Tinjauan Kritis Kebijakan Alokasi dan Distribusi Manfaat Sumberdaya Hutan terhadap Undang-Undang 41 Tahun 1999

TINJAUAN KRITIS KEBIJAKAN ALOKASI DAN DISTRIBUSI
MANFAAT SUMBERDAYA HUTAN TERHADAP
UNDANG-UNDANG 41 TAHUN 1999

ASWITA LEWENUSSA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

1

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Tinjauan Kritis Kebijakan
Alokasi dan Distribusi Manfaat Sumberdaya Hutan terhadap Undang-Undang 41
tahun 1999 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Aswita Lewenussa
NIM E15100021

RINGKASAN
ASWITA LEWENUSSA. Tinjaun Kritis Kebijakan Distribusi dan Alokasi Manfaat
Sumberdaya Hutan terhadap Undang-Undang 41 tahun 1999. Dibimbing oleh
SUDARSONO SOEDOMO dan BRAMASTO NUGROHO.
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan fakta-fakta bahwa fungsi
alokasi dan distribusi sumberdaya hutan telah dijalankan dalam upaya pencapaian
kemakmuran rakyat. Konsep kemakmuran rakyat sebagaimana telah dikemukakan
dalam putusan MK tahun 2007 terdiri dari: 1) Kemanfaatan sumberdaya alam bagi
rakyat, 2) Pemerataan sumberdaya alam bagi rakyat, 3) Tingkat partisipasi rakyat
dalam menentukan pemanfaatan sumberdaya alam dan 4) Penghormatan terhadap
hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Kerangka
pendekatan menggunakan analisis wacana kritis/Critical Discourse Analysis
(CDA) (Fairclough 2003). Telaah CDA terdiri dari a) deskripsi tekstual, b)

peristiwa diskursif dan c) praktek sosial.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola pikir yang terbangun
menentukan proses produksi teks serta implementasi dari teks maupun praktek
sosial. Dominasi pemikiran birokrat yang banyak mempengaruhi isi dari produk
kebijakan. Peristiwa diskursif yang termanisfestasi adalah bahwa pengelolaan hutan
berkiblat dari cara barat, pengelolaan dilakukan jangka panjang, membutuhkan modal
besar, menggunakan alat-alat berat, dan hutan dijadikan sebagai sumberdaya untuk
menambah devisa negara. Wacana tersebut merupakan ciri dari pengelolaan hutan yang
mengandalkan scientific forestry. Dengan scientific forestry maka terjadi penetapan
absolute standard dan terjadi berbagai penyeragaman dalam berbagai mekanisme
untuk memanfaatkan sumberdaya. Penyeragaman mekanisme pemanfaatan hutan
dengan tujuan memberikan akses bagi seluruh komponen masyarakat justru cenderung
merugikan masyarakat. Berbagai prosedur dan mekanisme dibuat sedemikian rupa,
sehingga memperlambat dan bahkan menghambat proses masyarakat dalam mengakses
manfaat sumberdaya. Dengan cara yang ada tersebut, maka praktek yang kemudian
terjadi secara de facto adalah bahwa masyarakat menggunakan cara-cara sendiri untuk
mendapatkan akses dalam memanfaatkan hutan, misalnya dengan penguasaan kawasan
hutan melalui illegal loging dan perambahan. Cara yang dipilih tersebut sebagai
sebuah bentuk perlawanan akan produk kebijakan yang tidak mengakomodir
kebutuhan masyarakat.

Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa fungsi
alokasi dan fungsi distribusi dalam memanfaatkan sumberdaya hutan belum
mencapai tujuan memakmurakan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan: 1) tingkat
pelibatan masyarakat baik dalam proses penyusunan kebijakan hingga proses
implementasi distribusi manfaat sumberdaya belum meletakkan masyarakat
sebagai pelaku/subjek, 2) berbagai mekanisme dan perijinan dalam memanfaatkan
hutan justru menyebabkan ketidakadilan dan telah menimbulkan indirect
discrimination, 3) penghormatan hak-hak masyarakat belum sepenuhnya menjadi
fokus dari pemerintah. Jika pemerintah tetap mempertahankan kebijakan yang ada,
maka masyarakat akan menggunakan cara-cara mereka untuk mendapatkan
manfaat sumberdaya.
Kata kunci: Critical discourse analysis, indirect discrimination, kriteria kemakmuran,
fungsi alokasi, fungsi distribusi.

SUMMARY
ASWITA LEWENUSSA. Critical Analysis of Allocation and Distribution Policy
of Forest Resource Benefit in the Act of 41 of 1999. Supervised by SUDARSONO
SOEDOMO dan BRAMASTO NUGROHO.
This study aimed to reveal the facts that the allocation and distribution
functions of forest resources had been implemented in order to achieve the welfare

of the people. The concept of welfare of the people as stated in the decision of the
Court in 2007 consisted of: 1) The usefulness of natural resources for the people,
2) equal distribution of natural resources for the people, 3) the level of people's
participation in determining the natural resource utilization, and 4) respecting for
the rights of the people in exploiting natural resources for themselves and their
generations. The study approach of Critical Discourse Analysis (CDA) (Fairclough
2003). CDA study consisted of a) textual description, b) discursive event and c)
social practice.
The result shown that mindset were determining production of text and
implementation of text and practices social. The results of this study indicated that
resistance was shown during the policy-making process. This had led to various
ideas that were not accommodated. Regarding to the legal aspect provision of the
public, the bureaucrat thought domination was the most affected influence towards
the contents of the product policy.
Discursive event that was manisfested was that forest management was
adopting western mechanism, forest management was done in long-term period.
Forest management also needed a lot of fund and used heavy equipment. Moreover,
forests served as the resource that could be used to increase foreign exchange. This
discursive event indicated the characteristic of forest management relying on
scientific forestry. With the forestry scientific, it was therefore needed to determine

the absolute standards. Besides that, the variety of harmonization and simplification
occurred in various mechanisms to exploit the resources. Various procedures and
mechanisms were made in such a way. This slowed down and even hampered the
society process in accessing the resources benefits.
It could be concluded that the functions of the allocation and distribution in
utilizing forest resources have not yet reached the goal of society welfare. This was
caused by because: 1) the level of community involvement both in the process of
policy formulation to the implementation process of the resources distribution had
not placed the society as the actors/ subjects, 2) the uniformity of various
mechanisms and permission of forest utilization had caused injustice or it had
caused indirect discrimination since it was designed for the first time, 3) respecting
community rights towards resource utilization had not yet fully become the focus
of the government. If the government keeps the existing policy and does not
accommodate the needs of the community, the community will use their own ways
to get the resource benefits.

Keywords: Critical discourse analysis, indirect discrimination, welfare criteria, the
allocation function, the distribution function

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

TINJAUAN KRITIS KEBIJAKAN ALOKASI DAN DISTRIBUSI
MANFAAT SUMBERDAYA HUTAN
TERHADAP UNDANG-UNDANG 41 TAHUN 1999

ASWITA LEWENUSSA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:

Dr Ir Azis Khan, MSc

Judul Tesis : Tinjauan Kritis Kebijakan Alokasi dan Distribusi Manfaat Sumberdaya Hutan
terhadap Undang-Undang 41 Tahun 1999
Nama
: Aswita Lewenussa
NIM
: E151100021

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Sudarsono Soedomo, MS, MPPA
Ketua

Prof.Dr Ir Bramasto Nugroho, MS

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Magister
Ilmu Pengelolaan Hutan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Tatang Tiryana, S.Hut, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

PRAKATA
Rasa syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas kelimpahan kasih-Nya sehingga
telah memberikan kekuatan bagi penulis dalam menyelesaikan penelitian dengan judul Tinjauan
Kritis Kebijakan Alokasi dan Distribusi Sumberdaya Hutan terhadap Undang-Undang 41 tahun
1999. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr.Ir Sudarsono Soedomo, MS, MPPA selaku ketua
komisi pembimbing dan Prof.Dr.Ir Bramasto Nugroho, MS selaku anggota komisi pembimbing
tesis atas berbagai masukan guna menyempurnakan isi dari tesis ini. Selian itu, penulis turut

mengucapkan terimakasih kepada Dr.Ir.Azis Khan, MSc selaku penguji dalam ujian tesis dan
Dr.Ir.Ahmad Budiaman, MSc.F.Trop selaku moderator dalam ujian tesis. Terimakasih penulis
ucapkan kepada rekan-rekan Forci Development yang sejak awal telah memulai diskusi tentang
pembahasan Undang-Undang 41 ini dan telah memberikan banyak masukan dari diskusi yang
berlangsung. Selain itu, ungkapan terimaksih juga tak luput kepada kedua orang tua (Sam
Lewenussa dan Nursafa Ohorella), yang dengan penuh kesabaran telah memberikan semangat
untuk segera menyelesaikan tesis ini. Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat.

Bogor, Agustus 2014

Aswita Lewenussa

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

iii

DAFTAR GAMBAR

iii


1 PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Rumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

3

Manfaat Penelitian

3


2 METODE PENELITIAN

3

Kerangka Pendekatan

3

Pengumpulan Data

6

Waktu Penelitian

7

Analisis Data

7

Verifikasi Data
3 HASIL DAN PEMBAHASAN

10
10

Deskripsi Tekstual

11

Peristiwa Diskursif

27

Praktek Sosial

35

Alokasi, Distirbusi dan Keadilan

42

4 SIMPULAN DAN SARAN

44

Simpulan

44

Saran

44

DAFTAR PUSTAKA

45

RIWAYAT HIDUP

50

DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Dimensi dalam analisis teks
5
Tabel 2. 2 Variabel dan indikator analisis data
10
Tabel 3. 1 Catatan proses penyusunan RUU Kehutanan tahun 1998-1999
13
Tabel 3. 2 Sikap dalam pembuatan kebijakan selama proses perancangan UU
16
Tabel 3. 3 Perbedaan pandangan dalam memaknai hutan tetap
24
Tabel 3. 4 Perbedaan pandangan dalam memaknai kawasan hutan
24
Tabel 3. 5 Ringkasan fakta/temuan deskripsi tekstual teks
27
Tabel 3. 6 Peristiwa diskursif dalam proses produksi teks
28
Tabel 3. 7 Interpretasi implementasi kebijakan
29
Tabel 3. 8 Luas arahan pemanfaatan hutan dalam RKTN 2011-2030
36
Tabel 3. 9 Izin Pemanfaatan hutan (update data per September 2013)
36
Tabel 3. 10 Tahapan perizinana pembangunan HTR berdasarkan Permenhut No.55 Tahun 2011
37
Tabel 3. 11 Daftar grup pemengang izin pemanfaatan HA dan HTI di Provinsi Riau tahun 2008
38
Tabel 3.12 Jumlah aturan turunan tentang pemanfaatan hutan (Instruksi Presiden, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Keputusan Dirjen)
40

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1 Kerangka CDA (Fairclough 2003)
Gambar 2. 2 Kerangka Penelitian

4
6

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Undang-Undang No.41 tahun 1999 tentang kehutanan menjelaskan bahwa
penyelenggaran kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang
berkeadilan dan berkelanjutan. UU 41 tahun 1999, juga memuat peran negara perihal
menguasai semua hutan di wilayah Republik Indonesia (Pasal 4 ayat 1). Dengan
demikian maka negara memainkan perannya dalam rangka memastikan bahwa manfaat
dari sumberdaya hutan dapat dinikmati seluas-luasnya oleh masyarakat. Peran negara
tersebut kemudian diturunkan dalam fungsi-fungsi pemerintah diantaranya melalui
fungsi alokasi dan distribusi.
Fungsi alokasi dan distribusi manfaat sumberdaya hutan yang tertuang dalam
UU 41 tahun 1999 dirasakan belum cukup memberikan implikasi nyata bagi
pencapaian tujuan memakmurkan masyarakat. Walaupun UU 41 tahun 1999 telah
memberikan peluang pada seluruh komponen masyarakat untuk mengelola
sumberdaya hutan yang termuat pada Pasal 27 sampai Pasal 29, namun pada
kenyataanya, berbagai aturan turunan belum mengarah pada perwujudan amanah dari
UU 41 tahun 1999. Sebagai contoh, dalam P.49/Menhut-II/2011 tentang Rencana
Kehutanan Tingkat Nasional disebutkan bahwa hingga tahun 2030 arahan areal hutan
yang akan dimanfaatkan untuk usaha skala besar adalah 43,62 juta ha, sedangkan untuk
usaha skala kecil (hutan kemasyarakatan, hutan desa, dan hutan tanaman rakyat)
sebesar 5.57 juta ha. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan dan BPS (2009), luas
wilayah desa yang dilingkupi kawasan hutan tahun 2009 berkisar 11.13 juta ha. Hingga
tahun 2013, izin pemanfaatan hutan desa telah diberikan pada 45 desa dengan total
luasan areal pemanfaatan sebesar 81.387 ha (Kemenhut 2013).
Kebijakan alokasi sumberdaya hutan dalam hal menentukan zonasi kawasan
juga berpotensi menuai konflik. Santoso (2008) menyebutkan munculnya konflik
dalam zonasi kawasan didasari oleh teraleniasinya masyarakat atas keberadaan mereka
oleh pemerintah. Lebih lanjut Santoso (2008) mengungkapkan bahwa terdapat 10.8 juta
masyarakat yang bergantung hidupnya pada sumberdaya hutan. Dari situasi tersebut
maka konflik terus bergulir baik antara masyarakat dengan pemerintah dan masyarakat
dengan perusahaan pemegang izin konsesi (Wulan et al 2004; Doni 2005; Sabara 2006;
Hatta 2007; Kartodihardjo 2008; Sembiring 2010; Marina & Darmawan 2011).
Berbagai situasi di atas merupakan akibat dari interpretasi tekstual kebijakan
UU 41 tahun 1999 oleh pemerintah. Fairclough (2003) mengemukakan bahwa ada
keterkaitan antara bahasa dan kekuasaan, bahasa terkait dengan diskursus. Hal yang
sama juga diungkapkan oleh van Eaten (2007), bahwa teks adalah bahasa atau tulisan
dari diskursus.
Dye (1976) mengungkapkan bahwa implikasi suatu kebijakan dapat dilihat dari
produk kebijakan itu sendiri serta efek yang ditimbulkan oleh kebijakan tersebut
terhadap tatanan masyarakat atau disebut juga dengan istilah“policy impact”. Dalam
rangka mengungkap fakta bahwa apakah kinerja pemerintah telah mengarah pada

2

pencapaian tujuan memakmurkan rakyat, maka penelitian ini akan menelaah peran
alokasi dan distribusi manfaat sumberdaya hutan dalam UU 41 tahun 1999.
Rumusan Masalah
Kasper dan Streit (1999) mendefinisikan pemerintah sebagai organisasi yang
menjalankan tujuan bersama dan secara politik memiliki otoritas kekuasaan dalam
menjalankan aturan dan memiliki kekuasaan menegakkan hukum. Pada konteks
pengelolaan sumberdaya alam, maka tujuan bersama yang ingin dicapai oleh
pemerintah adalah seperti yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3, yakni
penguasaan sumberdaya oleh negara yang dipergunakan untuk pencapaian sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.
Dalam UU 41 tahun 1999, negara memberi kewenangan pada pemerintah untuk
melaksanakan penyelenggaraan kehutanan sehingga dapat mewujudkan pencapaian tujuan
memakmurkan masyarakat. Pemaknaan tentang sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,
memiliki empat tolak ukur, yang telah ditetapkan berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi No 3/PUU-VIII/2010, yaitu:
1. Kemanfaatan sumberdaya alam bagi rakyat
2. Pemerataan sumberdaya alam bagi rakyat
3. Tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan pemanfaatan sumberdaya alam
4. Penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan
sumberdaya alam
Dalam hubungan yang terkait dengan pencapaian kemakmuran atau pemeratan
kesejahteraan, yang di dalamnya terdapat interaksi pemerintah dan individu atau
sekelompok masyarakat, maka selalu ada komparasi dengan keadilan (Rawls 1971;
Kasper & Streit 1999). Prinsip keadilan menurut pandangan Rawls (1971), yaitu
prinsip kebebasan, prinsip perbedaan dan prinsip persamaan kesempatan. Inti prinsip
perbedaan yang dikemukakan oleh Rawls adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomi
harus diatur sedemikian rupa, sehingga memberikan manfaat yang besar kepada
mereka yang paling kurang beruntung. Telaah prinsip keadilan dapat dianalisis mulai
dari bagaiaman para pihak terlibat dalam proses pembuatan kebijakan, karena relasi
yang ada turut mempengaruhi wacana atau diskursif (Titscher 2009; Fairclough 2003)
Adapun fungsi pemerintah yang dapat ditelaah untuk melihat tercapainya
tujuan bersama yaitu melalui fungsi alokasi dan distribusi sumberdaya. Randall (1987)
menjelaskan bahwa alokasi sumberdaya adalah bagaimana keputusan suatu masyarakat
menentukan sumberdaya yang akan dialokasikan pada waktu sekarang dan waktu akan
datang, dan bagaimana keputusan alokasi sumberdaya tersebut didistribusikan kepada
anggota dalam masyarakat. Fungsi pemerintah dalam alokasi dan distribusi
sumberdaya hutan menurut Nugroho (2013), dijelaskan sebagai berikut:
1. Fungsi alokasi. Pemerintah sebagai representasi publik diberi kewenangan untuk
menetapkan sumberdaya apa yang akan dimanfaatkan, untuk apa dan bagaimana
cara pemanfaatannya. Pada prinsipnya alokasi merupakan cara efektif dalam
memanfaatkan sumberdaya sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan
(Randall 1987)

3

2. Fungsi distribusi. Fungsi ini terkait dengan bagaimana sumberdaya yang telah
ditetapkan untuk dialokasikan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan pendapatan
negara dari pemanfaatan sumberdaya dapat didistribusikan kepada masyarakat.
Dalam menjalankan fungsi distribusi, maka prinsip-prinsip keadilan distribusi
(redistributional equity) sangat diperlukan.
Dalam UU 41 tahun 1999 bagian yang memuat tentang cara pemerintah
mengalokasikan sumberdaya adalah terkait dengan penetapan status dan fungsi
kawasan hutan. Sedangkan fungsi distribusi terkait dengan pemanfaatan kawasan
hutan. Dengan demikian, melalui fungsi alokasi dan distribusi, maka pertanyaanya
adalah apakah peran pemerintah dalam penyelenggaraan kehutanan telah mengarah
pada pencapaian kemakmuran masyarakat secara berkeadilan?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan fakta-fakta terkait kebijakan alokasi dan distribusi yang
terdapat dalam UU 41 tahun 1999. Fakta tersebut dibutuhkan dalam menjawab bahwa
sesungguhnya pemerintah telah melakukan kebijakan alokasi dan distribusi guna
pencapain kemakmuran rakyat yang berkeadilan, atau sebaliknya.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengayaan bagi agenda pembaruan
kebijakan, bahwa suatu kebijakan tidak berdiri sendiri namun lahir sebagai bagian dari
adanya wacana/peristiwa diskursif dan interaksi/praktek sosial. Selain itu penelitian ini
diharapkan dapat memberikan pengayaan metodologi dalam analisis kebijakan
khususnya dengan menggunakan kerangka analisis yaitu analisis wacana kritis/critical
discourse analysis.

2 METODE PENELITIAN
Kerangka Pendekatan
Berdasarkan tujuan yang ingin disasar, maka penelitian ini akan disajikan
secara naratif/deskriptif, artinya analisis dilakukan dengan menjabarkan situasi atau
peristiwa (van Eeten 2007). Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif. Denzin & Lincoln (2009) menyebutkan bahwa
penelitian kualitatif memfokuskan penelitian pada beragam metode, yang mencakup
pendekatan interpretatif dan naturalistik terhadap subjek kajian. Karakteristik
penelitian kualitatif muncul dalam seting alamiah yang di dalamnya terdapat perilaku
dan peristiwa kemanusiaan yang terjadi (Creswell 2012).
Dalam menganalisis UU 41 tahun 1999, maka instrumen penelitian dilakukan
dengan menggunakan pendekatan analisis wacana kritis/critical discourse analysis
(CDA). CDA mengkonsepsikan bahasa sebagai suatu bentuk praktek sosial dan

4

membuat masyarakat sadar akan pengaruh timbal balik antara bahasa dan struktur
sosial (Titscher et.al 2009). Fairclough (2003) menjelaskan bahwa wacana dalam CDA
dipandang sebagai bentuk dari praktek sosial, artinya ada suatu hubungan dialektika
antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi-situasi, institusi-institusi dan struktur
sosial yang mewadahinya. Hal tersebut menunjukan bahwa peristiwa diskursif dapat
dibentuk oleh situasi, institusi dan struktur sosial, atau sebaliknya. Analisis wacana
bersifat interpretatif dan eksplanatoris. Analisis wacana merupakan analisis hubungan
antara bahasa dan struktur sosial lebih luas. Analisis kritis menunjukan adanya
hubungan antara teks dan kondisi sosial dan relasi terhadap kekuasaan (Wodak 1996
dalam Titscher et.al 2009; Fairclough 2003). Adapun kerangka analitik CDA tersaji
pada Gambar 2.1.

Analisis
tataran Teks

Persitiwa
diskursif

Praktek
sosial

•analisis isi teks dilakukan dengan mendeskripsikan isi

•proses interpretasi terhadap teks sekaligus dikaitkan dengan
interpretasi terhadap wacana

•penjelasan hubungan-hubungan berbagai tataran organisasi
sosial (situasi, konteks institusional, konteks sosial)
•dimensi kekuasaan berpengaruh kuat

Gambar 2. 1 Kerangka CDA (Fairclough 2003)
Fairclough (2003) memaparkan bahwa teks merupakan hasil/produk dari suatu
proses produksi teks. Wodak (1996) dalam Titscher et.al (2009) memaparkan bahwa
wacana adalah gambaran dari praktek sosial yang di dalamnya menyiratkan adanya
hubungan antara sebuah persitiwa diskursif dengan situasi, institusi, dan struktur sosial.
Wacana ditetapkan dan dikondisikan secara sosial, dengan aspek sosial yang dimaksud
antara lain situasi, objek pengetahuan, identitas sosial dan hubungan antara orangorang dalam suatu kelompok.
Telaah terhadap teks UU 41 tahun 1999 terkait kebijakan alokasi dan distribusi
akan dilakukan dengan memperhatikan dimensi teks. Fairclough (2003)
mengemukakan bahwa dalam melakukan deskripsi terhadap teks maka hal yang
diperhatikan meliputi, bentuk luaran teks (gramatika, kosakata, fonologi), pemaknaan
ujaran, koherensi dan struktur teks. De Beugrande & Dressler dalam Titscher et.al
(2009) mengemukakan dimensi teks yang terdiri dari 7 bagian dalam proses analisis
teks, seperti yang tersaji pada Tabel 2.1.

5

Tabel 2. 1 Dimensi analisis teks
Kriteria Teks
Kohesi
Koherensi
Intensionalitas
Akseptabilitas

Informativitas
Situasionalitas

Intertekstualitas

Penjelasan
Berkaitan dengan komponen dan permukaan tekstual yakni
keterhubungan sintaktis teks
Suatu konteks tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki hubungan
dengan teks-teks lain
Berkaitan dengan sikap dan tujuan pembuat teks
Suatu teks harus diakui oleh penerima dalam sebuah situasi
tertentu. Akseptabilitas terkait dengan kesiapan dari penerima
teks dalam mengharapkan teks yang relevan. Proses ini sering
menimbulkan konflik komunikasi
Mengacu pada kuantitas informasi yang diharapkan dalam
suatu teks serta kualitas dari penyajian teks
Konstalasi pembicaraan dan situasi tuturan memainkan peran
penting dalam memproduksi teks. Situasional melahirkan
konsep “wacana/teks dalam konteks”
Keterkaitan antara teks dengan wacana. Terdapat kriteria
formal yang menghubungkan teks-teks tertentu dengan teks
lain

Sumber: De Beugrande & Dressler dalam Titscher et.al (2009).

Fairclough (2003) menyebutkan bahwa suatu teks muncul karena adanya
kondisi sosial masyarakat yang berada dalam proses produksi dan proses interpretasi,
sehingga teks diproduksi/dilahirkan dan kemudian teks diintrepretasikan. Munculnya
teks harusnya merupakan sebuah kesatuan dari adanya interaksi sosial (Fairclough
2003; Titscher et.al 2009). Diproduksinya suatu teks sangat berkaitan erat dengan
diskursus (Fairclough 2003; Titscher et.al 2009). Kartodihardjo (2013) memaparkan
bahwa kualitas suatu kebijakan terlihat dari terintegrasinya antara teks dengan interaksi
sosial.
Pada tataran deskripsi tesktual, penyajian fakta-fakta akan terbagi menjadi
proses interpretasi isi dan proses telaah terbentuknya isi/proses historis (Wodak 1990
dalam Titscher et.al 2009). Pada telaah interpreasi isi akan memaparkan fakta-fakta
kohesi dan koherensi yang mengungkapkan tentang gramatikal teks, akseptabilitas
terkait keberterimaan terhadap isi teks dan informativitas terkait dengan kuantitas
sebagai hasil dari produksi teks. Pada telaah proses terbentuknya teks, fakta disajikan
berdasarkan intensionalitas yaitu menyangkut sikap pembuat teks, situasional yaitu
menyangkut situasi tutur yang memunculkan wacana, serta intertekstualitas yaitu
hubungan antara teks dalam wacana.
Dalam UU 41 tahun 1999 disebutkan bahwa, negara menguasai semua hutan
dengan tujuan yaitu pencapaian sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk
pencapaian kemakmuran tersebut, maka negara memberikan kewenangan pada
pemerintah untuk penyelenggaraan kehutanan. Peran tersebut diantaranya melalui
fungsi alokasi dan distribusi. Dalam rangka melihat bahwa pemerintah telah

6

menjalankan fungsi alokasi dan distribusi secara adil demi pencapaian tujuan
memakmurkan rakyat, maka telaah dilakukan dengan menggunakan konsep keadilan
alokasi dan distribusi sumberdaya yang dikemukakan oleh Jhon Rawls. Adapun
kerangka penelitian tersaji pada Gambar 2.2.
Pencapaian sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat

Penguasaan hutan oleh negara
(UU 41 tahun 1999)

1. Fungsi Alokasi
2. Fungsi Distribusi

Mekanisme
pemberian izin
pemanfaatan

CDA:
1. Deskripsi
tekstual
2. Peristiwa
diskursif
3. Praktek sosial

Analisis tolak ukur
kemakmuran rakyat:
a. Kemanfaatan SDH bagi
masyarakat
b. Pemerataan
sumberdaya
c. Pelibatan masyarakat
dalam menentukan
pemanfaatan
d. Penghormatan hak-hak
masyarakat

Analisis prinsip
keadilan Rawls

Gambar 2. 2 Kerangka Penelitian
Pengumpulan Data
a. Pengumpulan Dokumen
Pengumpulan dokumen dalam penelitian terkait dengan penelitian antara lain
UU 41/1999, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Selain itu sumber-sumber
pustaka lain juga turut dikumpulkan yang bertujuan mendukung analisis data, baik dari
hasil penelitian maupun media cetak dan elektronik.
b. Wawancara
Wawancara dilakukan dengan menggali informasi dari informan kunci.
Berdasarkan tujuan yang ingin disasar dalam penelitian ini, maka penentuan informan
kunci ditetapkan secara sengaja (Bungin 2003). Spradly dalam Bungin (2003)
mengemukakan kriteria dalam menentukan informan kunci, antara lain:
1. Subjek sudah cukup lama dan intensif menyatu dengan kegiatan atau medan
aktivitas
2. Subjek masih terlibat secara penuh/aktif pada lingkungan atau kegiatan yang
menjadi perhatian penelitian
3. Subyek yang memiliki keluangan waktu dan kesempatan untuk diwawancarai
Dari beberapa kriteria tersebut, maka total informan kunci yang diwawancarai
berjumlah 11 orang, yang terdiri dari kalangan birokrat 4 orang, akademisi kehutanan

7

4 orang, LSM 2 orang dan pakar hukum 1 orang. Untuk kalangan birokrat, pada saat
diwawancarai terdapat birokrat yang masih aktif dan juga birokrat yang telah pensiun
Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan Juni 2013-Juli 2014. Proses pengumpulan dokumen
dilakukan Juni-Januari 2014, wawancara dilakukan Juni 2013-Juli 2014. Hal tersebut
disesuaikan dengan keluangan waktu dari informan kunci yang bersedia untuk
diwawancarai.
Analisis Data
Analisis data dalam UU 41 tahun 1999 isi kebijakan terkait alokasi,
berhubungan dengan penetapan hutan baik fungsi dan status. Sedangkan kebijakan
distribusi dalam UU 41 tahun 1999 terkait pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Selain
itu terdapat pula, pasal-pasal yang telah mengalami pembaruan, berdasarkan Surat
Edaran Menteri Kehutanan, yaitu:
1. SE Menhut No.3 Tahun 2012 Tentang Putusan MK No.45 Tahun 2011,
terkait penetapan kawasan hutan
2. SE Menhut No.1 Tahun 2013 Tentang Putusan MK No.35 Tahun 2013
terkait hutan adat
Adapun penjabaran pasal-pasal dalam UU 41 tahun 1999 yang terkait alokasi dan
distribusi tersaji pada Tabel 2.2 dan Tabel 2.3.
Tabel 2. 2 Pasal terkait fungsi alokasi dalam UU 41 tahun 1999
Pasal
1:3
1:4
1:5
1:6

1:7
1:8

4:2 (b)
5:1
6:1
6:2
7:1

Uraian
Kawasan hutan adalah wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan
keberadaanya sebagai hutan tetap (hasil putusan MK)
Hutan negara adalah hutan yang tidak dibebani hak atas tanah
Hutan hak adalah hutan yang dibebani hak atas tanah
Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. pasal
ini mengalami perubahan sesuai surat edaran Menhut No1/2013, dalam menyikapi
putusan MK No.35/2013, sehingga berbunyi:
Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat
Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil
hutan
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan
sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan
erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah
Kewenangan pemerintah adalah menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan
hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan
Hutan berdasarkan fungsinya terdiri dari: a. hutan negara; b. hutan hak; c.hutan adat (hasil
putusan MK)
Hutan memiliki 3 fungsi, yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi
Pemerintah menetapkan hutan dengan fungsi pokok sebagai berikut: hutan konservasi, hutan
lindung dan hutan konservasi
Hutan konservasi sebagaimana pada pasal 6:2 terdiri dari: kawasan hutan suaka alam,
kawasan hutan pelestarian alam, dan taman buru

8

Lanjutan Tabel 2.2
Pasal
8:1
8:2

9:1

Uraian
Pemerintah dapat menetapkan kawasan hutan tertentu untuk tujuan khusus
Penetapan kawasan hutan dengan tujuan khusus, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diperlukan untuk kepentingan umum seperti: penelitian dan pengembangan, pendidikan dan
latihan, religi dan budaya
Untuk kepentingan pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air, di setiap kota
ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota

Sedangkan untuk analisisi pasal terkait dengan fungsi distribusi tersaji pada Tabel 2.3.
Adapun pasal yang terkait dengan fungsi distribusi berhubungan dengan kegiatan
pemanfaatan hutan.
Tabel 2. 3 Pasal terkait fungsi distribusi
Pasal
4:2 (c)

23

24
25
26:1
26:2

27:1

27:2

27:3

28:1

28:2

29:1

Uraian
Kewenangan pemerintah dalam mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum
antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai
kehutanan.
Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, bertujuan untuk
memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara
berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya
Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan
cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional
Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta taman
buru diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa
lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan
kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan
kayu.
Izin usaha pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dapat
diberikan kepada:
a.perorangan; b.koperasi
Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2),
dapat diberikan kepada:
a.perorangan; b.koperasi; c.badan usaha milik bersama swasta Indonesia; d.badan usaha
milik negara atau badan usaha milik daerah
Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2),
dapat diberikan kepada:
a.perorangan; b.koperasi
Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa
lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan
kayu dan bukan kayu
Pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan
kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan
kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu,
dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Izin usaha pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat
diberikan kepada:
a.perorangan; b.koperasi

9

Lanjutan Tabel 2.3
Pasal
29:2

29:3

29:4

29:5

30

31:1

34

36:1
37:1
67:1

68:1

Uraian
Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2)
dapat diberikan kepada:
a.perorangan; b.koperasi; c.badan usaha milik bersama swasta Indonesia; d.badan usaha
milik negara atau badan usaha milik daerah
Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (2) dapat diberikan kepada:
a.perorangan; b.koperasi; c.badan usaha milik bersama swasta Indonesia; d.badan usaha
milik negara atau badan usaha milik daerah
Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2)
dapat diberikan kepada:
a.perorangan; b.koperasi; c.badan usaha milik bersama swasta Indonesia; d.badan usaha
milik negara atau badan usaha milik daerah
Izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (2) dapat diberikan kepada:
a.perorangan; b.koperasi
Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta Indonesia yang memperoleh izin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu,
diwajibkan bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat
Untuk menjamin asas keadilan, pemerataan, dan lestari, maka izin usaha pemanfaatan
hutan dibatasi dengan mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian
usaha
Pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dapat diberikan kepada:
a. masyarakat hukum adat,
b. lembaga pendidikan,
c. lembaga penelitian,
d. lembaga sosial dan keagamaan.
Pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, sesuai
dengan fungsinya
Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sesuai
dengan fungsinya
Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya berhak:
a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari
masyarakat adat yang bersangkutan;
b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan
tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan .

Selanjutnya analisa dari pasal-pasal di atas akan ditelaah dengan kriteria dan indikator.
Variabel yang diukur terkait keadilan distribusi dan alokasi serta kemakmuran rakyat.
Rincian tentang kriteria dan indikator tersaji pada Tabel 2.4.

10

Tabel 2. 4 Variabel, kriteria dan indikator analisis data
1.

Variabel
Keadilan
Distribusi
Alokasi

Kriteria
Prinsip Keadilan menurut Jhon Rawls:
dan - Kebebasan
- Perbedaan
- Persamaan hak

-

2.

Kemakmuran
Rakyat

Putusan MK PU 3/PUU-VII/2007, yaitu:
a. kemanfaatan sumberdaya alam bagi
rakyat
b. tingkat pemerataan manfaat
sumberdaya alam bagi rakyat
c. tingkat partisipasi rakyat dalam
menentukan manfaat sumberdaya
alam
d. penghormatan terhadap hak rakyat
secara turun-temurun dalam
memanfaatkan sumberdaya alam

-

-

Indikator
Penetapan Kawasan
Perizinan dalam
memanfaatkan SDH di
hutan negara
Putusan MK 45/PUUIX/2011
Putusan MK 35/PUUX/2012
Penetapan Kawasan
Perizinan dalam
memanfaatkan SDH di
hutan negara
Putusan MK 45/PUUIX/2011
Putusan MK 35/PUUX/2012

Verifikasi Data
Proses validasi yang dipilih adalah dengan menggunakan metode triangulasi
data. Creswell (2012) menyebutkan bahwa dalam penelitian kualitatif, validasi dengan
strategi triangulasi dilakukan dengan mengumpulkan data dari beragam sumber baik
pustaka maupun wawancara. Selanjutnya data diobservasi dan seluruh dokumen yang
ada dianalisis secara utuh. Bungin (2003), turut mengemukakan bahwa teknis
triangulasi adalah mengutamakan efektivitas proses dan hasil yang diinginkan, seperti
metode wawancara diperoleh, selanjutnya diverifikasi dengan data ataupun dokumen
lain, kemudian dilakukan lagi konfirmasi baik dengan data yang sudah terhimpun.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Tujuan utama implementasi UU 41 tahun 1999 adalah dalam rangka
mewujudkan penyelenggaraan kehutanan untuk mencapai kemakmuran rakyat.
Kartodihardjo (2013a) memaparkan bahwa dalam mengkonstruksikan hutan, tidak
hanya dilihat dari lanskap ekologis saja, namun hutan dikonstruksikan pula dari realitas
sosial, keputusan administrasi dan hukum. Hal tersebut mempengaruhi keberadaan dari
hutan, bagaimana hutan dimanfaatkan untuk pencapaian kemakmuran bersama, atau
hutan diperebutkan untuk kepentingan perorangan. Wujud pencapaian kemakmuran
rakyat melalui penyelenggraan kehutanan terjadi apabila ada kemanfaatan sumberdaya
alam dirasakan oleh rakyat, terdapat pemerataan manfaat sumberdaya alam bagi rakyat,
pelibatan masyarakat dalam menentukan manfaat sumberdaya serta adanya
penghormatan hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumberdaya alam

11

seperti yang tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi No.3 tahun 2010.
Fenomena munculnya multi konflik yang terus berlangsung dalam penyelenggaraan
kehutanan mulai dari penetapan status hingga akses dalam pemanfaatan sumberdaya
merupakan fakta bahwa perwujudan pencapaian kemakmuran rakyat seperti yang
diamanatkan konstitusi masih belum dapat dicapai. Fakta-fakta tersaji dalam 3 sub
bahasan yakni deskripsi tekstual, peristiwa diskursif dan praktek sosial.
Deskripsi Tekstual
1. Situasional
Situasional merupakan telaah terhadap konstalasi dan situasi yang
mempengaruhi terbentuknya teks (Wodak 1996 dalam Titscher 2009). Secara umum
gambaran tentang konstalasi dan situasi dalam penyusunan UU 41 tahun 1999,
memaparkan tentang bagaimana situasi terkait lanskap hutan yang mengalami
kerusakan hutan secara terus-menerus, persoalan kemantapan kawasan, relasi
masyarakat dengan hutan, kepentingan sekelompok orang dalam memanfaatkan
sumberdaya berkontribusi terhadap pembaharuan kebijakan kehutanan. Adapun fakta
situasi yang mempengaruhi produksi teks UU 41 tahun 1999 berdasarkan beberapa
sumber pustaka dijabarkan sebagai berikut.
Kerusakan hutan alam merupakan salah satu situasi yang mempengaruhi
pembaharuan kebijakan kehutanan (Kartodihardjo 1999). Kartodihardjo & Supriono
(2000) memaparkan fakta tutupan hutan pada kawasan hutan alam 1984-1997, sebagai
berikut:
a. Luas tutupan hutan produksi tahun 1984 sebesar 64 juta ha, sedangkan tahun
1997 luas tutupan hutan produksi menjadi 58.6 juta ha. 4.6 juta hektar areal
hutan dialokasikan untuk pembangunan HTI. Dalam rentang waktu 13 tahun
terdapat 652 HPH yang beropearsi. Areal HPH yang mengalami kerusakan
sebesar 16.57 juta ha. Rusaknya hutan alam ditengarai sebagai salah satu
faktor yang menimbulkan pasokan kayu dari hutan alam mengalami
penurunan. Pemerintah kemudian mencabut izin-izin usaha HPH yang
memiliki kinerja buruk.
b. Luas tutupan hutan yang dapat dikonversi tahun 1984 sebesar 30 juta ha,
sedangkan tahun 1997 terjadi perubahan tutupan menjadi 8.4 juta ha.
Peruntukan areal konversi tersebut adalah untuk perkebunan karet, sawit dan
kopi.
c. Pada 1998-1999 juga terjadi penjarahan di kawasan hutan. Diperkirakan
penjarahan di luar Pulau Jawa meyebabkan kerugian negara Rp. 244 M,
sedangkan di Pulau Jawa penjarahan menyebabkan kerugian negara Rp. 22 M
(Kartodihardjo 1999).
Tahun 1998 terdapat peristiwa redistribusi HPH. Akbar (1999) memberikan
contoh bahwa pada kasus redistribusi HPH, HPH besar memperoleh akses secara
mudah dan cepat dalam mendapatkan izin pengusahaan hutan, sedangkan HPH
kecil tidak diperlakukan sama. Situasi ini memberikan gambaran bahwa pengusaha
memiliki kontribusi dalam mempengaruhi beberapa kebijakan kehutanan, sehingga

12

pengusaha akan dimudahkan dalam memperoleh akses pengelolaan/pemanfaatan
hutan (Kartodihardjo & Supriono 2000)
Awang (1999) mengemukakan bahwa terdapat tuntutan legal right dari berbagai
lapisan masyarakat yang memiliki keterkaitan dengan hutan alam. Berbagai konflik
bermunculan selama proses pengelolaan hutan alam yang terjadi antara masyarakat
dengan pengusaha, pengusahasa dengan masyarakat, masyarakat dengan pemerintah
(Awang 1999; Wulan et.al 2004). Kartodihardjo (1999) menambahkan bahwa salah
satu semangat perubahan kebijakan yang muncul pada tahun 1998 adalah munculnya
dorongan untuk redistribusi manfaat sumberdaya.
Kartodihardjo (1999), mengemukakan tentang 3 kekuatan kelompok yang
muncul pada masa kabinet pemerintah reformasi, yaitu:
a. Kelompok LSM. Kelompok ini mengemukakan pandangan mereka bahwa
pembaharuan kebijakan kehutanan harus memperbaiki penataan terhadap
dasar hak pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat adat. Dalam
kebijakan yang lama, hutan adat masih merupakan bagian dari hutan negara.
Tuntutan kelompok ini adalah bahwa masyarakat hukum adat harusnya
diberikan keleluasaan dalam melakukan pengelolaan hutan sendiri, karena
masyarakat telah memiliki pengetahuan dan kearifan lokal dalam mengelola
sumberdaya alam mereka.
b. Pemerintah. Kelompok ini ingin mendistribusikan aset sumberdaya melalui
pembatasan luas konsesi, pembatasan pemilikan hak pengusahaan hutan, serta
pengembangan koperasi sebagai instrument pemberdayaan ekonomi rakyat.
c. Kelompok usaha. Kelompok ini menginginkan pembaharuan kebijakan yang
mengarah pada iklim usaha yang efisien dengan harapan bahwa status hakhak pengusahaan sumberdaya hutan tetap seperti semula.
Beberapa informasi melalui wawancara dengan birokrat yang terlibat dalam
pembuatan kebijakan juga memberikan gambaran terkait situasi yang mempengaruhi
pembuatan kebijakan. Pemaparan dari birokrat mengkonfirmasi bahwa ada semacam
sinergis antara pemerintah dengan pengusaha. Situasi lainnya yaitu adanya pemikiran
terkait posisi masyarakat yang cenderung “diikutsertakan” dalam pemanfaatan hutan,
faktor fokus pimpinan dan persoalan kapasitas mewarnai konstalasi pemikiran tentang
penyelenggaraan kehutanan. Adapun konfirmasi dari birokrat, tersaji sebagai berikut:
1. Saat itu orang terbius oleh devisa yang besar. Eksploitasi sumberdaya hutan
merupakan cara cepat dalam mendapatkan devisa yang besar. Sehingga banyak
orang tidak melirik ke hal-hal seperti pemantapan kawasan hutan, soal tata batas.
Jika ada yang mengatakan tahun 1970-1990 itu adalah kejayaan kehutanan itu
adalah salah besar karena kita tidak melakukan apa-apa selain menebang dan
menjual. Jika berbicara tentang kelestarian maka itu tidak berjalan. Saat itu
kekuatan politik terlalu besar. (BP 24 Agustus 2013, hasil wawancara)
2. Pengetahuan tentang pengelolaan hutan saat itu masih berkiblat pengelolaan hutan
yang dilakukan di barat. Orientasi mengelola hutan masih memandang hutan
dikelola jangka panjang dan membutuhkan modal besar. Pikiran kita memang
bahwa pengusaha mampu mengakses perbankan, jadi ketika modal sudah
didapatkan untuk menunjang pengusahaan hutan, maka masyarakat akan

13

mendapatkan efeknya dari pemanfaatan yang telah dilakukan, istilahnya trickle
down effect. (IS 11 Juli 2013, hasil wawancara)
3. Pergantian pimpinan sangat mempengaruhi arah atau fokus kebijakan yang akan
diambil. Instruksi pimpinan harus dijalankan. Ketika pimpinan memfokuskan
kebijakan untuk memanfaatkan kawasan dalam rangka mendapatkan income
negara, maka hal itu akan diterjemahkan dalam aturan-aturan yang mendukung
fokus utama dari pimpinan. (Str 9 Juli 2013, hasil wawancara)
4. Sejak awal ada ketergantungan antara pemerintah dengan swasta dalam rangka
melakukan tata batas dengan tujuan pemantapan kawasan. Padahal mestinya pra
kondisi harus disiapkan oleh pemerintah, sehingga ketika ada yang berkegiatan di
kawasan hutan, sudah ada kepastian (BP 24 Agustus 2013, hasil wawancara)
5. Pada tataran pemerintahan masih terdapat persoalan kapasitas. Pemerintah pusat
kapasitasnya belum memadai, begitupun kapasitas pemerintah daerah. Sehingga
berbagai persoalan di tingkat tapak belum teratasi (HD 24 Juli 2013, hasil
wawancara)
6. Pemantapan kawasan mulai dari TGHK hingga paduserasi tidak membuahkan
legitimasi sosial (BP 24 Agustus 2013, hasil wawancara). Konflik terbiarkan
akibat proses penetapan kawasan tersebut, ini persoalan mendasar, sehingga butuh
keseriusan seluruh pihak, tidak hanya kementerian kehutanan saja. Terkait
penetapan kawasan membutuhkan dana yang tidak sedikit, sedangkan anggaran
yang menyediakan bukan kementerian kehutanan (IS 11 Juli 2013, hasil
wawancara)
Adapun situasi terkait proses pembahasan rancangan undang-undang kehutanan
diwarnai oleh perbedaan pendapat antara para anggota komite yang terdiri dari
pemerintah, pihak perguruan tinggi, LSM dan pengusaha. Hal tersebut tersaji pada
Tabel 3.1. Perdebatan panjang terkait pengelolaan kehutanan jangka panjang yang
memberikan manfaat kepada seluruh komponen masyarakat (misalnya: pengelolaan
yang memperhatikan daya dukung, pemantapan kawasan sehingg menjamin kejelasan
dalam memanfaatkan kawasan), pemberian hak pengelolaan kepada masyarakat adat,
semangat desentralisasi kehutanan, pada akhirnya belum dapat terakomodir selama
proses panjang menuju perbaikan kebijakan kehutanan. Berikut disajikan dinamika
dalam penyusunan RUU Kehutanan.
Tabel 3. 1 Catatan proses penyusunan RUU Kehutanan tahun 1998-1999
Waktu Pertemuan
29 Juni 1998
Juli-September
1998

OktoberDesember 1998
19 Agustus 1998

Situasi dalam proses penyusunan kebijakan kehutanan
Menteri Kehutanan dan Perkebunan membentuk Komite Reformasi Pembangunan Kehutanan
dan Perkebunan (K-RPKP), yang terdiri dari: Dephutbun, Perguruan tinggi, LSM dan
perwakilan pengusaha swasta
KRPKP menghasilkan 4 rekomendasi kepada Menteri, salah satunya adalah Rancangan
Undang-Undang Kehutanan.
Rekomendasi menggambarkan kerangka pemikiran pembangunan kehutanan dan
perkebunan ke depan, dengan memposisikan kembali peran pemerintah, badan usaha milik
negara, swasta dan masyarakat.
KRPKP mengimplementasikan rekomendasi yang telah dibuat
Dalam proses implementasi terjadi perdebatan antar anggota komite, terkait pembahasan
rancangan peraturan pemerintah (RPP) termasuk dalam pembahasan rancangan undangundang (RUU)
Pembahasan RPP antara Komite, Menhutbun, Pejabat eselon 1, staf ahli menteri
Pembahasan pokok terkait perbedaan persepsi, yaitu:

14

Lanjutan Tabel 3.1
Waktu Pertemuan

2 Nopember 199

10 Februari 1999

22 Februari 1999

Situasi dalam proses penyusunan kebijakan kehutanan
a. Penerapan pendekatan pengelolaan hutan. Tim kemenhutbun mengusung hak
pengusahaan hutan dan hak pemanfaatan hutan.
b. Pengakuan hutan adat
c. Desentralisasi pengelolaan kehutanan
Wakil komite RPKP menjabarkan landasan pokok pengelolaan hutan, yaitu:
a. rancangan bangun pengelolaan hutan harus diletakkan, sehingga hak-hak
pengusahaan hutan dapat terkoordinasi dalam kesatuan manajemen pengelolaan hutan
b. peran serta masyarakat dapat diwujudkan dengan memberikan hak mereka secara
langsung dalam pengelolaan hutan dan juga dengan mengakui hak mereka yang sudah
ada
c. kewenangan pemerintah daerah harus diletakkan secara jelas
Setelah PP baru disahkan yakni PP 6/1999 tentang Pengusahaan Hutan Dan Pemungutan
Hasil Hutan Pada Hutan Produksi, masukkan yang diberikan oleh wakil komite sama sekali
tidak digunakan.
Diskusi draft bersama UU Kehutanan dengan CGIF,LSM,Donor, Swasta, BUMN,
Perguruan tinggi dan Dephutbun
Dephutbun telah menyerahkan draft UU kehutanan ke Sekretariat Kabinet sebelum diskusi
bersama dilakukan
Komite RPKP menggunakan draft bersama untuk komunikasi dengan Fakultas Kehutanan
IPB, Fakultas Kehutanan UGM, pemerintah daerah di Kalimantan Timur dan Riau. Hasil
pertemuan tersebut memberikan masukkan tentang keberadaan masyarakat hukum adat
yang perlu diberikan hak mengelola sumberdaya, serta desentralisasi kehutanan di daerah
yang tertuang dalam draft belum menjawab persoalan di daerah.
Tanggapan dari sekretriat kabinet, antara lain:
a. Masih terlalu sentralistik
b. Tidak diakuinya hukum adat
c. Masalah hasil tambang (sebagai konsekuensi arti hasil hutan termasuk non kayu)
d. Kewenangan perusahaan umum kehutanan negara yang dapat memberikan hak usaha
kehutanan
Tim Dephutbun mengundang sebagian anggota komite untuk memperbaiki draft bersama.
Dalam diskusi yang terjadi, tidak diambil keputusan, menanggapi masukan yang diperoleh
dari berbagai pihak. Tim Dephutbun masih pada posisi mempertahankan untuk tidak
mengakui hutan adat
Tim dishutbun memperbaiki draft RUU kehutanan.
Dalam draft perbaikan tersebut perencanaan kehutanan yang berbasis neraca sumberdaya
hutan dan pengelolaan derah aliran sungai, sebagai masukkan dari komite, ternyata tidak
dimunculkan dalam draft tersebut
Begitupun tentang status hutan adat

Sumber: Komite RPKP dalam Kartodihardjo (1999).

Dalam wawancara dengan akademisi, beberapa konfirmasi terkait situasi dalam
penyusunan RUU pada Tabel 3.1, sebagai berikut:
1. Dalam rangka mengantisipasi terjadinya kerusakan hutan secara terus menerus,
maka izin yang diberikan seharusnya adalah izin pengelolaan. Hal tersebut
untuk menghindari tumpang tindih pemanfaatan kawasan pada satu areal yang
sama. Apabila terjadi kerusakan di areal tersebut, maka akan mudah untuk
dipertanggungjawabkan. Penolakan keras di kalangan legislatif saat itu, dengan
alasan bahwa akan menutup akses masyarakat dalam memanfaatkan ruang (ES
5 Juli 2013, hasil wawancara)
2. Sejak awal telah ada 3 skema terkait status hutan, yang terdiri dari hutan negara,
hutan hak, dan hutan adat. Masukan tersebut ditolak oleh pemerintah, karena

15

menimbulkan kekhawatiran bahwa akan ada negara di dalam negara. (DD 27
Juni 2013, hasil wawancara)
3. Ada kepentingan yang bermain. Ketika tahun 1990-an terdapat skema yang
diberikan oleh akademisi, bahwa untuk meningkatkan pendapatan negara, maka
pajak terhadap penggunan kawasan harusnya $8. Saran tersebut ditolak oleh
pemerintah, karena tidak ingin ada keluhan dari para pengusaha. Berbagai
masukan yang diberikan dengan meletakkan konteks penyelenggaraan
kehutanan untuk kemaslahatan bersama dari akademisi cenderung tidak
disetujui oleh pengambil keputusan (DD 27 Juni 2013, hasil wawancara)
4. Semangat perancangan UU ketika itu adalah spirit kerakyatan, karena memang
tidak ingin mengulangi rezim peme