Produksi Prebiotik (Manooligosakarida) dari Umbi Porang Menggunakan Mananase Streptomyces violascens BF 3.10 Asli Indonesia.

PRODUKSI PREBIOTIK (MANOOLIGOSAKARIDA) DARI
UMBI PORANG MENGGUNAKAN MANANASE
Streptomyces violascens BF 3.10 ASLI INDONESIA

AZIZAH HIKMA SAFITRI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Produksi Prebiotik
(Manooligosakarida) dari Umbi Porang Menggunakan Mananase Streptomyces
violascens BF 3.10 Asli Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Azizah Hikma Safitri
NIM P051120201

RINGKASAN
AZIZAH HIKMA SAFITRI. Produksi Prebiotik (Manooligosakarida) dari Umbi
Porang Menggunakan Mananase Streptomyces violascens BF 3.10 Asli Indonesia.
Dibimbing oleh ANJA MERYANDINI dan YOPI.
Porang (Amorphophallus muelleri Blume) merupakan tanaman indigenous
Indonesia yang hingga kini belum banyak dieksplorasi untuk kepentingan
pemenuhan kebutuhan maupun penelitian di Indonesia. Jenis tanaman ini
merupakan satu dari 27 jenis Amorphophallus di Indonesia dan dari 170 jenis
yang dikenal di dunia. Umbi yang termasuk tipe tumbuhan liar ini belum banyak
dimanfaatkan meskipun jumlahnya berlimpah di Indonesia. Saat ini porang lebih
banyak hanya diekspor ke luar negeri dalam bentuk tepung porang dengan
kualitas dan harga relatif rendah. Sulitnya proses pengolahan karena tingginya
kandungan asam oksalat merupakah salah satu sebab umbi porang dianggap
kurang fungsional untuk bahan pangan maupun pakan di dalam negeri.
Disisi lain umbi porang memiliki nilai ekonomis, karena mengandung kadar

hemiselulosa dalam bentuk glukomanan yang tinggi. Glukomanan dapat
dihidrolisis secara enzimatis menjadi manooligosakarida (MOS) yang berperan
sebagai komponen pangan fungsional karena berfungsi sebagai prebiotik. MOS
merupakan salah satu macam prebiotik selain FOS, GOS, dan XOS yang sedang
banyak diteliti dan dikembangkan. Prebiotik merupakan non digestibele
oligosaccharides (NDOs) yang secara selektif dapat merangsang pertumbuhan
dan atau kesehatan metabolisme mikroba menguntungkan dalam saluran
pencernaan sehingga meningkatkan keseimbangan mikroflora dalam inang.
Prebiotik jenis MOS telah banyak dimanfaatkan terutama untuk menunjang
kesehatan ternak. Salah satu cara memperoleh MOS dengan kualitas baik adalah
melalui hidrolisis glukomanan oleh enzim endo β-mananase.
Tujuan dari penelitian dalam tesis ini terfokus pada karakterisasi
kemampuan isolat aktinomisetes BF 3.10 yang diisolasi dari tanah hutan Taman
Nasional Bukit Duabelas Jambi dalam menghasilkan mananase dan
pemanfaatannya untuk produksi MOS. Analisis prebiotik yang dihasilkan melalui
metode thin layer chromatography (TLC) dan high performance liquid
chromatography (HPLC) serta uji pengaruh prebiotik terhadap pertumbuhan
bakteri asam laktat dan bakteri patogen juga dipaparkan dalam tesis ini.
Sebagai tahapan awal penelitian dilakukan penapisan isolat dari delapan
isolat aktinomisetes yang diisolasi dari Taman Nasional Bukit Dua belas Jambi.

Penapisan secara kualitatif dilakukan dengan metode pewarnaan merah kongo dan
secara kuantitatif dengan assay enzim. Isolat potensial penghasil manananse
terpilih memiliki indeks mananaolitik (IM) 2.56 dan aktivitas enzim 9.81 U/mL.
Melalui analisis sekuen gen 16S rRNA isolat potensial teridentifikasi sebagai
Streptomyces violascens BF 3.10. Glukomanan porang sebagai substrat dianalisis
proksimat dan Van Soest untuk mengetahui komposisi kimianya. Hasil analisis
menunjukkan glukomanan porang mengandung kadar hemiselulosa yang tinggi
yaitu 75.72%. Tahapan selanjutnya dilakukan produksi enzim mananase dengan
menggunakan sumber karbon berupa 0.5% glukomanan porang. Mananase
diproduksi dalam skala 100 mL pada suhu kultur 30 C dan kecepatan agitasi 200
rpm selama lima hari waktu inkubasi. Mananase dengan kadar gula pereduksi

tertinggi dihasilkan pada jam ke-72 inkubasi kultur. Selanjutnya mananase yang
dihasilkan dikarakterisasi kondisi optimumnya meliputi pH, suhu, dan stabilitas.
Kondisi optimum yang didapatkan digunakan sebagai parameter untuk optimasi
kondisi hidrolisis dalam produksi prebiotik MOS. Mananase S. violascens BF
3.10 mempunyai kondisi optimum pada pH 6 dan suhu 70 C dengan aktivitas
enzim sebesar 16.38 U/mL dan stabil pada suhu 30 C selama 24 jam serta pada
suhu 4 C selama 48 jam.
Produksi MOS dilakukan melalui hidrolisis enzimatis. Reaksi dilakukan

dengan mereaksikan substrat dengan tiga variasi konsentrasi dan variasi waktu
hidrolisis. Produk hidrolisis kemudian dianalisis secara kuantitatif dengan
mengukur gula total, gula reduksi, dan derajat polimerisasi (DP) serta secara
kualitatif dengan menggunakan TLC dan HPLC. Konsentrasi substrat 0.25%,
0.5%, dan 1% glukomanan porang dalam 10 mL enzim selama 5 hingga 24 jam
hidrolisis mampu menghasilkan produk hidrolisis dengan DP 2-4. Gula total dan
gula reduksi yang dihasilkan untuk konsentrasi substrat 1% mengalami kenaikan
dari jam pertama hidrolisis hingga jam ke-24. Sementara konsentrasi gula total
dan gula pereduksi cenderung konstan. Visualisasi produk hasil TLC dan HPLC
menunjukkan bahwa jenis MOS yang dihasilkan yaitu glukosa, manobiosa,
manotriosa, dan manotetrosa.
Tahapan akhir dari penelitian sebagai konfirmasi dari produk prebiotik yang
dihasilkan yaitu uji pengaruh prebiotik terhadap pertumbuhan bakteri asam laktat
dan bakteri patogen. Bakteri asam laktat yang diujikan yaitu Pediococcus
pentosaceus E1222 sementara bakteri patogen yang diujikan yaitu Salmonella sp.
Pada pengujian ini terdapat enam kelompok perlakuan, yaitu 1. P. Pentosaceus
E1122 dengan media MRS; 2. P. pentosaceus E1222 dengan media MRS yang
komponen glukosanya disubstitusi dengan MOS; 3. P. pentosaceus E1122 dengan
media MRS minimal; 4. Salmonella sp. dengan media LB; 5. Salmonella sp.
dengan media LB yang disubstitusi dengan MOS; 6. Salmonella sp. dengan media

LB minimal. Pengujian MOS baik untuk BAL maupun bakteri patogen yang
diujikan pada media MRS dan media LB masih belum dapat disimpulkan
efektivitasnya sebagai prebiotik, hal tersebut berkaitan dengan komposisi media
minimal sebagai parameter pembanding yang masih kaya akan sumber karbon
sehingga sel masih tumbuh dengan baik menyerupai media MRS kontrol
meskipun tanpa penambahan MOS. Diperlukan penentuan komposisi defined
media MRS minimal dan LB minimal sehingga dapat dijadikan pembanding yang
akurat untuk mengetahui efektivitas MOS sebagai sumber karbon untuk
meningkatkan pertumbuhan bakteri asam laktat dan menghambat pertumbuhan
bakteri patogen.
Kata

kunci:

Streptomyces violascens,
manooligosakarida

glukomanan,

porang,


mananase,

SUMMARY
AZIZAH HIKMA SAFITRI. Production of Prebiotics (Mannooligosaccharides)
from Porang Using Mannanase from Indonesian Streptomyces violascens BF
3.10. Supervised by ANJA MERYANDINI and YOPI.
Porang (Amorphophallus muelleri Blume) is an indigenous Indonesian
plant which had not being widely explored for food needs or for research in
Indonesia. Porang is one of the 27 species in genus Amorphophallus exist in
Indonesia and one of the 170 species worldwide. Despite the abundance in
Indonesia, the exploration and utilization of this wild tuber is still so little.
Nowadays, porang mostly be exported overseas in the form of flour with
relatively low price and low quality. The high number of oxalic acid lead to the
difficulty of porang processing, causing this tuber to be considered as less
functional to be used as food or feed.
In the other side, porang actually has an economic value for its high
hemicellulose content in the form of glucomannan. Glucomannan could be
hydrolyzed enzymatically to mannooligosaccharides (MOS) which beneficial as a
prebiotic or a component of functional food. MOS is one of prebiotic agent after

FOS, GOS, and XOS which recently being researched and developed. Prebiotics
are one of non-digestible oligosaccharides (NDOs) which selectively stimulates
useful microbe growth and or health of in digestion which then increase the
microflora quality of the host. MOS has been used especially for supporting the
health of livestock. One way to get high quality MOS is by glucomannan
hydrolysis by endo-β-mannanase enzyme.
This thesis aimed to focus on characterizing the capability of actinomycete
BF 3.10 isolated from forest ground of Bukit Duabelas National Park, Jambi, in
producing mannanase and its utilization for MOS production. This thesis also
explained the result of prebiotic analysis by thin layer chromatography (TLC) and
high performance liquid chromatography (HPLC) and also results of the
investigation of the prebiotic effect on the growth of lactic acid (LAB) and
pathogenic bacteria.
As the initial stage, eight actinomycete isolated from Bukit Duabelas
National Park were screened. Qualitative screening was performed by the method
of congo red staining, while quantitative screening was accomplished by
enzymatic assay. Potential mannanase generating isolate selected had yield index
of mannanase of 2.56 and enzyme activity of 9.81 U/mL. Through the sequential
analysis gen 16s rRNA, the potential isolate was identified as Streptomyces
violascens BF 3.10. Proximate and Van Soest analysis of glucomannan porang

was performed to identify the chemical composition. Analysis results showed that
glucomannan porang has a high content of hemicellulose which was 75.72%. The
next stage was mannanase enzyme production by using 0.5% glucomannan
porang as the carbon source. Mannanase produced in the scale of 100 mL in 30 oC
culture temperature and 200 rpm agitation speed for 5 days incubation.
Mannanase with the highest reducing sugar was obtained in the 72nd hour of
culture incubation. Further, mannanase produced then was characterized its
optimum condition such as pH, temperature, and stability. The optimum condition
obtained then used as a parameter to optimize the hydrolysis condition in MOS

prebiotic production. Mannanase of S. violascens BF 3.10 had the optimum
condition in pH 6 and temperature 70 oC with enzyme activity of 16.38 U/mL and
stable at 30 oC for 24 hours and at 4 oC for 48 hours.
Production of MOS was done by enzymatic hydrolysis. The substrate
reacted with three variations of hydrolysis concentration and time. The hydrolysis
products then analyzed quantitatively by measuring total sugar content, reducing
sugar content, and degree of polymerization (DP). The results also analyzed
qualitatively by TLC and HPLC. Substrate concentrations of 0.25%, 0.5%, and
1% glucomannan porang in 10 mL enzyme incubated for 5 until 24 hours
hydrolysis were capable to product hydrolysis products with DP of 2-4. Total and

reducing sugar resulted from substrate concentration of 1% was increased during
the first 24 hour. Meanwhile, total and reducing sugar concentration tent to remain
constant. Visualization of TLC and HPLC products showed that the types of MOS
produced were glucose, mannobiose, mannotriose, and mannotetrose.
The final stage or the confirmation of prebiotic product was the test of the
prebiotic effect on the growth of lactic acid and pathogenic bacteria. Lactic acid
bacteria used was Pediococcus pentosaceus E1222 while pathogenic bacteria used
was Salmonella sp. This test had six treatment groups, i.e. 1) P. pentosaceus
E1122 in MRS medium; 2) P. pentosaceus E1222 in MRS medium with
substitution of glucose by MOS; 3) P. pentosaceus E1122 in minimum MRS
medium; 4) Salmonella sp. in LB medium; 5. Salmonella sp. in LB medium
substituted by MOS; 6) Salmonella sp. in minimum LB medium. The
effectiveness of MOS as prebiotic for both LAB and pathogenic bacteria tested on
MRS medium and LB medium still could not be determined, caused by the
minimum medium composition had sufficient carbon source to make the cells
grow even without the addition of MOS. It is needed to determine the composition
of MRS-defined minimal and LB minimal medium so it can be used as an
accurate comparison of the effectiveness of MOS as carbon source to enhance the
growth of LAB and inhibit the growth of pathogenic bacteria.
Key words:


Streptomyces violascens, glucomannan, porang, mannanase,
mannooligosaccharides

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

PRODUKSI PREBIOTIK (MANOOLIGOSAKARIDA) DARI
UMBI PORANG MENGGUNAKAN MANANASE
Streptomyces violascens BF 3.10 ASLI INDONESIA

AZIZAH HIKMA SAFITRI


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Bioteknologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Komang G. Wiryawan

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Shalawat
dan salam selalu tercurahkan pada Rasulullah SAW. Karya ilmiah dengan judul
Produksi Prebiotik (Manooligosakarida) dari Umbi Porang Menggunakan
Mananase Streptomyces violascens BF 3.10 Asli Indonesia ini ditujukan sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi
Bioteknologi Sekolah Pascasarjana IPB.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan karya ilmiah ini baik secara langsung maupun tidak
langsung hingga penulis dapat menyelesaikan studi program Magister dengan
baik. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada komisi pembimbing Prof Dr
Anja Meryandini, MS dan Dr Yopi yang telah sabar dalam membimbing,
memberikan banyak ilmu, saran, dan motivasinya selama penelitian dan penulisan
tesis. Terima kasih penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Komang G. Wiryawan
yang telah menjadi dosen penguji dan memberikan saran. Terima kasih pula
penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Khaswar Syamsu, MSc selaku perwakilan
program studi Bioteknologi dalam sidang tesis atas masukan dan ilmu selama
penulis melakukan studi. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada
seluruh dosen Bioteknologi yang telah memberikan banyak ilmu, berbagi
wawasan dan pengalaman selama masa studi. Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Mbak Apridah Cameliawati Djohan dan seluruh staf dan
peneliti Lab Biokatalis dan Fermentasi (LBF) LIPI serta Ibu Dewi dari Lab
Bioteknologi Hewan dan Biomedis PPSHB-IPB atas peran dan kerja samanya
yang telah membantu dalam pengumpulan data dalam penelitian ini.
Penulis sampaikan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta Bapak
Sukandar dan Ibu Nurdiana atas kasih sayang, perhatian, doa dan dukungan baik
secara moral maupun spiritual yang sangat berarti bagi penulis. Terima kasih
penulis sampaikan kepada adik Evy Nurul Husni, mas Teguh Prasetyo dan seluruh
keluarga atas segala kasih sayang dan motivasi yang diberikan. Terima kasih juga
penulis sampaikan kepada rekan penelitian Kak Wida Salupi, Kak Ariandi, Kak
Muhammad Nur Kholis atas kebersamaannya menjadi satu tim yang solid. Penulis
ucapkan terima kasih pula kepada rekan-rekan di LBF LIPI Mbak Gading, Ayun
atas kebersamaannya. Terima kasih kepada rekan-rekan Bioteknologi 2012 atas
kebersamaan dan semangat yang diberikan, HKRB 45 (Sabti, Harum, Fery,
Kamal, dkk), anggota wisma Eky (Mesi, Hera, Sulis, dkk), serta sahabat dan
rekan-rekan yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam tesis ini. Besar harapan
penulis agar hasil penelitian dan karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak
yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2014
Azizah Hikma Safitri

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
3
3
3

2 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Alat
Metode

4
4
4
4
4

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penapisan dan Identifikasi Isolat Potensial Penghasil Mananase
Analisis Van Soest Tepung Umbi Porang
Penentuan Waktu Optimum Produksi Mananase Streptomyces
violascens BF 3.10 BF 3.10
Karakterisasi Mananase Streptomyces violascens BF 3.10
Dialisis Enzim Mananase
Hidrolisis Enzimatis Substrat Glukomanan Umbi Porang oleh
Mananase Streptomyces violascens BF 3.10
Analisis Produk Hidrolisis Glukomanan Porang Menggunakan Thin
Layer
Chromatography
dan
High
Performance
Liquid
Chromatography
Uji Pengaruh Prebiotik terhadap Pertumbuhan Bakteri Asam Laktat
dan Bakteri Patogen

10
10
11
13
15
18
19

22
25

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

30
30
30

DAFTAR PUSTAKA

31

LAMPIRAN

36

RIWAYAT HIDUP

42

DAFTAR TABEL
1
2
3

4

Aktivitas enzim pada penapisan isolat potensial penghasil mananase
Komposisi tepung umbi porang berdasarkan hasil uji Van Soest
Derajat polimerisasi produk hidrolisis porang oleh mananase
Streptomyces violasces BF 3.10 pada berbagai konsentrasi dalam 10
mL enzim pada suhu 30 C dan kecepatan agitasi 150 rpm
Hasil TPC Pediococcus pentosaceus E. 1222 dan Salmonella sp.

11
12

21
26

DAFTAR GAMBAR
1

2
3
4

5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Pembentukan zona bening isolat aktinomisetes pada media spesifik
glukomanan umbi porang 0.5% pada suhu 30 C selama 72 jam
inkubasi
Morfologi porang
Tepung umbi porang lolos 80 mesh
Kurva aktivitas mananase dan berat biomassa Streptomyces violascens
BF 3.10 pada 0.5% glukomanan umbi porang pH 6 pada suhu 30 C,
kecepatan 200 rpm
Pengaruh pH terhadap aktivitas mananase Streptomyces violascens BF
3.10 yang diukur pada suhu 30 C
Pengaruh suhu terhadap aktivitas mananase Streptomyces violascens
BF 3.10 yang diukur pada pH 6
Stabilitas mananase Streptomyces violascens BF 3.10 pada suhu 4 C,
30 C, dan 70 C
Profil hasil TLC enzim sebelum dan setelah didialisis
Konsentrasi gula pereduksi hasil hidrolisis substrat glukomanan umbi
porang oleh enzim mananase Streptomyces violascens BF 3.10
Analisis TLC produk hidrolisis pada berbagai waktu reaksi dan
konsentrasi substrat
Hasil analisis high perform liquid chromatography hidrolisis porang
0.5% dengan waktu inkubasi 5 jam
Hasil analisis high perform liquid chromatography hidrolisis porang
1.0% dengan waktu inkubasi 5 jam
Kultur Pediococcus pentosaceus E. 1222
Kultur Salmonella sp.

10
11
12

14
15
16
17
19
20
23
24
25
27
28

DAFTAR LAMPIRAN
1

2
3
4
5

Pembentukan zona bening delapan isolat aktinomisetes pada media
spesifik glukomanan umbi porang 0.5% pada suhu 30 C selama 72
jam inkubasi
Hasil analisis proksimat tepung umbi porang
Hasil analisis Van Soest tepung umbi porang
Hasil sekuensing analisis gen 16S rRNA isolat BF 3.10
Komposisi media media MRS, MRS minimal, MRS substitusi
prebiotik, LB, LB minimal, dan LB substitusi prebiotik

37
38
39
40
41

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan mega biodiversiti dan kekayaan
sumber daya alam yang melimpah. Kondisi tersebut menyebabkan belum semua
sumber daya alam dapat termanfaatkan dengan baik. Sering kali komoditas yang
tidak termanfaatkan merupakan bahan baku produk unggulan di negara lain,
sehingga lebih banyak diekspor ke negara lain dengan harga yang relatif rendah.
Hal tersebut disebabkan oleh sumber daya alam (SDM) Indonesia yang belum
menggali potensi dari komoditas tersebut sehingga dianggap kurang fungsional di
negara sendiri. Fenomena tersebut terjadi pada berbagai komoditas di Indonesia
salah satunya umbi porang.
Umbi porang (Amorphophallus muelleri Blume) merupakan salah satu
tanaman indigenous Indonesia. Umbi yang termasuk tipe tumbuhan liar ini belum
banyak dimanfaatkan meskipun jumlahnya melimpah (Sumarwoto 2004).
Tanaman porang banyak dibudidayakan di kawasan hutan Jawa Timur oleh
masyarakat bekerja sama dengan Perum Perhutani. Menurut data Perhutani Unit II
Jawa Timur sampai saat ini telah dikembangkan budidaya porang dengan luas
areal mencapai lebih dari 1605.3 Ha yang meliputi beberapa wilayah kesatuan
pemangkuan hutan (KPH). Lahan budidaya tersebut akan semakin luas setiap
tahunnya, mengingat permintaan porang sebagai komoditas ekspor semakin
meningkat. Nilai ekspor porang pada tahun 2003 mencapai 266.719 ton dengan
nilai 385.995 US$ (BPS 2003). Jepang merupakan salah satu negara dengan
kebutuhan umbi porang yang tinggi, yaitu mencapai 1000 ton/tahun dalam bentuk
tepung porang. Sulitnya pemanfaatan umbi porang disebabkan karena tingginya
kandungan asam oksalat sehingga dianggap kurang fungsional untuk bahan
pangan maupun pakan di dalam negeri.
Disisi lain umbi porang memiliki nilai ekonomis yang tinggi, karena
kandungan manannya yang tinggi. Polisakarida dari famili manan yang terdapat
pada umbi porang berjenis glukomanan yang terdiri atas monomer β-1,4 Dmanosa dan D-glukosa. Kadar glukomanan umbi porang cukup tinggi berkisar
antara 54.3-58.3% (Sait 1995). Perum Perhutani (1995) menyatakan kandungan
glukomanan dalam umbi porang berkisar 35%, sementara menurut Sumarwoto
(2004) kadar glukomanan umbi porang berkisar antara 35-55%.
Glukomanan dapat dikonversi menjadi produk dengan nilai guna yang
tinggi melalui aplikasi ilmu bioteknologi. Substrat glukomanan dapat dihidrolisis
secara enzimatis menjadi manooligosakarida (MOS) yang berperan sebagai
komponen pangan fungsional karena berfungsi sebagai prebiotik (Yopi et al.
2006). MOS (manooligosakarida atau mananoligosakarida) merupakan salah satu
macam prebiotik selain FOS, GOS, dan XOS yang sedang banyak diteliti dan
dikembangkan. Prebiotik jenis MOS telah banyak dimanfaatkan untuk ternak.
Penelitian yang dilakukan oleh Spring et al. (2000) melaporkan bahwa MOS
dapat mengaglutinasi Salmonella typhimurium 29E dan menurunkan konsentrasi
Salmonella typhimurium secara in vitro. Pakan yang disuplementasi dengan MOS
secara signifikan akan mempengaruhi mikroflora usus ayam (Fernandez et al.
2002). Selain itu pemberian MOS dalam pakan akan menurunkan secara

2
signifikan jumlah populasi E.coli dan Salmonella pada feses ayam broiler
(Khanongnuch 2006).
Penggunaan prebiotik sebagai alternatif untuk memperbaiki produktivitas
ternak ayam semakin menarik perhatian para peneliti untuk dikembangkan.
Awalnya penambahan feed additive berupa antibotik dalam pakan merupakan cara
yang paling efektif untuk merangsang pertumbuhan dan mencegah infeksi
penyakit pada ternak ayam. Akan tetapi dalam perkembangannya penggunaan
antibiotik tidak dianjurkan karena memperbanyak terbentuknya bakteri patogen
yang resisten terhadap antibiotik serta adanya residu antibiotik dalam daging
(Hume 2011). Permasalahan tersebut mendorong dikembangkannya feed additive
lain sebagai pengganti antibiotik, salah satunya yaitu prebiotik. Willard et al.
(2000) menyatakan bahwa prebiotik dapat memberikan kemampuan kompetisi
yang lebih baik pada mikroflora normal usus seperti Lactobacillus dan
Bifidobacteria sehingga menyebabkan terusirnya bakteri patogen.
Proses produksi prebiotik MOS melalui reaksi enzimatis memerlukan enzim
mananase sebagai biokatalisator reaksi. Mananase merupakan enzim yang dapat
menghidrolisis ikatan 1,4-β-D-manosida dari rantai utama β-1,4-manan,
galaktomanan, glukomanan, dan galaktoglukomanan (Rattanasuk dan Cairns
2009). Berbagai penelitian melaporkan bahwa enzim mananase dapat dihasilkan
oleh mikroorganisme yang berasal dari tanah, kompos, atau rumen hewan (Hilge
et al. 1998). Beberapa penelitian telah berhasil memproduksi mananase dari
berbagai jenis aktinomisetes dari kelompok Streptomyces diantaranya,
Streptomyces galbus dan Streptomyces lividans (Stoll et al. 1999), Streptomyces
scabies CECT 3340 dan Streptomyces Ipomoea CECT 3341 (Montiel et al. 1996),
Streptomyces galbus NR (Kansoh and Nagieb 2004), dan Streptomyces sp. PG-0803 (Bhoria et al. 2009).
Prebiotik MOS dalam penelitian akan dimanfaatkan untuk pakan ayam.
Ayam merupakan salah satu unggas yang menjadi sumber protein yang banyak
dikonsumsi oleh masyarakat dan digemari oleh pengembang sektor peternakan
unggas Indonesia. Permintaan ayam untuk kecukupan nilai gizi yang semakin
meningkat setiap tahunnya merupakan implikasi dari peran serta masyarakat
dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Hal ini didukung oleh data Bappenas
tahun 2009 bahwa konsumsi produk hewani asal ayam dari tahun 2005-2009 di
Indonesia meningkat sebanyak 8.63%. Menurut data SUSENAS, BPS di tahun
2012 konsumsi daging ayam mencapai 7 kg per tahun per kapita dan telur ayam
mencapai 6.52 kg per tahun per kapita. Jumlah tersebut diperkirakan meningkat
2.66% ditahun 2013 ini dan 2.85% ditahun 2014. Peningkatan permintaan tersebut
menjadi tantangan bagi sektor peternakan dan peneliti untuk terus meningkatkan
produktivitas dan kualitas ayam yang memenuhi persyaratan aman pakan. Salah
satunya yaitu dengan dikembangkannya feed additive lain sebagai pengganti
antibiotik menggunakan prebiotik.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penerapan ilmu bioteknologi
memberikan peluang dalam memanfaatkan komoditas lokal untuk produksi
produk dengan nilai guna tinggi. Penggunaan mikroba sebagai agen bioteknologi
sangat potensial dalam proses konversi biomassa menjadi produk. Enzim
mananase dengan aktivitas tinggi dan tersedianya substrat yang baik akan menjadi
salah satu parameter untuk produksi prebiotik manooligosakarida (MOS) dengan
kadar dan karakteristik yang baik dalam penelitian ini. Prebiotik yang mampu

3
bekerja secara efektif dalam meningkatkan mikroflora menguntungkan dalam
saluran pemcernaan dan menghambat pertumbuhan bakteri patogen diharapkan
dapat dihasilkan dalam penelitian ini.

Perumusan Masalah
Prebiotik merupakan zat makanan yang tidak dapat dicerna dan diserap di
saluran pencernaan bagian atas namun memberikan keuntungan bagi tubuh inang
dengan cara menstimulasi pertumbuhan serta aktivitas dari bakteri baik yang
hidup di kolon. Pemberian bahan tambahan dalam pakan ternak berupa prebiotik
merupakan sebuah inovasi baru untuk dapat meningkatkan produktivitas ternak.
Prebiotik digunakan sebagai salah satu alternatif pengganti bahan tambahan
antibiotik. Umbi porang merupakan salah satu komoditas sumberdaya alam lokal
yang belum termanfaatkan dengan baik di Indonesia. Hampir 40-70%
glukomanan terkandung dalam umbi porang. Kandungan glukomanan tersebut
memiliki nilai ekonomis yang dapat dimanfaatkan dengan baik untuk diolah
menjadi produk prebiotik MOS melalui reaksi hidrolisis secara enzimatis.
Tersedianya komoditas umbi porang yang berlebih serta isolat bakteri mananolitik
potensial yang dapat menghasilkan mananase dengan aktivitas tinggi memberikan
peluang diproduksinya prebiotik MOS dengan kadar dan karakteristik yang baik
dalam usaha meningkatkan produktivitas ternak ayam sebagai upaya menjaga
ketahanan pangan nasional.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan memproduksi enzim mananase dari isolat
aktinomisetes asli Indonesia dan mengarakterisasi enzim mananase tersebut.
Penelitian juga bertujuan memproduksi MOS dari glukomanan umbi porang
melalui proses enzimatis dan menganalisis MOS secara kuantitatif maupun
kualitatif dengan metode thin layer chromatography (TLC) dan high performance
liquid chromatography (HPLC). Penelitian juga bertujuan melihat pengaruh MOS
terhadap pertumbuhan bakteri asam laktat serta pengaruhnya dalam menghambat
pertumbuhan bakteri patogen.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini diantaranya adalah diperolehnya isolat bakteri
potensial penghasil enzim mananase yang mampu mendegradasi glukomanan
umbi porang. Glukomanan dapat dimanfaatkan sebagai biomassa potensial untuk
produksi MOS dengan kualitas baik. Prebiotik MOS tersebut dapat digunakan
sebagai pendukung pakan ternak ayam pengganti bahan aditif antibiotik untuk
menekan pertumbuhan bakteri patogen dan meningkatkan pertumbuhan bakteri
probiotik dalam ternak ayam.

4

2 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokatalis dan Fermentasi, Pusat
Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) Jalan Raya
Bogor Km. 46 Cibinong, Bogor dan di Laboratorium Bioteknologi Hewan dan
Biomedis PPSHB-IPB. Penelitian dilakukan dari Bulan September 2013-Maret
2014.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah delapan isolat
aktinomisetes yang diisolasi dari tanah hutan Taman Nasional Bukit Duabelas
Jambi, substrat glukomanan umbi porang yang diperoleh dari PT Ambico
Surabaya, substrat galaktomanan locust bean gum (LBG), pepton, ekstrak khamir,
(NH4)2SO4, KH2PO4, MgSO4.7H2O, CO(NH2)2, CaCl2, FeSO4.7H2O,
MnSO4.7H2O, ZnSO4.7H2O, CoCl2, pure agar powder, NaCl, pewarna merah
kongo, akuades, etanol 70%, reagen asam dinitrosalisilat (DNS), gliserol 30%,
larutan H2SO4 pekat, dan larutan fenol 5%. Bahan untuk identifikasi 16S rRNA
terdiri atas primer 9F (5’-GGCTACCTTGTTACGACTT-), primer 1510R (5’GAGTTTGATCCTGGCTCAG-), go taq®green master mix, milli-Q, gel agarose,
bufer TAE (Tris Asetat EDTA), Etidium bromide, loading dye Fermentas, dan
marker 1kb. Bahan untuk uji pengaruh prebiotik terdiri atas bakteri asam laktat
(BAL) Pediococcus pentosaceus E1222 dan bakteri patogen Salmonella sp. yang
merupakan koleksi dari Laboratorium Bioteknologi Hewan dan Biomedis
PPSHB-IPB, media MRS (de Man Ragosa Sharpe), dan media LB (Luria Broth).

Alat
Alat yang di gunakan dalam penelitian ini adalah alat gelas, neraca analitik,
magnetic stirrer, sentrifuge, mikropipet, tabung Eppendorf, penangas air, pH
meter Jenway 3505, hot stirer IKA RH basic 2, shaker incubator TAITEC
Bioshaker BR-23FP, laminar air flow Bioclean Bench Sanyo, autoclave Tommy
SX-500, spreader, inkubator bakteri SANYO, mesin thermocycler ASTEC,
elektroforesis Nyx Technik MIR-153, UV gel doc Scope WD, Freezer SANYO
Ultra low, spektrofotometer UV-VIS, dan set alat high performance liquid
chromatography (HPLC).

Metode
Peremajaan Isolat
Isolat diremajakan dengan cara ditumbuhkan pada media padat manan
dengan komposisi 0.5% glukomanan umbi porang, ekstrak khamir 0.05%, pepton

5
0.075%, (NH4)2SO4 0.14%, KH2PO4 0.2%, MgSO4.7H2O 0.03%, CO(NH4)2
0.03%, CaCl 0.03%, FeSO4.7H2O 0.0005%, MnCl2.7H2O 0.00016%, ZnSO4.7H2O
0.00014%, CoCl2 0.0002%. Kemudian isolat diikubasi di dalam inkubator selama
3-4 hari pada suhu ruang sehingga siap digunakan sebagai inokulum untuk proses
berikutnya.

Penapisan Isolat Potensial Penghasil Mananase
Penapisan dilakukan terhadap delapan kandidat isolat aktinomisetes asal
tanah hutan Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi secara kualitatif dengan
pewarnaan merah kongo 0.5% dan secara kuantitatif dengan uji aktivitas enzim
menggunakan metode DNS (Miller 1959). Seleksi isolat potensial secara kualitatif
dengan pewarnaan merah kongo dilakukan dengan cara diambil sebanyak 1-2 µL
suspensi bakteri kemudian diinokulasikan dengan cara diteteskan pada media
padat glukomanan umbi porang 0.5%. Cawan petri kemudian diinkubasi dalam
inkubator selama 3-4 hari. Uji pembentukan zona bening dilakukan dengan cara
dituangkan pewarna merah kongo 0.5% ke dalam petri yang berisi media kultur
bakteri sehingga semua permukaan tertutupi oleh pewarna, dan direndam selama
15 menit. Sisa pewarna dibuang dan permukaan agar-agar dicuci dengan
menggunakan NaCl 0.2 M sebanyak tiga kali. Setelah dicuci zona bening yang
terbentuk diukur diameternya dan dihitung indeks potensialnya. Kerja mananase
dalam mendegradasi manan ditunjukkan dengan munculnya zona spesifik dengan
visualisasi yang lebih bening dari bidang di sekitarnya (Downie et al. 1994). Dua
isolat dengan zona bening tertinggi diuji aktivitas enzimnya dengan assay enzim.
Isolat yang menghasilkan mananase dengan aktivitas enzim tertinggi merupakan
isolat potensial dan akan digunakan untuk uji selanjutnya.

Identifikasi Isolat Bakteri Potensial Penghasil Mananase dengan gen 16S
rRNA
Isolat tunggal yang terpilih untuk produksi mananase diidentifikasi
menggunakan gen 16S rRNA. Identifikasi gen 16S rRNA dilakukan dengan
metode PCR koloni. Larutan mix PCR dibuat dengan cara mencampurkan 12.5 L
Go Taq, 1 L primer λ’F, 1 L primer 1051’R, dan 10.5 L ddH2O pada tabung
mikro. Kemudian secara aseptik ke dalam tabung mikro dimasukkan satu ose
koloni yang berasal dari koloni tunggal bakteri yang akan diidentifikasi. Tahapan
selanjutnya yaitu proses amplifikasi yang dilakukan pada mesin PCR yang terdiri
atas 30 siklus. Amplifikasi dilakukan dengan kondisi pre-denaturasi awal selama 2
menit pada suhu 95 ºC, tahap denaturasi selama 30 detik pada suhu 95 ºC, tahap
annealing selama 1 menit pada suhu 55 ºC, dan tahap extension selama 2 menit pada
suhu 72 °C. Susunan basa DNA masing-masing primer adalah sebagai berikut
primer forward 9F (5’-GGCTACCTTGTTACGACTT-) dan primer reverse
1510R (5’-GAGTTTGATCCTGGCTCAG-).
Hasil amplifikasi kemudian divisualisasi dengan elektroforesis gel agarose.
Konsentrasi gel agarose yang digunakan yaitu 1%, sementara bufer yang
digunakan yaitu Bufer TAE 1x. Selanjutnya sebanyak 1 µL sampel yang akan
dielektroforesis dicampur dengan loading buffer dengan perbandingan 1:5.

6
Setelah diresuspensi sampel diinjeksi ke dalam sumur gel agarosa. Marker yang
digunakan adalah 1 kb dari Gene Ruler™ (Ladder) Fermentas sebanyak 5 µL.
Proses elektroforesis dilakukan selama kurang lebih 30 menit dengan voltase 100
volt. Setelah proses elektroforesis selesai, gel dikeluarkan dari alat elektroforesis
kemudian direndam dalam larutan EtBr selama 20 menit, setelah itu gel dibilas
dengan akuades. Kemudian gel direndam lagi dengan larutan EtBr selama 5 menit
dan dibilas dengan menggunakan akuades. Selanjutnya gel dimasukkan kedalam
transluminator dan DNA dilihat dengan bantuan sinar Ultra Violet (UV). Setelah
diketahui visualisasinya melalui elektroforesis gel agarose kemudian siap dikirim
untuk disekuensing.

Produksi dan Karakterisasi Enzim
Penentuan Waktu Optimum Produksi Mananase
Produksi mananase dilakukan menggunakan isolat tunggal yang telah
dipilih dan diidentifikasi melalui tahapan sebelumnya. Mananase diproduksi pada
Erlenmeyer 500 mL yang mengandung 100 ml media produksi enzim. Komposisi
media mineral yang digunakan yaitu 0.5% substrat glukomanan umbi porang.
Prekultur dibuat dengan cara satu corckborer isolat diinokulasikan pada 30
mL media cair porang 0.5% dan diinkubasi overnight. Sebanyak 60 l prekultur
diambil dan dimasukkan ke Erlenmeyer yang berisi 100 mL media mineral
glukomanan umbi porang 0.5%. Kultur dishaker pada kecepatan 200 rpm suhu
30 °C selama 5 hari. Pemanenan dilakukan setiap hari dengan mengambil
sebanyak 2 mL. Sampel kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 12000 rpm,
selama 10 menit pada suhu 4 C. Selanjutnya supernatan yang merupakan enzim
ekstrak kasar diuji aktivitas enzimnya.
Kurva pertumbuhan didapat berdasarkan bobot kering biomassa sel. Kultur
bakteri diinokulasikan pada Erlenmeyer yang berisi 30 mL media cair
glukomanan umbi porang 0.5%. Kultur dishaker pada kecepatan 200 rpm suhu
30 °C selama 5 hari. Pemanenan sampel dilakukan setiap hari. Sampel kemudian
disentrifugasi dengan kecepatan 12000 rpm, selama 20 menit pada suhu 4 C.
Pelet disaring kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 50 oC hingga
kering. Selanjutnya biomassa ditimbang dan diplotkan terhadap waktu inkubasi
sehingga diperolah kurva pertumbuhan bakteri.

Uji Aktivitas Enzim
Aktivitas enzim mananase diuji dengan menggunakan metode 3,5dinitrosalicylic acid (DNS) (Miller 1959). Sebagai substrat digunakan 0.5% LBG
dalam 50 mM bufer fosfat pH 6. Manosa yang dihasilkan dideteksi dengan
metode DNS (Miller 1959). Sampel dibuat dengan mereaksikan sebanyak 0.5 mL
enzim ekstrak kasar (EEK) dengan 0.5 mL substrat dan diinkubasi pada suhu
ruang selama 30 menit. Reaksi dihentikan dengan ditambahkan 1.5 mL reagen
dinitrosalisilat (DNS). Perlakuan kontrol dibuat dengan cara mereaksikan 0.5 mL
substrat dengan 1.5 mL DNS lalu ditambahkan 0.5 mL enzim. Perlakuan blanko
dilakukan dengan mensuspensikan sebanyak 0.5 mL substrat ditambah 0.5 mL

7
bufer fosfat 50 mM dengan 1.5 mL DNS. Sampel, kontrol, dan blanko dididihkan
selama 15 menit lalu didinginkan. Setelah dingin suspensi divorteks dan diukur
absorbansinya pada 540 nm (Miller 1λ5λ). Pembuatan kurva standar dilakukan
dengan mereaksikan berbagai konsentrasi manosa dari 0-10 mg/mL sebanyak 1
mL dengan 1.5 mL DNS lalu dididihkan selama 15 menit dan didinginkan.
Setelah dingin suspensi divorteks dan diukur absorbansinya pada 540 nm. Satu
unit aktivitas enzim mananase (U) didefinisikan sebagai sejumlah enzim yang
dapat mengkatalisis konversi dari 1 mol substrat manan menjadi manosa dalam
satu menit dibawah kondisi percobaan (Bintang 2010).

Pengaruh pH, Suhu terhadap Aktivitas Enzim dan Stabilitasnya
Penentuan pH optimum dilakukan dengan menguji aktivitas enzim ekstrak
kasar pada berbagai kisaran pH antara 3-10 dengan interval satu. pH optimum
reaksi ditentukan dengan cara mereaksikan enzim ekstrak kasar dengan substrat
yang dilarutkan dalam bufer sesuai pH yang diujikan pada suhu 30 ºC. Untuk pH
3-5 digunakan bufer sitrat yang yang terdiri atas larutan asam sitrat dan larutan
Na2HPO4, untuk pH 6-7 digunakan bufer fosfat yang terdiri atas larutan NaH2PO4
dan Na2HPO4, dan bufer glisin NaOH digunakan untuk pengujian pada pH 8-10.
Konsentrasi semua bufer yang digunakan adalah 50 mM.
Penentuan suhu optimum dilakukan dengan mereaksikan substrat dan enzim
menggunakan pH optimum yang telah diperoleh sebelumnya pada berbagai
kisaran suhu. Kisaran suhu yang digunakan yaitu berkisar antara 30 C-90 C
dengan interval 10 C. Komposisi pereaksi terdiri atas 0.5% LBG dalam 0.5 mL
bufer pH optimum, dan 0.5 mL enzim ekstrak kasar (EEK) yang diinkubasi dalam
waterbath pada suhu 30 C, 40 C, 50 C, 60 C, 70 C, 80 C, 90 C, dan 100 C.
Pengukuran aktivitas mananase pada berbagai pH dan suhu dilakukan
menggunakan metode DNS (Miller 1959).
Selanjutnya dilakukan uji stabilitas enzim. Pengujian stabilitas EEK
mananase dilakukan dengan menginkubasi enzim tanpa substrat pada suhu ruang,
suhu 4 °C dan suhu optimum enzim. EEK diuji setiap jam pada pH dan suhu
optimumnya dengan substrat manan 0.5% dari jam ke-1 hingga jam ke-5 dan
setiap 24 jam.

Produksi MOS
Produksi MOS melalui Konversi Glukomanan Menggunakan Mananase
Pemurnian enzim mananase dilakukan dengan dialisis. Enzim ekstrak kasar
yang dipanen pada waktu produksi optimumnya kemudian disentrifugasi dengan
kecepatan 12000 rpm selama 25 menit. Enzim diuji aktivitasnya dengan metode
DNS (Miller 1959). Selanjutnya enzim ekstrak kasar dimasukkan ke dalam
membran dialisis yang sebelumnya telah ditreatment terlebih dahulu, dan
didialisis selama 6 jam dengan menggunakan larutan bufer fosfat 50 mM pH 6.
Larutan bufer diganti setiap 3 jam. Hasil dialisis tersebut kemudian dianalisis
aktivitas enzimnya. Fraksi dialisis digunakan untuk hidrolisis glukomanan porang
menjadi produk oligosakarida.

8
Substrat glukomanan umbi porang secara enzimatik dihidrolisis
menggunakan enzim ekstrak kasar (EEK) mananase yang telah didialisis melalui
tahapan sebelumnya. Proses hidrolisis dilakukan dengan menggunakan 3 variasi
konsentrasi substrat yaitu 0.25%, 0.5%, dan 1% serta 6 variasi waktu produksi
yaitu selama 1, 2, 3, 4, 5, dan 24 jam. Proses hidrolisis dilakukan dengan cara
glukomanan porang dengan masing-masing konsentrasi (0.25%, 0.5%, 1%)
dilarutkan dalam 10 mL enzim mananase dan diinkubasi dalam shaker incubator
dengan kecepatan 150 rpm pada suhu 30 C. Setelah inkubasi, enzim diinaktivasi
dengan pemanasan hingga mendidih kurang lebih selama 15 menit. Setelah itu
disentrifugasi dengan kecepatan 12000 rpm selama 15 menit. Produk MOS
kemudian dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif.

Analisis Produk MOS
Analisis Total Gula
Penentuan total gula dilakukan menggunakan metode fenol H2SO4 (Dubois
et al. 1956). Sebanyak 0.25 mL sampel hasil hidrolisis ditambahkan dengan 0.25
mL larutan fenol 5% dan dikocok. Sebanyak 1.25 mL asam sulfat pekat
selanjutnya ditambahkan dengan cepat. Setelah itu suspensi didiamkan selama 10
menit, dikocok lalu ditempatkan dalam penangas air 40 ºC selama 20 menit,
kemudian diukur absorbansinya pada  490 nm. Pembuatan kurva standar
dilakukan dengan membuat larutan standar manosa pada konsentrasi 0, 20, 40, 60,
dan 80, dan 100 mg/mL. Pembuatan kurva standar sama dengan pengujian sampel
hanya sampel diganti dengan larutan manosa dengan masing-masing konsentrasi
sebanyak 0.25 mL.

Derajat Polimerisasi (DP)
Kemampuan enzim mananase dalam menghidrolisis polisakarida
ditunjukkan dari nilai DP. Semakin kecil nilai DP maka semakin banyak
oligosakarida atau monosakarida yang terbentuk dari proses hidrolisis. Derajat
polimerisasi enzim didapatkan berdasarkan perbandingan antara total gula dan
gula pereduksi yang dihasilkan (Masuko et al. 2005).

Analisis MOS dengan Thin Layer Chromatography (TLC)
Produk hasil hidrolisis glukomanan porang oleh mananase selanjutnya
dianalisis dengan metode thin layer chromatography (TLC). Produk hasil
hidrolisis digunakan sebagai sampel. Standar yang digunakan yaitu glukosa,
manosa, manobiosa, manotriosa, manotetrosa, manopentosa, dan manoheksosa.
Larutan eluen dibuat terlebih dahulu dengan mencampurkan 12 mL n-butanol, 6
mL asam asetat, dan 6 mL aquades. Larutan eluen dijenuhkan terlebih dahulu
selama 30 menit. Sebanyak 4 µL larutan sampel dan 3 µL larutan standar
ditotolkan pada layer kromatografi. Layer kromatografi kemudian dikeringkan
hingga kering dan direndam ke dalam chamber yang berisi eluen. Chamber yang
berisi layer kromatografi ditutup rapat dan didiamkan selama 90 menit.

9
Selanjutnya layer kromtografi dikeringkan dengan hair dryer di dalam ruangan
asam, dan disemprotkan larutan DAP yang terdiri atas α-diphenylamine, aseton,
asam fosfat, dan anilin (Reiffova dan Nemcova 2006). Layer kromatografi
dikeringkan kembali dan dipanaskan pada suhu 121 ºC selama 15 menit.
Visualisasi spot yang terbentuk menunjukkan jenis oligosakarida yang dihasilkan
oleh proses hidrolisis glukomanan.
Analisis MOS dengan HPLC
Sakarida yang dihasilkan dipisahkan dengan menggunakan high
performance liquid chromatography (HPLC). Sebelum dianalisis dengan HPLC
terlebih dahulu sampel dipreparasi. Sebanyal 1 mL sampel difilter dengan
menggunakan syringe ke dalam vial. Sampel yang telah dipreparasi kemudian
dianalisis dengan menggunakan HPLC dengan sistem kolom pengemas zorbax
silica c18 (karbohidrat) 4.6 mm ID x 150 mm. Pemisahan sakarida dilakukan pada
suhu 30 C, aliran 1 mL/min dan fase gerak (asetonitril : air = 60 : 40) selama 15
menit. Selanjutnya dilakukan perhitungan dengan detektor refractive index
detector (RID) (Davies dan Hounsell 1996).

Uji Pengaruh Prebiotik terhadap Pertumbuhan Bakteri Asam Laktat dan
Bakteri Patogen
Tahapan akhir dari penelitian ini yaitu pengujian pengaruh produk
prebiotik MOS terhadap pertumbuhan BAL dan bakteri patogen. Tahapan ini
dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui efektifitas prebiotik yang telah
diproduksi dalam meningkatkan pertumbuhan bakteri BAL dan menghambat
pertumbuhan bakteri patogen. BAL yang diujikan yaitu Pediococcus pentosaceus
E1222 sementara bakteri patogen yang diujikan yaitu Salmonella sp. Pada
pengujian ini terdapat enam kelompok perlakuan, yaitu 1. P. pentosaceus E1122
dengan media MRS; 2. P. pentosaceus E1122 dengan media MRS yang
komponen glukosa disubstitusi dengan MOS; 3. P. pentosaceus E1122 dengan
media MRS minimal; 4. Salmonella sp. dengan media LB; 5. Salmonella sp.
dengan media LB yang disubstitusi dengan MOS; 6. Salmonella sp. dengan media
LB minimal. Penggunaan media MRS dan LB yang telah dimodifikasi dilakukan
untuk memastikan bahwa bakteri dapat memanfaatkan MOS sebagai sumber
karbon untuk pertumbuhannya dan bukan memanfaatkan komposisi media lain di
dalamnya.
Satu koloni BAL dan bakteri patogen ditumbuhkan secara terpisah dalam
3 mL media cair LB dan MRS lalu diinkubasi pada suhu 37 C selama 24 jam.
Selanjutnya sel dipanen dan disentrifugasi serta dicuci dengan larutan phosphate
buffered saline (PBS). Pelet dilarutkan dalam larutan PBS, selanjutnya disebar ke
media padat untuk dihitung jumlah koloninya dengan metode total plate count
(TPC). Respon bakteri patogen dan BAL bila ditumbuhkan pada 24 jam kedua
dan 24 jam ketiga pada semua perlakuan media baik LB maupun MRS dapat
diketahui dengan melakukan uji dengan cara diambil satu koloni yang tumbuh
pada media padat hasil uji pada 24 jam pertama, lalu dikultur kembali pada media
yang sama. Selanjutnya kultur diinkubasi pada 37 C selama 24 jam lalu disebar
pada media padat dan dihitung jumlah koloninya dengan metode TPC.

10

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penapisan dan Identifikasi Isolat Potensial Penghasil Mananase
Sebanyak delapan isolat asal tanah hutan Taman Nasional Bukit Duabelas
Jambi digunakan sebagai kandidat isolat penghasil mananase. Mananase termasuk
inducible enzim yang dapat disekresikan oleh mikroorganisme tertentu ketika
tersedia substrat yang sesuai. Selama masa inkubasi, bakteri yang mempunyai
kemampuan mananolitik akan terinduksi untuk menghasilkan enzim mananase
sehingga substrat manan dapat terdegradasi menjadi monosakarida maupun
oligosakarida. Kerja mananase dalam mendegradasi manan ditunjukkan dengan
munculnya zona spesifik dengan visualisasi yang lebih bening dari bidang di
sekitarnya seperti yang terlihat pada Gambar 1.

A

B

C

Gambar 1 Pembentukan zona bening isolat aktinomisetes pada media spesifik
glukomanan umbi porang 0.5% pada suhu 30 C selama 72 jam
inkubasi. A= isolat BF 3.10; B= isolat BF 3.1; C= isolat BO 3.2.
Pewarnaan merah kongo digunakan untuk memperjelas zona spesifik yang
terbentuk sehingga dapat dihitung indeks mananolitiknya. Merah kongo dapat
membentuk ikatan dengan rantai utama β-1,4-D manopiranosil yang terkandung
pada substrat manan sehingga media berwarna merah. Media yang berwarna bening
menunjukkan bahwa merah kongo tidak dapat berikatan dengan β-1,4-D
manopiranosil pada substrat manan akibat telah terdegradasinya substrat oleh enzim
mananase (Downie et al. 1994). Tiga dari delapan kandidat isolat menghasilkan zona
bening pada media spesifik porang. Isolat BF 3.10 menghasilkan zona bening
berdiameter lebih besar daripada isolat BF 3.1 dan isolat BO 3.2 dengan nilai indeks
mananolitik sebesar 2.56 (Gambar 1). Secara morfologi zona bening yang dihasilkan
oleh isolat BF 3.10 juga lebih jernih dibandingkan dengan zona bening isolat BF 3.1
dan BO 3.2. Hal tersebut menunjukkan bahwa isolat BF 3.10 menghasilkan mananase
yang lebih tinggi aktivitasnya untuk mendegradasi substrat manan.
Selain pewarnaan merah kongo analisis kuantitatif sangat diperlukan untuk
menentukan isolat potensial penghasil mananase. Dua dari tiga kandidat isolat yaitu
BF 3.10 dan BF 3.1 diinduksi untuk produksi mananase pada kultur cair sehingga
diketahui aktivitas enzimnya (Tabel 1). Aktivitas enzim dari kedua isolat merupakan
parameter penting dalam penentuan isolat potensial. Berdasarkan uji kuantitatif
dengan enzim assay aktivitas enzim isolat BF 3.10 lebih tinggi daripada isolat BF 3.1,
sehingga BF 3.10 dipilih sebagai isolat potensial untuk produksi mananase dengan
substrat ekstrak kasar glukomanan umbi porang.

11
Tabel 1 Aktivitas enzim pada penapisan isolat potensial penghasil mananase
Jam keAktivitas enzim BF 3.10
Aktivitas enzim BF 3.1
(U/mL)
(U/mL)
96
0.880
0.649
120
0.864
0.637
144
0.981
0.871

Isolat BF 3.10 selanjutnya diidentifikasi dengan analisis gen 16S rRNA.
Berdasarkan analisis hasil sekuensing amplikon gen 16S rRNA isolat BF 3.10
diidentifikasi sebagai Streptomyces violascens dengan tingkat similiarity 99%.
Streptomyces violascens merupakan golongan aktinomisetes yang sebelumnya
telah diketahui sebagai penghasil antibiotik (El-Tarabily et al. 1996).

Analisis Van Soest Tepung Umbi Porang
Porang merupakan tanaman sumber karbohidrat alternatif yang mengandung
manan dalam bentuk glukomanan dengan jumlah tertinggi di antara jenis
Amorphophallus lainnya di Indonesia (Jansen et al. 1996; Sumarwoto 2004).
Struktur glukomanan terdiri atas unit D-manopiranosil dan D-glukopiranosil yang
dihubungkan oleh ikatan β-D-1,4 dengan perbandingan molaritas 1.6:1 (Katsuraya
et al. 2003). Porang mengandung glukomanan tinggi pada bagian umbinya. Selain
pada umbi, glukomanan juga banyak terdapat pada kayu lunak dan akar (Sande et
al. 2009). Morfologi pohon dan umbi porang terlihat pada Gambar 2. Kadar
glukomanan umbi porang sangat bervariasi, variasi tersebut dipengaruhi oleh
berbagai faktor antara lain, jenis tanaman, umur tanaman, waktu pemanenan, lama
waktu setelah panen, dan perlakuan menjelang pengeringan, bagian yang digiling,
serta alat yang digunakan (Outsuki 1968). Glukomanan bersifat larut dalam air
dan cenderung membentuk gel. Glukomnanan dapat menyerap air hingga
bobotnya meningkat sampai 50 kalinya. Viskositas larutan tepung porang dapat
berubah karena pengaruh beberapa faktor diantaranya konsentrasi, ada atau
tidaknya garam atau sukrosa, dan kondisi pemanasan (Akesowan 2002).

A

B

Gambar 2 Morfologi porang. (A) Tanaman porang (Sumber: Sumarwoto 2005) ;
(B) Umbi porang hasil panen (Sumber: Dokumentasi LBF).

12

Gambar 3 Tepung umbi porang lolos 80 mesh
Visualisasi tepung porang terlihat pada Gambar 3. Berdasarkan hasil uji
proksimat yang dilakukan pada Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan
Bioteknologi IPB (PPSHB-IPB) sampel tepung porang mengandung bahan
ekstrak tanpa nitrogen (BETN) sebesar 81.8% (Hasil uji proksimat terlampir pada
Lampiran 2). Salah satu komponen dari BETN adalah hemiselulosa. Sehingga
glukomanan yang merupakan salah satu penyusun dari hemiselulosa porang
diduga merupakan komponen dari sebagian besar bahan ekstrak tanpa nitrogen
tersebut. Dikuatkan dengan sifat khusus glukomanan yang merupakan
polisakarida larut air atau yan