Pengaplikasian Proses Termal dan Pengemasan Vakum untuk Memperpanjang Umur Simpan Produk Wingko Babat

PENGAPLIKASIAN PROSES TERMAL DAN PENGEMASAN
VAKUM UNTUK MEMPERPANJANG UMUR SIMPAN
PRODUK WINGKO BABAT

FAUZIYYAH NUR FATHIN

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaplikasian Proses
Termal dan Pengemasan Vakum untuk Memperpanjang Umur Simpan Produk
Wingko Babat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2013
Fauziyyah Nur Fathin
NIM F24080011

ABSTRAK
FAUZIYYAH NUR FATHIN. Pengaplikasian Proses Termal dan Pengemasan
Vakum untuk Memperpanjang Umur Simpan Produk Wingko Babat. Dibimbing
oleh SUGIYONO.
Wingko babat merupakan produk pangan semi basah yang terbuat dari
kelapa parut, tepung beras ketan, dan gula yang dipanggang dalam oven. Produk
pangan tradisional ini tersohor sebagai oleh-oleh khas kota Semarang, Jawa
Tengah. Sayangnya, wingko babat hanya tahan selama 2-4 hari pada suhu ruang.
Tujuan penelitian ini adalah memperpanjang umur simpan produk wingko babat
dalam kondisi penyimpanan suhu ruang dengan menggunakan kombinasi proses
termal dan pengemasan vakum. Wingko babat dikemas dengan alumunium foil,
secara vakum atau tidak vakum, kemudian dipanaskan di dalam waterbath pada
suhu 65 °C, 75 °C and 85 °C selama waktu yang memenuhi konsep 6D dan 12D

untuk kapang dan khamir. Perbedaan perlakuan ini tidak menimbulkan perbedaan
nyata pada atribut sensori produk (p>0.05). Berdasarkan pertimbangan efisiensi
proses, dipilih perlakuan termal pada suhu 85 °C selama 10 menit (12D). Aplikasi
perlakuan termal ini pada wingko babat yang dikemas secara vakum menunjukkan
bahwa angka lempeng total (4.6 x 103 CFU/g), total kapang-khamir (3.0 x 102
CFU/g), dan kadar asam lemak bebas (0.66%) sampel masih memenuhi standar
SNI 01-4311-1996 untuk wingko babat pada minggu ke-4. Namun, mutu sensori
sampel sudah tidak dapat diterima pada minggu ke-2 akibat pengerasan tekstur.
Kata kunci: pengemasan vakum, proses termal, umur simpan, wingko babat

ABSTRACT
FAUZIYYAH NUR FATHIN. Application of Thermal Processing and Vacuum
Packaging to Extend Shelf Life of Wingko Babat. Supervised by SUGIYONO.
Wingko babat is an intermediate moisture food made from grated coconut,
glutinous rice flour and sugar baked in an oven. It is well known as an indigenous
food from Semarang, Central Java. Unfortunately, its shelf life is only 2-4 days at
room temperature. The objective of this research was to extend the shelf life of
wingko babat in room temperature using combination of thermal process and
vacuum packaging. Wingko babats were packed in aluminum foil, in vacuum or
non vacuum condition, then heated in a waterbath at 65 °C, 75 °C and 85 °C for

certain time that met the concept of 6D and 12D for mold and yeast. Differences
in treatment didn’t promote any significant differences on sensory attributes of the
products (p>0.05). By considering efficiency of the process, the thermal process at
85 °C for 10 min (12D) was chosen. The application of this thermal process on
vacuum packed wingko babat showed that total plate count (4.6 x 103 CFU/g),
mold & yeast count (3.0 x 102 CFU/g) and free fatty acid level (0.66%) of the
sample still met the SNI 01-4311-1996 for wingko babat at week 4. However,
sample’s sensory were already unacceptable at week 2 due to texture hardening.
Keywords: shelf life, thermal processing, vacuum packaging, wingko babat

PENGAPLIKASIAN PROSES TERMAL DAN PENGEMASAN
VAKUM UNTUK MEMPERPANJANG UMUR SIMPAN
PRODUK WINGKO BABAT

FAUZIYYAH NUR FATHIN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Pengaplikasian Proses Termal dan Pengemasan Vakum untuk
Memperpanjang Umur Simpan Produk Wingko Babat
Nama
: Fauziyyah Nur Fathin
NIM
: F24080011

Disetujui oleh

Prof. Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc
Pembimbing


Diketahui oleh

Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penyusunan skripsi ini dengan baik. Skripsi berjudul ―Pengaplikasian Proses
Termal dan Pengemasan Vakum untuk Memperpanjang Umur Simpan Produk
Wingko Babat‖ ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada
bulan Maret sampai Desember 2012 di Laboratorium Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan IPB, SEAFAST Center, dan F-Technopark.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc
selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi yang telah
memberikan arahan dan bimbingan selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc dan Dr.
Dra. Suliantari, MS selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan saran

dan masukan. Di samping itu, terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak
Gatot, Bapak Nurwanto, Bapak Junaedi, Bapak Deni, Bapak Rojak, Bapak Yahya,
Ibu Rubiah, Ibu Sri, Mbak Fera, Teh Nurul, Bapak Sobirin, dan Bapak Ujang
selaku staf teknisi yang telah membantu selama pelaksanaan penelitian. Ungkapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayah dan ibu beserta seluruh keluarga,
teman-teman ITP45, Jang Eunkyung sonsengnim dan teman-teman dari Unit
Pelatihan Bahasa IPB, serta keluarga besar Pondok Assalamah atas segala doa,
kasih sayang, semangat, masukan, kebersamaan, dan canda tawa selama ini.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dan tidak lepas
dari kesalahan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang pangan.

Bogor, Maret 2013
Fauziyyah Nur Fathin

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii


DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2


Tujuan Penelitian

3

Manfaat Penelitian

3

TINJAUAN PUSTAKA

3

Wingko Babat

3

Intermediate Moisture Food

3


Kerusakan Mutu Intermediate Moisture Food

4

Konsep Hurdle

4

Kemasan Hermetis

5

Proses Termal

5

METODE PENELITIAN

7


Bahan

7

Alat

7

Tahapan Penelitian

8

Prosedur Analisis

11

Analisis Data

14


HASIL DAN PEMBAHASAN

14

Pembuatan Produk Wingko Babat

14

Penentuan Mikroba Target untuk Proses Termal

16

Uji Distribusi dan Penetrasi Termal

18

Aplikasi Perlakuan pada Produk Wingko Babat

23

Pemilihan Perlakuan Terbaik

24

Uji Penyimpanan

25

Analisis Profil Tekstur

26

Kadar Air

27

Aktivitas Air (aw)

29

Derajat Keasaman (pH)

30

Kadar Asam Lemak Bebas

31

Angka Lempeng Total

33

Total Kapang-Khamir

35

Nilai Penerimaan Panelis terhadap Atribut Sensori

37

SIMPULAN DAN SARAN

44

Simpulan

44

Saran

45

DAFTAR PUSTAKA

45

LAMPIRAN

51

RIWAYAT HIDUP

89

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Formulasi adonan wingko babat
Kode yang digunakan untuk masing-masing perlakuan
Pengaturan texture analyzer untuk wingko babat
Pengamatan sensori selama penyimpanan terhadap wingko babat hasil
uji coba ke-1
Pengamatan sensori selama penyimpanan terhadap wingko babat hasil
uji coba ke-2
Mikroorganisme yang dapat tumbuh pada rentang aw intermediate
moisture food
Nilai D dan z beberapa mikroorganisme yang dapat tumbuh pada
rentang aw intermediate moisture food
Waktu yang diperlukan untuk mencapai 6D dan 12D pada proses termal
dengan suhu 65 °C, 75 °C, dan 85 °C
Hasil uji rating hedonik terhadap beberapa atribut sensori sampel
wingko babat yang telah diberi perlakuan

8
10
11
15
16
17
17
23
24

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Diagram alir proses pengolahan produk wingko babat
Skala garis yang digunakan dalam uji rating hedonik
Contoh grafik hasil analisis profil tektur
(a) Wingko babat yang dicetak sebelum pemanggangan; (b) Wingko
babat yang dicetak setelah pemanggangan
(a) Wingko babat dalam kemasan vakum; (b) Wingko babat dalam
kemasan tidak vakum; (c) Dummy berisi air
Posisi termokopel di dalam waterbath
Distribusi termal di dalam waterbath selama proses termal pada suhu
85°C
Perubahan suhu sampel selama proses pemanasan pada suhu 65 °C (a),
75 °C (b), dan 85 °C (c)
Perubahan kekerasan (hardness) dan daya kunyah (chewiness) selama
penyimpanan pada suhu ruang
Perubahan kadar air selama penyimpanan pada suhu ruang
Perubahan nilai aw selama penyimpanan pada suhu ruang
Perubahan nilai pH selama penyimpanan pada suhu ruang
Perubahan kadar asam lemak bebas selama penyimpanan pada suhu
ruang
Perubahan angka lempeng total selama penyimpanan pada suhu ruang
Perubahan total kapang-khamir selama penyimpanan pada suhu ruang
Perubahan nilai penerimaan panelis terhadap atribut warna selama
penyimpanan pada suhu ruang
Perubahan nilai penerimaan panelis terhadap atribut aroma selama
penyimpanan pada suhu ruang
Perubahan nilai penerimaan panelis terhadap atribut rasa selama
penyimpanan pada suhu ruang

9
10
12
15
18
19
20
21
26
28
29
30
32
34
35
37
38
39

19 Perubahan nilai penerimaan panelis terhadap atribut tekstur selama
penyimpanan pada suhu ruang
20 Perubahan nilai penerimaan panelis terhadap atribut keseluruhan
(overall) selama penyimpanan pada suhu ruang

40
42

DAFTAR LAMPIRAN
1 Data distribusi termal di dalam waterbath selama proses termal pada
suhu 85°C
2 Data penetrasi termal pada suhu 65 °C
3 Data penetrasi termal pada suhu 75 °C
4 Data penetrasi termal pada suhu 85 °C
5 Perubahan mutu sensori sampel wingko babat selama penyimpanan
dalam suhu ruang pada selama 2 minggu
6 Rekapitulasi hasil uji rating hedonik terhadap atribut warna dan aroma
sampel wingko babat yang telah diberi perlakuan
7 Rekapitulasi hasil uji rating hedonik terhadap atribut rasa dan tekstur
sampel wingko babat yang telah diberi perlakuan
8 Rekapitulasi hasil uji rating hedonik terhadap atribut keseluruhan
(overall) sampel wingko babat yang telah diberi perlakuan
9 Hasil pengolahan data uji rating hedonik sampel wingko babat yang
telah diberi perlakuan dengan software SPSS 16.0
10 Perubahan kekerasan/hardness (gram force) selama penyimpanan pada
suhu ruang
11 Perubahan daya kunyah/chewiness (gram force) selama penyimpanan
pada suhu ruang
12 Perubahan kadar air (%) selama penyimpanan pada suhu ruang
13 Perubahan nilai aw selama penyimpanan pada suhu ruang
14 Perubahan pH selama penyimpanan pada suhu ruang
15 Perubahan kadar asam lemak bebas (%) selama penyimpanan pada
suhu ruang
16 Perubahan angka lempeng total (CFU/g) selama penyimpanan pada
suhu ruang
17 Perubahan total kapang-khamir (CFU/g) selama penyimpanan pada
suhu ruang
18 Perubahan nilai penerimaan panelis terhadap beberapa atribut sensori
selama penyimpanan pada suhu ruang
19 Hasil pengolahan beberapa parameter yang diamati selama
penyimpanan pada suhu ruang dengan software SPSS 16.0
20 Perbandingan parameter kontrol dan sampel pada setiap minggu
pengamatan selama penyimpanan dengan software SPSS 16.0

51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
60
60
61
61
61
62
62
62
63
76

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Wingko babat (kue wingko) adalah makanan semi basah yang terbuat dari
tepung ketan, kelapa parut, dan gula yang dipanggang dengan menggunakan oven
(BSN 1996). Makanan tradisional ini dikenal sebagai oleh-oleh khas kota
Semarang. Wingko babat khas Semarang berbetuk bulat pipih dengan diameter
sekitar 5 cm, tebal 1 cm, dan umumnya dikemas secara individual menggunakan
kemasan kertas (Pertiwi et al. 2005). Sayangnya, wingko babat memiliki umur
simpan yang sangat singkat, yaitu 2-4 hari (Erwin 2003; Hadibroto et al. 2007)
sehingga jangkauan pemasarannya menjadi sangat terbatas.
Menurut Herawati (2008), umur simpan produk pangan dapat diperpanjang
jika faktor-faktor utama yang menyebabkan penurunan mutunya diketahui. Salah
satu faktor utama yang menjadi penyebab kerusakan produk wingko babat adalah
pertumbuhan mikroorganisme, terutama kapang. Produk pangan yang kaya akan
karbohidrat sangat rentan terhadap kapang perusak pangan (Abdullah et al. 2000).
Di samping itu, faktor lain yang menjadi penyebab utama kerusakan produk
wingko babat adalah ketengikan. Ketengikan atau rancidity adalah indikator
kerusakan komponen lemak pada produk pangan yang dicirikan dengan timbulnya
aroma yang menyimpang atau off-flavor (Coultate 2009). Kerusakan komponen
lemak ini dapat disebabkan oleh reaksi oksidasi akibat paparan oksigen maupun
reaksi hidrolisis yang dikatalisis oleh air dan enzim lipase yang dihasilkan oleh
mikroorganisme (Coultate 2009).
Laju penurunan mutu produk pangan dapat diperlambat dengan
memperbaiki teknik penanganan produk, teknik pengemasan, dan kondisi
penyimpanan (Berk 2009). Pertiwi et al. (2005) telah berhasil memperpanjang
umur simpan wingko babat dari 1-2 hari menjadi 3 hari dengan cara memodifikasi
proses pengolahannya, yaitu dengan cara mengukus terlebih dahulu kelapa parut
yang digunakan sebagai bahan baku dan menggunakan loyang bersekat.
Penemuan tersebut masih dapat dikembangkan untuk mendapatkan umur simpan
produk wingko babat yang lebih panjang, yaitu dengan menerapkan konsep hurdle.
Teknologi hurdle banyak digunakan sebagai teknik pengawetan pangan
yang efektif, baik di negara industri maupun negara berkembang (Leistner 2000).
Strategi pengawetan produk pangan dalam konsep hurdle dilakukan dengan
menerapkan kombinasi beberapa teknik pengawetan yang berbeda (Allende et al.
2006). Beberapa hurdle yang paling penting di dalam pengawetan produk pangan
adalah suhu (tinggi atau rendah), aw, pH, potensial redoks (Eh), bahan pengawet,
dan mikroorganisme kompetitif (Leistner 2000). Kombinasi teknik pengawetan
dengan menerapkan proses termal dan teknik pengemasan vakum dapat dilakukan
untuk meningkatkan kestabilan produk intermediate moisture food selama
penyimpanan pada suhu ruang (Leistner dan Gould 2002).
Proses termal yang dilakukan terhadap produk pangan dalam kemasan
(canning) adalah salah satu metode yang paling sering digunakan untuk
memperpanjang umur simpan produk pangan (Awuah et al. 2007). Proses termal
digunakan untuk menghilangkan atau menurunkan jumlah mikroba awal sampai
tingkat yang dapat diterima (Sinha et al. 2011). Pengaplikasian proses termal

2
sebagai metode pengawetan telah banyak diteliti dan diterapkan pada berbagai
jenis produk pangan, seperti pada telur (Hamid-Samimi dan Swartzel 1985;
Schuman dan Sheldon 2003; Miller et al. 2010), daging kepiting (Ghazala dan
Trenholm 2007), pulp buah markisa (Janzantti et al. 2012), sari apel (Annamalai
et al. 2007), serta jus anggur dan wine (Malletroit et al. 1991).
Sementara itu, kemasan hermetis melindungi produk pangan dari
kontaminasi mikroorganisme, kotoran, serta pertukaran gas dan uap air (Parker
2003). Teknik pengemasan vakum dapat menciptakan kondisi yang tidak
mendukung pertumbuhan mikroorganisme perusak pangan dan/atau mengurangi
reaksi kimia yang dapat menurunkan umur simpan, seperti reaksi oksidasi
(CSIRO 2010). Penggunaan teknik pengemasan vakum telah banyak diterapkan
untuk mempertahankan mutu dan memperpanjang umur simpan produk pangan
(Hintlian dan Hotchkiss 1986; Gorris dan Peppelenbos 1992; Varoquaux dan
Nguyen 1994). Teknik pengemasan vakum juga telah digunakan oleh beberapa
jenis produk wingko babat yang dijual secara komersial. Teknik pengemasan
vakum telah terbukti efektif untuk menghambat pertumbuhan mikroba pada roti
iris (Gutierrez et al. 2011), keju Afrika (Adetunji dan Chen 2011), dan keju Turki
(Andic et al. 2011), serta menghambat pertumbuhan mikroba, reaksi oksidasi, dan
perubahan warna pada bakso (Ozturk et al. 2010) dan daging cincang dalam
kaleng (Degirmencioglu et al. 2012) selama penyimpanan.
Berdasarkan berbagai penelitian yang telah ada, proses termal diharapkan
dapat menurunkan jumlah mikroba awal pada produk. Sementara itu, pengemasan
vakum diharapkan dapat melindungi produk dari kontaminasi dan paparan
oksigen. Dengan demikian, proses termal yang dikombinasikan dengan
pengemasan vakum diharapkan dapat mengatasi pertumbuhan kapang serta
menghambat reaksi kimia yang menimbulkan aroma menyimpang atau off-flavor
pada produk wingko babat. Pendekatan inilah yang digunakan dalam penelitian ini
untuk memperpanjang umur simpan produk wingko babat pada kondisi
penyimpanan di suhu ruang.

Perumusan Masalah
Permasalahan yang hendak dijawab melalui penelitian ini secara umum
adalah pendeknya umur simpan produk wingko babat yang disebabkan oleh
pertumbuhan kapang dan ketengikan (rancidity). Penyebab utama kerusakan
produk wingko babat oleh kapang diduga adalah tingginya jumlah mikroba awal
pada produk. Hal ini dapat diatasi dengan menggunakan perlakuan termal.
Sementara itu, kerusakan produk wingko babat yang diakibatkan oleh timbulnya
ketengikan dapat diatasi dengan menggunakan pengemasan vakum. Pengemasan
vakum mencegah paparan oksigen terhadap produk sehingga menghambat reaksi
oksidasi yang dapat menimbulkan aroma menyimpang atau off-flavor. Singkatnya,
pendekatan yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini
adalah konsep hurdle yang mengombinasikan proses termal dan teknik
pengemasan vakum. Secara khusus, perumusan masalah yang dikaji pada
penelitian ini adalah (1) mikroba yang menjadi target proses termal, (2) sifat
penetrasi termal produk wingko babat, (3) kombinasi suhu dan waktu proses
termal, serta (4) perubahan mutu selama penyimpanan pada suhu ruang.

3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan memperpanjang umur simpan produk wingko babat
dalam kondisi penyimpanan suhu ruang dengan menggunakan kombinasi proses
termal dan teknik pengemasan vakum.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi, khususnya untuk
produsen wingko babat mengenai cara memperpanjang umur simpan produk
wingko babat agar dapat disimpan pada suhu ruang tanpa menggunakan bahan
pengawet sehingga dapat mengangkat potensi wingko babat sebagai produk
pangan tradisional.

TINJAUAN PUSTAKA
Wingko Babat
Wingko babat adalah salah satu makanan tradisional Indonesia yang
tersohor sebagai buah tangan khas kota Semarang, Jawa Tengah. Menurut SNI 014311-1996, wingko babat atau kue wingko adalah makanan semi basah yang
terbuat dari tepung ketan, kelapa parut, dan gula yang dipanggang dengan
menggunakan oven. Wingko babat secara tradisional umumnya dicetak menjadi
bentuk bulat pipih dan dipanggang dengan menggunakan tungku. Produk wingko
babat dapat ditemukan dalam bentuk bundar berukuran besar maupun dalam
ukuran kecil dengan kemasan kertas (Ihsan 2010). Makanan ini memiliki rasa
yang gurih, tekstur yang legit, dan aroma yang khas.
Wingko babat sangat populer di kawasan pantai utara pulau Jawa dan
banyak ditemukan di sekitar stasiun kereta, terminal bus, dan toko-toko (Ihsan
2010). Sayangnya, produk wingko babat memiliki umur simpan yang sangat
singkat, yaitu 2-4 hari (Erwin 2003; Hadibroto et al. 2007) sehingga jangkauan
pemasarannya sangat terbatas.

Intermediate Moisture Food
Intermediate moisture food adalah produk pangan yang secara umum
memiliki kadar air 10-50% dan aktivitas air (aw) 0.60-0.90 (Barbosa-Cánovas et
al. 2007). Semetara itu, Muchtadi (2008) mendefinisikan intermediate moisture
food sebagai produk pangan dengan kadar air 10-40% dan aktivitas air (aw) 0.600.85 yang secara umum kurang mendukung pertumbuhan mikroorganisme.
Intermediate moisture food atau produk pangan semi basah merupakan salah
satu teknik pengawetan produk pangan yang tertua. Mekanisme pengawetannya
berasal dari tekanan osmotik yang tinggi akibat tingginya konsentrasi padatan
terlarut, serta efek pengawetan yang berasal dari penambahan garam, asam, dan
zat terlarut lainnya (Potter dan Hotchkiss 1998). Menurut Barbosa-Cánovas et al.

4
(2007), intermediate moisture food umumnya didesain agar dapat disimpan pada
suhu ruang selama beberapa bulan dan dapat langsung dikonsumsi tanpa rehidrasi.

Kerusakan Mutu Intermediate Moisture Food
Kerusakan mutu pangan adalah kondisi dimana produk pangan
menunjukkan adanya penyimpangan yang melewati batas yang dapat diterima
secara normal oleh panca indera atau parameter lain yang biasa digunakan
(Muchtadi 2008). Menurut Marriott dan Gravani (2006), terdapat enam faktor
utama yang mengakibatkan terjadinya penurunan mutu atau kerusakan pada
produk pangan, yaitu oksigen, uap air, cahaya, mikroorganisme, kompresi atau
bantingan, dan bahan kimia toksik. Faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan
penurunan mutu pada produk pangan, seperti oksidasi lipida, kerusakan vitamin,
kerusakan protein, perubahan aroma, reaksi pencoklatan, perubahan unsur
organoleptik, dan kemungkinan terbentuknya racun.
Aktivitas air (aw) pada produk intermediate moisture food secara umum
berada pada rentang yang cukup rendah untuk mencegah pertumbuhan bakteri dan
khamir (Muchtadi 2008; Enrione et al. 2012). Akan tetapi, nilai aw tersebut cukup
tinggi untuk pertumbuhan beberapa jenis kapang (Bhat et al. 2012). Oleh sebab
itu, kondisi penyimpanan yang kurang baik dapat meningkatkan resiko kerusakan
produk oleh kapang. Walaupun sebagian besar kapang tidak menimbulkan
ancaman kesehatan, beberapa jenis kapang dapat menghasilkan mikotoksin yang
bersifat toksik dan karsinogenik pada manusia (Mendez-Albores et al. 2003;
Marriott dan Gravani 2006). Di samping itu, kontaminasi kapang dapat
menimbulkan penyimpangan aroma dan flavor produk akibat reaksi enzimatik dan
fermentasi dengan komponen karbohidrat, lemak, dan protein pada produk pangan
(Marriott dan Gravani 2006; Brody et al. 2008).
Ketengikan (rancidity) adalah faktor penyebab kerusakan mutu yang juga
harus diwaspadai pada produk intermediate moisture food yang memiliki kadar
lemak tinggi. Ketengikan merupakan indikator kerusakan komponen lemak pada
produk pangan yang dicirikan dengan timbulnya aroma yang menyimpang atau
off-flavor (Coultate 2009). Penurunan mutu akibat ketengikan dapat terjadi
melalui dua mekanisme, yaitu ketengikan oksidatif dan hirolitik (Vaclavik dan
Christian 2008). Ketengikan oksidatif disebabkan oleh reaksi oksidasi antara asam
lemak tidak jenuh dengan oksigen, sedangkan ketengikan hidrolitik disebabkan
oleh reaksi hidrolisis trigliserida pada komponen lemak yang dikatalisis oleh
adanya air dan enzim lipase yang disekresikan oleh mikroba, menghasilkan asam
lemak bebas berantai pendek (Coultate 2009).

Konsep Hurdle
Konsep hurdle adalah teknik pengawetan pangan dengan cara menerapkan
kombinasi beberapa teknik atau faktor penghambat untuk memperoleh efek
stabilitas produk yang maksimal (Allende et al. 2006). Dengan menerapkan
konsep hurdle, pengolahan dengan menggunakan proses termal yang
dikombinasikan dengan pengemasan secara hermetis dapat dilakukan untuk

5
meningkatkan kestabilan produk intermediate moisture food selama penyimpanan
pada suhu ruang (Leistner dan Gould 2002). Proses termal digunakan untuk
menghilangkan atau menurunkan jumlah mikroba awal sampai tingkat yang dapat
diterima (Sinha et al. 2011). Sementara itu, kemasan hermetis dapat melindungi
produk pangan dari kontaminasi mikroorganisme, kotoran, serta pertukaran gas
dan uap air (Parker 2003). Oleh sebab itu, proses termal yang dikombinasikan
dengan teknik pengemasan yang baik tidak hanya mencegah kerusakan produk
yang disebabkan oleh pertumbuhan mikroba, tetapi juga mencegah masuknya
oksigen dan mempertahankan kadar air produk sehingga dapat mencegah
timbulnya ketengikan (rancidity).

Kemasan Hermetis
Kemasan hermetis adalah kemasan kedap yang dapat melindungi produk
pangan dari kontaminasi mikroorganisme, kotoran, dan pertukaran gas dan uap air
(Parker 2003; Marsh dan Bugusu 2007). Aluminium foil adalah salah satu jenis
kemasan fleksibel yang memiliki ketahanan yang baik terhadap cahaya, minyak,
uap air, transmisi gas, dan aroma (Manley 2000; Beckett 2011).
Selain pemilihan bahan kemasan, pemilihan teknik pengemasan yang tepat
juga menjadi faktor penting dalam mendesain kemasan suatu produk pangan.
Teknik pengemasan vakum adalah teknik pengemasan dengan cara mengeluarkan
sebagian besar udara dari dalam kemasan dengan tujuan menghilangkan oksigen
sehingga menciptakan kondisi yang tidak mendukung pertumbuhan
mikroorganisme perusak pangan dan mengurangi reaksi kimia yang dapat
menurunkan umur simpan, misalnya reaksi oksidasi (CSIRO 2010).

Proses Termal
Proses termal adalah metode yang paling banyak digunakan untuk
menghilangkan atau menurunkan jumlah mikroba awal sampai tingkat yang dapat
diterima (Sinha et al. 2011). Menurut Muchtadi (2008), kalkulasi yang dilakukan
untuk mendesain sebuah proses termal membutuhkan berbagai data dan
pengukuran. Dua jenis data yang paling utama adalah data kinetika inaktivasi
termal, yaitu thermal death time (TDT) untuk mikroorganisme yang menjadi
target serta data distribusi dan penetrasi termal pada produk pangan di dalam
kemasan dengan jenis dan ukuran tertentu.
Data TDT menggambarkan ketahanan relatif mikroorganisme yang menjadi
target di dalam proses termal terhadap suhu tertentu (Muchtadi 2008). Ketahanan
atau sensitifitas mikroorganisme terhadap suhu pemanasan sering dinyatakan
dengan menggunakan konsep decimal reduction time (Kusnandar et al. 2006).
Nilai D didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan untuk mereduksi jumlah sel
vegetatif mikroorganisme sebesar 90% atau sebanyak 1 logaritmik pada suhu
tertentu (Sukasih dan Setyadjit 2008). Nilai D dipengaruhi oleh suhu, dimana
peningkatan suhu pemanasan berkorelasi terhadap penurunan waktu yang
dibutuhkan untuk mereduksi jumlah mikroorganisme (Kusnandar et al. 2006).
Sensitivitas nilai D terhadap suhu sering dinyatakan dengan nilai z, yaitu

6
perubahan suhu yang diperlukan untuk merubah nilai D sebesar 1 siklus
logaritmik (Anderson et al. 2011).
Penentuan kombinasi suhu dan waktu yang diperlukan untuk mencapai
pengurangan jumlah mikroorganisme yang menjadi target sering dilakukan
dengan menggunakan konsep kecukupan proses termal, yaitu dengan
menggunakan nilai F. Secara umum, nilai F didefinisikan sebagai waktu yang
dibutuhkan untuk membunuh mikroorganisme target hingga mencapai level
tertentu pada suhu tertentu (Berk 2009).
Menurut Kusnandar et al. (2006), nilai F pada suhu tertentu merupakan hasil
perkalian dari nilai D mikroorganisme target pada suhu tersebut dengan jumlah
penurunan siklus logaritmik (S) yang diharapkan. Konsep 12D merupakan konsep
yang umum digunakan dalam proses sterilisasi komersial, dimana penurunan
jumlah mikroba target yang diharapkan adalah sebanyak 12 siklus logaritmik.
Artinya, jika jumlah mikroba awal pada produk adalah 103 CFU/ml maka peluang
jumlah mikroba yang tersisa setelah proses termal adalah sebanyak 10-9 CFU/ml.
Sementara itu, konsep 6D diterapkan dalam proses pasteurisasi produk pangan
yang target penurunan jumlah mikrobanya lebih rendah daripada sterilisasi
komersial. Pada proses pasteurisasi, penurunan jumlah mikroba target yang
diharapkan adalah sebanyak 6 siklus logaritmik. Artinya, jika jumlah mikroba
awal pada produk adalah 103 CFU/ml maka peluang jumlah mikroba yang tersisa
setelah proses termal adalah sebanyak 10-3 CFU/ml.
Kecukupan proses termal untuk membunuh mikroba target hingga pada
level yang diinginkan dapat dievaluasi dengan nilai F proses yang diperoleh dari
hasil uji distribusi dan penetrasi termal (Anderson et al. 2011). Pengukuran
penetrasi panas umumnya dilakukan dengan menggunakan termokopel yang
dipasang pada titik terdingin (coldest point) produk, yaitu titik yang mengalami
pemanasan paling lambat (Muchtadi 2008).
Menurut Muchtadi (2008), analisis data penetrasi panas untuk menghitung
kecukupan proses termal dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode umum
dan metode formula. Metode umum adalah metode yang paling teliti dalam
mengkalkulasi proses termal karena menggunakan data penetrasi panas yang
diperoleh dari hasil pengukuran tanpa mengasumsikan hubungan suhu-waktu dari
produk tersebut. Nilai letalitas proses dapat dihitung dengan integral nilai letalitas
(L) terhadap waktu proses menggunakan persamaan berikut:
Fo =

t
Lt
0

dt

Efek letalitas pada suhu tertentu yang dibandingkan dengan suhu standar
disebut lethal rate (LR). Nilai LR proses ditentukan dengan mengonversi waktu
proses pada suhu tertentu ke dalam waktu ekivalen pada suhu standar dengan
menggunakan rumus:
LR = 10 [(T – 250)/z] atau LR = 10 [(T – 121.1)/z]
Nilai lethal rate tidak memiliki satuan, yaitu bernilai 1 pada suhu standar.
Pada suhu di bawah suhu standar, nilai LR kurang dari 1. Sebaliknya, jika suhu
lebih tinggi dari suhu standar, nilai LR lebih dari 1. Nilai LR dapat digunakan
untuk menghitung nilai F pada suhu tersebut (Kusnandar et al. 2006), yaitu
dengan menggunakan persamaan:
FT = Fo/LRT

7
Sementara itu, perhitungan kecukupan proses termal dengan metode
formula dilakukan dengan cara memplotkan data suhu dan waktu dari uji penetrasi
ke dalam kurva semilogaritmik. Perbedaan suhu retort dan suhu produk diplotkan
ke dalam sumbu y pada skala logaritmik, sedangkan waktu proses diplotkan pada
sumbu x dengan skala linier (Muchtadi 2008). Persamaan yang digunakan dalam
metode formula adalah sebagai berikut:
tB = (fh) log (Jh·Ih/g)
tp = tB – 0.42 tc
Keterangan:
tB
= Ball processing time, yaitu waktu proses yang belum dikoreksi dengan
waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu proses (menit)
fh
= nilai kemiringan kurva pemanasan atau waktu yang diperlukan oleh garis
pada kurva penetrasi panas untuk melalui 1 siklus log (menit)
Jh
= faktor kelambatan (lag factor) sebelum laju penetrasi mencapai fh
Ih
= perbedaan suhu retort dengan suhu awal produk pada titik terdingin (°F)
g
= perbedaan suhu retort dengan suhu produk pada akhir pemanasan (°F)
tp
= operator time, yaitu waktu sejak suhu retort mencapai suhu proses yang
diinginkan sampai suplai uap dihentikan (menit)
tc
= come up time, yaitu waktu sejak uap dialirkan sampai retort mencapai
suhu proses yang diinginkan (menit)

METODE PENELITIAN
Bahan
Bahan yang digunakan dalam pembuatan wingko babat adalah tepung beras
ketan, kelapa parut, gula pasir, margarin, garam, vanili, dan air. Tepung beras
ketan yang digunakan adalah produk tepung beras ketan dalam kemasan yang
dapat diperoleh di pasar swalayan, sedangkan kelapa parut berasal dari kelapa
setengah tua yang diperoleh di Pasar Bogor. Bahan pengemas yang digunakan
adalah alumunium foil. Sementara itu, bahan-bahan yang digunakan untuk analisis
adalah metanol, kloroform, larutan NaOH 0.1 N, etanol 95 %, KHP (kalium
hidrogen ftalat), indikator fenolftalein, PCA (plate count agar), PDA (potato
dextrose agar), kloramfenikol, KH2PO4, dan air destilata.

Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peralatan
pengolahan dan peralatan analisis. Peralatan yang digunakan dalam pengolahan
produk wingko babat adalah oven Getra model RFL-36, sealer merk Hualian
model Golden 350, sealer vakum Powerpack model DZQ400-2D,
waterbath/steam blancher Armfield, boiler Fulton model EB 1868, kompor, panci
kukus, loyang, pencetak, baskom, dan sendok pengaduk. Sementara itu, peralatan
analisis yang digunakan meliputi neraca analitik Precisa Swissmade model
XT220A, pH-meter Orion model 210A, aw-meter Shibaura model WA-360, oven

8
vakum Ogawa Seiki model VO-7-3, texture analyzer TA-XT2i Stable Micro
System, sonikator Branson model 8510, recorder Omega model DR130, rotary
evaporator, autoklaf, oven, vortex, inkubator, desikator, buret, cawan alumunium,
dan alat-alat gelas (labu takar, pipet mohr, gelas piala, labu erlenmeyer, cawan
petri, dan sebagainya).

Tahapan Penelitian
Penelitian ini terbagi menjadi enam tahap, yaitu (1) pembuatan produk
wingko babat, (2) penentuan mikroba target untuk proses termal, (3) uji distribusi
dan penetrasi termal, (4) aplikasi perlakuan pada produk wingko babat, (5)
pemilihan perlakuan terbaik, serta (6) uji penyimpanan secara fisik, kimia,
mikrobiologi, dan organoleptik.
Pembuatan Produk Wingko Babat
Formulasi produk wingko babat yang digunakan dalam penelitian ini adalah
formulasi yang berasal dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Pertiwi et
al. (2005). Proses pembuatan produk wingko babat dimulai dengan persiapan dan
penimbangan bahan sesuai dengan formulasi adonan yang dapat dilihat pada
Tabel 1. Kelapa parut yang digunakan sebagai salah satu bahan baku dikukus
terlebih dahulu selama 15 menit.
Tabel 1 Formulasi adonan wingko babata
Komposisi
Tepung beras ketan
Kelapa parut
Gula pasir
Margarin
Kulit jeruk purut
Garam
Vanili
Air
a

Jumlah (gram)
1 000
1 700
600
100
10
10
4
1 000

Sumber: (Pertiwi et al. 2005).

Pembuatan adonan dilakukan melalui tiga tahap pencampuran. Tahap
pertama adalah pencampuran bahan-bahan kering yang terdiri dari tepung beras
ketan, gula pasir, kulit jeruk purut, garam, dan vanili. Pada tahap kedua, kelapa
parut yang telah dikukus ditambahkan ke dalam adonan bahan kering yang sudah
tercampur rata. Kemudian, pada tahap pencampuran yang ketiga, margarin dan air
dicampurkan ke dalam adonan. Tahap selanjutnya adalah pencetakan adonan
wingko babat di dalam loyang yang sudah diberi alas daun pisang, kemudian
dilakukan pemanggangan di dalam oven pada suhu 180 °C selama 90 menit.
Diagram alir proses pengolahan produk wingko babat dapat dilihat pada Gambar 1.

9
Gula pasir 600 g

Tepung beras
ketan 1000 g

Kulit jeruk
purut 10 g
Pencampuran 1
Garam 10 g
Vanili 4 g

Kelapa parut
1700 g

Pengukusan (15 menit)

Pencampuran 2

Margarin 100 g

Pencampuran 3

Air 1000 ml
Pencetakan

Pemanggangan dengan oven pada suhu
180 ⁰C (90 menit)

Wingko babat

Gambar 1 Diagram alir proses pengolahan produk wingko babat
Penentuan Mikroba Target untuk Proses Termal
Penentuan mikroorganisme yang menjadi target dalam proses termal untuk
produk wingko babat dilakukan dengan pengumpulan data berbagai jenis
mikroorganisme yang dapat tumbuh pada rentang aw produk intermediate
moisture food. Data ini meliputi jenis mikroorganisme, aw optimal, serta nilai D
dan z masing-masing mikroorganisme. Mikroorganisme yang memiliki ketahanan
terhadap proses termal yang tertinggi di antara berbagai mikroorganisme yang
dapat tumbuh pada produk wingko babat dipilih sebagai mikroorganisme target.
Uji Distribusi dan Penetrasi Termal
Uji distribusi termal dilakukan untuk mengamati perubahan suhu media
pemanas (air) pada beberapa titik di dalam alat pemanas (waterbath) selama
dilakukan proses termal pada selang waktu tertentu. Pengukuran suhu ini
dilakukan dengan menggunakan termokopel yang dihubungkan dengan alat
pencetak data, yaitu recorder Omega model DR130. Dari uji distribusi ini
diperoleh data posisi titik terdingin (coldest point) di dalam alat pemanas.
Selanjutnya, dilakukan uji penetrasi termal untuk memperoleh data penetrasi
panas ke dalam produk selama proses termal. Pada uji penetrasi termal,
termokopel dipasang di bagian tengah produk yang diletakkan pada posisi titik
terdingin di dalam waterbath. Data perubahan suhu produk pada titik terdingin

10
selama proses termal yang diperoleh dari uji penetrasi ini digunakan untuk
menentukan kecukupan desain proses termal.
Aplikasi Perlakuan pada Produk Wingko Babat
Perlakuan termal dengan menggunakan waterbath pada suhu 65 °C, 75 °C,
dan 85 °C selama waktu tertentu yang memenuhi konsep 6D dan 12D
diaplikasikan pada produk wingko babat yang telah dikemas dengan alumunium
foil, baik secara vakum maupun tidak vakum. Waktu proses yang dibutuhkan
untuk masing-masing perlakuan ditentukan berdasarkan data yang diperoleh dari
uji distribusi dan penetrasi termal yang telah dilakukan sebelumnya. Untuk
mempermudah, digunakan pengodean untuk masing-masing perlakuan (Tabel 2).
Tabel 2 Kode yang digunakan untuk masing-masing perlakuan
Kode

Perlakuan

A1
A2
B1
B2
B3
C1
C2

Teknik pengemasan vakum
Teknik pengemasan tidak vakum
Proses termal pada suhu 65 °C
Proses termal pada suhu 75 °C
Proses termal pada suhu 85 °C
Waktu proses termal yang memenuhi konsep 6D
Waktu proses termal yang memenuhi konsep 12D

Pemilihan Perlakuan Terbaik
Perlakuan pengemasan dan proses termal diaplikasikan terhadap wingko
babat, kemudian disimpan pada suhu ruang. Wingko babat yang masih layak
secara sensori setelah disimpan selama 2 minggu selanjutnya diuji secara
organoleptik, yaitu dengan menggunakan uji rating hedonik.
Uji rating hedonik dilakukan oleh 74 orang panelis tidak terlatih terhadap
atribut warna, aroma, rasa, tekstur, dan keseluruhan (overall) wingko babat.
Penilaian panelis terhadap atribut sensori dilakukan dengan menggunakan skala
garis yang berukuran 15 cm (Gambar 2). Masing-masing tanda batas diberi label
dengan deskripsi intensitas kesukaan, yaitu ―sangat tidak suka‖ pada ujung kiri
garis dan ―sangat suka‖ pada ujung kanan garis. Data penilaian panelis diperoleh
dengan cara mengukur jarak dari ujung kiri garis sampai tanda yang diberikan
sebagai respon oleh panelis, yaitu berupa tanda silang atau garis vertikal. Analisis
data dilakukan dengan menggunakan ANOVA (analysis of variance) dengan uji
lanjut Duncan (Meilgaard et al. 1999).
0
Sangat
tidak suka

2.5
Tidak suka

5.0
Agak
tidak suka

7.5
Netral

10.0
Agak suka

12.5
Suka

15.0
Sangat suka

Gambar 2 Skala garis yang digunakan dalam uji rating hedonik
Data yang diperoleh dari uji organoleptik ini digunakan sebagai dasar untuk
menyeleksi perlakuan terbaik yang menghasilkan produk wingko babat dengan
nilai penerimaan mutu sensori tertinggi. Perlakuan yang terpilih juga merupakan

11
perlakuan yang menghasilkan produk yang sudah memenuhi target penyimpanan
minimal, yaitu sudah dipastikan masih layak secara sensori setelah disimpan pada
suhu ruang selama 2 minggu.
Uji Penyimpanan
Perlakuan yang terpilih selanjutnya diaplikasikan pada produk wingko
babat, kemudian disimpan pada suhu ruang dan diamati perubahan mutunya
secara fisik, kimia, mikrobiologi, dan organoleptik setiap minggu, yaitu pada
minggu ke-0, 1, 2, 3, 4, dan 5. Pengamatan yang dilakukan meliputi analisis profil
tekstur, kadar air, aktivitas air (aw), pH, kadar asam lemak bebas, angka lempeng
total, total kapang-khamir, dan uji penerimaan sensori.

Prosedur Analisis
Analisis Profil Tekstur
Analisis profil tekstur dilakukan dengan menggunakan texture analyzer TAXT2i Stable Micro System dengan probe P/75 yang berbentuk silinder dengan
diameter 75 mm. Sebelum digunakan untuk menganalisis sampel, probe
dikalibrasi dengan ketinggian 20 mm. Pengaturan texture analyzer yang
digunakan untuk sampel wingko babat dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Pengaturan texture analyzer untuk wingko babat
Test mode

Texture Profile Analysis

Pre test speed
Test speed
Post test speed
Rupture test dist.
Distance
Force
Time
Count

1.0 mm/s
1.0 mm/s
1.0 mm/s
1.0 %
40.0 %
0.98 N
5.00 s
5

Trigger type
Trigger force
Stop plot at
Break detect
Sensitivity
Force unit
Distance unit

auto
0.1 N
final
off
0.98 N
Newton
% strain

Analisis profil tekstur atau texture profile analysis (TPA) dilakukan dengan
memberikan gaya tekan pada sampel sebanyak dua kali dan menghasilkan data
berupa grafik yang memiliki dua puncak. Data ini diolah dengan menggunakan
software Texture Expert versi 1.22 untuk memperoleh parameter yang dicari,
yaitu kekerasan (hardness) dan daya kunyah (chewiness). Menurut Fox et al.
(2000), kekerasan sampel didefinisikan sebagai nilai puncak pada tekanan
pertama. Sementara itu, daya kunyah diperoleh dari perkalian nilai elastisitas

12
(L2/L1) dengan kelengketan (A2/A1 x kekerasan). Contoh grafik hasil analisis
profil tekstur dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Contoh grafik hasil analisis profil tektur
Analisis Kadar Air Metode Oven Vakum (AOAC 1999)
Analisis kadar air dilakukan dengan metode gravimetri menggunakan oven
vakum Ogawa Seiki model VO-7-3. Cawan kosong dikeringkan di dalam oven
selama 15 menit dan didinginkan di dalam desikator, kemudian ditimbang.
Sebanyak 1-2 gram contoh ditimbang di dalam cawan tersebut, kemudian
dikeringkan di dalam oven pada suhu 70 °C dan tekanan 25-100 mmHg selama 2
jam. Selanjutnya cawan berisi contoh tersebut didinginkan di dalam desikator dan
ditimbang. Penimbangan dilakukan kembali sampai diperoleh bobot konstan
(≤0,0005 gram). Perhitungan kadar air dilakukan berdasarkan basis basah dengan
menggunakan persamaan:
Kadar air (% bb) =

a-b
c

x 100%

Keterangan:
a = massa cawan dan sampel awal (g)
b = massa cawan dan sampel akhir (g)
c = massa sampel awal (g)
Pengukuran Aktivitas Air
Pengukuran aktivitas air (aw) dilakukan untuk mengetahui jumlah air bebas
dalam produk yang dapat digunakan untuk pertumbuhan mikroba. Sebanyak 3-5
gram sampel dimasukkan ke dalam chamber pada aw-meter Shibaura model WA360 dan ditutup rapat. Pembacaan nilai aw dilakukan setelah display menunjukkan
angka yang tetap atau ditandai dengan munculnya indikator complete test.
Pengukuran pH
Pengukuran pH sampel dilakukan dengan menggunakan pH-meter Orion
model 210A. Sebelum digunakan, pH-meter distandarisasi terlebih dengan larutan
buffer pH 4 dan pH 7. Sebanyak 5 gram sampel dihancurkan menggunakan
mortar, kemudian dilarutkan dengan 50 ml air destilata di dalam gelas piala.
Elektroda pH-meter dicelupkan ke dalam larutan sampel, kemudian dilakukan
pembacaan pH sampel hingga mencapai nilai yang tetap.

13
Analisis Kadar Asam Lemak Bebas (modifikasi Sudarmadji et al. 2008)
Sebelum dianalisis, komponen lemak pada sampel diekstrak dengan metode
Folch (Folch et al. 1957 dalam Sudarmadji et al. 2008) yang dimodifikasi.
Sebanyak 1.5 gram sampel yang sudah dihaluskan ditimbang dan ditambahkan
dengan 30 ml campuran kloroform dan metanol dengan perbandingan 2:1. Larutan
sampel diekstraksi di dalam sonikator Branson model 8510 selama 30 menit dan
selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 10 menit.
Kemudian, fase cair sampel diambil dan dipekatkan dengan rotary evaporator
pada suhu 45 °C. Sampel lemak yang diperoleh kemudian dilarutkan dengan 15
ml etanol 95%, ditambahkan 2 tetes indikator fenolftalein, dan dititrasi
menggunakan NaOH 0.1 N sampai timbul warna merah jambu yang permanen
selama 30 detik. Nilai kadar asam lemak bebas dihitung dengan persamaan:
Kadar asam lemak bebas =

V × N × Mr
m × 1000

×100%

Keterangan :
V = volume NaOH (ml)
N = normalitas NaOH
Mr = berat molekul asam lemak
m = massa sampel contoh yang dianalisis (g)
Analisis Angka Lempeng Total (BAM 2001a) dan Total Kapang-Khamir
(BAM 2001b)
Uji mikrobiologi yang dianalisis meliputi angka lempeng total dengan
media PCA (plate count agar) dan total kapang-khamir dengan media PDA
(potato dextrose agar). Media PDA yang digunakan untuk analisis total kapangkhamir ditambahkan dengan kloramfenikol sebanyak 100 mg/l.
Sebanyak 10 gram sampel dilarutkan dengan 90 ml larutan pengencer buffer
fosfat KH2PO4 steril. Larutan ini merupakan larutan sampel dengan konsentrasi
10-1. Pengenceran dilakukan dengan memipet 1 ml larutan sampel dari
pengenceran sebelumnya ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml larutan pengencer
sampai diperoleh pengenceran yang diinginkan. Pemupukan dilakukan dengan
memipet 1 ml larutan sampel ke dalam cawan petri steril, kemudian ditambahkan
15-20 ml media agar steril bersuhu 45 ± 1 oC secara duplo. Setelah agar
membeku, cawan diinkubasi selama 48 ± 2 jam di dalam inkubator suhu 35 °C
untuk angka lempeng total dan 5 hari di dalam inkubator suhu 25 °C untuk total
kapang-khamir.
Untuk analisis angka lempeng total, dipilih cawan yang menunjukkan
jumlah koloni antara 25-250 sedangkan untuk analisis total kapang-khamir dipilih
cawan dengan jumlah koloni 10-150. Perhitungan total kapang-khamir dilakukan
dengan merata-rata jumlah koloni kemudian dikalikan dengan faktor pengenceran.
Sementara itu, perhitungan angka lempeng total dilakukan dengan menggunakan
persamaan:
N=

ΣC

1×n1 + 0.1×n2 ×d

Keterangan :
N = total koloni per ml atau gram sampel
C = jumlah koloni yang dapat dihitung
n1 = jumlah cawan pada pengenceran pertama

14
n2 = jumlah cawan pada pengenceran kedua
d = tingkat pengenceran pertama saat penghitungan dimulai
Uji Penerimaan Sensori (Meilgaard et al. 1999)
Uji penerimaan sensori sampel selama penyimpanan dilakukan dengan
menggunakan uji rating hedonik. Uji rating hedonik dilakukan oleh 70 orang
panelis tidak terlatih terhadap atribut warna, aroma, rasa, tekstur, dan keseluruhan
(overall) setiap sampel produk. Penilaian panelis terhadap atribut sensori
dilakukan dengan menggunakan skala garis yang berukuran 15 cm (Gambar 2).
Masing-masing tanda batas diberi label dengan deskripsi intensitas kesukaan,
yaitu ―sangat tidak suka‖ pada ujung kiri garis dan ―sangat suka‖ pada ujung
kanan garis. Data penilaian panelis diperoleh dengan cara mengukur jarak dari
ujung kiri garis sampai tanda yang diberikan sebagai respon oleh panelis, yaitu
berupa tanda silang atau garis vertikal.

Analisis Data
Pengolahan data hasil analisis dilakukan menggunakan software SPSS 16.0.
Untuk melihat pengaruh penyimpanan terhadap parameter yang diuji, data diolah
menggunakan analisis ragam ANOVA (analysis of variance) dengan mode
general linear model univariate pada taraf nyata 5% dan uji lanjut Duncan (Steel
dan Torrie 1995). Sementara itu, untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap
parameter yang diuji selama penyimpanan, data sampel dibandingkan dengan
kontrol menggunakan mode analisis compare means paired samples t-test pada
taraf nyata 5% (Steel dan Torrie 1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembuatan Produk Wingko Babat
Tahap penelitian yang pertama adalah uji coba pembuatan produk wingko
babat. Pada uji coba pembuatan produk wingko babat ini, digunakan formulasi
dan cara pembuatan wingko babat menurut Pertiwi et al. (2005), yaitu dengan
bahan baku kelapa parut, tepung beras ketan, gula pasir, margarin, garam, kulit
jeruk purut, vanili, dan air. Uji coba pembuatan produk wingko babat ini
dilakukan dengan dua cara pencetakan, yaitu pencetakan adonan yang dilakukan
sebelum pemanggangan dan pencetakan produk wingko babat yang dilakukan
setelah pemanggangan.
Hasil uji coba menunjukkan bahwa pencetakan adonan yang dilakukan
sebelum pemanggangan menghasilkan produk wingko babat dengan bagian
permukaan yang hangus dan keras (case hardening). Foto sampel dari hasil uji
coba pembuatan produk wingko babat dapat dilihat pada Gambar 4a dan 4b.

15

(a)

(b)

Gambar 4 (a) Wingko babat yang dicetak sebelum pemanggangan;
(b) Wingko babat yang dicetak setelah pemanggangan
Menurut Senadeera (2008), case hardening adalah pengerasan permukaan
produk pangan yang dapat terjadi karena suhu permukaan yang tinggi dan
pengeringan yang tidak merata sehingga lapisan kering pada permukaan terbentuk
dengan cepat sebelum air yang berada di bagian dalam produk dapat bermigrasi
ke permukaan. Wingko babat yang dicetak terlebih dahulu sebelum dipanggang
memiliki luas permukaan yang lebih besar daripada wingko babat yang belum
dicetak. Ketika proses pemanggangan, permukaan wingko babat yang sudah
dicetak lebih terpapar oleh panas, sedangkan wingko babat yang belum dicetak
hanya terpapar panas pada permukaan atas dan bawah saja. Akibatnya, terjadi
penguapan air yang lebih cepat pada permukaan wingko babat yang sudah dicetak
sehingga bagian permukaannya menjadi lebih cepat keras. Oleh sebab itu, cara
yang dipilih adalah pencetakan yang dilakukan setelah pemanggangan.
Produk wingko babat yang dihasilkan dari uji coba ini selanjutnya disimpan
di dalam wadah yang tertutup rapat pada suhu ruang dan diamati perubahan mutu
sensorinya selama beberapa hari. Hasil pengamatan yang diringkas pada Tabel 4
menunjukkan bahwa aroma produk wingko babat didominasi oleh aroma yang
berasal kulit jeruk purut. Pertumbuhan kapang mulai dapat diamati secara visual
pada hari ke-3. Akan tetapi, mutu aroma produk masih belum mengalami
perubahan hingga hari ke-4. Hal ini menunjukkan bahwa kulit jeruk purut yang
digunakan dalam formulasi sangat mendominasi aroma produk secara keseluruhan
dan menutupi penurunan mutu aroma produk selama penyimpanan. Oleh sebab itu,
kulit jeruk purut sebaiknya tidak digunakan dalam pembuatan wingko babat.
Tabel 4 Pengamatan sensori selama penyimpanan terhadap wingko babat hasil
uji coba ke-1
Parameter
Warna
Permukaan
Aroma
Rasa
Tekstur
Pertumbuhan
Kapang

Hari ke0

1

normal
normal
aroma
jeruk
normal
normal

normal
normal
aroma
jeruk
normal
normal

-

-

2

3

4

agak pucat agak pucat agak pucat
berair (+) berair (++) berair (++)
aroma
aroma
aroma
jeruk
jeruk
jeruk
normal


agak keras agak keras agak keras
-

+

+

16
Uji coba pembuatan produk wingko babat yang kedua dilakukan dengan
menggunakan formulasi dan cara pembuatan wingko babat menurut Pertiwi et al.
(2005) tanpa penambahan kulit jeruk purut. Pencetakkan wingko babat dilakukan
setelah proses pemanggangan. Produk wingko babat selanjutnya disimpan di
dalam wadah yang tertutup rapat pada suhu ruang dan diamati perubahan mutu
sensorinya selama beberapa hari. Tabel 5 menunjukkan bahwa tanpa penambahan
kulit jeruk purut, penurunan mutu aroma produk sudah dapat diamati pada hari ke2, bersamaan dengan penurunan mutu rasa. Sementara itu, pertumbuhan kapang
mulai dapat diamati secara visual pada hari ke-3.
Tabel 5 Pengamatan sensori selama penyimpanan terhadap wingko babat hasil
uji coba ke-2
Hari ke-

Parameter
Warna
Permukaan
Aroma
Rasa
Tekstur
Pertumbuhan
Kapang

0

1

2

3

4

normal
normal
normal
normal
normal

normal
normal
normal
normal
normal

agak pucat
berair (+)
asam (+)
asam (+)
normal

agak pucat
berair (++)
asam (++)

agak keras

agak pucat
berair (++)
asam (+++)

agak keras

-

-

-

+

+

Berdasarkan data yang ditampilkan pada Tabel 5, penyimpangan aroma
wingko babat setelah disimpan di dalam suhu ruang selama 2 hari ditunjukkan
dengan timbulnya aroma asam. Aroma asam ini diduga disebabkan oleh
petumbuhan mikroba, yaitu kapang. Pertumbuhan kapang merupakan permasalah
utama yang membatasi umur simpan produk bakery