Biological study of longtailed macaques (macaca fascicularis) which experience transportation

KAJIAN BIOLOGIS MONYET EKOR PANJANG
(Macaca fascicularis) YANG MENGALAMI
PENGANGKUTAN DENGAN PEMBERIAN
PAKAN BERBEDA

DEYV PIJOH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

ABSTRAK
DEYV PIJOH. Kajian Biologis Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)
yang Mengalami Pengangkutan Dengan Pemberian Pakan Berbeda. Dibimbing
oleh Sri Supraptini Mansjoer, Wiranda G Piliang, dan Ikin Mansjoer.
Pengangkutan menyebabkan, terjadi perubahan lingkungan yang dapat
memicu cekaman pada monyet, sehingga laju metabolisme tubuh meningkat.
Peningkatan ini akan mengganggu aktivitas biologis dan fisiologis dalam tubuh
monyet, bahkan bisa mengakibatkan kematian. Untuk mengatasi hal tersebut,
perlu dilakukan penanganan yang tepat.

Penelitian ini berlangsung di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Kuningan
dan dilakukan dalam dua tahapan; tahap pertama untuk lama pengangkutan
delapan jam pada bulan September 2003 selama 26 hari, dan tahap kedua lama
penga ngkutan 24 jam selama 28 hari. Masing-masing percobaan menggunakan 30
ekor monyet betina dewasa, berumur 4-5 tahun dengan bobot badan 2,5-3,5 kg.
Peubah yang diamati meliputi melihat konsumsi total selama pengangkutan,
penyerapan pakan, perubahan bobot badan, dan perubahan tingkah laku selama
dan sesudah pengangkutan. Selama pengangkutan diberikan lima jenis pakan,
sedangkan monyet yang diberikan pakan tertentu dikandangkan dalam kandang
pengangkutan tidak berjendela dan berjendela untuk mengamati pengaruh jenis
kandang terhadap tingkah laku. Dalam penelitian ini digunakan analisis statistik
parametrik dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT), selain itu, dilakukan analisis
nonparametrik.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pengangkutan mempengaruhi hampir
semua perlakuan, keragaman pemberian pakan menyebabkan konsumsi dan
penyerapan berbeda tetapi tidak perubahan bobot badan. Dari hasil penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa selama monyet ekor panjang dalam proses
pengangkutan, pemberian pakan yang terbaik terdiri dari monkey chow ditambah n
buah-buahan dan multivitamin melalui suntikan intramuskular. Penggunaan
model kandang tidak berpengaruh dalam pengangkutan. Berdasarkan lama

pemulihan tingkah laku ke tingkah laku sebelum pengangkutan, lama
pengangkutan 24 ja m menyebabkan monyet ekor panjang mengalami cekaman
lebih besar dibandingkan dengan lama pengangkutan delapan jam. Dianjurkan
agar pakan selama pengangkutan sebaiknya pakan kaya protein (monkey chow)
dengan tambahan buah-buahan agar juga kaya serat kasar dan memiliki
palatabilitas tinggi.

ABSTRACT

DEYV PIJOH. Biological Study of Longtailed Macaques (Macaca fascicularis)
Which Experience Transportation. Supervised by: Sri Supraptini Mansjoer,
Wiranda G Pilliang, and Ikin Mansjoer.
During transportation of monkeys, environment conditions change, cause
stress to the animals and consequently the rate of body metabolism increases. This
condition influences the stability of biological and physiological activities of the
animals, and could cause death.
It is therefore necessary to apply appropriate management during
transportation of the monkeys. This study was conducted in Bogor and Kuningan
counties in two periods, 26 days in September 2003 for transportation time of
eight hours, and another 28 days in October – November 2003 for transportation

time of 24 hours.
The transportation times were treatments applied in the experiment, in
which 30 adult female monkeys of 2.5-3.5 kgs of weight were used for each
treatment. In addition, five types of rations were given during transportation, and
the monkeys were put in two types of individual cages, with and without
windows, to observe the effect of open and closed cages. A complete randomized
design, arranged factorially was used.
Total feed consumption, coefficient of digestibility, changes in body
weight, and behaviour of animals during and after transportation were measured
in this study.
The results of the study indicated that transportation caused changes in
almost all aspects of the treatments but, there were no significant differences
found due to the type of transportation cages used.
Based on the recovery times needed to get back to normal non-stressed
behaviour, it was found that longer transportation periods (24 hours vs eight
hours) needed longer recovery times.
It is recommended that rations during transportation have high levels of
protein (monkey chow), and be supplemented with appropriate fruits to furnish the
raw fiber and high palatibility.


KAJIAN BIOLOGIS MONYET EKOR PANJANG
(Macaca fascicularis) YANG MENGALAMI
PENGANGKUTAN DENGAN PEMBERIAN
PAKAN BERBEDA

DEYV PIJOH

Tesis
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Primatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

Judul Tesis

: Kajian Biologis Monyet Ekor Panjang ( Macaca fascicularis)

yang Mengalami Pengangkutan Dengan Pemberian Pakan
Berbeda

Nama

: Deyv Pijoh

NRP

: P057020021

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr.Ir.Hj. Sri Supraptini Mansjoer
Ketua

drh. Ikin Mansjoer MSc
Anggota


Prof Dr. Ir. Wiranda G Piliang MSc
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Primatologi

Dr.Ir. Hj. Sri Supraptini Mansjoer

Tanggal Ujian : 13 Desember 2005

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr.Ir. Syafrida Manuwoto MSc

Tanggal Lulus :

Kata Pengantar
Segala kemuliaan penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih
dan Pemurah, “karena Tuhanlah yang memberikan hikmat, dari mulut-NYA
datang pengetahuan dan kepandaian “ atas berkat dan pertolongan-Nya sehingga
penyusunan tesis ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilakukan berjudul

Kajian Biologis Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) yang Mengalami
Pengangkutan Dengan Pemberian Pakan Berbeda.
Tak ada kata yang dapat penulis sampaikan selain ucapan terima kasih
yang tulus dan penghargaan yang besar kepada guruku Dr. Ir. Sri Supraptini
Mansjoer selaku ketua komisi pembimbing, dan anggota Profesor Dr. Ir. Wiranda
G. Piliang MSc dan bapak drh. Ikin Mansjoer MSc yang telah rela meluangkan
waktu, mencurahkan tenaga dan pikiran, serta mengarahkan penulis semenjak
penyusunan proposal, penelitian sampai dengan penyusunan tesis ini. Terima
kasih disampaikan kepada, pimpinan SPs-IPB beserta staf pengajarnya yang telah
memberikan kesempatan penulis berbekal ilmu. Rasa terima kasih sedalamdalamnya disampaikan kepada Dr. drh. Joko Pamungkas MSc, Kepala Pusat dan
staf PSSP -LPPM IPB yang selama ini telah menerima penulis dalam proses
pembelajaran berlangsung.
Disampaikan terima kasih kepada bapak drh. I Nengah Budiarta direktur
PT Wanara Satwa Loka (WSL) dan karyawan, bapak Willem Manangsang
direktur PT Inquatex dan karyawan, serta bapak (alm) H Suparno pimpinan PT
Kuningan Primata Lestari (KPL) dan karyawan yang telah bersedia dijadikan
tempat penelitian. Terima kasih kepada mereka yang telah membantu secara
materiil dan spiritual penulis selama ini, mahasiswa PS Primatologi SPs IPB,
mahasiswa Sulut di Bogor khususnya asrama Bogor Baru II. Dengan segenap
persaudaraan yang indah, saya sampaikan terima kasih kepada Annas dan Anna,

mas Hery dan bu Esti sekeluarga, mas Saroyo, Ian, Irfan dan Firman, sobatku
Wawan Sutian yang telah berbagi suka dan duka selama penelitian.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada adik iparku Keluarga
Ngangi-Malonda, Keluarga Ngangi-Mawikere, dan Henny WH Ngangi. Dalam
meraih sukses ini penulis banyak menerima cinta dan kasih dari kakakku

Keluarga Pijoh-Hansang, Deane Maria Pijoh serta adikku Keluarga MoningkaPijoh. Kepada mertuaku Sus Miladeg Karamoy, dan MAMIE yang selalu
menyertai penulis dalam meraih cita-cita, terima kasih atas pengorbanannya.
Dengan segenap cinta yang dimiliki penulis persembahkan tesis ini kepada istriku
Rinny Lentji Ngangi, dan anakku Immanuella Tumatenden. Tuhan kiranya
memberkati kita semua Immanuel.
Semoga tulisan ini dapat menjadi sumbangan ilmu pengetahuan dan
bermanfaat bagi mereka yang membacanya.

Bogor, November 2005

Deyv Pijoh

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Biologis Monyet Ekor

Panjang (Macaca fascicularis) yang Mengalami Pengangkutan Dengan
Pemberian Pakan Berbeda adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka
bagian akhir tesis ini.

Bogor, November 2005
Deyv Pijoh
NRP P057020021

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Makassar Sulawesi Selatan pada tanggal 8 Desember
1960, anak ketiga dari empat bersaudara dari ayah Lodewijk Pijoh (almarhum)
dan Ibu Julianna Anatjee Mawikere. Pendidikan sarjana ditempuh di Universitas
Sam Ratulangi Fakultas Peternakan Jurusan Ilmu Produksi Ternak, lulus pada
tahun 1988. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Peternakan
Universitas Sam Ratulangi Manado sejak tahun 1988.
Penulis menikah dengan Rinny Lentji Ngangi pada tahun 1991, dari
Keluarga Ngangi-Karamoy dan dikaruniai dua orang putri bernama Linnon

Ratumbanua Febriany (almarhum) dan Immanuella Tumatenden
Pada tahun 2002, penulis diterima di Program Studi Primatologi Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana
diperoleh dari DirJen Dikti Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Satwa primata merupakan satwa liar yang mempunyai sifat biologis,
anatomis dan fisiologis yang mendekati manusia, dan oleh sebab itu banyak
digunakan sebagai hewan model dalam percobaan ilmu pengetahuan dan
teknologi, khususnya pengembangan bidang biologi dan kesehatan manusia.
Percobaan-percobaan yang menggunakan hewan model primata antara lain
penelitian untuk pengujian obat-obatan dan pembuatan vaksin, dan kemampuan
biologis kekebalan alami terhadap penyakit yang dimiliki. Satwa primata yang
dipakai sebagai hewan model antara lain monyet ekor panjang (MEP) (Macaca
fascicularis), oleh karena itu kebutuhan akan MEP dari tahun ke tahun semakin
bertambah sejalan dengan peningkatan kemajuan ilmu pengetahuan yang ada.
Pasar komoditi MEP antara lain Amerika Serikat, Jepang dan beberapa
negara Eropa. Dilaporkan, negara Amerika Serikat saja membutuhkan lebih

kurang 15.000 ekor/tahun, dan kontribusi yang dapat dipenuhi oleh Indonesia
hanya sekitar 3.000 ekor (20%), padahal populasi di ne gara kita sangat melimpah
bahkan pada beberapa daerah keberadaannya ini merupakan hama bagi petani.
Dewasa ini Indonesia dihadapkan pada masalah penolakan untuk
pengangkutan satwa hidup oleh perusahan pengangkutan udara nasional dan
internasional karena te kanan LSM. Penolakan ini terjadi dengan alasan
pengelolaan atau penanganan yang kurang menjamin kesejahteraan dan
kenyamanan satwa selama perjalanan. Hal ini jelas sangat merugikan Indonesia
sebagai pengekspor satwa primata.
Selama ini dalam proses pengiriman monyet untuk sampai ketempat tujuan,
perusahaan eksportir tidak mempunyai prosedur operasi baku yang jelas mengenai
penanganan selama pengangkutan berlangsung, baik itu berupa pemberian pakan
maupun

penggunaan

kandang,

sehigga

para

perusahaan

melakuka nnya

berdasarkan pengalaman yang dimiliki, padahal kedua hal tersebut sangat
berpengaruh pada kenyamanan monyet. Kajian tentang kesejahteraan dan
kenyamanan dalam pelaksanaan pengangkutan MEP serta satwa primata lainnya
masih kurang, belum banyak informasi yang ada sebagai referensi bagi eksportir,

KAJIAN BIOLOGIS MONYET EKOR PANJANG
(Macaca fascicularis) YANG MENGALAMI
PENGANGKUTAN DENGAN PEMBERIAN
PAKAN BERBEDA

DEYV PIJOH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

ABSTRAK
DEYV PIJOH. Kajian Biologis Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)
yang Mengalami Pengangkutan Dengan Pemberian Pakan Berbeda. Dibimbing
oleh Sri Supraptini Mansjoer, Wiranda G Piliang, dan Ikin Mansjoer.
Pengangkutan menyebabkan, terjadi perubahan lingkungan yang dapat
memicu cekaman pada monyet, sehingga laju metabolisme tubuh meningkat.
Peningkatan ini akan mengganggu aktivitas biologis dan fisiologis dalam tubuh
monyet, bahkan bisa mengakibatkan kematian. Untuk mengatasi hal tersebut,
perlu dilakukan penanganan yang tepat.
Penelitian ini berlangsung di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Kuningan
dan dilakukan dalam dua tahapan; tahap pertama untuk lama pengangkutan
delapan jam pada bulan September 2003 selama 26 hari, dan tahap kedua lama
penga ngkutan 24 jam selama 28 hari. Masing-masing percobaan menggunakan 30
ekor monyet betina dewasa, berumur 4-5 tahun dengan bobot badan 2,5-3,5 kg.
Peubah yang diamati meliputi melihat konsumsi total selama pengangkutan,
penyerapan pakan, perubahan bobot badan, dan perubahan tingkah laku selama
dan sesudah pengangkutan. Selama pengangkutan diberikan lima jenis pakan,
sedangkan monyet yang diberikan pakan tertentu dikandangkan dalam kandang
pengangkutan tidak berjendela dan berjendela untuk mengamati pengaruh jenis
kandang terhadap tingkah laku. Dalam penelitian ini digunakan analisis statistik
parametrik dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT), selain itu, dilakukan analisis
nonparametrik.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pengangkutan mempengaruhi hampir
semua perlakuan, keragaman pemberian pakan menyebabkan konsumsi dan
penyerapan berbeda tetapi tidak perubahan bobot badan. Dari hasil penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa selama monyet ekor panjang dalam proses
pengangkutan, pemberian pakan yang terbaik terdiri dari monkey chow ditambah n
buah-buahan dan multivitamin melalui suntikan intramuskular. Penggunaan
model kandang tidak berpengaruh dalam pengangkutan. Berdasarkan lama
pemulihan tingkah laku ke tingkah laku sebelum pengangkutan, lama
pengangkutan 24 ja m menyebabkan monyet ekor panjang mengalami cekaman
lebih besar dibandingkan dengan lama pengangkutan delapan jam. Dianjurkan
agar pakan selama pengangkutan sebaiknya pakan kaya protein (monkey chow)
dengan tambahan buah-buahan agar juga kaya serat kasar dan memiliki
palatabilitas tinggi.

ABSTRACT

DEYV PIJOH. Biological Study of Longtailed Macaques (Macaca fascicularis)
Which Experience Transportation. Supervised by: Sri Supraptini Mansjoer,
Wiranda G Pilliang, and Ikin Mansjoer.
During transportation of monkeys, environment conditions change, cause
stress to the animals and consequently the rate of body metabolism increases. This
condition influences the stability of biological and physiological activities of the
animals, and could cause death.
It is therefore necessary to apply appropriate management during
transportation of the monkeys. This study was conducted in Bogor and Kuningan
counties in two periods, 26 days in September 2003 for transportation time of
eight hours, and another 28 days in October – November 2003 for transportation
time of 24 hours.
The transportation times were treatments applied in the experiment, in
which 30 adult female monkeys of 2.5-3.5 kgs of weight were used for each
treatment. In addition, five types of rations were given during transportation, and
the monkeys were put in two types of individual cages, with and without
windows, to observe the effect of open and closed cages. A complete randomized
design, arranged factorially was used.
Total feed consumption, coefficient of digestibility, changes in body
weight, and behaviour of animals during and after transportation were measured
in this study.
The results of the study indicated that transportation caused changes in
almost all aspects of the treatments but, there were no significant differences
found due to the type of transportation cages used.
Based on the recovery times needed to get back to normal non-stressed
behaviour, it was found that longer transportation periods (24 hours vs eight
hours) needed longer recovery times.
It is recommended that rations during transportation have high levels of
protein (monkey chow), and be supplemented with appropriate fruits to furnish the
raw fiber and high palatibility.

KAJIAN BIOLOGIS MONYET EKOR PANJANG
(Macaca fascicularis) YANG MENGALAMI
PENGANGKUTAN DENGAN PEMBERIAN
PAKAN BERBEDA

DEYV PIJOH

Tesis
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Primatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

Judul Tesis

: Kajian Biologis Monyet Ekor Panjang ( Macaca fascicularis)
yang Mengalami Pengangkutan Dengan Pemberian Pakan
Berbeda

Nama

: Deyv Pijoh

NRP

: P057020021

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr.Ir.Hj. Sri Supraptini Mansjoer
Ketua

drh. Ikin Mansjoer MSc
Anggota

Prof Dr. Ir. Wiranda G Piliang MSc
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Primatologi

Dr.Ir. Hj. Sri Supraptini Mansjoer

Tanggal Ujian : 13 Desember 2005

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr.Ir. Syafrida Manuwoto MSc

Tanggal Lulus :

Kata Pengantar
Segala kemuliaan penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih
dan Pemurah, “karena Tuhanlah yang memberikan hikmat, dari mulut-NYA
datang pengetahuan dan kepandaian “ atas berkat dan pertolongan-Nya sehingga
penyusunan tesis ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilakukan berjudul
Kajian Biologis Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) yang Mengalami
Pengangkutan Dengan Pemberian Pakan Berbeda.
Tak ada kata yang dapat penulis sampaikan selain ucapan terima kasih
yang tulus dan penghargaan yang besar kepada guruku Dr. Ir. Sri Supraptini
Mansjoer selaku ketua komisi pembimbing, dan anggota Profesor Dr. Ir. Wiranda
G. Piliang MSc dan bapak drh. Ikin Mansjoer MSc yang telah rela meluangkan
waktu, mencurahkan tenaga dan pikiran, serta mengarahkan penulis semenjak
penyusunan proposal, penelitian sampai dengan penyusunan tesis ini. Terima
kasih disampaikan kepada, pimpinan SPs-IPB beserta staf pengajarnya yang telah
memberikan kesempatan penulis berbekal ilmu. Rasa terima kasih sedalamdalamnya disampaikan kepada Dr. drh. Joko Pamungkas MSc, Kepala Pusat dan
staf PSSP -LPPM IPB yang selama ini telah menerima penulis dalam proses
pembelajaran berlangsung.
Disampaikan terima kasih kepada bapak drh. I Nengah Budiarta direktur
PT Wanara Satwa Loka (WSL) dan karyawan, bapak Willem Manangsang
direktur PT Inquatex dan karyawan, serta bapak (alm) H Suparno pimpinan PT
Kuningan Primata Lestari (KPL) dan karyawan yang telah bersedia dijadikan
tempat penelitian. Terima kasih kepada mereka yang telah membantu secara
materiil dan spiritual penulis selama ini, mahasiswa PS Primatologi SPs IPB,
mahasiswa Sulut di Bogor khususnya asrama Bogor Baru II. Dengan segenap
persaudaraan yang indah, saya sampaikan terima kasih kepada Annas dan Anna,
mas Hery dan bu Esti sekeluarga, mas Saroyo, Ian, Irfan dan Firman, sobatku
Wawan Sutian yang telah berbagi suka dan duka selama penelitian.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada adik iparku Keluarga
Ngangi-Malonda, Keluarga Ngangi-Mawikere, dan Henny WH Ngangi. Dalam
meraih sukses ini penulis banyak menerima cinta dan kasih dari kakakku

Keluarga Pijoh-Hansang, Deane Maria Pijoh serta adikku Keluarga MoningkaPijoh. Kepada mertuaku Sus Miladeg Karamoy, dan MAMIE yang selalu
menyertai penulis dalam meraih cita-cita, terima kasih atas pengorbanannya.
Dengan segenap cinta yang dimiliki penulis persembahkan tesis ini kepada istriku
Rinny Lentji Ngangi, dan anakku Immanuella Tumatenden. Tuhan kiranya
memberkati kita semua Immanuel.
Semoga tulisan ini dapat menjadi sumbangan ilmu pengetahuan dan
bermanfaat bagi mereka yang membacanya.

Bogor, November 2005

Deyv Pijoh

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Biologis Monyet Ekor
Panjang (Macaca fascicularis) yang Mengalami Pengangkutan Dengan
Pemberian Pakan Berbeda adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka
bagian akhir tesis ini.

Bogor, November 2005
Deyv Pijoh
NRP P057020021

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Makassar Sulawesi Selatan pada tanggal 8 Desember
1960, anak ketiga dari empat bersaudara dari ayah Lodewijk Pijoh (almarhum)
dan Ibu Julianna Anatjee Mawikere. Pendidikan sarjana ditempuh di Universitas
Sam Ratulangi Fakultas Peternakan Jurusan Ilmu Produksi Ternak, lulus pada
tahun 1988. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Peternakan
Universitas Sam Ratulangi Manado sejak tahun 1988.
Penulis menikah dengan Rinny Lentji Ngangi pada tahun 1991, dari
Keluarga Ngangi-Karamoy dan dikaruniai dua orang putri bernama Linnon
Ratumbanua Febriany (almarhum) dan Immanuella Tumatenden
Pada tahun 2002, penulis diterima di Program Studi Primatologi Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana
diperoleh dari DirJen Dikti Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Satwa primata merupakan satwa liar yang mempunyai sifat biologis,
anatomis dan fisiologis yang mendekati manusia, dan oleh sebab itu banyak
digunakan sebagai hewan model dalam percobaan ilmu pengetahuan dan
teknologi, khususnya pengembangan bidang biologi dan kesehatan manusia.
Percobaan-percobaan yang menggunakan hewan model primata antara lain
penelitian untuk pengujian obat-obatan dan pembuatan vaksin, dan kemampuan
biologis kekebalan alami terhadap penyakit yang dimiliki. Satwa primata yang
dipakai sebagai hewan model antara lain monyet ekor panjang (MEP) (Macaca
fascicularis), oleh karena itu kebutuhan akan MEP dari tahun ke tahun semakin
bertambah sejalan dengan peningkatan kemajuan ilmu pengetahuan yang ada.
Pasar komoditi MEP antara lain Amerika Serikat, Jepang dan beberapa
negara Eropa. Dilaporkan, negara Amerika Serikat saja membutuhkan lebih
kurang 15.000 ekor/tahun, dan kontribusi yang dapat dipenuhi oleh Indonesia
hanya sekitar 3.000 ekor (20%), padahal populasi di ne gara kita sangat melimpah
bahkan pada beberapa daerah keberadaannya ini merupakan hama bagi petani.
Dewasa ini Indonesia dihadapkan pada masalah penolakan untuk
pengangkutan satwa hidup oleh perusahan pengangkutan udara nasional dan
internasional karena te kanan LSM. Penolakan ini terjadi dengan alasan
pengelolaan atau penanganan yang kurang menjamin kesejahteraan dan
kenyamanan satwa selama perjalanan. Hal ini jelas sangat merugikan Indonesia
sebagai pengekspor satwa primata.
Selama ini dalam proses pengiriman monyet untuk sampai ketempat tujuan,
perusahaan eksportir tidak mempunyai prosedur operasi baku yang jelas mengenai
penanganan selama pengangkutan berlangsung, baik itu berupa pemberian pakan
maupun

penggunaan

kandang,

sehigga

para

perusahaan

melakuka nnya

berdasarkan pengalaman yang dimiliki, padahal kedua hal tersebut sangat
berpengaruh pada kenyamanan monyet. Kajian tentang kesejahteraan dan
kenyamanan dalam pelaksanaan pengangkutan MEP serta satwa primata lainnya
masih kurang, belum banyak informasi yang ada sebagai referensi bagi eksportir,

sehingga perlu dilakukan penelitian. Mengacu pada kenyataan tersebut, maka
telah dilakukan penelitian untuk mendapatkan informasi pengaruh pengangkutan
dengan berbagai pakan yang diberi dan bentuk kandang berbeda terhadap
beberapa aspek biologis dan tingkah laku MEP.

Dasar Pemikiran
Perubahan lingkungan sangat mudah terjadi, hal ini sangat mengganggu
kehidupan organisme, sehingga organisme harus melakukan adaptasi untuk
menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan yang ada. Organisme
mempunyai batas toleransi menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan
sekitarnya, dan ketidak-mampuan mentolerir perubahan lingkungan menyebabkan
terjadinya cekaman, yang dapat diketahui melalui aktivitas biologis dan fisiologis
yang menyimpang dari biasanya.
Untuk memenuhi materi penelitian yang menggunakan hewan model MEP
yang dilakukan negara maju, maka dilakukan proses eksportasi. Salah satu faktor
yang penting dalam eksportasi adalah pengangkutan, terlebih pengangkutan satwa
hidup seperti monyet yang sangat rumit, sehingga perlu penanganan yang tepat
agar supaya tidak mengakibatkan kerugian.
Penanganan pengangkutan selama pengiriman monyet meliputi: persiapan
sebelum pengangkutan, pelaksanaan pengangkutan, dan penanganan sesuda h
pengangkutan.

Persiapan

sebelum

pengangkutan

dimulai

dari

monyet

dikarantinakan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi kesehatan dan kebugaran.
Selain itu dalam periode karantina dilaksanakan proses penyesuaian diri satwa
terhadap kondisi pengangkutan berupa penggunaan kandang individu yang
berukuran lebih sempit, cara pemberian pakan yang khusus untuk pengangkutan,
serta penggunaan peralatan lain seperti tempat minum.
Pada pengangkutan monyet terjadi perubahan lingkungan, dan setiap
perubahan lingkungan dapat memicu terjadinya cekaman. Gejala -gejala yang
dapat dilihat akibat cekaman antara lain kelelahan, kondisi fisik menurun, proses
metabolisme terganggu, penurunan agresivitas, ketakutan, kegelisahan, depresi,
dan perubahan kebiasaan makan. Tingkah laku yang merupakan ekspresi satwa,

2

menggambarkan suatu interaksi antara reaksi tubuh dengan lingkungannya,
sehingga dapat dijadikan indikator reaksi tubuh terhadap kondisi lingkungannya.
MEP dalam pengangkutan, akan mengalami cekaman, sehingga diperlukan
penanganan yang tepat agar supaya monyet dapat bertahan lebih baik, bahkan
kalau bisa dapat meminimalkan cekaman yang terjadi. Cekaman yang terjadi
selama pengangkutan menyebabkan adanya gangguan fisiologis dan perubahan
aktivitas fisik. Untuk melakukan aktivitas fisik ini, monyet membutuhkan zat-zat
nutrisi yang terkandung dalam pakan, sehigga perlu upaya yang tepat untuk
pemenuhan zat nutrisi dengan pemberian pakan yang sesuai dengan kebutuhan
monyet selama pengangkutan.
Kebutuhan zat makanan yang penting untuk aktivitas tubuh antara lain
energi. Pada monyet yang mengalami cekaman, kebutuhan energi untuk hidup
pokok meningkat sejalan dengan peningkatan laju metabolisme yang terjadi.
Peningkatan energi dapat terpenuhi oleh pemberian pakan yang kaya sumber
ene rgi, akan tetapi untuk metabolisme energi tersebut dibutuhkan proses yang
cukup panjang. Untuk mengatasi kondisi ini, dapat dilakukan dengan penambahan
energi siap pakai secara langsung. Cekaman juga dapat mengakibatkan reaksi fisik
yang tidak terkendalika n, dapat memberikan efek merusak pada diri sendiri. Pada
kondisi tersebut diperlukan pemberian obat penenang ( tranquiliser).
Penggunaan kandang dalam pengangkutan yang dilakukan selama ini
menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi monyet, karena
keterbatasannya bergerak pada kandang pengangkutan yang sempit. Oleh sebab
itu perlu diberikan bentuk kandang yang dapat mengurangi dampak negatifnya.

Tujuan
Untuk mengetahui kondisi biologis MEP (konsumsi dan kecernaan semu
zat-zat makanan, bobot badan serta tingkah laku) yang mengalami pengangkutan
dengan pemberian pakan berbeda, dan dengan penggunaan model kandang angkut
yang berbeda pula.

3

Manfaat
1. Memperoleh jenis pakan yang sesuai selama pengangkutan MEP
2. Mendapatkan model kandang yang paling cocok untuk pengangkutan MEP.
3. Mendapatkan informasi derajat cekaman akibat pengangkutan MEP.

Hipotesis
1.

Perbedaan pemberian pakan selama pengangkutan mempengaruhi konsumsi
dan kecernaan semu zat-zat makanan, bobot badan serta tingkah laku MEP.

2.

Penggunaan

model

kandang

yang

berbeda

untuk

pengangkutan

mempengaruhi konsumsi dan kecernaan semu zat-zat makanan, bobot badan,
serta tingkah laku MEP selama pengangkutan.
3.

Lama pengangkutan mempengaruhi derajat cekaman yang dirasakan MEP.

4

TINJAUAN PUSTAKA
Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman satwa, termasuk
spesies primata. Terdapat enam famili dari sebelas famili yang ada di dunia
(MacKinnon 1986). Salah satu jenis satwa primata tersebut adalah monyet ekor
panjang (Macaca fascicularis) dari genus Macaca , famili Cercopithecidae
(Bramblett 1994). Sajuthi et al. (1993) menyatakan Indonesia memiliki beberapa
satwa primata genus Presbytes dan Macaca seperti beruk (Macaca nemestrina),
dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).
Achmat dan Frankie (2000) menyatakan bahwa pada 150 tahun SM, satwa
primata telah dijadikan objek penelitian oleh Galen, sedangkan pada abad ke 19
monyet Rhesus (Macaca mulatta) telah digunakan dalam penelitian kedokteran
dan kimia. Dalam perkembangan selanjutnya, manusia mulai mengganti monyet
Rhesus ini dengan jenis monyet lainnya, seperti monyet ekor panjang. Bennett et
al. (1995) menyatakan bahwa nilai ilmiah satwa primata untuk penelitian
biomedis adalah persamaan ciri anatomi dan fisiologis karena kedekatan
hubungan filogenetik. Selanjutnya Sajuthi et al. (1997) menyatakan bahwa satwa
primata banyak digunakan sebagai hewan model dalam penelitian biomedis
maupun pengujian obat-obatan
Untuk kebutuhan hewan model dalam penelitian-penelitian yang dilakukan
oleh negara-negara maju seperti Amerika, Jepang atau negara-negara Eropa, yang
sangat minim sumber daya satwa primatanya, maka negara kita yang berlimpah,
bahkan merupakan hama bagi petani, dapat melakukan pemenuhan kebutuhan
hewan model tersebut. Sejak tahun 1965, negara kita telah menjadikan satwa
primata sebagai komoditi dagang (Achmat dan Frankie 2000).

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)

Napier dan Napier (1985) menyatakan bahwa Macaca fascicularis
mempunyai beberapa nama umum antara lain longtailed macaque, crab-eating
macaques yang terdiri dari 21 sub spesies, dan 10 sub spesies diantaranya terdapat
di Indonesia. Sub spesies Macaca fascicularis yang ada di Indonesia adalah (1)
Macaca f. fascicularis (Gambar 1) di seluruh Pulau Sumatera, Riau, Belitung,

Kalimantan dan Karimata, (2) M. f. lasiae di Pulau Lasia, (3) M. f. paeura di
Pulau Nias, (4) M. f. fusca di Pulau Simaluan, (5) M. f. mordax di Pulau Jawa dan
Bali, (6) M. f. cupidae di Pulau Mastasiri, (7) M. f. baweana di Pulau Bawean, (8)
M. f. tua di Pulau Maratua, (9) M. f. limitis di Pulau Timor dan (10) M. f.
sublimitis di kepulauan Sumbawa. Menurut Lekagul dan McNeely (1977),
taksonomi MEP (Macaca fascicularis) diklasifikasikan sebagai berikut: filum:
Chordata, sub-filum Vertebrata, kelas Mamalia, ordo Primata, sub-ordo
Anthropoidae, famili Cercopithecidae, sub-famili Cercopithecinae, genus Macaca,
dan spesies Macaca fascicularis

Gambar 1. Monyet ekor panjang

Monyet ekor panjang (MEP) dapat ditemukan di seluruh Asia Tenggara dari
Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Malaysia, Philipina, sampai ke
Indonesia (Napier dan Napier 1985). Menurut Supriatna dan Wahyono (2000), di
Indonesia MEP terdapat di Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Kepulauan Nusa
Tenggara dan pulau-pulau sekitarnya.
MEP termasuk salah satu spesies yang dapat beradaptasi dengan sangat baik
pada lingkungan dan iklim yang berbeda, sehingga selain pada habitatnya, ia juga
dapat hidup dengan baik di banyak tempat lain (Napier dan Napier 1985).

6

Menurut Bismark (1984), MEP dapat dijumpai pada daerah yang berair, misalnya
pada pinggiran aliran sungai, danau dan hutan bakau.

Morfologi
MEP merupakan satwa primata yang dalam aktivitas kesehariannya
menggunakan kaki depan dan belakang dalam berbagai variasi untuk jalan dan
berlari (quadrupedalism), memiliki ekor yang lebih panjang dari panjang badan
dan kepala, juga memiliki bantalan untuk duduk ( ischial callosity), serta memiliki
kantong makanan pada pipi (cheek pouches) (Napier dan Napier 1985). Lebih
lanjut dinyatakan bahwa secara umum warna rambut agak kecoklatan sampai abuabu, pada bagian punggung lebih gelap dibandingkan dengan bagian perut dan
dada, rambut kepala pendek tertarik ke belakang dahi, rambut sekeliling wajahnya
berbentuk jambang yang lebat serta ekor tertutup rambut halus.
Panjang badan dan kepala 480-550 mm, bobot badan 3,6-6,5 kg dengan
panjang ekor 80-110% dari panjang badan (Lekagul dan McNeely 1977). Panjang
badan dan kepala antara 350-455 mm, sedangkan panjang ekor antara 400-565
mm (Medway 1978). Panjang tubuh termasuk kepala jantan 412-648 mm dan
betina 258-503 mm, bobot badan jantan 4,7-8,3 kg, sedangkan betina 2,5-5,7 kg,
serta mempunyai panjang ekor pada jantan berkisar antara 435-655 mm dan pada
betina berkisar antara 400-550 mm (Rowe 1996). Lebih lanjut Lekagul dan
McNeely (1977) menyatakan bahwa ekornya menyerupai silinder yang berotot
yang ditutupi oleh rambut pendek dan mempunyai perbedaan karakter yang jelas
antara jantan dan betina.

Pakan
MEP termasuk satwa omnivora (pemakan apa saja) (Lekagul dan Mc Neely
1977). Lindburg (1980) menyatakan bahwa selain memakan buah-buahan, MEP
juga memakan serangga, rumput, jamur, moluska, akar umbi, dan telur burung.
Jenis makanan yang dikonsumsi antara lain: buah-buahan, akar-akaran, daundaunan, serangga, hasil pertanian dan moluska (Napier dan Napier 1985).
Pakan utama MEP terdiri dari buah-buahan (60-90%) (Clutton 1977).
Persentase jenis pakan yang dikonsumsi berdasarkan Chivers (1980): buah-

7

buahan 62%, daun-daun muda 2%, dan serangga serta binantang kecil lainnya 2%.
Berdasarkan hasil penelitian Soegiharto (1992), dinyatakan bahwa komposisi
bagian tumbuhan yang dimakan terdiri dari bagian daun 49,93%, buah 38,54%,
bunga 6,60% dan lain-lain sebanyak 4,93%. Sedangkan Julliot (1996) menyatakan
66,7% buah-buahan, dedaunan 17,2%, bunga 8,9%, insekta 4,1%, dan lain-lain
3,2%.
Komposisi pakan alami MEP terdiri dari: dedaunan yang banyak
mengandung selulosa, buah-buahan, dan biji-bijian yang banyak mengandung
lipid. Kebutuhan akan zat makanan tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1. Kebutuhan zat-zat makanan monyet
Zat Makanan
Protein kasar
Karbohidrat
Serat Kasar
Lemak kasar
Kalsium
Fosfor
Sumber: Inglis (1980)

Kadar
(%)
15,00– 20,00
45,00– 55,00
2,50 5,00
3,00 – 5,00
0,86
0,47

Fiennes (1976) menyatakan bahwa pemberian pakan untuk monyet yang
dipelihara dalam penangkaran, sebaiknya terdiri dari: buah-buahan, umbi-umbian,
daun muda, dan biji-bijian. Lebih lanjut Hume (1995) menyatakan bahwa pakan
monyet dalam penangkaran terdiri dari air, protein, energi, lemak, mineral, dan
vitamin. Berdasarkan Edwards (1997), untuk semua primata yang tertangkap
harus diberikan makanan kering yang seimbang sebagai makanan utama dengan
penambahan buah-buahan atau sayuran sampai 50% dengan pertimbangan
kandungan nutrisi yang kaya dan kandungan air yang mencapai 88-94%.
Untuk memenuhi kebutuhan zat nutrisi monyet dalam kandang, dapat
diberikan pakan dasar berbentuk pelet berprotein tinggi, dan penambahan buahbuahan dan vitamin B Kompleks (Smith dan Mangkoewidjojo 1987). Vitamin
adalah bahan kompleks yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit tetapi penting dan
tidak dapat disintesa oleh jaringan tubuh. Semua vitamin esensial untuk
pertumbuhan, hidup pokok, dan kesehatan. Hampir semua vitamin yang larut
8

dalam air berfungsi sebagai koenzim dalam metabolisme energi, dan protein, atau
sebagai komponen struktural. Vitamin B12 merupakan salah satu vitamin yang
larut dalam air yang tidak didapatkan pada pakan bersumber dari tumbuhtumbuhan, oleh sebab itu penambahan vitamin B12 perlu diberikan pada saat
pengangkutan monyet yang diberi pakan buah-buahan. Agar penyerapan vitamin
B12 terjadi secara efisien dapat dilakukan melalui suntikan dengan kemungkinan
pemberian 1-5 mg untuk memperbaiki keadaan penderitaan kelelahan (Linder
1985). Kecukupan vitamin B12 untuk nonhuman primates sebesar 0,03 mg/kg
BB menurut NRC (2003).
Konsumsi. Sutardi (1980) menyatakan bahwa kebutuhan hidup pokok adalah
kebutuhan untuk mempertahankan bobot hidup dan kebutuhan produksi,
mencakup pertumbuhan dan reproduksi. Konsumsi adalah faktor penting yang
merupakan dasar untuk hidup dan menentukan produksi (Parakkasi 1999). Church
dan Pond (1982) menyata kan bahwa konsumsi pakan dipengaruhi oleh bobot
badan, individu satwa, jenis pakan dan faktor lingkungan. North (1984)
menyatakan bahwa, jumlah pakan yang dikonsumsi tergantung pada bobot badan,
bangsa, aktivitas, cekaman dan kandungan energi pakan serta lingkungan.
Wiseman dan Cole (1990) menyatakan bahwa, konsumsi pakan MEP, dipengaruhi
oleh palatabilitas, ukuran, tekstur, konsistensi pakan dan suhu lingkungan.
Ensminger et al. (1990) menyatakan bahwa hewan mengkonsumsi untuk
pemenuhan kebutuhan energi, jika energi sudah terpenuhi maka hewan
menghentikan konsumsinya. Lebih lanjut Anggorodi (1995) menyatakan bahwa
tingkat energi dalam pakan akan mempengaruhi banyaknya pakan yang
dikonsumsi.

Kecernaan Zat-zat Makanan. Kecernaan suatu zat makanan adalah selisih
antara zat-zat makanan yang dikonsumsi dengan zat-zat makanan yang masih
tersisa dalam kotoran padat (Lubis 1963). Sutardi (1980) menyatakan bahwa
pencernaan adalah proses perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan pakan
dalam alat pencernaan. Lebih lanjut Tillman et al. (1986), menyatakan bahwa zatzat makanan tersebut dalam saluran pencernaan mengalami perombakan menjadi

9

zat-zat makanan yang siap untuk diserap saluran pencernaan. Kecernaan zat-zat
makanan menurut Parakkasi (1999) ada dua macam yait u zat-zat makan tercerna
sesungguhnya (true digestibility) dan zat-zat makanan tercerna semu (apparent
digestibility).
McDonald et

al.

(1988)

menyatakan

bahwa

faktor -faktor

yang

mempengaruhi kecernaan adalah: komposisi makanan, faktor ternak, dan faktor
pemberian makanan. Cheeke (1987) menyatakan bahwa semakin tinggi kadar
serat kasar pakan, maka laju pergerakan makanan dalam sekum semakin cepat
sehingga dapat diperkirakan koefisien cerna zat-zat makanan akan semakin
rendah. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa kecernaan yang rendah akan
mengurangi konsumsi. Lebih lanjut Anggorodi (1990), mengemukakan bahwa,
semakin banyak serat kasar yang terdapat dalam suatu bahan makanan, semakin
tebal dan semakin tahan dinding sel- nya, mengakibatkan semakin rendah
kecernaan bahan makanan tersebut. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
daya cerna pakan yaitu suhu, laju perjalanan pakan melalui alat pencernaan,
bentuk fisik bahan pakan, dan komposisi zat-zat yang terkandung (Anggorodi
1995).
Pengaruh Pakan Terhadap Bobot Badan. Bobot badan merupakan salah satu
indikator yang digunakan untuk mengevaluasi respon hewan terhadap bermacammacam makanan, lingkungan, dan tatalaksana penanganan (Hafez dan Dyer
1969). Cekaman dapat menyebabkan kebutuhan nutrisi untuk hidup pokok
meningkat,

yaitu

dengan

meningkatnya

kebutuhan

energi

metabolisme

(Anggorodi 1995). Selanjutnya dinyatakan bahwa pertambahan bobot badan tidak
hanya dipengaruhi konsumsi pakan saja, tetapi juga dipengaruhi faktor-faktor lain
seperti kemampuan cerna pakan, aktivitas fisik, genetik, dan komposisi pakan.
North (1984) menyatakan bahwa selain faktor-faktor diatas, jenis kelamin, jumlah
konsumsi, dan suhu mempengaruhi pertambahan bobot badan. Ensminger et al.
(1990) menyatakan bahwa pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh umur, jenis
kelamin, lingkungan dan kesehatan.

10

Tingkah Laku
MEP

mempunyai

aktivitas

pada

siang

hari.

Lindburg

(1980)

mengklasifikasikan aktivitas harian monyet sebagai berikut:1) makan: aktivitas
yang meliputi proses pengumpulan pakan sampai mengunyah dan dilakukan pada
pohon yang sama; 2) mencari makan: aktivitas yang meliputi pergerakan di antara
sumber makanan, biasanya di antara pohon; 3) istirahat: tidak melakukan aktivitas
apapun, hanya diam atau tiduran, 4) berkelahi: aktivitas ini ditandai dengan
ancaman mimik muka atau gerakan badan, menyerang, memburu dan baku
hantam; 5) merawat diri: aktivitas mencari kotoran dari tubuh sendiri maupun dari
tubuh individu lain yang sejenis; 6) kawin: hubungan seksual yang dimulai dari
pengejaran terhadap betina dan diakhiri dengan turunnya pejantan dari betina
setelah kopulasi; dan 7) bermain: aktivitas bermain antar individu, terutama anak
monyet. Bila orang yang memberi perlakuan menatap lama pada seekor monyet,
maka monyet tersebut akan merasa terancam karena merasa orang tersebut akan
menyerangnya, sehingga monyet akan memberi respon dengan cara balas menatap
dengan mulut tebuka dan dengkuran, kemudian menyerang sambil berteriak,
memukul dan menggigit, atau kemungkinan lainnya mereka menunjukkan reaksi
patuh dengan tidak melihat, menghindar, atau meringis ketakutan, Vandenberg
(2000).
Faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku makan masih belum banyak
dipelajari. rasa lapar menunjukkan perilaku selera yang kemudian dilanjutkan
dengan mencari objek terte ntu dan bila ditemukan, maka perilaku akan berganti
menjadi perilaku konsumtif atau ingin memiliki dengan segera. Hal ini
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Stellar (1954) dalam Wood-Gush
(1983), menyatakan bahwa ada pusat rasa lapar yang berada pada sisi
hypothalamus dan ada juga sebuah pusat rasa kenyang yang berada pada ventromedial hypothalamus. Pusat-pusat tersebut dipicu oleh perubahan yang terjadi
dalam darah (Brobeck, 1957 dalam Wood-Gush 1983). Ada tiga hal yang
mungkin memicu hal tersebut yaitu: 1) perubahan/menurunnya tingkat kandungan
glukosa darah yang diduga akan memicu pusat rasa lapar, tetapi sebaliknya bila
kandungan meningkat akan memicu rasa kenyang, 2) pengaruh yang sama juga
terjadi terhadap sirkulasi lemak, dan 3) perubahan suhu cairan yang mencapai
11

hypothalamus memicu hal yang sama (Bray, 1976 dalam Wood-Gush 1983).
Mas’ud (1999), menyatakan bahwa ada peningkatan gula darah ternak sapi selama
dilakukan pengangkutan.
Tingkat agresivitas hewan akibat adanya rangsangan dari luar (eksternal),
juga dipengaruhi oleh faktor dari dalam (endogenus) terutama mekanisme
hormon, seperti testosteron yang meningkatkan agresivitas pada tikus, progesteron
yang berpengaruh terhadap agresivitas hamster betina, dan pada hewan yang
sedang menyusui biasanya lebih agresif dibandingkan dengan hewan betina
dewasa lainnya karena pengaruh mekanisme hormon prolaktin yang sedang
tinggi, LH pada burung afrika quelea dan gonadotropin dalam hubungannya
dengan jarak antar individu. Diduga bahwa ACTH pada level tinggi dapat
menurunkan agresivitas, sedangkan pada tingkat rendah dapat meningkatkan
agresivitas. Tinggi rendahnya derajat ACTH berhubungan dengan naik turunnya
tingkat cekaman (Wood-Gush 1983).
Kaplan (1986) menyatakan bahwa tingkah laku stereotip MEP dalam
kandang dapat mengakibatkan perusakan diri sendiri. Tingkah laku monyet dalam
kandang yang mengarah ke ketidak-biasaan mencakup pergerakan hiper -aktif
dalam kurungan, kerumunan, ketakutan yang berlebihan, membentuk tingkah laku
yang berganti-ganti secara berulang dan secara ekstrim dapat berbentuk perusakan
diri sendiri (Bramblett 1994). Lebih lanjut dikatakan bahwa pemulihan kondisi
dari keadaan tidak-normal yang ada menunjukkan perbaikan secara substansial
terhadap ketertekanan yang dialami seperti rasa tidak takut yang berlebihan dan
agresi yang nampak serta hilangnya tingkah laku yang berulang-ulang.

Perkandangan

Perkandangan merupakan bagian yang penting dalam pemeliharaan satwa
primata. Hal ini disebabkan primata mudah menularkan penyakit kepada manusia
dan sebaliknya (Sajuthi et al. 1997). Menurut Bennett et al. (1995) dasar disain
kandang monyet harus mempertimbangkan berbagai faktor: 1) dapat memberikan
kenyamanan fisik monyet yang berada di kandang, 2) harus selaras dengan
perkembangan dan pertumbuhan normal dan pencegahan penyakit, 3) mampu

12

menjaga kesehatan dan pemeliharaan yang sesuai, 4) kandang harus sesuai dengan
maksud pemeliharaan dan perawatan yang mudah, 5) memenuhi persyaratan yang
ditetapkan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa kriteria disain suatu kandang harus
mempertimbangkan spesifikasi; 1) spesies, 2) sistim pendukung kandang, 3)
koleksi kotoran, 4) pemberian minum, 5) pemberian makanan dan 6)
perlengkapan kandang.
Soehartono dan Mardiastuti (2003) menyelaskan bahwa pada hari dilakukan
pengiriman ke luar negeri, monyet dimasukkan ke dalam peti kayu yang panjang
dan disekat menjadi lima kotak, masing-masing petak diisi oleh seekor monyet.
Ukuran kotak tergantung ukuran tubuh monyet yang akan diangkut, (60x30x60
cm). Lebih lanjut dijelaskan, pada bagian dasar, peti kayu dilengkapi dengan
dengan baki yang dapat digeser keluar. Baki dialasi koran dengan serbuk gergaji
untuk menampung kotoran. Setiap kotak dilengkapi dengan wadah tempat air
minum. Di bagian depan atas peti terdapa t lubang ventilasi dengan dilapisi kawat
kasa, disediakan juga lubang di bagian atas peti yang bisa dibuka dan ditutup
untuk pemberian pakan. Dilaporkan oleh Crockett et al. (2000) bahwa variasi
ukuran kandang dapat menurunkan aktivitas Macaca fascicularis dan Macaca
nemestrina , tetapi tidak berpengaruh pada aktivitas fisiologis.

Pengangkutan
Semua

pengangkutan

hewan,

termasuk

pengangkutan

secara

intra

institusional, sebaiknya direncanakan dengan meminimalkan waktu perjalanan
dan resiko zoonosis, melindungi terhadap lingkungan ekstrim, menghindari
kepadatan yang berlebihan, menyediakan makanan dan air yang cukup, dan
melindungi luka fisik (ILAR 1996). MEP yang ditangkap dari habitatnya atau
yang dipanen dari penangkaran, tiba di penampungan melalui pengangkutan darat
dan terkadang menyeberangi lautan. Jarak yang ditempuh cukup jauh dan
panjang, memakan waktu enam sampai 12 jam.

Pengangkutan monyet dari

tempat eksportir sampai ke lokasi konsumen, dapat menghabiskan waktu
perjalanan sekitar 16 sampai 36 jam, tergantung negara yang dituju (Achmat dan
Frankie 2000).

13

Untuk penanganan perdagangan satwa hidup, persyaratan pelaksanaannya
telah ditetapkan oleh IATA, yang dibuat untuk keselamatan manusia dan satwa itu
sendiri (Achmat dan Frankie 2000). Lebih lanjut dinyatakan bahwa perjalanan
eksportasi yang panjang, dapat menimbulkan ketidak-nyamanan satwa, sehingga
satwa mengalami cekaman. Alat angkut, kandang, makanan dan air minum,
berperan penting dalam proses pengangkutan (Achmat dan Frankie 2000).
Berdasarkan laporan Fortman et al. (1985), sebagian besar instansi di
Amerika Serikat, mengangkut satwa primata dengan alat angkut yang dilengkapi
dengan pengatur suhu dan kelembaban udara. Selama pengangkutan, monyet
membutuhkan perlakuan khusus, misalnya dalam aspek kenyamanan kandang,
ketersediaan makanan dan air minum (Mangapul 1988).
Selama pengangkutan, hewan melakukan urinasi dan defekasi lebih sering,
terutama pada awal perjalanan sehingga mengalami penurunan bobot badan
(Shorthose dan Wythes 1988). Lamanya waktu perjalanan menyebabkan
penurunan bobot hidup (Fernandez et al. 1996). Angka kematian akibat
pengangkutan mencapai sekitar 10 sampai 15%, karena kelelahan, tidak mau
makan, penurunan kondisi kesehatan, dan cekaman (Soehartono dan Mardiastuti
2003).

Cekaman
Kondisi lingkungan yang tidak biasa dialami satwa, dapat menyebabkan
terjadinya cekaman. Selye memformulasikan cekaman sebagai respon nonspesifik
tubuh pada berbagai kebutuhan. Fowler (1994) mendefinisikan cekaman sebagai
bentuk respon fisiologis dari tubuh sebagai proses penyesuaian diri terhadap
perubahan yang disebabkan oleh lingkungan atau dari dalam tubuh.
Kaplan (1986) menyatakan bahwa cekaman sering diartikan sebagai tekanan
terhadap sistem respon tubuh yang berusaha menjaga sistem internal tubuh agar
tetap stabil. Rangsangan-rangsangan ini disebut penghasil cekaman (stressor), MC
Farland (1999). Fowler (1994) mengklasikasikan penghasil cekaman yang
meliputi somatik, psikologik, perilaku, dan lain-lain. Penghasil cekaman somatik
meliputi: suara keras, cahaya dan warna mencolok, panas, dingin tekanan, efek

14

kimia dan obat, penghasil cekaman psikologik meliputi: perkelahian, teror, dan
penghasil cekaman perilaku meliputi: populasi dalam kandang yang padat,
teritori, dan hirarki.
Cekaman merupakan keadaan biologis, emosional, dan tingkah laku yang
tidak spesifik (Smith dan French 1997). Lebih lanjut dinyatakan bahwa beberapa
sumber utama penyebab cekaman adalah perubahan kehidupan, perkelahian,
tekanan lingkungan, dan ketegangan dalam kandang. Anggorodi (1990), dan
Ensminger et al. (1990) menyatakan bahwa cekaman mengakibatkan kebutuhan
nutrisi meningkat.
Cekaman diawali dengan adanya pengaruh luar terhadap suatu organisme.
Rangsangan diserap oleh reseptor melalui sistem sensorik individu yang
diinterpretasikan oleh sistem syaraf pusat sebagai awal respon terhadap
rangsangan. Sinyal tersebut pada berbagai bagian datang dari hipotalamus dan
hipofisa yang berpengaruh pada hampir semua perubahan dalam sifat, kesehatan
dan metabolisme berada. Oleh sebab itu perilaku hewan yang mengalami
cekaman ditandai dengan reaksi endokrin yang berada dalam kelenjar suprarenal.
Laju sintesis hormonal dari medula-suprarenal, katekolamin (adrenalin arterenol)
dan hormon-hormon dari korteks-suprarenal (gluko dan mineralkortikoid)
meningkat oleh adanya cekaman (Gambar 2) (Gunther 1992).
Rangsangan

Sistim syaraf pusat

Hipotalamus
Adrenalin
Anterior hipofisa
ACTH

Medula
suprarenal

Korteks suprarenal

15

Gambar 2. Mekanisme proses cekaman dalam tubuh (Selye 1957
dalam Gunther 1992)
Ketakutan dan kegelisahan merupakan respon penting yang bisa dirasakan
oleh satwa melalui penglihatan, pendengaran, penciuman dan rasa (Fowler 1994).
Adam et al. (1995) menyatakan bahwa reaksi tingkah laku yang paling umum dan
nyata dari ketidak-nyamanan pada satwa adalah kegelisahan (anxiety).
Respon terhadap cekaman merupakan kombinasi dari reaksi psikologis dan
emosi yang diakibatkan oleh penyebab cekaman. Berdasarkan responnya,
cekaman dibagi dalam dua kategori yaitu cekaman psikologis dan cekaman fisik.
Cekaman psikologis berpengaruh melalui sistim sensoris, seperti keadaan terkejut,
kehilangan rangsangan, penolakan dan pertentangan. Cekaman fisik merupakan
akibat langsung dari berbagai peristiwa trauma, seperti luka, infeksi atau kurungan
(Hawari 2001). Lebih lanjut dinyatakan bahwa tanda -tanda cekaman dapat dilihat
dan dirasakan secara fisik, antara lain 1) rambut berubah warna, kusam dan
rontok, 2) pandangan mata mengabur, 3) telinga berdenging, 4) kemampuan
berpikir menurun, 5)ekspresi wajah menegang, 6) mulut terasa kering, 7)
kelembaban kulit berubah, 8) jantung berdebar-debar dan dilatasi, 9) kesemutan,
10) gangguan lambung, 11) sering buang air kecil, 12) otot terasa sakit, 13) kadar
gula darah meningkat, dan 14) libido menurun.
Menurut Ewing et al. (1999), metode pengukuran cekaman antara lain: a)
perubahan biokimia: glukosa darah, fungsi enzim, peruba