaya kentang di Asia Tenggara dilakukan pada
ketinggian di atas 1500 mdpl (Flach dan Rumawas 1996). Di Indonesia, tanaman
kentang dapat tumbuh pada ketinggian 900-2000 mdpl (Wattimena 1995).
Tanaman kentang memerlukan curah hujan 500-700 mm selama masa
pertumbuhannya 3–4.5 bulan. Namun demikian, kentang termasuk tanaman yang
tidak tahan terhadap genangan sehingga drainase yang baik sangat diperlukan.
Tingkat keasaman tanah optimal adalah antara 4.8-7.0, pH diatas 7.0
menyebabkan umbi kentang rawan terhadap penyakit scab (Flach dan Rumawas
1996).
Induksi Umbi Mikro Kentang secara In Vitro
Saat ini perbanyakan dan pelestarian tanaman banyak dilakukan secara in
vitro. Metode ini selain dapat dilakukan dengan bahan tanam yang sedikit, juga
dapat menghasilkan tanaman yang bebas penyakit. Pada kentang, penyimpanan
plasma nutfah kentang dan penyediaan bibit kentang bebas virus dilakukan bukan
dengan kultur tunas melainkan dengan umbi mikro (Widyastuti 2000). Produksi
umbi mikro didahului dengan produksi tunas mikro selama 4 minggu kemudian
dilanjutkan dengan induksi umbi mikro selama 8 minggu.
Umbi mikro diinduksi dari tunas mikro kentang dengan menggunakan
media yang mempunyai kadar gula yang tinggi (sukrosa 80 g l-1) dan zat pengatur

4
tumbuh (Karjadi dan Bukhory 2007). Dalam induksi umbi mikro secara in vitro,
Gopal et al. (2004) menyatakan bahwa produksi umbi mikro secara in vitro baik
secara kualitas maupun kuantitas dipengaruhi oleh suhu, komposisi media tumbuh
serta kualitas dari pertumbuhan planlet yang akan diinduksi umbi mikro.
Konsentrasi gula yang tinggi dapat merangsang terbentuknya umbi (Gibson
2005), meningkatkan jumlah umbi, dan mempertahankan ukuran umbi meskipun
lingkungan dalam keadaan suboptimum (Dobranszki et al. 2008).
Zat Pengatur tumbuh yang digunakan dalam induksi umbi adalah sitokinin
(Widyastuti 2000). Menurut Anjum dan Villiers (1997), penambahan sitokinin
yaitu BAP pada media pengumbian dapat meningkatkan produksi dan rata-rata
bobot umbi. Dalam induksi umbi mikro juga diperlukan zat penghambat
pertumbuhan antara lain paclobutrazol atau chloroethyl-trimethylammonium
chloride (CCC).
Peran Zat Pengatur Tumbuh dalam Pengumbian Kentang
Inisiasi dan perkembangan umbi kentang terjadi karena perubahan
morfologi dan biokimia yang terjadi pada tanaman. Dalam proses pembentukan
umbi, pertumbuhan panjang stolon berhenti dan berkembang secara radial, terjadi
akumulasi pati yang diiringi dengan pembentukan patatin yang merupakan
senyawa glikoprotein yang ditemukan pada kentang, serta terjadi penurunan
pembelahan sel (Arteca 1996).
Pembentukan umbi kentang dipengaruhi oleh ketersediaan zat hara,
lingkungan, bibit, genetik, luas daun, translokasi asimilat, dan zat pengatur
tumbuh (Dobranszki et al. 2008). Peran zat pengatur tumbuh cukup besar dalam
pembentukan umbi secara in vitro. Zat pengatur tumbuh yang berperan dalam
pembentukan umbi antara lain giberelin, sitokinin, dan inhibitor seperti abscisic
acid (ABA) (Arteca 1996).
Giberelin ditemukan dalam filtrat Gibberela fujikuroi oleh Yabuta pada
tahun 1935 dengan nama giberelin A. Zat ini diketahui dapat memacu
pertumbuhan tinggi tanaman padi ketika diaplikasikan pada benih padi. Giberelin
berperan dalam pemanjangan ruas tanaman dan pertambahan tinggi tanaman yang
disebabkan oleh bertambah besar dan jumlah sel-sel pada ruas tersebut
(Wattimena 1980). Selama inisiasi umbi kentang, giberelin harus tersedia dengan
jumlah yang rendah (Dobranszki et al. 2008). Suhu yang tinggi dapat
menyebabkan peningkatan kadar giberelin (Fernie dan Willmitzer 2001).
Peningkatan giberelin endogen pada tanaman kentang pada suhu tinggi memacu
inisiasi stolon, dan perpanjangan stolon, tetapi menunda pembentukan umbi
(Vayda 1994). Aktivitas giberelin baik pada tanaman in vitro maupun in vivo
dapat ditekan dengan menggunakan retardan seperti paclobutrazol atau 2chloroethyl-trimethylammonium chloride (CCC). Retardan juga berperan untuk
menghambat pertumbuhan sehingga translokasi asimilat terkonsentrasi untuk
pembentukan umbi (Arteca 1996).
Sitokinin merupakan suatu senyawa yang mampu memacu pembelahan sel.
Sitokinin alami banyak ditemukan pada air kelapa atau filtrat dari jaringan
pembuluh. Pada awalnya senyawa yang ditemukan adalah kinetin yaitu sitokinin
endogen yang ada pada filtrat jaringan pembuluh tembakau. Selain itu, ditemukan
pula zeatin yang diekstrak dari jagung yang memiliki kemampuan yang sama

5
dalam proliferasi sel. Secara khusus, sitokinin berperan dalam pembelahan sel,
perkecambahan dan pendewasaan organ, inisiasi dan pertumbuhan akar,
perkembangan tunas dan tajuk, menunda senescen dan memacu translokasi nutrisi
dan pembentukan sugar sink (Arteca 1996). Hal yang sama juga disampaikan oleh
Aslam dan Iqbal (2010) bahwa sitokinin mampu mempercepat pembentukan umbi
dan stolon serta menstimulasi enzim metabolism pati. Dobranszki et al. (2008)
juga menyatakan bahwa sitokinin dapat menghambat pemanjangan stolon dan
meningkatkan pembentukan umbi.
Asam absisat (ABA) diisolasi dari buah kapas matang dan diketahui dapat
menstimulasi terjadinya absisi pada petiol kapas. Secara khusus, ABA berperan
dalampenutupan stomata, pengguguran daun sebagai bentuk pertahanan terhadap
stress kekeringan dan salinitas, dormansi, absisi, perkecambahan, dan
pertumbuhan (Arteca 1996).
Klon dan Kultivar Kentang
Klon adalah nomor-nomor seleksi kentang yang diperbanyak secara
vegetative serta masih dalam taraf pengujian dan belum dilepaskan, sedangkan
kultivar adalah klon yang sudah dilepaskan dan diterima secara komersial (Chahal
dan Gosal 2006).
Kultivar Granola dirakit pada tahun 1975 di Jerman. Granola memiliki
ketahanan terhadap serangan virus namun agak peka terhadap layu bakteri
(Rukmana 1997). Granola mempunyai daging umbi berwarna kuning, mata umbi
dangkal, dan bentuk umbi bulat. Kentang varietas granola memiliki kandungan
gula reduksi tinggi dan persentase berat kering rendah (16-17 %) sehingga tidak
sesuai dengan kriteria kentang sebagai bahan baku industry (Sugiarto 2001).
Kultivar DTO 28 merupakan hasil silangan dari International Potato Center
(CIP) yang berasal dari Peru. Persilangan ini menghasilkan sifat-sifat seperti
produksi tinggi, kandungan berat kering rendah, tahan penyakit layu bakteri, dan
peka terhadap penyakit hawar daun serta tahan terhadap suhu tinggi
(Rustianingsih 2000; Delfiani 2003).
Klon-klon CIP merupakan klon hasil introduksi dari International Potato
Center (CIP) (Delfiani 2003). Pada tahun 2011, evaluasi 30 klon kentang unggul
dari CIP telah dilakukan dan hasil dari evaluasi tersebut menunjukkan bahwa
lebih dari 50% klon yang dicoba memberikan umbi yang lebih tinggi dari varietas
granola sebagai varietas pembanding untuk kentang konsumsi dan varietas
atlantik sebagai varietas pembanding untuk kentang olahan (Gunadi et al. 2012).

6
METODE
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan 3 Departemen
Agronomi dan Hortikultura dan Laboratorium Mikroteknik, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2012 hingga
April 2013.
Bahan
Bahan tanaman yang digunakan adalah planlet kentang dengan varietas
Granola, DTO 28, dan CIP 801040, sedangkan bahan media terdiri dari media
MS0 untuk perbanyakan tunas dan media pengumbian. Media pengumbian yang
digunakan berupa media padat-cair dengan penambahan sukrosa sesuai perlakuan
(90, 105, dan 120 g l-1), paclobutrazol 10 ppm, air kelapa 15%, dan BAP 5 ppm.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain berupa botol kultur, rak
kultur yag dilengkapi dengan lampu fluorescence, pengatur suhu, labu takar, gelas
piala, gelas ukur, erlenmeyer, cawan petri, pipet, autoclave, pemanas air,
pengaduk, karet gelang, plastik, pinset, gunting, stirrer, kertas pH, neraca analitik,
dan laminar air flow cabinet.
Pelaksanaan
Percobaan ini dilakukan pada kultivar Granola, klon CIP 801040, dan klon
DTO 28. Penggunaan kultivar dan klon yang berbeda dilakukan hanya untuk
mengetahui perbedaan potensi hasil setiap kultivar atau klon yang diuji.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
faktorial dengan 2 faktor yaitu suhu ruang dan konsentrasi gula media
pengumbian. Perlakuan suhu terdiri 2 taraf yaitu pada suhu rendah (18-23 0C) dan
suhu medium (28-31 0C). Kombinasi konsentrasi gula terdiri dari 3 taraf, yaitu
pada konsentrasi 90, 105, dan 120 g l-1. Pengulangan dilakukan tiga kali pada
perlakuan konsentrasi gula. Kombinasi dari faktor tersebut menghasilkan 18
satuan percobaan untuk masing-masing kultivar atau klon. Setiap satuan
percobaan terdiri dari 5 botol (4 stek per botol). Model matematika yang
digunakan dalam penelitian ini adalah:
Yijk = µ + αi + βj + αβij + є ijk
Keterangan :
Yijk
= nilai pengamatan pada perlakuan suhu ke-i, perlakuan konsentrasi gula
ke-j, dan ulangan ke-k.
μ
= nilai rataan umum
αi
= pengaruh perlakuan suhu ke-i
βj
= pengaruh perlakuan konsentrasi gula ke-j
αβij
= interaksi antara perlakuan suhu ke-i dan perlakuan konsentrasi gula ke-j
ε ijk
= pengaruh galat karena ulangan ke-k, perlakuan suhu ke-i dan perlakuan
konsentrasi gula ke-j.

7
Perlakuan suhu rendah dilakukan pada rak kultur pada ruang kultur dengan
penerangan dari 2 buah lampu fluorescence selama masa induksi tunas dan rak
kultur tertutup tanpa cahaya yang suhunya dijaga stabil antara 18-23 0C.
Perlakuan suhu medium dilakukan pada rak kultur yang ditutup styrofoam dengan
penambahan 4 buah lampu pijar selama masa induksi tunas dan rak tertutup tanpa
cahaya dengan suhu ruangan yang dijaga stabil antara 28-31 0C selama masa
pengumbian. Semua kondisi pada perlakuan suhu rendah dan suhu medium
seragam sehingga respon perlakuan suhu dapat dipertanggungjawabkan meskipun
tidak dilakukan pengulangan pada faktor suhu akibat keterbatasan alat. Lay out
penelitian ditunjukkan pada Gambar 1 dengan S1, S2, dan S3 adalah perlakuan
gula 90, 105, dan 120 g l-1, sedangkan U adalah ulangan.
Suhu rendah

Suhu medium

U2

U3

U1

U3

U1

U2

U3

U1

U3

U2

U2

U1

U1

U2

U2

U1

U3

U3

S1

S2

S3
S3
S1
S2
Gambar 1 Lay out penelitian
Percobaan dimulai dengan melakukan perbanyakan tunas kentang pada
media MS0 selama 4 minggu dengan stek in vitro 1 buku. Media pengumbian cair
(MS0 + 5 ppm BAP + 10 ppm paclobutrazol + 15% air kelapa + gula sesuai
perlakuan) ditambahkan pada akhir minggu ke 4 setelah tanam. Pada saat induksi
umbi mikro, kultur ditempatkan di inkubator tanpa cahaya dengan suhu sesuai
perlakuan selama 8 minggu.
Pengamatan dilakukan meliputi beberapa variabel sebagai berikut:
1. Jumlah tunas tiap eksplan yang diamati setiap minggu.
2. Jumlah buku tiap eksplan yang diamati setiap minggu.
3. Jumlah akar tiap eksplan yang diamati setiap minggu.
4. Jumlah stolon tiap eksplan yang diamati setiap minggu.
Stolon merupakan bagian tanaman yang mirip akar, tidak memiliki
cabang sekunder dan berpotensi menghasilkan umbi. Stolon tidak memiliki
cabang sekunder.
5. Tinggi tanaman
Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang hingga ujung daun termuda
dan hanya dilakukan pada 4 MST dan di akhir pengamatan.
6. Jumlah umbi tiap eksplan yang diamati setiap minggu.
Jumlah umbi tiap eksplan ditentukan dengan menghitung rata-rata
jumlah umbi dalam satu botol yang dibedakan menjadi rata-rata umbi normal
dan rata-rata umbi tumbuh kembali menjadi tunas (abnormal).
7. Ukuran umbi.
Pengamatan ukuran umbi basah dilakukan dengan mengukur panjang
dan diameter umbi.

8
8. Bobot basah umbi.
Bobot basah umbi yaitu bobot umbi dalam kondisi segar dan telah
dibersihkan dari media agar dan dipisahkan dari batang. Persentase bahan
kering umbi
9. Persentase bobot kering umbi.
Penghitungan persentase bahan kering umbi hanya dilakukan pada 5
umbi sampel pada tiap perlakuan. Bobot kering umbi yaitu bobot umbi basah
yang telah dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 60 0C hingga bobot
konstan. Persentase bahan kering ubi dihitung dengan menggunakan rumus.
Bobot Kering Umbi
=
×100%
Bobot Basah Umbi
10. Periderm umbi.
Pengamatan periderm umbi dilakukan dengan melihat preparat umbi
basah dibawah mikroskop dan diukur ketebalannya.
Prosedur Analisis Data
Data kuantitatif yang dihasilkan kemudian dianalisis dengan uji F dengan
taraf 5 %. Jika terdapat perlakuan yang berpengaruh nyata, akan dilakukan uji
lanjut menggunakan Duncan Multiple Range Test pada taraf 5 %. Korelasi antar
karakter dilakukan menggunakan uji korelasi Pearson.

9
HASIL DAN PEMBAHASAN
Vigor Tanaman Kentang In Vitro
Pengujian terhadap vigor tanaman dilakukan melalui pengamatan terhadap
jumlah tunas, jumlah buku, jumlah akar, jumlah stolon, tinggi tanaman, ukuran
daun dan warna daun pada empat genotype kentang yang digunakan yaitu Granola,
DTO 28, dan CIP 801040. Pada penelitian ini, produksi umbi mikro didahului
dengan induksi tunas mikro selama empat minggu. Media pengumbian cair
ditambahkan setelah planlet berumur empat minggu sehingga pengaruh perbedaan
perlakuan konsentrasi gula baru terlihat mulai dari minggu kelima setelah tanam.
Perbedaan vigor tanaman akibat perlakuan suhu terlihat secara visual sejak
tanaman masih dalam fase induksi tunas. Granola in vitro pada suhu medium
tampak lebih kekar, berdaun lebih lebar, tetapi pertumbuhannya lambat,
sedangkan DTO 28 dan CIP 801040 hanya terlihat mempunyai pertumbuhan yang
lambat (Gambar 2).

Granola suhu rendah

DTO 28 suhu rendah

CIP 801040 suhu rendah

Granola suhu medium

DTO 28 suhu medium

CIP 801040 suhu medium

Gambar 2 Perbedaan vigor tanaman kentang Granola, DTO 28, dan CIP 801040
in vitro pada umur 3 MST.
Jumlah Tunas
Secara in vitro, induksi tunas kentang dilakukan pada 4 minggu pertama
pada media MS0 tanpa penambahan zat pengatur tumbuh. Tunas mulai tumbuh
pada 3 hari setelah tanam (HST). Berdasarkan hasil percobaan ini diketahui
bahwa kentang kultivar Granola, DTO 28, dan CIP 801040 masih dapat tumbuh
pada perlakuan suhu hingga 28–31 0C.
Jumlah tunas lebih banyak pada suhu rendah daripada tunas yang tumbuh
pada suhu medium baik pada fase induksi tunas maupun fase pengumbian (Tabel
1). Menurut Fernie dan Willmitzer (2001), laju respirasi tanaman meningkat jika
suhu lingkungan meningkat. Peningkatan laju respirasi diduga menyebabkan

10
peningkatan sumber gula sehingga jumlah gula yang tersedia pada media tidak
cukup untuk menginisiasi pembentukan tunas dengan baik.
Tabel 1 Rata-rata jumlah tunas per eksplan pada perlakuan suhu rendah dan
suhu medium
Granola
DTO 28
CIP 801040
MST
Rendah Medium
Rendah Medium
Rendah Medium
Fase induksi tunasa
2
1.130
1.070
1.000
0.980
0.86
1.01
4
2.18a
1.37b
2.49a
1.69b
1.27
1.06
Fase pengumbiana
6
3.11a
1.53b
3.40a
1.95b
1.36a
1.05b
9
2.56a
1.59b
3.84a
1.88b
1.34a
1.03b
12
2.82a
1.88b
3.98a
1.72b
1.39a
1.00b
a

Angka-angka pada minggu setelah tanam (MST) dan genotipe yang sama yang diikuti oleh
huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)

Penambahan media pengumbian cair dengan konsentrasi gula yang berbeda,
yaitu 90, 105, dan 120 g l-1 hanya menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap pembentukan tunas pada minggu akhir pengumbian Granola (Lampiran
1). Pada 11 dan 12 MST, penambahan media pengumbian cair dengan konsentrasi
gula 105 g l-1 mampu menghasilkan jumlah tunas tertinggi pada kentang yang
diberi perlakuan suhu rendah, sedangkan pada perlakuan suhu medium tidak
terdapat perbedaan pengaruh yang nyata terhadap jumlah tunas (Tabel 2).
Tabel 2 Rata-rata jumlah tunas per eksplan pada perlakuan konsentrasi gula
90, 105, dan 120 g l-1
Konsentrasi gula
(g l-1)
090
105
120

Jumlah tunas (tunas per eksplan)
11 MST
12 MST
1.86b0
1.86b0
2.75a0
2.72a0
2.23ab
2.31a0

a

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Jumlah tunas

Berdasarkan analisis sidik ragam juga diketahui bahwa terdapat interaksi
antara suhu dan konsentrasi gula pada kultivar Granola 12 MST (Lampiran 2).
Pada Gambar 3 terlihat bahwa peningkatan konsentrasi gula hingga 120 g l -1
mampu meningkatkan pembentukan tunas pada suhu medium.
4
3

90 g/l

2

105 g/l

1

120 g/l

0
Suhu rendah

Suhu medium

Gambar 3 Interaksi antara peningkatan suhu dan konsentrasi gula terhadap
jumlah tunas per eksplan pada kultivar Granola 12 MST

11
Selama fase pengumbian terjadi kematian jaringan termasuk pada daun dan
tunas. Kematian jaringan ini menyebabkan jumlah tunas turun. Pada perlakuan
suhu medium juga terdapat umbi yang kembali berkembang menjadi tunas
(Gambar 4). Viola (2000) menyatakan bahwa kenaikan suhu dapat menyebabkan
konsentrasi GA endogen meningkat yang memacu pertumbuhan tajuk dan
menghambat pembentukan umbi. Vayda (1994) juga menyatakan bahwa pada
suhu tinggi terjadi reduksi fotosintat pada umbi untuk pertumbuhan tajuk kembali.

(b)
(c)
(a)

Gambar 4 (a) Kematian jaringan yang menyebabkan penurunan jumlah tunas, (b)
umbi normal, dan (c) umbi yang kembali berkembang menjadi tunas
Jumlah Buku
Berdasarkan analisis sidik ragam yang ditunjukkan pada Tabel 3 diketahui
bahwa semua genotipe memiliki jumlah buku yang lebih tinggi pada perlakuan
suhu rendah dengan tingkat perbedaan yang nyata terhadap jumlah buku pada
suhu medium. Pada minggu awal induksi tunas, jumlah buku pada keempat
genotipe hampir sama pada dua perlakuan suhu, bahkan jumlah buku lebih tinggi
pada suhu medium DTO 28 pada 2 MST. Berdasarkan analisis sidik ragam pada
Lampiran 1 diketahui bahwa perlakuan konsentrasi gula tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap jumlah buku. Pada karakter jumlah buku juga tidak
terdapat interaksi antara perlakuan suhu dan konsentrasi gula pada semua kultivar
dan klon yang diuji (Lampiran 2).
Tabel 3 Rata-rata jumlah buku per eksplan pada perlakuan suhu rendah dan
suhu medium
MST
2
4
6
9
12

Granola
DTO 28
Rendah Medium
Rendah Medium
Fase induksi tunasa
5.38
5.150
4.10b
4.61a
11.34a
8.00b
9.640
8.560
Fase pengumbiana
13.74a 10.23b
12.73a
9.99b
13.490 10.350
16.62a 10.34b
13.360 12.700
14.94a
8.69b

CIP 801040
Rendah Medium
3.520
7.69a

8.800
5.92b

9.68a
9.72a
9.57a

7.06b
7.61b
5.85b

a

Angka-angka pada minggu setelah tanam (MST) dan genotipe yang sama yang diikuti oleh
huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)

Jumlah buku dan jumlah stolon memiliki korelasi positif yang sangat nyata
pada taraf 5% (Lampiran 3). Kondisi lingkungan dengan fotoperiode yang
pendek, gelap, suhu dingin dan rendah nitrogen merupakan kondisi optimum
pengumbian pada kentang. Pada kondisi optimum tersebut, tunas aksilar pada stek

12
akan berkembang menjadi stolon yang berpotensi menjadi umbi sehingga jumlah
buku pada tanaman kentang secara in vitro dapat menggambarkan potensi tumbuh
stolon yang dapat berkembang menjadi umbi (Viola 2000).
Jumlah Stolon
Waktu muncul stolon berbeda pada setiap genotipe. Pada Tabel 4 terlihat
bahwa stolon pada kentang Granola, dan CIP 801040 muncul pada 3 MST,
sedangkan, stolon DTO 28 muncul lebih cepat pada 2 MST. Jumlah stolon DTO
28 dan CIP 801040 lebih tinggi pada suhu rendah dengan perbedaan yang nyata
pada setiap MST. Stolon Granola pada awalnya lebih banyak pada suhu rendah,
tetapi setelah memasuki fase pengumbian pertumbuhan stolon meningkat
sehingga jumlah stolon relatif sama pada perlakuan suhu rendah maupun suhu
medium. Peningkatan giberelin endogen pada tanaman kentang pada suhu tinggi
memacu inisiasi stolon, dan perpanjangan stolon, tetapi menunda pembentukan
umbi (Vayda 1994).
Tabel 4 Rata-rata jumlah stolon per eksplan pada perlakuan suhu rendah dan
suhu medium
MST

Granola
Rendah Medium

2
4

1.64a

6
9
12

2.740
4.380
3.640

DTO 28
Rendah Medium
Fase induksi tunasa
0.030
0.000
0.17b
0.36a
0.00b
a
Fase pengumbian
2.370
1.41a
0.07b
3.670
2.56a
0.77b
4.870
2.51a
0.88b

CIP 801040
Rendah Medium
0.63a

0.01b

2.59a
3.11a
2.71a

0.54b
0.62b
0.57b

a

Angka-angka pada minggu setelah tanam (MST) dan genotipe yang sama yang diikuti oleh
huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)

Perlakuan konsentrasi gula yang berbeda hanya memperlihatkan pengaruh
yang nyata terhadap jumlah stolon pada CIP 801040 9 MST (Lampiran 1). Jumlah
stolon tertinggi ditunjukkan pada kentang CIP 801040 in vitro dengan
penambahan gula 90 g l-1 meskipun tidak terdapat perbedaan yang nyata sehingga
penambahan gula 90 g l-1 diduga merupakan konsentrasi gula yang cukup untuk
induksi stolon (Tabel 5).
Tabel 5 Rata-rata jumlah stolon CIP 801040 9 MST pada perlakuan
konsentrasi gula 90, 105, dan 120 g l-1
Konsentrasi gula (g l-1)
090
105
120

Jumlah stolon (stolon/eksplan)a
3.75a
1.64a
1.22a

a

Angka-angka kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Berdasarkan analisis sidik ragam diketahui bahwa terdapat interaksi antara
peningkatan suhu dengan peningkatan konsentrasi gula selama masa pengumbian
CIP 801040 (Lampiran 2). Pada Tabel 6 ditunjukkan bahwa interaksi antara

13
peningkatan suhu dan konsentrasi gula mampu meningkatkan jumlah tunas yang
terbentuk. Berdasarkan tabel interaksi tersebut juga diketahui bahwa konsentrasi
gula terbaik pada suhu rendah adalah 90 g l-1, sedangkan pada suhu medium
perlakuan gula 120 g l-1 mampu menghasilkan jumlah stolon terbanyak.
Tabel 6 Jumlah stolon CIP 801040 selama masa pengumbian sebagai respon
interaksi antara peningkatan suhu dan konsentrasi gula
Suhu ruang
(0C)
18–23

28–31

Konsentrasi gula
(g l-1)
090
105
120
090
105
120

Jumlah stolon (stolon/eksplan)a
6 MST
9 MST
12 MST
4.94a
6.94a0
6.50a
1.95b
2.32b0
1.55b
1.68b
1.35bc
1.34b
0.10b
0.57c0
0.42b
0.52b
0.63c0
0.68b
1.17b
1.08bc
0.88b

a

Angka-angka kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Jumlah Akar
Setiap genotipe memiliki respon pertumbuhan akar yang berbeda terhadap
perlakuan suhu medium (Tabel 7). Jumlah akar pada Granola lebih tinggi pada
perlakuan suhu medium hingga 6 MST. Sejak umur 7 MST pertumbuhan akar
Granola pada suhu rendah meningkat cepat sehingga jumlah akar menjadi tidak
berbeda nyata, sedangkan pada kentang DTO 28 dan CIP 801040, rata-rata jumlah
akar lebih tinggi pada suhu rendah.
Tabel 7 Rata-rata jumlah akar per eksplan pada perlakuan suhu rendah dan
suhu medium
MST
2
4
6
9
12

Granola
DTO 28
Rendah Medium
Rendah Medium
Fase induksi tunas a
4.220
3.450
2.330
2.590
4.50b
6.06a
4.23a
3.17b
Fase induksi tunasa
6.25b
8.49a
5.07a
3.13b
6.680
8.640
8.79a
6.22b
9.970
8.460
8.02a
7.52b

CIP 801040
Rendah Medium
2.200
3.53a

1.980
2.38b

4.93a
5.47a
6.54a

2.76b
2.98b
3.45b

a

Angka-angka pada minggu setelah tanam (MST) dan genotipe yang sama yang diikuti oleh
huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)

Perlakuan konsentrasi gula tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
jumlah akar pada semua kultivar dan klon yang diuji (Lampiran 1). Berdasarkan
analisis sidik ragam diketahui bahwa interaksi antara peningkatan suhu dan
konsentrasi gula terlihat pada minggu akhir pengumbian CIP 801040 yaitu pada
12 MST (Lampiran 2). Peningkatan konsentrasi gula mampu meningkatkan
pembentukan akar pada suhu medium (Gambar 5). Pada gambar tersebut juga
diketahui bahwa konsentrasi gula 120 g l-1 merupakan konsentrasi terbaik dalam
pembentukan akar pada suhu medium.

Jumlah akar

14
10
8
6
4
2
0

90 g/l
105 g/l
120 g/l
Suhu rendah

Suhu medium

Gambar 5 Interaksi antara peningkatan suhu dan konsentrasi gula terhadap
jumlah akar per eksplan pada klon CIP 801040 12 MST
Tinggi Tanaman
Stress berpengaruh pada sintesis hormon sehingga berpengaruh juga pada
perkembangan jaringan meristem yang berdampak pada perubahan vigor tanaman
(Setter 1994). Tinggi tanaman in vitro pada perlakuan suhu rendah berbeda
dengan tinggi tanaman pada suhu medium. Rata-rata tinggi tanaman pada suhu
medium lebih rendah daripada tinggi tanaman pada suhu dingin (Tabel 8).
Tabel 8

Rata-rata tinggi tanaman (cm) pada 4 dan 12 MST pada dua
perlakuan suhu ruang.

Perlakuan suhu
(0C)

Granola
pada MST ke4
12

DTO 28
pada MST ke4
12

CIP 801040
pada MST ke4
12

-------------------- (cm) --------------------

18–23
28–31

9.18a
5.06b

8.20
6.68

9.20a
7.91b

9.45a
7.60b

7.41
6.84

7.90a
4.89b

a

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Peningkatan suhu lingkungan menyebabkan peningkatan giberelin endogen
(Viola 2000). Giberelin berperan dalam pemanjangan ruas tanaman dan
pertambahan tinggi tanaman yang disebabkan oleh bertambah besar dan jumlah
sel-sel pada ruas tersebut (Wattimena 1980). Pada percobaan ini, perubahan
konsentrasi hormon giberelin tidak terekspresi sebagai pertambahan tinggi
tanaman. Peningkatan suhu dalam ruang kultur yang digunakan pada percobaan
ini dilakukan dengan penambahan lampu pijar. Fenotipe tinggi tanaman yang
lebih rendah pada suhu medium diduga muncul akibat intensitas cahaya tinggi.
Pemberian konsentrasi gula yang berbeda pada media pengumbian tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap karakter tinggi tanaman (Tabel 9).
Berdasarkan analisis ragam juga diketahui bahwa tidak terdapat interaksi antara
peningkatan suhu dan konsentrasi gula yang berpengaruh pada peningkatan tinggi
tanaman. Tinggi tanaman hanya dipengaruhi oleh perlakuan suhu yang berbeda.

15
Tabel 9 Hasil analisis sidik ragam tinggi tanaman pada 12 MST
Perlakuan
Suhu
Gula
Suhu x Gula

Granola
tn
tn
tn

DTO 28
tn
tn
tn

CIP 801040
*
tn
tn

*

: menunjukkan respon yang berbeda nyata berdasarkan uj F pada taraf 5%; tn: menunjukkan
respon tidak berbeda nyata

Produksi Umbi Mikro Kentang In Vitro
Pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan seperti suhu
lingkungan yang tinggi, asimilat yang dihasilkan dari fotosintesis lebih banyak
digunakan untuk pertumbuhan tajuk dan akar sehingga pengumbian terhambat
(Arteca 1996). Pada percobaan ini pengamatan potensi produksi umbi mikro pada
suhu medium dilakukan pada beberapa karakter yang meliputi jumlah umbi, bobot
basah umbi, persentase bobot kering umbi, panjang umbi, dan diameter umbi.
Jumlah Umbi
Dalam induksi umbi mikro secara in vitro, Gopal et al. (2004) menyatakan
bahwa produksi umbi mikro baik secara kualitas maupun kuantitas dipengaruhi
oleh suhu, komposisi media tumbuh serta kualitas dari pertumbuhan planlet yang
diinduksi umbi mikro. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa induksi
umbi mikro masih dapat terbentuk pada suhu 28–31 0C (Tabel 10). Pada
penelitian ini juga terlihat bahwa setiap genotipe mempunyai potensi produksi
umbi yang berbeda. Jumlah umbi Granola pada penelitian ini hampir sama dengan
jumlah umbi rata-rata dalam penelitian Purwito dan Wattimena (2008) sebanyak
1.27 umbi per eksplan. Dalam penelitian tersebut, induksi umbi mikro Granola
ditumbuhkan pada media padat-cair pada suhu 19-21 0C. Produksi umbi mikro
DTO 28 dan CIP 801040 pada penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan
dengan jumlah umbi Granola.
Tabel 10 Rata-rata jumlah umbi normal kentang pada perlakuan suhu rendah
dan suhu medium pada 12 MST
Perlakuan suhu
(0C)
18–23
28–31

Jumlah umbi normal (umbi/eksplan)a
Granola
DTO 28
CIP 801040
1.25
0.41
0.96a
1.35
0.40
0.58b

a

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Menurut Arteca (1996), pengumbian kentang terhambat pada suhu tinggi.
Penelitian ini, jumlah umbi normal Granola pada perlakuan suhu medium lebih
tinggi. Jumlah umbi Granola yang lebih tinggi pada suhu medium diduga
berkaitan dengan stolon yang terbentuk pada kultivar tersebut. Jumlah stolon
kentang in vitro pada percobaan ini memiliki korelasi positif yang sangat nyata
dengan jumlah umbi yang terbentuk dengan r = 0.585**. Menurut Arteca (1996),
pertumbuhan panjang stolon menjadi lambat dan mulai berkembang secara radial

16
pada saat induksi umbi. Stolon Granola pada awalnya lebih banyak pada suhu
rendah, tetapi pertumbuhan stolon pada suhu medium meningkat setelah
memasuki fase pengumbian (Tabel 4). Peningkatan jumlah stolon ini sesuai
pernyataan Vayda (1994) bahwa peningkatan giberelin endogen pada tanaman
kentang pada suhu tinggi dapat memacu inisiasi stolon yang berpotensi menjadi
umbi. Gula yang diberikan pada media cair diduga mampu merangsang
perkembangan radial stolon menjadi umbi sehingga Granola pada penelitian ini
mampu menghasilkan umbi lebih banyak sebelum umbi tersebut berkembang
kembali menjadi tunas akibat aktivitas giberelin yang tinggi. Pemberian
paclobutrazol 10 ppm diduga tidak mampu menghambat aktivitas giberelin yang
meningkat pada suhu medium. Pada Tabel 11 terlihat bahwa jumlah umbi yang
berkembang kembali menjadi tunas lebih tinggi pada suhu medium.
Tabel 11 Rata-rata jumlah umbi tumbuh tunas pada 12 MST
Perlakuan suhu
(0C)
18–23
28–31

Jumlah umbi tumbuh tunas (umbi/eksplan)a
Granola
DTO 28
CIP 801040
1.08
0.00
0.00
1.14
0.12
0.02

a

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada taraf uji 5 % (uji selang berganda Duncan).

Jumlah Umbi
normal

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa perlakuan
konsentrasi gula tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah umbi normal baik pada
suhu rendah maupun pada suhu medium. Interaksi antara perlakuan suhu dan
konsentrasi gula juga hanya terlihat pada karakter jumlah umbi normal CIP
801040 (Gambar 6). Berdasarkan analisis tersebut diketahui bahwa dalam
pengumbian secara in vitro klon CIP 801040 pada suhu medium, membutuhkan
penambahan konsentrasi gula lebih tinggi dalam media pengumbian cair untuk
dapat menghasilkan umbi lebih banyak.
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0

90 g/l
105 g/l
120 g/l
Suhu rendah

Suhu medium

Gambar 6 Pengaruh interaksi peningkatan suhu dan konsentrasi gula terhadap
jumlah umbi normasl CIP 801040
Bobot Basah Umbi
Granola termasuk kultivar yang kurang sesuai untuk dibudidayakan di
dataran menengah dengan suhu medium. Rata-rata bobot basah kedua kultivar
tersebut nyata lebih rendah hingga 50% pada suhu medium (Tabel 12). DTO 28
dan CIP 801040 merupakan dua klon kentang yang lebih tahan terhadap suhu

17
yang lebih tinggi sehingga tidak terdapat perbedaan yang nyata pada rata-rata
bobot umbi DTO 28 dan CIP 801040 pada dua perlakuan suhu ruang.
Tabel 12 Rata-rata bobot basah umbi per eksplan pada perlakuan suhu rendah
dan suhu medium.
Perlakuan suhu
(0C)
18–23
28–31
Keragaman (%)

Bobot basah umbi (g)a
DTO 28
CIP 801040
00.08
0.21
00.14
0.17
11.71
5.51

Granola
0.64a
0.23b
9.200

a

Angka-angka pada kolom yang sama pada genotype yang sama yang diikuti oleh huruf yang
sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Berdasarkan analisis sidik ragam diketahui bahwa konsentrasi gula 90 g l-1
sudah cukup untuk menginduksi umbi mikro pada kultivar Granola, klon DTO 28,
dan klon CIP 801040. Tidak terdapat pengaruh yang nyata pada perlakuan
konsentrasi gula terhadap karakter bobot umbi basah (Lampiran 1). Berdasarkan
analisis sidik ragama juga diketahui tidak terdapat interaksi antara peningkatan
suhu dengan konsentrasi gula pada semua kultivar dan klon yang diuji (Lampiran
2).
Persentase Bobot Kering Umbi Mikro

Persentase bobot kering (%)

Setiap genotipe memiliki karakteristik yang berbeda termasuk persentase
bobot kering umbi. Pada Gambar 7 diketahui bahwa, bobot kering kentang
Granola pada suhu medium lebih rendah hampir 40% dari persentase bobot kering
pada suhu dingin.
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0

90 g/l
105 g/l
120 g/l

RL

M
M

Granola

R
L

M
M

DTO 28

RL

M
M

CIP 801040

Gambar 7 Perbandingan persentase bobot kering umbi per eksplan (%) kentang
Granola, DTO 28, dan CIP 801040
Menurut Vayda (1994), pada suhu tinggi terjadi reduksi pati pada umbi
kentang sehingga kentang yang tumbuh pada suhu tinggi akan memiliki bobot
kering yang rendah. Bahan kering umbi yang diurai kembali tersebut digunakan
untuk pertumbuhan tajuk tanaman. Burke (1990) juga menyatakan bahwa
aktivitas enzim dalam sistem metabolisme pati terganggu pada suhu 300C

18
sehingga konversi glukosa terhambat dan kandungan pati atau bahan kering umbi
rendah.
Genotipe yang berpotensi memiliki bobot kering yang tidak berbeda karena
perlakuan suhu medium adalah DTO 28 dan CIP 801040. Pada genotipe ini
dengan perlakuan gula 120 g l-1 yang ditambahkan pada media pengumbian
memberikan persentase bobot kering yang lebih tinggi daripada persentase bobot
kering pada suhu dingin.
Panjang dan Diameter Umbi
Bentuk dan ukuran umbi mikro kentang berbeda pada setiap genotipe. Umbi
mikro kultivar Granola dan klon CIP 801040 berbentuk lonjong, sedangkan klon
DTO 28 berumbi bulat. Perlakuan konsentrasi gula yang berbeda tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap ukuran umbi mikro berdasarkan uji F
pada tar