Distribusi Vertikal Klorofil a di Perairan Laut Banda Berdasarkan Neural Network

(1)

DISTRIBUSI VERTIKAL KLOROFIL-A DI PERAIRAN LAUT BANDA BERDASARKAN NEURAL NETWORK

ACH. FACHRUDDIN SYAH

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Disribusi Vertikal Klorofil-A di Perairan Laut Banda Berdasarkan Neural Network adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak ditertibkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

Ach. Fachruddin Syah C552070061


(3)

ABSTRAK

ACH. FACHRUDDIN SYAH.Vertical Disrtibution of Chlorophyll-a at Banda Sea Waters Based On Neural Network. Under direction of JONSON LUMBAN GAOL, and KUDANG BORO SEMINAR

The primary production quantity depends on the vertical distribution of chlorophyll concentration in the water column. The chlorophyll maximum value not always observed near or at the sea surface, but sometimes lies deeper than bottom of the euphotic zone. In this case, the ocean color sensors cannot measure the chlorophyll maximum value. A shifted Gaussian model has been proposed to describe the variation of the chlorophyll-a (Chl-a) profile which consists of four parameters, i.e. background biomass (B0), maximum depth of Chl-a (Zm), total biomass in the peak (h), and measurenment of the thickness or vertical scale of the peak (G). However, these parameters are not easy to be determined directly from satellite data. Therefore, in these research, an ANN methodology is used. Using in-situ data 1962 to 1985 in Banda Sea, the above parameters are calculated to derive the Chl-a concentration, sea surface temperature, mixed layer depth, latitude, longitude, and season. The total of 79 profiles of Chl-a and temperature are used for ANN. The correlation coefficient of these parameters are 0.912 (B0), 0.871 (h), 0.986 (G) and 0.990 (Zm) respectively. After comparing with in-situ data and ANN model, the result show not good enough agreement relatively.

Keywords: Chlorophyll-a (Chl-a), Vertical Structure, Artificial Neural Networks (ANN)


(4)

RINGKASAN

ACH. FACHRUDDIN SYAH. Distribusi Vertikal Klorofil-a di Perairan Laut Banda Berdasarkan Neural Network. Dibimbing oleh JONSON LUMBAN GAOL, dan KUDANG BORO SEMINAR

Tingkat kesuburan suatu perairan bergantung pada konsentrasi klorofil-a di kolom perairan. Nilai klorofil-a maximum tidak selalu berada di dekat atau di permukaan laut, tetapi terkadang berada lebih dalam di bawah daerah eufotik. Pada kasus ini, sensor ocean color dari satelit tidak dapat menghitung nilai maksimum klorofil-a yang berada di bawah lapisan permukaan laut. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan studi pendugaan distribusi konsentrasi klorofil-a secara vertikal di Perairan Laut Banda dengan menggunakan metode ANN

Model yang digunakan untuk pendugaan distribusi vertikal konsentrasi klorofil-a adalah model distribusi Gauss. Model distribusi Gauss merepresentasikan profile distribusi vertikal klorofil-a dengan 4 parameter. yaitu konsentrasi klorofil-a di permukaan laut (B0), total konsentrasi klorofil-a di

puncak (h), standard deviasi distribusi Gauss yang mengontrol ketebalan lapisan klorofil-a (G), dan kedalaman konsentrasi klorofil-a maximum (Zm). Pendekatan perhitungan keempat parameter tersebut dilakukan menggunakan Least Square Method(LSM) dengan menggunakan data kedalaman dan konsentrasi klorofil-ain situ. Parameter yang diperoleh dengan metoda LSM tersebut digunakan sebagai data masukan output dalam metode ANN. Daerah penelitian adalah Perairan Laut Banda. Data klorofil in situuntuk daerah penelitian adalah data tahun 1962, 1963, 1972, 1973, 1984 dan 1985. Total data yang digunakan dalam proses ANN sebanyak 78 titik sampel. Data masukan input yang digunakan dalam model ANN adalah data konsentrasi klorofil-a ([Chl-a]) permukaan laut, suhu permukaan laut (SPL),mixed layer depth, lintang, bujur dan musim.

Pada proses training, telah berhasil diperoleh nilai koefisien korelasi (r) untuk parameter (B0), (h), (G) dan (Zm) berturut-turut sebesar 0.912, 0.871, 0.986

dan 0.990. Selanjutnya pada proses validasi, nilai koefisien korelasi (r) untuk parameter (B0), (h), (G) dan (Zm) berturut-turut diperoleh nilai 0.862, 0.522, 0.992

dan 0.994. Pendugaan parameter h belum sesuai dengan yang diharapkan karena pola distribusi vertikal konsentrasi klorofil-a yang berbeda. Dengan menggunakan nilai rata-rata 4 parameter Gauss dan persamaan Gauss maka diperoleh nilai [Chl-a] LSM dan [Chl-[Chl-a] ANN. Koefisien korelasi antara [Chl-[Chl-a] in-situ dan [Chl-a] LSM adalah sebesar 0.636, sedangkan koefisien korelasi antara [Chl-a] in-situdan [Chl-a] ANN adalah sebesar 0.631 sehingga model masih perlu dikembangkan untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Namun demikian, diperoleh hubungan yang cukup baik antara [Chl-a] LSM dan [Chl-a] ANN dengan nilai koefisien korelasi (r) yang sangat tinggi (0.99).


(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencatumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(6)

DISTRIBUSI VERTIKAL KLOROFIL-A DI PERAIRAN LAUT BANDA BERDASARKAN NEURAL NETWORK

ACH. FACHRUDDIN SYAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(7)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Richardus Kaswadji, M.Sc Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc


(8)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Distribusi Vertikal Klorofil-a di Perairan Laut Banda Berdasarkan Neural Network

Nama : Ach. Fachruddin Syah NIM : C552070061

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Jonson L. Gaol, M.Si Prof. Dr. Ir. Kudang B. Seminar, M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Kelautan

Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


(9)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan program Magister Sains pada Mayor Teknologi Kelautan, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Jonson L. Gaol, M.Si sebagai ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Kudang B. Seminar, M.Sc sebagai anggota komisi pembimbing yang dengan sabar memberikan bimbingan dan saran dalam penelitian dan penulisan tesis ini.

2. Dr. Ir. Richardus F. Kaswadji, M.Sc dan Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc sebagai dosen penguji atas segala masukan untuk perbaikan tulisan ini.

3. Ir. Andri Purwandani dari BPPT atas data yang diberikan dalam penelitian ini. 4. Dekan dan rekan sejawat di Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo

khususnya ketua dan staf Jurusan Ilmu Kelautan.

5. Ibu Hj. Nurfadillah (orang tua), Bapak Soedjito dan Ibu Suparmi (mertua) yang selalu mendoakan dan memberi dorongan untuk mencapai ridho-Nya. 6. Dwi Indah Lestari (istri) dan Syarifatu Aliya dan Ahmad Fatih Haidar

(anak-anak) serta keluarga besar yang selalu mendoakan dan memberi semangat. 7. Seluruh kerabat dan teman seperjuangan atas segala kebaikan dan

kerjasamanya.

Penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat. Semoga Allah SWT meridhoi setiap langkah kita. Amiin.

Bogor, Agustus 2009 Ach. Fachruddin Syah


(10)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan program Magister Sains pada Mayor Teknologi Kelautan, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

8. Dr. Ir. Jonson L. Gaol, M.Si sebagai ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Kudang B. Seminar, M.Sc sebagai anggota komisi pembimbing yang dengan sabar memberikan bimbingan dan saran dalam penelitian dan penulisan tesis ini.

9. Dr. Ir. Richardus F. Kaswadji, M.Sc dan Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc sebagai dosen penguji atas segala masukan untuk perbaikan tulisan ini.

10. Ir. Andri Purwandani dari BPPT atas data yang diberikan dalam penelitian ini. 11. Dekan dan rekan sejawat di Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo

khususnya ketua dan staf Jurusan Ilmu Kelautan.

12. Ibu Hj. Nurfadillah (orang tua), Bapak Soedjito dan Ibu Suparmi (mertua) yang selalu mendoakan dan memberi dorongan untuk mencapai ridho-Nya. 13. Dwi Indah Lestari (istri) dan Syarifatu Aliya dan Ahmad Fatih Haidar

(anak-anak) serta keluarga besar yang selalu mendoakan dan memberi semangat. 14. Seluruh kerabat dan teman seperjuangan atas segala kebaikan dan

kerjasamanya.

Penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat. Semoga Allah SWT meridhoi setiap langkah kita. Amiin.

Bogor, Agustus 2009 Ach. Fachruddin Syah


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Bangkalan Jawa Timur pada tanggal 20 Mei 1979 sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan H. Afandi (alm) dan Hj. Nurfadillah.

Tahun 1998 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bangkalan Madura dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2003 - 2004, penulis bekerja sebagai Manajer Litbang Akademik di salah satu bimbingan belajar yang ada di Bogor.

Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai staf pengajar di Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura. Selanjutnya pada tahun 2007, penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan studi di Mayor Teknologi Kelautan IPB atas beasiswa BPPS Ditjen DIKTI. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi wakil ketua WATERMASS ITK untuk periode 2007/2008.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 3

Ruang Lingkup Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Fitoplankton dan Klorofil-a ... 4

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsentrasi dan Distribusi Klorofil-a . 6 Suhu ... 6

Transmisi Cahaya ... 8

Intensitas Cahaya ... 9

Arus Air Laut ... 10

Nutrien ... 13

Distribusi Vertikal Klorofil-a pada Daerah yang Berbeda ... 16

Distribusi Gauss ... 19

Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network) ... 20

Penggunaan Artificial Neural Networkdi Perairan Sub Tropis ... 23

BAHAN DAN METODE ... 26

Waktu dan Tempat ... 26

Alat dan Bahan ... 26

Penentuan Data Input-Output... 27

Pendugaan Parameter Gauss dengan ANN... 28

HASIL DAN PEMBAHASAN... 34

Parameter Gauss ... 34

Pendugaan Parameter Gauss dengan ANN... 35

Training... 35

Validasi Model... 38

Perbandingan nilai [Chl-a] in situ, [Chl-a] LSM dan [Chl-a] ANN ... 42

SIMPULAN DAN SARAN... 47

Simpulan ... 47

Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA... 48


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Nilai Rata-rata Parameter Gauss pada Data Training ... 34

2. Nilai Rata-rata Parameter Gauss pada Data Validasi ... 34

3. Parameter Training ANN ... 35

4. Nilai errorsetelah Pengulangan ke-5000 ... 36

5. Nilai Rata-rata Selisih pada Proses Training ... 37

6. Nilai errorpada Proses Validasi ... 38

7. Nilai Rata-rata Selisih pada Proses Validasi ... 40

8. Nilai Rata-rata Parameter Gauss ... 42


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman 1. Struktur Termal dan Taraf Percampuran dalam Laut-Laut Daerah Beriklim

Sedang, Tropik, dan Kutub selama Empat Musim dalam Setahun ... 17

2. Struktur Vertikal Klorofil-a pada Lapisan Permukaan dan pada Tiap Tingkatan Kolom Air yang Berbeda ... 18

3. Distribusi Pergeseran Gauss untuk [Chl-a] ... 20

4. Profile[Chl-a] secara Vertikal pada Musim (a) Dingin, (b) Semi, (c) Panas dan (d) Gugur ... 24

5. Lokasi Penelitian ... 26

6. Konsentrasi Klorofil-a di Laut Banda pada Musim yang Berbeda ... 27

7. Model Artificial Neural Network yang akan dikembangkan ... 29

8a. Grafik Hubungan Nilai (a) B0dan (b) h (skala log) Hasil Pendugaan ANN dan Perhitungan LSM ... 36

8b. Grafik Hubungan Nilai (c) Gdan (b) Zm Hasil Pendugaan ANN dan Perhitungan LSM ... 37

9a. Grafik Hubungan Nilai (a) B0, (b) h (skala log) Hasil Pendugaan ANN dan Perhitungan LSM ... 38

9b. Grafik Hubungan Nilai (c) Gdan (d) Zm Hasil Pendugaan ANN dan Perhitungan LSM ... 39

10a.Konsentrasi Klorofil-a di Laut Banda pada Musim (a) Barat dan (b) Peralihan 1 ... 39

10b. Konsentrasi Klorofil-a di Laut Banda pada Musim (c) Timur dan (d) Peralihan 2 ... 40


(15)

11. Hubungan antara Data Validasi dan Pendugaan ANN pada Parameter

(a) B0, (b) h, (c) Gdan (d) Zm ... 41 12. Grafik Hubungan Nilai [Chl-a] in situdengan Nilai (a) [Chl-a] LSM dan

(b) [Chl-a] ANN ... 42 13. Grafik Hubungan Nilai [Chl-a] ANN dan [Chl-a] LSM ... 43 14. Perbandingan Nilai [Chl-a] in situ, [Chl-a] LSM dan [Chl-a] ANN pada


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Tampilan Program JST BackPro2N ... 51

2. Nilai Parameter Gauss pada Data Training... 52

3. Nilai Parameter Gauss pada Data Validasi ... 54

4. Data Training ... 55

5. Data Validasi ... 57

6. Hasil TrainingModel Pendugaan [Chl-a] ... 58

7. Hasil Validasi Model Pendugaan [Chl-a] ... 60


(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Mempelajari proses produksi primer, yang merupakan hasil proses biologi, sangat penting khususnya untuk mengetahui pengaruh fiksasi karbon fitoplankton terhadap flux CO2 yang melewati permukaan udara ke laut. Produksi primer

bergantung kepada ketersediaan cahaya dan faktor lingkungan lain seperti suhu, nutrient dan keberadaan fitoplankton untuk proses fotosintesis

Fitoplankton dalam ekosistem perairan mempunyai peranan yang sangat penting terutama dalam rantai makanan di laut, karena fitoplankton merupakan produsen utama yang memberikan sumbangan terbesar bagi produksi primer total suatu perairan. Fitoplankton memiliki peranan penting bagi produktivitas primer perairan, karena fitoplankton dapat melakukan proses fotosintesis yang menghasilkan bahan organik yang kaya energi maupun kebutuhan oksigen bagi organisme yang tingkatannya lebih tinggi.

Untuk menduga biomassa fitoplankton suatu perairan dapat dilakukan melalui pengukuran nilai-nilai konsentrasi a. Hal ini dikarenakan klorofil-a merupklorofil-akklorofil-an sklorofil-alklorofil-ah sklorofil-atu pigmen penting dklorofil-alklorofil-am proses fotosintesis pklorofil-adklorofil-a fitoplankton. Dengan demikian sangat penting artinya mengukur nilai konsentrasi klorofil-a dan sebarannya untuk mengetahui ketersediaan fitoplankton yang pada akhirnya dapat melihat tingkat kesuburan suatu perairan

Nilai klorofil maximum tidak selalu berada di dekat atau di atas permukaan, tetapi terkadang berada lebih dalam di bawah daerah eufotik (Parson et al. 1984). Pada kasus ini, sensor ocean color dari satelit tidak dapat menghitung nilai maksimum klorofil yang berada di bawah lapisan permukaan (Gordon dan McCluney 1975). Platt et al. (1988) mengusulkan menggunakan model distribusi Gauss, yang merepresentasikan distribusi vertikal klorofil dengan 4 parameter, sebagai solusi sehingga distribusi vertikal kosentrasi klorofil-a dapat diduga dari konsentrasi permukaan.

Artificial Neural Network (ANN) utamanya digunakan untuk

mendeskripsikan suatu fenomena yang non – linear, walaupun bisa juga untuk mendeskripsikan fenomena yang linear. Meskipun ada beberapa teknik untuk


(18)

mewujudkan fungsi persamaan, neural network digunakan untk menghasilkan nonlinier input dan output. Jika ada data set yang jarang menampilkan suatu karakteristik tertentu, ANN dapat mendekati hubungan nonlinier tersebut. Osawa

et al. (2005) menggunakan ANN untuk mengembangkan model pendugaan

distribusi vertikal klorofil-a di Perairan Jepang dengan hasil yang cukup baik. Di Perairan Indonesia perlu juga dikembangkan model yang sesuai menurut kondisi perairan tropis yang mempunyai kondisi berbeda dengan perairan daerah sub tropis.

Perumusan Masalah

Tingkat kesuburan suatu perairan bergantung pada konsentrasi klorofil-a di kolom perairan. Nilai klorofil-a maksimum tidak selalu teramati pada dekat atau permukaan laut tetapi kadang-kadang lebih dalam dari daerah eufotic zone. Pada kasus seperti ini sensor ocean color tidak dapat mengukur nilai klorofil maksimum. Pengembangan model distribusi vertikal klorofil dengan menggunakan fungsi Gauss dapat dilakukan untuk mengetahui dan menghitung sebaran total biomass klorofil-a secara vertikal dengan menggunakan data klorofil-a permukaan sebagai salah satu data inputnya. Akan tetapi, parameter-parameter fungsi Gauss tidak mudah untuk ditentukan nilainya secara langsung dari data satelit. Salah satu pemecahan yang dapat digunakan untuk pendugaan parameter Gauss adalah dengan pengaplikasian kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) berupa jaringan syaraf tiruan (Artificial Neural Network). Namun demikian, sensor satelit juga menghasilkan nilai konsentrasi klorofil-a permukaan. Untuk Perairan Indonesia yang cukup luas, data-data konsentrasi klorofil-a secara spasial dan temperoral sulit didapatkan. Teknologi penginderaan jauh menjadi salah satu alat untuk mendapatkan data tersebut.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan studi pendugaan distribusi konsentrasi klorofil-a secara vertikal di Perairan Laut Banda dengan menggunakan metode ANN.


(19)

Manfaat Penelitian

Kemampuan menduga konsentrasi klorofil-a yang ada di kolom perairan, dengan menggunakan data konsentrasi klorofil-a di permukaan, memudahkan pengamatan kekayaan dan potensi kelautan untuk berbagai keperluan. Misalnya untuk mengetahui tingkat kesuburan suatu perairan yang berhubungan dengan potensi perikanan sehingga informasi ini bermanfaat untuk pemanfaatan potensi yang ada.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah pengumpulan data konsentrasi klorofil-a permukklorofil-aklorofil-an dklorofil-an kolom perklorofil-airklorofil-an yklorofil-ang klorofil-adklorofil-a di Lklorofil-aut Bklorofil-andklorofil-a. Dklorofil-atklorofil-a ini digunklorofil-akklorofil-an untuk pengembangan model pendugaan konsentrasi klorofil-a di kolom perairan dengan menggunakan data konsentrasi klorofil-a permukaan yang saat ini tersedia secara temporal dan spasial dari citra satelit. Pendekatan pengembangan model menggunakan fungsi Gauss. Untuk itu dihitung parameter Gauss dengan metode

Least Square Method (LSM) dengan memanfaatkan data konsentrasi klorofil-a

in-situ. Parameter Gauss yang diperoleh kemudian digunakan sebagai data input


(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Fitoplankton dan Klorofil-a

Fitoplankton adalah organisme laut yang melayang dan hanyut dalam air serta mampu berfotosintesis (Nybakken 1992). Fitoplankton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil-a, mampu melakukan reaksi fotosintesis, dimana air dan karbondioksida dengan adanya sinar matahari dan garam-garam hara dapat menghasilkan senyawa organik seperti karbohidrat (Nontji 2002). Oleh karena itu, fitoplankton disebut sebagai produsen primer karena memiliki kemampuan untuk membentuk zat organik dari zat anorganik. Fitoplankton bisa ditemukan di seluruh massa air mulai dari permukaan laut sampai pada kedalaman dengan intesitas cahaya yang masih memungkinkan terjadinya fotosintesis (Nontji 2002). Energi yang digunakan dalam proses fotosintesis adalah cahaya matahari yang diabsorbsi oleh pigmen hijau (klorofil-a).

Deflin (1969) menjelaskan bahwa klorofil adalah pigmen hijau dari tumbuhan yang merupakan pigmen aktif yang paling penting dalam proses fotosintesis. Saat ini sedikitnya ada delapan tipe klorofil yang telah diketahui: klorofil-a, b, c, d dan e; bakterioklorofil a; bakterioklorofil b; dan clorobium chlorophyll/bakteriofiridin. Klorofil-a dan b lebih dikenal dan terdapat dalam jumlah yang banyak, sedangkan klorofil-c, d dan e hanya ditemukan dalam alga dan dengan kombinasi klorofil-a.

Pada sebagian besar grup tumbuhan laut terdapat pigmen-pigmen pelengkap sebagai alat tambahan bagi klorofil-a dalam mengabsorbsi cahaya. Fungsi pigmen-pigmen ini menangkap dan mengumpulkan energi cahaya dengan kisaran panjang gelombang yang luas kemudian memindahkan energi tersebut ke klorofil-a untuk mengintroduksinyklorofil-a kedklorofil-alklorofil-am “reklorofil-aksi sinklorofil-ar”. Pigmen-pigmen tambahan ini mampu mengabsorbsi sinar-sinar dalam spektral yang oleh klorofil-a tak mampu menyadapnya. Klorofil-a mengabsorbsi cahaya secara maksimal pada panjang gelombang 430 nm dan 660 nm.

Pigmen-pigmen pelengkap mempunyai kemampuan mengabsorbsi cahaya secara maksimal pada panjang gelombang yang berbeda-beda. Pigmen-pigmen tersebut antara lain: klorofil-b, -karoten, Xanthophyll, Fikoeritrin dan Fikosianin.


(21)

Namun demikian, hanya klorofil-a yang mampu melakukan fotosintesis. Klorofil-a mKlorofil-ampu mengubKlorofil-ah sinKlorofil-ar mKlorofil-atKlorofil-ahKlorofil-ari menjKlorofil-adi energi kimiKlorofil-awi sehinggKlorofil-a fotosintesis menghasilkan bahan organik. Sedangkan pigmen pelengkap, meskipun mampu menangkap sinar matahari, namun energi tersebut harus ditransfer terlebih dahulu ke klorofil-a, dan barulah energi tersebut dirubah oleh klorofil-a menjadi energi kimiawi sehingga berguna bagi fotosintesis (Basmi 1999).

Dalam proses fotosintesis terjadi 2 rekasi utama yaitu reaksi terang dan reaksi gelap. Reaksi terang sangat bergantung kepada ketersediaan sinar matahari. Reaksi terang merupakan penggerak bagi reaksi pengikatan CO2 dari udara.

Reaksi ini melibatkan beberapa kompleks protein dari membran tilakoid yang terdiri dari sistem cahaya (fotosistem I dan II), sistem pembawa elektron, dan komplek protein pembentuk ATP (enzim ATP sintase). Reaksi terang mengubah energi cahaya menjadi energi kimia, juga menghasilkan oksigen dan mengubah ADP dan NADP+ menjadi energi pembawa ATP dan NADPH. Reaksi gelap merupakan reaksi lanjutan dari reaksi terang dalam fotosintesis. Reaksi ini tidak membutuhkan cahaya. Bahan reaksi gelap adalah ATP dan NADPH, yang dihasilkan dari reaksi terang, dan CO2, yang berasal dari udara bebas. Dari reaksi

gelap ini, dihasilkan glukosa (C6H12O6), yang sangat diperlukan bagi reaksi

katabolisme.

Klorofil-a digunakan sebagai indikator dari kelimpahan fitoplankton dan potensi organik di suatu perairan dan merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan produktivitas primer di laut. Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan kondisi oseanografi suatu perairan. Pigmen-pigmen lainnya pada tumbuhan laut digunakan oleh klorofil-a untuk membantu mengabsorbsi cahaya yang tidak tertangkap secara maksimal oleh klorofil-a. Fungsi pigmen-pigmen ini menangkap dan mengumpulkan energi cahaya dengan kisaran panjang gelombang yang luas, kemudian memindahkan energi tersebut ke klorofil-a (Sumich 1992).

Menurut Arinardi et al. (1997), perairan Indonesia yang memiliki kandungan klorofil-a yang tinggi hampir selalu berkaitan dengan adanya pengadukan dasar perairan, dampak aliran sungai (Pantai Utara Jawa, Pantai Timur Sumatera bagian Selatan, Kalimantan Selatan dan Papua) serta


(22)

berlangsungnya proses penaikan massa air lapisan dalam ke permukaan (Laut Banda, Laut Arafura, Selat Bali dan Selatan Jawa).

Faktor – faktor yang Mempengaruhi Konsentrasi dan Distribusi Klorofil-a

Klorofil-a merupakan pigmen hijau yang terdapat pada fitoplankton dan tumbuhan lain pada umumnya. Kemampuan fitoplankton untuk mengubah zat anorganik menjadi zat organik tidak lepas dari keberadaan cahaya matahari dan pigmen fotosintesis. Dilihat dari segi fisiologis, spektrum cahaya terpenting untuk fotosintesis dan pertumbuhan fitoplankton adalah cahaya biru. Absorbsi cahaya biru oleh fitoplankton lebih efektif dibandingkan cahaya hijau, oleh karena itu rata-rata kecepatan proses fotosintesis dan pertumbuhan fitoplankton lebih tinggi pada spektrum cahaya tersebut (Wallen and Geenn 1971, diacu dalam Yentsch 1974).

Beberapa parameter fisika-kimia yang mengontrol dan mempengaruhi nilai konsentrasi klorofil-a adalah nutrien, cahaya, suhu dan salinitas (Parson 1984). Dalam kondisi sangat baik, produksi fitoplankton sangat besar walaupun tiap unitnya kecil. Suhu, salinitas dan suplai nutrien sangat diperlukan untuk pertumbuhan (King 1963). Menurut Weyl (1970), kelimpahan fitoplankton dipengaruhi oleh unsur hara seperti fosfat, nitrat dan silikat. Mann dan Lazier (1991) menambahkan bahwa fitoplankton dipengaruhi oleh keadaan fisik lautan seperti cahaya matahari, angin dan gelombang.

Suhu

Suhu merupakan parameter yang penting dalam lingkungan laut dan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan di laut. Berpengaruh secara langsung karena reaksi kimia enzimatik yang berperan dalam proses fotosintesis dikendalikan oleh suhu. Tingkat percepatan proses-proses dalam sel akan meningkat sejalan dengan meningkatnya suhu sampai mencapai batas tertentu antara 25 – 40 0C (Reynold 1984) dan peningkatan suhu sebesar 10

0

C (misalnya dari 10 0C ke 20 0C) akan meningkatkan laju fotosintesis maksimum menjadi 2 kali lipat. Pengaruh suhu secara tidak langsung pada kehidupan di laut


(23)

adalah suhu mempengaruhi daya larut gas karbondioksida (CO2) dalam air laut.

Daya larut CO2 dalam air laut berkurang bila suhu air laut naik dan akan

bertambah dengan adanya penurunan suhu. Suhu juga menentukan struktur hidrologis perairan dalam hal kerapatan air (water density). Semakin dalam perairan, suhu akan semakin rendah dan kerapatan air meningkat sehingga menyebabkan laju penenggelaman fitoplakton berkurang (Raymont 1981).

Menurut Nontji (2002), suhu air permukaan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi antara lain kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas cahaya matahari. Oleh karena itu maka suhu permukaan akan mengikuti pola musim. Setiap jenis fitoplankton memiliki suhu optimal sendiri, kondisi ini dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang sampai pada perairan. Kisaran suhu yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah 20 – 30 0C (Effendi dan Susilo 1998).

Suhu lautan bervariasi sesuai kedalaman. Suhu air permukaan di daerah tropik berkisar antara 20 – 30 0C karena terjadi pemanasan sepanjang tahun. Di bawah air permukaan yang hangat, suhu mulai menurun dengan cepat pada kisaran kedalaman yang sempit yaitu antara 50 – 300 m. Zona ini disebut zona termoklin. Di bawah termoklin, suhu terus turun dengan bertambahnya kedalaman tetapi penurunannya lebih lambat, sehingga massa air di bawah lapisan termoklin hampir isothermal sampai dasar permukaan.

Air di lapisan bawah mempunyai suhu rendah dibandingkan suhu air permukaan. Di daerah tropis, suhu mempunyai variasi yang lebih kecil dibandingkan daerah subtropis yang mempunyai perbedaan suhu mencapai 3 – 5

0

C. Keadaan tersebut disebabkan oleh angin yang hampir selalu mengaduk lapisan permukaan laut, sehingga di daerah tropis umumnya termoklin dijumpai lebih dalam dibandingkan daerah subtropis, sehingga perbedaan suhu lapisan di bawahnya kurang terlihat nyata. Penurunan suhu permukaan laut dapat terjadi pula setelah suatu perairan dilewati taifun (Pariwono et al. 1988).

Suhu Permukaan Laut (SPL) Indonesia secara umum berkisar antara 26 – 29

0

C. Karena perairan Indonesia dipengaruhi oleh angin musim, maka sebaran SPLnya pun mengikuti perubahan musim. Menurut Effendi dan Susilo (1998),


(24)

pengaruh suhu sebagai pembatas terjadinya fotosintesis akan menentukan konsentrasi dan distribusi klorofil-a.

Menurut Wyrtky (1961), susunan stratifikasi suhu massa air di perairan Indonesia memiliki 3 lapisan air. Susunan tersebut terdiri dari lapisan tercampur, lapisan termoklin dan lapisan dingin. Pada lapisan tercampur, suhu berkisar antara 28 – 31 0C. Lapisan termoklin menunjukan penurunan suhu dengan cepat (dari 28 menjadi 9 0C) terhadap kedalaman. Sedang pada lapisan dingin suhu berkisar antara 2 – 9 0C. Suhu air permukaan merupakan lapisan yang hangat karena mendapat radiasi sinar matahari pada siang hari. Karena faktor angin, maka lapisan atas sampai kedalaman 50 -70 m terjadi pengadukan, sehingga di lapisan tersebut terdapat suhu hangat yang homogen. Adanya pengaruh arus dan pasang surut, menyebabkan lapisan ini dapat menjadi lebih tebal dan di perairan dangkal lapisan homogen bahkan bisa sampai dasar perairan. Suhu di lapisan termoklin sudah tidak terpengaruh oleh kondisi meteorologi, tetapi ditentukan oleh kedalaman ambang (sill depth) dan sirkulasi di lapisan dalam (Nontji 1984).

Transmisi Cahaya

Tubalawony (2000) mengungkapkan bahwa cahaya merupakan salah satu faktor yang menentukan kandungan klorofil-a di laut. Di laut lepas, pada lapisan permukaan tercampur tersedia cukup banyak cahaya untuk proses fotosintesis, sedangkan di lapisan yang lebih dalam, cahaya matahari tersedia dalam jumlah sedikit bahkan tidak ada sama sekali. Ini memungkinkan klorofil-a lebih banyak terdapat pada bagian bawah lapisan tercampur atau bagian atas lapisan termoklin jika dibandingkan dengan lapisan pertengahan atau bagian bahwah termoklin.

Menurut Parsons et al. (1984), transmisi cahaya (kecerahan perairan) adalah suatu kondisi yang menunjukkan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami transmisi cahaya sangat penting karena berkaitan dengan aktivitas fotosintesis fitoplankton.

Transmisi cahaya erat kaitannya dengan partikel-partikel tersuspensi di dalam air yang akhirnya mempengaruhi kedalaman penetrasi cahaya. Semakin tinggi kecerahan, semakin dalam penetrasi cahaya ke dalam kolom air. Terbatasnya penetrasi cahaya tersebut berpengaruh terhadap efektivitas fotosinesis fitoplakton (Basmi et al. 1995).


(25)

Menurut Nontji dan Illahude (1975), banyak faktor yang mempengaruhi kecerahan perairan. Kecerahan perairan tidak hanya bergantung pada kedudukan matahari dan cuaca tetapi dapat disebabkan oleh benda-benda yang terdapat di dalam air, baik yang terlarut maupun partikel-partikel yang melayang di dalamnya. Partikel-partikel yang melayang ini biasanya terdiri dari plankton, detritus dan benda-benda lainnya.

Intensitas Cahaya

Klorofil menyerap cahaya yang dibutuhkan oleh fotosintesis. Sebagai akibat dari penyerapan cahaya oleh klorofil, maka air dan karbondioksida menjadi gula dan oksigen dengan persamaan reaksi:

6CO2 + 6H2O C6H12O6 + 6O2

Intensitas cahaya adalah kuantitas energi yang diterima di permukaan bumi pada waktu dan wilayah tertentu. Jumlah energi yang diterima perairan bergantung pada kualitas, kuantitas dan lamanya penyinaran pada permukaan perairan yang tidak tertembus secara sempurna ke dalam kolom perairan, sebagian diabsorbsi dan sebagian dipantulkan kembali. Cahaya yang jatuh pada permukaan perairan umumnya terdiri dari cahaya langsung (direct) yang berasal dari cahaya matahari dan cahaya yang disebarkan (difusi) terutama dari awan (Cole 1988).

Air mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap cahaya yang menembusnya. Karena air menyerap cahaya, semakin dalam kita berada di dalam suatu perairan semakin kecil energi cahaya yang tersedia, dan pada suatu kedalaman tertentu tidak ada cahaya sama sekali. Bagi tumbuhan akuatik hal ini berarti bahwa kedalaman tertentu energi cahaya hanya cukup untuk mengikat energi dengan laju yang sama dengan laju pemanfaatan energi dalam proses-proses metabolik. Dengan kata lain, pada suatu kedalaman tertentu penggunaan energi untuk respirasi sama dengan kemampuan mekanisme fotosintetik untuk menghasilkan energi. Bila kemudian tumbuhan tenggelam lebih dalam, laju kebutuhan energi untuk respirasi akan tetap sama, tetapi intensitas cahaya yang

Cahaya


(26)

menurun tidak cukup bagi proses fotosintetik untuk menghasilkan laju energi yang sama dengan laju kebutuhan energi untuk respirasi. Dengan kata lain, tumbuhan akan kekurangan energi. Kedalaman dimana laju respirasi tumbuhan tepat sama dengan laju fotosintesis dinamakan kedalaman kompensasi. Di atas kedalaman kompensasi laju fotosintesis lebih besar dari pada laju respirasi, sehingga di sini ada kelebihan produksi karbon (C), atau suatu produksi primer bersih dapat berlangsung di sini (Nybakken 1992).

Jumlah radiasi yang mencapai permukaan perairan dipengaruhi oleh keawanan, posisi geografi dan musim. Dalam kondisi normal radiasi langsung hanya 47% sampai ke permukaan bumi, sedangkan selebihnya merupakan radiasi yang dikembalikan ke atmosfer (Ruttner 1973).

Adanya cahaya matahari pada suatu kedalaman perairan akan mempengaruhi komposisi fitoplankton. Dalam hal ini fitoplankton memanfaatkan cahaya sebagai sumber energi untuk melangsungkan forosintesis, sehingga cahaya berperan dalam produktivitas primer (Basmi 1999). Aksi pertama pada proses fotosintesis adalah mengabsorbsi cahaya. Tidak semua radiasi elektromagnetik yang jatuh pada tanaman yang berfotosintesis dapat diserap, tetapi hanya cahaya tampak (visible light) yang memiliki panjang gelombang berkisar antara 400 – 720 nm yang diabsorbsi dan digunakan untuk fotosintesis (Govindjee dan Braun 1974; Nybakkken 1992). Menurut Parson et al. (1984), energi cahaya yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis terbatas pada panjang gelombang 300 – 720 nm. Radiasi total pada panjang gelombang ini disebut Photosynthetically

Available Radiation (PAR atau PhaR). Definisi ini tidak memperhitungkan berapa

energi cahaya yang benar-benar digunakan pada proses fotosinstesis.

Arus Air Laut

Fitoplankton memiliki kemampuan gerak yang terbatas, sehingga fitoplankton selalu terbawa oleh arus. Arus merupakan pergerakan secara vertikal atau horizontal massa air karena adanya tiupan angin, perbedaan densitas air dan pasang surut (Nontji 1984). Pengaruh dari arus terlihat dari penyebaran organisme laut. Arus permukaaan laut akan membawa fitoplankton dan nutrien lain mengikuti kecepatan dan pola dari arus (Nybakken 1992).


(27)

Kondisi arus permukaan di perairan Indonesia dipengaruhi oleh angin. Pada wilayah Indonesia angin yang paling utama berhembus adalah angin musim (monsoon) yang dalam setahun terjadi dua pembalikan arah yang disebut angin musim barat dan angin musim timur (Nontji 1984).

Musim barat terjadi pada sekitar bulan Desember sampai Pebruari, yang umumnya angin bertiup sangat kencang dan curah hujan tinggi. Pada musim pancaroba awal tahun (April sampai dengan Mei) sisa arus dari musim barat mulai melemah dan bahkan arah arus tidak menentu hingga di beberapa tempat terjadi olakan-olakan (eddies). Pada bulan Juni sampai Agustus barulah berkembang arus musim timur dan arah arus sepenuhnya berbalik arah menuju ke barat; yang akhirnya menuju Laut Cina Selatan. Pada musim pancaroba akhir tahun, sekitar Oktober sampai dengan Nopember pola arus berubah lagi dan arah tidak menentu, tapi mulai bergerak dari arah timur ke barat (Wyrtki 1961).

Menurut Arinardi et al. (1997), pada musin barat angin selama tiga bulan bertiup terus menerus dalam satu arah (kecepatan angin sekitar 30 – 45 Km/jam). Letak garis Laut Cina, Selat Karimata, Laut Jawa, Laut Bali, Laut Flores, Laut Banda Selatan dan Laut Arafura ternyata hampir berhimpit dengan sumbu bertiupnya angin. Oleh sebab itu pada musim barat laut, arus musim dari Laut Cina Selatan masuk Laut Jawa terus ke Laut Bali, Laut Flores, Laut Banda Selatan, Laut Arafura, dan sebagai arus kompensasi ada dua yaitu satu menuju ke Samudera Pasifik dan satunya lagi menuju ke Samudra Hindia. Arus yang menuju Samudra Pasifik berasal dari Laut Flores lewat Laut Banda Utara, Laut Seram dan Laut Halmahera, sedang arus yang menuju ke Samudra Hindia berasal dari Laut Banda Selatan lewat Laut Timor. Arus kompensasi lainnya berasal dari dari arus Katulistiwa Pasifik Utara (North Pasific Equatorial Current) yang lewat Laut Sulawesi, Selat Makasar dan Sumatera yang mengalir ke selatan Pantai Jawa dan dinamai Arus Pantai Jawa sedang yang terdapat di utara Irian Jaya dinamai Arus Pantai Irian (Wyrtki 1961).

Pada musim timur terjadi keadaan yang sebaliknya Arus dari Laut Banda dan Laut Arafura masuk ke Laut Flores terus ke Laut Bali, Laut Jawa dan Laut Cina Selatan. Arus ini diperkuat oleh arus kompensasi yang datang dari Samudra Pasifik yaitu satu melalui Laut Halmahera, Laut Seram dan Laut Banda Utara;


(28)

lainnya melewati Laut Sulawesi dan Selat Makasar. Arus Pantai Jawa dan Arus Pantai Irian pada musim ini masing-masing diganti oleh pelebaran arus Katulistiwa Selatan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik (Wyrtki 1961).

Penelitian tentang pengaruh gerakan air yang disebabkan oleh angin terhadap sebaran biomassa fitoplankton telah dilakukan selama bulan Mei – Juli tahun 1994 oleh Kaswadji (1995) di perairan Teluk Pelabuhan Ratu. Hasilnya, akibat tiupan angin menyebabkan lapisan tercampur paling tidak sedalam lima meter. Pada permukaan maupun di kedalaman lima meter biomassa fitoplankton menyebar mengikuti arus, dimana pengaruh arus akibat angin lebih dominan dibandingkan dengan arus pasang.

Percampuran vertikal bukan saja menaikkan zat hara mendekati permukaan air, tetapi juga mengangkut sel-sel fitoplankton ke bawah menjauhi permukaan air. Apabila percampuran vertikal mengikutsertakan pula massa-massa air di bawah zona eufotik, ada kemungkinan sel-sel fitoplankton terseret ke bawah kedalaman kompensasi. Bila percampuran vertikal seperti ini berlangsung sangat intensif, sel-sel fitoplankton mungkin akan tinggal lebih lama di bawah kedalaman kompensasi. Pengaruh turbulensi ini menghasilkan konsep kedalaman kritis. Kedalaman kritis ialah kedalaman dimana fotosintesis total dalam kolom air sama dengan respiasi total. Letak kedalaman kritis selalu lebih dalam daripada kedalaman kompensasi karena berhubungan dengan suatu proses percampuran vertikal dimana populasi fitoplankton suatu saat ada di zona eufotik dan pada saat lain ada di bawahnya. Apabila fitoplankton ada di zona eufotik, laju fotosintesis melebihi laju respirasi dan fitoplankton menimbun bahan organik. Bila percampuran berlangsung hingga kedalaman yang dalam, hal ini berarti bahwa fitoplankton akan tinggal lama di bawah daerah eufotik. Akibatnya jumlah bahan organik yang digunakan fitoplankton untuk respirasi di bawah zona eufotik melebihi jumlah bahan organik yang dibentuk pada saat fitoplankton dalam zona eufotik. Tetapi bila percampuran vertikal oleh hembusan angin ini tidak melebihi kedalaman kritis, laju fotositesis melebihi laju respirasi dan terjadilah suatu kelebihan bahan organik dalam fitoplankton (Nybakken 1992).


(29)

Nutrien

Nilai klorofil-a di lautan akan lebih tinggi nilai konsentrasinya pada daerah pantai dan pesisir, namun rendah di perairan laut lepas. Tingginya sebaran konsentrasi klorofil-a diperairan pantai dan pesisir disebabkan karena adanya pasokan suplai nutrien melalui run-off sungai dari daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di perairan lepas pantai karena tidak adanya suplai nutrien dari daratan secara langsung (Nybakken 1992). Namun pada daerah-daerah tertentu di perairan lepas pantai dijumpai konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup tinggi. Keadaan ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi nutrien yang dihasilkan melalui proses fisik massa air dalam mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan (Valiela 1984).

Dalam pertumbuhannya, fitoplankton membutuhkan beberapa unsur. Beberapa unsur ini dibutuhkan dalam jumlah yang relatif besar yang disebut dengan hara makro (Macro-nutrien) misalnya : C, H, O, N, P, Si, S, Mg, K dan Ca, sedangkan yang masuk dalam kelompok mikronutrien adalah Fe, Mn, Cu, Zn, B, Mo, Cl, Co dan Na (Odum 1971). Diantara unsur-unsur tersebut, unsur N, P dan Si adalah yang sering dijumpai sebagai faktor pembatas pertumbuhan algae. Unsur N dan P diperlukan oleh semua jenis algae, sedangkan Si terutama dibutuhkan oleh jenis-jenis yang dinding selnya mengandung kerangka silikat (Nybakken 1992).

Pertumbuhan dan produksi fitoplankton sangat dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara, tanpa unsur hara sel tidak dapat membelah, dan ketika unsur hara tersedia populasi sel mulai meningkat. Setiap spesies mempunyai respon yang berbeda terhadap perubahan konsentrasi unsur hara. Beberapa jenis dapat memanfaatkan unsur hara dari konsentrasi yang rendah sementara sebagian yang lain tumbuh dengan subur apabila unsur hara tersedia berlimpah (Mann 1982).

Ketersediaan unsur-unsur nutrient dalam suatu perairan sangat tergantung dari masukan dari luar perairan seperti sungai, resapan tanah, pencucian ataupun erosi serta dari sistem pembentukan yang langsung di badan air itu sendiri (Parsons et al. 1984). Fluktuasi ketersediaan unsur hara ini dipengaruhi oleh


(30)

faktor sumber dari mana beban masukan hara itu berasal (Blackburn and Sorensen 1988).

Di antara berbagai nutrien yang dapat berada dalam jumlah terbatas di laut, nitrat (NO3+), fosfat (PO4+) dan silikon terlarut (Si(OH)4) adalah yang paling

sering dijumpai dalam konsentrasi sangat rendah (di bawah nilai setengah jenuh) yang diperlukan untuk pertumbuhan fitoplankton yang maksimum.

Fosfor

Unsur fosfor yang terdapat dalam bentuk fosfat maupun zat hara anorganik, merupakan unsur utama yang diperlukan oleh fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang biak (Nybakken 1992). Fosfor merupakan elemen penting dalam aktivitas biologi. Konsentrasi fosfat ditentukan oleh sintesa metabolisme, proses dekomposisi, proses pencucian fosfat, pelapukan batuan, buangan domestik, detergen.

Senyawa fosfat organik yang terkandung dalam air laut umumnya berada dalam bentuk ion (orto) asam fosfat, H2PO4. Pada penambahan senyawa nitrogen

dan silikon, fosfat dapat menjadi salah satu substansi yang menjadi faktor pembatas bagi kehidupan tanaman. Fosfor berkurang dari lapisan permukaan sebagian besar disebabkan oleh fitoplakton dan meningkat kembali karena kematian dan dekomposisi organisme (Sverdup et al. 1942).

Silikat

Silikat dalam air laut ditemukan dalam bentuk larutan seperti ion-ion silikat dan dalam bentuk tersuspensi seperti silikondioksida. ion silikat dan silikondioksida terdapat dalam air laut, daa tubuh diatom, dan organisme hidup lainnya dan dalam mineral-mineral tanah liat (Amstrong 1959, diacu dalam Riley dan Skirrow 1965).

Di laut silikat merupakan salah satu zat hara yang diperlukan dan mempunyai pengaruh terhadap proses-proses pertumbuhan dan perkembangan hidup organisme laut dalam. Diatom-diatom laut merupakan komponen terpenting dari flora laut. Seperti kebanyakan algae, jenis ini pada umumnya selain membutuhkan fosfat dan nitrat, juga membutuhkan silikat dalam jumlah yang


(31)

besar untuk pertumbuhan dan perkembangannya (Lund 1950; Jorgensen 1953; Presscot 1969, diacu dalam Prisetiahadi 1994).

Keberadaan silikat dalam suatu perairan erat kaitannya dengan kehadiran fitoplankton. Fitoplakton dari kelas diatom sangat membutuhkan kehadiran unsur ini, karena unsur ini dibutuhkan dalam pembentukan cangkang tubuh diatom. Perairan yang kaya silikat sangat disukai dan baik untuk kehidupan diatom (Prisetiahadi 1994).

Nitrogen

Dibandingkan dengan silikon dan fosfor, pendauran nitrogen merupakan proses yang lebih kompleks. Siklus nitrogen di laut sangat kompleks karena nitrogen di laut berada dalam berbagai bentuk yang tidak mudah diubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Bentuk-bentuk tersebut meliputi molekul nitrogen terlarut (N2) dan bentuk ion ammonia (NH4+), nitrit (NO2+), dan nitrat (NO3+),

seperti juga senyawa organik seperti urea (CO(NH2)2). Bentuk dominan dari

nitrogen di laut adalah ion nitrat, bentuk ini yang sering diserap oleh fitoplankton meskipun banyak spesies lain juga dapat memanfaatkan nitrit atau ammonia. Ada beberapa spesies fitoplankton yang juga dapat menyerap molekul-molekul kecil nitrogen organik, seperti asam amino dan urea. Laju penyediaan nitrogen dalam bentuk yang sesuai dengan kebutuhan fitoplankton dapat membatasi produktivitas primer di perairan oligotrofik sepanjang tahun dan di perairan temperate selama musim panas (Blackburn and Sorensen 1985).

Adanya beban masukan berupa bahan organik ke perairan dengan berbagai unsur haranya akan diregenerasi menjadi bahan anorganik oleh berbagai aktifitas bakteri melalui proses nitrifikasi dan denitrifikasi di kolom air. Nitrogen organik terlarut (Dissolved Organic Nitrogen, DON) dan nitrogen organik partikulat (Particulate Organic Nitrogen, PON) keduanya berlaku sebagai nutrien bagi pertumbuhan bakteri. Bakteri memecah protein menjadi asam amino dan ammonia, dan yang terakhir ini dioksidasi di dalam proses nitnifikasi. Nitrogen anorganik terlarut (Dissolved Inorganic Nitrogen, DIN) kemudian dilepaskan membuat bentuk-bentuk ini tersedia kembali untuk diserap/dimanfaatkan oleh fitoplankton (Blackburn and Sorensen 1985; Wotton 1994).


(32)

Distribusi Vertikal Klorofil-a pada Daerah yang Berbeda

Di laut tropis, massa air dekat permukaan cukup menerima cahaya sepanjang tahun, karena ketinggian matahari di atas cakrawala tidak banyak berubah sepanjang tahun. Dengan demikian diperoleh kondisi cahaya yang cukup bagi produksi fitoplankton. Tetapi, karena matahari juga menciptakan suatu stratifikasi termal yang mencegah terjadinya percampuran vertikal dan pengangkutan zat hara ke atas, tingkat produktivitas laut tropik rendah namun konstan sepanjang tahun. Laut-laut tropik sangat cerah dan kedalaman kompensasinya adalah yang terdalam, tetapi keadaan seperti ini disebabkan oleh kecilnya kelimpahan fitoplankton dalam air akibat rendahnya kadar zat hara (Gambar 1).

Pada laut daerah beriklim sedang atau subtropis, intensitas cahaya bervariasi menurut musim. Akibatnya, besarnya energi matahari yang masuk ke dalam laut juga bervariasi dan selanjutnya akan menimbulkan perubahan pada suhu air lapisan-lapisan atas. Jadi stratifikasi termal kolom air berubah secara musiman. Pada musim panas posisi matahari tinggi di atas cakrawala, siang hari panjang dan lapisan air di dekat permukaan meningkat suhunya dan kerapatan lapisan-lapisan air menjadi lebih kecil dari pada kerapatan air lapisan-lapisan-lapisan-lapisan di bawahnya. Dengan kata lain terbentuklah stratifikasi termal dalam kolom air dan percampuran air tidak terjadi. Dalam musim gugur, besarnya energi matahari yang masuk ke dalam laut berkurang dan siang hari menjadi lebih pendek. Akibatnya, lapisan-lapisan air permukaan menjadi dingin dan stratifikasi termal berkurang. Akhirnya, tercapailah suatu keadaan dimana suhu lapisan-lapisan air permukaan sedemikian rendahnya sehingga tidak banyak berbeda dengan suhu air lapisan-lapisan di bawahnya. Pada saat ini mulailah terjadi percampuran bila angin cukup kuat berhembus. Dalam musim dingin, yang biasanya merupakan musim badai di daerah beriklim sedang posisi matahari terendah di atas cakrawala, masukan energi matahari ke dalam laut minimal, stratifikasi termal sangat lemah atau tidak ada dan terjadilah percampuran. Dengan bermulanya musim semi, siang hari makin panjang, energi matahari yang masuk ke dalam air meningkat, dan suhu air lapisan-lapisan permukaan pun meningkat. Tampak bahwa perairan sedang membentuk kembali statifikasi termal (Gambar 1).


(33)

Pada daerah kutub, zat hara tidak pernah menjadi faktor pembatas dan kolom air pun tidak pernah berstratifikasi secara nyata. Intensitas cahaya juga tidak cukup besar untuk mengakibatkan suatu ledakan populasi fitoplankton dalam musim gugur, dan selama musim dingin yang panjang, tidak ada cahaya sama sekali atau cahaya tidak dapat mencapai kolom air karena adanya lapisan salju di atas onggokan es (Gambar 1).

Gambar 1. Struktur Termal dan Taraf Percampuran dalam Laut-laut Daerah beriklim Sedang, Tropik dan Kutub selama Empat Musim dalam Setahun (Nybakken 1992)

Hangat Lautan Tropis Hangat Termoklin sangat kuat, percampuran tidak terjadi K ed al am an ( m)100 200 Termoklin sangat kuat, percampuran tidak terjadi Hangat Termoklin sangat kuat, percampuran tidak terjadi Hangat Termoklin sangat kuat, percampuran tidak terjadi Lautan SubTropis Percampuran berkurang, termoklin mulai terbentuk Hangat, kekuatan angin berkurang Termoklin pembusukan, percampuran mulai terjadi Sejuk, kekuatan angin meningkat Percampuran baik, tidak ada termoklin K ed al am an ( m)100 200 Dingin, berangin keras Percampuran tidak terjadi, termoklin sangat kuat Lebih hangat, kekuatan angin rendah

Semi Dingin

Musim

Lautan Kutub

Panas Gugur

Suhu 0C

15 30 0 Tidak ada termoklin, percampuran baik Sejuk

15 30

0 Sedikit termoklin, percampuran terjadi Lebih hangat

15 30

0 Tidak ada termoklin, percampuran baik K ed al am an ( m)100 200 Dingin, berangin keras, salju

15 30

0 Tidak ada termoklin, percampuran baik Dingin


(34)

Fotosintesis hanya dapat berlangsung bila intensitas cahaya yang sampai ke suatu sel alga lebih besar dari pada suatu intensitas tertentu. Hal ini berarti bahwa fitoplankton yang produktif hanyalah terdapat di lapisan-lapisan air teratas dimana intensitas cahaya cukup bagi berlangsungnya fotosintesis. Kedalaman penetrasi cahaya di dalam laut, yang merupakan kedalaman dimana produksi fitoplankton masih dapat berlangsung, bergantung kepada beberapa faktor, antara lain absorpsi cahaya oleh air, panjang gelombang cahaya, kecerahan air, pemantulan cahaya oleh permukaan laut, lintang geografik dan musim.

Pada tingkat-tingkat intensitas cahaya yang sedang, laju fotosintesis fitoplankton merupakan fungsi linier dari intensitas cahaya. Namun di dalam kolom air dekat permukaan air di mana intensitas cahaya tinggi, kebanyakan spesies fitoplankton menunjukkan bahwa fotosintesis dipertahankan pada suatu tingkat tertentu atau bahkan fotosintesis malah akan menurun (Gambar 2). Hal ini mungkin disebabkan oleh hambatan dari intensitas cahaya yang tinggi atau jenuhnya proses fotosintesis sehingga lajunya tidak dapat ditingkatkan lagi (Nybakken 1992).

Gambar 2. Struktur Vertikal Klorofil-a pada Lapisan Permukaan dan pada Tiap Tingkatan Kolom Air yang Berbeda (Nybakken 1992)

Inte ns it a s Ca ha y a ( % da ri nil a i int ens it a s permuk a a n) K eda la ma n ( m) Produksi Kotor 10% 20% 50% 100% 0 80 40 60 20 100 33% 1%


(35)

Pengembangan distribusi vertikal klorofil-a dari fungsi Gauss dapat digunakan untuk mengetahui dan menghitung nilai konsentrasi klorofil-a secara vertikal dengan menggunakan data klorofil-a permukaan sebagai salah satu

inputnya.

Distribusi Gauss

Distribusi normal, disebut pula distribusi Gauss, adalah distribusi probabilitas yang paling banyak digunakan dalam berbagai analisis statistika. Distribusi normal memodelkan fenomena kuantitatif pada ilmu alam maupun ilmu sosial serta banyak digunakan dalam berbagai bidang statistika, misalnya distribusi sampling rata-rata akan mendekati normal, meski distribusi populasi yang diambil tidak berdistribusi normal. Distribusi normal juga banyak digunakan dalam berbagai distribusi dalam statistika, dan kebanyakan pengujian hipotesis mengasumsikan normalitas suatu data.

Kurva distribusi normal berbentuk genta atau lonceng yang simetris dan mempunyai karakteristik:

1. Kurva berbentuk genta atau lonceng dan memiliki satu puncak yang terletak di tengah. Nilai rata-rata hitung sama dengan median dan modus. 2. Distribusi probabilitas dan kurva normal berbentuk kurva simetris dengan

rata-rata hitungnya.

3. Kurva ini menurun di kedua arah yaitu ke kanan untuk nilai positif tak terhingga dan ke kiri untuk nilai negatif tak terhingga.

4. Luas daerah yang terletak di bawah kurva normal tetapi di atas sumbu mendatar sama dengan 1.

Untuk menduga distribusi vertikal klorofil-a, Platt et al. (1988) mengusulkan menggunakan model persamaan Gauss, yang merepresentasikan distribusi vertikal klorofil-a dengan 4 parameter, sebagai solusi. Persaman Gauss dapat dilihat pada persamaan 1, sedangkan gambar distribusi pergeseran Gauss untuk klorofil-a, ditampilkan pada Gambar 3.


(36)

……… (1) Keterangan:

chl(z) : Konsentrasi klorofil-a (mg.m-3) pada tiap kedalaman Z(m)

B0 : Konsentrasi klorofil-a di permukaan laut (mg.m-3)

h : Total konsentrasi klorofil-adi puncak (mg.m-2)

 : Standard deviasi distribusi Gauss yang mengontrol ketebalan lapisan klorofil-a (m)

Zm : Kedalaman klorofil-a maksimum (m)

Gambar 3. Distribusi Pergeseran Gauss untuk [Chl-a] (Osawa et al. 2005)

Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network)

Jaringan merupakan salah satu cara yang efisien untuk memetakan dan memberikan solusi atas masalah yang kompleks. Terdapat berbagai tipe jaringan yang dapat dibangun namun pada dasarnya semua jaringan terdiri atas dua komponen yaitu set node dan hubungan antara node-node tersebut (connections). Salah satu tipe jaringan melihat node ini sebagai “sel syaraf buatan” (artificial neurons). Jaringan ini disebut dengan jaringan syaraf tiruan (Artificial Neural Network).

h/ δ√2π

chl(z) (mg Chl-a/m3)

4

B0

Z

(m

)


(37)

ANN merupakan suatu model komputasi dan representasi buatan dari jaringan syaraf biologis (otak). Jaringan ini berusaha untuk mensimulasikan proses pembelajaran pada jaringan syaraf biologis. Istilah buatan digunakan karena jaringan syaraf ini diimplementasikan dengan menggunakan program komputer yang mampu menyelesaikan sejumlah proses perhitungan selama proses pembelajaran. ANN telah banyak digunakan secara luas di berbagai bidang seperti teknik, kedokteran dan keuangan.

Jaringan syaraf biologis terdiri atas berjuta-juta sel syaraf yang bertugas mengolah informasi. Sel syaraf akan menerima sinyal/informasi melalui synapses

yang terletak di dendrit atau membran sel syaraf (neuron). Informasi yang diterima yang memenuhi batasan tertentu (threshold) akan mengaktivasi

(activation) neuron dan mengirimkan respon melalui axon. Seperti halnya

jaringan syaraf biologis, ANN juga terdiri dari beberapa neuron yang disebut dengan node dan terdapat hubungan antara node-node tersebut. Node-node tersebut akan mentransformasikan informasi yang diterima melalui sambungan keluarnya menuju ke neuron-neuron lain. Pada ANN, hubungan ini dikenal dengan nama bobot. Dengan kata lain, bobot memiliki fungsi yang sama seperti dendrit atau akson pada jaringan syaraf biologis. Informasi yang merupakan input

akan diproses oleh suatu fungsi perambatan yang akan menjumlahkan nilai-nilai semua bobot dan akan dibandingkan dengan suatu nilai ambang (threshold) tertentu melalui fungsi aktivasi setiap node. Apabila input tersebut melewati

threshold maka node tersebut akan diaktifkan dan akan mengirimkan output ke semua node yang berhubungan dengannya.

Pada ANN, node-node tersebut akan dikumpulkan dalam lapisan-lapisan (layer) yang disebut dengan lapisan node (node layers). Informasi yang diberikan pada ANN akan dirambatkan lapisan ke lapisan, mulai dari lapisan input sampai ke lapisan output melalui lapisan yang lainnya yang dikenal dengan nama lapisan tersembunyi (hidden layer). Proses perambatan dapat berupa perambatan secara mundur atau maju dan proses ini tergantung pada algoritma pembelajaran yang digunakan pada jaringan.

Sebagaimana telah disebutkan bahwa node-node dikelompokkan dalam lapisan-lapisan sehingga terdapat berbagai tipe-tipe arsitektur jaringan yang dapat


(38)

dibangun untuk menyelesaikan permasalahan sesuai dengan banyaknya lapisan tersebut. Ada beberapa tipe arsitektur ANN, antara lain:

a. Jaringan dengan lapisan tunggal (single layer net)

Jaringan ini hanya terdiri dari satu lapis node input dan satu lapis node output

yang dihubungkan oleh pembobot tanpa ada lapis tersembunyi (hidden layer) di antaranya. Informasi yang masuk node input langsung diolah sehingga diperoleh suatu nilai output.

b. Jaringan dengan banyak lapisan (multilayer net)

Jaringan ini terdiri satu lapis node input dan satu lapis node output diantara keduanya terdapat satu atau lebih lapisan tersembunyi. Lapisan-lapisan ini dihubungkan oleh pembobot. Penggunaan jaringan dengan banyak lapisan ini lebih baik daripada dengan lapisan tunggal khususnya untuk menyelesaikan permasalahan yang lebih kompleks. Hal ini tentu memerlukan proses pembelajaran yang lebih rumit.

Sebagaimana diketahui, jaringan syaraf biologis (otak) mampu mempelajari suatu informasi yang diterima untuk kemudian diproses dan memberikan respon terhadap informasi tersebut. Hal ini dapat pula dilakukan oleh ANN. Komponen-komponen ANN yang memiliki fungsi sama dengan jaringan syaraf biologis (otak) membuat ANN mampu pula untuk melakukan proses pembelajaran. ANN akan mencoba untuk mensimulasikan kemampuan otak dalam belajar melalui suatu proses pembelajaran.

Secara umum, metode pembelajaran yang digunakan dapat diklasifikasikan kedalam dua kelompok, yaitu pembelajaran terawasi (supervised training) dan pembelajaran tak terawasi (unsupervised training). Perbedaan keduanya terletak pada ada tidaknya nilai output yang diberikan pada jaringan. Pada metode pembelajaran terawasi output yang diharapkan telah diketahui sebelumnya dan diberikan pada jaringan selama pembelajaran sementara pada pembelajaran tak terawasi output tidak diberikan.

Pada proses pembelajaran dengan metode terawasi, nilai atau informasi yang masuk lapisan input akan dirambatkan melalui jaringan sampai lapisan

output. Nilai output yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan nilai output


(39)

dengan nilai output yang diharapkan maka akan muncul error. Jika error yang dihasilkan cukup besar maka perlu dilakukan proses pembelajaran kembali hingga diperoleh suatu nilai output dengan nilai error tertentu yang diinginkan.

Sementara pada pembelajaran tak terawasi, output target tidak diberikan pada saat pembelajaran. Oleh karena itu pada metode ini tidak dapat dilakukan evaluasi terhadap output yang dihasilkan oleh jaringan tersebut. Pada prinsipnya selama proses pembelajaran, jaringan akan berusaha mengelompokkan unit-unit yang memiliki pola yang sama atau hampir sama sehingga metode pembelajaran ini cocok untuk penyelesaian masalah pengelompokan atau pengklasifikasian.

Beberapa metode pembelajaran yang saat ini dikenal antara lain hebb rule,

perceptron, delta rule dan backpropagation. Di antara berbagai metode

pembelajaran tersebut, backpropagation merupakan metode pembelajaran yang paling umum digunakan. Proses pembelajaran ini termasuk dalam metode pembelajaran terawasi.

Proses pembelajaran dengan backpropagation terdiri dari dua tahap yaitu tahap perambatan ke depan (forward propagation) dan tahap perambatan ke belakang (backward propagation). Pada tahap perambatan ke depan nilai atau informasi yang masuk lapisan input akan dirambatkan melalui jaringan sampai lapisan output. Nilai output yang dihasilkan dibandingkan degan nilai output yang diharapkan sehingga diperoleh nilai error. Nilai error ini kemudian digunakan untuk memperbaiki pembobot-pembobot yang ada pada tahap perambatan ke belakang. Proses ini akan terus berulang sampai suatu kondisi tertentu yang menjadi kondisi pemberhentian proses pembelajaran. Kondisi ini dapat berupa suatu nilai error atau jumlah iterasi tertentu yang jika telah tercapai berarti proses pembelajaran telah selesai.

Penggunaan Artifcial Neural Network di Perairan Sub Tropis

Penduga konsentrasi klorofil-a secara vertikal dengan menggunakan neural network pernah dilakukan oleh Osawa et al. (2005) di Perairan Jepang. Dalam penelitian tersebut digunakan 6 masukan sebagai data input dan 4 masukan sebagai data output. Enam masukan data input yaitu kedalaman lapisan tercampur (mixed layer depth), suhu permukaan laut, konsentrasi klorofil-a ([Chl-a]) pada permukaan laut, lintang, bujur dan Julian days. Empat masukan data outputnya


(40)

merupakan parameter-parameter Gauss yaitu konsentrasi klorofil-a di permukaan laut (B0), total konsentrasi klorofil-a di puncak (h), standard deviasi distribusi

Gauss yang mengontrol ketebalan lapisan klorofil-a (), dan kedalaman konsentrasi klorofil-a maximum (Zm). Pada Gambar 4 ditampilkan konsentrasi klorofil-a di Perairan Jepang secara vertikal pada musim yang berbeda.

Gambar 4. Profile [Chl-a] secara Vertikal pada Musim (a) Dingin, (b) Semi, (c) Panas dan (d) Gugur (Osawa et al. 2005)

Penelitian tersebut menggunakan banyak sekali set data sehingga bisa mencakup hampir seluruh Perairan Jepang. Total set data yang digunakan yaitu sebanyak 8694 data yang kemudian dibagi menjadi 2 set data. Dua set data digunakan dalam proses pengolahan dengan menggunakan ANN. yaitu 6983 untuk data training dan 729 untuk data validasi.

b

c d


(41)

Setiap set data kemudian diaplikasikan dengan menggunakan Stuttgart

Neural Network Simulator (SNNS versi 4.2) yang telah dikembangkan di Jerman.

Spesifikasi SNNS yang digunakan yaitu:

ANN Model : Back Propagation;

Learning rate : 0.2;

Weigth initialization : -1.0 to 1.0;

Input layer size : 6;

Hidden layer 1 size : 50;

Output layer size : 4

Penelitian lain yang menggunakan ANN dalam menduga [Chl-a] juga pernah dilakukan oleh Musavi et al. (2002). Penelitian tersebut menggunakan 919 data dengan konsentrasi klorofil-a berkisar antara 0.019 dan 32.79 g/l. Model

feed-forward dengan 10 nodes pada hidden layer telah dibangun untuk

memperkirakan konsentrasi klorofil-a. Bentuk reflektansi remote sensing dari lima panjang gelombang SeaWiFS digunakan sebagai data input. ANN telah ditraining

dengan menggunakan algoritma Levenberg-Marquardt. ANN memberikan peluang dalam memilih data input dan toleran terhadap noise. Hal ini membuat ANN menjadi alat yang ideal untuk menduga konsentrasi klorofil-a di perairan pantai, dimana dengan adanya endapan, detritus, dan za-zat organik terlarut membuat keadaan yang optically complex. Dengan menggunakan model ANN dan memasukkan beberapa parameter optik sebagai data input tambahan untuk perhitungan fenomena scattering dan absorbsi, model dapat diperluas penggunaannya untuk menduga [Chl-a] di perairan pantai.

Keiner (1999) juga melakukan penelitian dengan menggunakan ANN untuk menduga [Chl-a] di laut lepas. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa algoritma ANN telah dibangun untuk menduga [Chl-a] di laut lepas dengan menggunakan data SeaWiFS. Algoritma tersebut ditraining dan divalidasi dengan menggunakan sampel data yang ada di The SeaWiFS Bio-optical Algorithm

Mini-Workshop. Dengan menggunakan 5 visible band SeaWiFS sebagai data input dan

10 nodes pada hiden layer untuk dapat menduga [Chl-a] secara efisien dan akurat, fungsi non-linear antara [Chl-a] permukaan dan data reflektansi dari remote


(42)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Perolehan dan pengolahan data dilaksanakan pada bulan Februari 2009 – Mei 2009. Pengolahan dan analisa data dilakukan di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat. Daerah yang menjadi obyek penelitian adalah Perairan Laut Banda pada 40LS – 80LS dan 1260BT – 1330BT.

Gambar 5. Lokasi Penelitian Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder konsentrasi klorofil-a, kedalaman, dan suhu air laut, posisi lintang dan bujur untuk tahun 1962, 1963, 1972, 1973, 1984 dan 1985 yang diperoleh dari World

Ocean Database 2005 (WOD05), National Oceanographic Data Center (NODC).

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer beserta perlengkapannya seperti printer, dengan perangkat lunak seperti program

Artificial Neural Network (ANN), ArcView GIS 3.3, dan Ms. Office 2007.

( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ((( ((( ((( ((( (((( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( Laut Banda Maluku Tengah Fak Fak Maluku Tenggara Kdy. Ambon 7 ° 5 0 ' 6 ° 4 0 ' 5 ° 3 0 ' 4 ° 2 0 ' 3 ° 1 0 ' 7 ° 5 0 ' 6 ° 4 0 ' 5 ° 3 0 ' 4 ° 2 0 ' 3 ° 1 0 '

128°10' 129°20' 130°30' 131°40' 132°50'

128°10' 129°20' 130°30' 131°40' 132°50' Peta Lokasi Penelitian

N

E W

S

30 0 30 60

Km Skala 1 : 3000.000

Laut Daratan

( Posisi Pengambilan

Sampel Keterangan :

Peta Indeks :

Sistem Grid : Geografi Proyeksi : WGS84

Achmad Fachruddin Syah C552070061

Mayor Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB


(43)

Penentuan Data Input-Output

Dalam menentukan data input, terlebih dahulu dilakukan pra observasi analisis terhadap data yang ada. Hal ini dimaksudkan agar bisa ditentukan data yang tepat untuk dijadikan sebagai data input.

Wyrtki (1961) membagi kondisi iklim Indonesia menjadi 4 golongan, yaitu:

 Musim Barat (Desember – Februari)

 Musim Peralihan 1 (Maret – Mei)

 Musim Timur (Juni – Agustus)

 Musim Peralihan 2 (September – November)

Data klorofil-a dan kedalaman in situ digunakan untuk mengetahui profil secara vertikal klorofil-a di Laut Banda selama musim yang berbeda. Gambar 6 memperlihatkan nilai konsentrasi klorofil-a di Laut Banda secara vertikal pada musim yang berbeda.

Gambar 6. Konsentrasi Klorofil-a di Laut Banda pada Musim yang Berbeda

Pada Gambar 6 terlihat pengaruh Julian days tidak memberikan pengaruh yang terlalu signifikan antara waktu yang satu dengan waktu yang lainnya. Hanya saja ketika pada musim timur, konsentrasi klorofil-a maksimum terdapat pada kedalaman yang lebih rendah dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan musim lainnya. Hal ini disebabkan karena pada Musim Timur, Laut Banda mengalami peristiwa upwelling (Wyrtki 1961). Berbeda dengan kondisi distribusi vertikal klorofil-a pada daerah sub tropis seperti tertera pada Gambar 4, konsentrasi klorofil-a secara vertikal di Perairan Jepang memiliki profil yang


(44)

berbeda antara musim yang satu dengan musim yang lainnya. Oleh sebab itu dalam penelitian ini digunakan 5 masukan data input (dari 6 masukan data input

yang digunakan oleh Osawa et al. (2005) ditambah faktor musim yang ada di lokasi penelitian, menggantikan faktor Julian days.

Dimasukkannya faktor musim sebagai salah satu input karena musim juga ikut mempengaruhi tingkat [Chl-a] yang ada di perairan. Faktor musim dirubah menjadi sebuah nilai yaitu musim Barat (42), Peralihan 1 (63), Timur (233) dan Peralihan 2 (275). Penentuan nilai tersebut didasarkan pada banyaknya waktu pengambilan data yang dilakukan dan juga dengan asumsi bahwa dalam 1 musim tidak mempunyai perbedaan yang signifikan.

Enam masukan data input tersebut yaitu kedalaman lapisan tercampur (mixed layer depth), suhu permukaan laut, konsentrasi klorofil-a ([Chl-a]) pada permukaan laut, lintang, bujur dan musim. Empat masukan data outputnya yaitu konsentrasi klorofil-a di permukaan laut (B0), total konsentrasi korofil-a di puncak

(h), standar deviasi distribusi Gauss yang mengontrol ketebalan lapisan klorofil-a (), dan kedalaman konsentrasi klorofil-a maximum (Zm).

Empat parameter Gauss, yang dijadikan sebagai masukan data output, diperoleh dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (Least Square

Method/LSM). Data yang digunakan untuk memperoleh nilai parameter Gauss

yaitu data kedalamandan konsentrasi klorofil-a in situ.

Pendugaan Parameter Gauss dengan ANN

ANN yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dengan menggunakan bahasa pemrograman Borland Delphi 5.0 dengan menggunakan metode pembelajaran backpropagation. ANN yang digunakan adalah jaringan dengan lapisan jamak yang terdiri dari 3 lapisan (layer) yaitu, lapisan input, lapisan tersembunyi, dan lapisan output. Tampilan program ANN yang digunakan tertera pada Lampiran 1.

Set data input-output merupakan data in situ dan data yang diperoleh dari hasil perhitungan menggunakan LSM. Data yang digunakan sebagai data input

adalah data kedalaman lapisan tercampur (mixed layer depth), suhu permukaan laut, [Chl-a] permukaan laut, lintang, bujur dan musim. Data yang digunakan


(45)

sebagai data output meliputi konsentrasi klorofil-a di permukaan laut (B0), total

konsentrasi klorofil-a di puncak (h), standar deviasi distribusi Gauss yang mengontrol ketebalan lapisan klorofil-a () dan kedalaman klorofil-a maksimum (Zm). Seluruh set data yang diperoleh kemudian dikelompokkan menjadi dua kategori, yakni data training dan data validasi. Pengelompokan data dilakukan terhadap seluruh satuan data yang ada. Adapun terkait proporsi data, dilakukan dengan memberikan data training yang lebih besar dari pada data validasi.

Kinerja jaringan dinilai berdasarkan nilai Root Mean Square Error (RMSE) dan nilai koefisien korelasi (r). Hasil ANN adalah nilai pembobot (w) yang menghubungkan input-output. Gambaran mengenai arsitektur ANN yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Model Artificial Neural Network yang akan dikembangkan Kusumadewi (2003) mendefinisikan backpropagation sebagai algoritma pembelajaran yang terawasi dengan banyak lapisan untuk mengubah bobot-bobot yang terhubung dengan node-node yang ada pada lapisan tersembunyinya. Algoritma backpropagation menggunakan error output untuk mengubah nilai bobot-bobotnya dalam arah mundur (backward). Untuk mendapatkan error ini, tahap perambatan maju (forward propagation) harus dikerjakan terlebih dahulu dengan mengaktifkan node-node menggunakan fungsi aktivasi sigmoid dibawah ini :

Lapisan input

Lapisan tersembunyi Lapisan output

h

Z

m

B

0

Kedalaman Lapisan

Tercampur

Suhu Permukaan

Laut [Chl-a]

Permukaan Laut

Lintang Bujur Musim


(46)

x e x f   1 1 )

( ……… (2)

Secara umum tahapan dalam backpropagation terdiri dari :

1. Inisialisasi pembobot, yaitu penentuan pembobot awal yang ditentukan secara acak, kemudian setiap sinyal input diberikan ke dalam node pada lapisan

input, lalu sistem akan mengirim sinyal ke node pada lapisan tersembunyi berikutnya.

2. Melakukan langkah-langkah berikut sampai diperoleh kondisi optimal atau berhenti. Kondisi berhenti mengindikasikan proses training telah selesai.

1) Tiap-tiap pasangan elemen yang akan dilakukan pembelajaran akan melalui dua tahapan, yaitu :

Forwardpropagation

a) Tiap-tiap node input (Xi, i = 1,2,3,...,n) menerima sinyal input (xi) dan

meneruskan sinyal tersebut ke semua unit pada lapisan di atasnya (hidden layer).

b) Tiap-tiap node pada lapisan tersembunyi (Zj, j = 1,2,3,..p)

menjumlahkan sinyal-sinyal input terbobot, yaitu sinyal input (xi) yang

telah dikalikan dengan pembobot (vij). Nilai sinyal-sinyal input

terbobot (z_inj) ditentukan dengan persamaan :

   n i ij i j

j v xv

in z

1 0

_ ……… (3)

Sinyal output yang dikirim ke semua unit pada lapisan di atasnya (output layer) diperoleh dengan menggunakan fungsi aktivasi :

zjf

z_inj

……… (4a)

j in z j e z _ 1 1  

 ……… (4b)

c) Tiap-tiap node pada lapisan output (Yk, k = 1,2,3,...,m) menjumlahkan


(47)

dengan pembobot (wjk). Nilai sinyal-sinyal input terbobot (y_ink)

ditentukan dengan persamaan :

   p i jk j k

k w z w

in y

1 0

_ ……… (5)

Nilai output (yk) pada output layer ditentukan dengan menggunakan

fungsi aktivasi :

k

k f y in

y  _ ……… (6a)

k in y k e y _ 1 1  

 ……… (6b)

Backwardpropagation

d) Tiap-tiap node output (Yk, k = 1,2,3,...,m) akan membandingkan sinyal

input (yk) yang diterima dengan nilai target yang diharapkan (tk) dan

hasilnya digunakan untuk menghitung nilai error (δk) dengan

persamaan :

k k

 

k

k t y f y_in

'  

 ……… (7a)

                       k

k y in

in y k k k e e y t _ _ 1 1 1 1 1

 ……… (7a)

Kemudian dilakukan penghitungan nilai koreksi bobot (Δwjk) dengan

persamaan berikut. Dalam penghitungan nilai koreksi dimasukkan nilai konstanta pembelajaran (α) yang nilainya berkisar antara 0-1 yang menentukan kecepatan proses pembelajaran.

j k

jk z

w 

 ……… (8)

Nilai koreksi bobot ini nantinya digunakan untuk memperbaiki nilai wjk. Ditentukan pula nilai koreksi bias (Δwok) yang akan digunakan

untuk memperbaiki nilai wok dengan menggunakan persamaan :

k k

w 

 0 ……… (9)

Kemudian nilai error δk dikirimkan ke node-node pada lapisan


(48)

e) Tiap-tiap node pada lapisan tersembunyi (Zj, j = 1,2,3,...p)

menjumlahkan delta inputnya (δkwjk) (dari unit-unit yang ada di

atasnya) dengan persamaan :

  m k jk k j w in 1 _ 

 ……… (10)

Nilai δ_inj yang diperoleh kemudian dikalikan dengan turunan fungsi

aktivasi untuk menghitung nilai error δj :

j  _injf '

z_inj

……… (11a)

                      j

j z in

in z j j e e

in _ _

1 1 1 1 1 _ 

 ……… (11b)

Nilai δj yang diperoleh kemudian digunakan untuk menghitung koreksi

bobot (Δvij) dan koreksi bias (Δv0j) dengan persamaan :

i j

ij x

v 

 .……… (12a)

v0j j .……… (12b) Nilai koreksi bobot akan digunakan untuk memperbaiki nilai pembobot vij sementara nilai koreksi bias akan digunakan untuk

memperbaiki nilai pembobot v0j.

f) Tiap-tiap node output (Yk, k = 1,2,3,...,m) memperbaiki bias dan

bobotnya (j = 0,1,2,...,p) dengan persamaan :

wjk (baru) = wjk (lama)+ Δ wjk ..……… (13)

Tiap-tiap node tersembunyi (Zj, j = 1,2,3,...p) memperbaiki bias dan

bobotnya (i = 0,1,2,...,n) dengan persamaan :

vij (baru) = vij (lama) + Δ vij …..……… (14)

2) Tes kondisi berhenti.

Keseluruhan proses terus dilakukan sampai tercapainya kondisi berhenti atau optimum. Kondisi ini dapat ditunjukkan dengan jumlah


(1)

Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa rata-rata selisih pada proses training untuk tiap parameter kecil. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nilai yang signifikan antara nilai yang diperoleh dengan menggunakan perhitungan LSM dan pendugaan ANN.

Berbeda dengan hasil validasi pada penelitian ini, pada penelitian Osawa et al. (2005) mampu menduga semua parameter dengan cukup baik, seperti yang tertera pada Gambar 11.

Gambar 11. Hubungan antara Data Validasi dan Pendugaan ANN pada Parameter (a) B0, (b) h, (c) dan (d) Zm (Osawa et al. 2005)

Berdasarkan Gambar 11 dapat diketahui bahwa, nilai koefisien korelasi (r) parameter (B0), (h), () dan (Zm) berturut-turut adalah 0.94, 0.72, 0.73 dan 0.81. Hal ini mungkin disebabkan karena pada penelitian Osawa et al. (2005), selain data yang digunakan pada proses training dan data validasi jauh lebih banyak.

b

d c


(2)

Data yang lebih banyak dan lebih seragam memungkinkan bagi ANN untuk lebih banyak dan mudah mempelajari data yang diberikan dengan baik sehingga mampu memvalidasi data dengan baik pula.

Perbandingan nilai [Chl-a] in situ, [Chl-a] LSM dan [Chl-a] ANN Setelah diketahui nilai semua parameter Gauss, baik melalui perhitungan LSM maupun dengan menggunakan ANN, maka dapat diketahui pula nilai [Chl-a] secara vertikal melalui nilai parameter-parameter Gauss tersebut. Pada Tabel 8 ditampilkan nilai rata-rata tiap parameter Gauss yang diperoleh dengan perhitungan LSM dan hasil pendugaan ANN pada proses validasi.

Tabel 8. Nilai Rata-rata Parameter Gauss No Parameter Rata-rata

LSM ANN

1. B0 0.0395 0.0494

2. h (skala log) 1.9598 1.8860

3.  45.0777 45.5516

4. Zm 51.1918 51.3841

Dari Tabel 8 terlihat bahwa tidak terjadi perbedaan yang signifikan antara nilai parameter Gauss yang diperoleh dengan perhitungan LSM dan hasil pendugaan ANN. Berdasarkan nilai-nilai parameter tersebut dan menggunakan persamaan 1, maka diperoleh nilai [Chl-a] LSM dan [Chl-a] ANN. Pada Gambar 12 ditampilkan hubungan antara nilai [Chl-a] LSM dengan nilai [Chl-a] in situ dan antara nilai [Chl-a] ANN dengan nilai [Chl-a] in situ.

Gambar 12. Gafik Hubungan Nilai [Chl-a] in situ dengan Nilai (a) [Chl-a] LSM dan (b) [Chl-[Chl-a] ANN


(3)

Berdasarkan Gambar 12 dapat diketahui nilai koefisien korelasi (r) antara nilai [Chl-a] LSM dengan nilai [Chl-a] in situ adalah sebesar 0.636 dan nilai koefisien korelasi (r) antara nilai [Chl-a] ANN dengan nilai [Chl-a] in situ adalah sebesar 0.631. Uji F antara [Chl-a] LSM dengan [Chl-a] in-situ dan [Chl-a] ANN dengan [Chl-a] in-situ memberikan nilai berturut-turut 383.92 dan 380.03 yang lebih besar dari Ftabel (3.86) pada tingkat kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan bahwa nilai [Chl-a] LSM dan nilai [Chl-a] ANN mempunyai pengaruh yang sama terhadap nilai [Chl-a] in-situ. Pada Gambar 13 ditampilkan hubungan antara nilai [Chl-a] ANN dan [Chl-a] LSM.

Gambar 13. Grafik Hubungan Nilai [Chl-a] ANN dan [Chl-a] LSM

Berdasarkan Gambar 13 dapat diketahui bahwa nilai a] ANN dan [Chl-a] LSM mempunyai hubungan yang baik. Hal ini dapat dilihat dari persamaan yang diperoleh dan nilai koefisien korelasi (r) yang cukup tinggi yaitu sebesar 0.995. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa model ANN yang dikembangkan secara umum cukup mampu menduga nilai [Chl-a] yang diperoleh dari hasil perhitungan LSM. Pada Tabel 14 ditampilkan contoh perbandingan nilai [Ch-a] in situ, [Chl-a] LSM dan [Chl-a] ANN pada musim yang berbeda.


(4)

Gambar 14. Perbandingan Nilai [Chl-a] in situ, [Chl-a] LSM dan [Chl-a] ANN pada Musim (a) Barat, (b) Peralihan 1, (c) Timur dan (d) Peralihan 2

Berdasarkan Gambar 14 dapat diketahui bahwa pada Musim Barat dan Peralihan 1, nilai [Chl-a] in situ, [Chl-a] LSM dan [Chl-a] ANN mempunyai hubungan yang cukup baik diantara ketiganya. Hal ini terlihat dari nilai koefisien korelasi terkecil yang diperoleh yaitu sebesar 0.8922 pada Musim Barat dan 0.8579 pada Musim Peralihan 1.

Pada Musim Timur dan Peralihan 2, antara nilai [Chl-a] LSM dan [Chl-a] ANN mempunyai hubungan yang cukup baik dengan nilai koefisien korelasi (r) pada masing-masing musim adalah sama yaitu sebesar 0.995. Akan tetapi hal ini tidak terjadi antara nilai [Chl-a] LSM dengan [Chl-a] in situ dan antara [Chl-a] ANN dengan [Chl-a] in situ. Pada MusimTimur, [Chl-a] LSM dan [Chl-a] ANN

a b

d c


(5)

dengan [Chl-a] in situ hanya memperoleh nilai koefisien korelasi masing-masing sebesar 0.8118 dan 0.8075. Pada Musim Peralihan 2, [Chl-a] LSM dan [Chl-a] ANN dengan [Chl-a] in situ hanya memperoleh nilai koefisien korelasi masing-masing sebesar 0.6527 dan 0.6434. Rendahnya nilai koefisien korelasi pada Musim Timur dan Peralihan 2 disebabkan karena adanya perbedaan kedalaman dan nilai konsentrasi klorofil-a maksimum dibandingkan dengan musim lainnya. Perbedaan ini berpengaruh terhadap keragaman nilai parameter h yang diperoleh, sehingga parameter h kurang mampu diduga dengan baik.

Tingginya nilai konsentrasi klorofil-a pada musim Timur dan Musim Peralihan 2, diduga karena pada Musim Timur dan Musim Pancaroba 2 masih dipengaruhi oleh peristiwa proses penaikan massa air dari bawah menuju ke atas atau lebih dikenal dengan sebutan upwelling. Adanya upwelling menyebabkan nilai [Chl-a] maksimum mencapai nilai yang cukup tinggi dan berada pada kedalaman yang lebih rendah.

Hasil pemodelan dengan ANN adalah nilai pembobot (weight) yang menghubungkan lapisan input dengan lapisan tersembunyi dan lapisan tersembunyi dengan lapisan output. Pada Tabel 9 ditampilkan sebagian data pembobot yang dihasilkan dalam proses training (data-data pembobot hasil ANN selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8).

Tabel 9. Data-data Pembobot

Nilai pembobot memiliki fungsi yang sama seperti dendrit atau akson pada jaringan syaraf biologis yang berfungsi menghubungkan serta menyampaikan informasi atau respon dari satu node ke node yang lain. Informasi yang

No Pembobot

1 3.21E-01

2 -3.72E-01 3 -4.65E-01

4 3.33E-01

5 -1.54E+00

6 3.48E-02

7 2.78E+00

8 2.36E+00

9 2.86E+00


(6)

merupakan input akan diproses oleh suatu fungsi perambatan yang akan menjumlahkan nilai-nilai semua bobot dan akan dibandingkan dengan suatu nilai ambang (threshold) tertentu melalui fungsi aktivasi setiap node. Apabila input tersebut melewati threshold maka node tersebut akan diaktifkan dan akan mengirimkan output ke semua node yang berhubungan dengannya. Berdasarkan nilai pembobot-pembobot tersebut, maka model ANN dapat menduga nilai parameter-parameter Gauss dari suatu set data input-output baru yang belum digunakan dalam proses training.