PERADABAN DUNIA

PERADABAN DUNIA
(BELAJAR PERAN DAN FUNGSI DARI FILSAFAT)
Refleksi Perkuliahan Filsafat Ilmu pertemuan kedelapan,
Kamis, 05 November 2015
Direfleksikan oleh
Vivi Nurvitasari, 15701251012,
S2 Prodi PEP Kelas B Universitas Negeri Yogyakarta
http://vivinurvitasari.blogspot.co.id/2015/11/belajar-peran-dan-fungsi-dari-filsafat.html

Diperbaiki oleh
Marsigit

Bismillahirahmanirrahim
Assala u’alaiku , Wr. Wb.
Petemuan kuliah Filsafat Ilmu yang dilaksanakan pada tanggal 05 November 2015
jam 07.30 sampai dengan 09.10 diruang 306A gedung lama Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta Prodi Pendidikan Penelitian dan Evaluasi
Pendidikan kelas B dengan dosen pengampu Prof. Dr. Marsigit, M.A. Sistem
perkuliahan pada minggu ini berbeda dengan pertemuan sebelumnya karena
pada perte ua kali i i Pak Marsigit e berika pe jelasa te ta g Pera da
Fungsi Filsafat dari Awal Zama sa pai Akhir Za a .

Berikut adalah hasil refleksi dari materi yang telah disampaikan oleh Pak Marsigit
pada pertemuan ke delapan :
Obyek filsafat itu adalah yang ada dan yang mungkin ada, yang mempunyai sifat
bermilyar-milyar pangkat bermilyar pun belum cukup untuk menyebutkannya
karena sifat itu berstruktur dan berdimensi. Misalnya saja warna hitam
mempunyai semilyar sifat hitam, yaitu hitam nomor 1 ini, hitam nomor 2 itu, dst.
Maka manusia sifatnya terbatas dan tidak sempurna, oleh karena itu manusia
tidak mampu memikirkan semua sifat dan hanya bisa memikirkan sebagian sifat
saja, sebagian sifat yang dipikirkan saja sehingga bersifat reduksi yaitu untuk
tujuan tertentu, tujuannya ialah membangun dunia, dunia pengetahuan. Jadi yang
direduksi, yang dipilih adalah sifat dari obyek filsafat itu yang bersifat tetap dan
berubah. Kalau hanya berubah itu hanya separuhnya dunia, separuhnya lagi

bersifat tetap, buktinya sejak lahir sampai sekarang sampai mati pun manusia
tetap ciptaan Tuhan.
Dunia jika hanya thesis saja baru separuhnya dunia dan itu tidak sehat dan juga
tidak harmonis. Supaya sehat dan harmonis adanya interaksi antara yang tetap
dan yang berubah. Misalkan saja namanya Pak Marsigit, walapun ada tambahan
Prof.; Dr.; M.A tetap saja namanya Pak Marsigit. Maka sebenar-benar hidup
adalah interaksi antara yang tetap dan yang berubah. Yang tetap itu tokohnya

Permenides. Yang berubah itu tokohnya Heraclitus. Yang tetap itu bersifat idealis,
dan yang berubah itu bersifat realis. Yang ideal tokohnya Plato. Yang realis
tokohnya Aristoteles. Tetap-ideal itu ternyata salah satu sifat dari pikiran,
sedangkan berubah-realis ternyata salah satu sifat dari pengalaman. Pikiran
menghasilkan aksioma, pengalaman menghasilkan kenyataan.
Benarnya yang tetap, benarnya yang ideal, benarnya aksioma itu konsisten atau
koheren, sedangkan benarnya yang berubah, benarnya kenyataan, benarnya
pengalaman itu adalah korespodensi. Yang konsisten atau koheren tersebut
merupakan matematika sebagai ilmu untuk orang dewasa sedangkan yang
korespodensi adalah matematika untuk anak-anak yaitu matematika berupa
aktivitas. Yang konsisten atau koheren tersebut bila dinaikkan menjadi
transendentalisme, dinaikkan lagi menjadi spiritual dan semakin ke atas menjadi
kebenaran tunggal yaitu mono dan menjadi aliran monisme. Sedangkan
korespodensi bila diturunkan menjadi plural atau dualis yang menjadi dualisme.
Selagi kita itu berada di duniamaka kita masih mempunyai sifat yang plural,
jangankan mahasiswa UNY, sedangkan diriku sendiri bersifat plural, karena
bersifat plural maka pada yang tetap itu bersifat konsisten atau identitas yaitu
A=A. A=A hanya terjadi dipikiran, maka matematika yang tertulis dibuku itu hanya
matematika untuk orang dewasa, hanya benar ketika masih didalam pikiran, tapi
ketika ditulis bisa saja salah. Sedangkan yang berubah itu bersifat kontradiksi

yaitu A≠A, kare a A ya g perta a tidak sa a de ga A ya g kedua. Maka ya g
bersifat identitas itu tidak terikat oleh ruang dan waktu sedangkan yang bersifat
kontradiksi itu terikat oleh ruang dan waktu. Yang bersifat tetap dan identitas itu
dikembangkan dan dipertajam dengan logika yang tokohnya adalah Sir Bentrand
Russel, maka lahirlah aliran Logisism. Ilmu yang bersifat formal dan lahirlah aliran
Formalism, tokohnya Hilbert.

Jadi yang ada dan yang mungkin ada itu bisa saja sembarang benda. Kemudian
dari adanya logika dari objek filsafat yang bersifat tetap, maka pera rasio menadi
sangat penting, kemudian lahirlah aliran Rasionalisme tokohnya Rene Decartes.
Sedangkan dalam objek filsafat yang bersifat berubah, sebagian besar terjadi pada
pengalaman; maka lahirlah empirisme tokohnya David Hume yang menuju pada
sekitar abad 15. Yang tetap itu kebenarannya bersifat absolut maka lahirlah
Absolutisme, sedangkan yang berubah itu bersifat relatif, lahirlah aliran
relatifisme. Jadi aliran filsafat itu tergantung pada obyeknya, dan ini terjadi pada
diri kita masing-masing secara mikro, dan ketika kita membaca atau mempelajari
buku, misalnya buku tentang Rene Decartes itu berarti makronya. Jadi hidup itu
adalah interaksi antara mikro dan makro.
Yang namanya logika, pikiran itu konsisten didalam filsafat disebut analitik.
Analitik berarti yang penting konsisten dalam satu hal menuju ke hal yang lain.

Sehingga yang disebut analitik dan konsisten tersebut membutuhkan aturan atau
postulat. Untuk yang mempunyai aksioma atau yang mempunyai postulat adalah
subyeknya atau dewanya, misalnya seorang kakak membuat aturan untuk
adiknya, ketua membuat aturan pada anggotanya, dosen membuat aturan untuk
mahasiswanya. Sedangkan yang di bawah atau yang berubah itu bersifat sintetik
punya sebab dan akibat. Yang diatas yang bersifat tetap atau konsisten itu
bersifat analititk, dan juga bersifat a priori yaitu bisa dipikirkan walaupun belum
melihat bendanya.
Yang dibawah berupa pengalaman itu adalah a posteriori, contohnya dokter
hewan yang harus memegang sapi untuk bisa mengetahui mengetahui penyakit
yang diderita si sapi tersebut, jadi a posteriori itu adalah paham setelah melihat
bendanya. Sedangkan a priori, misalnya dokter yang membuka prakter
pengobatan lewat radio, ketika menangani pasien, dokter tersebut
mendengarkan keluhan-keluhan dari si pasien lewat radio, hanya dengan
mendengarkan tanpa melihat, dokter tersebut sudah bisa membuat resep yang
didasari oleh konsistensi antara teori satu dengan teori yang lain.
Maka Immanuel Kant mencoba mendamaikan perdebatan yang terjadi antara
empirisme dan rasinalisme. Descartes dan pengikutnya berkata tiadalah ilmu jika
tanpa pikiran, sedangkan David Hume berkata tiadalah ilmu jika tidak berdasarkan
pengalaman. Lalu Immanuel Kant mengatakan bahwa antara Descartes dan David

Hume itu keduanya benar dan juga keduanya salah. Dalam apa yang disebutkan

oleh David Hume terdiri unsur kesombongan karena mendewa-dewakan
pengalaman. Sedangkan dalam apa yang dikatakan Descartes itu terdapat
kelemahan yaitu terlalu mendewa-dewakan pikiran dan mengabaikan
pengalaman. Maka unsur daripada pikiran adalah analitik a priori, dan unsur
daripada pengalaman adalah sintetik a posteriori. Ambil sintetiknya, ambil a
priorinya, maka sebenar-benarnya ilmu itu bersifat sintetik a priori, ya dipikirkan
dan juga dicoba.
Jadi jika analitik a priori itu dunianya orang dewasa atau dunianya dewa,
sedangkan sintetik a posteriori itu adalah dunianya anak-anak. Maka dewa itu
mengetahui banyak hal tentang anak-anak, dan anak-anak hanya mengetahui
sedikit tentang dewa. Jadi mendidik anak itu harus bisa melepaskan
kedewasaannya, karena kalau tidak dilepaskan itu akan menakut-nakuti anak
tersebut. Dewa jika turun ke bumi akan menjelma menjadi manusia dewasa. Guru
digambarkan seorang dewa yang turun ke bumi menjelma menjadi manusia
dewasa, itulah gambarannya seorang guru.
Jika kita sebagai guru SD maka pikiran kita juga harus menjelma menjadi pikiran
anak-anak, kalau tidak maka gambarannya akan seperti gunung meletus yang
mengeluarkan lava, yang tinggal dilembah gunung itu adalah anak-anak,

sedangkan guru atau orang dewasa itu bagaikan lava yang turun dari atas dan
panasnya bukan main. Maka ketika mengajarkan matematika pada anak itu
berikan contohnya, karena definisi bagi anak kecil itu berupa contoh, sedangkan
matematika bagi orang dewasa itu adalah definisi, teorema dan bukti.
Akhirnya filsafat dalam perjalanannya seperti yang disebutkan diatas, maka
lahirlah dalam sifat yang tetap dan konsisten itu berupa ilmu-ilmu dasar dan
murni, sedangkan dalam sifat yang berubah itu berupa sosial, budaya, ilmu
humaniora. Maka sampai disitulah bertemu yang namanya bendungan Compte.
Dari sinilah SEGALA MACAM PERSOALAN DUNIA sekarang ini muncul, yaitu
dengan munculnya Fenomena Compte sekitar 2(dua) abad yang lalu. Fenomena
Compte ditandai dengan lahirnya pemikiran August Compte seorang mahasiswa
teknik (drop out) tapi pikirannya berisi tentang filsafat.
Compte berpendapat bahwa agama saja tidak bisa untuk membangun dunia,
karena agama itu bersifat irrasional dan tidak logis. Maka diatasnya agama atau
spiritual itu adalah filsafat, dan diatasnya filsafat itu ada metode Positive atau

saintifik. Positive atau saintifik itulah yang digunakan untuk membangun dunia,
maka lahirlah aliran positifisme. Jadi di Indonesia Kurikulum 2013 dengan metode
Saintifiknya itu asal mulanya dari pikiran Compte yang berupa positivisme tadi.
Jadi metode saintifik dalam kurikulum itu adalah ketidakberdayaan Indonesia

bergaul dengan Power Now. Sumber persoalan/permasalahan segala macam
kehidupan manusia di dunia sekarang ini adalah berawal mula dari
dimarginalkannya Agama oleh Auguste Compte yang dianggap tidak mampu
digunakan sebagai pijakan untuk membangun Dunia. Itulah sebenar-benar yang
disebut sebagai Fenomena Compte.

Dari kesemua aspek Fenomena Compte, yang didukung oleh ilmu dasar sehingga
menghasilkan teknologi, sehingga menjadi paradigma alternatif, kenapa?
Fenomena Compte dengan didukung dengan pengembangan Ilmu-ilmu dasar dan
teknologi, telah menghasilkan Peradaban Barat dengan era industrialisasinya.
Hingga jaman sekarang kontemporer, dunia dikuasai oleh segala aspek
industrialisasi dan teknologi. Itulah-sebenar-benar fenomena Kontemporer atau
Power Now yang mengusasi setap jengkal dan setiap desah napas kehidupan kita
tanpa kecuali di seluruh dunia mulai dari anak-anak, orang dewasa, lakiperempuan, …dst. Dunia Timur yang lebih mengandalkan metode Humaniora,
ditengah pergulatan dari dalam dirinya sendiri, TIDAK MENYADARI BAHWA
FENOMENA COMPTE TELAH MENJELMA MENJADI POWER NOW, yang disokong
pilar-pilar Kapitalisme, Liberalisme, Hedonisme, Pragmatisme, Materialisme,
Utilitarianisme, …dst.
Sementara itu Indonesia, di mana letak geografis dan perikehidupan berbangsa
dan bermasyarakat berasal dari Dunia Timur yang lebih mengedepankan aspekaspek humaniora dengan Strukturnya Dunia Timur yang terdiri dari/dimulai dari

Material paling bawah, Formal di atasnya, Normatif diatasnya lagi, dan Spiritual
yang menjiwai, mendasari dan melingkupi seluruhnya. Itu merupakan cita-cita
Indonesia sesuai dengan dasar negaranya yaitu Pancasila, dimana Pancasila itu
filsafat negara yg bersifat Monodualis, mono karena Esa Tuhannya, dualis yaitu
aku dengan masyarakatku, jadi vertikal dan horisontal, itulah cita-cita kita semua
sebagai warga negara Indonesia. Dalam perjuangan membangun struktur
kehidupan Indonesia yang demikian tadi, ternyata kita menjumpai fenomena
ontologis yaitu Fenomena Compte.

Secara filsafat, Fenomena Compte dapat dipahamai dari 2(dua) sisi, yaitu secara
macro dan micro. Secara macro, Fenomena Compte sesuai dengan yang ditulis
oleh Auguste Compte dalam bukunya POSITIVESME. Secara micro, maka setiap
hari kita sendiri-sendiri atau bersama-sama atau secara kelembagaan/negara
selalu mengalami Fenomena Compte. Contoh micronya adalah jika seseorang
memutuskan untuk membeli produk baru, misal Hand Phone canggih, tetapi
kemudian timbul masalah dalam dirinya, atau keluarganya, atau mungkin
keluarganya menjadi berantakan gara-gara produk baru, maka itulah yang disebut
sebagai micronya Fenomena Compte. Seorang mahasiswa yang membeli
komputer baru sehingga melupakan kewajiban ibadah Shalatnya maka dia sudah
terkena Fenomena Compte.


Maka kita belajar filsafat itu bagaikan seekor ikan dilaut yang airnya terkena
polusi berupa kontemporer (kekinian). Pada jaman Kontemporer ini sudah banyak
ikan-ikan kecil di laut yang mati terkena limbahnya kehidupan Power Now.
Banyak juga makhluk hidup yang mengalami perubahan genetika/mutasi gen,
misal TKI muda yang pergi ke Luar Negeri, setelah kembali dia sudah berubah
semuanya, dunia dan akhiratnya. Itulah salah satu dampak mikro fenomena
Compte.
Belajar Filsafat bukanlah sembarang manusia yang mampu menjalaninya. Ibarat
kita ini adalah ikan kecil di lautan, maka belaar filsafat bukanlah sembarang ikan.
Tetapi adalah ikan yang mempunyai kesadaran kosmis dan kesadaran kosmos.
Kita yang belajar filsafat untuk mengatahui struktur dunia dapat diibaratkan
sebagai seorang Bima yang mencari Wahyu atau Banyu Penguripan Perwitasari di
dasar samudra. Sang Bima dengan bersikap mengalir dengan kesadaran hidup
baik buruk, ditipu dan difitnah, tetapi didasari aspek Fatal dengan berserah diri
pada Yang Kuasa, akhirnya dapat bertemu Dewa Ruci sang Dewa dasar laut
sebagai representasi Dewa atau yang Kuasa, untuk memberikan wahyu atau
pencerahan atau ilmu. Sebagai mahasiswa, ilmu yang engkau dapat dari P
Marsigit dan juga dengan cara membaca Elegi-elegi kejadiannya mirip dengan
sang Bima menemupakan air kehidupan. Engkau akan mengerti setiap aliran air

jernih atau air limbahnya Kapitalisme mulai dari hulu sampai ke hilirnya.
Untukmendapatkan sebenar-benar ilmu (wahyu) maka seseorang (Bima, Arjuna
dan engkau si subjek belajar filsafat) harus mampu menatasi segala kontradiksi

sesuai dengan batasan0batasannya. Jadi apakah anda paham apa itu kontradiksi?
Karena sebenar-benarnya hidup ini adalah kontradiksi. Kontradiksi yang nyata dan
yang kasat mata adalah ketika orang terjun ke air, muncul di atas sudah
terlentang, maka berfilsafat itu mencari pengetahuan sehingga ketika terjun ke
dalam air bisa muncul lagi dengan selamat. Jadi berfilsafat itu mencari alat untuk
memilah-milah antara limbah kapitalisme, limbah liberalisme, limbahnya
materialisme, dst. Jadi filsafat itu ada didalam diri kita semuanya. Maka adanya
interaksi antara makro dan mikro. Jadi itulah gambarannya untuk mahasiswa
sebagai bekal ketika membaca elegi-elegi dalam blog Pak Marsigit.
Setiap hari Indonesia tidak bisa berdiri tegak karena digempur oleh berbagai
macam peristiwa Power Now yang berupa teknologi, pendidikannya, serta
politiknya. Sehingga Indonesia selalu menjadi negara yang lemah dan tidak
mempunyai jati diri, kenapa bisa begitu? Hal ini salah satunya dikarenakan
Indonesia dalam sejarahnya belum mempunyai Pemimpin yang berkarakter dan
berwawasan ke depan (400 tahun misalnya. Indonesia dalam kancah pergaulan
dunia, seperti seekor anak ayam yang kelaparan di dalam lumbungnya sendiri.

Bergaul dengan dunia kontemporer dewasa ini tidaklah mudah dan tidaklah
murah. Agar si anak ayam Indonesia tidak dipatuk oleh si Rajawali Power Now
maka Indonesia harus mau dan mampu memberikan konsensi berupa Investasi
atau mengikuti aturan, ketentuan, bahkan paradigma (misal Saintifik).
Sehingga Indonesia telah menjadi obyek dari dunia Power Now, maka begini salah
begitu salah, serba salah. Itulah kita bangsa yang lemah, para pemikirnya juga
menjadi pemikir yang lemah, sehingga metode Saintifiknya juga menjadi tidak
berkarakter, karena dalam setiap metode saintifik di dunia aslinya terdapat
langkah yaitu Hipotesis. Tetapi di dalam Kurikulum 2013 tidak ada dan diganti
dengan Menanya. Menanya apa, menanya untuk apa? Sebetulnya adalah untuk
membuat Hipotesis sementara. Tetapi mendengan kata-kata Hipotesis tentu
semua orang, guru dan murid akan ketakutan. Binatang macam apa Hipotesis itu.
Padahal di Australia, Hipotesis itu sudah ada di Sekolah Dasar. Hipotesis itu
sederhanay hanya pendapat sementara , boleh benar, boleh salah. Untuk
membuktika benar salahnya itulah maka diperlukan Percobaan. Sangat
sederhana.
Metode saintifik itu hanya salah satu aspek dari ilmu humaniora, sepertiganya
daripada hermeneutika. Jika Kurikulum 2013 akan mengangkat metode Saintifik

sebagai slogan atau tema universal, maka akan terjadi ketimpangan. Tidaklah
mungkin bagian dapat mengatasi/melingkupi keseluruhannya. Saintifik adalah
bagian dari Humaniora. Humaniora manusia dikembangan dengan metode
sunatullah (terjemah dan diterjemahkan) dan lahirlah metode Hermenitika.
Dalam Hermeneutika terdapat 3(tiga) komponen dasar utama yaitu metode
menajam, metode mendatar dan metode mengembang dalam titik ada 3 elemen.
Elemen menejam atau menukik yang artinya mendalami secara intensif dengan
memakai metode saintifk. Metode mendatar itu artinya membudayakan
(istiqomah/sustain). Metode mengembang yang artinya membangun dunia
(constructive). Membangun matematika itu menemukan konsep, menemukan
rumus. Maka mahasiswa yang sedang membangun dunia dengan filsafat itu
belum jelas seperti apa bangunannya. Maka dari itu harus banyak membaca. Ikan
ya ikan tetapi alangkah baiknya ikan itu mengetahui jenis-jenis dari air agar bisa
mencari air yang bersih, karena itu bukan untuk kepentingan ikan itu sendiri,
karena nantinya ikan itu akan bertelur sehingga menyelamatkan generasi yang
akan datang atau keturunan kita nantinya. Jika engkau paham dan sadar mudahmudahan keturunanmu juga nantinya akan mengerti dan sadar, juga orang
didekatmu, keluargamu termasuk murid-muridmu. Amin.
Alha dulillahirrobbil’ala i .