Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam

Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam
Muhdi
Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara tropika yang memiliki kawasan hutanyang cukup luas. Keberadaan kawasan hutan ini merupakan asset nasional yang harus terus dikelola dan dikembangakan ke arah yang lebih baik, agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Untuk pengembangan dan pengelolaan ini dilakukan berbagai penelitian dan pengembangan sekaligus penerapan berbagai sistem silvikultur dengan teknik permudan alam maupun buatan. Sebab dengan vegetasi huan Indonesia yang beragam tipenya tidak dapat diterapkan satu sistem silvikultur saja untuk seluruh areal.
Untuk memilih sistem silvikultur yang dipakai, khususnya pada hutan tropika basah dararan rendah hrus mempertimbangkan berbagai aspek, yaitu keadaan hutan (strukturr, komposisi, sifat silvik, produktivitas), pengetahuan professional rimbawan, keadaan pasar dan kemampuan pembiayaan.
Pemanenan kayu meruakan suatu kegiatan produksi dimana kayu bulat dan hasil hutaan lainnya sebagai hasilnya. Pemanenan hasil hutan betapapun hati-hatinya dilaksanakan, namun kerusakan terhadap vegetasi dan tanah yang timbul tidak mungkin dapat dihindari sepenuhnya.
Potensi tegakan tinggal settelah pemanenn kayu perlu dikaji untuk penyelamatan pohon-pohon muda daari jenis komerrsial agar tidak terjadi penurunan produksi pada siklus tebang berikutnya. Salah satunya adalah dengan melihat struktur dan komposisi tegakan setelah pemanean kayu. Keterangan yang diperoleh diharapkan dapat menjadi dasar dalam membantu tindkan danperlakuan silvikulturr yang tepat sehinggga tujuan pengelolan hutanyang lestari dapat tercapai.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari struktur dan komposisi tegakan sebelum dan sesudah pemanenan kayu di hutan alam.

II. METODE PENELITIAN
Petak penelitian terdiri dari petak pemanenan kayu dengan teknik konvensional dan petak pemanenankayu dengan teknik RITH. Petak penelitian ini masing-masing seluas 10-15 ha yang di dalamnya dibuat 3 (tiga) plot permanen/pengukuran dengan ukuran masing-masing 100 m x 100 m (1 ha). Masing-masing plot permaanen/pengukuran ini dibagi menjadi 25 sub petak dengan ukuran 20 x 20 m2 (pohon), 10 x 10 m2 (tiang), 5 x 5 m2 (pancang) dan 2 x 2 m2 (semai).

e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

1

Data yang dikumpulkan dalampenelitian ini ada 2 macam yaitu data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh melalui wawancara dan mengutip dari buku atau laporan-laporan yang ada sebagai sumber data. Pengumpulan data primer dilakuakan melalui kegiatan pengamatan dan inventarisaasi langsung di hutan pada plot permanen/pengukuran yang telah dibuat.
Pada setiap pengamata, data yang diambil untuk tegakan tingkat pohon dantiang meliputi ; nama jenis, diameter pohon setinggi dada (1.3 m) atau 20 cm di atas banir dan tinggi bebas cabang. Sedang untuk pengamatan tingkat semai dan pancang data yang diambil meliputi : nama jenis, dan jumlah tiap jenis per petak pengamatan.
Data kerusakan tegakan yang disebabkan oleh pemanenan kayu, dikumpulkan melalui pengamatan sesudah penebangan dan penyaradan kayu antar lain : nama jenis pohon, diameter dan tipe kerusakan. Untuk melihat gambaran struktur dan komposisi tegakan dilakukan perhitungan terhadap parameter vegetasi yang meliputi : indeks nilai penting, indeks dominansi, keanekaragaman jenis, dan koefisien komunitas. Indeks nilai penting digunakan untu menetapkan domianansi suatu jenis terhadap jenis lainnya, dengan kata lain indeks nilai penting menggambarkan kedudukan ekologis suatu jenis dalam komunitas. Indeks nilai penting dihitung berdasarkan jumlah nilai kerapatan relatif (KR), domianansi relatif (DR) dan frekuensi relatif (FR) (Mueller-Dumbors dan Effenberg, 1974: Soerianegarra dan Indrawan, 1988).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU

Komposisi tegakan pada penelitian ini diartikan sebagai keragaman jenis dalam tegakan hutan. Keanekaragaman jenis di hutan tropika basah sangat besar dan kompleks, keberadaannya sling berpengaruh serta berinteraksi terhadap sifat genettik dan ekosistemnya. Jenis-jenis tiang dan pohon, pancang, semai sebelum dan sesudah pemanenan kayu serta perubahan kedudukan jenis di setiap petak.
Penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah jenis yang menyusun masing-masing petak sebelum dan sesudah pemanenan kayu hampir sama. Pada petak pemanenan kayu konvensional dan petak pemanenan kayu RITH untuk tingkat semai jenis-jenis yang paling banyak ditemukan menurut peringkat indeks nilai penting (INP) sebelum penebangan antara lain terentang (Campnospera spp), meranti (Shorea spp.) medang (Litsea spp.), mayau (Shorea palembanica Mig.) dan ubar (Eugenia spp.). Pada tingkat pancang, jenis-jenis yang paling banyak ditemukan pada kedua petak pemanenan kayu antara lain ubar (Eugenia spp.), medang (Litsea spp.), meranti merah (Shorea spp.), banitan (Polyalthia sp.) dan kumpang.
Pada tingkat pancang jenis-jenis yang paling banyak ditemukan pada kedua petak pemanenan kayu antar lain ubar (Eugenia spp.), medang (Litsea spp.), danmeranti (Shorea spp.). Untuk tingkat pohonjenis-jenis yang paling banyak ditemukan antar lain bangkirai (Shorea eliptica Burk.), meranti merah (Shorea spp.), ubar (Eugenia spp.), dan medang (Litsea spp.).
Komposisi masing-masing petak berbeda dengan melakukan seleksi terhadap tumbuhan yang kebetulan mencapai dan mampu hidup di tempat tersebut. Perbedaan ini terlihat dari nilai INP masing-masing petak. Untuktingkat semai dan pancang merupakan penjulahan nilai kerapatan relatif dan frekuensi relatif, sedangkan untuk tingkat tiang dan

e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

2

pohon INP didapat dengan menjumlahkan nilai-nilai kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominanasi relatif.
Kedua petak pemanenan kayu ini memiliki jumlah jenis maupun keragamannya tidak banyak berbeda seperti medang (Litsea spp.), meranti merah (Shorea spp.) dan ubar (Eugenia spp.) hampir terdapat di stiap petak dan masuk peringkat karena nilai INP tinggi bahkan sebagian besar menduduki peringkat pertama baik sebelum maupun sesudah pemanenan kayu.
Indeks nilai penting (INP) merupakan indikator yang sesuai untuk melihat pengaruh perubahan jumlah jenis dalam petak sebelum pemanenan, setelah penebangan dan penyaradan kayu. Berkurangnya individu dalam satu jenis atau hilangnya jumlah jenis dalam pemanenaan menyebabkan bergesernya nilai INP jenis tersebut. Pergeseran ini saling mendorong dan merubah tingkat INP suatu jenis secara beraturan,sebagai contoh pada petak pemanenan kayu RITH plot II, jenis medang pada tingkat pohon seblum penebangan nilai INP-nya sebesar 30.01 %, setelah penebangan INPnya naik menjadi 37,11 % dan sesudah penyaradan turun menjadi 33.35 %. Pada petak pemanenan kayu konvensional plot II, untuk jenis yang sama nilai INP sebelum penebangan sebesar 33.20 %, setelah penebagan turun menjadi 27.07 % dan setelah penyaradan sebesar 24.62 %.
Perubahan nilai INP ini juga engakibatkan perubahan peringkat nilai INP pada masing-asing jenis. Ada kalanya terdapat jenis yang menduduki peringkat bawah jenis lain, setelah pemanenan kayu peringkat kedua jenis ini berubah. Sebagai ontoh, pada plot I petak pemanenan kayu RITH untuk tingkat pohon, sebelum penebangan jenis meranti kuning berada pada peringkat kelima dengan INP 16.16 % dan setelah penyaradan durian bergeser ke peringkat keempat dengan INP 23.05 % dan jenis meranti kuning beada pada peringkat kelima dengan INP 20.37 %. Bergesernya kedudukan ini disebabkan terdapat jumlah individu dalam satu jenis yang berkurang atau beberapa jenis mengalami kehilangan.
Perubahan peringkat INP pada sistem silvikultur TPTI tidak mencolok penurunan jumlah individu dalam satu jenis dan hilangnya jenis dalam satupetak tidak banyak, hal ini disebabkan pohon-pohon yang ditebang bediameter besar (>60 cm) dan dengan intensitas pemanenan kayu 6 pohon per hektar dan 5.3 pohon per hektar. Berbeda dengan sistem silvikultur tebang jalur tanam Indonesia (TJTI) dan tebang habis dengan permudaan buatan (THPB) yang bersifat monocyclic (siklus tunggal) dan intensitas penebangan sangat besar menyebabkan pengurangan julah jenis besar bahkan terjadi pergantian jenis dengan cara permudaan buatan (Sularso, 1996).
Hasil penelitian Amir (1995) dalam Sularso (1996) pada sistem TJTI terdapat kehilanganjenis setelah penebangan untuk tingkat semai 1-5 jenis, setelah penyaradan berkisar 4-20 jenis. Untuk tingkat pancang berkisar 1-19 jenis dan tingkat tiang dan pohon sebesar 13 jenis atau berkisar 2-24 jenis untuk semua tingkatan dalam tegakan. Kemungkinanan pengurangan jenis terlalu sedikit atau jumlah individu awalnya sedikit sehingga tidak cukup untuk menggeser peringkat jenis lain.
KEANEKARAGAMAN JENIS
Untuk engetahui tingkat keanekaragaman jenis dapat diketahui dengan menghitung keanekaragaman jenis (H’) dalam petak. Nilai (H’) sebenarnya menggambarkan banyaknya jumlah individu jenis dan jumlah jenis. Perhitungan nilai (H’) menghasilkan

e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara


3

nilai yang berbeda-beda. Perubahan yang terjadi pada INP menyebabkan perubahan nilai H’ dan umumnya perubahan itu menurun. Sebagai contoh pada plot I petak pemanenan kayu konvensional duntuk tingkat pohon nilai H’ sebelum penebangan sebes 2.62 setelah penebangan 2.56 dan setelah penyaradan sebesar 3.46 dan pada plot II RITH nilai indeks keanekaragaman jenis (H’) sebesar 2.71 setelah penebangan menjadi 2.69 dan setelah penyaradan 2.65.
Perhitungan untuk semua tingkatan tegakan (semai, pancang, tiang dan pohon) berkisar 1.85-3.08 lebih kecil dibandingkan dengan hasil Sularso (1996) yang berkisar 2.3 – 3.5. Hal ini disebabkan jumlah jenis yang ada pada petak penelitian iniberjumlah 37-44 jenis, lebih sedikit bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sularso (1996) sebanyak 75 jenis.
Keanekaragaman di antara anggota suatu kelompok terdiri dari dua komponen yaitu kekayaan jenis dan kelimpahan relatif. Keanekaragaman jenis yang terdapat pada petak pemanenan kayu RITH lebih besar dibandingkan dengan petak pemanenan kayu konvensional yang dapat dilihat dari jumlah jenis yang ditemukan dalam masing-masing petak dan indeks nilai penting (INP).
POLA PENYEBARAN JENIS
Hilangnya suatu jenis dalam petak, selain diakibatkan oleh kegiatan penebangan dan penyaradan juga disebabakan oleh pola penyebaran jenis dan jumlah masing-masing individu bervariasi. Peluang hilangnya suatu jenis sangat besar bila individu tersebut jumlahnya sedikit dan pola penyebaran jenisnya seragam (homogen). Berdasarkan hasil analisis indeks Moroshita (Id) menunjukkan terdapat jenis-jenis domianan yang penyebaran jenisnya di semua tingkatan tegakan dalam petak sebelum pemanenan kayu tidak beraturan (acak). Terdapat jenis dalam tingkatan yang sama, namun kedudukan dalamn petak berbeda menunjukkan pola penyebaran yang tidak sama.
Namun demikian dapat dilihat kecenderungan bentuk pola penyebaran dari masingmasing jenis tersebut. Jenis medang (Litsea spp.) untuk tingkat pohon mempunyai pola penyebaran acak, hal ini dapat dilihat pada plot I RITH yang mempunyai pola penyebaran acak (nilai Id = 1.00), di plot II mempunyai (Id) sebesar 1.09 atau pola penyebaran acak dan plot III memunyai pola penyebaran yang seragam (Id=0.83). Untuk jenis meranti merah (Shorea spp.) memiliki pola penyebaran yang berkelompok, hal ini dapat dilihat pada nilai indeks Moroshita (Id) > 1. Hal ini dapat dilihat pada plot I konvensional nilai Id-nya sebesar 1.32, plot II (1.68) dan plot III (1.81).
Jenis ubar mempunyai pola penyebaran yang relatif seragam, hal ini dapat dilihat dari nilai (Id) < 1, misalnya pada plott I RITH sebesar 0.65, plot II (0.54). Untuk tingkat semai pola penyebaran jenis untuk semua jenis memiliki pola penyebaran berkelompok.
V. KESIMPULAN
1. Kedua petak pemanenan kayu ini memiliki jumlah jenis maupun keragamannya tidak banyak berbeda seperti medang (Litsea spp.), meanti merah (Shorea spp.) dan ubar (Eugenia spp.) hampir terdapat di setiap petak masuk peringkat karena

e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

4

nilai INP tinggi bahan sebagian besar menduduki peringkat pertama baik sebelum maupun sesudah pemanenan kayu. 2. Perubahan peringkat INP pada sistem silvikultur TPTI tidak mencolok penurunan jumlah individu dalam satu jenis dan hilangnya jenis dalam satu petak tidak banyak, hal ini disebabkan pohon-pohon ditebang berdiameter besar (>60 cm). 3. Hilangnya suatu jenis dalam petak selain diakibatkan oleh kegiatan penebagan dan penyaradan, juga disebabkan pola peneybaran jenis dan jumlah masingmasing individu bervariasi. Peluang hilangnya suatu jenis sangat besar bila individu jenis tersebut jumlahnya sedikit dan pola penyebaran jenisnya seragam (homogen).
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1993. Pedoman dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Ditjen Pengusahaan Hutan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Muhdi. 2001. Studi Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Kayu dengan Teknik Pemanenan Kayu Berdampak Rendah dan Konvensional di Hutan Alam (Studi Kasus di Areal HPH PT Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat). Tesis Pascasarjana IPB Bogor. Tidak Diterbitkan.

Soerianegara, I dan A Indrawan. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan IPB Bogor. Bogor.
Sularso, H. 1996. Analisis Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Kayu Terkendali dan Konvensional Pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Tesis Pascasarjana IPB Bogor. Tidak Diterbitkan.
Suparto, R.S. 1979. Eksploitasi Hutan Modern. Fakultas Kehutanan IPB Bogor. Bogor.

e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

5