Determinan Transaksi Berjalan Indonesia : Pendekatan Kointegrasi Metode Johansen dan 2-Step Engle-Granger

DETERMINAN NERACA TRANSAKSI BERJALAN DI INDONESIA:
Pendekatan Kointegrasi Metode Johansen dan 2-Step Engle-Granger

WAHYU PURNAMAHADI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Determinan Neraca
Transaksi Berjalan Indonesia: Pendekatan kointegrasi metode Johansen dan 2-step
Engle Granger adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014

Wahyu Purnamahadi
NIM H151114244

RINGKASAN
WAHYU PURNAMAHADI. Determinan Neraca Transaksi Berjalan di Indonesia:
Pendekatan Kointegrasi Metode Johansen dan 2-Step Engle-Granger. Dibimbing oleh IMAN
SUGEMA dan DEDI BUDIMAN HAKIM.
Defisit neraca transaksi berjalan Indonesia beberapa tahun terakhir sangat menarik untuk
dicermati oleh beberapa kalangan. Hal ini disebabkan oleh pentingnya indikator ini dalam
menilai kestabilan ekonomi. Neraca transaksi berjalan Indonesia yang lebih dari satu dekade
mengalami surplus tiba-tiba bergeser menjadi defisit pada tahun 2011 telah memunculkan
bermacam spekulasi dan juga kekhawatiran. Pemerintah dalam hal ini otoritas yang
berwenang telah memberikan penjelasan tentang fenomena sementara dari defisit transaksi
berjalan yang diakibatkan peningkatan permintaan agregat dalam negeri. Namun berbagai
kalangan menilai hal ini sebagai sinyal waspada yang harus disikapi dengan tepat dan cepat
untuk mengantisipasi terjadinya kemunduran ekonomi.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
keseimbangan neraca transaksi berjalan di Indonesia serta menganalisis bagaimana hubungan

faktor-faktor tersebut terhadap neraca transaksi berjalan baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang. Faktor-faktor yang dimaksud meliputi aset luar negeri, tingkat keterbukaan
perdagangan, nilai tukar riil, dan pendapatan riil relatif. Data yang digunakan adalah data
triwulan dari tahun 1990 hingga tahun 2012, dengan penerapan analisis Vector
Autoregression (VAR) serta sifat data yang tidak stasioner pada level, maka pendekatan
kointegrasi dengan metode Johansen dan 2-step Engle Granger dilakukan untuk mencari
hubungan jangka panjang dan jangka pendek yang terjadi. Selain itu, penelitian ini juga
memberikan penekanan khusus pada penerapan prosedur ekonometrik untuk variabelvariabel non-stasioner namun terkointegrasi melalui metode Johansen dan 2-steps Engle
Granger. Prosedur pemilihan model terbaik dengan pengujian Likelihood Ratio (LR) dan
kriteria informasi juga dilakukan untuk mendapatkan hasil estimasi yang valid.
Hasil penelitian menunjukkan beberapa hal penting. Pertama, bahwa terdapat hubungan
keseimbangan jangka panjang antara neraca transaksi berjalan dan variabel-variabel yang
diteliti. Kedua, tingkat keterbukaan perdagangan dan pendapatan riil relatif memiliki efek
yang positif sementara nilai tukar memiliki efek negatif terhadap neraca transaksi berjalan,
baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Ketiga, aset luar negeri neto berdampak
positif dalam jangka panjang dan berdampak negatif dalam jangka pendek.

Kata kunci: transaksi berjalan, kointegrasi, johansen, engle-granger, VAR/VECM

SUMMARY

WAHYU PURNAMAHADI. Determinants of Current Account in Indonesia: Johansen
Method and 2-steps Engle-Granger method of Co-integration. Under direction of IMAN
SUGEMA and DEDI BUDIMAN HAKIM.
Current account deficit in Indonesia in the last two years attract some attentions from
many stakeholders because it is an important indicator in refer to assessing economic
stability. In the last decade Indonesia experienced mostly current account surplus. After a
long period of surplus, by the end of 2011, Indonesia experienced deficit of current account
balances. The authority perceived it as a temporary phenomenon since the increasing of
aggregate domestic demand due to raised on import of fuel and other consumption products.
But some economist announced it as an allert signal of an upcoming economic decline and
has to be taken care appropriately and immediately.
This paper try to examine the relationship between current account balance and a set of
macroeconomic variables including net foreign assets, openness, real exchange rate, and
relative income, both in the long-run and in the short-run. Given the non-stationary nature of
the data used in this study, this paper adopts a co-integrated VAR approach using the
quarterly data of 1990-2012. One of the urgency of this paper is how to apply econometrics
standard procedures to obtain the fittest method in order to optimize our model to be able to
make a valid analysis and forecasting. The 2-steps Engle-Granger Method and Johansen
Maximum Likelihood Method are being used to determine the co-integration process.
Finally, model selection applied by using likelihood ratio test and information criterion.

The estimation results show some important findings. First, there is a long-run
relationship between current account balance and the macroeconomic variables being
considered. Second, degree of openness, and relative income have a positive impacts on
current account balance both in the long-run and in the short-run, while the exchange rates
show a negative impact in the long-run and in the short-run. Third, net foreign assets have a
positive impacts in the long-run and negative impacts in the short-run.
Keywords: current account, cointegration, johansen, engle-granger, VAR/VECM

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;
dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB

DETERMINAN NERACA TRANSAKSI BERJALAN DI INDONESIA:
Pendekatan Kointegrasi Metode Johansen dan 2-Step Engle-Granger


WAHYU PURNAMAHADI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Heru Margono, M.Sc

Judul Tesis : Determinan Transaksi Berjalan Indonesia : Pendekatan Kointegrasi Metode
Johansen dan 2-Step Engle-Granger
Nama
: Wahyu Purnamahadi
NIM

: H151114244

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Iman Sugema, MEc
Ketua

Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MA.Ec
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir R Nunung Nuryartono, MSi


Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 11 Juni 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala
atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah defisit neraca transaksi
berjalan, dengan Determinan Neraca Transaksi Berjalan Indonesia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Iman Sugema, MEc, dan Bapak Dr
Ir Dedi Budiman Hakim, MA.Ec selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Heru Margono, MSc
selaku penguji, dan Ibu Dr Lukytawati Anggraeni, SP, MSi yang telah banyak memberikan
saran dan masukan yang berharga. Di samping itu Penulis juga mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada Kepala BPS Republik Indonesia, Kepala BPS Provinsi Jawa
Barat, dan Kepala BPS Kabupaten Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di
Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB, serta ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga
disampaikan kepada Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, MSi beserta jajarannya selaku pengelola

Program Studi Ilmu Ekonomi SPs IPB dan semua dosen yang telah mengajar penulis.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri penulis, Desi Nuraini beserta
anak (Belqis Salshabila) atas cinta, kesabaran, do’a, serta dorongan semangatnya; orangtua
dan mertua beserta seluruh keluarga, atas segala doa dan dukungannya; serta untuk seluruh
rekan-rekan Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi kelas BPS Batch 4, terimakasih atas
masukan yang telah diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2014
Wahyu Purnamahadi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Pendekatan Konvensional
Teori Pendekatan Elastisitas
Teori Marsall-Lerner Condition
J-Curve
Teori Pendekatan Intertemporal

Pengaruh Kebijakan Makroekonomi terhadap Neraca Transaksi
Berjalan
Output dan Kurs pada Kesimbangan Pasar Aset
Determinan Neraca Transaksi Berjalan
Tinjauan Empiris
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian

viii
viii
viii
1

1
2
4
4
5
5
5
7
7
8
8
9
11
12
13
15

3

METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis
Pengujian Pra Estimasi VAR
Uji Kointegrasi Rank
Model 2-Steps Engle-Granger
Model Johansen Maximum Likelihood VAR
Pemilihan Model Terbaik
Impulse Response Function
Spesifikasi Model
Definisi Variabel Operasional

19
19
20
21
22
24
25
26
27
28
28

4

HASIL DAN PEMBAHASAN
Estimasi Model
Metode Two-Steps Engle-Granger
Metode Johansen
Pemilihan Model
Efek Jangka Panjang
Hubungan Dinamis Jangka Pendek

30
30
31
33
34
35
36

5

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

39
39
39

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

40
42
52

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Perkembangan Nilai Ekspor Impor Tahun 1997 – 2012
Variabel dan sumber data penelitian
Augmented Dickey-Fuller test
Pemilihan Lag
Johansen-Juselius Cointegration Test
Pengujian Residual Regresi
Estimasi VECM Metode 2-step Engle-Granger
Estimasi VECM Prosedur Johansen Terrestriksi
Estimasi VECM Prosedur Johansen tak terrestriksi
Ringkasan Tabel Kriteria Informasi

3
19
30
31
31
32
32
33
34
34

DAFTAR GAMBAR
1 Neraca Transaksi Berjalan Indonesia Tahun 1990 – 2012
2 Transaksi Berjalan Indonesia Tahun 2009q1 – 2012q4
3 Kurva-J
4 Pengaruh kebijakan makroekonomi terhadap neraca transaksi berjalan
5 Output dan kurs pada keseimbangan pasar aset
6 Kerangka Pemikiran
7 Ringkasan Prosedur Analasis
8 Impulse Response Function

2
4
8
9
11

17
20
38

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Hasil uji stabilitas VAR
Output penentuan tren deterministik
Output Penentuan Lag Optimal VAR
Hasil uji rank kointegrasi Johansen
Hasil estimasi OLS dan pengujian residual OLS
Hasil estimasi 2- step Engle-Granger
Hasil estimasi VECM metode Johansen
8 Respons RCA terhadap shok variabel endogen

42
43
44
45
46
47
49
51

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Neraca transaksi berjalan merupakan salah satu indikator makroekonomi
yang sering dijadikan acuan dalam menilai stabilitas ekonomi suatu negara. Salah
satu alasannya adalah bahwa neraca transaksi berjalan mencerminkan kekuatan
daya saing internasional suatu bangsa dan sejauh mana bangsa tersebut
memanfaatkan sumberdaya yang dimilikinya (Uneze dan Ekor 2012). Selain itu,
nilai transaksi berjalan merupakan cerminan dari rasio tabungan-investasi yang
berkaitan erat dengan nilai transaksi finansial (Aristovnik 2006). Ketika terjadi
investasi yang melebihi jumlah tabungan, maka selisih tersebut dipenuhi oleh
modal masuk (capital inflow) dari luar negeri yang akan tercatat dalam transaksi
modal dan finansial (capital and financial account).
Secara umum karakteristik neraca transaksi berjalan di setiap negara
menunjukkan pola yang berbeda, baik fluktuasinya terhadap perubahan situasi
perekonomian dunia, maupun interaksinya dengan variabel-variabel
makroekonomi di negara tersebut. Nilai transaksi berjalan juga sangat dipengaruhi
oleh kebijakan perdagangan luar negeri setiap negara sehingga sulit menemukan
pola yang pasti. Namun secara umum setiap negara memiliki alasan untuk
menjaga nilai transaksi berjalan agar tetap kondusif bagi perekonomiannya.
Terdapat beberapa model teoritis dalam upaya menjelaskan karakteristik
dari nilai transaksi berjalan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, diantaranya
adalah pendekatan konvensional, pendekatan elastisitas, dan pendekatan
intertemporal. Masing-masing pendekatan memiliki pandangan yang berbeda
dalam menentukan elemen yang mempengaruhi neraca transaksi berjalan.
Perbedaan juga terjadi pada pendapat tentang kekuatan hubungan dan arah
hubungan dari faktor-faktor tersebut. Oleh karena itu upaya untuk memahami
faktor-faktor yang mempengaruhi neraca transaksi berjalan, baik jangka pendek
dan jangka panjang, memiliki implikasi yang penting dalam menentukan
kebijakan ekonomi suatu negara.
Neraca transaksi berjalan Indonesia mengalami fluktuasi yang cukup
beragam dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Namun jika dilihat secara cermat
Indonesia mengalami dua periode yang berbeda dalam hal neraca transaksi
berjalan. Periode pertama, yaitu sebelum kiris 1997/1998, Indonesia lebih banyak
mengalami defisit neraca transaksi berjalan. Pada periode kedua, yaitu setelah
krisis 1997/1998, Indonesia lebih banyak mengalami surplus transaksi berjalan,
walaupun tetap terdapat fluktuasi di kedua periode tersebut.
Perubahan paradigma neraca transaksi berjalan sebelum dan sesudah krisis
tahun 1997/1998 terjadi akibat perubahan hubungan antara neraca transaksi
berjalan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Selain itu perubahan tersebut
terjadi akibat berubahnya struktur kebijakan perekonomian, misalnya dalam hal
perubahan rejim nilai tukar dan keterbukaan ekonomi (Sahminan, Ibrahim, dan
Yanfitri 2009).

6,000
4,000
2,000

2012q1

2011q1

2010q1

2009q1

2008q1

2007q1

2006q1

2005q1

2004q1

2003q1

2002q1

2001q1

2000q1

1999q1

1998q1

1997q1

1996q1

1995q1

1994q1

1993q1

1992q1

1991q1

1990q1

0
-2,000
-4,000

Nilai Transaksi Berjalan (miliar Dolar AS)

2

-6,000
-8,000
-10,000

Sumber: Bank Indonesia 2012 (diolah)

Gambar 1 Neraca Transaksi Berjalan Indonesia Tahun 1990 – 2012
Namun pada periode pasca krisis, dimana neraca transaksi berjalan
cenderung positif, paradigma neraca transaksi berjalan kembali mengalami
perubahan. Berawal pada triwulan terakhir tahun 2011, neraca transaksi berjalan
yang semula konsisten pada nilai positif bergeser menjadi negatif. Neraca
transaksi berjalan pada triwulan empat tahun 2011 mencatatkan nilai defisit
2,301 miliar dolar AS atau setara dengan 1,09% Produk Domestik Bruto (PDB)
nasional. Keadaan defisit ini berlangsung terus dan cenderung menunjukkan
peningkatan. Pada triwulan akhir tahun 2012 nilai transaksi berjalan Indonesia
mengalami defisit sebesar 7,646 miliar dolar AS atau setara dengan 3,53 % dari
PDB. Bahkan pada triwulan kedua tahun 2013 defisit neraca transaksi berjalan
Indonesia telah mencapai 9,8 miliar dolar AS atau 4,4 % terhadap PDB nasional.
Perumusan Masalah
Krisis ekonomi keuangan tahun 1997/1998 telah menyebabkan perubahan
besar dalam neraca pembayaran Indonesia. Sebelum krisis, neraca transaksi
berjalan yang mencatat ekspor dan impor barang dan jasa umumnya berada dalam
kondisi defisit. Artinya, penduduk Indonesia lebih banyak mengimpor daripada
mengekspor barang dan jasa. Defisit yang terjadi sebesar rata-rata 2,5% - 3,5%
dari total PDB per tahun. Arus modal masuk umumnya lebih besar daripada arus
modal keluar. Setelah krisis 1998, yang terjadi sebaliknya. Neraca transaksi
berjalan berada dalam surplus yang mencapai 4-5% PDB, sementara neraca modal
berada dalam defisit.

3

Penyesuaian dalam neraca transaksi berjalan pada periode setelah krisis
terutama terjadi karena penurunan impor secara drastis. Pada paruh pertama
dasawarsa 1990-an atau sebelum krisis, impor meningkat rata-rata 18 % per tahun,
sedangkan tahun 1998, impor turun sebesar 30 %. Pada tahun 2002, nilai impor
baru mencapai 77 % dibandingkan nilai impor pada tahun 1997.
Tabel 1 Perkembangan Nilai Ekspor Impor Tahun 1997 – 2012
Ekspor
Impor
Tahun
(juta USD)
(juta USD)
1997
56.297
46.223
1998
50.371
31.942
1999
51.242
30.598
2000
65.407
40.366
2001
57.364
34.669
2002
59.165
35.653
2003
64.109
39.546
2004
70.767
50.615
2005
86.995
69.462
2006
103.528
73.868
2007
118.104
85.260
2008
139.606
115.981
2009
119.646
125.714
2010
158.074
162.447
2011
200.788
206.005
2012
188.146
215.729
Sumber : Bank Indonesia 2012 (diolah)

Pada tahun-tahun berikutnya setelah krisis, Indonesia mengalami surplus
neraca transaksi berjalan yang cukup konsisten hingga akhir tahun 2011. Surplus
ini terjadi dikarenakan meningkatnya kinerja ekspor nonmigas Indonesia. Pada
tahun 2007 ekspor nonmigas mencatatkan nilai 93,1 miliar dolar AS atau
tumbuh sebesar 15,6% dibandingkan tahun sebelumnya. Laju pertumbuhan ini
terus meningkat seiring dengan perkembangan perekonomian global yang terus
membaik, terutama pada wilayah Asia yang tumbuh sangat pesat.
Namun pada awal tahun 2009, sebagai refleksi dari pertumbuhan ekonomi
yang tinggi permintaan domestik terus meningkat sehingga berdampak pada
meningkatnya kebutuhan bahan baku yang berasal dari impor dan mendorong laju
pertumbuhan impor meningkat lebih tinggi dari pertumbuhan ekspor. Hal tersebut
mengakibatkan menurunnya surplus transaksi berjalan walaupun masih
mencatatkan nilai yang positif. Kondisi ini terus berlangsung bahkan semakin
parah dengan terus menurunnya nilai ekspor nonmigas dan meningkatnya impor
bahan baku. Sehingga pada triwulan empat tahun 2011, neraca transaksi berjalan
Indonesia kembali mengalami defisit.

Nilai Transaksi Berjalan (miliar Dolar AS)

4
0.0300
0.0200
0.0100
0.0000
-0.0100
-0.0200
-0.0300
-0.0400
-0.0500
Sumber : Bank Indonesia 2012 (diolah)

Gambar 2 Transaksi Berjalan Indonesia Tahun 2009q1 – 2012q4
Berkaitan dengan fenomena ini, beberapa literatur telah memprediksi
terjadinya penurunan surplus transaksi berjalan di negara-negara Asia sebagai
akibat dari penurunan defisit transaksi berjalan di Amerika serikat tahun 2009
sebesar separuhnya. Fenomena ini dikenal dengan istilah “ketidakseimbangan
global” yang akan memicu terjadinya penyesuaian-penyesuaian pada
perekonomian dunia (Yang 2011).
Hal yang menjadi ironis adalah defisit neraca transaksi berjalan terjadi
justru pada saat Indonesia sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi, yakni diatas 6%, ditengah lesunya perekonomian global. Pertanyaan yang
kemudian muncul adalah apakah perkembangan defisit neraca transaksi berjalan
ini akan terus berlanjut?, serta faktor-faktor apakah yang mempengaruhi nilai
transaksi berjalan di Indonesia?
Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi neraca transaksi berjalan
di Indonesia
2. Menganalisis hubungan jangka pendek dan jangka panjang antara transaksi
berjalan dengan variabel-variabel makroekonomi yang mempengaruhinya
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengayaan literatur kepada
akademisi serta praktisi ekonomi dan pemerintah, terutama yang terkait dengan
kebijakan perdagangan luar negeri dan ekspor impor. Selain itu penelitian ini
memberikan penekanan khusus tentang pentingnya penerapan metode
ekonometrik yang tepat khususnya dalam analisis VAR/VECM dan pemilihan
model terbaik untuk menghasilkan statistik yang efisien dan valid sehingga
diharapkan dapat menjadi salah satu acuan bagi peneliti lain yang akan
menggunakan metode analisis yang sama. Bagi penulis, semoga bisa menjadi
sarana peningkatan wawasan ekonomi sekaligus media aplikasi konsep dan
metode yang selama ini telah didapat di jenjang pendidikan.

5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Menurut Bank Indonesia (2008) transaksi berjalan (current account)
mengukur penerimaan dan pengeluaran Indonesia yang berasal dari transaksi
barang dan jasa (goods and services), pendapatan (income), dan transfer berjalan
(current transfer) dengan bukan penduduk. Komponen transaksi berjalan adalah
neraca perdagangan, jasa-jasa, pendapatan, dan transfer berjalan. Neraca transaksi
berjalan merupakan bagian dari neraca pembayaran yang berisi arus pembayaran
jangka pendek (mencatat transaksi ekspor impor barang dan jasa), yang meliputi :
1. Ekspor dan impor barang-barang dan jasa, ekspor barang-barang dan jasa yang
diperlakukan sebagai kredit, impor barang-barang dan jasa diperlakukan
kembali sebagai debit.
2. Net investment income tingkat bunga dan dividen diperlakukan sebagai jasa
karena merepresentasikan pembayaran untuk penggunaan modal.
3. Net transfer (transfer unilateral) meliputi bantuan luar negeri, pemberianpemberian dan pembayaran lain antar pemerintah dan antar pihak swasta. Net
transfer bukan merupakan perdagangan barang dan jasa. Atau dengan kata lain
transaksi berjalan merangkum aliran dana antara satu negara tertentu dengan
seluruh negara lain sebagai akibat dari pembelian barang-barang atau jasa,
provisi income atas aset finansial, atau transfer unilateral, misalnya bantuan
bantuan antar pemerintah dan antar pihak swasta.
Aktivitas perdagangan negara dapat dibedakan atas trade surplus, trade
deficit dan balance trade. Suatu negara mengalami trade surplus atau surplus
perdagangan apabila ekspor neto positif. Dalam hal ini negara tersebut merupakan
negara donor di pasar uang dunia,dan mengekspor lebih banyak barang dan jasa
dari pada mengimpornya. Trade deficit atau defisit perdagangan terjadi apabila
ekspor neto bernilai negatif. Dalam hal ini negara merupakan penghutang di pasar
uang dunia, dan lebih banyak mengimpor barang dan jasa daripada
mengekspornya. Apabila nilai impor dan nilai ekspor sama, maka posisi neraca
perdagangan akan seimbang atau trade balance. Ketika nilai ekspor suatu Negara
lebih besar daripada nilai impor akan meningkatkan penerimaaan devisa negara.
Hal ini akan berdampak pada meningkatnya pendapatan nasional yang akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara terkait. Analisis neraca transaksi
berjalan lebih menekankan pada aktifitas ekspor dan impor (Mankiw 2007).
Dalam kajian teori, analisis neraca transaksi berjalan dapat dijelaskan
melalui beberapa pendekatan :
Pendekatan Konvensional
Berdasarkan pendekatan konvensional, hubungan neraca transaksi berjalan
bisa diperoleh dengan menggunakan identitas national account, yang dapat
diekspresikan sebagai berikut :
�=�+�+�+( −

)

(1)

6

dimana Y = produk domestik bruto (PDB), C = konsumsi, I = investasi, G =
pengeluaran pemerintah, X = ekspor dan M = impor.
Dengan mendefinisikan transaksi berjalan (current account, CA) sebagai
perbedaan antara ekspor (X) dan impor (M), dan dengan menata ulang variabelvariabel pada persamaan (1) diperoleh identitas berikut :
�� = � − ( + � + � )

(2)

dimana (C + I + G) adalah belanja domestik (absorpsi domestik). Dalam
perekonomian tertutup, tabungan (savings, S) sama dengan investasi (I) dan
dengan asumsi bahwa Y – C – G = S, maka diperoleh:
= � + ��

(3)

�−

(4)

Lebih lanjut, tabungan nasional bisa didekomposisikan menjadi tabungan swasta
(Sp) dan tabungan pemerintah (Sg), sehingga :
p=

dan
g=

−�

–�

(5)

dimana T adalah penerimaan pemerintah. Dengan menggunakan persamaan (4)
dan (5) dan mensubstitusikannya ke dalam persamaan (3) diperoleh :
p

atau

= � + �� + ( −

�� =

p

−�−( −

)

(6)

)

(7)

Persamaan (7) menunjukkan bahwa peningkatan defisit (anggaran) pemerintah
akan menambah defisit transaksi berjalan apabila peningkatan defisit pemerintah
mengurangi tabungan nasional. Misalkan bahwa penerimaan pajak sekarang
dianggap konstan dan (Sp – I) tetap sama, peningkatan belanja pemerintah akan
menyebabkan defisit pemerintah menaikkan (G – T) dan akan berpengaruh positif
terhadap transaksi berjalan. Dalam kasus ini defisit pemerintah yang terjadi karena
peningkatan belanja mengurangi surplus transaksi berjalan negara itu, yang
dengan kata lain menunjukkan memburuknya keseimbangan eksternal.
Pendekatan konvensional juga mengelaborasi hubungan keseimbangan
anggaran dan transaksi berjalan dengan menggunakan kerangka IS-LM (MundellFleming framework). Menurut model ini, defisit anggaran bisa mempengaruhi
defisit transaksi berjalan melalui saluran efek suku bunga dan output. Defisit
anggaran menaikkan suku bunga yang pada gilirannya merangsang terjadinya
aliran modal masuk (capital inflows) dan penguatan (apresiasi) nilai tukar mata
uang domestik. Penguatan nilai tukar mata uang domestik akan memperburuk
neraca transaksi berjalan melalui peningkatan impor dan penurunan ekspor.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ekspansi fiskal melalui peningkatan
defisit anggaran mendorong peningkatan output dan impor yang kemudian
menyebabkan deficit perdagangan dan pada akhirnya ketidakseimbangan transaksi
berjalan (current account imbalance) dengan nilai tukar yang menguat (Blanchard
2000).

7

Teori Pendekatan Elastisitas
Konsep analisis ini menekankan pada peranan penting analisis tentang
aktifitas ekspor dan impor dalam memahami neraca pembayaran. Pendekatan ini
memberi penekanan pada konsep neraca perdagangan sebagai perbedaan antara
ekspor dan impor. Permasalahan yang muncul berkaitan dengan dampak devaluasi
melalui bagaimana perubahan nilai tukar tersebut akan mempengaruhi terms of
trade. Pendekatan elastisitas sangat erat kaitannya dengan konsep Marshall-lerner
Condition yang menyatakan bahwa tingkat stabilitas pasar valuta asing sangat
tergantung pada elastisitas harga permintaan untuk barang ekspor dan impor. Jika
elastisitas ekspor atau impor lebih besar dari 1 maka fluktuasi nilai tukar akan
berpengaruh terhadap neraca transaksi berjalan.
Teori Marshall-Lerner Condition
Peningkatan ekspor dan penurunan impor belum tentu akan meningkatkan
nilai neraca perdagangan atau ekspor netto. Neraca perdagangan hanya akan
meningkat saat nilai tukar riil terdepresiasi bila persyaratan kondisi Marshall–
Lerner terpenuhi. Kondisi Marshall–Lerner menunjukkan bahwa suatu pasar
valuta asing bersifat stabil apabila penjumlahan elastisitas harga dari permintaan
impor (DM) dan permintaan ekspor (DX) dalam angka–angka absolut lebih besar
dari 1. Jika jumlahnya kurang dari satu, maka pasar yang bersangkutan dinyatakan
tidak stabil. Sedangkan jika penjumlah elastisitas harga dari (DM) dan (DX) persis
sama dengan satu, maka setiap perubahan kurs tidak akan mengubah neraca
perdagangan (Salvatore 1994).
Dampak perubahan nilai tukar riil terhadap neraca perdagangan dibagi
kedalam volume effect dan value effect. Volume effect adalah dampak perubahan
unit output ekspor dan impor akibat dari perubahan nilai tukar riil. Berdasarkan
kondisi Marshall-Lerner bahwa volume effect adalah positif karena elastisitas
ekspor adalah positif (perubahan permintaan volume ekspor terhadap perubahan
nilai tukar riil positif > 0). Sementara value effect adalah kenaikan nilai impor atas
harga domestik akibat dari perubahan nilai tukar rill.
Depresiasi nilai tukar rill akan mengakibatkan harga produk di pasar
global menjadi lebih murah sehingga daya saing meningkat. Oleh Karena itu
depresiasi akan meningkatkan permintaan ekspor sehingga ekspor akan bernilai
positif ( EX > 0). Sementara itu impor bernilai negatif karena depresiasi nilai
tukar rill akan meningkatkan harga barang impor menjadi lebih mahal. Barang
domestik menjadi relatif lebih murah sehingga meningkatkan daya saing di pasar
domestik, hal ini akan menurunkan impor dari luar negeri. Perubahan neraca
perdagangan dapat menjadi positif atau negatif tergantung pada elastisitas ekspor
dan impor. Dengan asumsi trade balance, depresiasi nilai tukar riil akan
mengakibatkan neraca perdagangan menjadi surplus apabila jumlah dari elastisitas
ekspor dan impor lebih besar dari satu. Jika kondisi ini terpenuhi, maka disebut
Marshall-Lerner Condition terpenuhi.

8

J-Curve
Dampak perubahan nilai tukar mata uang nasional suatu negara akibat
depresiasi atau devaluasi terhadap neraca pembayaran melalui transaksi berjalan
dapat digambarkan oleh kurva yang menyerupai huruf J dan disebut efek kurva–J.
Neraca transaksi perdagangan akan turun untuk beberapa periode setelah
devaluasi atau depresiasi mata uang domestik. Perubahan dalam harga terjadi
lebih cepat daripada perubahan dalam kuantitas perdagangan.
Net Exports, NX
Depreciation
Time
0

Sumber: Blanchard (2000)

Gambar 3 Kurva J
Pola perilaku neraca transaksi perdagangan sebagai akibat perubahan nilai
tukar sering disebut kurva J. Hal ini karena bentuk beberapa periode pertama dari
respon terhadap depresiasi, neraca perdagangan memburuk untuk kemudian mulai
membaik. Penjelasan ini menegaskan bahwa perlu waktu bagi depresiasi mata
uang suatu negara agar mempunyai dampak positif terhadap neraca transaksi
perdagangan. Dalam jangka panjang, depresiasi mempunyai dampak terhadap
perbaikan neraca transaksi perdagangan melalui peningkatan daya saing
internasional yang berakibat pada kenaikan nilai ekspor. Depresiasi juga
berdampak pada penurunan impor sebagai akibat pengalihan pengeluaran
penduduk domestik serta meningkatnya permintaan agregat oleh penduduk luar
negeri terhadap produk domestik sehingga pada akhirnya meningkatkan ekspor
(Blanchard 2000).
Teori Pendekatan Intertemporal
Pada awalnya perhitungan neraca transaksi berjalan merupakan selisih
neto dari ekspor dan impor. Konsekuensinya, harga relatif dalam dan luar negeri
menjadi determinan utama. Walaupun pendekatan elastisitas perdagangan
bermanfaat untuk membuat prediksi langsung yang berguna dalam menghitung
dampak jangka pendek dari nilai tukar terhadap neraca transaksi berjalan,
pendekatan ini memiliki keterbatasan dalam menjelaskan hubungan jangka
panjang dan keseimbangan dari neraca transaksi berjalan (Debelle and Faruqee
1996).

9

Sebagai alternatif, pendekatan intertemporal dari neraca transaksi berjalan
memandang transaksi berjalan sebagai selisih dari tabungan nasional (S) dan
investasi domestik (I).
CA = S – I
(8)
Pendekatan ini memandang bahwa keputusan saving dan investasi adalah
akibat dari hasil perkiraan masa depan berdasarkan ekspektasi tentang berbagai
faktor makroekonomi yang akan terjadi. Pendekatan ini mencoba untuk
menjelaskan perubahan transaksi berjalan melalui variabel konsumsi, tabungan
dan investasi. Melalui pendekatan ini dapat dijelaskan hubungan antara
perdagangan dan aliran finansial melalui pemahaman tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi harga relatif masa depan dan bagaimana harga relatif
mempengaruhi keputusan menabung dan investasi (Obstfeld dan Rogoff 1995).
Pengaruh Kebijakan Makroekonomi terhadap Neraca Transaksi Berjalan
Kurs, E
A’
D

A

X

D’

2
1

E’

3

X

4

A’
D

D’

A
Y

t

Output, Y
Sumber: Krugman dan Obstfeld (1999)

Gambar 4 Pengaruh kebijakan makroekonomi terhadap neraca transaksi berjalan
Skedul DD melukiskan kurs dan tingkat output di mana pasar output
berada dalam kondisi keseimbangan. Pergeseran permintaan agregat terhadap
output domestik akan menggeser kurva DD. Kenaikan permintaan agregat akan
menggeser kurva DD ke kanan, penurunan permintaan agregat akan menggeser
kurva DD ke kiri. Sedangkan skedul AA mengaitkan kurs dan tingkat output yang
mempertahankan pasar uang domestik dan pasar valuta asing tetap berada dalam
kondisi keseimbangan. Kenaikan output riil akan menyebabkan apresiasi mata
uang domestik, yaitu pergerakan disepanjang kurva AA. Kenaikan permintaan
mata uang domestik akan mendorong peningkatan suku bunga dan apresiasi mata
uang, sehingga membuat produk domestik menjadi lebih mahal serta
mengakibatkan kontraksi. Gangguan pada pasar aset akan menggeser kurva AA
ke kanan atau ke kiri.

10

Gambar 4 memperlihatkan bagaimana model DD – AA diperluas untuk
melukiskan dampak-dampak kebijakan makroekonomi terhadap neraca transaksi
berjalan. Selain AA dan DD, gambar tersebut juga memuat sebuah kurva baru
dengan label XX. Kurva ini menunjukkan kombinasi kurs dan output yang
memungkinkan diaturnya neraca transaksi berjalan pada posisi yang diinginkan,
misalnya CA(EP*/P,Y-T=X. Kurva XX mengarah keatas karena bila semua
kondisi lainnya tetap, kenaikan output memacu belanja impor sehingga
memperburuk neraca transaksi berjalan jika tidak disertai dengan depresiasi mata
uang domestik.
Yang paling penting untuk diperhatikan pada gambar tersebut adalah
bahwa XX lebih landai dibandingkan DD. Kita bisa mengetahui penyebabnya
dengan menyimak bagaimana transaksi berjalan berubah bila terjadi pergeseran
pada skedul DD dari titik 1, dimana ketiga skedul itu saling berpotongan (jadi
mula-mula CA=X). Jika Y mengalami kenaikan di sepanjang DD, peningkatan
permintaan domestik terhadap output domestik lebih kecil daripada peningkatan
output itu sendiri (ini dikarenakan sebagian pendapatan ditabung dan sebagian
lagi digunakan untuk membeli produk impor). Namun disepanjang DD, total
permintaan agregat harus sama dengan penawarannya. Guna mencegah kelebihan
penawaran output domestik, maka E harus melonjak cukup tajam di sepanjang
kurva DD agar permintaan ekspor meningkat lebih cepat daripada impor. Dalam
kalimat lain, permintaan luar negeri bersih (total permintaan luar negeri terhadap
produk domestik dikurangi total permintaan domestik terhadap produk luar
negeri) atau neraca transaksi berjalan harus meningkat cukup tajam di sepanjang
skedul DD agar kelebihan output yang tak terserap oleh permintaan domestik
(karena ditabung) bisa disalurkan. Jadi, disebelah kanan titik 1, DD berada di atas
XX dimana CA > X; penalaran yang sama juga menunjukkan bahwa DD berada
di bawah XX (dimana CA < X) ketika berada disebelah kiri titik 1.
Dampak kebijakan moneter terhadap neraca transaksi berjalan dapat dikaji.
Sebagaimana diperlihatkan sebelumnya, kenaikan penawaran uang, misalnya,
menggeser perekonomian ke posisi yang mirip keadaannya dengan titik 2,
memperbesar output, serta menimbulkan depresiasi mata uang. Karena titik 2
berada di atas XX, kondisi neraca transaksi berjalan membaik berkat
pemberlakuan kebijakan tersebut. Jadi dalam jangka pendek, neraca transaksi
berjalan dapat ditingkatkan atau diperbaiki oleh ekspansi moneter.
Berikutnya adalah kebijakan ekspansi fiskal temporer. Kebijakan ini
menggeser DD ke kanan dan menggerakkan perekonomian ke titik 3 pada gambar
di atas. Mata uang mengalami apresiasi dan pendapatan meningkat sehingga
kondisi neraca transaksi berjalan terancam memburuk. Ekspansi fiskal temporer
bahkan menimbulkan dampak tambahan, yakni menggeser AA ke kiri, serta
menciptakan keseimbangan di titik 4. Sama halnya dengan titik 3, titik 4 berada di
bawah XX, sehingga di sini neraca transaksi berjalan juga memburuk. Maka
kebijakan ekspansioner memperburuk neraca transaksi berjalan.

11

Output dan Kurs pada Kesimbangan Pasar Aset
Kurs, E

E1

1’
2’

E2

0

Imbalan simpanan valuta asing
berupa mata uang domestik

R1

R2

Suku bunga domestik, R
L(R,Y1)
L(R,Y2) ; Y2 > Y1

1



2

Penawaran uang riil

Tingkat harga, P

Sumber: : Krugman dan Obstfeld (1999)

Gambar 5 Output dan kurs pada keseimbangan pasar aset
Permintaan uang riil akan agregat atau L(R,Y) akan meningkat jika suku
bunga turun sebaliknya kenaikan suku bunga akan menurunkan permintaan uang
riil. Kenaikan output riil memperbesar permintaan uang riil. Karena kenaikan
output riil tersebut meningkatkan volume transaksi-transaksi moneter di kalangan
masyarakat begitupun sebaliknya.
Gambar 5 menunjukkan keseimbangan suku bunga dan kurs domestik
yang terkait dengan tingkat output Y1 pada suatu tingkat penawaran uang nominal
M0, tingkat harga P, suku bunga luar negeri R*, dan nilai perkiraan kurs dimasa
mendatang E*. Dibagian bawah kurva, kita lihat bahwa pada tingkat output riil di
Y1 dan penawaran uang riil di M0/P, suku bunga R1 menyeimbangkan kondisi
pasar uang domestik (titik 1) dan kurs E1 menyeimbangkan kondisi pasar valuata
asing (titik 1’). Kurs E1 menyeimbangkan kondisi pasar valuta asing karena ia
menyamakan perkiraan imbalan simpanan mata uang luar negeri dengan suku
bunga domestik R1.
Kenaikan output dari Y1 ke Y2 memperbesar permintaan uang riil agregat
dari L(R,Y2), yang selanjutnya meningkatkan suku bunga domestik pencipta
keseimbangan dari R1 ke R2 (titik 2). Bila E* dan R* tetap, maka uang domestik
akan mengalami apresiasi dari E1 ke E2 agar pasar valuta asing kembali ke kondisi
keseimbangan di titik β’. Nilai apresiasi mata uang domestik akan cukup sesuai,
sehingga kenaikan tingkat perkiraan depresiasinya di masa mendatang dapat
mengimbangi kenaikan keuntungan suku bunga yang ditawarkan simpanan mata
uang domestik. Agar pasar aset tetap berada dalam kondisi kesimbangan,
kenaikan output domestik harus disertai dengan apresiasi mata uang domestik,
sedangkan penurunan output harus disertai dengan depresiasi.

12

Determinan Neraca Transaksi Berjalan
Menurut Yang (2011), bahwa variabel-variabel yang mempengaruhi
neraca transaksi berjalan, meliputi:
1. Aktiva luar negeri neto/Nett foreign asset (NFA)
Secara umum, posisi aktiva luar negeri neto dapat mempengaruhi neraca
transaksi berjalan melalui dua cara. Pertama, sebuah negara yang memiliki aktiva
luar negeri neto yang tinggi akan memperoleh keuntungan dari pendapatan
investasinya di luar negeri. Dari perspektif tabungan dan investasi, peningkatan
pendapatan dari luar negeri akan berdampak positif bagi neraca transaksi berjalan.
Sehingga secara teori hubungannya positif terhadap transaksi berjalan. Kedua,
karena penjumlah current account dan capital account harus sama dengan nol,
dalam kondisi rejim nilai tukar mengambang, nilai aktiva luar negeri neto yang
lebih tinggi akan mampu menanggung defisit perdagangan yang lebih tinggi pada
suatu periode tertentu. Hal ini berpotensi menyebabkan hubungan yang negatif
antara nilai aktiva luar negeri neto dengan neraca transaksi berjalan. Namun
secara umum, model makroekonomi yang ada memprediksikan bahwa efek yang
pertama lebih kuat, hal ini juga didukung oleh bukti-bukti empiris (Chinn dan
Prassad 2000)
2. Derajat keterbukaan ekonomi (openness)
Nilai perdagangan luar negeri dihitung dari penjumlahan nilai ekspor dan
impor. Nilai ini tidak saja menggambarkan derajat keterbukaan dari suatu
perekonomian namun lebih jauh lagi bisa merefleksikan kebijakan makroekonomi
jangka panjang. Sebagai contoh, keterbukaan ekonomi bisa menggambarkan
derajat liberalisasi perdagangan, penerimaan terhadap transfer teknologi, dan
kemampuan mengelola hutang luar negeri melalui pendapatan ekspor. Variabel ini
juga menggambarkan tingkat hambatan perdagangan yang dimiliki oleh suatu
perekonomian yang bisa menghalangi barang dan jasa dari luar negeri untuk
masuk. Perekonomian yang cenderung lebih terbuka akan lebih menarik bagi
modal asing untuk masuk. Konsekuensinya, keterbukaan ekonomi memiliki
hubungan yang negatif terhadap neraca transaksi berjalan (Chinn dan Prassad
2000).
3. Nilai tukar riil
Variabel ini dapat mempengaruhi transaksi berjalan melalui dua cara.
Yang pertama, dari perspektif tabungan-investasi, peningkatan nilai tukar riil bisa
menurunkan rasio tabungan karena meningkatknya daya beli mata uang domestik
terhadap barang impor. Hal tersebut pada akhirnya akan mendorong pengingkatan
konsumsi sehingga menurunkan tabungan. Kedua, hipotesis pemulusan konsumsi
mengatakan bahwa transaksi berjalan dapat berfungsi sebagai buffer untuk
mempertahankan konsumsi pada saat terjadi shock pendapatan. Sebagai respon
dari meningkatnya nilai tukar riil, suatu perekonomian terbuka lebih memilih
untuk memiliki surplus transaksi berjalan dengan menginvestasikan modalnya di
luar negeri daripada meningkatkan konsumsi domestik. Akibatnya, penguatan
nilai tukar riil bisa menghasilkan peningkatan pada neraca transaksi berjalan

13

(Hermann dan Jochem 2005). Sejauh ini, dampak dari variabel nilai tukar riil
hanya dapat ditentukan berdasarkan penelitian empiris.
4. Relatif Output riil
Didalam hipotesis yang dikembangkan oleh Debelle dan Faruqee (1996)
mengatakan bahwa pada saat pendapatan relatif masih rendah, sebuah
perekonomian cenderung akan menerapkan defisit neraca transaksi berjalan.
Kebijakan ini diterapkan dengan mengharapkan datangnya modal luar negeri
untuk membiayai pembangunan. Pada tahap berikutnya, setelah tercipta
peningkatan pendapatan relatif yang cukup tinggi, perekonomian tersebut akan
menerapkan kebijakan surplus neraca transaksi berjalan untuk membayar
kewajiban hutangnya serta mengekspor modal ke luar negeri. Secara umum,
hubungan antara pendapatan relatif terhadap transaksi berjalan diharapkan positif.
Tinjauan Empiris
Calderon, Chong, dan Loayza (1999) meneliti perilaku neraca transaksi
berjalan pada 44 negara-negara berkembang dengan menggunakan data tahunan
dari tahun 1966-1995. Model ekonometrik sederhana digunakan untuk
membedakan efek sementara dan efek permanen dari variabel eksternal dan
internal yang diteliti terhadap neraca transaksi berjalan. Hasil temuannya, sebagai
berikut; (i) defisit neraca transaksi berjalan bersifat persisten, (ii) kenaikan output
domestik akan meningkatkan defisit neraca transaksi berjalan, (iii) peningkatan
tabungan nasional memiliki efek positif terhadap neraca transaksi berjalan, (iv)
adanya shok sementara pada penguatan nilai tukar riil akan berdampak pada
peningkatan defisit neraca transaksi berjalan namun efek ini tidak bersifat
permanen, dan yang terakhir (iv) pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada negaranegara maju akan mengurangi defisit neraca transaksi berjalan di negara-negara
berkembang.
Chinn dan Prassad (2000) mengulas neraca transaksi berjalan sebagai
dampak dari variasi pada struktur variabel makroekonomi yang
mempengaruhinya. Sampelnya meliputi 71 negara maju dan 18 negara
berkembang menggunakan data tahunan selama periode 1971-1995.
Menggunakan metode panel regresi, penelitian ini ingin menangkap hubungan
hubungan jangka menengah dari variabel-variabel makroekonomi terhadap neraca
transaksi berjalan. Variabel yang diteliti meliputi, anggaran belanja
pemerintah,pendapatan relatif, rasio dependensi, pertumbuhan ekonomi, term of
trade, arus modal masuk, derajat keterbukaan, serta stok awal aset luar negeri.
Menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi mempunyai hubungan positif yang
kuat dengan neraca transaksi berjalan di negara-negara maju. Disisi lain, derajat
ketebukaan ekonomi berdampak negatif bagi neraca transaksi berjalan pada
negara-negara berkembang.
Gruber dan Kamin (2005) membahas tentang sebab-sebab terjadinya
ketidakseimbangan global yang berdampak pada neraca transaksi berjalan.
Ketidakseimbangan yang dimaksud adalah semakin besarnya defisit transaksi
berjalan di Amerika Serikat sementara negara-negara Asia, seperti China,
Hongkong, Korea, Indonesia, dan Thailand, terus mengalami surplus neraca
transaksi berjalan. Menggunakan sampel penelitian untuk 61 negara selama
periode 1982-2003. Metode yang digunakan adalah model regresi panel, dan

14

faktor-faktor determinannya meliputi, pendapatan perkapita, pertumbuhan relatif,
neraca fiskal, faktor demografi, dan keterbukaan ekonomi. Menyimpulkan bahwa
faktor-faktor determinan tersebut berpengaruh positif terhadap neraca transaksi
berjalan. Namun modelnya diakui tidak mampu menjelaskan mengapa terjadi
defisit di AS dan surplus di negara-negara Asia pada pada periode 1997-2003.
Sugema (2005) mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi neraca
perdagangan Indonesia dan upaya penyesuaian terhadap krisis yang terjadi.
Menggunakan data triwulanan selama periode 1984-1997 dianalisis dengan
metode OLS dan pendekatan kointegrasi. Variabel yang diteliti meliputi; ekspor,
impor, GDP riil, world income, nilai tukar riil, dan tingkat harga domestik.
Menyimpulkan bahwa kebijakan devaluasi nilai tukar merupakan cara yang tepat
untuk memperbaiki defisit perdagangan karena akan menekan impor dan
meningkatkan ekspor. Kesimpulan ini didukung oleh nilai elastisitas impor
terhadap perubahan nilai tukar yang lebih besar dibandingkan ekspor. Penelitian
ini juga melihat efek dinamik jangka pendek dan jangka panjang dari variabelvariabel yang diteliti terhadap nilai ekspor dan impor.
Aristovnik (2006) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi defisit
transaksi berjalan di negara-negara pecahan Uni Soviet. Faktor-faktor tersebut
dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal meliputi pertumbuhan ekonomi,
pendapatan relatif, neraca pemerintah, dan rasio dependensi. Sedangkan faktor
eksternal meliputi derajat keterbukaan, nilai tukar riil terms of trade, dan hutang
luar negeri. Menyimpulkan bahwa terdapat persistensi pada neraca transaksi
berjalan yang defisit. Selain itu, penelitian ini juga menyimpulkan bahwa
pertumbuhan ekonomi akan berdampak negatif terhadap neraca transaksi berjalan
sebagai akibat dari investasi yang melebihi saving.
Chinn dan Ito (2007) mencoba menjelaskan pergerakan positif dari
transaksi berjalan di negara berkembang setelah tahun 1997. Menggunakan dasar
dari penelitian sebelumnya oleh Chinn dan Prasad (2000), mereka menemukan
bahwa faktor demografi dan pendapatan saja tidak mampu menjelaskan
pergerakan positif dari transaksi berjalan di negara Asia. Mereka mengungkapkan
bahwa interaksi permasalahan hukum dan perkembangan finansial berperan
penting dalam menjelaskan keluarnya modal dari Asia. Mereka berpendapat
bahwa kekurangan kesempatan investasi bukan kelebihan tabungan yang
membantu pemulihan neraca transaksi berjalan.
Bitzis, Pelolgos, dan Papazoglou (2008) mengadakan studi tentang faktor
yang mempengaruhi neraca transaksi berjalan di Yunani. Menggunakan metode
Johansen Cointegration analysis dan ECM dengan data triwulan selama periode
1995Q1-2006Q4. Menyimpulkan bahwa dalam jangka panjang derajat
keterbukaan, nilai tukar riil , tingkat bunga riil dan ekspansi fiskal berkontribusi
terhadap besarnya defisit anggaran. Sedangkan defisit anggaran pemerintah tidak
memiliki dampak yang besar terhadap neraca transaksi berjalan.
Yang (2011) meneliti tentang transaksi berjalan di delapan negara Asia,
yakni China, Hongkong, India, Korea, Malaysia, Filipina, Singapura, dan
Thailand. Membahas faktor-faktor yang mempengaruhi neraca transaksi berjalan
yang meliputi variabel makroekonmi yang berkaitan dengan faktor eksternal,
meliputi aktiva luar negeri neto (nett foreign asset), derajat keterbukaan
(opennes), nilai tukar riil, dan GDP riil. Dengan menggunakan metode analisis
Vector Error Correction Model, penelitiannya berupaya menangkap hubungan

15

keseimbangan jangka panjang dan hubungan dinamis jangka pendek antara
variabel-variabel tersebut dengan neraca transaksi berjalan. Kesimpulan yang
diperoleh adalah keseluruhan variabel yang diteliti memiliki hubungan jangka
panjang dengan neraca transaksi berjalan untuk seluruh negara sampel kecuali
China. Selain itu, hubungan jangka pendek menunjukkan hasil yang berbedabeda. Hasil dari seluruh sampel negara menunjukkan bahwa aktiva luar negeri
tidak memiliki hubungan jangka pendek yang signifikan kecuali untuk Hongkong
dan Thailand yang berdampak negatif terhadap transaksi berjalan. Efek jangka
pendek dari derajat keterbukaan ekonomi (opennes) signifikan hanya untuk tiga
negara, yaitu malaysia yang berefek negatif, sedangkan India dan Thailand
berdampak positif. Variabel yang ketiga, yakni nilai tukar riil, berdampak negatif
dan signifikan untuk Korea, India, dan Thailand. Variabel GDP riil berdampak
negatif dan signifikan hanya untuk kasus Thailand.
Clower dan Ito (2011) mengkaji tentang persistensi dan faktor-faktor yang
mempengaruhi neraca transaksi berjalan di 70 negara sampel menggunakan model
panel data. Metode analisis yang digunakan meliputi Markov-Switching ADF
estimation untuk mengatasi masalah akar unit, Analisis Probit dan Estimasi OLS.
Hasil penelitiannya mengungkap bahwa derajat keterbukaan ekonomi, nett foreign
assets dan pembangunan sektor finansial memiliki pengaruh yang positif terhadap
neraca transaksi berjalan pada sebagian besar negara sampel. Kesimpulan lainnya
adalah bahwa rezim nilai tukar bukanlah faktor utama terhadap persistensi neraca
transaksi berjalan, namun rezim fixed exchange rate lebih cenderung membuat
negara berkembang memiliki neraca transaksi berjalan yang fluktuatif.
Gosse dan Seranito (2012) meneliti 21 negara-negara OECD. Model
VECM menunjukkan bahwa kecepatan penyesuaian terhadap ketidakseimbangan
global lebih cepat terjadi pada negara-negara yang menganut defisit neraca
transaksi berjalan dibandingkan yang surplus.

Kerangka Pemikiran
Terjadinya defisit neraca transaksi berjalan pada kurun waktu dua tahun
terakhir telah mengundang banyak kekhawatiran dari berbagai kalangan. Neraca
transaksi berjalan yang selama satu dekade mengalami surplus bergeser menjadi
defisit. Sebagian kalangan menganggap hal tersebut sebagai fenomena sementara
akibat dari peningkatan permintaan agregat sebagai imbas dari pertumbuhan
konsumsi domestik dan peningkatan kinerja sektor industri manufaktur.
Sementara itu sebagian yang lain menganggapnya sebagai sinyal waspada yang
bila tidak disikapi dengan tepat dapat mengantarkan Indonesia kepada krisis
ekonomi.
Penghitungan neraca transaksi berjalan terdiri atas, neraca perdagangan
barang dan jasa (trade balance), nilai pendapatan bersih (nett income), dan nilai
transfer bersih (nett transfer). Perubahan pada ketiga nilai tersebut akan secara
langsung menentukan naik turunnya nilai transaksi berjalan. Oleh karenanya
neraca transaksi berjalan merupakan bagian dari suatu sistem ekonomi yang saling
terkait. Perubahan nilai transaksi berjalan merupakan akibat dari perubahan
kondisi perekonomian secara umum yang terdiri atas banyak faktor. Faktor-faktor
yang mempengaruhi perubahan neraca transaksi berjalan diantaranya meliputi

16

perubahan output riil, perubahan nilai tukar riil, keterbukaan ekonomi, dan
perubahan pada nilai aktiva luar negeri neto.
Variabel-variabel makroekonomi mempengaruhi neraca transaksi berjalan
dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Nilai aktiva luar negeri neto akan
mempengaruhi neraca transak