Penentuan Waktu Optimal Kawin Berdasarkan Ultrasonografi Ovarium Dengan Gejala Klinis Estrus Dan Sitologi Vagina Pada Kambing Peranakan Etawa
PENENTUAN WAKTU OPTIMAL KAWIN BERDASARKAN
ULTRASONOGRAFI OVARIUM DENGAN GEJALA KLINIS
ESTRUS DAN SITOLOGI VAGINA PADA KAMBING
PERANAKAN ETAWA
YUDI EKA SATRIA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul penentuan waktu optimal
kawin berdasarkan ultrasonografi ovarium dengan gejala klinis estrus dan sitologi
vagina pada kambing peranakan etawa adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2015
Yudi Eka Satria
NIM B352120071
RINGKASAN
YUDI EKA SATRIA. Penentuan Waktu Optimal Kawin Berdasarkan
Ultrasonografi Ovarium Dengan Gejala Klinis Estrus dan Sitologi Vagina Pada
Kambing Peranakan Etawa. Dibimbing oleh TUTY LASWARDI YUSUF dan
AMROZI.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan waktu optimal kawin
pada kambing Peranakan Etawa (PE). Penelitian ini menggunakan 10 ekor kambing
betina, berusia 2-3 tahun yang memiliki siklus estrus yang normal. Inisiasi estrus
menggunakan Implant Controlled Internal Drug Release (CIDR) secara intra vagina
dan dilepas 12 hari setelah pemasangan. Perkembangan folikel dalam ovarium,
diamati menggunakaan ultrasonografi (USG) secara transrektal setiap 6 jam sampai
66 jam setelah pelepasan CIDR. Gejala diam dinaiki dan gejala klinis vulva juga
diamati seiring pengamatan USG. Gambaran folikel dibagi menjadi 3 kelompok
berdasarkan diameter : kecil (≤ 3 mm), sedang (4-4.9 mm) dan besar (≥ 5 mm) yang
diamati selama fase estrus. Ovulasi diperkirakan telah terjadi ketika folikel besar
(folikel dominan) tidak terlihat lagi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah
rata-rata folikel pada ovarium setelah pelepasan CIDR jam ke 36 adalah 0-1
(0.8±0.4 mm) folikel kecil, 0-1 (0.9±0.6 mm) folikel sedang, dan 1-2 (1.7±0.8 mm)
folikel besar. Folikel besar (7-8 mm) terlihat 36 jam setelah pelepasan CIDR atau
24 jam setelah diam dinaiki. Setelah 42 jam pelepasan CIDR, folikel besar tidak
terlihat lagi.
Disimpulkan bahwa ovulasi terjadi pada 36-42 jam setelah pelepasan CIDR
atau 24-30 setelah diam dinaiki. Hubungan antara perkembangan folikel dengan
perubahan gejala klinis vulva (kemerahan, kebengkak, dan intensitas lendir)
menunjukan gejala klinis tinggi (+++) terlihat pada 36-42 jam setelah pelepasan
CIDR. Gejala klinis yang optimal berkaitan dengan hasil sitologi vagina, yang
menunjukkan persentase lebih tinggi (44,6%-48.6%) dari sel epitel superfisial
pengamatan jam 30-48 dengan jumlah tertinggi jam 36 (60.3%). Disimpulkan
bahwa waktu ovulasi terjadi 36-42 jam setelah pelepasan CIDR, dengan intensitas
gejala klinis yang optimal (kemerahan, bengkak, lendir) dan persentase tertinggi sel
superfisial diamati dari sitologi vagina. Dengan demikian, waktu optimal kawin
pada kambing Etawa adalah pada 24 sampai 30 jam dari diam dinaiki atau 36
sampai 42 jam setelah pencabutan CIDR.
Kata kunci: Ultrsonografi, Folikel, Kambing Peranakan Etawa, CIDR
SUMMARY
YUDI EKA SATRIA. Determination of Optimal Mating Time Based on Ovary
Ultrasonography with Estrous Clinical Symptoms and Vaginal Cytology of Etawa
Crossbred Goat. Supervised by TUTY LASWARDI YUSUF and AMROZI.
The aim of this study was to determine the optimal mating time in Etawa
Crossbred Goat (PE). This study used 10 ewes, 2-3 years old, with normal estrous
cycle. Initiation of estrus using Controlled Internal Drug Release (CIDR) implants
intra vagina and released after 12 days. The development of follicles in the ovaries
are observed using transrectal ultrasonography (USG) every 6 hours until reach
for 66 hours after CIDR removal from the vagina. Clinical sign of standing heat
and vulva sign were also observed while USG observation. The follicles were
divided into 3 groups based on diameter, is small ( 5 mm) has been observed in estrous phase. Ovulation was predicted when
large follicles (dominant follicles) has not seen anymore. The result showed that
the average follicles number in ovary after 36 hours CIDR removal were 0-1
(0.8±0.4 mm) small, 0-1 (0.9±0.6 mm) medium and 1-2 (1.7±0.8 mm) large. The
large follicles (7-8 mm) has seen after 36 hours CIDR removal or 24 hours after
standing heat. Forty two hours after CIDR removal, the large follicles has not seen
anymore.
It means, the ovulation were predicted in 36-42 hours after CIDR removal
or 24-30 hours after standing heat. The relationship between follicular development
and clinical vulva sign (redness, swelling, mucus) revealed that the high vulva
(+++) have seen in 36-42 hours after CIDR removal. The optimal clinical signs
were related with the result of vaginal cytology, which showed higher percentage
(44.6%-48.6%) of superficial epithelial cells in 30-48 hours with the highest 36
hours observation (60.3%). It was concluded that the ovulation time occurred in
36-42 hours after CIDR removal, with the optimal intensity of vulva changes
(redness, swollen, mucus) and the highest percentage of superficial cells was
observed from the vaginal cytology. Therefore the optimal mating time in PE 2436 hours of standing heat or 36-42 hours after CIDR removal.
Keywords : Ultrasonography, Follicles, Etawa Crossbred Goat, CIDR
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENENTUAN WAKTU OPTIMAL KAWIN BERDASARKAN
ULTRASONOGRAFI OVARIUM DENGAN GEJALA KLINIS
ESTRUS DAN SITOLOGI VAGINA PADA KAMBING
PERANAKAN ETAWA
YUDI EKA SATRIA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Reproduksi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Drh Bambang Purwantara, MSc PhD
Judul Tesis : Penentuan Waktu Optimal Kawin Berdasarkan Ultrasonografi
Ovarium Dengan Gejala Klinis Estrus dan Sitologi Vagina Pada
Kambing Peranakan Etawa.
Nama
: Yudi Eka Satria.
NIM
: B352120071.
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr drh Tuty Laswardi Yusuf, MS
Ketua
drh Amrozi, PhD
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Biologi Reproduksi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr drh Mohamad Agus Setiadi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 5 Mai
2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah
Penentuan Waktu Optimal Kawin Berdasarkan Ultrasonografi Ovarium Dengan
Gejala Klinis Estrus dan Sitologi Vagina Pada Kambing Peranakan Etawa.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibuk Prof Dr drh Tuty Laswardi. Yusuf,
MS sebagai ketua komisi pembimbing, dan Bapak drh Amrozi, Ph.D selaku
anggota komisi pembimbing atas bimbingannya, perhatian dan nasehat.
Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof
Drh Bambang Purwantara, MSc PhD selaku penguji luar komisi, serta Prof Dr drh
Mohamad Agus Setiadi sebagai Ketua Program Studi serta semua staf pengajar dan
karyawan Program Studi Biologi Reproduksi Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor yang telah membantu dan memberi dukungan kepada penulis
sampai selesainya penyusunan tesis ini.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada drh Dedi R Setiadi MS.i, drh
Mokhamad Fakhrul Ulum MS.i dan Bondan SE dalam penyusunan tesis.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan
seperjuangan pada Program Studi BRP dan IBH 2012.
Rasa hormat dan terima kasih penulis persembahkan kepada Ayahanda
Asmen, S.Pd, Ibunda Delya Gusniwati dan seluruh keluarga atas doa dan kasih
sayangnya. Demikian pula kepada pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu
yang telah memberikan perhatian, saran serta kritik yang membangun penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat untuk mengembangkan sektor
peternakan di Indonesia.
Bogor, Juli 2015
Yudi Eka Satria
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
1
1
1
3
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Siklus Estrus dan Gejala Klinis Estrus
Sinkronisasi Estrus dan Deteksi Estrus
Progesteron (CIDR)
Gambaran Sitologi Ulas Vagina
Penggunaan Ultrasonografi USG
4
4
6
7
8
9
3 METODE
Hewan Percobaan
Bahan dan Alat
Prosedur Penelitian
Prosedur Analisis Data
10
10
10
10
13
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Siklus Estrus Alamiah
Pengamatan Perkembangan Folikel
Perubahan Gejala Klinis Vulva
Gambaran Sitologi Vagina
Hubungan Perkembangan Folikel, Gejala Klinis Estrus dan Sitologi
Vagina
14
14
16
19
21
4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
25
25
25
DAFTAR PUSTAKA
26
RIWAYAT HIDUP
30
24
DAFTAR TABEL
1 Fase-fase siklus estrus beserta ciri-cirinya
2 Klasifikasi
sel
epitel
vagina
kambing
cirinya
beserta
7
ciri-
8
3 Visualisasi respon berahi pada kambing PE setelah pencabutan implant
CIDR
20
4 Gambaran sitologi ulas vagina setelah pelepasan CIDR
22
DAFTAR GAMBAR
1 Alur Tahap Penelitian
2
2 Kambing Peranakan Etawa betina
4
3 Skema gambaran perubahan fisiologis selama siklus estrus pada kambing
pola perkembangan folikel, siklus ovarium dan pengaturan endokrin 5
4 Siklus ovarium
6
5 Klasifikasi sel epitel vagina kambing, (A) Parabasal, (B) Intermediet, (C)
Superficial, Bar = 10μm
9
6 Pemasangan dan pelepasan CIDR selama 12 hari dilanjutkan dengan
pengamatan perkembangan folikel, gejala klinis estrus, sitologi ulas
vagina
11
7 Gambaran Sel Epithel Vagina, (A) Parabasal, (B) intermediet, (C)
superfisial dan cornified
13
8 Rataan jumlah folikel kambing PE yang di sinkronnisasi menggunakan
CIDR (n=10) yang dikelompokkan dalam kelas folikel, ᴓ ≤ 3 mm , ᴓ
4-4.9 mm , dan ᴓ ≥ 5 mm , selama 12 kali pemeriksaan
17
9 Gambaran ultrasonografi folikel (F), korpus luteum (CL) selama 12 kali
pengamatan
18
10 Kemerahan, kebengkakan vulva setelah pencabutan CIDR
20
11 Lendir estrus setelah pencabutan CIDR
21
12 Gambaran sitologi ulas vagina
22
13 Sitologi sel epitel vagina A : Parabasal, B : Intermediet, C : Superficial.
Pewarnaan Giemsa, Bar = 30 µm
23
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Populasi kambing di Indonesia pada tahun 2010 mengalami peningkatan
sebesar 5.08%. Peningkatan tersebut termasuk rendah bila dibandingkan dengan
ternak kecil lainnya seperti domba dan babi (Ditjennak 2012). Hal ini dapat
disebabkan karena sistem reproduksi kambing yang sebagian besar masih
mengandalkan perkawinan alami. Pemanfaatan teknologi inseminasi buatan (IB) di
Indonesia masih belum memasyarakat. Karena sebagian besar sistem peternakan
kambing di Indonesia merupakan peternakan rakyat dengan pola pemeliharaan
yang sangat sederhana.
Hal yang paling krusial dalam IB pada kambing adalah pengamatan estrus.
Kambing mempunyai gejala estrus yang tidak sejelas ternak lain. Selain itu waktu
ovulasi dan waktu optimal kawin pada kambing belum diketahui dengan pasti
karena masih sedikitnya penelitian tersebut. Hal tersebut bardampak pada
rendahnya tingkat keberhasilan IB pada kambing yang berkisar 30-60%
(Budiarsana dan Sutama 2001). Pengamatan estrus pada kambing umumnya
dilakukan dengan mengamati gejala diam dinaiki, sehingga dimungkinkan metode
tersebut dapat juga diaplikasikan untuk penentuan fase estrus pada kambing, oleh
karena itu di butuhkan metode lain yang dapat digunakan sebagai penguat dalam
pengamatan estrus, salah satunya adalah dengan memanfaatkan gejala klinis estrus,
seperti kemerahan vulva, kebengkakan vulva, dan keberadaan lendir vagina.
Metode lain yang juga dapat mendukung yaitu dengan sitologi ulas vagina.
Selain melalui gejala klinis estrus, penentuan waktu optimal kawin dapat juga
dilakukan dengan metode ultrasonografi (USG). Pemeriksaan USG pada fase estrus
ditandai dengan adanya folikel de Graaf, sampai terjadi ovulasi. Metode ini telah
diaplikasikan pada kuda dan hasilnya dapat mendeteksi fase estrus dan waktu
ovulasi terjadi dengan keakuratan 95% (Ivkov et al. 1999), begitu pula pada
pendeteksian fase estrus dan diameter folikel pada anjing (Eker dan Salmanoglu
2006). Penggunaan metode USG dengan melihat perkembangan dan diameter
folikel, ditandai dengan adanya beberapa folikel de Graaf lalu folikel terus
berkembang mencapai diameter maksimal. Saat terjadinya pemecahan folikel de
graaf di tentukan sebagai waktu ovulasi.
Hubungan antara pemeriksaan USG, gejala klinis estrus dan gambaran
sitologi ulas vagina, diharapkan dapat menentukan waktu optimal kawin sehingga
dapat meningkatkan potensi keberhasilan kawin alami maupun kawin IB. Jika hal
tersebut terjadi maka akan berdampak positif terhadap usaha peningkatan populasi
kambing.
Perumusan Masalah
Penelitian ini dilakukan dengan pemberian hormon progesteron (CIDR)
untuk inisiasi estrus, sekaligus mengamati perkembangan folikel melalui USG
untuk menentukan waktu optimal kawin yang dihubungkan dengan gejala klinis
estrus yaitu perubahan vulva dan sitologi vagina (Gambar 1).
2
Perkembangan folikel dalam ovarium dapat dideteksi melalui ultrasonografi
(USG), dengan mengukur diameter folikel sampai mencapai folikel de Graaf.
Hilangnya gambaran folikel besar diprediksi telah terjadi ovulasi.
Folikel yang berkembang terjadi di dalam ovarium, dimana akan dihasilkan
hormon estrogen yang berdampak terjadinya estrus dengan ditandai gejala diam
dinaiki, kemerahan, kebengkakan vulva dan keberadaan lendir vagina. Pengaruh
hormon dalam fase estrus, menyebabkan perubahan sel epithel vagina yang dapat
dianalisa melalui pembuatan preparat sitologi ulas vagina.
Perhitungan waktu optimal kawin, pada saat estrus yaitu dengan melihat
perkembangan folikel sampai tercapai folikel berdiameter besar (folikel de Graaf)
sampai terjadinya ovulasi. Hal tersebut dihubungkan dengan gejala klinis etrus dan
sitologi vagina.
Gambar 1 Alur Tahap Penelitian
3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui waktu optimal kawin pada
kambing PE berdasarkan :
1. Perkembangan folikel dalam ovarium sampai hilangnya folikel de Graaf
pada fase estrus setelah pemasangan CIDR (progesteron) sebagai inisiasi
estrus.
2. Menghubungkan perkembangan folikel, gejala klinis estrus diam dinaiki
dan perubahan gejala klinis vulva.
3. Menghubungkan perkembangan folikel dengan hasil sitologi vagina.
Manfaat Penelitian
Mendapatkan waktu optimal kawin pada kambing PE setelah terlihatnya
gejala estrus baik secara alamiah atau menggunakan implant CIDR (progesteron)
secara intra vagina.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Siklus Estrus dan Gejala Klinis Estrus
Kambing Peranakan Etawa (PE) merupakan hasil persilangan antara kambing
Jamnapari (Etawah) dengan kambing kacang (Gambar 2). Kambing PE memiliki
ciri-ciri bertubuh besar, kedua telinga panjang dan menggantung dengan kisaran
18-30 cm, hidungnya melengkung cembung, dan khusus kambing jantan
mempunyai jenggot dengan rahang bawah menonjol. Bobot kambing jantan dewasa
mempunyai kisaran 35-50 kg, sedangkan bobot kambing betina dewasa kisarannya
30-35 kg.
Gambar 2 Kambing Peranakan Etawa betina
Siklus reproduksi pada hewan betina diawali dengan tercapainya pubertas,
bersiklus normal, bunting dan partus. Siklus estrus mulai terjadi saat betina sudah
mengalami dewasa kelamin (pubertas), ketika ovarium mengalami proses
perkembangan folikel (folikulogenesis) dan pematangan oosit primer. Folikel dan
oosit primer pada tahapan ini telah memiliki kemampuan memberikan respons
terhadap rangsangan hormon gonadotropin (Senger 2003; Bartlewski et al. 2001;
Fatet et al. 2011).
Kambing betina dikatakan dewasa ketika mengalami siklus estrus pertama
kali, terjadi pada umur 8-12 bulan. Kambing kacang mencapai pubertas pada umur
6 bulan dan menghasilkan anak pada umur 12 bulan, anak yang dilahirkan
umumnya kembar (Sodiq dan Abidin 2002). Rata-rata panjang siklus estrus
kambing menurut (Fatet et al. 2010) adalah 20-21 hari dengan lama estrus 24-48
jam, sedangkan menurut (Giminez dan Rodning 2007) adalah 18-22 hari dengan
lama estrus 24-48 jam. Menurut (Mulyono 2003) siklus estrus kambing adalah 2021 hari.
5
Gejala klinis estrus kambing, diantaranya betina akan mencari-cari pejantan
(Meredith 1995), gelisah, sering bersuara dengan volume keras, mengibasngibaskan ekor secara konstan, vulva bengkak dan kemerahan, area di sekitar ekor
terlihat basah dan kotor, nafsu makan berkurang dan frekuensi urinasi meningkat
(Luginbuhl 2002). Hasil penelitian Ismail (2009) melaporkan bahwa umur
berpengaruh terhadap onset dan intensitas estrus pada ternak kambing. Ternak yang
sudah pernah melahirkan lebih dari satu kali memperlihatkan gejala estrus lebih
awal dan penampakan estrus yang sangat jelas. Ternak yang belum pernah
melahirkan memperlihatkan onset estrus lambat dan intensitas estrus yang kurang
jelas.
Pada saat estrus, cervix dan uterus akan mensekresikan lendir yang berfungsi
untuk mengontrol dan mempercepat proses migrasi sperma (Fatet et al. 2010).
Menurut (Smith dan Sherman 2009) lendir tersebut akan berubah menjadi semakin
kental dan berwarna putih menjelang akhir estrus. Siklus estrus terdiri atas 4 periode
yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Periode proestrus dan estrus dikenal
sebagai fase folikuler atau estrogenik. Pada periode ini terjadi proses
folikulogenesis dan hormon steroid didominasi oleh estrogen. Periode metestrus
dan diestrus dikenal sebagai fase luteal atau progesteronik. Pembentukan CL
dimulai dan keberadaannya tetap dipertahankan hingga akhir periode diestrus,
hormon steroid yang dominan pada periode ini ialah progesteron (Senger 2003;
Peter et al. 2009; Fatet et al. 2011) (Gambar 3).
Gambar 3 Skema gambaran perubahan fisiologis selama siklus estrus pada kambing
pola perkembangan folikel, siklus ovarium dan pengaturan endokrin
(Fatet et al. 2010)
6
Sinkronisasi Estrus dan Deteksi Estrus
Sinkronisasi estrus ialah upaya penyerentakan fungsi progesteron dalam
darah dengan cara memperpendek atau memperpanjang satu siklus estrus (fase
luteal) sekelompok ternak betina, sehingga respons estrus diperlihatkan dalam
waktu yang relatif serentak (Tabel 1). Protokol sinkronisasi estrus sangat membantu
dalam pelaksanaan teknik reproduksi, terutama inseminasi buatan (Inounu 2014).
Sinkronisasi estrus dapat dicapai dengan menggunakan pemberian hormon
progesteron (Abecia et al. 2011). Abecia et al. (2011) mengungkapkan mekanisme
kerja hormon dalam sinkronisasi estrus dapat meniru kegiatan CL (progesteron atau
berbasis progestagen) atau menghilangkan CL yang selanjutnya akan menginduksi
fase folikuler hingga terjadi ovulasi (Gambar 4).
Deteksi estrus pada kambing dapat dilakukan secara visual atau melihat
perubahan fisik vulva. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Widiyono dan Sarmin
(2012) menyatakan bahwa perubahan gambaran fisik vulva yang khas pada
kambing bligon sepanjang siklus estrus hanya ditemukan pada saat hewan estrus.
Gambaran fisik tersebut tampak jelas ketika betina menunjukkan tingkah laku
berupa kesediaan untuk dinaiki pejantan (sexual receptivity) dan atau berusaha
mengejar dan menaiki pejantan serta mengibas-ibaskan ekor. Pada kondisi itu alat
kelamin luar (vulva) membengkak, terlihat lendir vagina yang bersifat bening dan
viscous keluar dari vulva, serta terjadi perubahan warna mukosa vulva dari merah
muda menjadi kemerahan.
Gambar 4 Siklus ovarium (Senger 2003)
7
Tabel 1 Fase-fase siklus estrus beserta ciri-cirinya
Siklus ovarium
Ciri-ciri
Fase follikuler
Fase ovulasi
Fase luteal
(Senger 2003)
Hari 1 sampai hari 10, hormon LH dan FSH tinggi dan 1
folikel yang akan dominan yang lainnya atresia. Hari 10-14,
dengan bertambahnya ukuran folikel maka terbentuk antrum
sehingga folikel primer berubah menjadi folikel de Graaf.
Dengan tingginya kadar estrogen maka umpan balik untuk
menurunkan kadar LH dan FSH.
Hari 14 ovulasi terjadi. Sebelum ovulasi kadar hormon LH
dan FSH menurun karna umpan balik dan di imbangi dengan
kadar hormon progresteron yang meningkat. sel telur
bergerak oleh gerakan peristaltik untuk terjadinya pembuahan
oleh sperma.
Hari 15 sampai hari 28 setelah terjadi ovulasi, sel-sel
granulosa dari dinding folikel mengalami perubahan menjadi
korpus luteum. Kemudian menjadi kospus luteum
graviditatum, korpus albikan. Kadar hormon gonadrotopin
tetap rendah sampai terjadi regresi korpus luteum hari 26-28,
dan bia terjadi konsepsi dan implantasi koepus luteum tidak
akan regresi karna di pertahankan oleh gonadotropin yang di
produksi oleh tropoblas
Progesteron (CIDR)
Progesteron ditransportasikan kedalam darah melalui ikatan pada globulin
seperti androgen dan estrogen. Konsentrasi progesteron serum darah dapat
menentukan keadaan hewan tersebut dalam keadaan infertil, normal, berahi, dan
bunting sehingga dapat digunakan untuk deteksi estrus, pemeriksaan kebuntingan
dan mengetahui kondisi patologis lainnya (Hartantyo 1995). Progesteron berfungsi
menjaga kebuntingan dengan cara mempersiapkan uterus untuk implantasi melalui
peningkatan glandula sekretori didalam endometrium dan menghambat kontraksi
miometrium (Senger 2003). Progesteron beraksi secara sinergik dengan estrogen
untuk menginduksi tingkah laku estrus. Perbedaan jumlah progesteron akan
mengakibatkan perbedaan perkembangan folikel di ovarium sehingga dengan
adanya sinkronisasi estrus akan menghomogenkan jumlah progesteron pada
kambing betina (Menchaca et al. 2007). Meningkatnya jumlah folikel yang
mengalami ovulasi akan meningkatkan jumlah korpus luteum yang pada akhirnya
akan meningkatkan jumlah konsentrasi hormon progesteron (Siregar 2002).
Hormon progesteron akan menurun pada saat estrus sampai pada kadar basal (Hafez
dan Hafez 2000).
Controlled Internal Drug Release (CIDR) adalah suatu alat intravaginal yang
melepaskan progesteron untuk stimulasi siklus estrus dan pengendalian siklus pada
kambing. CIDR yang dibuat oleh Pfizer Australia Pty Ltd mempunyai rangka
dengan tubular T-shape dari bahan dasar nilon dan diselubungi oleh silicon
elastomer yang dipergunakan luas pada implan manusia maupun pengobatan
hewan. Elastomer bersifat inaktif dan tidak mengiritasi membran mukosa yang
8
sensitif seperti epitel vagina. CIDR mengandung 0.3 gram progesteron alami yang
dikeluarkan secara bertahap dalam aliran darah melalui difusi dari karet silicon
yang dilapisi nilon dan dicelupkan dalam larutan progesteron, dibentuk disesuaikan
untuk diintroduksi ke dalam vagina. Prinsip CIDR sebagai sumber progesteron
eksogenous diserap oleh vagina kedalam darah untuk memelihara level progesteron
sehingga menekan pengeluaran LH dan FSH dari hypothalamus selama waktu yang
direkomendasikan sesuai program.
Hormon progesteron yang diperoleh dari Penanaman CIDR sangat besar
Pengaruhnya pada kambing fase luteal. Jumlah progesteron yang lebih banyak akan
menstimulasi terjadinya pergantian folikel (Menchaca dan Rubianes 2001) dan bisa
menyebabkan pergantian folikel dominan (Diskin et al. 2002). Perbedaan
perkembangan folikel akan mempengaruhi pematangan folikel dan waktu ovulasi
(Burke et al. 2001). Penggunaan CIDR pada kambing hampir sama dengan domba
(Fukui et al. 1994) dimana tingkat kebuntingan dan beranak dari domba yang
ditreatment dengan CIDR kemudian diinseminasi dengan semen beku
menunjukkan bahwa tingkat kebuntingan tertinggi pada perlakuan dengan
penanaman CIDR selama 12 hari, yang dideteksi berdasarkan level progesteron
yang ada yaitu 91,2%.
Gambaran Sitologi Vagina
Gambaran hasil pembuatan preparat ulas sitologi ulas vagina berbeda pada
tiap-tiap fase. Hal ini dikarenakan kambing mempunyai gambaran sitologi ulas
vagina yang jelas dan khas pada masing-masing fase siklus estrus (Gambar 5).
Secara umum sel epitel vagina kambing dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe sel,
yaitu sel parabasal, sel intermediet, dan sel superfisial (Tabel 2).
Table 2 Klasifikasi sel epitel vagina kambing beserta ciri-cirinya
Jenis Sel Epitel
Ciri-ciri
Parabasal
Sel paling kecil, bulat, inti besar dan jelas,
umumnya bergerombol saling berdekatan
Intermediet
Awal
Akhir
Superfisial
Piknotik
Anucleus / kornifikasi
Sumber : Beimborn et al. (2003)
Diameter lebih besar dari pada parabasal, bentuk
bulat atau oval, inti mencolok besar
Diameter lebih besar dari pada parabasal, bentuk
polygonal, inti lebih kecil
Sel paling besar, bentuk polygonal, inti sangat
kecil
Sel paling besar, bentuk polygonal, tanpa inti
9
Gambar 5 Klasifikasi sel epitel vagina kambing, (A) Parabasal, (B) Intermediet, (C)
Superficial Pewarnaan Giemsa, Bar = 30 µm (Bowen 2006)
Penggunaan Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi bekerja dengan cara merekam transmisi gelombang suara yang
berasal dari organ target yang dilihat pada satu waktu. Gelombang suara yang dapat
digunakan untuk melakukan pemeriksaan dengan ultrasonografi ialah 1-10 MHz
(Jainudeen dan Hafez 2000; Lavin 2007). Frekuensi yang dipakai dalam pemakaian
USG adalah 2.5-5.0 Mhz dikarenakan makin rendah frekuensi daya penetrasi pun
makin dalam, sehingga didapatkan gambar organ yang diinginkan (Noviana et al.
2012). Frekuensi ini berdasarkan tingkat penetrasi yang diharapkan untuk
menembus jaringan target dan resolusi yang ditampilkan pada layar monitor.
Pada frekuensi rendah akan diperoleh tampilan detail yang kurang baik tetapi
penetrasi jaringan yang lebih baik, sedangkan pada frekuensi yang tinggi akan
diperoleh tampilan detail yang baik tetapi kedalaman penetrasi jaringan yang
kurang baik (Lavin 2007). Transduser dengan frekuensi 3.5 MHz baik digunakan
untuk ultrasonografi secara trans-abdominal pada kambing, domba dan babi.
Transduser dengan frekuensi 5.0-7.5 MHz baik digunakan untuk ultrasonografi
secara transrektal pada ternak kuda, sapi serta domba (Jainudeen dan Hafez 2000).
Mannion (2006) membagi gambaran ultrasonografi menjadi tiga yaitu putih
(hyperechoic), abu-abu (hypoechoic) dan hitam (anechoic).
Hyperechoic menampilkan warna putih pada sonogram atau memperlihatkan
echogenitas yang lebih tinggi dibandingkan sekelilingnya, contohnya tulang, udara,
kolagen dan lemak. Hypoechoic akan menampilkan warna abu-abu gelap pada
sonogram atau memperlihatkan area dengan echogenitas lebih rendah jika
dibandingkan dengan sekelilingnya, contohnya jaringan lunak.
Anechoic menampilkan warna hitam pada sonogram dan memperlihatkan
transmisi penuh dari gelombang, contohnya cairan. Gambaran ultrasonografi yang
terlihat ditentukan oleh ketebalan jaringan. Semakin tebal (padat) suatu jaringan
maka semakin banyak gelombang yang dipantulkan sehingga semakin terang
(putih) tampilan pada layar monitor. Tulang akan berwarna putih sedangkan cairan
akan berwarna gelap (Jainudeen dan Hafez 2000; Lavin 2007).
METODE
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dari September 2013 hingga Juli tahun
2014 yang bertempat di kandang kambing perah Fakultas Peternakan IPB dan di
10
laboratorium Unit Rehabilitasi Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor.
Hewan Percobaan
Penelitian ini menggunakan 10 ekor kambing betina PE dengan umur 2-3
tahun, berat badan 35±5 kg, pernah melahirkan, dan bersiklus estrus normal,
Kambing tidak dalam keadaan bunting dan memiliki Body Condition Score (BCS)
3 (Suhartono et al. 2008). Kambing dipelihara dalam kandang 1,00 × 1,50 m2,
diberikan pakan konsentrat 1 kghari-1, hijauan dan legum 2 kghari-1, air diberikan
secara ad libitum dan diberi obat cacing, multivitamin sebelum dilakukan penelitian.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan ialah ultrasonografi ALOKA model SSD-500 (ALOKA
Co.LTD, Jepang) yang dilengkapi dengan linear probe 7.5 MHz (ALOKA Co.LTD,
Jepang). Gambar hasil pengamatan berupa foto yang dicetak dengan termal printer
(SONY UP-895 MD, Jepang). Linear probe dimodifikasi dengan menambahkan
gagang sepanjang 30 cm sehingga dapat digunakan secara per rectal. Bahan yang
digunakan Hormon Eazi-Breed™CIDR® (Pfizer Australia Pty Ltd berisi 0,3 g
progesteron) untuk singkronisasi estrus.
Prosedur Penelitian
Kegiatan penelitian ini terdiri dari :
1.
2.
3.
4.
5.
Siklus Estrus Alamiah.
Pemasangan Hormon Eazi-Breed™CIDR® .
Pengamatan perkembangan folikel dalam ovarium menggunakan USG.
Pengamatan gejala klinis estrus diam dinaiki dan gejala klinis vulva.
Pengamatan sitologi ulas vagina.
Siklus Estrus Alamiah
11
Kambing yang bersiklus estrus normal diamati selama dua siklus terhadap
Intensitas gejala klinis estrus yaitu: kemerahan, kebengkakan, lendir vagina,
gejala diam dinaiki yang dibedakan menjadi :
+ : Kemerahan dan kebengkakan kurang nyata, lendir sedikit, terlihat DD
++ : Kemerahan dan kebengkakan sedang, lendir cukup tapi tidak keluar,
terlihat DD.
+++ : Kemerahan dan kebengkakan mencolok, lendir banyak terlihat keluar,
terlihat DD.
Lamanya siklus estrus (hari) : dihitung sejak kambing memperlihatkan
gejala diam dinaiki sampai gejala diam dinaiki berikutnya.
Lamanya estrus (jam) : terhitung mulai terlihatnya gejala diam dinaiki,
adanya gejala klinis vulva sampai kambing tidak mau dinaiki lagi dan gejala klinis
vulva tidak nyata. Pejantan pengusik dimasukan kedalam kandang kambing betina
dengan pemasangan apron terlebih dahulu.
Pemasangan Hormon Eazi-Breed™CIDR®
Inisiasi estrus dilakukan dengan menggunakan implan Hormon EaziBreed™CIDR® yang dipasang selama 12 hari secara intravagina (gambar 6).
Pengamatan perkembangan folikel, gejala klinis estrus dan sitologi ulas
vagina dilakukan setelah pencabutan CIDR setiap 6 jam sampai akhir estrus atau
tidak terlihat lagi gejala diam dinaiki dan diteruskan sampai mencapai 66 jam (akhir
pengamatan).
Gambar 6 Pemasangan dan pelepasan CIDR selama 12 hari dilanjutkan dengan
pengamatan perkembangan folikel, gejala klinis estrus, sitologi ulas
vagina
Pengamatan perkembangan folikel dalam ovarium menggunakan USG
12
Pengamatan dilakukan dengan menempatkan kambing PE pada kandang jepit,
feses yang berada di dalam rektum dikeluarkan untuk memperjelas pengamatan.
Folikel diamati menggunakan USG (ALOKA model SSD-500, ALOKACo.LTD,
Jepang) dengan probe linearnya. Probe dilumuri dengan gel untuk mengurangi
iritasi mukosa rektum dan sebagai media untuk penghantaran gelombang suara
ultrasonik.
Probe dimasukkan menyusuri ventral rektum mengarah ke vesica urinaria
dilanjutkan ke bagian anterior sehingga diperoleh gambaran organ reproduksi.
Pengamatan folikel dilakukan setelah pencabutan CIDR, dimana besarnya folikel
dibedakan berdasarkan ukuran kecil (≤ 3 mm), sedang (4-4.9 mm) dan folikel besar
(≥ 5 mm). Probe dimasukkan secara per-rektal mengarah kebawah kearah cornua
uteri, lalu ditelusuri sampai ke ovarium. Hasil pengamatan dicetak menggunakan
printer termal (SONY UP-895 MD, Jepang).
Pengamatan gejala klinis estrus diam dinaiki dan gejala klinis vulva
Pengamatan Gejala klinis estrus dilakukan seiring dengan periode
pengamatan perkembangan folikel, terhitung sejak hormon CIDR dilepas. Jantan
pengusik yang telah dipasangi apron di masukan kedalam kandang untuk
mengetahui Gejala diam dinaiki pada kambing betina.
Intensitas gejala klinis vulva (kemerahan, kebengkakan, lendir) dibedakan
menjadi tinggi (+++), sedang (++) dan rendah (+) seperti pengamatan pada gejala
klinis alamiah. Lamanya estrus (jam) terhitung mulai terlihatnya gejala diam dinaiki,
adanya gejala klinis vulva sampai kambing tidak mau dinaiki lagi dan gejala klinis
vulva tidak nyata terlihat lagi.
Pengamatan sitologi ulas vagina
Pengamatan sitologi vagina dilakukan pada periode yang bersamaan dengan
pengamatan folikel dan gejala klinis estrus. Pembuatan preparat ulas vagina
dilakukan secara vaginal swab menggunakan Cotton swabs yang dimasukan
kedalam sejauh mungkin dan diusapkan kesekeliling dinding didalam vagina, lalu
dibuat preparat ulas pada gelas objek.
Preparat ulas diwarnai ke dalam larutan Giemsa 1:20 selama 2-3 menit.
Terakhir dilakukan pencucian menggunakan akuades. Pengamatan dilakukan
menggunakan mikroskop dengan perbesaran lensa objektif 10 dan 40x. Perhitungan
jumlah sel epitel dilakukan sebanyak 100 sel pada setiap preparat yang diamati
dengan 10 lapang pandang. Sel epithel dibedakan menjadi sel Parabasal, sel
Intermediate dan Sel Superfisial (gambar 7).
13
Gambar 7 Gambaran Sel Epithel Vagina, (A) Parabasal, (B) intermediet, (C)
superfisial dan cornified
Prosedur Analisis Data
Data dianalisis sebagai rataan±standar deviasi dan dijelaskan secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Siklus Estrus Alamiah
Dari hasil pengamatan selama dua siklus estrus, didapatkan rataan lamanya
siklus adalah berkisar antara 18-21 hari (19.47±1.38). Sebagian besar yaitu tujuh
14
ekor kambing (70%) mempunyai siklus 19-20 hari, hanya 2 ekor (20%)
memperlihatkan siklus pendek (17 hari) dan 1 ekor lainnya (10%) bersiklus lebih
panjang (22 hari). Kemungkinan perbedaan lama siklus estrus tersebut tergantung
dari faktor individual atau pengaruh hormonal dan lingkungan. Faktor curah hujan
dan pertumbuhan tanaman makanan ternak dapat berpengaruh terhadap kondisi
estrus dan kesuburan hewan (Davendra dan Burns 1994). Setiadi (1987)
mengemukakan lamanya siklus estrus kambing PE berkisar 20-25 hari.
Menurut Ludgate (1989), estrus akan terulang kembali kurang lebih pada 19
hari berikutnya, bila terjadi kegagalan perkawinan yang ditandai ternak tidak
menjadi bunting. Atabany (2001) menyatakan bahwa lama siklus estrus pada
kambing Saanen di PT Taurus adalah mempunyai rataan 21.73 hari. Hasil penelitian
lain untuk siklus estrus pada kambing didapatkan hasil yang beragam, yaitu 19 hari
dengan rentang 18-22 hari (Sutama 1996), 21 hari (Blakely dan Bade 1992) dan
19.5 hari dengan rentang 18-21 hari (Heath dan Olusanya 1985). Siklus ini
dikontrol secara langsung oleh adanya hormon gonadotropin dari hipofisa anterior
yang mempengaruhi ovarium dalam perkembangan fase folikuler dan fase luteal
dimana hormon estrogen dan progesteron mempengaruhi respon umpan balik
terhadap hipofisa anterior (Senger 2003)
Lama estrus kambing bervariasi tergantung pada bangsa kambing, umur,
musim, dan pengaruh dari individu hewan jantan itu sendiri (Hafez 2000) Siklus
estrus dibagi menjadi beberapa fase yaitu : proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus.
Proestrus (prestanding events). Proestrus adalah fase persiapan, fase ini biasanya
pendek berlangsung selama 1-2 hari. fase ini akan terlihat perubahan pada alat
kelamin luar dan terjadi perubahan-perubahan tingkah laku dimana hewan betina
gelisah dan sering mengeluarkan suara-suara yang tidak biasa terdengar
(Partodihardjo 1987). Alat kelamin betina mulai memperlihatkan terjadinya
peningkatan peredaran darah. Betina mulai menampakkan gejala estrus tetapi masih
tidak mau menerima pejantan. Pada fase ini folikel de Graaf tumbuh dibawah
pengaruh FSH dan menghasilkan estradiol, folikel berkembang dan diisi dengan
cairan folikuler. Estradiol meningkatkan jumlah suplai darah ke saluran alat
kelamin dan meningkatkan perkembangan estrus, vagina, tuba fallopi, folikel
ovarium. Pada akhir periode ini betina mulai memperhatikan pejantan (Toelihere
1981).
Estrus (Standing Heat). Estrus adalah periode yang ditandai dengan
penerimaan pejantan oleh hewan betina untuk berkopulasi. Pada umumnya
memperlihatkan tanda-tanda gelisah, nafsu makan turun atau hilang sama sekali,
menghampiri pejantan dan tidak lari bila pejantan menungganginya (Saoeni 2007).
Menurut Frandson (1992), Penerimaan pejantan disebabkan pengaruh estradiol
yang menghasilkan tingkah laku kawin pada betina. Pada saat itu, keseimbangan
hormon hipofisa bergeser dari FSH ke LH yang mengakibatkan peningkatan LH,
hormon ini akan membantu terjadinya ovulasi dan pembentukan CL yang terlihat
pada masa sesudah estrus. Proses ovulasi akan diulang kembali secara teratur setiap
jangka waktu yang tetap yaitu satu siklus estrus (Johnston et al. 2001). Pengamatan
estrus pada ternak sebaiknya dilakukan dua kali, yaitu pagi dan sore sehingga
adanya estrus dapat teramati dan tidak terlewatkan (Salisbury dan Vandenmark
1985).
Metestrus (pasca estrus). Metestrus merupakan fase yang terjadi segera
setelah fase estrus berakhir. Gejala tidak terlihat nyata, namun masih terlihat sisa-
15
sisa gejala estrus, tetapi hewan menolak untuk kopulasi. Terjadi pembentukan
korpus hemoragikum pada ovarium di tempat folikel de Graaf yang telah
melepaskan ovum. Ovum yang keluar dari folikel berada dalam tuba falopii menuju
uterus. Setelah sekitar 5 hari, korpus hemoragikum mulai berubah menjadi jaringan
luteal, menghasilkan CL. Fase ini sebagian besar berada dibawah pengaruh
progesteron yang dihasilkan oleh CL (Hafez 2000). Progesteron menghambat
sekeresi FSH oleh pituitari anterior sehingga menghambat pertumbuhan folikel
ovarium dan mencegah terjadinya estrus. Periode ini berlangsung selama 3-4 hari
setelah estrus.
Diestrus adalah periode terakhir dan terlama pada siklus estrus, CL menjadi
matang dan pengaruh progesteron terhadap saluran reproduksi menjadi nyata
(Marawali 2001). Apabila pada 17 atau 18 dari siklus birahi terjadi pembuahan
maka CL tetap bertahan sampai terjadi kelahiran, bila tidak terjadi pembuahan CL
akan beregresi.
Gejala klinis estrus vulva diamati sejak terlihatnya gejala diam dinaiki,
dimana umumnya kambing memperlihatkan intensitas sedang yaitu kemerahan,
kebengkakan tidak mencolok, dan keberadaan lendir terlihat hanya bila diulas
menggunakan “cotton bud”. Keberadaan lendir diukur melalui banyaknya lendir
yang dikeluarkan oleh kambing, umumnya berintensitas sedang 8 dari 10 ekor,
(80%). Hanya 2 ekor memperlihatkan intensitas tinggi, dimana terlihat lendir keluar
dari vulva.
Berbeda dengan kondisi estrus pada sapi dimana gejala klinis vulva terutama
kemerahan, kebengkakan dan lendirnya cukup jelas dan menjadi andalan untuk
pengamatan estrus (Hafez 2000). Dalam hal ini pengamatan estrus pada kambing
harus dilakukan lebih seksama dengan mengamati lebih sering. Pada umumnya
pengamatan gejala estrus pada kambing umumnya dilakukan dengan melihat gejala
diam dinaiki saja. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa selain gejala diam dinaiki,
sebaiknya observasi gejala klinis vulva diperhatikan untuk menentukan waktu
kawin yang lebih baik.
Tingkat keberhasilan dengan perlakuan IB dengan waktu kawin 12 jam
setelah diam dinaiki, hanya berkisar 30-50% tingkat keberhasilanya (Budiarsana
dan Sutama 2001).
Selama kambing dalam fase estrus, gejala klinis vulva terlihat optimal disertai
adanya gejala diam dinaiki, umumnya berkisar antara 24-48 jam, apabila telah
terlihat gejala klinis vulva mulai berkurang, diperkirakan kambing sudah
memasuki fase metestrus dan menolak untuk dinaiki. Selanjutnya secara berangsur
gejala klinis vulva semakin tidak nyata, dan memasuki fase diestrus yang
berlangsung, kemudian memasuki lagi pada fase proestrus.
Pengamatan Perkembangan Folikel
Pengamatan folikel didahului dengan mensinkronkan estrus menggunakan
CIDR selama 12 hari. Lama implant selama itu dimaksudkan untuk mendapatkan
mayoritas siklus estrus untuk mencapai estrus bersamaan. Lamanya implant dapat
dilakukan mulai 9-17 hari. Namun pemasangan yang berlansung lama akan
memberikan kualitas sel telur yang kurang baik (Junaidi dan Norman 2005) CIDR
berisi hormon progesteron, yang mempunyai fungsi dalam mekanisme hormonal
16
sebagai umpan balik negative, seperti halnya fungsi CL (fase luteal) yang selama
12 hari pemasangan menyamakan siklus dan setelah dicabut maka estrus dapat
terjadi relatif serentak dari semua kambing perlakuan. Dari pengamatan, semua
kambing (100%) memperlihatkan estrus. Pemasangan implant hormon CIDR
sangat efektif ketika fase luteal sehingga terjadi luteolisis. Implan CIDR yang
mengandung hormon progesteron akan mengakibatkan terjadinya efek umpan balik
negatif terhadap sekresi gonadotropin, yakni (FSH) dan luteinizing hormone (LH).
Penghambatan sekresi gonadotropin tidak disertai oleh penghambatan
sintesis, sehingga selama implant CIDR berlangsung, terjadi penimbunan
gonadotropin di hipofisis anterior. Pada saat pencabutan CIDR, terjadi penurunan
konsentrasi hormon progesteron di dalam darah sehingga umpan balik negatif pun
hilang. Hal ini berakibat terjadinya suatu fenomena yang disebut rebound effect,
sehingga hormon gonadotropin disekresikan dalam jumlah banyak yang mampu
merangsang proses folikulogenesis dan terbentuk folikel-folikel matang (Peter et
al. 2009).
Folikel yang mencapai kematangan, setelah pencabutan CIDR, maka
progesteron akan berkurang, dan terjadi peningkatan LH untuk terjadinya ovulasi
(Junaidi dan Norman 2005). Dengan pengamatan USG, setelah pencabutan CIDR
(jam ke-0) dari 10 ekor kambing umumnya masih belum terlihat folikel dominan.
Rataan dari terlihatnya gambaran jumlah folikel dengan diameter kecil (≤ 3 mm)
sebanyak 1-2 (1.7±1.3 mm), folikel sedang (4-4.9 mm) terlihat sebanyak 2 (2±0
mm), akan tetapi terdapat folikel besar (≥ 5 mm) hanya 0-1 (0.3±0.7 mm).
Hal ini menunjukkan saat pencabutan, kambing mulai memasuki awal fase
estrus. Kambing yang menunjukkan folikel besar, kemungkinan masuk dalam
folikel dominan pada gelombang pertama, dimana kambing belum berhasil
menunjukkan gejala estrus. Gelombang folikel pada domba umumnya mempunyai
dua sampai tiga gelombang yang akhirnya mencapai folikel dominan pada estrus
(Santoso et al 2014). Dalam proses gelombang folikel terdiri dari fase rekruitment,
seleksi dan dominan, folikel yang terus berkembang pada saat level hormon
estrogen masih tinggi akan mengakibatkan folikel atresia, baru mencapai folikel
dominan akhir apabila level hormon estrogen turun. Pada pengamatan selanjutnya
yaitu jam ke-6-12 terlihat perkembangan folikel kecil, sedikit menurun dengan
jumlah rata-ratanya (1.4±0.7 mm), folikel sedang (1.5±1.2 mm) dan folikel besar ≥
5 mm meningkat menjadi (0.5±0.7 mm).
Perubahan baru terlihat nyata pada jam ke-18, yaitu folikel sedang menurun
dengan jumlah rataan (1.3±0.8 mm), dimana dalam periode ini perkembangan
folikel menuju pembentukan folikel dominan. Hal ini terlihat dengan terjadinya
peningkatan folikel besar menjadi 1.0±0.9 mm. Pada jam ke-24 dan 30, terlihat
peningkatan folikel besar mencapai diameter 7-8 mm, dengan rataan (1.4±1.0 mm),
diiringi penurunan folikel sedang (0.9±0.9 mm) (Gambar 8).
Hal ini menunjukan perkembangan folikel memasuki fase folikel dominan
akhir, yang akan menunjukkan adanya gejala estrus. Folikel besar atau folikel de
Graaf menghasilkan hormon estrogen yang mempunyai kepentingan untuk
menunjukkan gejala klinis estrus. Bersamaan dengan terlihatnya folikel besar,
kambing juga menunjukkan gejala estrus.
17
5
Jumlah folikel (n =10)
4
3
3 mm
4-4.9 mm
2
5 mm
1
0
0
6
12
18
24 30 36 42 48
Waktu Pemeriksaan (Jam)
54
60
66
Gambar 8. Rataan jumlah folikel kambing PE yang disinkronnisasi menggunakan
CIDR (n=10) yang dikelompokkan dalam kelas folikel, ᴓ ≤ 3 mm , ᴓ
4-4.9 mm , dan ᴓ ≥ 5 mm , selama 12 kali pemeriksaan
Jam ke-36 peningkatan folikel besar terus berlanjut ditunjukkan dengan
ukuran rataan 1-2 (1.7±0.8 mm), folikel sedang 0-1 (0.9 ± 0.6 mm) dan folikel kecil
0-1 (0.8 ± 0.4 mm). Hal ini berarti folikel besar yang terlihat di jam ke-36,
diperkirakan adalah folikel de Graaf yang berpotensi menyebabkan peningkatan
level hormon estrogen yang berpengaruh terhadap gejala klinis estrus. Pada
pengamatan jam ke-42, tidak ditemuka folikel yang berukuran ≥ 7 mm dengan
ukuran rataan (1.2±0.6 mm) dan diperkirakan telah terjadi ovulasi.
Dengan demikian ovulasi terjadi diantara jam ke 36 dan 42 dengan rataan jam
38.8±6.6 dari 10 ekor kambing yang diamati. Secara keseluruhan dalam
pengamatan lanjutan perkembangan folikel, bertambahnya jumlah folikel kecil (33.9 mm), terlihat pada jam pengamatan ke 48 sampai jam ke 66. Dalam hal ini
mencerminkan ovulasi telah lewat dan memulai perkembangan folikel baru dalam
fase berikutnya yaitu masuknya fase metestrus. Pada masa ini kambing sudah tidak
memperlihatkan gejala estrus.
18
Gambar 9. Gambaran ultrasonografi folikel (F), korpus luteum (CL) selama 12 kali
pengamatan
Kambing yang diamati berada pada fase folikuler dan terlihat pertumbuhan
folikel dimana terdapat beberapa variasi diameter folikel kecil, sedang dan diameter
besar yang menuju perkembangan folikel dominan atau folikel de Graaf (Gambar
9). Pertumbuhan folikel dalam siklus estrus terdiri atas fase rekrutment, seleksi, dan
dominan, dimana banyaknya folikel kecil masuk dalam fase awal estrus, beberapa
diantaranya terdapat folikel besar, namun tidak mencapai perkembangan optimal
karna hormon progesteron tinggi. Turunya level hormon progesteron menyebabkan
perkembangan folikel besar dapat tumbuh optimal dan selanjutnya akan mengalami
ovulasi (Driancourt 2001). Pada fase folikuler, follicle stimulating hormone (FSH)
disekresikan oleh kelenjar hipofisa anterior yang merangsang pertumbuhan folikel
(Fatet et al. 2011). Folikel yang terus berkembang akan menjadi folikel De Graaf
dan akan mengalami ovulasi. Folikel yang ovulasi akan menyisakan cekungan pada
ovarium yang dikenal dengan awal perkembangan korpus luteum (CL). Keberadaan
CL dapat terdeteksi tiga dan empat hari setelah ovulasi sampai dengan ovulasi
berikutnya (De Castro et al. 1999; Simoes et al. 2007; Vazqueza et al. 2010).
Diameter folikel ovulasi kambing PE tidak berbeda dengan kambing anglo
nubian, sedangkan pada kambing anglo nubian diameter folikel ovulasi sebesar
8,3±0,4 mm (Ariyaratna dan Gunawardana 1997; Vazqueza et al. 2010).
19
Folikel yang mencapai diameter 5 mm atau lebih dalam satu gelombang folikel akan
mengalami ovulasi (Rubianes and Menchaca 2003). Folikel yang tidak mencapai
ukuran 4 mm merupakan kelompok folikel yang dinamis (De Castro et al. 1999).
Folikel-folikel matang ini akan mensintesis hormon estrogen lalu disekresikan
kedalam peredaran darah yang mengakibatkan hewan betina menjadi estrus, dan
diekspresikan berupa penampakan gejala-gejala estrus.
Perubahan Gejala Klinis Vulva
Onset estrus
Pengamatan onset estrus atau timbulnya estrus dengan tanda kambing diam
dinaiki (DD) setelah pencabutan CIDR mempunyai kisaran 12 jam sampai 18 jam,
dengan rataan 12,2±1,3 jam. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil
penelitian Motlomelo et al. (2002) menggunakan progesteron yang berbeda untuk
sinkronisasi estrus pada ternak kambing, kelompok yang menggunakan CIDR lebih
awal menunjukkan gejala estrus dimana estrus berkisar 27,2±0,4 jam dengan lama
estrus berkisar 32,2±0,7 jam. Hasil penelitian Roche (2006) melaporkan bahwa
sedikitnya jumlah folikel yang tumbuh akan mengakibatkan sekresi estradiol
menjadi sedikit (berkurang) sehingga menyebabkan awal estrus yang lebih panjang.
Onset estrus yang berbeda-beda pada setiap individu kambing dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kwalitas pakan, lingkungan dan genetika
individu kambing itu sendiri (Hafez 2000). Onset estrus atau awal munculnya estrus
setelah sinkronisasi perlu diketahui karena mempunyai peranan yang besar bagi
keberhasilan perkawinan. Dalam penelitian ini onset estrus yang paling panjang
adalah 18 jam dan yang terpendek adalah 12 jam. Diperkirakan perbedaan tersebut
karena perbedaan individu dimana masing-masing mempunyai karakteristik
hormonal yang berbeda. Namun, perbedaan tersebut dinilai masih dalam kisaran
normal.
Gejala klinis vulva
Gejala klinis vulva sebagai respon estrus akibat inisiasi pemberian CIDR
selama 12 hari, dengan terlihatnya gejala kemerahan, kebengkakan dan keberadaan
lendir yang dibedakan menurut intensitasnya. Pada awal pencabutan CIDR, belum
terlihat gejala estrus sampai jam ke-6 dan baru mulai tampak adanya kebengkakan,
sedikit kemerahan dan keberadaan lendir pada jam ke 12. Tiga ekor kambing (30%)
belum menunjukkan gejala klinis vulva dan tujuh ekor lainnya gejala klinis sudah
mulai tampak (Tabel 3). Gambaran folikel pada observasi ini terdapat
perkembangan folikel sedang (3-4.9 mm), dan terlihat folikel besar meski belum
mencapai besar optimal. Pada observasi selanjutnya, jam ke-18, terlihat 9 dari 10
kambing (90%) telah menunjukkan gejala klinis vulva yang intensitas sedang (++)
(Tabel 3) sebanyak 6 ekor dan 3 ekor rendah (+).
Tabel 3. Visualisasi respon berahi pada kambing PE setelah pencabutan implant
CIDR
20
Jumlah kambing (ekor)
Pelepasan
CIDR
kemerahan
kebengkakan
(Jam)
+
++
+++
+
++
+++
0
0
0
0
0
0
0
6
0
0
0
0
0
0
12
5
0
0
7
0
0
18
1
6
0
3
6
0
24
2
3
4
1
5
4
30
2
1
6
0
5
5
36
1
0
8
1
1
8
42
1
1
7
1
3
6
48
1
4
3
1
5
3
54
1
6
0
2
6
1
60
6
0
0
6
0
0
66
0
0
0
0
0
0
Keterangan : + : rendah, ++ : sedang, +++ : tinggi
Panjang lendir
+
++
+++
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
3
0
1
4
1
0
2
4
0
1
7
1
2
5
1
4
2
0
0
1
0
0
0
0
0
0
Pada jam ke-24-30 dimana terdapatnya gambaran folikel besar, menandakan
terlihatnya peningkatan gejala klinis vulva menjadi lebih bengkak, merah dan
beberapa kambing menunjukkan intensitas lendir tinggi (gambar 10 dan 11).
Gambar 10. Kemerahan, kebengkakan vulva setelah pencabutan CIDR
Mencapai peningkatan tertinggi pada observasi jam ke-36 (+++) pada 8 ekor
kambing (80%), disaat itu terlihat gambaran USG, ukuran folikel besar (7-8 mm)
dimana diperkirakan adanya folikel de Graaf (dominan). Intensitas estrus yang
meningkat disebabkan disekresikannya estrogen kedalam darah yang dihasilkan
ovarium yang berpengaruh pada estrus. Intensitas tersebut bertahan sampai jam ke42, lalu menurun pada jam ke-48-54 sampai tidak terdeteksi lagi setelah jam ke 66.
Hal ini sesuai dengan gambaran USG folikel yang menyatakan bahwa telah terjadi
ovulasi pada jam ke 36-42.
Dari penelitian ini terlihat bahwa cukup banyak kambing yang
memperlihatkan lendir, disamping kebengkakan dan kemerahan vulv
ULTRASONOGRAFI OVARIUM DENGAN GEJALA KLINIS
ESTRUS DAN SITOLOGI VAGINA PADA KAMBING
PERANAKAN ETAWA
YUDI EKA SATRIA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul penentuan waktu optimal
kawin berdasarkan ultrasonografi ovarium dengan gejala klinis estrus dan sitologi
vagina pada kambing peranakan etawa adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2015
Yudi Eka Satria
NIM B352120071
RINGKASAN
YUDI EKA SATRIA. Penentuan Waktu Optimal Kawin Berdasarkan
Ultrasonografi Ovarium Dengan Gejala Klinis Estrus dan Sitologi Vagina Pada
Kambing Peranakan Etawa. Dibimbing oleh TUTY LASWARDI YUSUF dan
AMROZI.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan waktu optimal kawin
pada kambing Peranakan Etawa (PE). Penelitian ini menggunakan 10 ekor kambing
betina, berusia 2-3 tahun yang memiliki siklus estrus yang normal. Inisiasi estrus
menggunakan Implant Controlled Internal Drug Release (CIDR) secara intra vagina
dan dilepas 12 hari setelah pemasangan. Perkembangan folikel dalam ovarium,
diamati menggunakaan ultrasonografi (USG) secara transrektal setiap 6 jam sampai
66 jam setelah pelepasan CIDR. Gejala diam dinaiki dan gejala klinis vulva juga
diamati seiring pengamatan USG. Gambaran folikel dibagi menjadi 3 kelompok
berdasarkan diameter : kecil (≤ 3 mm), sedang (4-4.9 mm) dan besar (≥ 5 mm) yang
diamati selama fase estrus. Ovulasi diperkirakan telah terjadi ketika folikel besar
(folikel dominan) tidak terlihat lagi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah
rata-rata folikel pada ovarium setelah pelepasan CIDR jam ke 36 adalah 0-1
(0.8±0.4 mm) folikel kecil, 0-1 (0.9±0.6 mm) folikel sedang, dan 1-2 (1.7±0.8 mm)
folikel besar. Folikel besar (7-8 mm) terlihat 36 jam setelah pelepasan CIDR atau
24 jam setelah diam dinaiki. Setelah 42 jam pelepasan CIDR, folikel besar tidak
terlihat lagi.
Disimpulkan bahwa ovulasi terjadi pada 36-42 jam setelah pelepasan CIDR
atau 24-30 setelah diam dinaiki. Hubungan antara perkembangan folikel dengan
perubahan gejala klinis vulva (kemerahan, kebengkak, dan intensitas lendir)
menunjukan gejala klinis tinggi (+++) terlihat pada 36-42 jam setelah pelepasan
CIDR. Gejala klinis yang optimal berkaitan dengan hasil sitologi vagina, yang
menunjukkan persentase lebih tinggi (44,6%-48.6%) dari sel epitel superfisial
pengamatan jam 30-48 dengan jumlah tertinggi jam 36 (60.3%). Disimpulkan
bahwa waktu ovulasi terjadi 36-42 jam setelah pelepasan CIDR, dengan intensitas
gejala klinis yang optimal (kemerahan, bengkak, lendir) dan persentase tertinggi sel
superfisial diamati dari sitologi vagina. Dengan demikian, waktu optimal kawin
pada kambing Etawa adalah pada 24 sampai 30 jam dari diam dinaiki atau 36
sampai 42 jam setelah pencabutan CIDR.
Kata kunci: Ultrsonografi, Folikel, Kambing Peranakan Etawa, CIDR
SUMMARY
YUDI EKA SATRIA. Determination of Optimal Mating Time Based on Ovary
Ultrasonography with Estrous Clinical Symptoms and Vaginal Cytology of Etawa
Crossbred Goat. Supervised by TUTY LASWARDI YUSUF and AMROZI.
The aim of this study was to determine the optimal mating time in Etawa
Crossbred Goat (PE). This study used 10 ewes, 2-3 years old, with normal estrous
cycle. Initiation of estrus using Controlled Internal Drug Release (CIDR) implants
intra vagina and released after 12 days. The development of follicles in the ovaries
are observed using transrectal ultrasonography (USG) every 6 hours until reach
for 66 hours after CIDR removal from the vagina. Clinical sign of standing heat
and vulva sign were also observed while USG observation. The follicles were
divided into 3 groups based on diameter, is small ( 5 mm) has been observed in estrous phase. Ovulation was predicted when
large follicles (dominant follicles) has not seen anymore. The result showed that
the average follicles number in ovary after 36 hours CIDR removal were 0-1
(0.8±0.4 mm) small, 0-1 (0.9±0.6 mm) medium and 1-2 (1.7±0.8 mm) large. The
large follicles (7-8 mm) has seen after 36 hours CIDR removal or 24 hours after
standing heat. Forty two hours after CIDR removal, the large follicles has not seen
anymore.
It means, the ovulation were predicted in 36-42 hours after CIDR removal
or 24-30 hours after standing heat. The relationship between follicular development
and clinical vulva sign (redness, swelling, mucus) revealed that the high vulva
(+++) have seen in 36-42 hours after CIDR removal. The optimal clinical signs
were related with the result of vaginal cytology, which showed higher percentage
(44.6%-48.6%) of superficial epithelial cells in 30-48 hours with the highest 36
hours observation (60.3%). It was concluded that the ovulation time occurred in
36-42 hours after CIDR removal, with the optimal intensity of vulva changes
(redness, swollen, mucus) and the highest percentage of superficial cells was
observed from the vaginal cytology. Therefore the optimal mating time in PE 2436 hours of standing heat or 36-42 hours after CIDR removal.
Keywords : Ultrasonography, Follicles, Etawa Crossbred Goat, CIDR
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENENTUAN WAKTU OPTIMAL KAWIN BERDASARKAN
ULTRASONOGRAFI OVARIUM DENGAN GEJALA KLINIS
ESTRUS DAN SITOLOGI VAGINA PADA KAMBING
PERANAKAN ETAWA
YUDI EKA SATRIA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Reproduksi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Drh Bambang Purwantara, MSc PhD
Judul Tesis : Penentuan Waktu Optimal Kawin Berdasarkan Ultrasonografi
Ovarium Dengan Gejala Klinis Estrus dan Sitologi Vagina Pada
Kambing Peranakan Etawa.
Nama
: Yudi Eka Satria.
NIM
: B352120071.
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr drh Tuty Laswardi Yusuf, MS
Ketua
drh Amrozi, PhD
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Biologi Reproduksi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr drh Mohamad Agus Setiadi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 5 Mai
2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah
Penentuan Waktu Optimal Kawin Berdasarkan Ultrasonografi Ovarium Dengan
Gejala Klinis Estrus dan Sitologi Vagina Pada Kambing Peranakan Etawa.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibuk Prof Dr drh Tuty Laswardi. Yusuf,
MS sebagai ketua komisi pembimbing, dan Bapak drh Amrozi, Ph.D selaku
anggota komisi pembimbing atas bimbingannya, perhatian dan nasehat.
Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof
Drh Bambang Purwantara, MSc PhD selaku penguji luar komisi, serta Prof Dr drh
Mohamad Agus Setiadi sebagai Ketua Program Studi serta semua staf pengajar dan
karyawan Program Studi Biologi Reproduksi Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor yang telah membantu dan memberi dukungan kepada penulis
sampai selesainya penyusunan tesis ini.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada drh Dedi R Setiadi MS.i, drh
Mokhamad Fakhrul Ulum MS.i dan Bondan SE dalam penyusunan tesis.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan
seperjuangan pada Program Studi BRP dan IBH 2012.
Rasa hormat dan terima kasih penulis persembahkan kepada Ayahanda
Asmen, S.Pd, Ibunda Delya Gusniwati dan seluruh keluarga atas doa dan kasih
sayangnya. Demikian pula kepada pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu
yang telah memberikan perhatian, saran serta kritik yang membangun penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat untuk mengembangkan sektor
peternakan di Indonesia.
Bogor, Juli 2015
Yudi Eka Satria
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
1
1
1
3
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Siklus Estrus dan Gejala Klinis Estrus
Sinkronisasi Estrus dan Deteksi Estrus
Progesteron (CIDR)
Gambaran Sitologi Ulas Vagina
Penggunaan Ultrasonografi USG
4
4
6
7
8
9
3 METODE
Hewan Percobaan
Bahan dan Alat
Prosedur Penelitian
Prosedur Analisis Data
10
10
10
10
13
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Siklus Estrus Alamiah
Pengamatan Perkembangan Folikel
Perubahan Gejala Klinis Vulva
Gambaran Sitologi Vagina
Hubungan Perkembangan Folikel, Gejala Klinis Estrus dan Sitologi
Vagina
14
14
16
19
21
4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
25
25
25
DAFTAR PUSTAKA
26
RIWAYAT HIDUP
30
24
DAFTAR TABEL
1 Fase-fase siklus estrus beserta ciri-cirinya
2 Klasifikasi
sel
epitel
vagina
kambing
cirinya
beserta
7
ciri-
8
3 Visualisasi respon berahi pada kambing PE setelah pencabutan implant
CIDR
20
4 Gambaran sitologi ulas vagina setelah pelepasan CIDR
22
DAFTAR GAMBAR
1 Alur Tahap Penelitian
2
2 Kambing Peranakan Etawa betina
4
3 Skema gambaran perubahan fisiologis selama siklus estrus pada kambing
pola perkembangan folikel, siklus ovarium dan pengaturan endokrin 5
4 Siklus ovarium
6
5 Klasifikasi sel epitel vagina kambing, (A) Parabasal, (B) Intermediet, (C)
Superficial, Bar = 10μm
9
6 Pemasangan dan pelepasan CIDR selama 12 hari dilanjutkan dengan
pengamatan perkembangan folikel, gejala klinis estrus, sitologi ulas
vagina
11
7 Gambaran Sel Epithel Vagina, (A) Parabasal, (B) intermediet, (C)
superfisial dan cornified
13
8 Rataan jumlah folikel kambing PE yang di sinkronnisasi menggunakan
CIDR (n=10) yang dikelompokkan dalam kelas folikel, ᴓ ≤ 3 mm , ᴓ
4-4.9 mm , dan ᴓ ≥ 5 mm , selama 12 kali pemeriksaan
17
9 Gambaran ultrasonografi folikel (F), korpus luteum (CL) selama 12 kali
pengamatan
18
10 Kemerahan, kebengkakan vulva setelah pencabutan CIDR
20
11 Lendir estrus setelah pencabutan CIDR
21
12 Gambaran sitologi ulas vagina
22
13 Sitologi sel epitel vagina A : Parabasal, B : Intermediet, C : Superficial.
Pewarnaan Giemsa, Bar = 30 µm
23
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Populasi kambing di Indonesia pada tahun 2010 mengalami peningkatan
sebesar 5.08%. Peningkatan tersebut termasuk rendah bila dibandingkan dengan
ternak kecil lainnya seperti domba dan babi (Ditjennak 2012). Hal ini dapat
disebabkan karena sistem reproduksi kambing yang sebagian besar masih
mengandalkan perkawinan alami. Pemanfaatan teknologi inseminasi buatan (IB) di
Indonesia masih belum memasyarakat. Karena sebagian besar sistem peternakan
kambing di Indonesia merupakan peternakan rakyat dengan pola pemeliharaan
yang sangat sederhana.
Hal yang paling krusial dalam IB pada kambing adalah pengamatan estrus.
Kambing mempunyai gejala estrus yang tidak sejelas ternak lain. Selain itu waktu
ovulasi dan waktu optimal kawin pada kambing belum diketahui dengan pasti
karena masih sedikitnya penelitian tersebut. Hal tersebut bardampak pada
rendahnya tingkat keberhasilan IB pada kambing yang berkisar 30-60%
(Budiarsana dan Sutama 2001). Pengamatan estrus pada kambing umumnya
dilakukan dengan mengamati gejala diam dinaiki, sehingga dimungkinkan metode
tersebut dapat juga diaplikasikan untuk penentuan fase estrus pada kambing, oleh
karena itu di butuhkan metode lain yang dapat digunakan sebagai penguat dalam
pengamatan estrus, salah satunya adalah dengan memanfaatkan gejala klinis estrus,
seperti kemerahan vulva, kebengkakan vulva, dan keberadaan lendir vagina.
Metode lain yang juga dapat mendukung yaitu dengan sitologi ulas vagina.
Selain melalui gejala klinis estrus, penentuan waktu optimal kawin dapat juga
dilakukan dengan metode ultrasonografi (USG). Pemeriksaan USG pada fase estrus
ditandai dengan adanya folikel de Graaf, sampai terjadi ovulasi. Metode ini telah
diaplikasikan pada kuda dan hasilnya dapat mendeteksi fase estrus dan waktu
ovulasi terjadi dengan keakuratan 95% (Ivkov et al. 1999), begitu pula pada
pendeteksian fase estrus dan diameter folikel pada anjing (Eker dan Salmanoglu
2006). Penggunaan metode USG dengan melihat perkembangan dan diameter
folikel, ditandai dengan adanya beberapa folikel de Graaf lalu folikel terus
berkembang mencapai diameter maksimal. Saat terjadinya pemecahan folikel de
graaf di tentukan sebagai waktu ovulasi.
Hubungan antara pemeriksaan USG, gejala klinis estrus dan gambaran
sitologi ulas vagina, diharapkan dapat menentukan waktu optimal kawin sehingga
dapat meningkatkan potensi keberhasilan kawin alami maupun kawin IB. Jika hal
tersebut terjadi maka akan berdampak positif terhadap usaha peningkatan populasi
kambing.
Perumusan Masalah
Penelitian ini dilakukan dengan pemberian hormon progesteron (CIDR)
untuk inisiasi estrus, sekaligus mengamati perkembangan folikel melalui USG
untuk menentukan waktu optimal kawin yang dihubungkan dengan gejala klinis
estrus yaitu perubahan vulva dan sitologi vagina (Gambar 1).
2
Perkembangan folikel dalam ovarium dapat dideteksi melalui ultrasonografi
(USG), dengan mengukur diameter folikel sampai mencapai folikel de Graaf.
Hilangnya gambaran folikel besar diprediksi telah terjadi ovulasi.
Folikel yang berkembang terjadi di dalam ovarium, dimana akan dihasilkan
hormon estrogen yang berdampak terjadinya estrus dengan ditandai gejala diam
dinaiki, kemerahan, kebengkakan vulva dan keberadaan lendir vagina. Pengaruh
hormon dalam fase estrus, menyebabkan perubahan sel epithel vagina yang dapat
dianalisa melalui pembuatan preparat sitologi ulas vagina.
Perhitungan waktu optimal kawin, pada saat estrus yaitu dengan melihat
perkembangan folikel sampai tercapai folikel berdiameter besar (folikel de Graaf)
sampai terjadinya ovulasi. Hal tersebut dihubungkan dengan gejala klinis etrus dan
sitologi vagina.
Gambar 1 Alur Tahap Penelitian
3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui waktu optimal kawin pada
kambing PE berdasarkan :
1. Perkembangan folikel dalam ovarium sampai hilangnya folikel de Graaf
pada fase estrus setelah pemasangan CIDR (progesteron) sebagai inisiasi
estrus.
2. Menghubungkan perkembangan folikel, gejala klinis estrus diam dinaiki
dan perubahan gejala klinis vulva.
3. Menghubungkan perkembangan folikel dengan hasil sitologi vagina.
Manfaat Penelitian
Mendapatkan waktu optimal kawin pada kambing PE setelah terlihatnya
gejala estrus baik secara alamiah atau menggunakan implant CIDR (progesteron)
secara intra vagina.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Siklus Estrus dan Gejala Klinis Estrus
Kambing Peranakan Etawa (PE) merupakan hasil persilangan antara kambing
Jamnapari (Etawah) dengan kambing kacang (Gambar 2). Kambing PE memiliki
ciri-ciri bertubuh besar, kedua telinga panjang dan menggantung dengan kisaran
18-30 cm, hidungnya melengkung cembung, dan khusus kambing jantan
mempunyai jenggot dengan rahang bawah menonjol. Bobot kambing jantan dewasa
mempunyai kisaran 35-50 kg, sedangkan bobot kambing betina dewasa kisarannya
30-35 kg.
Gambar 2 Kambing Peranakan Etawa betina
Siklus reproduksi pada hewan betina diawali dengan tercapainya pubertas,
bersiklus normal, bunting dan partus. Siklus estrus mulai terjadi saat betina sudah
mengalami dewasa kelamin (pubertas), ketika ovarium mengalami proses
perkembangan folikel (folikulogenesis) dan pematangan oosit primer. Folikel dan
oosit primer pada tahapan ini telah memiliki kemampuan memberikan respons
terhadap rangsangan hormon gonadotropin (Senger 2003; Bartlewski et al. 2001;
Fatet et al. 2011).
Kambing betina dikatakan dewasa ketika mengalami siklus estrus pertama
kali, terjadi pada umur 8-12 bulan. Kambing kacang mencapai pubertas pada umur
6 bulan dan menghasilkan anak pada umur 12 bulan, anak yang dilahirkan
umumnya kembar (Sodiq dan Abidin 2002). Rata-rata panjang siklus estrus
kambing menurut (Fatet et al. 2010) adalah 20-21 hari dengan lama estrus 24-48
jam, sedangkan menurut (Giminez dan Rodning 2007) adalah 18-22 hari dengan
lama estrus 24-48 jam. Menurut (Mulyono 2003) siklus estrus kambing adalah 2021 hari.
5
Gejala klinis estrus kambing, diantaranya betina akan mencari-cari pejantan
(Meredith 1995), gelisah, sering bersuara dengan volume keras, mengibasngibaskan ekor secara konstan, vulva bengkak dan kemerahan, area di sekitar ekor
terlihat basah dan kotor, nafsu makan berkurang dan frekuensi urinasi meningkat
(Luginbuhl 2002). Hasil penelitian Ismail (2009) melaporkan bahwa umur
berpengaruh terhadap onset dan intensitas estrus pada ternak kambing. Ternak yang
sudah pernah melahirkan lebih dari satu kali memperlihatkan gejala estrus lebih
awal dan penampakan estrus yang sangat jelas. Ternak yang belum pernah
melahirkan memperlihatkan onset estrus lambat dan intensitas estrus yang kurang
jelas.
Pada saat estrus, cervix dan uterus akan mensekresikan lendir yang berfungsi
untuk mengontrol dan mempercepat proses migrasi sperma (Fatet et al. 2010).
Menurut (Smith dan Sherman 2009) lendir tersebut akan berubah menjadi semakin
kental dan berwarna putih menjelang akhir estrus. Siklus estrus terdiri atas 4 periode
yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Periode proestrus dan estrus dikenal
sebagai fase folikuler atau estrogenik. Pada periode ini terjadi proses
folikulogenesis dan hormon steroid didominasi oleh estrogen. Periode metestrus
dan diestrus dikenal sebagai fase luteal atau progesteronik. Pembentukan CL
dimulai dan keberadaannya tetap dipertahankan hingga akhir periode diestrus,
hormon steroid yang dominan pada periode ini ialah progesteron (Senger 2003;
Peter et al. 2009; Fatet et al. 2011) (Gambar 3).
Gambar 3 Skema gambaran perubahan fisiologis selama siklus estrus pada kambing
pola perkembangan folikel, siklus ovarium dan pengaturan endokrin
(Fatet et al. 2010)
6
Sinkronisasi Estrus dan Deteksi Estrus
Sinkronisasi estrus ialah upaya penyerentakan fungsi progesteron dalam
darah dengan cara memperpendek atau memperpanjang satu siklus estrus (fase
luteal) sekelompok ternak betina, sehingga respons estrus diperlihatkan dalam
waktu yang relatif serentak (Tabel 1). Protokol sinkronisasi estrus sangat membantu
dalam pelaksanaan teknik reproduksi, terutama inseminasi buatan (Inounu 2014).
Sinkronisasi estrus dapat dicapai dengan menggunakan pemberian hormon
progesteron (Abecia et al. 2011). Abecia et al. (2011) mengungkapkan mekanisme
kerja hormon dalam sinkronisasi estrus dapat meniru kegiatan CL (progesteron atau
berbasis progestagen) atau menghilangkan CL yang selanjutnya akan menginduksi
fase folikuler hingga terjadi ovulasi (Gambar 4).
Deteksi estrus pada kambing dapat dilakukan secara visual atau melihat
perubahan fisik vulva. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Widiyono dan Sarmin
(2012) menyatakan bahwa perubahan gambaran fisik vulva yang khas pada
kambing bligon sepanjang siklus estrus hanya ditemukan pada saat hewan estrus.
Gambaran fisik tersebut tampak jelas ketika betina menunjukkan tingkah laku
berupa kesediaan untuk dinaiki pejantan (sexual receptivity) dan atau berusaha
mengejar dan menaiki pejantan serta mengibas-ibaskan ekor. Pada kondisi itu alat
kelamin luar (vulva) membengkak, terlihat lendir vagina yang bersifat bening dan
viscous keluar dari vulva, serta terjadi perubahan warna mukosa vulva dari merah
muda menjadi kemerahan.
Gambar 4 Siklus ovarium (Senger 2003)
7
Tabel 1 Fase-fase siklus estrus beserta ciri-cirinya
Siklus ovarium
Ciri-ciri
Fase follikuler
Fase ovulasi
Fase luteal
(Senger 2003)
Hari 1 sampai hari 10, hormon LH dan FSH tinggi dan 1
folikel yang akan dominan yang lainnya atresia. Hari 10-14,
dengan bertambahnya ukuran folikel maka terbentuk antrum
sehingga folikel primer berubah menjadi folikel de Graaf.
Dengan tingginya kadar estrogen maka umpan balik untuk
menurunkan kadar LH dan FSH.
Hari 14 ovulasi terjadi. Sebelum ovulasi kadar hormon LH
dan FSH menurun karna umpan balik dan di imbangi dengan
kadar hormon progresteron yang meningkat. sel telur
bergerak oleh gerakan peristaltik untuk terjadinya pembuahan
oleh sperma.
Hari 15 sampai hari 28 setelah terjadi ovulasi, sel-sel
granulosa dari dinding folikel mengalami perubahan menjadi
korpus luteum. Kemudian menjadi kospus luteum
graviditatum, korpus albikan. Kadar hormon gonadrotopin
tetap rendah sampai terjadi regresi korpus luteum hari 26-28,
dan bia terjadi konsepsi dan implantasi koepus luteum tidak
akan regresi karna di pertahankan oleh gonadotropin yang di
produksi oleh tropoblas
Progesteron (CIDR)
Progesteron ditransportasikan kedalam darah melalui ikatan pada globulin
seperti androgen dan estrogen. Konsentrasi progesteron serum darah dapat
menentukan keadaan hewan tersebut dalam keadaan infertil, normal, berahi, dan
bunting sehingga dapat digunakan untuk deteksi estrus, pemeriksaan kebuntingan
dan mengetahui kondisi patologis lainnya (Hartantyo 1995). Progesteron berfungsi
menjaga kebuntingan dengan cara mempersiapkan uterus untuk implantasi melalui
peningkatan glandula sekretori didalam endometrium dan menghambat kontraksi
miometrium (Senger 2003). Progesteron beraksi secara sinergik dengan estrogen
untuk menginduksi tingkah laku estrus. Perbedaan jumlah progesteron akan
mengakibatkan perbedaan perkembangan folikel di ovarium sehingga dengan
adanya sinkronisasi estrus akan menghomogenkan jumlah progesteron pada
kambing betina (Menchaca et al. 2007). Meningkatnya jumlah folikel yang
mengalami ovulasi akan meningkatkan jumlah korpus luteum yang pada akhirnya
akan meningkatkan jumlah konsentrasi hormon progesteron (Siregar 2002).
Hormon progesteron akan menurun pada saat estrus sampai pada kadar basal (Hafez
dan Hafez 2000).
Controlled Internal Drug Release (CIDR) adalah suatu alat intravaginal yang
melepaskan progesteron untuk stimulasi siklus estrus dan pengendalian siklus pada
kambing. CIDR yang dibuat oleh Pfizer Australia Pty Ltd mempunyai rangka
dengan tubular T-shape dari bahan dasar nilon dan diselubungi oleh silicon
elastomer yang dipergunakan luas pada implan manusia maupun pengobatan
hewan. Elastomer bersifat inaktif dan tidak mengiritasi membran mukosa yang
8
sensitif seperti epitel vagina. CIDR mengandung 0.3 gram progesteron alami yang
dikeluarkan secara bertahap dalam aliran darah melalui difusi dari karet silicon
yang dilapisi nilon dan dicelupkan dalam larutan progesteron, dibentuk disesuaikan
untuk diintroduksi ke dalam vagina. Prinsip CIDR sebagai sumber progesteron
eksogenous diserap oleh vagina kedalam darah untuk memelihara level progesteron
sehingga menekan pengeluaran LH dan FSH dari hypothalamus selama waktu yang
direkomendasikan sesuai program.
Hormon progesteron yang diperoleh dari Penanaman CIDR sangat besar
Pengaruhnya pada kambing fase luteal. Jumlah progesteron yang lebih banyak akan
menstimulasi terjadinya pergantian folikel (Menchaca dan Rubianes 2001) dan bisa
menyebabkan pergantian folikel dominan (Diskin et al. 2002). Perbedaan
perkembangan folikel akan mempengaruhi pematangan folikel dan waktu ovulasi
(Burke et al. 2001). Penggunaan CIDR pada kambing hampir sama dengan domba
(Fukui et al. 1994) dimana tingkat kebuntingan dan beranak dari domba yang
ditreatment dengan CIDR kemudian diinseminasi dengan semen beku
menunjukkan bahwa tingkat kebuntingan tertinggi pada perlakuan dengan
penanaman CIDR selama 12 hari, yang dideteksi berdasarkan level progesteron
yang ada yaitu 91,2%.
Gambaran Sitologi Vagina
Gambaran hasil pembuatan preparat ulas sitologi ulas vagina berbeda pada
tiap-tiap fase. Hal ini dikarenakan kambing mempunyai gambaran sitologi ulas
vagina yang jelas dan khas pada masing-masing fase siklus estrus (Gambar 5).
Secara umum sel epitel vagina kambing dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe sel,
yaitu sel parabasal, sel intermediet, dan sel superfisial (Tabel 2).
Table 2 Klasifikasi sel epitel vagina kambing beserta ciri-cirinya
Jenis Sel Epitel
Ciri-ciri
Parabasal
Sel paling kecil, bulat, inti besar dan jelas,
umumnya bergerombol saling berdekatan
Intermediet
Awal
Akhir
Superfisial
Piknotik
Anucleus / kornifikasi
Sumber : Beimborn et al. (2003)
Diameter lebih besar dari pada parabasal, bentuk
bulat atau oval, inti mencolok besar
Diameter lebih besar dari pada parabasal, bentuk
polygonal, inti lebih kecil
Sel paling besar, bentuk polygonal, inti sangat
kecil
Sel paling besar, bentuk polygonal, tanpa inti
9
Gambar 5 Klasifikasi sel epitel vagina kambing, (A) Parabasal, (B) Intermediet, (C)
Superficial Pewarnaan Giemsa, Bar = 30 µm (Bowen 2006)
Penggunaan Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi bekerja dengan cara merekam transmisi gelombang suara yang
berasal dari organ target yang dilihat pada satu waktu. Gelombang suara yang dapat
digunakan untuk melakukan pemeriksaan dengan ultrasonografi ialah 1-10 MHz
(Jainudeen dan Hafez 2000; Lavin 2007). Frekuensi yang dipakai dalam pemakaian
USG adalah 2.5-5.0 Mhz dikarenakan makin rendah frekuensi daya penetrasi pun
makin dalam, sehingga didapatkan gambar organ yang diinginkan (Noviana et al.
2012). Frekuensi ini berdasarkan tingkat penetrasi yang diharapkan untuk
menembus jaringan target dan resolusi yang ditampilkan pada layar monitor.
Pada frekuensi rendah akan diperoleh tampilan detail yang kurang baik tetapi
penetrasi jaringan yang lebih baik, sedangkan pada frekuensi yang tinggi akan
diperoleh tampilan detail yang baik tetapi kedalaman penetrasi jaringan yang
kurang baik (Lavin 2007). Transduser dengan frekuensi 3.5 MHz baik digunakan
untuk ultrasonografi secara trans-abdominal pada kambing, domba dan babi.
Transduser dengan frekuensi 5.0-7.5 MHz baik digunakan untuk ultrasonografi
secara transrektal pada ternak kuda, sapi serta domba (Jainudeen dan Hafez 2000).
Mannion (2006) membagi gambaran ultrasonografi menjadi tiga yaitu putih
(hyperechoic), abu-abu (hypoechoic) dan hitam (anechoic).
Hyperechoic menampilkan warna putih pada sonogram atau memperlihatkan
echogenitas yang lebih tinggi dibandingkan sekelilingnya, contohnya tulang, udara,
kolagen dan lemak. Hypoechoic akan menampilkan warna abu-abu gelap pada
sonogram atau memperlihatkan area dengan echogenitas lebih rendah jika
dibandingkan dengan sekelilingnya, contohnya jaringan lunak.
Anechoic menampilkan warna hitam pada sonogram dan memperlihatkan
transmisi penuh dari gelombang, contohnya cairan. Gambaran ultrasonografi yang
terlihat ditentukan oleh ketebalan jaringan. Semakin tebal (padat) suatu jaringan
maka semakin banyak gelombang yang dipantulkan sehingga semakin terang
(putih) tampilan pada layar monitor. Tulang akan berwarna putih sedangkan cairan
akan berwarna gelap (Jainudeen dan Hafez 2000; Lavin 2007).
METODE
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dari September 2013 hingga Juli tahun
2014 yang bertempat di kandang kambing perah Fakultas Peternakan IPB dan di
10
laboratorium Unit Rehabilitasi Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor.
Hewan Percobaan
Penelitian ini menggunakan 10 ekor kambing betina PE dengan umur 2-3
tahun, berat badan 35±5 kg, pernah melahirkan, dan bersiklus estrus normal,
Kambing tidak dalam keadaan bunting dan memiliki Body Condition Score (BCS)
3 (Suhartono et al. 2008). Kambing dipelihara dalam kandang 1,00 × 1,50 m2,
diberikan pakan konsentrat 1 kghari-1, hijauan dan legum 2 kghari-1, air diberikan
secara ad libitum dan diberi obat cacing, multivitamin sebelum dilakukan penelitian.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan ialah ultrasonografi ALOKA model SSD-500 (ALOKA
Co.LTD, Jepang) yang dilengkapi dengan linear probe 7.5 MHz (ALOKA Co.LTD,
Jepang). Gambar hasil pengamatan berupa foto yang dicetak dengan termal printer
(SONY UP-895 MD, Jepang). Linear probe dimodifikasi dengan menambahkan
gagang sepanjang 30 cm sehingga dapat digunakan secara per rectal. Bahan yang
digunakan Hormon Eazi-Breed™CIDR® (Pfizer Australia Pty Ltd berisi 0,3 g
progesteron) untuk singkronisasi estrus.
Prosedur Penelitian
Kegiatan penelitian ini terdiri dari :
1.
2.
3.
4.
5.
Siklus Estrus Alamiah.
Pemasangan Hormon Eazi-Breed™CIDR® .
Pengamatan perkembangan folikel dalam ovarium menggunakan USG.
Pengamatan gejala klinis estrus diam dinaiki dan gejala klinis vulva.
Pengamatan sitologi ulas vagina.
Siklus Estrus Alamiah
11
Kambing yang bersiklus estrus normal diamati selama dua siklus terhadap
Intensitas gejala klinis estrus yaitu: kemerahan, kebengkakan, lendir vagina,
gejala diam dinaiki yang dibedakan menjadi :
+ : Kemerahan dan kebengkakan kurang nyata, lendir sedikit, terlihat DD
++ : Kemerahan dan kebengkakan sedang, lendir cukup tapi tidak keluar,
terlihat DD.
+++ : Kemerahan dan kebengkakan mencolok, lendir banyak terlihat keluar,
terlihat DD.
Lamanya siklus estrus (hari) : dihitung sejak kambing memperlihatkan
gejala diam dinaiki sampai gejala diam dinaiki berikutnya.
Lamanya estrus (jam) : terhitung mulai terlihatnya gejala diam dinaiki,
adanya gejala klinis vulva sampai kambing tidak mau dinaiki lagi dan gejala klinis
vulva tidak nyata. Pejantan pengusik dimasukan kedalam kandang kambing betina
dengan pemasangan apron terlebih dahulu.
Pemasangan Hormon Eazi-Breed™CIDR®
Inisiasi estrus dilakukan dengan menggunakan implan Hormon EaziBreed™CIDR® yang dipasang selama 12 hari secara intravagina (gambar 6).
Pengamatan perkembangan folikel, gejala klinis estrus dan sitologi ulas
vagina dilakukan setelah pencabutan CIDR setiap 6 jam sampai akhir estrus atau
tidak terlihat lagi gejala diam dinaiki dan diteruskan sampai mencapai 66 jam (akhir
pengamatan).
Gambar 6 Pemasangan dan pelepasan CIDR selama 12 hari dilanjutkan dengan
pengamatan perkembangan folikel, gejala klinis estrus, sitologi ulas
vagina
Pengamatan perkembangan folikel dalam ovarium menggunakan USG
12
Pengamatan dilakukan dengan menempatkan kambing PE pada kandang jepit,
feses yang berada di dalam rektum dikeluarkan untuk memperjelas pengamatan.
Folikel diamati menggunakan USG (ALOKA model SSD-500, ALOKACo.LTD,
Jepang) dengan probe linearnya. Probe dilumuri dengan gel untuk mengurangi
iritasi mukosa rektum dan sebagai media untuk penghantaran gelombang suara
ultrasonik.
Probe dimasukkan menyusuri ventral rektum mengarah ke vesica urinaria
dilanjutkan ke bagian anterior sehingga diperoleh gambaran organ reproduksi.
Pengamatan folikel dilakukan setelah pencabutan CIDR, dimana besarnya folikel
dibedakan berdasarkan ukuran kecil (≤ 3 mm), sedang (4-4.9 mm) dan folikel besar
(≥ 5 mm). Probe dimasukkan secara per-rektal mengarah kebawah kearah cornua
uteri, lalu ditelusuri sampai ke ovarium. Hasil pengamatan dicetak menggunakan
printer termal (SONY UP-895 MD, Jepang).
Pengamatan gejala klinis estrus diam dinaiki dan gejala klinis vulva
Pengamatan Gejala klinis estrus dilakukan seiring dengan periode
pengamatan perkembangan folikel, terhitung sejak hormon CIDR dilepas. Jantan
pengusik yang telah dipasangi apron di masukan kedalam kandang untuk
mengetahui Gejala diam dinaiki pada kambing betina.
Intensitas gejala klinis vulva (kemerahan, kebengkakan, lendir) dibedakan
menjadi tinggi (+++), sedang (++) dan rendah (+) seperti pengamatan pada gejala
klinis alamiah. Lamanya estrus (jam) terhitung mulai terlihatnya gejala diam dinaiki,
adanya gejala klinis vulva sampai kambing tidak mau dinaiki lagi dan gejala klinis
vulva tidak nyata terlihat lagi.
Pengamatan sitologi ulas vagina
Pengamatan sitologi vagina dilakukan pada periode yang bersamaan dengan
pengamatan folikel dan gejala klinis estrus. Pembuatan preparat ulas vagina
dilakukan secara vaginal swab menggunakan Cotton swabs yang dimasukan
kedalam sejauh mungkin dan diusapkan kesekeliling dinding didalam vagina, lalu
dibuat preparat ulas pada gelas objek.
Preparat ulas diwarnai ke dalam larutan Giemsa 1:20 selama 2-3 menit.
Terakhir dilakukan pencucian menggunakan akuades. Pengamatan dilakukan
menggunakan mikroskop dengan perbesaran lensa objektif 10 dan 40x. Perhitungan
jumlah sel epitel dilakukan sebanyak 100 sel pada setiap preparat yang diamati
dengan 10 lapang pandang. Sel epithel dibedakan menjadi sel Parabasal, sel
Intermediate dan Sel Superfisial (gambar 7).
13
Gambar 7 Gambaran Sel Epithel Vagina, (A) Parabasal, (B) intermediet, (C)
superfisial dan cornified
Prosedur Analisis Data
Data dianalisis sebagai rataan±standar deviasi dan dijelaskan secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Siklus Estrus Alamiah
Dari hasil pengamatan selama dua siklus estrus, didapatkan rataan lamanya
siklus adalah berkisar antara 18-21 hari (19.47±1.38). Sebagian besar yaitu tujuh
14
ekor kambing (70%) mempunyai siklus 19-20 hari, hanya 2 ekor (20%)
memperlihatkan siklus pendek (17 hari) dan 1 ekor lainnya (10%) bersiklus lebih
panjang (22 hari). Kemungkinan perbedaan lama siklus estrus tersebut tergantung
dari faktor individual atau pengaruh hormonal dan lingkungan. Faktor curah hujan
dan pertumbuhan tanaman makanan ternak dapat berpengaruh terhadap kondisi
estrus dan kesuburan hewan (Davendra dan Burns 1994). Setiadi (1987)
mengemukakan lamanya siklus estrus kambing PE berkisar 20-25 hari.
Menurut Ludgate (1989), estrus akan terulang kembali kurang lebih pada 19
hari berikutnya, bila terjadi kegagalan perkawinan yang ditandai ternak tidak
menjadi bunting. Atabany (2001) menyatakan bahwa lama siklus estrus pada
kambing Saanen di PT Taurus adalah mempunyai rataan 21.73 hari. Hasil penelitian
lain untuk siklus estrus pada kambing didapatkan hasil yang beragam, yaitu 19 hari
dengan rentang 18-22 hari (Sutama 1996), 21 hari (Blakely dan Bade 1992) dan
19.5 hari dengan rentang 18-21 hari (Heath dan Olusanya 1985). Siklus ini
dikontrol secara langsung oleh adanya hormon gonadotropin dari hipofisa anterior
yang mempengaruhi ovarium dalam perkembangan fase folikuler dan fase luteal
dimana hormon estrogen dan progesteron mempengaruhi respon umpan balik
terhadap hipofisa anterior (Senger 2003)
Lama estrus kambing bervariasi tergantung pada bangsa kambing, umur,
musim, dan pengaruh dari individu hewan jantan itu sendiri (Hafez 2000) Siklus
estrus dibagi menjadi beberapa fase yaitu : proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus.
Proestrus (prestanding events). Proestrus adalah fase persiapan, fase ini biasanya
pendek berlangsung selama 1-2 hari. fase ini akan terlihat perubahan pada alat
kelamin luar dan terjadi perubahan-perubahan tingkah laku dimana hewan betina
gelisah dan sering mengeluarkan suara-suara yang tidak biasa terdengar
(Partodihardjo 1987). Alat kelamin betina mulai memperlihatkan terjadinya
peningkatan peredaran darah. Betina mulai menampakkan gejala estrus tetapi masih
tidak mau menerima pejantan. Pada fase ini folikel de Graaf tumbuh dibawah
pengaruh FSH dan menghasilkan estradiol, folikel berkembang dan diisi dengan
cairan folikuler. Estradiol meningkatkan jumlah suplai darah ke saluran alat
kelamin dan meningkatkan perkembangan estrus, vagina, tuba fallopi, folikel
ovarium. Pada akhir periode ini betina mulai memperhatikan pejantan (Toelihere
1981).
Estrus (Standing Heat). Estrus adalah periode yang ditandai dengan
penerimaan pejantan oleh hewan betina untuk berkopulasi. Pada umumnya
memperlihatkan tanda-tanda gelisah, nafsu makan turun atau hilang sama sekali,
menghampiri pejantan dan tidak lari bila pejantan menungganginya (Saoeni 2007).
Menurut Frandson (1992), Penerimaan pejantan disebabkan pengaruh estradiol
yang menghasilkan tingkah laku kawin pada betina. Pada saat itu, keseimbangan
hormon hipofisa bergeser dari FSH ke LH yang mengakibatkan peningkatan LH,
hormon ini akan membantu terjadinya ovulasi dan pembentukan CL yang terlihat
pada masa sesudah estrus. Proses ovulasi akan diulang kembali secara teratur setiap
jangka waktu yang tetap yaitu satu siklus estrus (Johnston et al. 2001). Pengamatan
estrus pada ternak sebaiknya dilakukan dua kali, yaitu pagi dan sore sehingga
adanya estrus dapat teramati dan tidak terlewatkan (Salisbury dan Vandenmark
1985).
Metestrus (pasca estrus). Metestrus merupakan fase yang terjadi segera
setelah fase estrus berakhir. Gejala tidak terlihat nyata, namun masih terlihat sisa-
15
sisa gejala estrus, tetapi hewan menolak untuk kopulasi. Terjadi pembentukan
korpus hemoragikum pada ovarium di tempat folikel de Graaf yang telah
melepaskan ovum. Ovum yang keluar dari folikel berada dalam tuba falopii menuju
uterus. Setelah sekitar 5 hari, korpus hemoragikum mulai berubah menjadi jaringan
luteal, menghasilkan CL. Fase ini sebagian besar berada dibawah pengaruh
progesteron yang dihasilkan oleh CL (Hafez 2000). Progesteron menghambat
sekeresi FSH oleh pituitari anterior sehingga menghambat pertumbuhan folikel
ovarium dan mencegah terjadinya estrus. Periode ini berlangsung selama 3-4 hari
setelah estrus.
Diestrus adalah periode terakhir dan terlama pada siklus estrus, CL menjadi
matang dan pengaruh progesteron terhadap saluran reproduksi menjadi nyata
(Marawali 2001). Apabila pada 17 atau 18 dari siklus birahi terjadi pembuahan
maka CL tetap bertahan sampai terjadi kelahiran, bila tidak terjadi pembuahan CL
akan beregresi.
Gejala klinis estrus vulva diamati sejak terlihatnya gejala diam dinaiki,
dimana umumnya kambing memperlihatkan intensitas sedang yaitu kemerahan,
kebengkakan tidak mencolok, dan keberadaan lendir terlihat hanya bila diulas
menggunakan “cotton bud”. Keberadaan lendir diukur melalui banyaknya lendir
yang dikeluarkan oleh kambing, umumnya berintensitas sedang 8 dari 10 ekor,
(80%). Hanya 2 ekor memperlihatkan intensitas tinggi, dimana terlihat lendir keluar
dari vulva.
Berbeda dengan kondisi estrus pada sapi dimana gejala klinis vulva terutama
kemerahan, kebengkakan dan lendirnya cukup jelas dan menjadi andalan untuk
pengamatan estrus (Hafez 2000). Dalam hal ini pengamatan estrus pada kambing
harus dilakukan lebih seksama dengan mengamati lebih sering. Pada umumnya
pengamatan gejala estrus pada kambing umumnya dilakukan dengan melihat gejala
diam dinaiki saja. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa selain gejala diam dinaiki,
sebaiknya observasi gejala klinis vulva diperhatikan untuk menentukan waktu
kawin yang lebih baik.
Tingkat keberhasilan dengan perlakuan IB dengan waktu kawin 12 jam
setelah diam dinaiki, hanya berkisar 30-50% tingkat keberhasilanya (Budiarsana
dan Sutama 2001).
Selama kambing dalam fase estrus, gejala klinis vulva terlihat optimal disertai
adanya gejala diam dinaiki, umumnya berkisar antara 24-48 jam, apabila telah
terlihat gejala klinis vulva mulai berkurang, diperkirakan kambing sudah
memasuki fase metestrus dan menolak untuk dinaiki. Selanjutnya secara berangsur
gejala klinis vulva semakin tidak nyata, dan memasuki fase diestrus yang
berlangsung, kemudian memasuki lagi pada fase proestrus.
Pengamatan Perkembangan Folikel
Pengamatan folikel didahului dengan mensinkronkan estrus menggunakan
CIDR selama 12 hari. Lama implant selama itu dimaksudkan untuk mendapatkan
mayoritas siklus estrus untuk mencapai estrus bersamaan. Lamanya implant dapat
dilakukan mulai 9-17 hari. Namun pemasangan yang berlansung lama akan
memberikan kualitas sel telur yang kurang baik (Junaidi dan Norman 2005) CIDR
berisi hormon progesteron, yang mempunyai fungsi dalam mekanisme hormonal
16
sebagai umpan balik negative, seperti halnya fungsi CL (fase luteal) yang selama
12 hari pemasangan menyamakan siklus dan setelah dicabut maka estrus dapat
terjadi relatif serentak dari semua kambing perlakuan. Dari pengamatan, semua
kambing (100%) memperlihatkan estrus. Pemasangan implant hormon CIDR
sangat efektif ketika fase luteal sehingga terjadi luteolisis. Implan CIDR yang
mengandung hormon progesteron akan mengakibatkan terjadinya efek umpan balik
negatif terhadap sekresi gonadotropin, yakni (FSH) dan luteinizing hormone (LH).
Penghambatan sekresi gonadotropin tidak disertai oleh penghambatan
sintesis, sehingga selama implant CIDR berlangsung, terjadi penimbunan
gonadotropin di hipofisis anterior. Pada saat pencabutan CIDR, terjadi penurunan
konsentrasi hormon progesteron di dalam darah sehingga umpan balik negatif pun
hilang. Hal ini berakibat terjadinya suatu fenomena yang disebut rebound effect,
sehingga hormon gonadotropin disekresikan dalam jumlah banyak yang mampu
merangsang proses folikulogenesis dan terbentuk folikel-folikel matang (Peter et
al. 2009).
Folikel yang mencapai kematangan, setelah pencabutan CIDR, maka
progesteron akan berkurang, dan terjadi peningkatan LH untuk terjadinya ovulasi
(Junaidi dan Norman 2005). Dengan pengamatan USG, setelah pencabutan CIDR
(jam ke-0) dari 10 ekor kambing umumnya masih belum terlihat folikel dominan.
Rataan dari terlihatnya gambaran jumlah folikel dengan diameter kecil (≤ 3 mm)
sebanyak 1-2 (1.7±1.3 mm), folikel sedang (4-4.9 mm) terlihat sebanyak 2 (2±0
mm), akan tetapi terdapat folikel besar (≥ 5 mm) hanya 0-1 (0.3±0.7 mm).
Hal ini menunjukkan saat pencabutan, kambing mulai memasuki awal fase
estrus. Kambing yang menunjukkan folikel besar, kemungkinan masuk dalam
folikel dominan pada gelombang pertama, dimana kambing belum berhasil
menunjukkan gejala estrus. Gelombang folikel pada domba umumnya mempunyai
dua sampai tiga gelombang yang akhirnya mencapai folikel dominan pada estrus
(Santoso et al 2014). Dalam proses gelombang folikel terdiri dari fase rekruitment,
seleksi dan dominan, folikel yang terus berkembang pada saat level hormon
estrogen masih tinggi akan mengakibatkan folikel atresia, baru mencapai folikel
dominan akhir apabila level hormon estrogen turun. Pada pengamatan selanjutnya
yaitu jam ke-6-12 terlihat perkembangan folikel kecil, sedikit menurun dengan
jumlah rata-ratanya (1.4±0.7 mm), folikel sedang (1.5±1.2 mm) dan folikel besar ≥
5 mm meningkat menjadi (0.5±0.7 mm).
Perubahan baru terlihat nyata pada jam ke-18, yaitu folikel sedang menurun
dengan jumlah rataan (1.3±0.8 mm), dimana dalam periode ini perkembangan
folikel menuju pembentukan folikel dominan. Hal ini terlihat dengan terjadinya
peningkatan folikel besar menjadi 1.0±0.9 mm. Pada jam ke-24 dan 30, terlihat
peningkatan folikel besar mencapai diameter 7-8 mm, dengan rataan (1.4±1.0 mm),
diiringi penurunan folikel sedang (0.9±0.9 mm) (Gambar 8).
Hal ini menunjukan perkembangan folikel memasuki fase folikel dominan
akhir, yang akan menunjukkan adanya gejala estrus. Folikel besar atau folikel de
Graaf menghasilkan hormon estrogen yang mempunyai kepentingan untuk
menunjukkan gejala klinis estrus. Bersamaan dengan terlihatnya folikel besar,
kambing juga menunjukkan gejala estrus.
17
5
Jumlah folikel (n =10)
4
3
3 mm
4-4.9 mm
2
5 mm
1
0
0
6
12
18
24 30 36 42 48
Waktu Pemeriksaan (Jam)
54
60
66
Gambar 8. Rataan jumlah folikel kambing PE yang disinkronnisasi menggunakan
CIDR (n=10) yang dikelompokkan dalam kelas folikel, ᴓ ≤ 3 mm , ᴓ
4-4.9 mm , dan ᴓ ≥ 5 mm , selama 12 kali pemeriksaan
Jam ke-36 peningkatan folikel besar terus berlanjut ditunjukkan dengan
ukuran rataan 1-2 (1.7±0.8 mm), folikel sedang 0-1 (0.9 ± 0.6 mm) dan folikel kecil
0-1 (0.8 ± 0.4 mm). Hal ini berarti folikel besar yang terlihat di jam ke-36,
diperkirakan adalah folikel de Graaf yang berpotensi menyebabkan peningkatan
level hormon estrogen yang berpengaruh terhadap gejala klinis estrus. Pada
pengamatan jam ke-42, tidak ditemuka folikel yang berukuran ≥ 7 mm dengan
ukuran rataan (1.2±0.6 mm) dan diperkirakan telah terjadi ovulasi.
Dengan demikian ovulasi terjadi diantara jam ke 36 dan 42 dengan rataan jam
38.8±6.6 dari 10 ekor kambing yang diamati. Secara keseluruhan dalam
pengamatan lanjutan perkembangan folikel, bertambahnya jumlah folikel kecil (33.9 mm), terlihat pada jam pengamatan ke 48 sampai jam ke 66. Dalam hal ini
mencerminkan ovulasi telah lewat dan memulai perkembangan folikel baru dalam
fase berikutnya yaitu masuknya fase metestrus. Pada masa ini kambing sudah tidak
memperlihatkan gejala estrus.
18
Gambar 9. Gambaran ultrasonografi folikel (F), korpus luteum (CL) selama 12 kali
pengamatan
Kambing yang diamati berada pada fase folikuler dan terlihat pertumbuhan
folikel dimana terdapat beberapa variasi diameter folikel kecil, sedang dan diameter
besar yang menuju perkembangan folikel dominan atau folikel de Graaf (Gambar
9). Pertumbuhan folikel dalam siklus estrus terdiri atas fase rekrutment, seleksi, dan
dominan, dimana banyaknya folikel kecil masuk dalam fase awal estrus, beberapa
diantaranya terdapat folikel besar, namun tidak mencapai perkembangan optimal
karna hormon progesteron tinggi. Turunya level hormon progesteron menyebabkan
perkembangan folikel besar dapat tumbuh optimal dan selanjutnya akan mengalami
ovulasi (Driancourt 2001). Pada fase folikuler, follicle stimulating hormone (FSH)
disekresikan oleh kelenjar hipofisa anterior yang merangsang pertumbuhan folikel
(Fatet et al. 2011). Folikel yang terus berkembang akan menjadi folikel De Graaf
dan akan mengalami ovulasi. Folikel yang ovulasi akan menyisakan cekungan pada
ovarium yang dikenal dengan awal perkembangan korpus luteum (CL). Keberadaan
CL dapat terdeteksi tiga dan empat hari setelah ovulasi sampai dengan ovulasi
berikutnya (De Castro et al. 1999; Simoes et al. 2007; Vazqueza et al. 2010).
Diameter folikel ovulasi kambing PE tidak berbeda dengan kambing anglo
nubian, sedangkan pada kambing anglo nubian diameter folikel ovulasi sebesar
8,3±0,4 mm (Ariyaratna dan Gunawardana 1997; Vazqueza et al. 2010).
19
Folikel yang mencapai diameter 5 mm atau lebih dalam satu gelombang folikel akan
mengalami ovulasi (Rubianes and Menchaca 2003). Folikel yang tidak mencapai
ukuran 4 mm merupakan kelompok folikel yang dinamis (De Castro et al. 1999).
Folikel-folikel matang ini akan mensintesis hormon estrogen lalu disekresikan
kedalam peredaran darah yang mengakibatkan hewan betina menjadi estrus, dan
diekspresikan berupa penampakan gejala-gejala estrus.
Perubahan Gejala Klinis Vulva
Onset estrus
Pengamatan onset estrus atau timbulnya estrus dengan tanda kambing diam
dinaiki (DD) setelah pencabutan CIDR mempunyai kisaran 12 jam sampai 18 jam,
dengan rataan 12,2±1,3 jam. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil
penelitian Motlomelo et al. (2002) menggunakan progesteron yang berbeda untuk
sinkronisasi estrus pada ternak kambing, kelompok yang menggunakan CIDR lebih
awal menunjukkan gejala estrus dimana estrus berkisar 27,2±0,4 jam dengan lama
estrus berkisar 32,2±0,7 jam. Hasil penelitian Roche (2006) melaporkan bahwa
sedikitnya jumlah folikel yang tumbuh akan mengakibatkan sekresi estradiol
menjadi sedikit (berkurang) sehingga menyebabkan awal estrus yang lebih panjang.
Onset estrus yang berbeda-beda pada setiap individu kambing dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kwalitas pakan, lingkungan dan genetika
individu kambing itu sendiri (Hafez 2000). Onset estrus atau awal munculnya estrus
setelah sinkronisasi perlu diketahui karena mempunyai peranan yang besar bagi
keberhasilan perkawinan. Dalam penelitian ini onset estrus yang paling panjang
adalah 18 jam dan yang terpendek adalah 12 jam. Diperkirakan perbedaan tersebut
karena perbedaan individu dimana masing-masing mempunyai karakteristik
hormonal yang berbeda. Namun, perbedaan tersebut dinilai masih dalam kisaran
normal.
Gejala klinis vulva
Gejala klinis vulva sebagai respon estrus akibat inisiasi pemberian CIDR
selama 12 hari, dengan terlihatnya gejala kemerahan, kebengkakan dan keberadaan
lendir yang dibedakan menurut intensitasnya. Pada awal pencabutan CIDR, belum
terlihat gejala estrus sampai jam ke-6 dan baru mulai tampak adanya kebengkakan,
sedikit kemerahan dan keberadaan lendir pada jam ke 12. Tiga ekor kambing (30%)
belum menunjukkan gejala klinis vulva dan tujuh ekor lainnya gejala klinis sudah
mulai tampak (Tabel 3). Gambaran folikel pada observasi ini terdapat
perkembangan folikel sedang (3-4.9 mm), dan terlihat folikel besar meski belum
mencapai besar optimal. Pada observasi selanjutnya, jam ke-18, terlihat 9 dari 10
kambing (90%) telah menunjukkan gejala klinis vulva yang intensitas sedang (++)
(Tabel 3) sebanyak 6 ekor dan 3 ekor rendah (+).
Tabel 3. Visualisasi respon berahi pada kambing PE setelah pencabutan implant
CIDR
20
Jumlah kambing (ekor)
Pelepasan
CIDR
kemerahan
kebengkakan
(Jam)
+
++
+++
+
++
+++
0
0
0
0
0
0
0
6
0
0
0
0
0
0
12
5
0
0
7
0
0
18
1
6
0
3
6
0
24
2
3
4
1
5
4
30
2
1
6
0
5
5
36
1
0
8
1
1
8
42
1
1
7
1
3
6
48
1
4
3
1
5
3
54
1
6
0
2
6
1
60
6
0
0
6
0
0
66
0
0
0
0
0
0
Keterangan : + : rendah, ++ : sedang, +++ : tinggi
Panjang lendir
+
++
+++
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
3
0
1
4
1
0
2
4
0
1
7
1
2
5
1
4
2
0
0
1
0
0
0
0
0
0
Pada jam ke-24-30 dimana terdapatnya gambaran folikel besar, menandakan
terlihatnya peningkatan gejala klinis vulva menjadi lebih bengkak, merah dan
beberapa kambing menunjukkan intensitas lendir tinggi (gambar 10 dan 11).
Gambar 10. Kemerahan, kebengkakan vulva setelah pencabutan CIDR
Mencapai peningkatan tertinggi pada observasi jam ke-36 (+++) pada 8 ekor
kambing (80%), disaat itu terlihat gambaran USG, ukuran folikel besar (7-8 mm)
dimana diperkirakan adanya folikel de Graaf (dominan). Intensitas estrus yang
meningkat disebabkan disekresikannya estrogen kedalam darah yang dihasilkan
ovarium yang berpengaruh pada estrus. Intensitas tersebut bertahan sampai jam ke42, lalu menurun pada jam ke-48-54 sampai tidak terdeteksi lagi setelah jam ke 66.
Hal ini sesuai dengan gambaran USG folikel yang menyatakan bahwa telah terjadi
ovulasi pada jam ke 36-42.
Dari penelitian ini terlihat bahwa cukup banyak kambing yang
memperlihatkan lendir, disamping kebengkakan dan kemerahan vulv