Efektifitas dekontaminan Ammonium Iron (III) Hexacyanoferrate (NH4Fe[Fe(CN)6]) terhadap Cesium-137 pada Monyet ekor panjang (Mocaca Fascicularis)

(1)

EFEKTIVITAS DEKONTAMINAN

AMMONIUM IRON (III) HEXACYANOFERRATE

(NH

4

Fe[Fe(CN)

6

]) TERHADAP CESIUM-137 PADA MONYET

EKOR PANJANG (

Macaca fascicularis)

FITRI ROSIDAH

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

EFEKTIVITAS DEKONTAMINAN

AMMONIUM IRON (III) HEXACYANOFERRATE

(NH

4

Fe[Fe(CN)

6

]) TERHADAP CESIUM-137 PADA MONYET

EKOR PANJANG (

Macaca fascicularis)

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

FITRI ROSIDAH 105095003126

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR- BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, Oktober 2009

Fitri Rosidah 105095003126


(4)

ABSTRAK

EFEKTIVITAS DEKONTAMINAN AMMONIUM IRON (III)

HEXACYANOFERRATE (NH4Fe[Fe(CN)6]) TERHADAP CESIUM-137

PADA MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis)

Cs-137 adalah unsur kimia yang bersifat radioaktif dengan memancarkan sinar gamma yang dapat mengkontaminasi lingkungan setelah kecelakaan nuklir seperti reaktor Chernobyl. Zat radioaktif cesium yang masuk ke dalam tubuh

dapat diekskresikan dengan dekontaminan Ammonium Iron (III)

Hexacyanoferrate (AFCF) dengan cara mengikat cesium sehingga mempercepat pengeluaran dari dalam tubuh. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai Juni 2009 dengan menggunakan monyet ekor panjang (M. fascicularis) yang diberi kontaminan Cs-137 1 µ Ci/ml secara oral kemudian diberikan AFCF melalui oral tiga kali sehari selama 3 hari berturut-turut dengan dosis total 3000, 4500 dan 6000 mg/ekor. Monyet tidak diberi AFCF bertindak sebagai kontrol. Pengamatan ekskresi Cs-137 dilakukan pada feces dan urin pada hari-hari ke 1, 2, 3, 7, 9, 14, 21, 28 dan 35 pasca kontaminasi dan aktivitas AFCF dalam menekan akumulasi radionuklida dievaluasi dengan menentukan aktivitas dalam darah pada hari ke 3, 7, 14, 21, 28, 35 dan organ pada hari ke 35. Sampel karkas direndam dalam asam nitrat, kemudian aktivitas Cs-137 di cacah dengan spektrometer gamma menggunakan detektor NaITl pada energi 661,65 keV. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga dosis AFCF mampu menekan aktivitas Cs-137 dalam darah dan organ, serta dapat meningkatkan pengeluaran Cs-137 melalui feses dan urin sampai hari ke-35 masing-masing sebesar 46,32% untuk dosis 3000 mg, 44,20 % untuk dosis 4500 mg dan 45,39% untuk dosis 6000 mg, sedangkan kontrol hanya sebesar 34,27%. Dengan demikian pemberian AFCF secara oral terbukti efektif dan dosis 3000 mg paling efektif mengekskresikan Cs-137 dari dalam tubuh monyet ekor panjang .

Kata Kunci : Dekontaminan AFCF, Radionuklida Cs-137, Monyet ekor

panjang (Macaca fascicularis)


(5)

ABSTRACT

EFFECTIVITY OF AMMONIUM IRON (III) HEXACYANOFERRATE (NH4Fe[Fe(CN)6]) DEKONTAMINANT ON CESIUM-137 IN LONG TAIL

MONKEY(Macaca fascicularis).

Cs-137 is a chemical radioactive element with emit gamma rays which could contaminate the environment after the nuclear accident such as Chernobyl reactor. Radioactive Cesium agent that entered to the body can be excreted by AFCF decontaminant by binding them and then excreted from the body. The research was done from April to Juni 2009 with using long tail monkey (M. fascicularis) which injected with contaminant of 1 µ Ci/ml of Cs-137. After that it was injected with AFCF three times a day for 3 days stretch, at doses of 3000, 4500 and 6000 mg/monkey. Monkey with no injected of AFCF served as control. The observation of the Cs-137 excretion was done in fecal and urine at days of 1, 2, 3, 7, 9, 14, 21, 28 and 35 after contamination, and the effectivity of AFCF in excretion radionuclide was evaluated by determining the activity in the blood in days of 3, 7, 14, 21, 28, 35 and organ at day of 35. Samples of organ and carcas were immersed in nitric acid and then the activity of Cs-137 was counted with gamma spectrometer using detector NaI(Tl) semiconductor at 661,607 keV. The results showed that three dose of AFCF were able to decrease the activity in blood and organ, and also were able to increase the excretion of Cs-137 through fecal and urine up to day 35 of which each was 46,32% for 3000 mg, 44,20% for 4500 mg and 45,39% for 6000 mg, whereas control only excreted 34,7%. It was concluded that the injected of AFCF orally was proven effective and dose of 3000 mg is the most effective in excretion Cs-137 from the body of long tail monkey.

Keywords : Decontamination Ammonium Iron (III) Hexacyanoferrate (AFCF),

contamination Cs-137, long tail monkey (Macaca fascicularis)


(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala Puji dan Puja serta syukur kehadirat Allah SWT, Penulis panjatkan atas segala rahmat, karunia, kekuatan serta kesabaran yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Tugas akhir yang berjudul “Efektivitas Dekontaminan Ammonium Iron (III) Hexacyanoferrate (NH4Fe[(CN)6]) Terhadap Cesium-137 Pada monyet Ekor Panjang (Macaca

fascicularis).

Terwujudnya tulisan dalam bentuk skripsi ini, tentunya tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Rasa terima kasih penulis ucapkan kepada :

1. Bapak DR. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis, selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi.

2. DR. Lily Surayya E.P. M. Env. Stud, selaku Ketua Program Studi Biologi sekaligus selaku pembimbing II, serta Bapak DR. Mukh Syaifudin selaku pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, waktu dan perhatiannya dalam penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Tur Rahardjo, S.P, selaku pembimbing lapangan yang dengan sabar memberikan pengarahan dan pemahaman selama pelaksanaan penelitian sampai selesainya skripsi ini.

4. Ibunda dan Ayahku tercinta, Aa, Teteh dan adik-adikku tersayang, serta seluruh keluarga tercinta yang telah memberikan doa, dukungan baik moril maupun materil yang tak terhingga dalam menyelesaikan skripsi ini.


(7)

5. Seluruh dosen dan staf karyawan Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam negeri Syarif Hdayatullah Jakarta

6. Seluruh Staf Bidang Biomedika (Ibu Nurhayati, DR. Sigit Witjaksono, Ibu Devita dan Bapak Mugiono) serta seluruh Staf Bidang Standarisasi (Bapak Gatot, Bapak Pujadi, Ibu Rosdiana, Bapak Hermawan Chandra, Bapak Holnisar, Mas Jono dan Mas Agung) terima kasih Untuk pelajaran dan kebersamaannya.

7. Sahabat terbaikku Ratih Purwasih yang selalu ada disaat susah, sedih, bimbang dan selalu menjadi motivasi sehingga selesinya skripsi ini, serta teman kosan Irakian Atas terima kasih untuk pengertiannya.

8. Teman seperjuanganku Dara, Wiwi terima kasih banyak, Kak bahri, Kak Sanusi, Wida, Dian, Dyah MTK, Kamal, Mega, Tami, Aida, dan Zaenab terima kasih banyak semoga Allah membalas semua keikhlasan Kalian, serta keluarga besar Biologi (khususnya Biologi 2005 “Bioma”) yang telah memberikan kebersamaan yang indah dan menjadi saksi sebagian perjalananku.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan, hal ini karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki. Walaupun demikian penulis berharap hasil tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Jakarta, Oktober 2009 Penulis,


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3. Hipotesis... 4

1.4. Tujuan Penelitian ... 4

1.5. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Radioaktivitas ... 6

2.1.1. Tetapan Peluruhan dan Umur Paro ... 6

2.1.2. Aktivitas Radiasi ... 7

2.1.3. Kestabilan Inti Atom ... 8

2.2. Interaksi Radiasi Dengan Materi ... 9

2.2.1. Interaksi Sinar Gamma Dengan Materi ... 9 v


(9)

2.2.2. Detektor Sintilasi ... 10

2.2.3. Detektor Sintilasi NaI(Tl) ... 11

2.2.4. Prinsip Spektrometer Gamma ... 11

2.3. Kontaminasi Bahan Radioaktif ... 12

2.3.1. Kontaminasi Eksterna ... 13

2.3.2. Kontaminasi Interna ... 13

2.4.Waktu Paruh Biologi ... 15

2.4. Jalan Masuk Radionuklida ke Dalam Tubuh ... 16

2.6. Radionuklida Cs-137 ... 16

2.7. Dekontaminasi Radionuklida ... 18

2.8. Ammonium Iron (III) Hexacyanoferrate ... 19

2.9. Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)... 21

2.10. Kerangka Berpikir ... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 24

3.2. Alat dan Bahan ... 24

3.3. Metode penelitian ... 25

3.4. Cara Kerja ... 25

3.4.1. Perlakuan Terhadap Hewan Percobaan ... 25

3.4.2. Pengambilan Sampel Feses dan Urin ... 26

3.4.3. Pengambilan sampel Darah ... 26

3.4.4. Pengambilan Sampel Organ dan Karkas ... 27

3.4.5. Pencacahan (counting) ... 27

3.5. Analisis Data... 28

3.5.1. Perhitungan Aktivitas Cs-137 dalam Sampel ... 28

3.5.2. Presentase (%) Aktivitas Cs-137 dalam Sampel... 29


(10)

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Aktivitas Cs-137 Yang Terakumulasi Dalam Darah ... 30

4.2. Aktivitas Cs-137 Yang Terakumulasi Dalam Organ... 32

4.3. Aktivitas Cs-137 Yang Diekskresikan Melalui Urin... 36

4.4. Aktivitas Cs-137 Yang Diekskresikan Melalui Feses ... 38

4.5. Total Aktivitas Cs-137 Yang Diekskresikan Melalui Urin dan Feses ... 41

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 44

5.2. Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 45

LAMPIRAN- LAMPIRAN ... 49


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Hasil Pencacahan Aktivitas Cs-137 (Bq) yang

Terakumulasi Dalam Darah ………. 49

Tabel 2. Hasil Pencacahan Aktivitas Cs-137 (Bq) yang

Terakumulasi Dalam Organ………. 50

Tabel 3. Hasil Pencacahan Aktivitas Cs-137 (Bq) yang

Diekskresikan Melalui Urin……… 51

Tabel 4. Hasil Pencacahan Aktivitas Cs-137 (Bq) yang

Diekskresikan Melalui Feses……… 53

Tabel 5. Persentase (%) Aktivitas Cs-137 yang

Terakumulasi Dalam Darah……… 55

Tabel 6. Persentase (%) Aktivitas Cs-137 yang

Terakumulasi Dalam Organ……… 55

Tabel 7. Persentase (%) Aktivitas Cs-137 yang

Diekskresikan Melalui Urin……… 56

Tabel 8. Persentase (%) Aktivitas Cs-137 yang

Diekskkresikan Melalui Feses ……… 56


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Detektor Sodium Iodida (NaI) ... 11

Gambar 2. Skema Masuknya Bahan Radioaktif Ke dalam Tubuh

Secara Ingesti ... 14 Gambar 3. Persentase (%) Aktivitas Cs-137 Yang Terakumulasi

Dalam Darah Pasca Pemberian AFCF ... 30 Gambar 4. Persentase (%) Aktivitas Cs-137 Yang Terakumulasi

Dalam Organ Hari ke-35 Pasca Pemberian AFCF ... 33 Gambar 5. Persentase (%) Aktivitas Cs-137 Yang Diekskresikan

Melalui Urin Pasca Pemberian AFCF ... 36 Gambar 6. Persentase (%) Aktivitas Cs-137 yang Diekskresikan

Melalui Feses Pasca Pemberian AFCF ... 38 Gambar 7. Persentase (%) Total Aktivitas Cs-137 Hari ke-1

sampai Hari ke-35 Pasca Pemberian AFCF ... 41 Gambar 8. Persentase (%) aktivitas Cs-137 Yang Tersisa Dalam Tubuh

Pasca Pemberian AFCF ... 42


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Data Hasil Pencacahan (Counting) ... 49 Lampiran 2. Persentase (%) Aktivitas Sampel... 55 Lampiran 3 Hasil Pengolahan Dengan SPSS 12 ... 57

Lampiran 4. Gambar Alat dan Bahan Yang Digunakan

Dalam Penelitian ... 60


(14)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemakaian zat radioaktif dalam berbagai kegiatan industri, kedokteran, pertanian dan teknologi lainnya saat ini sudah banyak dilakukan. Proses pengolahan bahan-bahan nuklir juga sudah dilaksanakan sebagai awal kegiatan industri nuklir di Indonesia. Kemajuan teknologi nuklir yang pesat ini tidak lepas dari masalah keselamatan kerja terhadap radiasi yang perlu dikuasai dengan baik dan akan membawa dampak yang serius terhadap resiko terlepasnya unsur-unsur radioaktif ke lingkungan dan akhirnya terendap dalam tubuh manusia (Wardhana, 2006).

Bahan radioaktif yang terlepas saat terjadi kecelakaan dapat menyebabkan radiasi terhadap pekerja radiasi dan masyarakat di sekitar instalasi. Bahan radioaktif masuk ke dalam tubuh baik melalui pernafasan, saluran pencernaan akibat mengkonsumsi makanan dan minuman yang terkontaminasi maupun melalui kulit terluka. Beberapa kontaminan tersebut merupakan zat radioaktif hasil fisi seperti radionuklida Cs-137, I-131 dan Sr-90 dan kontaminan yang berasal dari instalasi industri yang menggunakan zat radioaktif sebagai sumber radiasi seperti Co-60, Ir-92 dan lain-lain (Rahardjo et al, 2007). Cs-137 merupakan unsur kimia yang bersifat radioakif dengan memancarkan sinar gamma dan merupakan salah satu radionuklida hasil proses fisi bahan bakar uranium dan plutonium di reaktor nuklir.


(15)

2

Kemampuan dalam menangani seseorang yang terkena kontaminasi radionuklida tersebut sangat diperlukan pada suatu kecelakaan instansi nuklir (Alatas et al, 1996). Radionuklida yang masuk ke dalam tubuh perlu dikaji dan diteliti aspek-aspek yang berkaitan dengan kesehatan. Salah satu aspek yang terpenting adalah bagaimana cara mengeluarkan radionuklida dalam tubuh, karena radionuklida ini berbahaya apabila terendap di dalam tubuh. Sebagai langkah antisipasi penting dalam penanganan korban pada keadaan kecelakaan nuklir adalah proses dekontaminasi (Basyarahil, 1997).

Ammonium Iron (III) Hexacyanoferrate (AFCF) merupakan

dekontaminan yang dapat mengikat Cs-137 dalam saluran pencernaan sehingga mencegah penyerapan Cs-137 serta mempercepat pengeluaran dari dalam tubuh. Dalam kasus kecelakaan nuklir di Chernobyl, Ukraina tahun 1986 AFCF telah digunakan sebagai dekontaminan untuk Cs-137 dan Cs-134. Dari beberapa penelitian pada hewan (tikus, kambing, rusa, biri-biri, ayam broiler) menunjukkan bahwa dekontaminan tersebut mempunyai potensi dalam mengikat Cs sehingga mampu meminimalisir kadar zat radioaktif dalam tubuh (Schimansky, 1997).

Pemberian dekontaminasi bertujuan untuk mengurangi penyerapan radionuklida dalam tubuh dengan cara meningkatkan ekskresi radionuklida baik melalui urin maupun feses sehingga memperkecil efek biologik yang mungkin akan timbul. Setiap radionuklida mempunyai dekontaminan yang berbeda dan masing-masing harus diuji kemampuannya. Berdasarkan hasil penelitian Alatas et al (1996) dalam studi pemberian dekontaminan Prussian Blue secara oral pasca tiga jam pemberian Cs-137 secara oral pada tikus putih dapat meningkatkan


(16)

ekskresi radionuklida Cs-137 sampai 84,80%. Berdasarkan hasil penelitian Sanusi (2007) diketahui bahwa pemberian dekontaminan Prussian Blue (PB) secara oral pasca pemberian Cs-137 secara oral pada monyet ekor panjang dapat meningkatkan ekskresi radionuklida Cs-137 sampai 26%. Pada penelitian ini digunakan dekontaminan yang lain yaitu Ammonium Iron (III) Hexacyanoferrate (AFCF) dengan hewan percobaan yaitu monyet ekor panjang (M. fascicularis).

Ketika bahan radioaktif masuk ke dalam tubuh, maka sangat penting untuk dilakukan perkiraan dosis dekontaminan, dosis AFCF yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 3000, 4500 dan 6000 mg/ekor. Perkiraan dosis berdasarkan Letal Dosis (LD) 50, dimana LD 50 AFCF untuk tikus sebesar 2100 mg/kg, sedangkan untuk monyet digunakan LD 50 dua kali lebih banyak dibandingkan tikus (Anonimus, 2000).

Agar hasil Litbang (Penelitian Pengembangan dan Perekayasaan) dekontaminasi ini bermanfaat pada manusia, maka idealnya dilakukan dengan objek manusia. Namun di Indonesia hal ini tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu penelitian tersebut akan lebih representatif apabila dilakukan dengan objek hewan yang dekat dengan karakter manusia. Monyet ekor panjang adalah hewan yang sangat optimal untuk digunakan sebagai objek, sehingga diharapkan dapat diperoleh informasi yang dapat diekstrapolasikan kepada manusia.


(17)

4

1.2. Rumusan Masalah

1. Apakah pemberian dekontaminan AFCF efektif dalam mengekskresikan Cs-137 dari dalam tubuh monyet ekor panjang ?

2. Diantara dosis AFCF 3000, 4500 dan 6000 mg/ekor yang diberikan pada monyet ekor panjang secara oral, dosis manakah yang lebih efektif dalam mengekskresikan Cs-137?

1.3. Hipotesis

1. Pemberian dekontaminan AFCF mampu mengekskresikan Cs-137 dalam tubuh monyet ekor panjang.

2. Pemberian tiga dosis AFCF secara oral pada monyet ekor panjang diperkirakan dosis 6000 mg/ekor lebih efektif dari pada dosis 3000 dan 4500 mg/ekor dalam mengekskresikan Cs-137.

1.4. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui efektivitas dekontaminan AFCF dalam mengekskresikan Cs- 137 dari dalam tubuh monyet ekor panjang.

2. Mengetahui dosis dekontaminan AFCF yang efektif dalam


(18)

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai efektifitas dan dosis efektif dekontaminan AFCF dalam mengekskresikan Cs-137 dari dalam tubuh monyet ekor panjang.


(19)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Radioaktivitas

Di alam terdapat unsur radioaktif seperti uranium (U), thorium (Th), radium (Ra) dan radionuklida seperti kalium-40 (K-40), carbon-14 (C-14), dan lain-lain. Ada juga yang dihasilkan dari percobaan nuklir atau kecelakaan fasilitas nuklir seperti Cs-137 dan Sr-90. Radionuklida masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan atau pernafasan, untuk meneliti pengaruh bahan radioaktif pada tubuh manusia, perlu diketahui radioaktivitas dalam tubuh manusia (Akhadi, 2006).

Radioaktivitas adalah aktivitas inti atom yang secara spontan memancarkan sinar alfa, beta dan gamma. Radioaktivitas disebut juga peluruhan radioaktif, yaitu transmutasi inti suatu unsur karena memancarkan zarah radioaktif (Achmad, 2001).

2.1.1. Tetapan Peluruhan dan Waktu Paruh

Peluruhan radioaktif mengikuti hukum laju reaksi orde kesatu, laju peluruhan berbanding lurus dengan jumlah atom radioaktif yang tertinggal, dimana N adalah jumlah atom radioaktif dan adalah tetapan peluruhan (Achmad, 2001).

Dengan mensubstitusi aktivitas radiasi = N, bentuk differensial laju peluruhan diperoleh :


(20)

N(t) = N0 (e - t)

N0 = Banyaknya inti atom yang meluruh

Nt/t = sisa inti atom setelah meluruh = Tetapan peluruhan

t = lama peluruhan

Setiap atom yang meluruh memancarkan satu zarah radioaktif, yakni yang dinamakan aktivitas, diberikan oleh N yang satuannya curie dimana 1 curie = 3,7.10 10 peluruhan per detik yang kira-kira sama dengan laju peluruhan 1 gram radium (Soedojo, 2004). Sebagai ukuran laju peluruhan lebih lazim dipakai waktu paruh yang didefinisikan sebagai selang waktu setelah peluruhan radioaktif, banyaknya atom radioisotop tinggal separuh dari ukuran semula, yaitu

t ½ = ln 2/ = 0,693/ (Soedojo, 2004).

2.1.2. Aktivitas Radiasi

Aktivitas Radiasi zat radioaktif menyatakan banyaknya inti atom yang meluruh per satuan waktu. Atau disebut juga laju peluruhan inti atom tidak stabil menuju inti stabil dengan radiasi sinar-sinar radioaktif. Jika N adalah banyaknya inti atom mula-mula, dan A adalah aktivitas radiasi maka diperoleh hubungan secara matematika ditulis sebagai berikut : A = N, sehingga radioaktivitas dari setiap bahan radioaktif meluruh secara eksponensial mengikuti persamaan peluruhan sebagai berikut :


(21)

8

dimana At = aktivitas setelah mengalami peluruhan selama waktu t ; A0 =

aktivitas sebelum peluruhan; = tetapan peluruhan; 1/ 2 t = waktu paro; t = waktu peluruhan (Maskur et al, 2008).

Keaktifan jenis radionuklida didefinisikan bahwa 1 Ci = 3,7 x 1010 Bq. Satuan Becquerel (Bq) ini dipakai dalam satuan SI sejak tahun 1976, sebelumnya satuan untuk intensitas suatu sumber radiasi menggunakan satuan Curie, yang disingkat dengan Ci. Pada umumnya untuk intensitas radiasi yang tinggi digunakan satuan radiasi Curie, sedangkan untuk intensitas rendah biasanya memakai satuan Becquerel (Wardhana, 2007).

2.1.3. Kestabilan Inti Atom

Kestabilan suatu inti atom dapat dilihat dari fungsi jumlah proton (Z) di dalam intinya dan perbandingan antara neutron dan proton (N/Z). Untuk inti-inti atom ringan, stabil jika (N/Z) 1, misalnya unsur-unsur: 1H

2

, 3Li 6

, 6C 12

, 8O 16

. Jika perbandingan (N/Z) menyimpang dari 1, biasanya merupakan inti yang kurang stabil. Sebagai contoh misalnya inti atom 1H3, 6C14, 8O15 dan (N/Z) 1,5 untuk

inti-inti berat (Syarifah, 2009).

Inti-inti atom yang tidak stabil, baik karena komposisi jumlah proton dan neutronnya yang tidak seimbang ataupun karena tingkat energinya yang tidak berada pada keadaan dasarnya, cenderung untuk berubah menjadi stabil. Bila ketidakstabilan inti disebabkan karena komposisi jumlah proton dan neutronnya yang tidak seimbang, maka inti tersebut akan berubah dengan memancarkan radiasi alfa atau radiasi beta ( ). Kalau ketidakstabilannya disebabkan karena


(22)

tingkat energinya yang berada pada keadaan tereksitasi maka akan berubah dengan memancarkan radiasi gamma (Achmad, 2001).

2.2. Interaksi Radiasi Dengan Materi

Radiasi apabila menumbuk suatu materi maka akan terjadi interaksi yang akan menimbulkan berbagai efek. Efek-efek radiasi ini bergantung pada jenis radiasi, energi dan juga bergantung pada jenis materi yang ditumbuk. Pada umumnya radiasi dapat menyebabkan proses ionisasi atau proses eksitasi ketika melewati materi.

2.2.1. Interaksi Sinar Gamma Dengan Materi

Berkurangnya energi dari sinar gamma pada saat melewati suatu materi terjadi karena :

a. Efek Fotolistrik

Pada efek fotolistrik, energi foton diserap oleh elektron orbit, sehingga elektron tersebut terlepas dari atom. Tiap elektron yang yang dipancarkan sebanding dengan intensitas (terang) cahayanya, partikel cahaya ini disebut foton dengan menyimpulkan bahwa tiap foton harus memiliki energi E yang diberikan oleh persamaan : E = hv , dengan h adalah frekuesi cahaya (Chang, 2004)

b. Hamburan Compton

Pada efek Compton, foton dengan energi hv berinteraksi dengan elektron terluar dari atom, selanjutnya foton dengan energi hv dihamburkan dan elektron


(23)

10

tersebut dilepaskan dari ikatannya dengan atom dan bergerak dengan energi kinetik tertentu.

c. Produksi Pasangan

Proses produksi pasangan hanya terjadi bila foton datang / 1,02 MeV. Apabila foton semacam ini mengenai inti atom berat, foton tersebut akan lenyap dan sebagai gantinya timbul sepasang elektron-positron. Positron adalah partikel yang massanya sama dengan elektron dan bermuatan listrik positif yang besarnya juga sama dengan muatan elektron (Kamil, 2008).

2.2.2. Detektor Sintilasi

Alat ini menggunakan bahan logam yang atom-atomnya dengan mudah dideteksi oleh radiasi yang datang (efek fotolistrik). Efek fotolistrik adalah keluarnya elektron-elektron dari permukaan logam ketika terkena radiasi. Bahan- bahan yang umum digunakan sebagai sintilator adalah kristal-kristal natrium iodida. Bahan-bahan ini diletakkan di salah satu ujung peralatan yang disebut tabung foto pengganda (photomultiplier) sehingga foton yang dikeluarkan oleh sintilator dapat diubah menjadi sinyal listrik. Tabung foto pengganda terdiri atas beberapa elektroda yang disebut dinoda. Detektor sintilasi lebih sensitif bila dibandingkan pencacah Geiger-Muller, terutama terhadap sinar gamma yang berinteraksi lebih kuat dengan zat dibandingkan dengan partikel-partikel bermuatan (Akhadi, 2000).


(24)

2.2.3. Detektor Sintilasi NaI(Tl)

Detektor sintilasi NaI(Tl) digunakan untuk mendeteksi intensitas sinar gamma dari bahan radioaktif pada daerah energi 0,1-100 MeV dengan efisiensi cukup tinggi (10-60%) dan resolusi energi menengah (5-15%). Detektor ini terbuat dari bahan yang dapat memancarkan kilatan cahaya apabila berinteraksi dengan sinar gamma (Ardisasmita, 2008).

Gambar 2. Detektor Sodium Iodida (NaI) (Kamil, 2008).

Detektor radiasi NaI yang diaktivasi dengan 0,1 – 0,2 persen thallium (Tl) merupakan jenis detektor yang hingga kini digunakan secara luas untuk pemantauan sinar gamma. Kerapatan NaI yang tinggi (3,7 g/cm3) dan nomor atom (Z) yang tinggi dari iodine (I) menjadikan interaksinya dengan radiasi gamma cukup baik (Akhadi, 2000).

2.2.4. Prinsip spektrometri Gamma

Apabila radiasi gamma memasuki tabung detektor, maka akan terjadi interaksi antara radiasi gamma dengan bahan NaI(Tl). Interaksi itu dapat menghasilkan efek fotolistrik, hamburan Compton dan produksi pasangan. Karena


(25)

12

interaksi ini maka elektron-elektron atom bahan detektor akan terpental keluar sehingga atom-atom itu berada dalam keadaan tereksitasi.

Atom-atom yang tereksitasi akan kembali ke keadaan dasarnya sambil memancarkan kerlipan cahaya. Cahaya yang dipancarkan itu selanjutnya diarahkan ke foto katoda sensitif. Apabila foto katoda terkena kerlipan cahaya, maka dari permukaan foto katoda itu akan dilepaskan elektron. Elektron yang dilepaskan oleh foto katoda akan dipercepat oleh medan listrik dalam tabung pelipat ganda elektron menuju dinoda pertama.

Hasil akhir jumlah pelipatgandaan elektron bergantung pada jumlah dinoda. Tabung pelipat ganda elektron yang mempunyai 10 tingkat dinoda misalnya, pada anoda (dinoda terakhir yang sekaligus berperan sebagai pelat pengumpul elektron) bisa didapatkan faktor penggandaan elektron antara 107 - 108. Dengan demikian, sinar gamma yang dipantau akan menghasilkan pulsa listrik sebagai keluaran dari detektor NaI(Tl). Tenaga elektron yang dilepaskan ini bergantung pada intensitas sinar gamma yang mengenai detektor. Makin tinggi energi elektron, makin tinggi pula pulsa listrik yang dihasilkannya, sedang makin banyak elektron yang dilepaskan makin banyak pula cacahan pulsanya (Akhadi, 2000)

2.3. Kontaminasi Bahan Radioaktif

Dalam kecelakaan yang melibatkan zat radioaktif, ada kemungkinan individu terkontaminasi zat radioaktif. Bahaya kontaminasi radioaktif dibedakan


(26)

menjadi 2 macam yaitu kontaminasi eksterna dan kontaminasi Interna (Darussalam, 1996).

2.3.1. Kontaminasi Eksterna

Kontaminasi eksterna radionuklida adalah penempelan atau pengendapan suatu bahan radioaktif pada bagian luar tubuh seperti kulit, pakaian, sepatu, jas lab, sarung tangan dan masker akibat emisi tak terkendali dalam suatu kedaruratan nuklir. Beberapa radionuklida yang terkumpul di permukaan tubuh bagian luar sebagai kontaminan eksterna dapat masuk ke dalam tubuh baik melalui pori-pori kulit maupun melalui kulit terluka (Nurhayati, 1999).

2.3.2. Kontaminasi Interna

Kontaminasi interna adalah masuknya radionuklida ke dalam tubuh akibat emisi tak terkendali dalam suatu kedaruratan nuklir. Dekontaminasi interna harus dilakukan secepat mungkin untuk menghindari penyerapan lebih lanjut. Radionuklida dapat masuk ke dalam tubuh melalui:

1. Saluran pencernaan (ingesti)

Bahan radioaktif dapat tertelan dalam bentuk larutan atau makanan yang sudah terkontaminasi zat radioaktif. Tempat absorbsi yang utama dalam saluran pencernaan adalah usus halus.

2. Saluran Pernafasan (inhalasi)

Resiko kontaminasi melalui saluran pernapasan ini tiga kali lipat lebih besar karena paru-paru langsung menerima paparan radiasi yang diikuti dengan


(27)

14

terjadinya proses penyerapan secara langsung bahan radioaktif tersebut ke dalam darah. Radionuklida yang masuk kedalam saluran pernapasan kemungkinan berasal dari debu radioaktif yang terlepas kelingkungan seperti yang terjadi pada kecelakaan reaktor nuklir (fallout) (Nurhayati, 1999).

Menelan (ingesti)

Saluran Pencernaan

Cairan Ekstra Seluler

Jaringan/ Organ Tubuh

Feses

Hati Ginjal Keringat

Urin

Gambar 2. Skema masuknya bahan radioaktif ke dalam tubuh secara Ingesti (Nurhayati, 1999).

Keterangan Gambar :

a. Awal mula suatu radionuklida dapat memasuki tubuh karena tertelan bersama makanan dan minuman.

b. Translokasi dan penimbunan (akumulasi) radionuklida pada bagian-bagian tubuh berlangsung dengan bantuan cairan ekstraseluler.


(28)

c. Sebagian radionuklida dalam cairan ekstraselular akan diekskresikan ke luar tubuh oleh ginjal, hati, ataupun saluran empedu terus ke usus.

d. Sebagian radionuklida yang lain akan diakumulasi (deposit) dalam suatu jaringan atau organ tubuh.

e. Eliminasi bahan atau unsur radioaktif dari dalam tubuh dapat berlangsung bersama-sama jalan nafas ke luar (berupa gas), urin, keringat dan tinja (Darussalam, 1996).

2.4. Waktu Paruh Biologi

Waktu paruh biologi merupakan waktu yang dibutuhkan oleh zat, senyawa kimia atau radionuklida yang berada dalam organ atau jaringan tubuh untuk menjadi separuh dari jumlah semula. Waktu paruh ini berkisar antara beberapa jam sampai bertahun-tahun (Suryowinoto, 1990 dalam Sanusi, 2008).

Waktu paruh biologi dipengaruhi oleh jenis organ atau jaringan, bentuk senyawa kimia radionuklida dan karakteristik individu. Untuk jenis radionuklida yang sama, antara individu yang satu dengan lain waktu paruhnya dapat berlainan (Syaifudin et al, 1995). Semakin besar waktu paruh, berarti semakin lama zat radioaktif tersebut memancarkan radiasi. Selain itu, tingkat bahaya suatu jenis zat radioaktif dipengaruhi oleh toksisitas zat radioaktif. Apabila suatu zat radioaktif memiliki toksisitas tinggi dan waktu paruh panjang maka zat radioaktif selain secara kimia meracuni tubuh (apabila masuk ke tubuh melalui saluran pencernaan dan kulit) juga akan menimbulkan paparan radiasi selama tinggal di dalam tubuh (Jumpeno, 2004).


(29)

16

2.5. Jalan masuk Radionuklida ke dalam Tubuh

Masuknya radionuklida ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan dapat berupa gas, cairan atau padatan, misalnya partikel aerosol (gas dengan campuran partikel padat dan cair yang melayang di udara). Radionuklida tersebut setelah mengalami berbagai proses di dalam tubuh, sebagian dapat terendap pada saluran pernafasan bagian atas dan paru-paru, sebagian lain dikeluarkan secara exhalasi. Bagian yang terendap dapat masuk ke saluran pencernaan, dan apabila senyawa tersebut bersifat mudah larut maka akan segera diserap oleh cairan tubuh dan akhirnya dikeluarkan melalui urin. Contoh radionuklida bersifat mudah larut yang masuk melalui saluran pernafasan adalah I-131, Sr-90 dan Cs-137 (Syaifudin et al, 1995).

2.6. Radionuklida Cs-137

Kata “Caesium” berasal dari bahasa latin “Caesius” yang artinya langit biru. Nama tersebut didasarkan pada intensitas warna biru dengan λ: 456 nm.

Seperti logam alkali, Cs sangat elektropositif dan memiliki radius kristal ionik yang tinggi (Kaikkonen, 2006).

Cesium dengan simbol Cs adalah logam yang bisa bersifat stabil (non radioaktif) atau tidak stabil (radioaktif). Cs yang paling umum dikenal sebagai radioaktif adalah Cs-137. Cs-137 memiliki struktur yang bersifat lembut, lunak, berwarna putih perak dan berbentuk cair pada suhu kamar 28 oC (83oF) (Anonimous, 2005).


(30)

Cs-137 yang terdapat di lingkungan berasal dari berbagai sumber, sumber yang terbesar adalah dari kecelakan Chernobyl yang tersebar dan terdeposit di seluruh dunia. Cs-137 radioaktif dihasilkan ketika uranium (U235) atau plutonium (P239) menyerap neutron dan mengalami proses fisi (pembelahan). Cs ditemukan pada tahun 1941 oleh Glenn T. Seaborg dan Margaret Melhase, akan tetapi pada tahun 1860 oleh R.W. Bunsen dan G.R. Kirchroff (menggunakan spektroskop) menamakannya berdasarkan karakteristik 2 garis biru terang pada spektrumnya (Anonimous, 2005).

Cs-137 merupakan salah satu radioisotop yang sering digunakan dalam industri. Radioisotop ini digunakan dalam berbagai macam pengukuran alat, seperti mengukur densitas kelembaban, mengukur ketebalan dari lembaran logam, juga digunakan sebagai pemancar sumber radiasi gamma untuk penyakit kanker. Cs juga digunakan untuk diagnosa penyakit, sebagai sumber kalibrasi peralatan radiasi dan sumber dalam jumlah besar digunakan untuk mensterilkan peralatan kedokteran (Dotzel, 2003).

Cs-137 memiliki waktu paruh fisik 30 tahun, termasuk radionuklida yang bersifat mudah larut sehingga mudah diserap oleh jaringan tubuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fraksi serapan rata-rata adalah 0,99 untuk senyawa berbentuk klorida dan 0,82 untuk senyawa oksida (Alatas et al, 1996). Cs-137 juga masuk ke dalam darah akan terdistribusi atau terserap ke jaringan tubuh, 10% dari Cs dikeluarkan dengan waktu biologi 2 hari dan 90% dikeluarkan secara lambat dengan waktu paruh biologi 110 hari dan kurang dari 1% dari Cs terendap dalam tubuh dengan waktu paruh biologi sekitar 500 hari (Le Gall et al, 2006).


(31)

18

Bahan radioaktif memiliki waktu paruh biologi yang berbeda-beda tergantung jenis individu yang terkontaminasi. Dalam tubuh manusia Cs-137 memiliki waktu paruh biologi selama 110 hari, sedangkan anjing selama 25 hari, monyet selama 19 hari, tikus selama 6,5 hari dan mencit selama 1,2 hari. Cs-137 diserap oleh seluruh organ tubuh, khususnya ginjal, otot, hati, paru-paru, jantung dan limpa (Syaifudin et al, 1995).

Dalam dosis tinggi Cs-137 dapat membunuh sedangkan dalam dosis kecil dapat memicu kanker. Paparan zat-zat berbahaya itu dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara yang terhirup atau termakan, sehingga bahan radioaktif dapat tersebar pada jaringan halus, khususnya jaringan otot (Dotzel, 2003).

2.7. Dekontaminasi Radionuklida

Dekontaminasi adalah suatu metode pembersihan atau pengeluaran radionuklida dari tubuh sebanyak mungkin secara cepat dan tepat sebagai usaha untuk memperkecil efek biologik yang ditimbulkan. Proses ini dapat dilakukan dengan cara pengikatan secara kimia radionuklida oleh zat dekontaminan dan pengeluaran senyawa komplek yang terbentuk dari tubuh melalui urin dan feses. Dengan demikian proses pengikatan yang paling efektif justru pada saat radionuklida belum terserap dan masuk ke dalam sistem aliran darah. Pemberian dekontaminan segera setelah terjadi kecelakaan merupakan tindakan yang paling tepat (Nurhayati, 1999).

Prinsip dekontaminasi zat radioaktif di bagian luar tubuh adalah dengan mencuci dan membersihkan kontaminan tersebut dari permukaan tubuh.


(32)

Sedangkan prinsip dekontaminasi zat radioaktif pada bagian dalam tubuh adalah dengan blocking dan embeding zat radioaktif sebelum diserap organ tubuh untuk selanjutnya diekskresikan dari tubuh. Dekontaminan yang dapat digunakan antara lain Ethylene Diaminine Tetraacetic Acid (EDTA), Diethylene Triaminine Pentaacetic Acid (DTPA), Prussian Blue (PB), Kalium Iodine (KI), Ammonium

Iron III Hexacyanoferrate (NH4Fe[Fe(CN)6]) dan potassium Iron

Hexacyanoferrtae (KFe[Fe(CN)6]), tergantung pada jenis radionuklida dan

lokasinya dalam tubuh (Rahardjo, 2008).

2.8. Ammonium Iron (III) Hexacyanoferrate

Ammonium Iron (III) Hexacyanoferrate atau AFCF memiliki rumus kimia (NH4Fe[Fe(CN)6]). Nama lain dari Ammonium Iron III Hexacyanoferrate adalah

AFCF, ammonium ferric cyanoferrate,ammonium ferric ferrocyanida, ammonium iron (3+), (1:1:1), (OC-6-II) ferrate (4-hexakis (Cyano-C)-ammonium iron (ii)

hexacyanoferrate, ammonium iron hexacyanoferrate, ammonium besi

hexacyanoferrate (Anonimous, 2008).

AFCF adalah zat yang digunakan untuk mengikat Cs, yakni mencegah penyerapan radioaktif Cs dari saluran pencernaan. AFCF memiliki berat molekul 285,87 mol, penyerapan maksimum pada 685 nm, ditemukan memiliki absorbansi sekitar 0,84. AFCF mengandung 30-35% ammonium klorida. Logam transisi hexacyanoferrate sudah lama dikenal dalam pertukaran ion untuk mengikat Cs. AFCF tersedia sebagai makanan tambahan untuk peternakan hewan dalam sebuah kasus kecelakaan nuklir (Kaikkonen dan Lehto, 2000).


(33)

+ +

3

20

Sejak tahun 1986 AFCF sudah digunakan sebagai dekontaminan Cs oleh orang-orang yang terkontaminasi radioaktif (Cs-137 dan Cs-134) akibat dari kecelakaan reaktor Chernobyl yang terjadi di Rusia sebanyak 5000 ton. Dari sisa serbuk kontaminan Cs-137 dan Cs-134 terakumulasi dan sisa serbuk tersebut larut dalam air, untuk mengatasinya diberi dekontaminan dengan proses pertukaran ion menggunakan AFCF (Schimansky, 1997).

Dekontaminan AFCF mengikat Cs-137 dengan proses pertukaran ion (Anonimous, 2000). Reaksi yang terjadi adalah :

CN CN CN CN

NH4 Fe+ CN Fe4 CN

CN CN

Cs+ Cs+Fe+3

CN Fe4- CN

CN CN

NH4

AFCF lebih efektif dalam mengikat Cs-137 dalam saluran pencernaan dibandingkan PB (Prussian Blue). Telah dilakukan pengujian bahwa AFCF merupakan bahan yang praktis dan efisien pada kondisi setelah kecelakaan Chernobyl karena dapat menambah serat pada hewan pemamah biak dan membantu dalam memperkecil penyerapan Cs-137 dalam jaringan/otot (Marc, 2002).

AFCF dapat mencegah penyerapan Cs hampir sepenuhnya. Hal ini dibuktikan dalam penelitian dengan menggunakan hewan percobaan rusa kutub yang diberi AFCF 0,5 gr/hari dan bentonite sebesar 25 g/hari secara oral Pemberian 5 mg AFCF secara oral pada tikus dapat mengeliminasi Cs-137 sebanyak 2,4% sampai 6,3% dan babi yang terkena kontaminasi setelah kecelakan


(34)

chernobyl, aktivitas Cs-137 telah direduksi dari 360 Bq/kg menjadi 10-30 Bq dalam kondisi normal 27 hari (Dresow et al, 2000).

Penelitian lain menyebutkan bahwa pemberian AFCF sebanyak 0,2 gr pada ayam hibro broiler yang telah diberikan campuran cesium-137 sebanyak 1 ml cesium-137 pada makanan dan pemberian secara oral, dalam 13 hari kadar cesium-137 dalam daging mencapai 80-83% lebih rendah dibandingkan kontrol yaitu 89% dalam hati dan 83-84% dalam ginjal (Mitrovic et al, 2007).

2.9. Monyet ekor Panjang (Macaca fascicularis)

Monyet ekor panjang merupakan salah satu jenis primata yang populasinya cukup banyak. M. fascicularis telah digambarkan sebagai salah satu “primata bukan manusia” yang paling berlimpah dan tersebar luas di dunia. (Napier dan Napier 1967 dalam Urrochmah, 2007) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Sub Filum : Vertebrata

Kelas : Mamalia

Ordo : Primata

Sub Ordo : Antropoidea

Famili : Cercopithecidae

Genus : Macaca


(35)

22

Monyet merupakan satwa primata yang memiliki filogenetika yang dekat dengan manusia dan memiliki kesamaan anatomis karena mempunyai struktur umum yang sama, misalnya memiliki organ yang hampir sama meskipun terdapat perbedaaan-perbedaan anatomis lainnya (Bucaille, 2008).

Keberadaan monyet sebagai hewan coba sering dikaitkan dengan peran monyet sebagai hewan model untuk menjelaskan kejadian penyakit pada manusia. Khusus penggunaan monyet sebagai hewan coba, baru diijinkan manakala obat- obatan ataupun bahan biologi lainnya yang diuji coba pada spesies yang memiliki filogenik lebih rendah dari primata seperti pada mencit, tikus dan kelinci, bahkan selain melalui pengujian in vivo tersebut, uji coba perlu didahului dengan uji coba in vitro maupun simulasi dengan permodelan komputer (Prayudi, 2008).


(36)

2.10. Kerangka Berpikir

Pemanfaatan Teknologi Nuklir dalam berbagai bidang

Terjadi Kecelakaan Radiasi

Unsur Radioaktif Terlepas ke lingkungan dan Terendap Dalam Tubuh

Muncul Kontaminasi (Zat Radioaktif) Cs-137

Efektifitas Dekontaminan ammonium Iron (III) Hexacyanoferrate dalam mengeliminasi Cs-137


(37)

24

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biomedika, Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional (PTKMR- BATAN) yang terletak di Jalan Lebak Bulus No. 49, Pasar Jum’at, Jakarta Selatan. Waktu penelitian dilakukan pada bulan April sampai Juni 2009.

3.2. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat pencacah radioaktifitas Cs-137 di dalam sampel, yaitu sistem spektrometer gamma dengan detektor NaI(Tl) model sumur (Well Type) merek BICRON dilengkapi dengan perisai timbal (Pb). Kandang hewan uji dibuat dari besi berukuran tinggi 90 cm dan lebar 60 cm, dilengkapi dengan tempat pakan berupa mangkuk terbuat dari stainless steel dan tempat minum, di bawah kandang diberi penampung feses dan urin berupa ember (metabolism cage). Jarum suntik, tempat sampel (vial), timbangan, gunting, pinset dan kamera digital Fujifilm Finefix F480.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah monyet ekor panjang, kontaminan Cs-137 konsentrasi 1 µ Ci/ml, dekontaminan Ammonium Iron (III) Hexacyanoferrate, obat bius (ketamine hydrochloride), kapas, masker dan sarung tangan.


(38)

3.3. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan eksperimen dengan mengamati kondisi fisik dan perlakuan terhadap hewan percobaan untuk menguji efektifitas AFCF dalam mereduksi Cs-137.

3.4. Cara Kerja

3.4.1. Perlakuan Terhadap Hewan Percobaan

Sebanyak 12 ekor monyet ekor panjang berumur ± 5 tahun dengan berat badan ± 7 kg yang diperoleh dari bagian Primata IPB-Bogor, dipelihara dan dikarantina dalam kandang hewan Laboratorium Biomedika selama 7 hari, diberi makanan dan minuman serta dicek kesehatannya oleh dokter hewan (Lampiran 4). Hewan dibagi ke dalam 4 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 3 ekor dan diberi perlakuan sebagai berikut :

No (Hewan Uji) Kontaminan Cs-137

1 µ Ci (ml)

Dosis total dekontaminan AFCF

(mg/ekor)

1 KEL 1 (3 ekor monyet) 1 3000

2 KEL 2 (3 ekor monyet) 1 4500

3 KEL 3 (3 ekor monyet) 1 6000

4 KEL 4 (3 ekor monyet) 1 0 (kontrol)

Semua hewan uji pada masing-masing kelompok diberikan kontaminan Cs-137 sebanyak 1 ml dengan aktifitas 1 µ Ci secara oral, kemudian setelah satu jam diberikan dekontaminan AFCF melalui oral dengan dosis yang telah


(39)

26

ditentukan pada masing-masing kelompok hewan uji. Pemberian AFCF dilakukan sebanyak 3 kali sehari selama 3 hari berturut-turut pada monyet dalam keadaan pingsan.

3.4.2. Pengambilan Sampel Feses dan Urin

Pengambilan sempel feses dan urin pada masing-masing kelompok perlakuan dengan cara menampung dalam penampung feses dan urin (ember). Untuk sampel urin diambil sebanyak 10 ml dengan menggunakan pipet posteur, kemudian sampel dimasukkan ke dalam vial yang telah diberi label. Pengambilan sampel urin dan feses dilakukan pada hari-hari ke 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 14, 21, 28 dan 35 pasca pemberian kontaminan Cs-137 dan dekontaminan AFCF.

3.4.3. Pengambilan Sampel Darah

Pengambilan sampel darah dilakukan dengan cara monyet dibius dengan ketamin hydrochloride sebanyak 0,1 ml, setelah monyet pingsan dilakukan pengambilan darah pada bagian vena kaki monyet sebanyak 5 ml dengan menggunakan alat suntik, kemudian dimasukkan ke dalam vial yang telah diberi label dan dilakukan pencacahan (Lampiran 4.2). Pengambilan sampel darah pada hari-hari ke 1, 7, 14, 21, 28 dan 35 setelah pemberian kontaminan Cs-137 dan dekontaminan AFCF.


(40)

3.4.4. Pengambilan sampel Organ dan Karkas

Pada hari ke 35 pasca kontaminasi dilakukan proses pembedahan monyet setelah dibius dengan ketamin secara intramuskuler, setelah mati diambil organ- organ tubuhnya yaitu hati, jantung, paru-paru, tulang, testis, limpa, otot, ginjal dan karkas. Sampel organ tersebut ditempatkan pada vial berisi formalin yang telah diberi label dan dilakukan pencacahan, setelah organ diambil, karkas ditempatkan dalam wadah plastik (ember) yang direndam dalam 1-2,5 liter asam nitrat 65%, sampai homogen, setelah homogen dimasukkan dalam vial yang telah diberi label kemudian dilakukan pencacahan (Lampiran 4.2).

3.4.5. Pencacahan (counting)

Pencacahan sampel dilakukan untuk mengetahui aktivitas Cs-137 yang terakumulasi dalam tubuh dan diekskresikan oleh monyet. Pencacahan dilakukan dengan menggunakan Spektrometer gamma dengan cara sampel dalam vial dimasukkan ke dalam tempat sampel berbentuk sumur yang dilapisi perisai timbal (shielding), dilengkapi dengan detektor NaI(Tl) (Lampiran 4.1). Sebelum sampel dicacah, terlebih dahulu dilakukan pencacahan standar dan Background, kemudian dilakukan pencacahan sampel yang berada dalam vial. Pencacahan dilakukan pada sampel hari ke-1 sampai sampel hari ke-35 dengan waktu pencacahan 1000 detik. Satu sampel dilakukan dua kali pencacahan.


(41)

28

3.5. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan metode statistik untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan yang nyata antara aktivitas Cs-137 yang terakumulasi dalam darah, organ dan terekskresi dalam feses dan urine berdasarkan dosis pemberian AFCF dan waktu pengambilan sampel. Dalam analisis data digunakan analisis variansi satu arah dengan menggunakan program SPSS 12 sebagai alat bantu dan disain eksperimen melalui pola Rancangan Acak Lengkap (RAL). Apabila terdapat berbedaan yang nyata maka dilanjutkan dengan uji Duncan dengan taraf kepercayaan = 95%.

3.5.1. Perhitungan Aktivitas Cs-137 dalam Sampel (Bq)

Aktivitas Cs-137 dalam sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Aktivitas Sampel (Bq) = cps Sampel - BG X Aktivitas Standar (Bq) cps Standar - BG

cps Sampel =

cps Standar =

Keterangan :

Area Sampel Integral Waktu Cacah (detik) Area Standar

Waktu Cacah (detik)

Aktivitas Sampel = Aktivitas Cs-137 dalam sampel pada saat pengukuran (Bq)

cps Sampe = Jumlah cacahan per sekon sampel pada saat

pengukuran

cps Standar = Cacahan per sekon Cs-137 pada pengukuran

BG (Background) = Sumber alami


(42)

3.5.2. Presentase (%) Aktivitas Cs-137 dalam Sampel

% Aktivitas sampel = 37000 Bq – aktivitas sampel (Bq)

37000 Bq x 100%

% = 100 – Aktivitas Sampel

Keterangan :

37000 Bq = Aktivitas Cs-137 yang dimasukkan ke dalam tubuh monyet ekor panjang


(43)

30

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Aktivitas Cs-137 Yang Terakumulasi Dalam Darah

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa aktivitas Cs-137 yang

terakumulasi dalam darah pada monyet yang diberi dekontaminan AFCF lebih rendah dari pada kontrol (Gambar 3). Aktivitas Cs-137 yang terakumulasi paling rendah terjadi pada dosis 3000 mg, yaitu 13,15%, dosis 4500 mg yaitu 22,57% dan dosis 6000 mg, yaitu 25,46 % lebih rendah dibandingkan kontrol yaitu 26,85%.

Gambar 3. Persentase (%) Aktivitas Cs-137 Yang Terakumulasi dalam Darah Pasca Pemberian AFCF

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa rata-rata aktivitas Cs-137 yang terakumulasi dalam darah pada keempat perlakuan tidak terdapat perbedaan yang nyata (Lampiran 3.2a), maka pemberian dosis AFCF tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap aktivitas Cs-137 yang diekskresikan melalui urin.


(44)

Pemberian AFCF dapat menekan aktivitas Cs-137 dalam darah monyet dibandingkan tanpa pemberian AFCF (kontrol), karena AFCF mampu mengikat Cs-137 yakni mencegah penyerapan Cs-137, sehingga Cs-137 dapat langsung diekskresikan melalui feses dan urin. Hasil pengamatan aktivitas Cs-137 harian yang terakumulasi dalam darah menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pada hari ke-3, ke-7 dan ke-14, kemudian terjadi penurunan pada hari berikutnya kecuali pada hari ke-35 terjadi peningkatan kembali aktivitas Cs-137 yang terakumulasi dalam darah (Gambar 3).

Pengamatan hari ke-14 menunjukkan aktivitas Cs-137 yang paling tinggi terakumulasi dalam darah, yaitu dosis 3000 mg terakumulasi sebesar 4,96%, dosis 4500 mg sebesar 13,36% dan dosis 6000 mg sebesar 15,31%, sedangkan kontrol sebesar 16,55%. Peningkatan aktivitas Cs-137 pada hari ke-3, ke-7 dan ke-14 disebabkan karena Cs-137 yang terserap dalam darah tidak dikeluarkan dan hanya terakumulasi dalam darah, di dalam organ tubuh dan diserap kembali oleh organ tubuh yang lain sehingga aktivitas Cs-137 dalam darah meningkat. Hasil penelitian Alatas et al (1996) menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas Cs-137 yang terakumulasi dalam darah monyet disebabkan karena darah merupakan media perpindahan radionuklida dari organ satu ke organ yang lain.

Aktivitas Cs-137 dalam darah pada hari ke-21 dan ke-28 mengalami penurunan karena telah terserap oleh organ lain atau telah diekskresikan melalui feses dan urin, dengan demikian kondisinya diduga telah kembali normal. Meningkatnya aktivitas Cs-137 dalam darah hari ke-35 yaitu pada dosis 3000 mg terakumulasi sebesar 1,29%, dosis 4500 mg sebesar 1,27%, 6000 mg sebesar


(45)

32

1,29% dan kontrol sebesar 1,28%, karena ada kemungkinan Cs-137 berpindah dari satu jaringan ke jaringan lain sehingga terjadi peningkatan aktivitas Cs-137 pada hari terakhir pengamatan.

Pengamatan hari ke-1 sampai ke-35 menunjukkan bahwa dosis 3000 mg paling efektif menekan aktivitas Cs-137 dalam darah dibandingkan dosis 4500 mg, 6000 mg dan 0 (kontrol). Dengan demikian dapat diketahui semakin rendah dosis yang diberikan ternyata semakin kecil aktivitas Cs-137 yang terakumulasi dalam darah.

4.2. Aktivitas Cs-137 Yang Terakumulasi Dalam Organ

Kontaminan Cs-137 yang masuk ke dalam sirkulasi darah akan dibawa ke seluruh tubuh dan kontak dengan jaringan-jaringan/organ tubuh. Hasil pengamatan Aktivitas Cs-137 yang terakumulasi dalam organ pada hari ke-35 pasca pemberian kontaminan, menunjukkan bahwa aktivitas Cs-137 pada monyet yang diberi dekontaminan AFCF lebih rendah terakumulasi dalam organ daripada kontrol (Gambar 4). Aktivitas Cs-137 yang terakumulasi paling rendah terjadi pada dosis 3000 mg yaitu 21%, dosis 4500 mg yaitu 21,52% dan dosis 6000 mg yaitu 23,45 % lebih rendah dibandingkan kontrol yaitu 41,23%.

Berdasarkan analisis statistik, menunjukkan bahwa rata-rata aktivitas Cs- 137 yang terakumulasi dalam organ dan karkas pada keempat perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Lampiran 3.2b). Pemberian dosis AFCF ternyata tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap aktivitas Cs-137 yang terakumulasi dalam organ.


(46)

Gambar 4. Persentase (%) Aktivitas Cs-137 Yang Terakumulasi Dalam Organ Hari ke-35 Pasca pemberian AFCF

Pemberian AFCF dapat menekan aktivitas Cs-137 dalam organ, akan tetapi hasil pengamatan menunjukkan bahwa Aktivitas Cs-137 yang terakumulasi dalam organ hari ke-35 pasca pemberian dekontaminan cukup tinggi. Aktivitas yang paling tinggi yaitu pada karkas, kemudian organ lain yang menunjukkan aktivitas cukup tinggi yaitu pada ginjal, limpa dan tulang. Meningkatnya aktivitas Cs-137 dalam organ karena terjadinya penurunan aktivitas Cs-137 dalam darah pada hari ke-35. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadinya perpindahan Cs-137 dari darah ke dalam cairan tubuh lainnya (limpa dan cairan ekstra vaskuler), jaringan serta organ-organ.

Aktivitas Cs-137 yang terakumulasi dalam karkas menunjukkan aktivitas Cs yang paling tinggi yaitu pada dosis 3000 mg sebesar 6,16%, dosis 4500 mg sebesar 6,48%, dan dosis 6000 mg sebesar 7,42%, sedangkan kontrol sebesar 24,00%. Tingginya aktivitas Cs-137 dalam karkas karena karkas merupakan


(47)

34

penjumlahan dari aktivitas sisa darah, tulang, otot dan organ/jaringan tubuh monyet. Basyarahil (1997) menyatakan bahwa aktivitas Cs-137 sangat tinggi terakumulasi dalam karkas karena serapan dari Cs-137 setelah diikat oleh dekontaminan AFCF banyak tersisa dalam karkas.

Aktivitas Cs-137 dalam ginjal terlihat paling tinggi setelah karkas. yaitu pada dosis 3000 mg sebesar 2,63%, dosis 4500 mg sebesar 2,44% dan dosis 6000 sebesar 2,74%, sedangkan pada kontrol lebih tinggi yaitu 2,81%. Tingginya aktivitas Cs-137 dalam ginjal, karena pengaruh dari peningkatan aktivitas Cs-137 yang terakumulasi dalam darah pada hari ke-35. Meningkatnya aktivitas Cs-137 dalam darah akan menyebabkan aktivitas Cs-137 dalam ginjal meningkat. Dakk (2002) menyatakan bahwa ginjal mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mengikat zat-zat kimia dan menghimpun toksikan-toksikan melebihi organ-organ lain.

Tingginya aktivitas Cs-137 yang terakumulasi dalam tulang, yaitu dosis 3000 mg sebesar 2,28%, dosis 4500 mg sebesar 2,61%, dosis 6000 mg sebesar 2,58% sedangkan pada kontrol lebih tinggi yaitu sebesar 2,58%. Hal tersebut nenunjukkan bahwa banyak terjadi penyerapan Cs-137 di dalam tulang. Data tersebut sesuai dengan hasil penelitian Alatas et al (1996) yang menyatakan bahwa tingginya aktivitas Cs-137 yang terakumulasi dalam tulang karena tulang merupakan salah satu organ target Cs-137.

Terjadinya peningkatan Aktivitas Cs-137 yang terakumulasi dalam organ- organ target Cs-137 dapat diminimalisir dengan pemberian AFCF sehingga dapat terjadi penurunan aktivitas Cs-137 yang terakumulasi dalam organ. Organ-organ


(48)

yang cukup rendah telihat pada organ jantung, otot, hati, paru dan paling rendah yaitu testis.

Aktivitas Cs-137 yang terakumulasi ditestis menunjukkan nilai yang paling rendah dibandingkan organ lain. Dosis 3000 mg aktivitas Cs-137 yang terukur sebesar 0,80%, dosis 4500 mg sebesar 0,73% dan dosis 6000 mg sebesar 0,69%, sedangkan kontrol aktivitas Cs-137 yang terakumulasi dalam testis yaitu sebesar 0,93%. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian AFCF dapat meminimalisir penyerapan Cs-137 dalam testis.

Pemberian AFCF dapat menekan aktivitas Cs-137 dalam organ monyet dibandingkan tanpa pemberian AFCF (kontrol), karena pemberian AFCF efektif mencegah penyerapan Cs-137 melalui pencernaan sehingga pengendapan Cs-137 dalam organ dapat diminimalisir sekecil mungkin. Pemberian AFCF dosis 3000 mg paling efektif menekan aktivitas Cs-137 dalam organ dibandingkan dosis 4500 mg, 6000 mg dan 0 (kontrol). Dengan demikian dapat diketahui semakin rendah dosis yang diberikan ternyata semakin kecil aktivitas Cs-137 yang terakumulasi dalam darah

4.3. Aktivitas Cs-137 Yang Diekskresikan Melalui Urin

Urin merupakan produk utama untuk proses penghilangan bahan bersifat racun/radioaktif. Persenyawaan dalam tubuh yang telah dibiotransformasikan ke dalam bentuk produk dilarutkan dengan air yang dikeluarkan adalah dalam bentuk urin. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa aktivitas Cs-137 yang diekskresikan melalui urin pada monyet yang diberi dekontaminan AFCF lebih tinggi daripada


(49)

36

kontrol (Gambar 5). Aktivitas Cs-137 yang diekskresikan paling tinggi terjadi pada dosis 6000 mg yaitu 20,50%, dosis 4500 mg yaitu 17,70% dan dosis 3000 mg yaitu 17,63% dibandingkan kontrol yaitu 15,05% (Gambar 5).

Gambar 5. Persentase (%) Aktivitas Cs-137 Yang Diekskresikan Melalui Urin Pasca Pemberian AFC

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa rata-rata aktivitas Cs-137 yang diekskresikan melalui urin pada keempat perlakuan tidak terdapat perbedaan yang nyata (Lampiran 3.2c). Pemberian dosis AFCF ternyata tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap aktivitas Cs-137 yang diekskresikan melalui urin.

Hasil pengamatan aktivitas Cs-137 harian yang diekskresikan melalui urin pasca pemberian dekontaminan AFCF dengan dosis 3000 mg, 4500 mg, 6000 mg dan 0 (kontrol) menunjukkan perbedaan dalam mengekskresikan Cs-137. Aktivitas Cs-137 yang diekskresikan paling tinggi melalui urin terjadi pada hari ke-1, kemudian menurun pada hari ke-2, sampai hari ke-35.


(50)

Aktivitas Cs-137 yang diekskresikan melalui urin pada hari ke-1 menunjukkan aktivitas yang paling tinggi, yaitu dosis 3000 mg mampu mengekskresikan sebesar 9,36%, dosis 4500 mg sebesar 10,97%, dosis 6000 mg sebesar 12,01% dan kontrol sebesar 8,74%. Hal ini disebabkan pengaruh fisiologi monyet. Hasil penelitian Rahardjo (2007) menyebutkan bahwa terjadinya peningkatan aktivitas Cs-137 yang diekskresikan melalui urin karena monyet banyak mengkonsumsi air, sehingga banyak pula mengeluarkan urin dan menyebabkan proses pelarutan di dalam tubuhnya lebih cepat.

Pengamatan hari ke-2 sampai ke-35 terjadi penurunan aktivitas Cs-137 dalam urin, kecuali pada hari ke-14 dan hari ke-28 terjadi peningkatan. Hari ke- 14 terjadi peningkatan pada dosis 3000 mg, yaitu sebesar 0,20% dan kontrol sebesar 0,24%. Peningkatan tersebut terjadi karena aktivitas Cs-137 yang terakumulasi dalam darah pada hari ke-14 cukup rendah pada dosis 3000 mg. Rendahnya aktivitas Cs-137 tersebut menyebabkan tingginya aktivitas Cs-137 yang diekskresikan melalui urin, karena Cs-137 yang terakumulasi dalam darah sudah diekskresikan melalui urin.

Pengamatan hari ke-35 terjadi penurunan aktivitas Cs-137 yang diekskresikan melalui urin. Dosis 3000 mg mampu mengekskresikan Cs-137 melalui urin sebesar 0,07%, dosis 0,05%, dosis 6000 mg sebesar 0,05% sedangkan kontrol sebesar 0,06%. Terjadinya penurunan aktivitas pada hari ke-35, diduga karena pada hari ke-35 aktivitas Cs-137 sudah banyak terakumulasi dalam organ/karkas dan sudah terjadi penyerapan dalam jaringan-jaringan tubuh, sehingga Cs-137 yang diekskresikan melalui urin cukup rendah. Dakk (2002)


(51)

38

menerangkan bahwa perpindahan senyawa kimia dari darah ke dalam cairan atau organ ekskretori (misalnya urin, paru atau ginjal), menyebabkan berkurangnya toksik di dalam tubuh.

Dosis 6000 mg paling efektif meningkatkan aktivitas Cs-137 yang diekskresikan melalui urin dibandingkan dosis 3000 mg, 6000 mg dan kontrol. Dengan demikian dapat diketahui semakin tinggi dosis yang diberikan kemungkinan semakin tinggi aktivitas Cs-137 yang diekskresikan melalui urin.

4.4. Aktivitas Cs-137 Yang Diekskresikan Melalui Feses

Aktivitas Cs-137 yang diekskresikan melalui feses terlihat sangat tinggi pada kelompok monyet yang diberi AFCF dibandingkan tanpa pemberian dekontaminan AFCF (kontrol). Aktivitas paling tinggi yaitu pada dosis 3000 mg sebesar 28,69%, dosis 4500 mg yaitu sebesar 26,50% dan dosis 6000 mg sebesar 24,89% lebih tinggi dibandingkan kontrol yaitu 19,32% (Gambar 6).

Gambar 6. Persentase (%) Aktivitas Cs-137 Yang Diekskresikan Melalui Feses Pasca Pemberian AFCF


(52)

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa rata-rata aktivitas Cs-137 yang diekskresikan melalui feses pada keempat perlakuan tidak terdapat perbedaan yang nyata (Lampiran 3.2d). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian dosis AFCF tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap aktivitas Cs-137 yang diekskresikan melalui feses, karena masing-masing perlakuan mampu mengekskresikan Cs-137 yang hampir sama. Namun hasil persentase menunjukan bahwa dosis 3000 mg paling efektif mengekskresikan Cs-137 dari dalam tubuh dibandingkan dosis lain.

Peningkatan Aktivitas Cs-137 yang diekskresikan melalui feses hari ke-1, yaitu dosis 4500 sebesar 2,39% dan kontrol sebesar 1,21%, sedangkan dosis 3000 mg dan 6000 mg belum menunjukkan peningkatan, Karena hari ke-1 Cs-137 telah diekskresikan cukup tinggi melalui feses, sehingga cukup sedikit diekskresikan melalui urin. Namun dosis 4500 mg sudah menunjukkan peningkatan dibandingkan dosis 3000 mg, 6000 mg dan 0 (kontrol). Peningkatan aktivitas Cs- 137 dosis 4500 mg disebabkan pemberian AFCF pada monyet tidak langsung dicerna oleh sistem tubuhnya, dekontaminan AFCF langsung mengikat Cs-137 di dalam saluran pencernaan dan langsung dikeluarkan sehingga terjadi peningkatan aktivitas Cs-137 pada hari pertama.

Aktivitas Cs-137 yang diekskresikan paling tinggi terjadi pada hari ke-3. Dosis 3000 mg menunjukkan aktivitas yang paling tinggi, yaitu sebesar 7,48%, dibandingkan dosis 4500 mg sebesar 5,31%, dosis 6000 mg sebesar 3,11% dan kontrol sebesar 5,36%. Hal ini menunjukkan bahwa dosis 3000 mg efektif,


(53)

40

sehingga radionuklida Cs-137 dapat terikat oleh AFCF dalam saluran pencernaan dan dapat dikeluarkan melalui feses dengan jumlah relatif besar. Peningkatan ini juga dipengaruhi oleh aktivitas darah dan ekskresi Cs-137 melalui urin. Terlihat pada hari ke-3 rendahnya aktivitas Cs-137 dalam darah dan rendahnya aktivitas Cs-137 melalui urin, sehingga tingginya aktivitas Cs-137 yang diekskresikan melalui feses.

Dosis 3000 mg paling efektif meningkatkan aktivitas Cs-137 yang diekskresikan melalui feses dibandingkan dosis 4500 mg, 6000 mg dan 0 (kontrol). Dengan demikian dapat diketahui, ternyata dosis yang rendah lebih tinggi dalam mengekskresikan Cs-137 melalui feses dan tingginya aktivitas Cs- 137 yang diekskresikan melalui feses menyebabkan rendahnya aktivitas yang terakumulasi dalam darah dan organ, sehingga tidak terjadinya pengendapan radionuklida terlalu lama dalam tubuh. Tingginya aktivitas Cs-137 pada dosis 3000 mg karena dosis 3000 mg paling tinggi menekan Cs-137 dalam darah pada hari ke-3, sehingga aktivitas Cs-137 banyak diekskresikan melalui feses pada hari tersebut.

4.5. Total Aktivitas Cs-137 Yang Diekskresikan Melalui Urin dan Feses

Hari ke-1 Sampai ke-35

Hasil total aktivitas Cs-137 yang diekskresikan melalui urin dan feses pada tubuh monyet terlihat sangat tinggi pada kelompok monyet yang diberi AFCF dibandingkan tanpa pemberian dekontaminan AFCF (kontrol). Aktivitas Cs-137 yang diekskresikan paling tinggi yaitu pada dosis 3000 mg sebesar 46,32%,


(54)

sedangkan dosis 4500 mg 44,20%, dosis 6000 mg 45,39% dan kontrol hanya mampu mengekskresikan 34,36% (Gambar 7).

Gambar 7. Persentase (%)Total Aktivitas Cs-137 Hari 1 sampai Hari ke-35 Pasca Pemberian AFCF

Dosis 3000 mg lebih efektif mengekskresikan Cs-137 melalui feses dan urin dibandingkan dosis lain. Namun demikian jika dilihat dari hasil statistik, menunjukkan bahwa antar perlakuan tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada urin dan feses dalam mengekskresikan Cs-137 (Lampiran 3.2). Data tersebut

menunjukkan bahwa semakin rendah dosis yang diberikan mampu

mengekskresikan Cs-137 lebih tinggi. Berbeda dengan hasil penelitian Sanusi (2007) yang menunjukkan bahwa Prusian Blue (PB) mampu mengekskresikan Cs-137 melalui urin dan feses lebih kecil dari AFCF yaitu sebesar 26%. Hal ini menunjukkan bahwa AFCF lebih efektif dibandingkan PB.

Diketahui juga bahwa pengeluaran Cs-137 lebih banyak diekskresikan melalui feses daripada melalui urin. Hasil penelitian ini sama dengan hasil


(55)

42

penelitian yang telah dilakukan oleh Sanusi (2007) yang menunjukkan bahwa Cs- 137 lebih banyak dikeluarkan melalui feses daripada melalui urin. Hal ini diduga karena cara pemberian radionuklida Cs-137 yang dilakukan secara oral, sehingga Cs-137 yang diberikan sudah diikat terlebih dahulu oleh AFCF di dalam saluran pencernaan kemudian dikeluarkan melalui feses lebih banyak. Lamanya proses ekskresi yang berlangsung di dalam ginjal juga menyebabkan sedikitnya aktivitas Cs-137 yang diekskresikan melalui urin.

Aktivitas Cs-137 yang diekskresikan melalui urin dan feses sangat berhubungan dengan waktu paruh biologi. Lab. Farmakologi (1991) menyatakan bahwa parameter yang penting untuk diketahui dan berhubungan dengan pengeluaran zat kimia dari dalam tubuh adalah waktu paruh t1/2.

Gambar 8. Persentase (%) Aktivitas Cs-137 yang Tersisa Dalam Tubuh Pasca Pemberian AFCF

Aktivitas Cs-137 dalam tubuh yang diekskresikan melalui urin dan feses hari ke-1 sampai ke-35 terlihat belum mencapai setengahnya (50%) (Gambar 8). Dosis 3000 mg pada hari ke-1 sampai ke-35 aktivitasnya masih 54%, dosis 4500


(56)

mg 56%, dosis 6000 mg 55%, dan kontrol 66%. Data tersebut menunjukkan bahwa waktu paruh (t1/2) biologi Cs-137 lebih dari 35 hari. Namun demikian, pemberian AFCF mampu mereduksi aktivitas Cs-137 dari dalam tubuh lebih tinggi dibandingkan tanpa pemberian AFCF (kontrol) (Gambar 8).


(57)

44

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa :

1. Pemberian dekontaminan AFCF dengan dosis 3000 mg, 4500 mg dan 6000 mg efektif mengekskresikan Cs-137 dari dalam tubuh monyet ekor panjang.

2. Pemberian AFCF dosis 3000 mg paling efektif (sebesar 46,32%) dalam mengekskresikan Cs-137 dibandingkan dosis 4500 mg (44,20%), 6000 mg (45,39%) dan kontrol (34,27%). Aktivitas Cs-137 yang terakumulasi dalam darah dan organ paling kecil teramati pada dosis 3000 mg, sehingga pemberian AFCF dengan dosis 3000 mg lebih efektif dibandingkan dosis 4500 mg, 6000 mg dan kontrol.

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini saran yang dapat dikemukakan adalah diperlukan penelitian lanjut menggunakan dekontaminan AFCF dengan dosis kurang dari 3000 mg atau lebih dari dosis 6000 mg/ekor, untuk melihat efektivitas yang lebih tinggi dalam mengekskresikan Cs-137 dari dalam tubuh.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2000. Iuclid. (http://ecb.jrc.ec.europa.eu/documents/Existing

chemicals/IUCLID/DATA-SHEETS/25869005). 18 April 2009, pk. 13.00 WIB

________. 2005. Cesium-137 (http://Translet.Goegle.co.id). 22 Juli 2009, pk 9:15

________. 2008. Ammonium Iron (III) Hexacyanoferrate Basic Information. (http: //www. Product Chemical //Properties CB 7310892.htm). 19 April 2009, pk 09.00

Achmad, H. 2001. Kimia Unsur dan Radiokimia. Penerbit : PT Citra Aditya Bakti. Bandung.

Akhadi, M. 2000. Memeriksa Unsur Kelumit Dalam Tubuh Dengan Teknik PGNAA. Jurnal Elektro Indonesia. No.34.

_________. 2006. Program Pemantauan Radiasi Bagi Pekerja Tambang. Buletin. ALARA. 8 (2): 103-112.

Alatas, Z., M. Syaifudin dan S. Nurhayati. 1996. Efektifitas Prussian Blue Untuk Dekontaminasi Cesium-137 Pada Tikus Putih. Prosiding Presentasi Ilmiah Keselamatan Radiasi dan Lingkungan. 210-218.

Alatas, Z dan S. Nurhayati. 2004. Status Terakhir Tindakan Terhadap Kontaminasi Interna. Prosiding Presentasi Ilmiah Keselamatan Radiasi dan lingkungan X. 307-322.

Ardisasmita, M.S., 2008. Pengembangan Spektrometer Sinar Gamma Dengan Sistem Identifikasi Isotop radioaktif menggunakan Metode Jaringan syaraf Tiruan. Jurnal Pusat Pengembangan Teknologi Informasi dan Komputasi.

Basyarahil, J.G. 1997. Dekontaminasi Campuran Radionuklida 137Cs dan 241Am Pada Tubuh Tikus Putih (Ratus norvegicus var wistar). Skripsi : Program Studi Físika Fakultas Matemátika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA). Universitas Airlangga. Surabaya.

Bucaille, M. 2008. Dari Mana Manusia Berasal? Antara Sains, Bibel dan Al- quran . Terj. Dari What Is The Origin of Man? The Answers of Science and The Holy Scriptures, oleh R. Astuti. Penerbit Mizan Media Utama. Bandung.


(59)

46

Chang, R. 2004. Kimia Dasar. Konsep-konsep Inti Edisi Ketiga Jilid I. Penerbit: Erlangga. Jakarta.

Darussalam. 1996. Radiasi dan Radioisotop. Penerbit Tarsito. Bandung.

Dakk, M. 2002. Toksikologi dan Ditribusi Agent Toksik. Skripsi:. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dresow, B., P. Nielsen, Alexander, Pfau and H.H. Heinrich. 1993. In vivo Binding of Radiocesium by Two Forms of Prussian Blue and By Ammonium Iron Hexacyanoferrate. Journal of Pharmaceutical Science and Clinical Toxicology. 13 (4): 563-569.

Dotzel, M.M. 2003. Guidance For Industry On Prussian Blue For Treatment Of Internal Contamination With Thalium or Radioactive Cesium Avaibility Food and Drug Administration. Journal of Departement of Health and Human Services.

Hardiwinarto, S. 1991. Penyelidikan Erosi Tanah Dengan Cesium-137. Prosiding. Pertemuan Ilmiah Tenaga Atom Karya Siswa Indonesia di Jepang 1. International Hall Kyushu University Fukuoka.

Jumpeno, E.B. 2004. Dirty Bom. Buletin ALARA. 6 (1): 49-53.

Kamil, I. 2008. Pengukuran Radioaktif menggunakan Detektor NaI, Studi Kasus Lumpur Lapindo. Skripsi :Institut Teknologi Bandung.

Laboratorium Farmakologi, 1991. Catatan Kuliah Farmakologi. Penerbit: Buku Kedokteran EGC Universitas Sriwijaya. Jakarta.

Le Gall, B., F. Taran, D. Renault, J.C. Wilk and E. Ansoborlo. 2006. Comparison of Prussian Blue and Apple Pectin Efficacy On Cs-137 Decorporation In Rat. Biochimie. 88 (11): 1837-1841.

Kaikkonen, M and Lehto, J. 2000. Coprecipitating Ammonium (III) Hexacyanoferrate From Aqueous Dispersion With Albumin and Trichloroacetic acid. Laboratorium Radiochemistry. University of Helsinki. Firlandia.

Kaikkonen, M. 2006. A Novel Assay Method For Measuring Added Plasma Caesium and Its Application In The Measurment Of Short-term kinetics. Helsinki University House.

Maskur dan Rustendi, C.T. 2008. Sistem Informasi Tabel peluruhan Radioaktivitas Menggunakan Turbo Pascal Windows. Jurnal Risalah Lokakarya Komputasi dalam Sains dan Teknologi Nuklir.


(60)

Marc De cort. 2002. Environmental Monitoring. A European Manual For Off-site Emergency Planning and Response To Nuklear Accidents. Institute For Environment and Sustainability.

Mitrovic, B., G. Vitorovic, D. Vitorovic, H. Dakovic and M. Stojanovic. 2007. AFCF and Clinoptilolite Use in Reduction Of 137 Cs Deposition In Several Days Contaminated Broiler Chicks. Jurnal Of Environmental. 95: 171-177.

Nurhayati, S. 1999. Pengeluaran Radionuklida dari Tubuh. Buletin ALARA. 2(3): 13-19.

Prayudi, T. 2008. Propauna Serukan Penghentian penangkapan Monyet Ekor Panjang dari Alam. (http: //www. Monyet/ berita habitat. Net).18 April 2009, pk. 13.00 WIB.

Purwestri, Y.A. 1995. Dekontaminasi Cesium-137 Dengan Prussian Blue dari Tubuh Tikus Putih (Rattus norvegicus L). Skripsi: Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Rahardjo,T., M. Sanusi dan D. Tetriana. 2007. Efektifitas Prussian Blue Dalam Mengeliminasi Cs-137 dari Tubuh Kera Ekor Panjang Pasca Kontaminasi Cs-137 Secara Oral. Prosiding Presentasi Ilmiah keselamatan Radiasi dan Lingkungan XIIII.

Rahardjo, T. 2008. Pengembangan Prosedur Baku dekontaminasi Internal Radionuklida. Jurnal Pusat Keselamatan dan Metrologi radiasi (PTKMR).

Sanusi, M. 2008. Penentuan Efektifitas Prussian Blue Terhadap Eliminasi Kontaminan Cs-137 Pada Kera Ekor Panjang Macaca fascicularis. Skripsi: Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi. UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.

Schimansky, K. 1997. The Stability and Cesium Binding Properties of Ammonium Iron and Ammonium Copper Hexacyanoferrate On a Polystyrene Carrier for The Decontamination of Cs-Contaminated

Whey Powder Under Various Test Conditions. Jurnal Of

Environmental.

Syaifudin, M., Y. Lusianti dan S. Nurhayati. 1995. Biokinetika Radionuklida di dalam Tubuh, Efek Paparan Interna dan Metode Dekontaminasinya. Prosiding Presentasi Ilmiah keselamatan Radiasi dan Lingkungan. 465-471.


(61)

48

Syarifah, R.D. 2009. Faktor penentu kestabilan Inti Atom. (http://www.WordPress .com). 6 Agustus 2009, pk. 16.00 WIB.

Urrohmah, N. 2007. Ditribusi Dan populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis Rafles, 1821) Disuaka Marga Satwa Muara Angke Jakarta. Skripsi: Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi. UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.

Wardhana, W.A. 2006. Teknologi Nuklir: Proteksi Radiasi dan Aplikasinya. Penerbit. Andi Offset. Yogyakarta.


(62)

4500 1330,6 1365,2 1386,2 1360,66 ± 28,05

6000 1386,6 1388,8 - 1387,67 ± 1,53

0 (kontrol) 1378,8 1681,1 1686,9 1582,24 ± 176,25

4500 4376,58 4834,61 5616,89 4942,69 ± 627,18

6000 5616,89 5710,8 - 5663,85 ± 66,40

0 (kontrol) 6375,49 6191,66 5807,77 6124,97 ± 289,68

4500 455,13 437,88 480,47 457,83 ± 21,42

6000 450,86 442,2 - 446,63 ± 5,98

0 (kontrol) 440,47 360,24 380,22 393,64 ± 41,77

4500 298,09 268,79 265,05 227,31 ± 18,09

6000 485,85 503,58 - 494,72 ± 12,54

0 (kontrol) 513,67 378,53 381,27 424,49 ± 77,24

4500 477 468,05 467,04 470,7 ± 5,48

6000 478,15 473,56 - 475,85 ± 3,25

0 (kontrol) 461,59 457,06 501,46 473,37 ± 24,43

3000 661,16 649,3 651,25 653,90 ± 6,36

4500 685,57 908,94 934,97 843,16 ± 137,10

6000 940,59 947,42 - 944,00 ± 4,83

0 (kontrol) 925,58 948,96 936,99 937,18 ± 11,69

3000 1299,3 1329,7 1346,1 1325,05 ± 23,76

3000 1691,49 1270,02 2544 1835,17 ± 649,03

3000 297,36 337,33 407,79 347,49 ± 55,91

3000 201,51 201 285,18 229,23 ± 48,45

3000 485,64 474,6 469,05 476,43 ± 8,45

Lampiran 1. Data Hasil Pencacahan (Counting)

Tabel 1. Hasil Pencacahan Aktivitas Cs-137 (Bq) yang Terakumulasi Dalam Darah

No Hari

Dosis AFCF

Aktivitas Cs-137 dalam Darah

(Bq) Rata-rata ± STD

Pengamatan

1 Hari ke-3

mg/ekor 1 2 3 Dev

2 Hari ke-7

3 Hari ke-14

4 Hari ke-21

5 Hari ke-28

6 Hari ke-35

Keterangan :

STD Dev = Standar Deviasi


(63)

Dosis Aktivitas Cs-137 dalam

AFCF Organ (Bq)

mg/ekor 1 2

3000 621,74 706,73

3 690,79

Rata-rata ± STD Dev

673,09 ± 45,18

4500 687,35 631,82

6000 643,35 758,43

0 (Kontrol) 690,2 848,55

3000 586,53 523,66

4500 594,37 600,47

629,4 - 745,13 682,79 652,59

649,52 ± 32,78 700,89 ± 81,37 761,29 ± 80,40 597,66 ± 80,15 615,81 ± 31,10

6000 643,35 758,43

0 (Kontrol) 662,43 864,28

3000 605,65 741,11

4500 833,65 669.33

6000 607,96 800,35

- 955,64 729,74 631,23

-731,66 ± 275,45 827,45 ± 150,03 692,17 ± 75,14 711,40 ± 107,57 704,16 ± 136,04

0 (Kontrol) 610,3 1152,81

3000 544,04 536,78

4500 609,3 588,72

6000 603,8 603,8

0 (Kontrol) 690,2 848,55

3000 739,82 748,08

4500 766,73 780,8

6000 813,55 808,02

0 (Kontrol) 970,04 856,37

3000 559,89 670,72

4500 621,33 1054,14

6000 991,72 1039,44

0 (Kontrol) 1027,84 1064,7

3000 221,83 334,7

836,15 561,02 605,26 - 745,13 928,44 1004,77 - 842,15 1690,76 1031,62 - 1026,07 334,7

866,42 ± 272,52 547,28 ± 12,44 601,13 ± 10,90 645,36 ± 58,77 694,26 ± 23,05 805,44 ± 106,60 850,76 ± 133,56 810,79 ± 3,91 889,52 ± 70,09 973,79 ± 623,38 902,36 ± 243,65 1015,58 ± 33,74 1039,53 ± 21,81 297,07 ± 65,17

4500 323,85 259,26

6000 220,97 291,52

0 (Kontrol) 242,72 442,99

3000 766,98 709,75

226,53 - 348,22 1050,48

269,88 ± 49,52 256,25 ± 49,89 344,64 ± 100,18 842,4 ± 182,46

4500 995,82 933,97 969,27 966,35 ± 31,03

6000 946,25 885,53

0 (Kontrol) 931,91 1009,92

3000 1585,37 1542,07

4500 1904,99 1848,19

- 920,94 1585,37 1834,32

915,89 ± 42,94 954,26 ± 48,52 1570,94 ± 24,10

1862,5 ± 37,45

6000 1805,16 1909,2 - 1857,18 ± 73,57

0 (Kontrol) 1931,91 1899,92 1920,94 1917,59 ± 16,26

50

Tabel 2. Hasil Pencacahan Aktivitas Cs-137 (Bq) Yang Terakumulasi Dalam Organ

No Jenis

Organ

1 Hati

2 Paru

3 Otot

4 Jantung

5 Limpa

6 Ginjal

7 Testis

8 Tulang


(1)

Lampiran 3. Hasil Pengolahan Dengan SPSS 12

3.1. Tabel Deskriptif AktivitasCs-137 DalamDarah

95%ConfidenceIntervalfor Mean

N Mean Std.Deviation Std.Error LowerBound UpperBound Minimum Maximum

3000mg 6 811,2122 632,94219 258,39757 146,9801 1475,4443 229,23 1835,17

4500mg 6 1392,0583 1781,77686 727,40736 -477,8018 3261,9185 277,31 4942,69

6000mg 6 1568,7858 2039,60904 832,66690 -571,6526 3709,2242 446,63 5663,85

kontrol 6 1655,9828 2236,18625 912,91921 -690,7508 4002,7163 393,64 6124,97

Total 24 1357,0098 1697,56266 346,51353 640,1919 2073,8276 229,23 6124,97

AktivitasCs-137YangDiekskresikanmelaluiUrin

95%ConfidenceIntervalfor Mean

N Mean Std.Deviation Std.Error LowerBound UpperBound Minimum Maximum

3000mg 4500mg 6000mg kontol Total 12 12 12 12 48 559,2458 584,5428 632,7837 464,4378 560,2525 1002,39336 1117,61353 1227,50097 893,20645 1034,74845 289,36604 322,62724 354,34901 257,84649 149,35307 -77,6445 -125,5550 -147,1332 -103,0785 259,7929 1196,1362 1294,6405 1412,7007 1031,9541 860,7122 24,56 19,38 16,25 23,64 16,25 3646,95 4057,39 4445,20 3235,38 4445,20

AktivitasCs-137YangterakumulasiDalamOrgandanKarkas

95%ConfidenceIntervalfor Mean

N Mean Std.Deviation Std.Error LowerBound UpperBound Minimum Maximum

3000mg 4500mg 6000mg kontrol Total 9 9 9 9 36 856,6500 885,2615 947,5017 1695,3296 1096,1857 568,08964 604,23763 706,93773 2701,75359 1436,69283 189,36321 201,41254 235,64591 900,58453 239,44880 419,9776 420,8033 404,1012 -381,4220 610,0788 1293,3224 1349,7196 1490,9021 3772,0813 1582,2926 297,08 269,88 256,25 344,64 256,25 2280,94 2400,16 2746,95 8880,59 8880,59

AktivitasCs-137YangDiekskresikanMelaluiFeses

95%ConfidenceIntervalfor Mean

N Mean Std.Deviation Std.Error LowerBound UpperBound Minimum Maximum

3000mg 4500mg 6000mg kontol Total 12 12 12 12 48 884,1900 817,3039 766,5358 595,8033 765,9583 1022,34474 796,46778 931,17073 700,97149 850,09016 295,12551 229,92044 268,80583 202,35304 122,69995 234,6231 311,2524 174,8982 150,4273 519,1178 1533,7569 1323,3554 1358,1735 1041,1794 1012,7987 31,58 66,93 43,05 27,14 27,14 2767,83 2201,81 2473,55 1985,30 2767,83


(2)

3.2. Tabel Hasil Analisis Sidik Ragam (One Way Anova)

3.2a. Aktivitas Cs-137 Yang Terakumulasi Dalam Darah Sumof

Squares df MeanSquare F Sig.

BetweenGroups WithinGroups Total

2600144 63679393 66279537

3 20 23

866714,650 3183969,637

,272 ,845

H0 = Rata-rata aktivitas Cs-137 yang terakumulasi dalam darah pada keempat

perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata

H1 = Rata-rata aktivitas Cs-137 yang terakumulasi dalam darah pada keempat

perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata

Pada tabel tampak nilai probabilitas (sig) 0,845 < 0,05, maka H0 diterima

atau rata-rata aktivitas Cs-137 yang terakumulasi dalam darah diantara 4 perlakuan (3000, 4500, 6000 dan 0 mg/ekor tidak terdapat perbedaan yang nyata.

3.2b. Aktivitas Cs-137 Yang Terakumulasi Dalam Organ dan Karkas

Sumof

Squares df MeanSquare F Sig.

BetweenGroups W ithinGroups Total

4346521 67896499 72243020

3 32 35

1448840,303 2121765,598

,683 ,569

H0 = Rata-rata aktivitas Cs-137 yang terakumulasi dalam Organ dan Karkas

pada keempat perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata

H1 = Rata-rata aktivitas Cs-137 yang terakumulasi dalam organ dan Karkas

pada keempat perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata

Pada tabel tampak nilai probabilitas (sig) 0,569 < 0,05, maka H0 diterima

atau rata-rata aktivitas Cs-137 yang terakumulasi dalam organ dan karkas diantara 4 perlakuan (3000, 4500, 6000 dan 0 mg/ekor tidak terdapat perbedaan yang nyata.


(3)

3.2c. Aktivitas Cs-137 Yang Diekskresikan Melalui Urin

Sumof

Squares df MeanSquare F Sig.

BetweenGroups W ithinGroups Total

180387,3 50142717 50323104

3 44 47

60129,097 1139607,207

,053 ,984

H0 = Rata-rata aktivitas Cs-137 yang diekskresikan melalui urin pada keempat

perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata

H1 = Rata-rata aktivitas Cs-137 yang diekskresikan melalui urin pada keempat

perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata

Pada tabel tampak nilai probabilitas (sig) 0,984 < 0,05, maka H0 diterima

atau rata-rata aktivitas Cs-137 yang diekskresikan melalui urin diantara 4 perlakuan (3000, 4500, 6000 dan 0 mg/ekor tidak terdapat perbedaan yang nyata.

2.2d. Aktivitas Cs-137 Yang Diekskresikan Melalui Feses

Sumof

Squares df MeanSquare F Sig.

BetweenGroups W ithinGroups Total

546817,8 33417886 33964704

3 44 47

182272,602 759497,413

,240 ,868

H0 = Rata-rata aktivitas Cs-137 yang diekskresikan melalui feses pada keempat

perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata

H1 = Rata-rata aktivitas Cs-137 yang diekskresikan melalui feses pada keempat

perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata

Pada tabel tampak nilai probabilitas (sig) 0,868 < 0,05, maka H0 diterima

atau rata-rata aktivitas Cs-137 yang diekskresikan melalui feses diantara 4 perlakuan (3000, 4500, 6000 dan 0 mg/ekor tidak terdapat perbedaan yang nyata.


(4)

Lampiran 4. Gambar Alat dan Bahan Yang digunakan Dalam Penelitian

4.1. Alat dan Bahan Penelitian yang Digunakan

Kontaminan Cs-137 Dekontaminan AFCF


(5)

Lampiran 4.2. Cara Kerja yang Dilakukan Dalam Penelitian

Pemberian Kontaminan Cs-137 Pemberian Dekontaminan AFCF


(6)

Pengambilan Sampel Karkas Sampel yang Sudah Siap Untuk Dicacah