Identifikasi dan Perunutan DNA mtCOI Kutukebul Subfamili Aleurodicinae yang Dikoleksi dari Ancol, Cipanas, dan Pameungpeuk
IDENTIFIKASI DAN PERUNUTAN DNA mtCOI KUTUKEBUL
SUBFAMILI ALEURODICINAE YANG DIKOLEKSI DARI
ANCOL, CIPANAS, DAN PAMEUNGPEUK
VINCENTIUS HUBERTO DHANGO
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Identifikasi dan
Perunutan DNA mtCOI Kutukebul Subfamili Aleurodicinae yang Dikoleksi dari
Ancol, Cipanas, dan Pameungpeuk adalah benar karya saya dengan arahan dari
dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Vincentius Huberto Dhango
A34100031
ABSTRAK
VINCENTIUS HUBERTO DHANGO. Identifikasi dan Perunutan DNA mtCOI
Kutukebul Subfamili Aleurodicinae yang Dikoleksi dari Ancol, Cipanas, dan
Pameungpeuk. Dibimbing oleh PURNAMA HIDAYAT.
Tiga spesies kutukebul Aleurodicus dispersus, Aleurodicus dugesii dan
Paraleyrodes minei (Hemiptera: Aleyrodidae) termasuk subfamili Aleurodicinae
yang ditemukan menyerang berbagai komoditas pertanian di Indonesia.
Berdasarkan
data
genetika
yang
tersedia
di
situs
GenBank
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/), data molekuler ke tiga spesies kutukebul tersebut
belum ada, khususnya yang berasal dari wilayah Indonesia. Penelitian ini
dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengetahui runutan nukleotida fragmen
DNA mtCOI A. dispersus, A. dugesii dan P. minei yang dikoleksi dari Ancol
(Jakarta), Cipanas (Cianjur) dan Pameungpeuk (Garut). DNA didapatkan dari
ekstraksi imago kutukebul A. dispersus, A. dugesii dan P. minei. Amplifikasi
DNA dilakukan dengan menggunakan PCR. Perunutan fragmen DNA mtCOI
dilakukan dengan mengirim sampel hasil PCR ke PT Genetica Science Indonesia.
Primer
PCR
yang
digunakan
ialah
forward
primer
5’TTGATTTTTTGGTCATCCAGAAGT-3’
dan
reverse
primer
5’TCCAATGCACTAATCTGCCATATTA-3’. Runutan nukleotida fragmen DNA
mtCOI dianalisis dengan program Bioedit V 7.1.7. dan CLC Sequence Viewer V
6.7.1, disejajarkan dengan runutan nukleotida fragmen DNA mtCOI spesies
kutukebul lain menggunakan program BLAST di situs Genbank. Runutan
nukleotida fragmen DNA mtCOI A. dispersus Ancol memiliki nilai homologi
sebesar 99.7% dengan A. dispersus India (JQ995239.1) dan China (JX566506.1).
Runutan nukleotida fragmen DNA mtCOI A. dugesii Cipanas memiliki nilai
homologi 99.5% dengan A. dugesii USA (AY521251.1). Di situs GenBank belum
terdapat informasi runutan DNA kutukebul P. minei. Perunutan fragmen DNA
mtCOI dengan menggunakan primer yang sama didapatkan runutan fragmen
DNA mtCOI yang berbeda, yaitu A. dispersus 891 pb, A. dugesii 885 pb, dan P.
minei 876 pb. Komposisi basa nukleotida A dan T masing-masing sampel tinggi,
yaitu A. dispersus 76.09%, A. dugesii 78.19%, dan P. minei 72.95%.
Kata kunci: Aleurodicus, Paraleyrodes, mtCOI, Jawa
ABSTRACT
VINCENTIUS HUBERTO DHANGO. Identification and Sequencing of mtCOI
DNA Whiteflies Subfamiliy Aleurodicinae Collected from Ancol, Cipanas, and
Pameungpeuk. Supervised by PURNAMA HIDAYAT.
Three whiteflies species Aleurodicus dispersus, Aleurodicus dugesii and
Paraleyrodes minei (Hemiptera: Aleyrodidae), subfamily Aleurodicinae which
attack many cultivated plants in Indonesia. Genetic information of those three
species are not available in GenBank (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/). This study
was aimed to identifiy and sequence mtCOI DNA fragments of A. dispersus, A.
dugesii, and P. minei which was collected from Ancol (Jakarta), Cipanas
(Cianjur), and Pameungpeuk (Garut). Genomic DNA was extracted from adults of
A. dispersus, A.dugesii, and P. minei. DNA amplification was done by using PCR
method. Sequencing of mtCOI DNA fragment was done by sending the PCR
product to PT Genetica Science Indonesia. DNA amplification used forward
primer 5’-TTGATTTTTTGGTCATCCAGAAGT-3’ and reverse primer 5’TCCAATGCACTAATCTGCCATATTA-3’. The sequences of mtCOI DNA were
analyzed using Bioedit V7.1.7. and CLC Sequence Viewer V6.7.1 softwares,
aligned along with other whiteflies mtCOI DNA using BLAST program in the
Genbank. The mtCOI DNA fragment of A. dispersus Ancol has 99.7% homology
with A. disperses India (JQ995239.1) and China (JX566506.1). The mtCOI DNA
fragment of A. dugesii Cipanas has 99.5% homology with A. dugesii USA
(AY521251.1). There is no mtCOI DNA sequence of P. minei available in the
Genbank. Sequencing of mtCOI DNA using the same primer resulting different
mtCOI DNA fragments, they are A. dispersus 891 bp, A. dugesii 885 bp, and P.
minei 876 bp. The composition of nucleotide bases A and T in each sample were
high, A. dispersus 76.09%, A. dugesii 78.19%, and P. minei 72.95%.
Keywords: Aleurodicus, Paraleyrodes, mtCOI, Java
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
IDENTIFIKASI DAN PERUNUTAN DNA mtCOI KUTUKEBUL
SUBFAMILI ALEURODICINAE YANG DIKOLEKSI DARI
ANCOL, CIPANAS, DAN PAMEUNGPEUK
VINCENTIUS HUBERTO DHANGO
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Identifikasi dan Perunutan DNA mtCOI Kutukebul Subfamili
Aleurodicinae yang Dikoleksi dari Ancol, Cipanas, dan
Pameungpeuk
Nama
: Vincentius Huberto Dhango
NIM
: A34100031
Disetujui oleh
Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc.
Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si.
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
4
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir yang
berjudul “Identifikasi dan Perunutan DNA mtCOI Kutukebul Subfamili
Aleurodicinae yang Dikoleksi dari Ancol, Cipanas, dan Pameungpeuk”. Penelitian
dilaksanakan dari Desember 2013 sampai Mei 2014. Penelitian ini didanai oleh
Dirjen DIKTI melalui beasiswa Bidik Misi.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada
1. Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc. selaku dosen pembimbing yang senantiasa
memberikan bimbingan, masukan, pengetahuan, saran dan arahan kepada
penulis.
2. Dr. Ir. Tri Asmira Damayanti, M.Agr. selaku dosen penguji tamu yang telah
memberikan masukan kepada penulis.
3. Dirjen DIKTI yang telah memberikan dukungan dana selama perkuliahan
melalui Beasiswa Bidik Misi.
4. Bapak, ibu, kakak, adik, serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayang.
5. Sari Nurulita yang telah memberikan arahan kepada penulis selama melakukan
penelitian di Laboratorium Virologi Tumbuhan.
6. Teman-teman Departemen Proteksi Tanaman angkatan 47 yang telah
mendukung terlaksananya laporan tugas akhir penulis. Teman-teman dan staff
Lab Biosistematika Serangga (Sandi, Johana, Ridho, Andi, Kiki, Bu Is, Mba
Atik) serta pihak lain yang turut membantu dalam penyusunan laporan tugas
akhir ini.
Semoga laporan tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Bogor, September 2014
Vincentius Huberto Dhango
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Metode Penelitian
Pengambilan Sampel
Pembuatan Preparat dan Identifikasi Kutukebul
Ekstraksi DNA Total
Amplifikasi DNA
Visualisasi Hasil PCR dan Perunutan Fragmen DNA mtCOI
Analisis Hasil
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Kutukebul
Hasil Amplifikasi Fragmen DNA MtCOI
Hasil Perunutan Nukleotida Sampel Kutukebul
Homologi Nukleotida
Analisis Filogenetika
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
viii
viii
viii
1
1
2
2
3
3
3
3
3
4
5
5
6
7
7
10
11
14
16
17
17
17
18
21
33
viii
DAFTAR TABEL
1 Komposisi reaktan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk satu kali
reaksi
2 Komposisi basa nukleotida fragmen DNA mtCOI A. dispersus Ancol,
A. dugesii Cipanas dan P. minei Pameungpeuk
3 Homologi runutan nukleotida fragmen DNA mtCOI ke tiga sampel
kutukebul dengan spesies kutukebul lain yang ada di situs
Genbank
5
14
15
DAFTAR GAMBAR
1 Kutukebul A. dispersus pada daun kelapa; pupa (A) dan imago (B)
2 Ciri morfologi A. dispersus; 4 pasang compound pores, tanda panah
(A), lingula oval (B), alur pori-pori padat, tanda panah (C), cone
shaped (D)
3 Kutukebul A. dugesii pada daun labu siam; pupa (A) dan imago (B)
4 Ciri morfologi A. dugesii; 4 pasang compound pores, tanda panah (A),
lingula melebar bulat (B), pori majemuk yang tereduksi seperti
lonceng, tanda panah (C), cone shaped (D)
5 Kutukebul P. minei pada daun kelapa; pupa (A) dan imago (B)
6 Ciri morfologi P. minei; 6 pasang compound pores (A), disc pore, tanda
panah (B) 2 pasang compound pore tereduksi (C), rod shaped (D)
7 Visualisasi gel agarosa hasil PCR DNA mtCOI. Lajur: (m) marker 1 kb
DNA ladder (a) P. minei (b) A. dispersus (c) A. dugesii
8 Hasil penjajaran runutan nukleotida fragmen DNA mtCOI tiga
sampel kutukebul
9 Hasil penjajaran asam amino fragmen mtCOI tiga sampel kutukebul
10 Filogeni kutukebul berdasarkan fragmen nukleotida DNA mtCOI
Menggunakan program CLC sequence viewer v 6.7.1 dengan pendekatan
UPGMA
7
7
8
9
9
10
11
12
13
16
DAFTAR LAMPIRAN
1 Electropherogram runutan fragmen DNA mtCOI A. dispersus asal
Ancol dengan forward primer
2 Electropherogram forward primer fragmen DNA mtCOI A. dugesii
asal Cipanas dengan forward primer
3 Electropherogram runutan fragmen DNA mtCOI P. minei asal
Pameungpeuk dengan forward primer
4 Hasil alignment runutan fragmen DNA mtCOI A. dispersus Ancol
23
24
25
ix
arah forward dan reverse complement
5 Hasil alignment runutan fragmen DNA mtCOI A. dugesii Cipanas arah
alignment forward dan reverse complement
6 Hasil alignment runutan fragmen DNA mtCOI P. minei Pameungpeuk arah
forward dan reverse complement
7 Hasil penjajaran runutan fragmen DNA mtCOI kutukebul
26
27
28
29
PENDAHULUAN
Kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) merupakan kelompok serangga yang
menjadi hama di berbagai komoditas pertanian. Serangga ini memiliki tipe alat
mulut menusuk menghisap, sehingga gejala serangan yang terjadi berupa nekrosis
dan bercak pada daun yang diserangnya. Kutukebul merupakan hama yang dapat
menyebabkan kerusakan langsung pada tanaman dan sebagai vektor virus
tanaman. Kerusakan akibat virus yang ditularkan umumnya lebih merugikan
dibandingkan dengan kerusakan akibat aktivitas makan kutukebul tersebut.
Penularan virus gemini oleh kutukebul, dapat menyebabkan kegagalan panen
hampir 100% (Hidayat et al. 2008).
Kutukebul digolongkan ke dalam Ordo Hemiptera dan Famili Aleyrodidae.
Kelompok serangga ini digolongkan ke dalam 2 subfamili, yakni subfamili
Aleurodicinae dan Aleyrodinae. Secara umum, perbedaan morfologi yang mendasar
di antara kedua subfamili ini terletak pada ada tidaknya pori majemuk abdomen
(abdominal compound pores) di bagian subdorsal tubuh dan bentuk vasiform orifice
di bagian posterior tubuhnya. Subfamili Aleurodicinae umumnya memiliki 4-6
pasang pori majemuk abdomen dan vasiform orifice yang berbentuk setengah bola
dengan lingula berbentuk spatula berukuran besar yang memanjang hingga melewati
tepi posterior vasiform orifice. Subfamili Aleyrodinae tidak memiliki pori majemuk
abdomen, meskipun ada spesies tertentu yang memiliki pori sederhana yang mirip
dengan pori majemuk, tetapi strukturnya berbeda dengan pori majemuk. Selain itu,
subfamili Aleyrodinae memiliki bentuk dan ukuran vasiform orifice yang sangat
beragam dengan lingula yang relatif kecil, tidak memanjang, dan tidak melewati tepi
posterior vasiform orifice (Watson 2007, Martin 2008).
Nurulalia (2012) melaporkan terdapat 4 spesies kutukebul dari subfamili
Aleurodicinae dan 38 spesies dari subfamili Aleyrodinae telah menyerang
berbagai komoditas pertanian di wilayah Indonesia. Beberapa jenis kutukebul dari
subfamili Aleurodicinae yang menjadi hama di Indonesia berasal dari genus
Aleurodicus dan Paraleyrodes. Hingga saat ini (Agustus 2014) di wilayah
Indonesia, diketahui dua spesies kutukebul dari genus Aleurodicus, yaitu A.
dispersus dan A. dugesii. Sedangkan dari genus Paraleyrodes diketahui satu
spesies, yakni Paraleyrodes minei. Selain ke tiga spesies tersebut, terdapat satu
spesies kutukebul subfamili Aleurodicinae lain yang telah dilaporkan
keberadaannya di wilayah Indonesia, yakni Aleuroctarthrus destructor. Kutukebul
tersebut sebelumnya diberi nama Aleurodicus destructor (Watson 2007).
Keberadaan kutukebul di wilayah Indonesia telah lama diketahui.
Kalshoven (1981) menyebutkan pada tahun 1950-an dilaporkan sebanyak 12
spesies kutukebul telah menjadi hama di Indonesia. Kutukebul A. dispersus
diketahui telah menyerang berbagai tanaman di banyak negara. Botha et al. (2000)
melaporkan, di Indonesia ditemukan 22 spesies dari 14 famili tanaman yang
terserang kutukebul A. dispersus. Kutukebul A. dispersus cenderung ditemukan di
dataran rendah (0-500 m dpl) (Murgianto 2010). Di Indonesia, kutukebul A.
dugesii pertama kali dilaporkan keberadaannya pada Maret 2007 menyerang
tanaman kembang sepatu di daerah Cimanggu, Bogor (Hidayat & Watson 2008).
Kutukebul ini diketahui telah menyerang 40 spesies dari 27 famili tanaman,
terutama banyak menyerang spesies tanaman dari famili Solanaceae di wilayah
2
Jawa Barat (Murgianto 2010). Kutukebul Paraleyrodes minei merupakan spesies
kutukebul yang baru pertama kali dilaporkan keberadaannya di wilayah Indonesia
pada tahun 2011 (Nurulalia 2012). Kutukebul ini ditemukan menyerang 3 spesies
tanaman dari 2 famili tanaman yang berbeda yaitu alpukat (Lauraceae), jeruk nipis
(Rutaceae), dan jeruk limau (Rutaceae) (Karami 2012).
Kutukebul merupakan serangga dengan ukuran tubuh yang kecil. Setiap
spesiesnya memiliki kemiripan secara visual, sehingga sulit untuk dibedakan.
Oleh karena itu, informasi mengenai identifikasi spesies sangat diperlukan agar
pengendalian dapat dilakukan dengan tepat. Suatu spesies serangga dapat
diidentifikasi dengan menggunakan karakter morfologi dan molekuler yang
dimilikinya. Karakter morfologi didasarkan atas bentuk maupun ukuran yang khas
melekat pada suatu spesies serangga. Karakter molekuler suatu spesies serangga
dapat diketahui dengan menggunakan runutan nukleotida Mitochondrial
Cytochrome Oxidase I (mtCOI) yang dimilikinya.
MtCOI merupakan salah satu gen yang terdapat pada mitokondria suatu sel
serangga. Gen ini telah lama digunakan sebagai penanda genetik untuk DNA
barcoding kelompok serangga. Gillham (1994) menyatakan molekul mitokondria
kelompok hewan mempunyai kecepatan mutasi relatif tinggi sehingga berguna untuk
analisis filogenetika pada tingkat genus sampai tingkat di bawah populasi. Gen
mtCOI digunakan sebagai standar dalam penanda genetik karena memiliki variasi
genetik yang tinggi sehingga mampu membedakan antar semua spesies, tapi
bersifat lebih konservatif pada variasi dalam spesies, memiliki ukuran yang
pendek sehingga masih dapat digunakan untuk kondisi DNA yang rusak, memiliki
tingkat amplifikasi dan informasi filogeni yang tinggi sehingga memudahkan
dalam pengelompokkan taksa (Hebert et al. 2003). Rahayuwati (2009)
menggunakan pasangan primer mtCOI dengan kode C1-J-2195 dan L2-N-3014
untuk memperoleh informasi variasi genetik kutukebul Bemisia tabaci yang
didapatkan dari beberapa wilayah endemik penyakit kuning cabai di Indonesia bagian
barat.
Informasi runutan nukleotida mtCOI berbagai kelompok serangga dapat
diakses melalui situs GenBank yang beralamat di http://www.ncbi.nlm.nih.gov/.
Hingga saat ini, sudah terdapat beberapa informasi runutan nukleotida mtCOI
spesies kutukebul dari subfamili Aleurodicinae yakni A. dispersus, dan A. dugesii
yang berasal dari banyak negara di situs Genbank. Beberapa diantaranya adalah A.
dispersus India (JQ995239.1), A. dispersus China (JX566506.1), serta A. dugesii
USA (AY521251.1). Sampai saat ini (Agustus 2014), belum ada informasi
runutan nukleotida mtCOI di situs GenBank untuk spesies A. dispersus, A.
dugesii, dan P. minei asal wilayah Indonesia.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengetahui runutan
DNA mtCOI kutukebul subfamili Aleurodicinae yang dikoleksi dari Ancol
(Jakarta), Cipanas (Cianjur), dan Pameungpeuk (Garut).
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah tersedianya informasi
taksonomi kutukebul subfamili Aleurodicinae asal wilayah Indonesia berdasarkan
karakter morfologi dan molekuler yang dapat digunakan untuk identifikasi spesies
tersebut secara lebih akurat.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Desember 2013 hingga Mei 2014.
Pengambilan sampel dilakukan pada berbagai lokasi di wilayah Ancol (Jakarta),
Cipanas (Cianjur), dan Pameungpeuk (Garut). Identifikasi spesies kutukebul
dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ekstraksi DNA dan PCR
dilakukan di Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Perunutan DNA mtCOI dilakukan
dengan mengirimkan sampel produk PCR yang positif mengandung DNA
kutukebul ke PT. Genetica Science Indonesia.
Metode Penelitian
Pengambilan Sampel
Kutukebul yang menjadi bahan penelitian ini diambil dari wilayah Ancol
(Jakarta), Cipanas (Cianjur), dan Pameungpeuk (Garut). Koloni kutukebul diambil
dari daun yang menunjukkan gejala terserang. Daun tersebut kemudian digunting
dan dimasukkan ke dalam kantung plastik. Di Laboratorium Biosistematika
Serangga, imago dan pupa beserta kulit pupa kutukebul dipisah untuk dilakukan
identifikasi. Imago disimpan ke dalam dua tabung eppendorf yang berbeda.
Tabung eppendorf pertama berisi alkohol absolut. Tabung eppendorf kedua tidak
diisi oleh larutan apa pun, hanya imagonya saja dan disimpan dalam suhu -80 oC.
Selain itu, dilakukan juga penyimpanan daun yang berkoloni kutukebul pada suhu
-80 oC. Spesies A. dispersus diambil dari pohon kelapa di wilayah pantai Ancol,
Jakarta yang berlokasi di kordinat 6o11’83.93”S 106o84’71.52”E pada tanggal 28
Desember 2013. Koloni kutukebul diambil dari pohon kelapa yang masih
terjangkau untuk dilakukan pengguntingan pada daun. A. dugesii diambil dari
pertanaman labu siam di wilayah Cipanas, Cianjur, Jawa Barat yang berlokasi di
kordinat 6 o43’33.85”S 107 o2’17.37”E pada 14 Februari 2014. P. minei diambil
dari pohon kelapa di wilayah Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat yang berlokasi di
kordinat 7 o38’12.7”S 107 o40’52.9”E pada 21 Januari 2014.
Pembuatan Preparat dan Identifikasi Kutukebul
Untuk memastikan bahwa sampel yang didapat merupakan spesies
kutukebul yang dicari, maka perlu dilakukan identifikasi berdasarkan karakter
morfologi. Identifikasi kutukebul dilakukan berdasarkan karakter morfologi yang
melekat pada pupa maupun eksuvia (kulit pupa). Pembuatan preparat dilakukan
dengan metode yang dikembangkan oleh Watson (2007) yang dimodifikasi. Kunci
identifikasi Dooley (2007) digunakan untuk mengidentifikasi kutukebul hingga
tingkat spesies.
Pupa dipisahkan dari daun yang terserang kutukebul. Pupa kutukebul
tersebut diangkat dari daun dengan menggunakan jarum mikro di bawah
mikroskop stereo. Spesimen berupa pupa atau kulit pupa kutukebul dimasukkan
ke dalam cawan sirakus berisi alkohol 80%. Bila menggunakan spesimen berupa
pupa maka perlu dilakukan perendaman spesimen ke dalam tabung reaksi
berisikan KOH 10% yang dipanaskan pada suhu 80-100 oC selama minimal 1
4
jam. Selanjutnya spesimen dituangkan kedalam cawan sirakus, KOH 10%
dibuang. Spesimen kemudian dipindah ke cawan sirakus berisi air dan didiamkan
selama 1 menit. Setelah itu, spesimen dipindahkan ke dalam cawan sirakus berisi
asam asetat glacial dan didiamkan selama 10 menit sebelum dipindahkan kembali
dalam cawan sirakus berisi air. Kemudian, spesimen didiamkan selama sekitar 1
menit dalam cawan sirakus berisi larutan karbol xylene. Larutan tersebut
kemudian dibuang dan digantikan dengan asam asetat glasial yang dicampur
dengan asam fuchsin dan direndam selama 10 menit sampai dengan satu malam.
Larutan dari spesimen kemudian dibuang dan digantikan dengan minyak cengkeh,
lalu didiamkan selama 10 menit. Spesimen kemudian dikeluarkan dari minyak
cengkeh dan ditaruh di atas kaca objek lalu ditambahkan minyak cengkeh untuk
dilakukan penataan. Minyak cengkeh kemudian diserap dengan menggunakan
kertas tisu lalu spesimen dibubuhi dengan kanada balsam secukupnya dan ditutup
menggunakan kaca penutup. Preparat mikroskop kutukebul yang telah selesai
dibuat selanjutnya dikeringkan di dalam kotak pengering berlampu selama 6-8
minggu hingga medium pada preparat tersebut benar-benar kering. Identifikasi
kutukebul dapat dilakukan setelah pengeringan selama 1 minggu. Preparat
mikroskop kutukebul yang telah selesai dikeringkan dan diidentifikasi kemudian
diberi label.
Ekstraksi DNA Total
Ekstraksi DNA total dilakukan dengan menggunakan metode Goodwin et
al. (1994 dalam Rahayuwati 2009) yang telah dimodifikasi. Ekstraksi DNA total
diawali dengan penyiapan larutan bufer (buffer) ekstraksi DNA yang dibuat dari
pencampuran 500 µl bufer ekstraksi CTAB dan 5 µl β-merkaptoethanol.
Penambahan senyawa pereduksi seperti β-merkaptoethanol dapat mencegah
proses oksidasi senyawa fenolik sehingga menghambat aktivitas radikal bebas
yang dihasilkan oleh oksidasi fenol terhadap asam nukleat. Sebanyak 1, 2 dan 5
imago kutukebul digerus dalam nitrogen cair, masing-masing pada sebuah tabung
eppendorf menggunakan mikropistil plastik. Penggerusan imago disertai dengan
penambahan larutan bufer ekstraksi DNA masing-masing sebanyak 125 µl setiap
tabung. Penggerusan dilakukan hingga imago kutukebul tersebut benar-benar
telah hancur. Sap hasil penggerusan imago kutukebul tersebut kemudian divorteks
agar merata dan diinkubasi pada suhu 65 oC selama 30 menit untuk melarutkan
CTAB dan β-merkaptoethanol. Kemudian tube tersebut ditambah dengan 125 µl
larutan kloroform: isoamil alkohol (24:1) untuk mengekstrak dan mengendapkan
komponen polisakarida di dalam bufer ektraksi yang mengkontaminasi larutan
DNA, selanjutnya tube divorteks dan diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit
sebelum disentrifugasi pada 800 rpm selama 10 menit. Supernatan (80 μl)
dipindahkan ke dalam tabung mikro baru kemudian ditambah 10 μl NaOAc 3 M
(pH 5,2) dan 250 μl etanol absolut (4 oC) kemudian diinkubasi pada -20 oC selama
satu malam. Pemberian etanol dilakukan agar terjadi dehidrasi DNA sehingga
terjadi presipitasi. Supernatan dibuang setelah sentrifugasi 11 500 rpm selama 15
menit. Pelet dicuci dengan 200 μl etanol 80% (4 oC) kemudian disentrifugasi 11
500 rpm selama 10 menit. Etanol dibuang kemudian pelet dikeringanginkan. Hal
ini bertujuan untuk mengeringkan pelet dari sisa-sisa bufer maupun etanol.
Kemudian tube diresuspensikan dengan 25 μl larutan TE bufer pH 8. Bufer TE
berfungsi untuk melarutkan DNA yang dihasilkan dan menjaga DNA agar tidak
5
mudah rusak. Dalam bufer TE mengandung EDTA yang berfungsi sebagai
senyawa pengkelat yang mengikat ion Magnesium, yaitu kofaktor yang
diperlukan untuk aktivitas berbagai enzim nuklease.
Amplifikasi DNA
Reaksi PCR digunakan untuk memperbanyak pita DNA yang telah
didapatkan dari ekstraksi total DNA kutukebul. Adapun komposisi bahan yang
digunakan dalam PCR terdapat pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi reaktan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk satu kali
reaksi
Komponen
Volume (µl)
Go taq green (ThermoScientific)
12.50
Forward Primer C1-J-2195 [10 µM]
1.00
Reverse Primer L2-N-3014 [10 µM]
1.00
ddH2O
5.50
DNA
5.00
Total volume
25.00
Runutan nukleotida primer yang digunakan adalah forward primer C1-J-2195 5’TTGATTTTTTGGTCATCCAGAAGT-3’ dan reverse primer L2-N-3014 5’TCCAATGCACTAATCTGCCATATTA-3’ (Frohlich et al. 1999 dalam
Rahayuwati 2009). Amplifikasi DNA dilakukan sebanyak 30 siklus. Program
PCR terdiri atas tahapan pradenaturasi pada suhu 94 oC selama 5 menit, denaturasi
(fase pemisahan utas DNA) pada suhu 94 oC selama 1 menit, annealing
(penempelan primer) pada suhu 36 oC selama 1 menit, dan elongasi (sintesis
untaian DNA baru) pada suhu 72 oC selama 2 menit, tahap pascaelongasi pada 72
o
C selama 10 menit, dan penyimpanan pada suhu 4 oC.
Visualisasi Hasil PCR dan Perunutan Fragmen DNA mtCOI
Visualisasi hasil PCR dilakukan dengan elektroforesis gel agarosa 1%.
Pembuatan gel dilakukan dengan mencampur 0.3 gram agarosa dan 30 ml bufer
TBE 10%. Larutan ini kemudian dipanaskan dengan microwave selama 2 menit
pada suhu medium. Setelah itu, larutan agarosa didinginkan hingga hangat kuku,
kemudian larutan tersebut dituangkan ke dalam cetakan dan didiamkan hingga
padat. Setelah gel terbentuk, marker DNA 1 kb sebanyak 4 µl dan 5 μl DNA hasil
PCR dimasukkan ke dalam masing-masing sumur gel.
Gel agarosa kemudian dimasukkan ke dalam mesin elektroforesis dan
dilakukan elektroforesis dengan voltase 50 V selama 50 menit. Setelah
elektroforesis, gel direndam pada larutan ethidium bromida selama 15 menit, di
dalam air selama 1 menit, divisualisasi dengan UV transiluminator, dan
didokumentasikan. Produk PCR yang positif mengandung DNA kutukebul
kemudian dikirim ke PT Genetika Science Indonesia untuk dilakukan perunutan
nukleotida dengan menyertakan juga primer yang digunakan pada saat
amplifikasi. Perunutan dilakukan untuk mengetahui susunan basa nukleotida
masing-masing fragmen DNA sampel kutukebul.
6
Analisis Hasil
Hasil perunutan nukleotida kemudian dianalisis dengan melakukan
penjajaran (alignment) pada runutan nukleotida sampel dengan runutan nukleotida
kutukebul lain yang telah dipublikasikan di situs GenBank lewat program BLAST
(Basic Local Alignment Search Tools). Data runutan nukleotida yang terpilih
dianalisis dengan program multiple alignment, ClustalW dengan software Bioedit
V 7.1.7 untuk mengetahui nilai homologi masing-masing sampel. Analisis
filogeni dilakukan dengan menggunakan program CLC sequence viewer 6.7.1
berdasarkan pendekatan Unweighted Pair Group Method with Arithmetic Mean
(UPGMA) dengan bootstrap 1000 kali.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Kutukebul
Aleurodicus dispersus Russel merupakan kutukebul yang bersifat polifag.
Sampel yang diperoleh pada penelitian ini didapat dari tanaman kelapa di daerah
Ancol, Jakarta. Kutukebul ini juga ditemukan menyerang tanaman kelapa di
daerah Dramaga (Bogor), Parungkuda (Sukabumi) dan Pameungpeuk (Garut).
Kutukebul A. dispersus hidup dalam suatu koloni yang cukup padat. Pupa
dikelilingi oleh lapisan lilin yang merupakan eksudat hasil aktivitas makan yang
dilakukannya (Gambar 1).
1 mm
1 mm
Gambar 1 Kutukebul A. dispersus pada daun kelapa; pupa (A) dan imago (B)
Koloni kutukebul A. dispersus hidup pada bagian daun tanaman inang yang
diserangnya. Pada pupa A. dispersus terdapat dua struktur lilin yang ukurannya
panjang di bagian posterior tubuhnya dengan bentuk yang menyerupai ekor
(Gambar 1). Daun pohon kelapa yang terserang oleh kutukebul A. dispersus
diselimuti oleh massa kutukebul yang berwarna putih (Gambar 1). A. dispersus
hidup dalam suatu koloni yang terdiri atas telur, nimfa, pupa dan imago. Sampel
A. dispersus didapatkan di daerah pantai dengan angin yang bertiup cukup
kencang setiap saat. Hal tersebut mengakibatkan kemungkinan massa kutukebul
A. dispersus yang ada pada daun ikut terbawa angin dan jatuh ke tanah.
1 mm
Gambar 2
Ciri morfologi A. dispersus; 4 pasang compound pores, tanda panah
(A), lingula oval (B), alur pori-pori padat, tanda panah (C), cone
shaped (D)
A. dispersus memiliki karakter morfologi yang khas, diantaranya adalah
memiliki 4 pasang compound pores, alur pori-pori yang padat, lingula berbentuk
oval, cone shaped (Gambar 2). Kulit pupa (eksuvia) terlihat berwarna merah muda
8
keunguan, karena adanya perlakuan pemberian warna asam fucshin pada saat
pembuatan preparat (Gambar 2). Adanya pewarnaan bertujuan untuk
memudahkan dalam mengamati karakter-karakter morfologi yang ada pada suatu
pupa spesies kutukebul.
Kutukebul A. dispersus berasal dari daerah tropis Amerika. Kutukebul ini
dikenal dengan istilah Spiralling Whitefly karena imago A. dispersus meletakkan
telur dengan pola spiral pada daun yang menjadi inangnya. Fase nimfa dan imago
kutukebul mengakibatkan kerusakan langsung berupa aktivitas menghisap cairan
daun yang diserangnya yang dapat membuat daun tersebut menjadi gugur secara
abnormal. Kerusakan tidak langsung berupa produksi embun madu dan lapisan
lilin yang menyelimuti dedaunan inang yang diserang. Embun jelaga dapat
berkembang dari embun madu yang dihasilkan oleh kutukebul, hal ini dapat
menurunkan aktivitas fotosintesis tanaman inang. Hingga saat ini, belum pernah
dilaporkan adanya kejadian virus tumbuhan yang disebarkan oleh kutukebul A.
dispersus.
Aleurodicus dugesii Cockerell dikenal dengan istilah Giant Whitefly karena
ukuran tubuhnya yang cukup besar di antara spesies kutukebul lainnya (Gambar
3). Sampel yang diperoleh pada penelitian ini didapat dari daerah Cipanas,
Cianjur, Jawa Barat. Koloni A. dugesii banyak ditemukan pada pertanaman labu
siam di daerah Cipanas (Cianjur). Kutukebul ini juga ditemukan pada tanaman
kelapa di daerah Dramaga (Bogor) dan tanaman alpukat di daerah Ciapus (Bogor).
1 mm
1 mm
Gambar 3 Kutukebul A. dugesii pada daun labu siam; pupa (A) dan imago (B)
Imago A .dugesii memiliki corak berwarna kelabu pada bagian sayapnya
(Gambar 3). Lapisan lilin yang menyelimuti tubuh suatu spesies kutukebul
merupakan suatu lapisan yang dikeluarkan bersamaan dengan aktivitas makan
yang dilakukannya. Lapisan lilin tersebut dikeluarkan dari struktur compound
pores yang dimiliki oleh masing-masing spesies kutukebul yang berasal dari
subfamili Aleurodicinae. Umumnya, spesies kutukebul yang digolongkan ke
dalam subfamilii Aleyrodinae tidak mengeluarkan lapisan lilin karena tidak
memiliki struktur compound pores. Pada kutukebul A. dugesii, lapisan lilin yang
dikeluarkan terlihat seperti janggut yang panjang. Kutukebul ini memiliki lapisan
lilin yang paling panjang di antara ke tiga spesies kutukebul yang dijadikan
sampel dalam penelitian ini. Pada daun labu siam yang terserang, terlihat banyak
koloni A. dugesii yang terdiri atas telur, nimfa dan imago. Daun labu siam yang
terserang, menunjukkan gejala adanya bercak hingga daun menjadi layu dan
berwarna kekuningan.
9
1 mm
Gambar 4 Ciri morfologi A. dugesii; 4 pasang compound pores, tanda panah (A),
lingula melebar bulat (B), pori majemuk yang tereduksi seperti
lonceng, tanda panah (C), cone shaped (D)
A. dugesii memiliki karakter morfologi yang khas, diantaranya yaitu memiliki 4
pasang compound pores, terdapat struktur seperti lonceng, lingula berbentuk
melebar bulat, cone shaped (Gambar 4).
Paraleyrodes minei Iaccarino merupakan spesies yang baru dilaporkan
keberadaannya di Indonesia pada tahun 2011 (Nurulalia 2012). Sampel yang
diperoleh pada penelitian ini didapat dari pertanaman kelapa yang berasal dari
daerah Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Kutukebul ini dikenal dengan istilah
Nesting Whitefly karena lapisan lilin yang dihasilkannya menyerupai sangkar
burung (Gambar 5).
1 mm
1 mm
Gambar 5 Kutukebul P. minei pada daun kelapa; pupa (A) dan imago (B)
Kutukebul P. minei merupakan spesies kutukebul dengan ukuran tubuh
yang paling kecil di antara ke tiga spesies kutukebul yang dijadikan sampel dalam
penelitian ini. Telur diletakkan oleh imago betina secara melingkar. Telur
kutukebul memiliki pedisel di salah satu bagian ujungnya yang berfungsi untuk
melekat pada permukaan daun (Gambar 5).
Kutukebul ini hampir sering ditemukan pada pertanaman kelapa di berbagai
lokasi selama pengambilan sampel. Selain di daerah Pameungpeuk (Garut),
kutukebul P. minei juga ditemukan menyerang pohon kelapa di daerah Dramaga
(Bogor) dan Parungkuda (Sukabumi). Hal ini merupakan suatu informasi tanaman
inang yang baru bagi kutukebul P. minei. Laporan pertama mengenai serangan P.
minei di Indonesia menyebutkan bahwa kutukebul P. minei diketahui menyerang
tanaman alpukat, jambu air, jeruk nipis, dan jeruk bali (Nurulalia 2012). Selama
pencarian sampel dalam penelitian ini, tidak ditemukan keberadaan spesies
kutukebul dari subfamili Aleurodicinae yang lain, yakni Aleuroctarthrus
destructor pada tanaman kelapa. Padahal, kutukebul A. destructor dikenal sebagai
10
kutukebul pohon kelapa (Coconut Whitefly). Keberadaan A. destructor tampaknya
telah tergantikan oleh spesies P. minei pada tanaman kelapa. Hal ini mungkin
dikarenakan eksistensi A. destructor yang berhasil ditekan oleh musuh alami dan
sifat invasive alien species yang dimiliki oleh P. minei yang dominan dan
membuatnya mampu beradaptasi pada jangkauan inang yang lebih luas.
1 mm
Gambar 6 Ciri morfologi P. minei; 6 pasang compound pores, tanda panah (A),
disc pore, tanda panah (B), 2 pasang compound pores tereduksi (C),
rod shaped (D).
Kutukebul P. minei berasal dari genus yang berbeda dengan dua sampel
kutukebul sebelumnya. P. minei memiliki karakter morfologi yang khas,
diantaranya yaitu memiliki 6 pasang compound pores, memiliki disc pore di dekat
daerah lingula, 2 pasang compound pores tereduksi, rod shaped (Gambar 6).
Perbedaan karakter morfologi yang jelas terlihat antara genus Paraleyrodes dan
Aleurodicus ialah pada jumlah compound pores yang dimiliki oleh masing-masing
genus. Pada kutukebul genus Paraleyrodes, yakni P. minei memiliki 6 pasang
compound pores. Kutukebul genus Aleurodicus, yakni A. dispersus dan A. dugesii
masing-masing memiliki 4 pasang compound pores.
Hasil Amplifikasi Fragmen DNA mtCOI
Pada penelitian ini, metode PCR berhasil mengamplifikasi fragmen DNA
mtCOI kutukebul A. dispersus, A. dugesii dan P. minei. Imago kutukebul yang
disimpan dalam tabung eppendorf berisi alkohol ternyata tidak dapat
menghasilkan pita DNA ketika diamplifikasi. Hanya imago kutukebul yang
disimpan dalam tabung eppendorf tanpa alkohol dan imago yang disimpan
bersama daun inangnya dalam suhu -80 oC saja yang dapat menghasilkan pita
DNA ketika diamplifikasi.
PCR merupakan suatu metode molekuler yang ditempuh untuk
memperbanyak fragmen molekul DNA tertentu dari suatu spesies. Metode
tersebut memanfaatkan perbedaan suhu dan primer tertentu untuk
mengamplifikasi fragmen molekul DNA yang diinginkan. Fragmen molekul DNA
yang telah diamplifikasi lewat metode PCR dapat ditentukan ukurannya dengan
cara membuat gel agarosa, yaitu suatu bahan semi-padat berupa polisakarida yang
diekstraksi dari rumput laut (Yuwono 2010). Elektroforesis gel dilakukan untuk
memisahkan molekul seluler dengan menggunakan medan listrik agar diketahui
ukuran fragmen molekul DNA sampel. Pita DNA hasil PCR kutukebul A.
dispersus, A. dugesii, dan P. minei memiliki ukuran pita yang relatif sama
(Gambar 7). Sampel kutukebul A. dugesii menghasilkan pita DNA dengan
11
intensitas kecerahan yang lebih tipis dibandingkan sampel A. dispersus dan P.
minei (Gambar 7).
Gambar 7 Visualisasi gel agarosa hasil PCR DNA mtCOI. Lajur: (m) marker 1
kb DNA ladder (a) P. minei, (b) A. dispersus, (c) A. dugesii
Keberhasilan amplifikasi pita DNA dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
kemurnian DNA total ekstraksi, kondisi primer yang digunakan, volume DNA
cetakan (template), serta kondisi reaksi PCR yang tepat. Proses ekstraksi DNA
total merupakan langkah awal yang penting untuk benar-benar mendapatkan DNA
cetakan sampel kutukebul. Penelitian ini berhasil mengamplifikasi pita DNA
kutukebul yang berasal dari ekstraksi DNA hasil penggerusan 1, 2, dan 5 imago
kutukebul. Primer yang sudah terlalu lama disimpan dapat menjadi rusak
sehingga tidak dapat digunakan. Kondisi reaksi PCR harus dirancang secara
spesifik sesuai dengan sampel dan primer yang digunakan. Kecerahan pita DNA
yang dihasilkan memperlihatkan banyak sedikitnya fragmen DNA yang berhasil
teramplifikasi. Pita DNA yang tebal dan terang dapat menunjukkan produk PCR
tersebut memiliki konsentrasi DNA yang tinggi. Suhu optimum penempelan
primer pada saat amplifikasi sampel yaitu 36 °C. Suhu penempelan primer
tersebut penting dalam proses amplifikasi, karena pada tahap ini primer akan
menempel secara spesifik pada DNA target.
Primer mtCOI yang digunakan dalam penelitian ini merupakan primer yang
bersifat universal, artinya dapat juga digunakan untuk mengamplifikasi fragmen
molekul DNA berbagai macam jenis serangga. Rahayuwati (2009) menggunakan
pasangan primer ini untuk memperoleh informasi variasi genetika kutukebul
Bemisia tabaci yang didapatkan dari beberapa wilayah endemik penyakit kuning
cabai di Indonesia bagian barat. Shahbazi et al. (2013) juga menggunakan
pasangan primer tersebut untuk mengetahui karakter molekuler dan status
taksonomi dari spesies Eretmocerus mundus (Hymenoptera: Aphelinidae) yang
berasal dari daerah Iran. Primer tersebut menghasilkan fragmen pita DNA mtCOI
berukuran sekitar 800 pb. Fungsi primer adalah menyediakan ujung 3’-OH yang
akan digunakan untuk menempelkan molekul DNA pertama dalam proses
polimerisasi (Yuwono 2010).
Hasil Perunutan Nukleotida Sampel Kutukebul
Produk PCR hasil amplifikasi DNA mtCOI kutukebul yang dikirimkan ke
PT Genetica Science Indonesia dan berhasil dilakukan perunutan nukleotida
berjumlah 6 tabung, tetapi hanya 3 sampel yang menunjukkan data runutan
nukleotida fragmen DNA mtCOI yang baik dan digunakan untuk analisis.
12
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|
A. dispersus
-TTCTTTAGTTTGCTTTGTCATCCAGAAGTTTATGTTTTAATTTTGCCTGGGCTTGGTATTATTTCTCATTTAATTAGAAATGAAAGAGGTAAAATAGAA
A. dugesii
--.T...GA...TT......................A.....A..TA....AT....A.............................T..A.........
P. minei
A..T..GGA.C.TAC.................................A..AT....G..........................G.C...A.........
Clustal Consensus
* ** * * ********************* ***** ** * ** **** ************************** * ** *********
110
120
130
140
150
160
170
180
190
200
....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|
A. dispersus
A. dugesii
P. minei
Clustal Consensus
GTTTTTGGTAGTTTAGGTATGATTTATGCTATGCTTACTATTGGGATTTTAGGATTTATTGTATGGGGACATCATATATTTACTGTAGGTATAGATGTAG
...........A.....A..A...........AT.A........A.................T.....T..............A.....A........T.
..A.....G.A......A..A........G..AG..........AG.A..G...........T..A..T........G........T..G..........
** ***** * ***** ** ******** ** * ******** * ** *********** ** ** ******** ***** ** ** ******** *
210
220
230
240
250
260
270
280
290
300
....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|
A. dispersus
A. dugesii
P. minei
Clustal Consensus
ATACTCGGGCTTATTTTACATCTGCTACAATAGTTATTGCTATTCCTACAGGAATTAAAATTTTTAGTTGGTTAGCTACATTTAGTGGTATTAATTTTAA
.......T...........T........T...........A.....A....................A..A........T........G...........
.......A...........T....T......GA........G...............................G..A..T.....A..A..A..G.....
******* *********** **** *** ** ******* **** ******************** ** ** ** ** ***** ** ** ** *****
310
320
330
340
350
360
370
380
390
400
....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|
A. dispersus
A. dugesii
P. minei
Clustal Consensus
ATTTAATAATCCTTTAATATTGTGATCAATAGGGTTTTTATTTTTATTTACTTTAGGAGGATTAACTGGTGTTATTTTAGGTAATTCTTCTGTAGATGTG
.....................A...........A..........................G..G..A..A..A.................A........A
.G.G.G---G........T..A....GTT....A.................AA.G..G..G...........A........A........A..T.....T
***
******** ** **** **** ***************** * ** ** ** ** ** ** ******** ******** ** *****
410
420
430
440
450
460
470
480
490
500
....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|
A. dispersus
A. dugesii
P. minei
Clustal Consensus
TGTTTACATGATACTTATTTTGTTGTTGCTCATTTTCATTATGTTTTATCTATGGGAATTGTCTTTGCTATTATTAGAGGTTTTATTTTCTGGTTTCCTT
..............A..............A..............A.....A..A........G..........................T..........
...C.T..................................................T.....G.....A.....GG.......A.....T..........
*** * ******** ************** ************** ***** ** ** ***** ***** ***** ******* ***** **********
510
520
530
540
550
560
570
580
590
600
....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|
A. dispersus
A. dugesii
P. minei
Clustal Consensus
TAATTGTGGGTTTAACTTTAAATAAAAATTTATTAATTTCTCAATTTTATATTATATTTGTGGGTATTAATATAACTTTTTTTCCTCAGCATTTTTTAGG
.....A.T........A..........................G...............A.T..........................A...........
..G..T.T..AA.T...........T.T...G..G........T...GG..........T.A...G.A...T....A.....C.....A...........
** ** * ** * ** ******** * *** ** ******** *** ********** * *** * *** **** ***** ***** ***********
610
620
630
640
650
660
670
680
690
700
....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|
A. dispersus
A. dugesii
P. minei
Clustal Consensus
ACTTAATGGAATACCTCGACGTTATAGAGATTATTTTGATTGTTATTTATTTTGAAATAAGATTTCTTCTATAGGAAGTTTAATTAGATTTTTGGGAATT
.T.A.....G...........A..C...................................A.....A..A..G.....G.....................
.T.A.GG..G...............TCT......CC............G..A.........G.A.....A..G........T..A..T..A..A..TG..
* * * ** *********** **
****** ************ ** ******** * ** ** ** ***** ** ** ** ** ** ** **
710
720
730
740
750
760
770
780
790
800
....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|
A. dispersus
TTATATTTTTTATATATTATTTTAGAATCTTTTTTAATATTACGTTTATTAAATTTTAAGATTTTTATAGTTAATTTTTTAGAGTGAATGTTAAATTTTC
A. dugesii
..........................G......A.T...A.T.................A.........A.............A.....AA.T....A..
P. minei
A.T.T................A...........A.T........A...G.T.TA.....T.C.GC......A.G..............A.......AGA.
Clustal Consensus * * **************** **** ****** * *** * ** *** * * ***** * * **** * * ********* **** * *** *
810
820
830
840
850
860
870
880
890
....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|..
A. dispersus
A. dugesii
P. minei
Clustal Consensus
CTTCTTTAGATCATAGATTTAAGGAATTAGTTTTAATTTACAATAAAATTTAGATTAATTTAATATGGCAATAAGGGGGAATTGGAAAAAAA
......................A.....G.G........TT..A......--AT................G-.TA....C..........-....G...A...................GAG........GT--.TT....--------.C..........GAT..T..CC........T--**** *** ************* ***** ********
****
* **********
** ********
Gambar 8 Hasil penjajaran runutan nukleotida fragmen DNA mtCOI tiga sampel
kutukebul
13
Perunutan DNA dilakukan dari dua arah, yaitu forward dan reverse.
Perunutan dengan dua arah dapat meminimalisasi kemungkinan kesalahan dalam
proses perunutan. Hasil runutan arah forward dan reverse dilakukan penjajaran
untuk mendapatkan runutan nukleotida utuh fragmen DNA mtCOI masing-masing
sampel kutukebul. Perunutan DNA menghasilkan fragmen DNA mtCOI A.
dispersus yang berukuran 891 pb, A. dugesii berukuran 885 pb, dan P. minei yang
berukuran 876 pb (Gambar 8).
Hasil penjajaran runutan DNA mtCOI ke tiga sampel (Gambar 8)
memperlihatkan adanya gap pada masing-masing runutan nukleotida antar spesies
kutukebul. Hasil tersebut juga memperlihatkan adanya variasi susunan basa
nukleotida pada masing-masing sampel. Jika antar runutan nukleotida di dalam
suatu penjajaran memiliki nenek moyang (ancestor) yang sama, maka pasangan
nukleotida tak-cocok (mismatch) dapat diartikan sebagai tempat terjadinya mutasi.
Sedangkan celah (gap) yang terdapat antar runutan DNA memperlihatkan, bahwa
antar runutan tersebut telah terpisah hubungan taksonominya. Gap dalam
penjajaran merepresentasikan perubahan mutasi dalam runutan termasuk insersi,
delesi atau penyusunan ulang materi genetik (Dharmayanti 2011).
10
20
30
40
50
60
70
80
90
....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|..
A.dispersus
FFSLLCHPEVYVLILPGLGIISHLIRNERGKIEVFGSLGMIYAMLTIGILGFIVWGHHIFTVGIDVDTRAYFTSATIVIAIPTGIKIFSWLA
A.dugesii
-FDFFCHPEVYVLIFTGFGIISHLIRNESGKIEVFGRLGIIYAILTIGILGFIVWGHHIFTVGIDVDTRAYFTSATIVIAIPTGIKIFR-LA
P.minei
FLDLTCHPEVYVLILPGFGIISHLIRNETGKIEVFGNLGIIYAIVTIGVLGFIVG-HHMFTVGIDVDTRAYFTSVTMIIAVPTGIKIFSWLA
Clustal Consensus :.: *********:.*:********** ******* **:***::***:***** **:***************.*::**:******* **
110
120
130
140
150
160
170
180
190
....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|..
A.dispersus
A.dugesii
P.minei
Clustal Consensus
FNNPLILSIGFLFLFTLGGLTGVILGNSSVDVCLHDTYFVVAHFHYVLSMGIVFAIIRGFIFWFPLIVGLTLNKNLLISQFYIIFVGINITF
FNNPLILSIGFLFLFTLGGLTGVILGNSSVDVCLHDTYFVVAHFHYVLSIGIVFAIIRGFIFWFPLIIGLTLNKNLLISQFYIIFIGINITF
VR-PLILCLGFLFLFTMGGLTGVILGNSSVDVCLHDTYFVVAHFHYVLSMGIVFAIMGGLIFWFPLVFGITLNNILLISHFGIIFLGVNLTF
.. ****.:*******:********************************:******: *:******:.*:***: ****:* ***:*:*:**
210
220
230
240
250
260
270
280
290
....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|..
A.dispersus
A.dugesii
P.minei
Clustal Consensus
NGIPRRYRDYFDCYLFNKISSIGSLIRFLGILYFLYIILESFLILRLLNFKIFIVNFLEMLNFPSLDHRFKELVLIYNKIINLIWQGGIGKK
NGIPRRYRDYFDCYLFNKISSMGRLIRFLGILYFLYIILESFIIIRLLNFKIFIINFLEIINYPSLDHRFKELGLIFKKIIFNMADRGIGKRGIPRRYSDYPDCYLLNKVSSMGSFISLLGVIFFLYIIIESFIILRLVIFNTAIVSFLEKLNRPSLNHRFKELSLICFNFYGRWPLE----.****** ** ****:**:**:* :* :**:::*****:***:*:**: *: *:.*** :* ***:****** ** ::
Gambar 9 Hasil penjajaran asam amino fragmen mtCOI tiga sampel kutukebul
Penjajaran antar runutan DNA sampel kutukebul bertujuan untuk mencari
sebanyak mungkin kecocokan setiap daerah pada runutan nukleotida yang identik,
sehingga dapat dianalisis dan disimpulkan kemiripan antar runutan nukleotida
melalui nilai penjajarannya. Penjajaran yang dilakukan terhadap hasil translasi
fragmen DNA mtCOI tiga sampel kutukebul dimaksudkan untuk mempermudah
melihat perbedaan susunan asam amino pada fragmen DNA mtCOI tiga sampel
kutukebul tersebut. Daerah mitokondria merupakan daerah yang berfungsi dalam
proses transpor elektron pada suatu rangkaian respirasi untuk menghasilkan
energi. Kompleks mtCOI berperan sebagai katalisator dalam proses transpor
elektron. DNA mtCOI mengkode asam amino penyusun protein yang berperan
dalam proses transpor elektron tersebut.
Berdasarkan susunan asam amino fragmen mtCOI (Gambar 9), kutukebul A.
dispersus Ancol memiliki kemiripan sebesar 88.3% dengan A. dugesii Cipanas.
Kutukebul P. minei Pameungpeuk memiliki susunan asam amino fragmen mtCOI
(Gambar 9) dengan kemiripan sebesar 73.2% dengan A. dispersus Ancol.
14
Kutukebul A. dugesii Cipanas memiliki susunan asam amino fragmen mtCOI
(Gambar 9) dengan kemiripan sebesar 71.8% dengan P. minei Pameungpeuk.
Kutukebul P. minei memiliki kemiripan susunan basa nukleotida yang paling
rendah dengan sampel kutukebul lainnya. Hal ini dikarenakan perbedaan genus
antara kutukebul P. minei dengan kutukebul A. dispersus dan A. dugesii.
Keragaman susunan nukleotida memperlihatkan adanya variasi yang lebih tinggi
pada spesies dengan kekerabatan yang lebih jauh. Kutukebul A. dispersus dan A.
dugesii memiliki kekerabatan yang lebih dekat dibandingkan dengan kutukebul P.
minei. Hal ini dikarenakan kutukebul tersebut berasal dari genus yang sama, yakni
genus Aleurodicus. Ke tiga sampel kutukebul merupakan spesies yang
digolongkan ke dalam subfamili yang sama, yakni Aleurodicinae.
Tabel 2 Komposisi basa nukleotida fragmen DNA mtCOI A. dispersus Ancol, A.
dugesii Cipanas dan P. minei Pameungpeuk
Nukleotida
Adenine (A)
Cytosine (C)
Guanine (G)
Thymine (T)
G+C
A+T
A. dispersus Ancol
(%)
28.62
7.86
16.05
47.47
23.91
76.09
A. dugesii Cipanas P. minei Pameungpeuk
(%)
(%)
31.75
27.28
7.12
8.33
14.69
18.72
46.44
45.66
21.81
27.05
78.19
72.95
Persentase basa A+T yang tinggi merupakan ciri khusus dari DNA
mitokondria pada kelompok serangga. A. dispersus Ancol memiliki runutan
nukleotida fragmen DNA mtCOI dengan komposisi basa adenine (A) dan thymine
(T) sebesar 76.09%, A. dugesii Cipanas sebesar 78.19% dan P. minei
Pameungpeuk sebesar 72.95% (Tabel 2). A. dispersus Ancol memiliki runutan
nukleotida fragmen DNA mtCOI dengan komposisi basa guanine (G) dan
cytosine (C) sebesar 23.91%, A. dugesii Cipanas sebesar 21.81% dan P. minei
Pameungpeuk sebesar 27.05% (Tabel 2). Dari tabel terlihat frekuensi basa
adenine dan thymine yang tinggi pada ke tiga sampel kutukebul (Tabel 2). Basa
cytosine merupakan jenis basa dengan komposisi yang paling rendah di antara
basa nukleotida lainnya pada masing-masing runutan nukleotida frgamen DNA
mtCOI kutukebul. Kandungan basa A+T yang tinggi disebabkan basa tersebut
lebih mudah berubah karena memiliki ikatan hidrogen yang lebih lemah daripada
basa G+C (Liu & Beckenbach 1992). Hal ini memperlihatkan karakteristik
susunan basa nukleotida yang khas pada kelompok serangga.
Homologi Nukleotida
Runutan nukleotida fragmen DNA mtCOI masing-masing sampel dilakukan
BLAST pada situs GenBank untuk mencari spesies kutukebul lain dengan nilai
homologi terdekat. Hal tersebut juga dimaksudkan untuk mengkonfirmasi benar
tidaknya bahwa runutan fragmen DNA mtCOI sampel merupakan runutan
fragmen DNA mtCOI suatu spesies kutukebul. Analisis kesejajaran dilakukan
untuk melihat hubungan homologi antar spesies kutukebul.
15
Tabel 3 Homologi runutan nukleotida fragmen DNA mtCOI ke tiga sampel
kutukebul dengan spesies kutukebul lain yang ada di situs GenBank
No
1
2
3
4
5
6
7
Spesies (No. Akses Genbank)
A. dispersus Indonesia (Ancol)
A. dispersus India (JQ995239.1)
A. dispersus China (JX566506.1)
A. dugesii
SUBFAMILI ALEURODICINAE YANG DIKOLEKSI DARI
ANCOL, CIPANAS, DAN PAMEUNGPEUK
VINCENTIUS HUBERTO DHANGO
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Identifikasi dan
Perunutan DNA mtCOI Kutukebul Subfamili Aleurodicinae yang Dikoleksi dari
Ancol, Cipanas, dan Pameungpeuk adalah benar karya saya dengan arahan dari
dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Vincentius Huberto Dhango
A34100031
ABSTRAK
VINCENTIUS HUBERTO DHANGO. Identifikasi dan Perunutan DNA mtCOI
Kutukebul Subfamili Aleurodicinae yang Dikoleksi dari Ancol, Cipanas, dan
Pameungpeuk. Dibimbing oleh PURNAMA HIDAYAT.
Tiga spesies kutukebul Aleurodicus dispersus, Aleurodicus dugesii dan
Paraleyrodes minei (Hemiptera: Aleyrodidae) termasuk subfamili Aleurodicinae
yang ditemukan menyerang berbagai komoditas pertanian di Indonesia.
Berdasarkan
data
genetika
yang
tersedia
di
situs
GenBank
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/), data molekuler ke tiga spesies kutukebul tersebut
belum ada, khususnya yang berasal dari wilayah Indonesia. Penelitian ini
dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengetahui runutan nukleotida fragmen
DNA mtCOI A. dispersus, A. dugesii dan P. minei yang dikoleksi dari Ancol
(Jakarta), Cipanas (Cianjur) dan Pameungpeuk (Garut). DNA didapatkan dari
ekstraksi imago kutukebul A. dispersus, A. dugesii dan P. minei. Amplifikasi
DNA dilakukan dengan menggunakan PCR. Perunutan fragmen DNA mtCOI
dilakukan dengan mengirim sampel hasil PCR ke PT Genetica Science Indonesia.
Primer
PCR
yang
digunakan
ialah
forward
primer
5’TTGATTTTTTGGTCATCCAGAAGT-3’
dan
reverse
primer
5’TCCAATGCACTAATCTGCCATATTA-3’. Runutan nukleotida fragmen DNA
mtCOI dianalisis dengan program Bioedit V 7.1.7. dan CLC Sequence Viewer V
6.7.1, disejajarkan dengan runutan nukleotida fragmen DNA mtCOI spesies
kutukebul lain menggunakan program BLAST di situs Genbank. Runutan
nukleotida fragmen DNA mtCOI A. dispersus Ancol memiliki nilai homologi
sebesar 99.7% dengan A. dispersus India (JQ995239.1) dan China (JX566506.1).
Runutan nukleotida fragmen DNA mtCOI A. dugesii Cipanas memiliki nilai
homologi 99.5% dengan A. dugesii USA (AY521251.1). Di situs GenBank belum
terdapat informasi runutan DNA kutukebul P. minei. Perunutan fragmen DNA
mtCOI dengan menggunakan primer yang sama didapatkan runutan fragmen
DNA mtCOI yang berbeda, yaitu A. dispersus 891 pb, A. dugesii 885 pb, dan P.
minei 876 pb. Komposisi basa nukleotida A dan T masing-masing sampel tinggi,
yaitu A. dispersus 76.09%, A. dugesii 78.19%, dan P. minei 72.95%.
Kata kunci: Aleurodicus, Paraleyrodes, mtCOI, Jawa
ABSTRACT
VINCENTIUS HUBERTO DHANGO. Identification and Sequencing of mtCOI
DNA Whiteflies Subfamiliy Aleurodicinae Collected from Ancol, Cipanas, and
Pameungpeuk. Supervised by PURNAMA HIDAYAT.
Three whiteflies species Aleurodicus dispersus, Aleurodicus dugesii and
Paraleyrodes minei (Hemiptera: Aleyrodidae), subfamily Aleurodicinae which
attack many cultivated plants in Indonesia. Genetic information of those three
species are not available in GenBank (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/). This study
was aimed to identifiy and sequence mtCOI DNA fragments of A. dispersus, A.
dugesii, and P. minei which was collected from Ancol (Jakarta), Cipanas
(Cianjur), and Pameungpeuk (Garut). Genomic DNA was extracted from adults of
A. dispersus, A.dugesii, and P. minei. DNA amplification was done by using PCR
method. Sequencing of mtCOI DNA fragment was done by sending the PCR
product to PT Genetica Science Indonesia. DNA amplification used forward
primer 5’-TTGATTTTTTGGTCATCCAGAAGT-3’ and reverse primer 5’TCCAATGCACTAATCTGCCATATTA-3’. The sequences of mtCOI DNA were
analyzed using Bioedit V7.1.7. and CLC Sequence Viewer V6.7.1 softwares,
aligned along with other whiteflies mtCOI DNA using BLAST program in the
Genbank. The mtCOI DNA fragment of A. dispersus Ancol has 99.7% homology
with A. disperses India (JQ995239.1) and China (JX566506.1). The mtCOI DNA
fragment of A. dugesii Cipanas has 99.5% homology with A. dugesii USA
(AY521251.1). There is no mtCOI DNA sequence of P. minei available in the
Genbank. Sequencing of mtCOI DNA using the same primer resulting different
mtCOI DNA fragments, they are A. dispersus 891 bp, A. dugesii 885 bp, and P.
minei 876 bp. The composition of nucleotide bases A and T in each sample were
high, A. dispersus 76.09%, A. dugesii 78.19%, and P. minei 72.95%.
Keywords: Aleurodicus, Paraleyrodes, mtCOI, Java
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
IDENTIFIKASI DAN PERUNUTAN DNA mtCOI KUTUKEBUL
SUBFAMILI ALEURODICINAE YANG DIKOLEKSI DARI
ANCOL, CIPANAS, DAN PAMEUNGPEUK
VINCENTIUS HUBERTO DHANGO
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Identifikasi dan Perunutan DNA mtCOI Kutukebul Subfamili
Aleurodicinae yang Dikoleksi dari Ancol, Cipanas, dan
Pameungpeuk
Nama
: Vincentius Huberto Dhango
NIM
: A34100031
Disetujui oleh
Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc.
Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si.
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
4
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir yang
berjudul “Identifikasi dan Perunutan DNA mtCOI Kutukebul Subfamili
Aleurodicinae yang Dikoleksi dari Ancol, Cipanas, dan Pameungpeuk”. Penelitian
dilaksanakan dari Desember 2013 sampai Mei 2014. Penelitian ini didanai oleh
Dirjen DIKTI melalui beasiswa Bidik Misi.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada
1. Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc. selaku dosen pembimbing yang senantiasa
memberikan bimbingan, masukan, pengetahuan, saran dan arahan kepada
penulis.
2. Dr. Ir. Tri Asmira Damayanti, M.Agr. selaku dosen penguji tamu yang telah
memberikan masukan kepada penulis.
3. Dirjen DIKTI yang telah memberikan dukungan dana selama perkuliahan
melalui Beasiswa Bidik Misi.
4. Bapak, ibu, kakak, adik, serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayang.
5. Sari Nurulita yang telah memberikan arahan kepada penulis selama melakukan
penelitian di Laboratorium Virologi Tumbuhan.
6. Teman-teman Departemen Proteksi Tanaman angkatan 47 yang telah
mendukung terlaksananya laporan tugas akhir penulis. Teman-teman dan staff
Lab Biosistematika Serangga (Sandi, Johana, Ridho, Andi, Kiki, Bu Is, Mba
Atik) serta pihak lain yang turut membantu dalam penyusunan laporan tugas
akhir ini.
Semoga laporan tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Bogor, September 2014
Vincentius Huberto Dhango
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Metode Penelitian
Pengambilan Sampel
Pembuatan Preparat dan Identifikasi Kutukebul
Ekstraksi DNA Total
Amplifikasi DNA
Visualisasi Hasil PCR dan Perunutan Fragmen DNA mtCOI
Analisis Hasil
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Kutukebul
Hasil Amplifikasi Fragmen DNA MtCOI
Hasil Perunutan Nukleotida Sampel Kutukebul
Homologi Nukleotida
Analisis Filogenetika
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
viii
viii
viii
1
1
2
2
3
3
3
3
3
4
5
5
6
7
7
10
11
14
16
17
17
17
18
21
33
viii
DAFTAR TABEL
1 Komposisi reaktan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk satu kali
reaksi
2 Komposisi basa nukleotida fragmen DNA mtCOI A. dispersus Ancol,
A. dugesii Cipanas dan P. minei Pameungpeuk
3 Homologi runutan nukleotida fragmen DNA mtCOI ke tiga sampel
kutukebul dengan spesies kutukebul lain yang ada di situs
Genbank
5
14
15
DAFTAR GAMBAR
1 Kutukebul A. dispersus pada daun kelapa; pupa (A) dan imago (B)
2 Ciri morfologi A. dispersus; 4 pasang compound pores, tanda panah
(A), lingula oval (B), alur pori-pori padat, tanda panah (C), cone
shaped (D)
3 Kutukebul A. dugesii pada daun labu siam; pupa (A) dan imago (B)
4 Ciri morfologi A. dugesii; 4 pasang compound pores, tanda panah (A),
lingula melebar bulat (B), pori majemuk yang tereduksi seperti
lonceng, tanda panah (C), cone shaped (D)
5 Kutukebul P. minei pada daun kelapa; pupa (A) dan imago (B)
6 Ciri morfologi P. minei; 6 pasang compound pores (A), disc pore, tanda
panah (B) 2 pasang compound pore tereduksi (C), rod shaped (D)
7 Visualisasi gel agarosa hasil PCR DNA mtCOI. Lajur: (m) marker 1 kb
DNA ladder (a) P. minei (b) A. dispersus (c) A. dugesii
8 Hasil penjajaran runutan nukleotida fragmen DNA mtCOI tiga
sampel kutukebul
9 Hasil penjajaran asam amino fragmen mtCOI tiga sampel kutukebul
10 Filogeni kutukebul berdasarkan fragmen nukleotida DNA mtCOI
Menggunakan program CLC sequence viewer v 6.7.1 dengan pendekatan
UPGMA
7
7
8
9
9
10
11
12
13
16
DAFTAR LAMPIRAN
1 Electropherogram runutan fragmen DNA mtCOI A. dispersus asal
Ancol dengan forward primer
2 Electropherogram forward primer fragmen DNA mtCOI A. dugesii
asal Cipanas dengan forward primer
3 Electropherogram runutan fragmen DNA mtCOI P. minei asal
Pameungpeuk dengan forward primer
4 Hasil alignment runutan fragmen DNA mtCOI A. dispersus Ancol
23
24
25
ix
arah forward dan reverse complement
5 Hasil alignment runutan fragmen DNA mtCOI A. dugesii Cipanas arah
alignment forward dan reverse complement
6 Hasil alignment runutan fragmen DNA mtCOI P. minei Pameungpeuk arah
forward dan reverse complement
7 Hasil penjajaran runutan fragmen DNA mtCOI kutukebul
26
27
28
29
PENDAHULUAN
Kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) merupakan kelompok serangga yang
menjadi hama di berbagai komoditas pertanian. Serangga ini memiliki tipe alat
mulut menusuk menghisap, sehingga gejala serangan yang terjadi berupa nekrosis
dan bercak pada daun yang diserangnya. Kutukebul merupakan hama yang dapat
menyebabkan kerusakan langsung pada tanaman dan sebagai vektor virus
tanaman. Kerusakan akibat virus yang ditularkan umumnya lebih merugikan
dibandingkan dengan kerusakan akibat aktivitas makan kutukebul tersebut.
Penularan virus gemini oleh kutukebul, dapat menyebabkan kegagalan panen
hampir 100% (Hidayat et al. 2008).
Kutukebul digolongkan ke dalam Ordo Hemiptera dan Famili Aleyrodidae.
Kelompok serangga ini digolongkan ke dalam 2 subfamili, yakni subfamili
Aleurodicinae dan Aleyrodinae. Secara umum, perbedaan morfologi yang mendasar
di antara kedua subfamili ini terletak pada ada tidaknya pori majemuk abdomen
(abdominal compound pores) di bagian subdorsal tubuh dan bentuk vasiform orifice
di bagian posterior tubuhnya. Subfamili Aleurodicinae umumnya memiliki 4-6
pasang pori majemuk abdomen dan vasiform orifice yang berbentuk setengah bola
dengan lingula berbentuk spatula berukuran besar yang memanjang hingga melewati
tepi posterior vasiform orifice. Subfamili Aleyrodinae tidak memiliki pori majemuk
abdomen, meskipun ada spesies tertentu yang memiliki pori sederhana yang mirip
dengan pori majemuk, tetapi strukturnya berbeda dengan pori majemuk. Selain itu,
subfamili Aleyrodinae memiliki bentuk dan ukuran vasiform orifice yang sangat
beragam dengan lingula yang relatif kecil, tidak memanjang, dan tidak melewati tepi
posterior vasiform orifice (Watson 2007, Martin 2008).
Nurulalia (2012) melaporkan terdapat 4 spesies kutukebul dari subfamili
Aleurodicinae dan 38 spesies dari subfamili Aleyrodinae telah menyerang
berbagai komoditas pertanian di wilayah Indonesia. Beberapa jenis kutukebul dari
subfamili Aleurodicinae yang menjadi hama di Indonesia berasal dari genus
Aleurodicus dan Paraleyrodes. Hingga saat ini (Agustus 2014) di wilayah
Indonesia, diketahui dua spesies kutukebul dari genus Aleurodicus, yaitu A.
dispersus dan A. dugesii. Sedangkan dari genus Paraleyrodes diketahui satu
spesies, yakni Paraleyrodes minei. Selain ke tiga spesies tersebut, terdapat satu
spesies kutukebul subfamili Aleurodicinae lain yang telah dilaporkan
keberadaannya di wilayah Indonesia, yakni Aleuroctarthrus destructor. Kutukebul
tersebut sebelumnya diberi nama Aleurodicus destructor (Watson 2007).
Keberadaan kutukebul di wilayah Indonesia telah lama diketahui.
Kalshoven (1981) menyebutkan pada tahun 1950-an dilaporkan sebanyak 12
spesies kutukebul telah menjadi hama di Indonesia. Kutukebul A. dispersus
diketahui telah menyerang berbagai tanaman di banyak negara. Botha et al. (2000)
melaporkan, di Indonesia ditemukan 22 spesies dari 14 famili tanaman yang
terserang kutukebul A. dispersus. Kutukebul A. dispersus cenderung ditemukan di
dataran rendah (0-500 m dpl) (Murgianto 2010). Di Indonesia, kutukebul A.
dugesii pertama kali dilaporkan keberadaannya pada Maret 2007 menyerang
tanaman kembang sepatu di daerah Cimanggu, Bogor (Hidayat & Watson 2008).
Kutukebul ini diketahui telah menyerang 40 spesies dari 27 famili tanaman,
terutama banyak menyerang spesies tanaman dari famili Solanaceae di wilayah
2
Jawa Barat (Murgianto 2010). Kutukebul Paraleyrodes minei merupakan spesies
kutukebul yang baru pertama kali dilaporkan keberadaannya di wilayah Indonesia
pada tahun 2011 (Nurulalia 2012). Kutukebul ini ditemukan menyerang 3 spesies
tanaman dari 2 famili tanaman yang berbeda yaitu alpukat (Lauraceae), jeruk nipis
(Rutaceae), dan jeruk limau (Rutaceae) (Karami 2012).
Kutukebul merupakan serangga dengan ukuran tubuh yang kecil. Setiap
spesiesnya memiliki kemiripan secara visual, sehingga sulit untuk dibedakan.
Oleh karena itu, informasi mengenai identifikasi spesies sangat diperlukan agar
pengendalian dapat dilakukan dengan tepat. Suatu spesies serangga dapat
diidentifikasi dengan menggunakan karakter morfologi dan molekuler yang
dimilikinya. Karakter morfologi didasarkan atas bentuk maupun ukuran yang khas
melekat pada suatu spesies serangga. Karakter molekuler suatu spesies serangga
dapat diketahui dengan menggunakan runutan nukleotida Mitochondrial
Cytochrome Oxidase I (mtCOI) yang dimilikinya.
MtCOI merupakan salah satu gen yang terdapat pada mitokondria suatu sel
serangga. Gen ini telah lama digunakan sebagai penanda genetik untuk DNA
barcoding kelompok serangga. Gillham (1994) menyatakan molekul mitokondria
kelompok hewan mempunyai kecepatan mutasi relatif tinggi sehingga berguna untuk
analisis filogenetika pada tingkat genus sampai tingkat di bawah populasi. Gen
mtCOI digunakan sebagai standar dalam penanda genetik karena memiliki variasi
genetik yang tinggi sehingga mampu membedakan antar semua spesies, tapi
bersifat lebih konservatif pada variasi dalam spesies, memiliki ukuran yang
pendek sehingga masih dapat digunakan untuk kondisi DNA yang rusak, memiliki
tingkat amplifikasi dan informasi filogeni yang tinggi sehingga memudahkan
dalam pengelompokkan taksa (Hebert et al. 2003). Rahayuwati (2009)
menggunakan pasangan primer mtCOI dengan kode C1-J-2195 dan L2-N-3014
untuk memperoleh informasi variasi genetik kutukebul Bemisia tabaci yang
didapatkan dari beberapa wilayah endemik penyakit kuning cabai di Indonesia bagian
barat.
Informasi runutan nukleotida mtCOI berbagai kelompok serangga dapat
diakses melalui situs GenBank yang beralamat di http://www.ncbi.nlm.nih.gov/.
Hingga saat ini, sudah terdapat beberapa informasi runutan nukleotida mtCOI
spesies kutukebul dari subfamili Aleurodicinae yakni A. dispersus, dan A. dugesii
yang berasal dari banyak negara di situs Genbank. Beberapa diantaranya adalah A.
dispersus India (JQ995239.1), A. dispersus China (JX566506.1), serta A. dugesii
USA (AY521251.1). Sampai saat ini (Agustus 2014), belum ada informasi
runutan nukleotida mtCOI di situs GenBank untuk spesies A. dispersus, A.
dugesii, dan P. minei asal wilayah Indonesia.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengetahui runutan
DNA mtCOI kutukebul subfamili Aleurodicinae yang dikoleksi dari Ancol
(Jakarta), Cipanas (Cianjur), dan Pameungpeuk (Garut).
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah tersedianya informasi
taksonomi kutukebul subfamili Aleurodicinae asal wilayah Indonesia berdasarkan
karakter morfologi dan molekuler yang dapat digunakan untuk identifikasi spesies
tersebut secara lebih akurat.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Desember 2013 hingga Mei 2014.
Pengambilan sampel dilakukan pada berbagai lokasi di wilayah Ancol (Jakarta),
Cipanas (Cianjur), dan Pameungpeuk (Garut). Identifikasi spesies kutukebul
dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ekstraksi DNA dan PCR
dilakukan di Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Perunutan DNA mtCOI dilakukan
dengan mengirimkan sampel produk PCR yang positif mengandung DNA
kutukebul ke PT. Genetica Science Indonesia.
Metode Penelitian
Pengambilan Sampel
Kutukebul yang menjadi bahan penelitian ini diambil dari wilayah Ancol
(Jakarta), Cipanas (Cianjur), dan Pameungpeuk (Garut). Koloni kutukebul diambil
dari daun yang menunjukkan gejala terserang. Daun tersebut kemudian digunting
dan dimasukkan ke dalam kantung plastik. Di Laboratorium Biosistematika
Serangga, imago dan pupa beserta kulit pupa kutukebul dipisah untuk dilakukan
identifikasi. Imago disimpan ke dalam dua tabung eppendorf yang berbeda.
Tabung eppendorf pertama berisi alkohol absolut. Tabung eppendorf kedua tidak
diisi oleh larutan apa pun, hanya imagonya saja dan disimpan dalam suhu -80 oC.
Selain itu, dilakukan juga penyimpanan daun yang berkoloni kutukebul pada suhu
-80 oC. Spesies A. dispersus diambil dari pohon kelapa di wilayah pantai Ancol,
Jakarta yang berlokasi di kordinat 6o11’83.93”S 106o84’71.52”E pada tanggal 28
Desember 2013. Koloni kutukebul diambil dari pohon kelapa yang masih
terjangkau untuk dilakukan pengguntingan pada daun. A. dugesii diambil dari
pertanaman labu siam di wilayah Cipanas, Cianjur, Jawa Barat yang berlokasi di
kordinat 6 o43’33.85”S 107 o2’17.37”E pada 14 Februari 2014. P. minei diambil
dari pohon kelapa di wilayah Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat yang berlokasi di
kordinat 7 o38’12.7”S 107 o40’52.9”E pada 21 Januari 2014.
Pembuatan Preparat dan Identifikasi Kutukebul
Untuk memastikan bahwa sampel yang didapat merupakan spesies
kutukebul yang dicari, maka perlu dilakukan identifikasi berdasarkan karakter
morfologi. Identifikasi kutukebul dilakukan berdasarkan karakter morfologi yang
melekat pada pupa maupun eksuvia (kulit pupa). Pembuatan preparat dilakukan
dengan metode yang dikembangkan oleh Watson (2007) yang dimodifikasi. Kunci
identifikasi Dooley (2007) digunakan untuk mengidentifikasi kutukebul hingga
tingkat spesies.
Pupa dipisahkan dari daun yang terserang kutukebul. Pupa kutukebul
tersebut diangkat dari daun dengan menggunakan jarum mikro di bawah
mikroskop stereo. Spesimen berupa pupa atau kulit pupa kutukebul dimasukkan
ke dalam cawan sirakus berisi alkohol 80%. Bila menggunakan spesimen berupa
pupa maka perlu dilakukan perendaman spesimen ke dalam tabung reaksi
berisikan KOH 10% yang dipanaskan pada suhu 80-100 oC selama minimal 1
4
jam. Selanjutnya spesimen dituangkan kedalam cawan sirakus, KOH 10%
dibuang. Spesimen kemudian dipindah ke cawan sirakus berisi air dan didiamkan
selama 1 menit. Setelah itu, spesimen dipindahkan ke dalam cawan sirakus berisi
asam asetat glacial dan didiamkan selama 10 menit sebelum dipindahkan kembali
dalam cawan sirakus berisi air. Kemudian, spesimen didiamkan selama sekitar 1
menit dalam cawan sirakus berisi larutan karbol xylene. Larutan tersebut
kemudian dibuang dan digantikan dengan asam asetat glasial yang dicampur
dengan asam fuchsin dan direndam selama 10 menit sampai dengan satu malam.
Larutan dari spesimen kemudian dibuang dan digantikan dengan minyak cengkeh,
lalu didiamkan selama 10 menit. Spesimen kemudian dikeluarkan dari minyak
cengkeh dan ditaruh di atas kaca objek lalu ditambahkan minyak cengkeh untuk
dilakukan penataan. Minyak cengkeh kemudian diserap dengan menggunakan
kertas tisu lalu spesimen dibubuhi dengan kanada balsam secukupnya dan ditutup
menggunakan kaca penutup. Preparat mikroskop kutukebul yang telah selesai
dibuat selanjutnya dikeringkan di dalam kotak pengering berlampu selama 6-8
minggu hingga medium pada preparat tersebut benar-benar kering. Identifikasi
kutukebul dapat dilakukan setelah pengeringan selama 1 minggu. Preparat
mikroskop kutukebul yang telah selesai dikeringkan dan diidentifikasi kemudian
diberi label.
Ekstraksi DNA Total
Ekstraksi DNA total dilakukan dengan menggunakan metode Goodwin et
al. (1994 dalam Rahayuwati 2009) yang telah dimodifikasi. Ekstraksi DNA total
diawali dengan penyiapan larutan bufer (buffer) ekstraksi DNA yang dibuat dari
pencampuran 500 µl bufer ekstraksi CTAB dan 5 µl β-merkaptoethanol.
Penambahan senyawa pereduksi seperti β-merkaptoethanol dapat mencegah
proses oksidasi senyawa fenolik sehingga menghambat aktivitas radikal bebas
yang dihasilkan oleh oksidasi fenol terhadap asam nukleat. Sebanyak 1, 2 dan 5
imago kutukebul digerus dalam nitrogen cair, masing-masing pada sebuah tabung
eppendorf menggunakan mikropistil plastik. Penggerusan imago disertai dengan
penambahan larutan bufer ekstraksi DNA masing-masing sebanyak 125 µl setiap
tabung. Penggerusan dilakukan hingga imago kutukebul tersebut benar-benar
telah hancur. Sap hasil penggerusan imago kutukebul tersebut kemudian divorteks
agar merata dan diinkubasi pada suhu 65 oC selama 30 menit untuk melarutkan
CTAB dan β-merkaptoethanol. Kemudian tube tersebut ditambah dengan 125 µl
larutan kloroform: isoamil alkohol (24:1) untuk mengekstrak dan mengendapkan
komponen polisakarida di dalam bufer ektraksi yang mengkontaminasi larutan
DNA, selanjutnya tube divorteks dan diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit
sebelum disentrifugasi pada 800 rpm selama 10 menit. Supernatan (80 μl)
dipindahkan ke dalam tabung mikro baru kemudian ditambah 10 μl NaOAc 3 M
(pH 5,2) dan 250 μl etanol absolut (4 oC) kemudian diinkubasi pada -20 oC selama
satu malam. Pemberian etanol dilakukan agar terjadi dehidrasi DNA sehingga
terjadi presipitasi. Supernatan dibuang setelah sentrifugasi 11 500 rpm selama 15
menit. Pelet dicuci dengan 200 μl etanol 80% (4 oC) kemudian disentrifugasi 11
500 rpm selama 10 menit. Etanol dibuang kemudian pelet dikeringanginkan. Hal
ini bertujuan untuk mengeringkan pelet dari sisa-sisa bufer maupun etanol.
Kemudian tube diresuspensikan dengan 25 μl larutan TE bufer pH 8. Bufer TE
berfungsi untuk melarutkan DNA yang dihasilkan dan menjaga DNA agar tidak
5
mudah rusak. Dalam bufer TE mengandung EDTA yang berfungsi sebagai
senyawa pengkelat yang mengikat ion Magnesium, yaitu kofaktor yang
diperlukan untuk aktivitas berbagai enzim nuklease.
Amplifikasi DNA
Reaksi PCR digunakan untuk memperbanyak pita DNA yang telah
didapatkan dari ekstraksi total DNA kutukebul. Adapun komposisi bahan yang
digunakan dalam PCR terdapat pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi reaktan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk satu kali
reaksi
Komponen
Volume (µl)
Go taq green (ThermoScientific)
12.50
Forward Primer C1-J-2195 [10 µM]
1.00
Reverse Primer L2-N-3014 [10 µM]
1.00
ddH2O
5.50
DNA
5.00
Total volume
25.00
Runutan nukleotida primer yang digunakan adalah forward primer C1-J-2195 5’TTGATTTTTTGGTCATCCAGAAGT-3’ dan reverse primer L2-N-3014 5’TCCAATGCACTAATCTGCCATATTA-3’ (Frohlich et al. 1999 dalam
Rahayuwati 2009). Amplifikasi DNA dilakukan sebanyak 30 siklus. Program
PCR terdiri atas tahapan pradenaturasi pada suhu 94 oC selama 5 menit, denaturasi
(fase pemisahan utas DNA) pada suhu 94 oC selama 1 menit, annealing
(penempelan primer) pada suhu 36 oC selama 1 menit, dan elongasi (sintesis
untaian DNA baru) pada suhu 72 oC selama 2 menit, tahap pascaelongasi pada 72
o
C selama 10 menit, dan penyimpanan pada suhu 4 oC.
Visualisasi Hasil PCR dan Perunutan Fragmen DNA mtCOI
Visualisasi hasil PCR dilakukan dengan elektroforesis gel agarosa 1%.
Pembuatan gel dilakukan dengan mencampur 0.3 gram agarosa dan 30 ml bufer
TBE 10%. Larutan ini kemudian dipanaskan dengan microwave selama 2 menit
pada suhu medium. Setelah itu, larutan agarosa didinginkan hingga hangat kuku,
kemudian larutan tersebut dituangkan ke dalam cetakan dan didiamkan hingga
padat. Setelah gel terbentuk, marker DNA 1 kb sebanyak 4 µl dan 5 μl DNA hasil
PCR dimasukkan ke dalam masing-masing sumur gel.
Gel agarosa kemudian dimasukkan ke dalam mesin elektroforesis dan
dilakukan elektroforesis dengan voltase 50 V selama 50 menit. Setelah
elektroforesis, gel direndam pada larutan ethidium bromida selama 15 menit, di
dalam air selama 1 menit, divisualisasi dengan UV transiluminator, dan
didokumentasikan. Produk PCR yang positif mengandung DNA kutukebul
kemudian dikirim ke PT Genetika Science Indonesia untuk dilakukan perunutan
nukleotida dengan menyertakan juga primer yang digunakan pada saat
amplifikasi. Perunutan dilakukan untuk mengetahui susunan basa nukleotida
masing-masing fragmen DNA sampel kutukebul.
6
Analisis Hasil
Hasil perunutan nukleotida kemudian dianalisis dengan melakukan
penjajaran (alignment) pada runutan nukleotida sampel dengan runutan nukleotida
kutukebul lain yang telah dipublikasikan di situs GenBank lewat program BLAST
(Basic Local Alignment Search Tools). Data runutan nukleotida yang terpilih
dianalisis dengan program multiple alignment, ClustalW dengan software Bioedit
V 7.1.7 untuk mengetahui nilai homologi masing-masing sampel. Analisis
filogeni dilakukan dengan menggunakan program CLC sequence viewer 6.7.1
berdasarkan pendekatan Unweighted Pair Group Method with Arithmetic Mean
(UPGMA) dengan bootstrap 1000 kali.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Kutukebul
Aleurodicus dispersus Russel merupakan kutukebul yang bersifat polifag.
Sampel yang diperoleh pada penelitian ini didapat dari tanaman kelapa di daerah
Ancol, Jakarta. Kutukebul ini juga ditemukan menyerang tanaman kelapa di
daerah Dramaga (Bogor), Parungkuda (Sukabumi) dan Pameungpeuk (Garut).
Kutukebul A. dispersus hidup dalam suatu koloni yang cukup padat. Pupa
dikelilingi oleh lapisan lilin yang merupakan eksudat hasil aktivitas makan yang
dilakukannya (Gambar 1).
1 mm
1 mm
Gambar 1 Kutukebul A. dispersus pada daun kelapa; pupa (A) dan imago (B)
Koloni kutukebul A. dispersus hidup pada bagian daun tanaman inang yang
diserangnya. Pada pupa A. dispersus terdapat dua struktur lilin yang ukurannya
panjang di bagian posterior tubuhnya dengan bentuk yang menyerupai ekor
(Gambar 1). Daun pohon kelapa yang terserang oleh kutukebul A. dispersus
diselimuti oleh massa kutukebul yang berwarna putih (Gambar 1). A. dispersus
hidup dalam suatu koloni yang terdiri atas telur, nimfa, pupa dan imago. Sampel
A. dispersus didapatkan di daerah pantai dengan angin yang bertiup cukup
kencang setiap saat. Hal tersebut mengakibatkan kemungkinan massa kutukebul
A. dispersus yang ada pada daun ikut terbawa angin dan jatuh ke tanah.
1 mm
Gambar 2
Ciri morfologi A. dispersus; 4 pasang compound pores, tanda panah
(A), lingula oval (B), alur pori-pori padat, tanda panah (C), cone
shaped (D)
A. dispersus memiliki karakter morfologi yang khas, diantaranya adalah
memiliki 4 pasang compound pores, alur pori-pori yang padat, lingula berbentuk
oval, cone shaped (Gambar 2). Kulit pupa (eksuvia) terlihat berwarna merah muda
8
keunguan, karena adanya perlakuan pemberian warna asam fucshin pada saat
pembuatan preparat (Gambar 2). Adanya pewarnaan bertujuan untuk
memudahkan dalam mengamati karakter-karakter morfologi yang ada pada suatu
pupa spesies kutukebul.
Kutukebul A. dispersus berasal dari daerah tropis Amerika. Kutukebul ini
dikenal dengan istilah Spiralling Whitefly karena imago A. dispersus meletakkan
telur dengan pola spiral pada daun yang menjadi inangnya. Fase nimfa dan imago
kutukebul mengakibatkan kerusakan langsung berupa aktivitas menghisap cairan
daun yang diserangnya yang dapat membuat daun tersebut menjadi gugur secara
abnormal. Kerusakan tidak langsung berupa produksi embun madu dan lapisan
lilin yang menyelimuti dedaunan inang yang diserang. Embun jelaga dapat
berkembang dari embun madu yang dihasilkan oleh kutukebul, hal ini dapat
menurunkan aktivitas fotosintesis tanaman inang. Hingga saat ini, belum pernah
dilaporkan adanya kejadian virus tumbuhan yang disebarkan oleh kutukebul A.
dispersus.
Aleurodicus dugesii Cockerell dikenal dengan istilah Giant Whitefly karena
ukuran tubuhnya yang cukup besar di antara spesies kutukebul lainnya (Gambar
3). Sampel yang diperoleh pada penelitian ini didapat dari daerah Cipanas,
Cianjur, Jawa Barat. Koloni A. dugesii banyak ditemukan pada pertanaman labu
siam di daerah Cipanas (Cianjur). Kutukebul ini juga ditemukan pada tanaman
kelapa di daerah Dramaga (Bogor) dan tanaman alpukat di daerah Ciapus (Bogor).
1 mm
1 mm
Gambar 3 Kutukebul A. dugesii pada daun labu siam; pupa (A) dan imago (B)
Imago A .dugesii memiliki corak berwarna kelabu pada bagian sayapnya
(Gambar 3). Lapisan lilin yang menyelimuti tubuh suatu spesies kutukebul
merupakan suatu lapisan yang dikeluarkan bersamaan dengan aktivitas makan
yang dilakukannya. Lapisan lilin tersebut dikeluarkan dari struktur compound
pores yang dimiliki oleh masing-masing spesies kutukebul yang berasal dari
subfamili Aleurodicinae. Umumnya, spesies kutukebul yang digolongkan ke
dalam subfamilii Aleyrodinae tidak mengeluarkan lapisan lilin karena tidak
memiliki struktur compound pores. Pada kutukebul A. dugesii, lapisan lilin yang
dikeluarkan terlihat seperti janggut yang panjang. Kutukebul ini memiliki lapisan
lilin yang paling panjang di antara ke tiga spesies kutukebul yang dijadikan
sampel dalam penelitian ini. Pada daun labu siam yang terserang, terlihat banyak
koloni A. dugesii yang terdiri atas telur, nimfa dan imago. Daun labu siam yang
terserang, menunjukkan gejala adanya bercak hingga daun menjadi layu dan
berwarna kekuningan.
9
1 mm
Gambar 4 Ciri morfologi A. dugesii; 4 pasang compound pores, tanda panah (A),
lingula melebar bulat (B), pori majemuk yang tereduksi seperti
lonceng, tanda panah (C), cone shaped (D)
A. dugesii memiliki karakter morfologi yang khas, diantaranya yaitu memiliki 4
pasang compound pores, terdapat struktur seperti lonceng, lingula berbentuk
melebar bulat, cone shaped (Gambar 4).
Paraleyrodes minei Iaccarino merupakan spesies yang baru dilaporkan
keberadaannya di Indonesia pada tahun 2011 (Nurulalia 2012). Sampel yang
diperoleh pada penelitian ini didapat dari pertanaman kelapa yang berasal dari
daerah Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Kutukebul ini dikenal dengan istilah
Nesting Whitefly karena lapisan lilin yang dihasilkannya menyerupai sangkar
burung (Gambar 5).
1 mm
1 mm
Gambar 5 Kutukebul P. minei pada daun kelapa; pupa (A) dan imago (B)
Kutukebul P. minei merupakan spesies kutukebul dengan ukuran tubuh
yang paling kecil di antara ke tiga spesies kutukebul yang dijadikan sampel dalam
penelitian ini. Telur diletakkan oleh imago betina secara melingkar. Telur
kutukebul memiliki pedisel di salah satu bagian ujungnya yang berfungsi untuk
melekat pada permukaan daun (Gambar 5).
Kutukebul ini hampir sering ditemukan pada pertanaman kelapa di berbagai
lokasi selama pengambilan sampel. Selain di daerah Pameungpeuk (Garut),
kutukebul P. minei juga ditemukan menyerang pohon kelapa di daerah Dramaga
(Bogor) dan Parungkuda (Sukabumi). Hal ini merupakan suatu informasi tanaman
inang yang baru bagi kutukebul P. minei. Laporan pertama mengenai serangan P.
minei di Indonesia menyebutkan bahwa kutukebul P. minei diketahui menyerang
tanaman alpukat, jambu air, jeruk nipis, dan jeruk bali (Nurulalia 2012). Selama
pencarian sampel dalam penelitian ini, tidak ditemukan keberadaan spesies
kutukebul dari subfamili Aleurodicinae yang lain, yakni Aleuroctarthrus
destructor pada tanaman kelapa. Padahal, kutukebul A. destructor dikenal sebagai
10
kutukebul pohon kelapa (Coconut Whitefly). Keberadaan A. destructor tampaknya
telah tergantikan oleh spesies P. minei pada tanaman kelapa. Hal ini mungkin
dikarenakan eksistensi A. destructor yang berhasil ditekan oleh musuh alami dan
sifat invasive alien species yang dimiliki oleh P. minei yang dominan dan
membuatnya mampu beradaptasi pada jangkauan inang yang lebih luas.
1 mm
Gambar 6 Ciri morfologi P. minei; 6 pasang compound pores, tanda panah (A),
disc pore, tanda panah (B), 2 pasang compound pores tereduksi (C),
rod shaped (D).
Kutukebul P. minei berasal dari genus yang berbeda dengan dua sampel
kutukebul sebelumnya. P. minei memiliki karakter morfologi yang khas,
diantaranya yaitu memiliki 6 pasang compound pores, memiliki disc pore di dekat
daerah lingula, 2 pasang compound pores tereduksi, rod shaped (Gambar 6).
Perbedaan karakter morfologi yang jelas terlihat antara genus Paraleyrodes dan
Aleurodicus ialah pada jumlah compound pores yang dimiliki oleh masing-masing
genus. Pada kutukebul genus Paraleyrodes, yakni P. minei memiliki 6 pasang
compound pores. Kutukebul genus Aleurodicus, yakni A. dispersus dan A. dugesii
masing-masing memiliki 4 pasang compound pores.
Hasil Amplifikasi Fragmen DNA mtCOI
Pada penelitian ini, metode PCR berhasil mengamplifikasi fragmen DNA
mtCOI kutukebul A. dispersus, A. dugesii dan P. minei. Imago kutukebul yang
disimpan dalam tabung eppendorf berisi alkohol ternyata tidak dapat
menghasilkan pita DNA ketika diamplifikasi. Hanya imago kutukebul yang
disimpan dalam tabung eppendorf tanpa alkohol dan imago yang disimpan
bersama daun inangnya dalam suhu -80 oC saja yang dapat menghasilkan pita
DNA ketika diamplifikasi.
PCR merupakan suatu metode molekuler yang ditempuh untuk
memperbanyak fragmen molekul DNA tertentu dari suatu spesies. Metode
tersebut memanfaatkan perbedaan suhu dan primer tertentu untuk
mengamplifikasi fragmen molekul DNA yang diinginkan. Fragmen molekul DNA
yang telah diamplifikasi lewat metode PCR dapat ditentukan ukurannya dengan
cara membuat gel agarosa, yaitu suatu bahan semi-padat berupa polisakarida yang
diekstraksi dari rumput laut (Yuwono 2010). Elektroforesis gel dilakukan untuk
memisahkan molekul seluler dengan menggunakan medan listrik agar diketahui
ukuran fragmen molekul DNA sampel. Pita DNA hasil PCR kutukebul A.
dispersus, A. dugesii, dan P. minei memiliki ukuran pita yang relatif sama
(Gambar 7). Sampel kutukebul A. dugesii menghasilkan pita DNA dengan
11
intensitas kecerahan yang lebih tipis dibandingkan sampel A. dispersus dan P.
minei (Gambar 7).
Gambar 7 Visualisasi gel agarosa hasil PCR DNA mtCOI. Lajur: (m) marker 1
kb DNA ladder (a) P. minei, (b) A. dispersus, (c) A. dugesii
Keberhasilan amplifikasi pita DNA dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
kemurnian DNA total ekstraksi, kondisi primer yang digunakan, volume DNA
cetakan (template), serta kondisi reaksi PCR yang tepat. Proses ekstraksi DNA
total merupakan langkah awal yang penting untuk benar-benar mendapatkan DNA
cetakan sampel kutukebul. Penelitian ini berhasil mengamplifikasi pita DNA
kutukebul yang berasal dari ekstraksi DNA hasil penggerusan 1, 2, dan 5 imago
kutukebul. Primer yang sudah terlalu lama disimpan dapat menjadi rusak
sehingga tidak dapat digunakan. Kondisi reaksi PCR harus dirancang secara
spesifik sesuai dengan sampel dan primer yang digunakan. Kecerahan pita DNA
yang dihasilkan memperlihatkan banyak sedikitnya fragmen DNA yang berhasil
teramplifikasi. Pita DNA yang tebal dan terang dapat menunjukkan produk PCR
tersebut memiliki konsentrasi DNA yang tinggi. Suhu optimum penempelan
primer pada saat amplifikasi sampel yaitu 36 °C. Suhu penempelan primer
tersebut penting dalam proses amplifikasi, karena pada tahap ini primer akan
menempel secara spesifik pada DNA target.
Primer mtCOI yang digunakan dalam penelitian ini merupakan primer yang
bersifat universal, artinya dapat juga digunakan untuk mengamplifikasi fragmen
molekul DNA berbagai macam jenis serangga. Rahayuwati (2009) menggunakan
pasangan primer ini untuk memperoleh informasi variasi genetika kutukebul
Bemisia tabaci yang didapatkan dari beberapa wilayah endemik penyakit kuning
cabai di Indonesia bagian barat. Shahbazi et al. (2013) juga menggunakan
pasangan primer tersebut untuk mengetahui karakter molekuler dan status
taksonomi dari spesies Eretmocerus mundus (Hymenoptera: Aphelinidae) yang
berasal dari daerah Iran. Primer tersebut menghasilkan fragmen pita DNA mtCOI
berukuran sekitar 800 pb. Fungsi primer adalah menyediakan ujung 3’-OH yang
akan digunakan untuk menempelkan molekul DNA pertama dalam proses
polimerisasi (Yuwono 2010).
Hasil Perunutan Nukleotida Sampel Kutukebul
Produk PCR hasil amplifikasi DNA mtCOI kutukebul yang dikirimkan ke
PT Genetica Science Indonesia dan berhasil dilakukan perunutan nukleotida
berjumlah 6 tabung, tetapi hanya 3 sampel yang menunjukkan data runutan
nukleotida fragmen DNA mtCOI yang baik dan digunakan untuk analisis.
12
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|
A. dispersus
-TTCTTTAGTTTGCTTTGTCATCCAGAAGTTTATGTTTTAATTTTGCCTGGGCTTGGTATTATTTCTCATTTAATTAGAAATGAAAGAGGTAAAATAGAA
A. dugesii
--.T...GA...TT......................A.....A..TA....AT....A.............................T..A.........
P. minei
A..T..GGA.C.TAC.................................A..AT....G..........................G.C...A.........
Clustal Consensus
* ** * * ********************* ***** ** * ** **** ************************** * ** *********
110
120
130
140
150
160
170
180
190
200
....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|
A. dispersus
A. dugesii
P. minei
Clustal Consensus
GTTTTTGGTAGTTTAGGTATGATTTATGCTATGCTTACTATTGGGATTTTAGGATTTATTGTATGGGGACATCATATATTTACTGTAGGTATAGATGTAG
...........A.....A..A...........AT.A........A.................T.....T..............A.....A........T.
..A.....G.A......A..A........G..AG..........AG.A..G...........T..A..T........G........T..G..........
** ***** * ***** ** ******** ** * ******** * ** *********** ** ** ******** ***** ** ** ******** *
210
220
230
240
250
260
270
280
290
300
....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|
A. dispersus
A. dugesii
P. minei
Clustal Consensus
ATACTCGGGCTTATTTTACATCTGCTACAATAGTTATTGCTATTCCTACAGGAATTAAAATTTTTAGTTGGTTAGCTACATTTAGTGGTATTAATTTTAA
.......T...........T........T...........A.....A....................A..A........T........G...........
.......A...........T....T......GA........G...............................G..A..T.....A..A..A..G.....
******* *********** **** *** ** ******* **** ******************** ** ** ** ** ***** ** ** ** *****
310
320
330
340
350
360
370
380
390
400
....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|
A. dispersus
A. dugesii
P. minei
Clustal Consensus
ATTTAATAATCCTTTAATATTGTGATCAATAGGGTTTTTATTTTTATTTACTTTAGGAGGATTAACTGGTGTTATTTTAGGTAATTCTTCTGTAGATGTG
.....................A...........A..........................G..G..A..A..A.................A........A
.G.G.G---G........T..A....GTT....A.................AA.G..G..G...........A........A........A..T.....T
***
******** ** **** **** ***************** * ** ** ** ** ** ** ******** ******** ** *****
410
420
430
440
450
460
470
480
490
500
....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|
A. dispersus
A. dugesii
P. minei
Clustal Consensus
TGTTTACATGATACTTATTTTGTTGTTGCTCATTTTCATTATGTTTTATCTATGGGAATTGTCTTTGCTATTATTAGAGGTTTTATTTTCTGGTTTCCTT
..............A..............A..............A.....A..A........G..........................T..........
...C.T..................................................T.....G.....A.....GG.......A.....T..........
*** * ******** ************** ************** ***** ** ** ***** ***** ***** ******* ***** **********
510
520
530
540
550
560
570
580
590
600
....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|
A. dispersus
A. dugesii
P. minei
Clustal Consensus
TAATTGTGGGTTTAACTTTAAATAAAAATTTATTAATTTCTCAATTTTATATTATATTTGTGGGTATTAATATAACTTTTTTTCCTCAGCATTTTTTAGG
.....A.T........A..........................G...............A.T..........................A...........
..G..T.T..AA.T...........T.T...G..G........T...GG..........T.A...G.A...T....A.....C.....A...........
** ** * ** * ** ******** * *** ** ******** *** ********** * *** * *** **** ***** ***** ***********
610
620
630
640
650
660
670
680
690
700
....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|
A. dispersus
A. dugesii
P. minei
Clustal Consensus
ACTTAATGGAATACCTCGACGTTATAGAGATTATTTTGATTGTTATTTATTTTGAAATAAGATTTCTTCTATAGGAAGTTTAATTAGATTTTTGGGAATT
.T.A.....G...........A..C...................................A.....A..A..G.....G.....................
.T.A.GG..G...............TCT......CC............G..A.........G.A.....A..G........T..A..T..A..A..TG..
* * * ** *********** **
****** ************ ** ******** * ** ** ** ***** ** ** ** ** ** ** **
710
720
730
740
750
760
770
780
790
800
....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|
A. dispersus
TTATATTTTTTATATATTATTTTAGAATCTTTTTTAATATTACGTTTATTAAATTTTAAGATTTTTATAGTTAATTTTTTAGAGTGAATGTTAAATTTTC
A. dugesii
..........................G......A.T...A.T.................A.........A.............A.....AA.T....A..
P. minei
A.T.T................A...........A.T........A...G.T.TA.....T.C.GC......A.G..............A.......AGA.
Clustal Consensus * * **************** **** ****** * *** * ** *** * * ***** * * **** * * ********* **** * *** *
810
820
830
840
850
860
870
880
890
....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|..
A. dispersus
A. dugesii
P. minei
Clustal Consensus
CTTCTTTAGATCATAGATTTAAGGAATTAGTTTTAATTTACAATAAAATTTAGATTAATTTAATATGGCAATAAGGGGGAATTGGAAAAAAA
......................A.....G.G........TT..A......--AT................G-.TA....C..........-....G...A...................GAG........GT--.TT....--------.C..........GAT..T..CC........T--**** *** ************* ***** ********
****
* **********
** ********
Gambar 8 Hasil penjajaran runutan nukleotida fragmen DNA mtCOI tiga sampel
kutukebul
13
Perunutan DNA dilakukan dari dua arah, yaitu forward dan reverse.
Perunutan dengan dua arah dapat meminimalisasi kemungkinan kesalahan dalam
proses perunutan. Hasil runutan arah forward dan reverse dilakukan penjajaran
untuk mendapatkan runutan nukleotida utuh fragmen DNA mtCOI masing-masing
sampel kutukebul. Perunutan DNA menghasilkan fragmen DNA mtCOI A.
dispersus yang berukuran 891 pb, A. dugesii berukuran 885 pb, dan P. minei yang
berukuran 876 pb (Gambar 8).
Hasil penjajaran runutan DNA mtCOI ke tiga sampel (Gambar 8)
memperlihatkan adanya gap pada masing-masing runutan nukleotida antar spesies
kutukebul. Hasil tersebut juga memperlihatkan adanya variasi susunan basa
nukleotida pada masing-masing sampel. Jika antar runutan nukleotida di dalam
suatu penjajaran memiliki nenek moyang (ancestor) yang sama, maka pasangan
nukleotida tak-cocok (mismatch) dapat diartikan sebagai tempat terjadinya mutasi.
Sedangkan celah (gap) yang terdapat antar runutan DNA memperlihatkan, bahwa
antar runutan tersebut telah terpisah hubungan taksonominya. Gap dalam
penjajaran merepresentasikan perubahan mutasi dalam runutan termasuk insersi,
delesi atau penyusunan ulang materi genetik (Dharmayanti 2011).
10
20
30
40
50
60
70
80
90
....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|..
A.dispersus
FFSLLCHPEVYVLILPGLGIISHLIRNERGKIEVFGSLGMIYAMLTIGILGFIVWGHHIFTVGIDVDTRAYFTSATIVIAIPTGIKIFSWLA
A.dugesii
-FDFFCHPEVYVLIFTGFGIISHLIRNESGKIEVFGRLGIIYAILTIGILGFIVWGHHIFTVGIDVDTRAYFTSATIVIAIPTGIKIFR-LA
P.minei
FLDLTCHPEVYVLILPGFGIISHLIRNETGKIEVFGNLGIIYAIVTIGVLGFIVG-HHMFTVGIDVDTRAYFTSVTMIIAVPTGIKIFSWLA
Clustal Consensus :.: *********:.*:********** ******* **:***::***:***** **:***************.*::**:******* **
110
120
130
140
150
160
170
180
190
....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|..
A.dispersus
A.dugesii
P.minei
Clustal Consensus
FNNPLILSIGFLFLFTLGGLTGVILGNSSVDVCLHDTYFVVAHFHYVLSMGIVFAIIRGFIFWFPLIVGLTLNKNLLISQFYIIFVGINITF
FNNPLILSIGFLFLFTLGGLTGVILGNSSVDVCLHDTYFVVAHFHYVLSIGIVFAIIRGFIFWFPLIIGLTLNKNLLISQFYIIFIGINITF
VR-PLILCLGFLFLFTMGGLTGVILGNSSVDVCLHDTYFVVAHFHYVLSMGIVFAIMGGLIFWFPLVFGITLNNILLISHFGIIFLGVNLTF
.. ****.:*******:********************************:******: *:******:.*:***: ****:* ***:*:*:**
210
220
230
240
250
260
270
280
290
....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|..
A.dispersus
A.dugesii
P.minei
Clustal Consensus
NGIPRRYRDYFDCYLFNKISSIGSLIRFLGILYFLYIILESFLILRLLNFKIFIVNFLEMLNFPSLDHRFKELVLIYNKIINLIWQGGIGKK
NGIPRRYRDYFDCYLFNKISSMGRLIRFLGILYFLYIILESFIIIRLLNFKIFIINFLEIINYPSLDHRFKELGLIFKKIIFNMADRGIGKRGIPRRYSDYPDCYLLNKVSSMGSFISLLGVIFFLYIIIESFIILRLVIFNTAIVSFLEKLNRPSLNHRFKELSLICFNFYGRWPLE----.****** ** ****:**:**:* :* :**:::*****:***:*:**: *: *:.*** :* ***:****** ** ::
Gambar 9 Hasil penjajaran asam amino fragmen mtCOI tiga sampel kutukebul
Penjajaran antar runutan DNA sampel kutukebul bertujuan untuk mencari
sebanyak mungkin kecocokan setiap daerah pada runutan nukleotida yang identik,
sehingga dapat dianalisis dan disimpulkan kemiripan antar runutan nukleotida
melalui nilai penjajarannya. Penjajaran yang dilakukan terhadap hasil translasi
fragmen DNA mtCOI tiga sampel kutukebul dimaksudkan untuk mempermudah
melihat perbedaan susunan asam amino pada fragmen DNA mtCOI tiga sampel
kutukebul tersebut. Daerah mitokondria merupakan daerah yang berfungsi dalam
proses transpor elektron pada suatu rangkaian respirasi untuk menghasilkan
energi. Kompleks mtCOI berperan sebagai katalisator dalam proses transpor
elektron. DNA mtCOI mengkode asam amino penyusun protein yang berperan
dalam proses transpor elektron tersebut.
Berdasarkan susunan asam amino fragmen mtCOI (Gambar 9), kutukebul A.
dispersus Ancol memiliki kemiripan sebesar 88.3% dengan A. dugesii Cipanas.
Kutukebul P. minei Pameungpeuk memiliki susunan asam amino fragmen mtCOI
(Gambar 9) dengan kemiripan sebesar 73.2% dengan A. dispersus Ancol.
14
Kutukebul A. dugesii Cipanas memiliki susunan asam amino fragmen mtCOI
(Gambar 9) dengan kemiripan sebesar 71.8% dengan P. minei Pameungpeuk.
Kutukebul P. minei memiliki kemiripan susunan basa nukleotida yang paling
rendah dengan sampel kutukebul lainnya. Hal ini dikarenakan perbedaan genus
antara kutukebul P. minei dengan kutukebul A. dispersus dan A. dugesii.
Keragaman susunan nukleotida memperlihatkan adanya variasi yang lebih tinggi
pada spesies dengan kekerabatan yang lebih jauh. Kutukebul A. dispersus dan A.
dugesii memiliki kekerabatan yang lebih dekat dibandingkan dengan kutukebul P.
minei. Hal ini dikarenakan kutukebul tersebut berasal dari genus yang sama, yakni
genus Aleurodicus. Ke tiga sampel kutukebul merupakan spesies yang
digolongkan ke dalam subfamili yang sama, yakni Aleurodicinae.
Tabel 2 Komposisi basa nukleotida fragmen DNA mtCOI A. dispersus Ancol, A.
dugesii Cipanas dan P. minei Pameungpeuk
Nukleotida
Adenine (A)
Cytosine (C)
Guanine (G)
Thymine (T)
G+C
A+T
A. dispersus Ancol
(%)
28.62
7.86
16.05
47.47
23.91
76.09
A. dugesii Cipanas P. minei Pameungpeuk
(%)
(%)
31.75
27.28
7.12
8.33
14.69
18.72
46.44
45.66
21.81
27.05
78.19
72.95
Persentase basa A+T yang tinggi merupakan ciri khusus dari DNA
mitokondria pada kelompok serangga. A. dispersus Ancol memiliki runutan
nukleotida fragmen DNA mtCOI dengan komposisi basa adenine (A) dan thymine
(T) sebesar 76.09%, A. dugesii Cipanas sebesar 78.19% dan P. minei
Pameungpeuk sebesar 72.95% (Tabel 2). A. dispersus Ancol memiliki runutan
nukleotida fragmen DNA mtCOI dengan komposisi basa guanine (G) dan
cytosine (C) sebesar 23.91%, A. dugesii Cipanas sebesar 21.81% dan P. minei
Pameungpeuk sebesar 27.05% (Tabel 2). Dari tabel terlihat frekuensi basa
adenine dan thymine yang tinggi pada ke tiga sampel kutukebul (Tabel 2). Basa
cytosine merupakan jenis basa dengan komposisi yang paling rendah di antara
basa nukleotida lainnya pada masing-masing runutan nukleotida frgamen DNA
mtCOI kutukebul. Kandungan basa A+T yang tinggi disebabkan basa tersebut
lebih mudah berubah karena memiliki ikatan hidrogen yang lebih lemah daripada
basa G+C (Liu & Beckenbach 1992). Hal ini memperlihatkan karakteristik
susunan basa nukleotida yang khas pada kelompok serangga.
Homologi Nukleotida
Runutan nukleotida fragmen DNA mtCOI masing-masing sampel dilakukan
BLAST pada situs GenBank untuk mencari spesies kutukebul lain dengan nilai
homologi terdekat. Hal tersebut juga dimaksudkan untuk mengkonfirmasi benar
tidaknya bahwa runutan fragmen DNA mtCOI sampel merupakan runutan
fragmen DNA mtCOI suatu spesies kutukebul. Analisis kesejajaran dilakukan
untuk melihat hubungan homologi antar spesies kutukebul.
15
Tabel 3 Homologi runutan nukleotida fragmen DNA mtCOI ke tiga sampel
kutukebul dengan spesies kutukebul lain yang ada di situs GenBank
No
1
2
3
4
5
6
7
Spesies (No. Akses Genbank)
A. dispersus Indonesia (Ancol)
A. dispersus India (JQ995239.1)
A. dispersus China (JX566506.1)
A. dugesii