TEKNIK KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA PENDAMPINGAN PSIKOLOGIS KORBAN PELECEHAN SEKSUAL DI “RIFKA ANNISA WOMEN CRISIS CENTER” YOGYAKARTA

(1)

Teknik Komunikasi Terapeutik pada Pendampingan Psikologis Korban Pelecehan Seksual di “Rifka Annisa Women Crisis Center” Yogyakarta

SKRIPSI

(Disusun untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Srata 1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi – Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta)

Disusun Oleh : Ramadhiansyah

20120530125

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

Teknik Komunikasi Terapeutik pada Pendampingan Psikologis Korban Pelecehan Seksual di “Rifka Annisa Women Crisis Center” Yogyakarta

SKRIPSI

(Disusun untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Srata 1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi – Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta)

Disusun Oleh : Ramadhiansyah

20120530125

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(3)

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Ramadhiansyah NIM : 20120530125

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan : Ilmu Komunikasi

Konsentrasi : Public Relations

Universitas : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri dan seluruh sumber yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Apabila dikemudian hari karya saya ini terbukti merupakan plagiat/menjiplak karya orang lain maka saya bersedia dicabut gelar kesarjanaanya.

Yogyakarta, 2016


(4)

MOTTO

Barang siapa melapangkan kesusahan (kesempitan) untuk seorang mukmin di dunia

maka Allah akan melapangkan baginya kesusahan dari kesusahan-kesusahan pada hari

kiamat, dan barang siapa memudahkan kesukaran seseorang maka Allah akan

memudahkan baginya di dunia dan akhirat.

(HR. Muslim)

Dan Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan

memberinya jalan keluar dari setiap kesulitan yang dihadapinya, dan

memberinya rezeki dari arah yang tidak terduga-duga.


(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Segenap cinta darimu Alloh atas segala karunia dan nikmat

yang engkau berikan, dan kemudahan sehingga aku bisa

merasakan betapa indah hidup ini, Banyak pengalaman

hidup yang aku rasakan, senang, susah, dan perjuangan

semua tidak akan berjalan dengan lancar tanpa adanya cinta

dari orang-orang disampingku, cinta dari Orang tuaku,

yang memberiku inspirasi dan memberikan kebahagiaan

dalam hidupku.

Alhamdulillah akhirnya aku menyelesaikan tugas ini dan ini

kupersembahkan untuk orang-orang yang kusayangi


(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam senantiasa tercurah ke haribaan hamba dan utusan-Nya, Muhammad bin „Abdullah, penutup para Nabi, beserta keluarganya yang suci, para Sahabatnya yang mulia dan segenap umatnya yang mengikuti petunjuk beliau hingga hari akhir.

Alhamdulillah, dengan seizinNya penulis berhasil menyelesaikan skripsi yang berjudul “Teknik Komunikasi Terapeutik pada Pendampingan Psikologis Korban Pelecehan Seksual di Rifka Annisa Women Crisis Center Yogyakarta”. Adapun tujuan dari penyusunan skripsi ini adalah untuk memperoleh gelar sarjana (S-1) Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kelemahan dan kekurangan yang perlu diperbaiki. Dengan rasa hormat, penulis menyampaikan maaf yang sedalam-dalamnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan penulis dalam menciptakan proses pembelajaran yang baik bagi penulis dan sebagai sarana perbaikan karya tulis di masa yang akan datang. Tidak lupa penulis juga berterimakasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang yang telah mencurahkan waktu dan pikirannya, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, dengan segenap kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Haryadi Arief Nuur Rasyid, S.IP., M.Sc selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Ibu Sovia Sitta Sari, S.IP., M.Si selaku dosen pembimbing I yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih untuk setiap ilmu dan nasehat yang


(7)

diberikan atas penelitian ini.

3. Ibu Dr. Suciati, S.Sos., M.Si selaku dosen penguji I. Terima kasih telah meluangkan banyak waktu selama ujian maupun selama penulis menyusun skripsi ini.

4. Ibu Ayu Amalia, S.Sos., M.Si selaku dosen penguji II. Terima kasih telah meluangkan banyak waktu selama ujian maupun selama penulis menyusun skripsi ini.

5. Orang tuaku tercinta, tersayang yang selalu mendoakan aku dan memberikan semangat dalam hidupku.

6. Bapak/ Ibu Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi terima kasih atas ilmu yang telah diberikan selama di bangku perkuliahan.

7. Bapak Mujono, Pak Muryadi dan Mba Siti, TU Jurusan Komunikasi, atas kemudahannya melengkapi berkas administrasi dan senantiasa memberikan informasi demi kelancaran jalannya skripsi.

8. Mba Novia Dwi Rahmaningsih, Mba Wulan, Mba Nurul dan Mas Tri dari Rifka Annisa yang telah berkenan hati direpotkan ini dan itu untuk melengkapi data yang dibutuhkan. 9. Teman-teman IK ‟12 yang telah banyak menyisakan kenangan dan pengalaman hidup.

Kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini, terima kasih atas dukungan dan bantuannya. Saya berharap skripsi ini bisa bermanfaat untuk siapa saja yang ingin belajar dan mengeksplorasi fenomena yang berada disekelilingnya.

Yogyakarta, 2016 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Pengesahan ... ii

Halaman Pernyataan Keaslian Skripsi ... iii

Halaman Motto ... iv

Halaman Persembahan ... v

Kata Pengantar ... vi

Daftar Isi ... viii

Daftar Tabel ... xi

Daftar Gambar ... xii

Abstrak ... xiii

Abstract ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Kerangka Teori ... 10

1. Komunikasi Terapeutik ... 10

F. Metodologi Penelitian ... 15

1. Jenis Penelitian ... 15

2. Lokasi Penelitian ... 16

3. Informan ... 16

4. Teknik Pengumpulan Data ... 18


(9)

b. Studi Pustaka ... 19

5. Teknik Analisis Data ... 19

a. Pengumpulan Data ... 19

b. Reduksi ... 19

c. Penyajian Data ... ... 20

d. Kesimpulan ... 20

6. Uji Validitas Data ... 20

BAB II DESKRIPSIUMUM RIFKA ANNISA WOMEN CRISIS CENTER YOGYAKARTA A. Sejarah Pendirian ... 21

B. Letak Geografis ... 22

C. Visi dan Misi ... 23

D. Tujuan ... 24

E. Layanan ... 24

F. Program ... 26

Penelitian Terdahulu ... 28

BAB III SAJIAN DATA DAN ANALISIS DATA A. Sajian Data ... 33

1. Informan I : Novia dan Bunga ... 33

2. Informan II : Wulan dan Mawar ... 47

B. Analisis Data... 58

1. Komunikasi Terapeutik ... 58


(10)

3. Teknik Komunikasi Terapeutik Wulan dan Mawar ... 69 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 76 B. Saran ... 77 Daftar Pustaka


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 – Daftar Nama Informan Penelitian ... 18 Tabel 2 – Teknik-Teknik Komunikasi Terapeutik para Informan ... 55


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 – Gedung Rifka Annisa Yogyakarta ... 22 Gambar 2 – Ruang Konseling Rifka Annisa Yogyakarta ... 26


(13)

(14)

ABSTRAK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi

Konsentrasi Public Relation Ramadhiansyah (20120530125)

Teknik Komunikasi Terapeutik pada Pendampingan Psikologis Korban Pelecehan Seksual di “Rifka Annisa Women Crisis Center” Yogyakarta

Tahun Skripsi: 2016 + 77 Halaman + 2 Tabel + 2 Gambar + 14 Lampiran Daftar Pustaka : 16 Buku + 8 Sumber Online (Internet)

Kasus pelecehan seksual di Yogyakarta setiap tahun meningkat tajam dan sebagian besar dialami remaja perempuan. Kompleksitas permasalahan yang dihadapi korban perlecehan seksual membuat mereka butuh akan dampingan dan dukungan dari lingkungan sekitarnya untuk mengurangi kekhawatiran, ketakutan, dan perasaan tertekan, hingga memberi dukungan untuk tetap beraktifitas sebagaimana mestinya. Adanya permasalahan pelecehan seksual yang dialami oleh remaja perempuan memberikan perhatian khusus bagi para aktivis perempuan, salah satunya Rifka Annisa Women Crisis Center Yogyakarta. Salah satu upaya penyembuhan akibat dari pelecehan seksual yang dialami korban adalah dengan komunikasi terapeutik. Dalam memberikan asuhan keperawatan, komunikasi terapeutik memegang peranan penting untuk membantu pasien dalam memecahkan masalah.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana teknik komunikasi terapeutik pada pendampingan korban pelecehan seksual di Rifka Annisa Yogyakarta. Kerangka teori yang digunakan adalah komunikasi terapeutik. Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk deskriptif kualitatif. Lokasi penelitian berada di Rifka Annisa Yogyakarta. Teknik pengambilan informan berupa Snowball sampling. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara dan studi pustaka. Teknik analisa data adalah deskripsi kualitatif. Uji validitas data yang digunakan adalah trianggulasi teknik.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa pendampingan yang dilakukan pasangan I hampir semuanya menggunakan teknik komunikasi terapeutik kecuali teknik mengarahkan pembicaraan. Sedangkan pada pasangan II, terdapat tiga teknik terapeutik yang tidak digunakan seperti teknik mengulang kembali, diam, dan pertanyaan terbuka. Namun kedua pasangan sudah menerapkan teknik komunikasi terapeutik mereka dengan baik sehingga tercapainya tujuan terapeutik pada klien yang sudah pada tahap berdaya baik secara psikologis maupun sosial.

Kata Kunci: Teknik Komunikasi Terapeutik, Pendampingan Psikologis, Korban Pelecehan seksual.


(15)

ABSTRACT Universitas of Muhammadiyah Yogyakarta

faculty of Social Science and Political Science Department of Communication

Concentration Public Relations Ramadhiansyah (20120530125)

Therapeutic Communication Techniques in Psychological Assistance Victims of Sexual Abuse in the "Rifka Annisa Women's Crisis Center" Yogyakarta

Thesis Year: 2016 + 77 Pages + 2 Table + 2 Figure + 14 Enclosures References: 16 Books + 8 Sources Online (Internet)

Cases of sexual harassment in Yogyakarta each year has risen sharply and largely experienced by adolescent girls. The complexity of the problems faced by victims of sexual perlecehan making them will need assistance and support from the surrounding environment to reduce anxiety, fear, and distress, to provide support to keep their activities accordingly. The existence of the problem of sexual harassment experienced by adolescent girls give particular attention to women activists, one of them Rifka Annisa Women's Crisis Center in Yogyakarta. One effort to cure a result of the sexual abuse suffered by victims is the therapeutic communication. In providing nursing care, therapeutic communication plays an important role to help patients in solving the problem.

The purpose of this study was to describe how therapeutic communication techniques in assisting victims of sexual abuse in the Rifka Annisa Yogyakarta. Theoretical framework used is therapeutic communication. The research methodology used in this study is qualitative descriptive. The research location is in Yogyakarta Rifka Annisa. The technique of taking the form of snowball sampling. Methods of data collection using interviews and literature. Data analysis technique is a qualitative description. Test the validity of the data used is triangulation techniques.

This study concluded that the assistance that made the couple I most use of therapeutic communication techniques except technique to steer the conversation. While the pair II, there are three therapeutic techniques that do not use such techniques to repeat, silent, and open questions. But both couples have applied their therapeutic communication techniques well as conveying the message slowly and there is no compulsion for clients victims of sexual abuse to carry out assistance, so as to achieve therapeutic purposes in clients who are already at the stage of helplessness both psychologically and socially.

Keywords: Therapeutic Communication Techniques, Psychological Assistance, Victims of sexual harassment.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini banyak kita temui kasus pelecehan seksual yang sering oleh remaja perempuan. Pelecehan seksual merupakan sifat dan perilaku seksual yang tidak diinginkan atau tindakan yang didasarkan pada seks yang menyinggung si penerima. Pelecehan seksual dapat terjadi dimana saja baik tempat umum seperti bis, pasar, sekolah, kantor, maupun di tempat pribadi seperti rumah. Kasus pelecehan seksual sebagian besar dialami perempuan. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat pada tahun 2015 terdapat 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan, berarti sekitar 881 kasus setiap hari. Angka tersebut didapatkan dari pengadilan agama sejumlah 305.535 kasus dan lembaga mitra Komnas Perempuan sejumlah 16.217 kasus.

Menurut pengamatan mereka, angka kekerasan terhadap perempuan meningkat 9% dari tahun sebelumnya. Kekerasan seksual termasuk bentuk kekerasan paling menonjol sampai sejumlah kalangan menilai Indonesia sedang berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual (http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160516_indonesia_keke rasan_seksual, akses 14 juni 2016). Remaja perempuan seringkali menjadi korban merasa tidak mampu melawan pelaku, dan bersikap pasrah. Seperti kasus Ag (15), seorang gadis Manado yang kemaluannya ditusuk pakai kayu oleh empat pria


(17)

hingga sobek dan harus dioperasi. Oleh karena itu, untuk melindungi perempuan perlu adanya usaha menciptakan keadilan dalam kehidupan ini. Permasalahan ini menjadi hal yang sangat menarik untuk diteliti, mengingat kasus pelecehan seksual terus menerus terjadi di tengah-tengah masyarakat, bahkan seakan-akan tiada habisnya.

Seperti Peristiwa tragis menimpa remaja 14 tahun bernama Yuyun di kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu pada sabtu 2 april 2015. Saat dalam perjalanan pulang dari sekolah, kepala Yuyun diduga dipukul menggunakan kayu, kaki dan tangannya diikat, kemudian lehernya dicekik. Lalu secara bergiliran pelaku yang berjumlah 14 orang memerkosa Yuyun di kebun karet. Jasadnya ditemukan dua hari kemudian di jurang dalam kondisi tertutup daun pakis yang masih segar. (Fajri, http://news.okezone.com/read/2016/05/04/340/1380243/ini-kronologi-pemerkosaan-yuyun-di-bengkulu?page=1, akses 14 juni 2016).

Kasus yang sama juga dialami Seorang gadis muda bernama Enno Fariah (18) ditemukan tewas dalam keadaan babak belur dan tanpa busana di dalam kamar, di Jalan Raya Perancis Pergudangan 8 Dadap, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang pada Jumat (13/5). Selain tewas dengan kondisi bersimbah darah, sebuah cangkul juga dilaporkan tertancap di kemaluannya. Gagang cangkul tersebut masuk kurang lebih 60 sentimeter ke dalam kemaluan korban. Kuat dugaan, Enno merupakan korban pembunuhan dan

pemerkosaan. (Banu Adikara,

http://wartakota.tribunnews.com/2016/05/13/breaking-news-wanita-muda-ditemukan-tewas-dengan-gagang-cangkul-di-kemaluan, akses 14 juni 2016)

Kasus pelecehan seksual di Yogyakarta setiap tahun meningkat tajam. Begitu pula dengan kota-kota lainnya juga seperti Sragen, Surabaya, dan Bandung. Kabupaten Sragen, Jateng, yaitu sebanyak 18 anak di bawah umur tercatat menjadi korban kasus perkosaan dan pencabulan selama kurun Januari-Juli 2016. Sementara itu kota Surabaya, data Unit Perlindungan Perempuan dan


(18)

Anak tercatat dalam tiga bulan terakhir sudah ada 23 kasus tindak pidana pencabulan dan persetubuhan di wilayah hukum Polrestabes Surabaya. Sedangkan di kota Bandung berdasarkan Unit PPA Satreskrim Polresta Bandung, Informasi yang dihimpun Tribun, kasus kekerasan seksual pada 2014 tercatat sebanyak 82 kasus. Sedangkan pada 2015, tercatat 91 kasus kekerasan seksual. Adapun kasus kekerasan seksual pada 2016 tercatat sebanyak 26 kasus (Cis, http://jabar.tribunnews.com/2016/05/12/kasus-kekerasan-seksual-terhadap-anak-di-bandung-meningkat-ini-pemicunya).

Hingga pada akhirnya korban mengalami berbagai dampak setelah kekerasan secara seksual terjadi. Dampak kekerasan seksual pertama yaitu Depresi "Korban pelecehan seksual dapat mengalami depresi untuk jangka panjang", kata Blackstone. Dalam sebuah penelitian terbaru terhadap 1.000 orang remaja, Blackstone menemukan bahwa seseorang yang dilecehkan secara seksual pada usia remaja dan usia awal 20-an dapat mengalami gejala depresi saat berusia 30-an tahun. Dampak kedua yaitu Post-traumatic stress disorder (PTSD), banyak penelitian telah menemukan hubungan antara pelecehan seksual dan gejala Post-traumatic stress disorder (PTSD), seperti mengalami trauma dan menghindari orang atau hal-hal yang mengingatkan korban pada peristiwa pelecehan.

Dampak ketiga menaikkan tekanan darah, para peneliti menemukan hubungan yang nyata antara pelecehan seksual dan tekanan darah tinggi pada perempuan. Pelecehan seksual dapat memicu reaksi fisiologis yang sama seperti stres dan diduga meningkatkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah. Dampak keempat Gangguan tidur, korban pelecehan terkadang terbangun di


(19)

malam hari merenungkan kejadian atau peristiwa yang dapat menjadi sumber mimpi buruk. Dampak kelima Bunuh diri, Sebuah penelitian di tahun 1997 terhadap lebih dari 1.000 orang siswi sekolah di Kanada menunjukkan bahwa pelecehan seksual dapat menyebabkan perilaku bunuh diri.

Dampak keenam Nyeri Leher, Menurut sebuah penelitian di Kanada yang diterbitkan tahun ini dan melibatkan hampir 4.000 orang perempuan, pelecehan seksual dapat menyebabkan sakit fisik. Dalam penelitian tersebut, perempuan yang mengalami nyeri leher 1,6 kali lebih mungkin melaporkan mengalami perhatian seksual yang tidak diinginkan (Putro Agus,

http://health.detik.com/read/2011/11/10/173224/1764867/763/6-gangguan-kesehatan-pada-wanita-korban-pelecehan-seksual, akses 13 juni 2016).

Kepala Bidang Perlindungan Hak-hak Perempuan dan Perlindungan Anak, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat DIY, Waty Marliawati mengatakan peristiwa kekerasan seksual di Yogyakarta masih menjadi permasalahan. Berdasarkan catatannya, angka kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Yogyakarta sebanyak 400-an kasus pada 2014. Angka itu meningkat tajam pada 2015. Hingga Oktober angka kekerasan seksual mencapai 1.400-an kasus. Tingginya kekerasan itu karena telah muncul kesadaran di masyarakat untuk melaporkan peristiwa yang dialami. Faktor pemicunya berasal dari pengaruh teknologi, lingkungan sekolah, ketidakharmonisan dalam rumah tangga, minimnya pengetahuan sitem reproduksi, bahkan sistem hukum yang belum memberikan perlindungan terhadap korban (Ahmad Mustaqim,


(20)

Kompleksitas permasalahan yang dihadapi korban perlecehan seksual membuat mereka butuh akan dampingan dan dukungan dari lingkungan sekitarnya untuk mengurangi kekhawatiran, ketakutan, dan perasaan tertekan, hingga memberi dukungan untuk tetap beraktifitas sebagaimana mestinya. Proses pendampingan bukanlah hal yang mudah dilakukan, karena harus memperhatikan latar belakang korban, kepribadian, hingga karakter yang beragam. Perlu pendekatan khusus untuk mengubah perilaku dan mindset korban hingga bisa mengurangi trauma, tekanan dan bahkan bisa beraktifitas sebagaimana mestinya. Salah satu upaya penyembuhan akibat dari pelecehan seksual yang dialami korban adalah dengan komunikasi terapeutik.

Komunikasi terapeutik adalah proses hubungan antara klien dan konselor yang mempunyai nilai-nilai penyembuhan dan akhirnya dapat mencapai tujuan konseling (Saam, 2013:11). Dalam hubungan ini klien merasa dihargai, diterima dan diarahkan. Klien secara sukarela akan mengekspresikan perasaan dan pikirannya, sehingga beban emosi dan ketegangan yang dirasakannya dapat hilang sama sekali dan kembali seperti semula (Suciati, 2015: 201). Menurut Stuart, G.W. (1998) tujuan hubungan terapeutik difokuskan pada pertumbuhan klien yang meliputi: Pertama, realisasi diri dan peningkatan penghormatan terhadap diri. Kedua, rasa identitas individu yang jelas dan peningkatan intergritas diri. Ketiga, kemampuan dalam membina hubungan interpersonal yang dekat dan saling tergantung dengan kapasitas untuk mencintai atau dicintai. Keempat, peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan individu yang realistis (Setyoadi dan Kushariyadi, 2011:19).


(21)

Menciptakan hubungan yang baik antara pendamping dan korban merupakan langkah awal keberhasilan konseling. Dalam memberikan asuhan keperawatan, komunikasi terapeutik memegang peranan penting untuk membantu pasien dalam memecahkan masalah (Purwanto, 1994:19). Proses pendampingan tidak lepas dari kegiatan komunikasi dari pihak yang terkait baik pendamping maupun keluarga untuk mengubah pola pikir (mindset) dan mendukung korban agar tidak terpuruk sehingga bisa beraktifitas dengan normal.

Adanya permasalahan pelecehan seksual yang dialami oleh remaja perempuan memberikan perhatian khusus bagi para aktivis perempuan, salah satunya Rifka Annisa Women Crisis Center Yogyakarta. Lembaga ini memulai aktivitasnya secara khusus dengan mendampingi perempuan korban kekerasan oleh suami, kekerasan dalam pacaran, kekerasan dalam keluarga sekaligus sebagai wadah yang mampu mengakomodir aspirasi dari aktivitas perempuan dan korban pelecehan seksual baik secara psikis dan fisik yang sering dialami oleh remaja perempuan. Rifka Annisa yang berarti “teman perempuan” adalah women’s crisis center yang mengkhususkan layanannya kepada perempuan, terutama perempuan korban pelecehan seksual dan berusaha mengadakan pendampingan terhadap perempuan yang menjadi korban tindakan kekerasan kaum laki-laki, bersama masyarakat berusaha membela dan menjaga hak-hak perempuan. Perkumpulan Rifka Annisa juga mengkhususkan pada upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia melalui upaya pendampingan langsung terhadap korban, advokasi dan kampanye serta pengorganisasian masyarakat. Saat ini perkumpulan Rifka Annisa sebagai pusat krisis juga merupakan pusat pengembangan sumber


(22)

daya untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan (http://www.rifka-annisa.org/id/Menuju/gerakan/sosial/penghapusan/kekerasanterhadap/perempuan, akses 17 Maret 2016).

Pendampingan psikologis yang dilakukan oleh Rifka Annisa bagi perempuan korban bertujuan untuk mengantarkan perempuan hingga ke tahap berdaya. Tingkat keberdayaan diukur melalui beberapa indikator yaitu kontrol diri dan tanggung jawab yang semakin meningkat, keinginan untuk berubah, bahagia, menghargai diri sendiri, bersemangat, dan mampu mengontrol emosi. Pendampingan psikologis dapat dilakukan melalui tatap muka, surat elektronik, serta telepon. Dalam kasus tertentu, Rifka Annisa juga melakukan layanan penjangkauan (http://www.rifka-annisa.org/id/layanan/konseling-psikologis, akses 17 Maret 2016).

Lembaga perlindungan perempuan korban kekerasan sudah terbentuk dan tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Di Yogyakarta diantaranya yaitu Lembaga Studi dan pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA), P2TP2A Rekso Dyah Utami (P2TP2A), Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY, LBH APIK JOGJA (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) dan YASANTI (Yayasan Annisa Swasti). Namun peneliti memilih Rifka Annisa menjadi tempat penelitian karena Rifka Annisa merupakan Pusat Krisis Perempuan yang pertama di Indonesia sejak tahun 1993 jadi banyak lembaga lain yang belajar dari Rifka Annisa (Wawancara, Budi Wulandari, Psikolog di Rifka Annisa, 13 Juni 2016), karena sebagai Pusat Krisis Perempuan yang pertama inilah Rifka Annisa banyak dirujuk sebagai tujuan kunjungan baik


(23)

dari instansi, institusi pendidikan baik dalam maupun luar negeri (Company Profile Rifka Annisa, hal 36). Selain itu, Rifka Annisa telah berkembang menjadi lembaga yang profesional. Banyak kasus tentang pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan yang ditangani lembaga ini. Pada tahun 2012 Rifka Annisa menangani sebanyak 289 kasus, tahun 2013 mencapai 296 kasus, kemudian tahun 2014 ada 224 kasus, dan pada tahun 2015 sebanyak 255 kasus (Data Kasus Rifka Annisa Tahun 2012-2015). Keberadaan Rifka Annisa inilah yang selanjutnya menjadi titik perhatian peneliti sehingga tertarik untuk mendeskripsikan komunikasi terapeutik yang Rifka Annisa lakukan pada pendampingan korban pelecehan seksual dalam mencegah terjadinya praktek pelecehan seksual dan upaya untuk penyembuhan korban trauma pelecehan seksual.

Dalam penelitian ini, yang dimaksudkan dengan korban pelecehan seksual adalah remaja perempuan yang mengalami tindakan seksual oleh laki-laki. Adapun tindakan pelecehan seksual tersebut dapat berupa siulan nakal, gurauan dan olok-olok seks, pernyataan mengenai tubuh atau penampilan fisik, nyolek atau mencubit, memandang tubuh dari atas hingga ke bawah, meremas tangan, dipegang payudaranya, mencium dengan mencuri, memperlihatkan gambar porno, memperkosa, menyodomi dan banyak ragam tindakan lainnya. Penelitian ini berfokus pada kasus pelecehan seksual remaja perempuan antara umur 15–19 tahun. Umur 15-19 tahun dipilih peneliti karena umur inilah yang paling banyak mengalami pelecehan Seksual dan Perkosaan di Rifka Annisa. Pada tahun 2013 sebanyak 27 kasus, tahun 2014 ada 14 kasus dan tahun 2015 sebanyak 22 kasus (Data kasus pelecehan seksual berdasar usia korban di Rifka Annisa Women Cricis Center).


(24)

Oleh karena itu berdasarkan data diatas peneliti akan melakukan penelitian bagaimana para pendamping yang ada di Rifka Annisa Women Crisis Center melakukan pendampingan psikologis korban pelecehan dengan menggunakan teknik komunikasi terapeutik.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti mengambil rumusan masalah yaitu: bagaimanakah komunikasi terapeutik pada pendampingan korban pelecehan seksual di Rifka Annisa Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana teknik komunikasi terapeutik pada pendampingan korban pelecehan seksual di Rifka Annisa Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Sebagai sumbangan ilmu pengetahuan dan referensi di bidang komunikasi, khususnya kajian komunikasi terapeutik pada pendampingan korban pelecehan seksual.


(25)

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Lembaga “Rifka Annisa”, dapat digunakan sebagai kontribusi positif untuk meningkatkan kualitas pemberian kajian mengenai komunikasi terapeutik dari para pendamping kepada para korban di lembaga tersebut. b. Memberikan masukan atau saran yang terkait dengan komunikasi terapeutik

bagi lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang pendampingan perempuan lainnya tentang pentingnya komunikasi terapeutik untuk mendampingi remaja perempuan korban pelecehan seksual.

E. Kerangka Teori

Kerangka teori digunakan sebagai alat untuk memperjelas jalannya penelitian. Kerangka teori berisi konsepsi tahap penelitian secara teoritis, dibuat secara sederhana dari sebuah kinerja penelitian yang dapat mempermudah pemahaman dan penalaran bagi peneliti. Kerangka teori juga mampu menghindari terjadinya kesalahpahaman dalam proses penelitian, sehingga tujuan maupun manfaat dari penelitian ini tetap pada konteksnya.

Peneliti menggunakan kerangka teori untuk menjelaskan masalah yang berkaitan dengan penelitian ini yakni difokuskan pada upaya komunikasi terapeutik dalam pendampingan bagi korban trauma pelecehan seksual.

1. Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik adalah proses hubungan antara klien dan konselor yang mempunyai nilai-nilai penyembuhan dan akhirnya dapat mencapai tujuan


(26)

konseling (Saam, 2013:11). Pembahasan mengenai konsep komunikasi terapeutik tidak dapat terlepas dari hubungan terapeutik. Hubungan terapeutik menjadi dasar bagi klien untuk merasa dimengerti, nyaman dalam mendiskusikan masalah, mengeksplorasi cara yang tepat dalam memenuhi kebutuhan emosional, dan mengembangkan hubungan yang memuaskan (Setyoadi dan Kushariyadi, 2011: 20).

Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling memberikan pengertian antar perawat dengan pasien. Persoalan mendasar dari komunikasi ini adalah adanya saling kebutuhan antara perawat dan pasien, sehingga dapat dikategorikan ke dalam komunikasi pribadi diantara perawat dan pasien, perawat membantu dan pasien menerima bantuan (Purwanto, 1994:20).

a. Fungsi

Fungsi komunikasi terapeutik adalah untuk mendorong dan menganjurkan kerja sama antara perawat dan pasien melalui hubungan perawat dan pasien. Perawat berusaha mengungkapkan perasaan, mengidentifikasi dan mengkaji serta mengevaluasi tindakan yang dilakukan dalam perawatan. Proses komunikasi yang baik dapat memberikan pengertian tingkah laku pasien dan membantu pasien untuk dalam rangka mengatasi persoalan yang dihadapi pada tahap perawatan. Sedangkan pada tahap preventif kegunaanya adalah mencegah adanya tindakan yang negatif terhadap pertahanan diri pasien (hal 21).


(27)

b. Tujuan

Menurut Stuart, G.W. (1998) tujuan hubungan terapeutik difokuskan pada pertumbuhan klien yang meliputi: Pertama, realisasi diri dan peningkatan penghormatan terhadap diri. Kedua, rasa identitas individu yang jelas dan peningkatan intergritas diri. Ketiga, kemampuan dalam membina hubungan interpersonal yang dekat dan saling tergantung dengan kapasitas untuk mencintai atau dicintai. Keempat, peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan individu yang realistis (Setyoadi dan Kushariyadi, 2011:19).

c. Teknik-teknik Komunikasi Terapeutik

Dalam menanggapi pesan yang disampaikan pasien, seorang terapis dapat menggunakan teknik komunikasi terapeutik. Adapun teknik-teknik komunikasi terapeutik menurut Heri Purwanto, 1994, dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Untuk Perawat menjelaskan bahwa ada beberapa teknik dalam komunikasi terapeutik. Teknik-teknik tersebut antara lain: 1) Mendengarkan dengan aktif

Menjadi pendengar yang baik merupakan ketrampilan dasar dalam melakukan hubungan perawat terhadap pasien. Dengan demikian perawat dapat mengetahui perasaan dan pikiran pasien. Selama mendengarkan, secara aktif perawat mengikuti apa yang dibicarakan pasien dan memperhatikan perhatiannya. Perawat memberikan tanggapan dengan tepat dan tidak memotong pembicaraan pasien.


(28)

2) Memberi kesempatan kepada pasien untuk memulai pembicaraan Pasien yang terdorong melalui komunikasi terbuka tidak akan kehilangan kebebasannya sebaliknya mereka mendapatkan kebebasan untuk menghargai pandangan dan cara hidupnya dalam cara-cara baru (Abraham & Shanley, 1997:97). Bagi pasien yang merasa ragu-ragu dan tidak pasti tentang peranannya dalam suatu interaksi, maka perawat dapat mengarahkan pasien.

3) Memberikan penghargaan

Memberikan salam kepada pasien dengan menyebutkan namanya, menunjukkan kesadaran tentang perubahan yang terjadi, menghargai pasien sebagai manusia seutuhnya yang mempunyai hak dan tanggung jawab atas dirinya sendiri sebagai individu.

4) Mengulang kembali

Menunjukkan bahwa pendamping sedang mendengarkan, memvalidasi, menguatkan, dan mengembalikan perhatian pada sesuatu yang telah diucapkan pasien (Setyoadi dan Kushariyadi, 2011:29). 5) Refleksi

Refleksi (reflection) adalah mengarahkan kembali ide, perasaan, pertanyaan dan isi pembicaraan kepada klien. Tujuan refleksi adalah untuk melakukan validasi terhadap pengertian penerapi tentang apa yang diucapkan klien, serta melakukan empati, minat, dan penghargaan klien.


(29)

6) Klarifikasi

Teknik ini untuk menjelaskan upaya dalam membantu mengungkapan pikiran yang dikemukakan pasien yang kurang jelas bagi perawat, agar tidak terjadi salah pengertian.

7) Mengarahkan pembicaraan

Perawat membantu pasien untuk memfokuskan pembicaraan agar lebih spesifik dan terarah. Biasanya teknik ini diperlukan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam tentang suatu masalah. 8) Membagi persepsi

Teknik ini digunakan perawat untuk mengungkapkan persepsinya tentang pasiennnya dan meminta umpan balik dari pasien. 9) Diam

Max Picard menyatakan bahwa diam tidak semata-mata mengandung arti bersikap negatif, tetapi juga melambangkan sikap positif. Banyak orang mengambil sikap diam karena tidak mau menyatakan sesuatu yang menyakitkan orang lain. (Cangara, 1998: 115).

10) Memberi informasi

Memberikan informasi kepada pasien mengenai hal-hal yang belum diketahuinya atau bila pasien bertanya memberikan informasi. Teknik ini juga sebagai suatu cara untuk membina hubungan saling percaya dengan pasien sehingga menambah pengetahuan pasien


(30)

yang akan berguna baginya untuk mengambil keputusan secara realistik.

11) Memberi saran

Bryne dan long menekankan pentingnya memberi saran pada pasien dan menjalin rasa percaya. Cara ini penting untuk mempengaruhi kesan pertama pada pendamping yang pada kebalikannya menentukan keinginan pasien untuk mendiskusikan masalahnya (Abraham & Shanley, 1997:106).

12) Eksplorasi

Teknik ini berguna untuk menggali lebih dalam ide-ide, pengalaman, masalah pasien yang perlu diketahui. Dengan menggunakan teknik-teknik komunikasi terapeutik, maka akan mengembangkan hubungan komunikasi yang terjalin antara pendamping dengan pasien, apa yang dialami oleh pasien, pendamping dapat mengerti serta memahaminya, sehingga pasien akan merasa dihargai sepenuhnya.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini berbentuk deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2002:3). Penelitian ini bertujuan menggambarkan secara sistematik dan akurat


(31)

fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu (Azwar, 2007:7). Dalam penelitian ini peneliti mencoba untuk mendeskripsikan komunikasi terapeutik yang diterapkan oleh pendamping kepada pasien trauma di Rifka Annisa Yogyakarta. Berdasarkan pada definisi di atas, maka istilah pendampingan dalam penelitian ini lebih ditekankan pada kegiatan seorang pendamping dalam membantu pasien trauma pelecehan seksual sebagai yang didampingi dalam rangka pemulihan kembali kondisi pasien trauma sehingga pasien tersebut mampu untuk menjalani aktifitas seperti remaja normal lainnya.

2. Lokasi

Lokasi penelitian berada di Rifka Annisa WCC Jl. Jambon 4 No. 69A, Kompleks Jatimulyo Indah, Daerah Istimewa Yogyakarta.

3. Informan

Informan yaitu orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian (Moleong, 2002:90). Teknik pengambilan informan menggunakan teknik bola salju (snowball sampling) yaitu pendekatan untuk menempatkan informan yang kaya dari informasi kecil atau kasus kritis (Puspo, 2009:89). Dalam penelitian ini informannya sebagai berikut:

a. Pendamping dipilih melalui beberapa tahap dan rekomendasi dari Rifka Annisa Yogyakarta. Informan pendamping I dalam penelitian ini adalah Novia Dwi Rahmaningsih, salah seorang pendamping yang sudah 2 tahun lebih menjadi pendamping di Rifka Annisa khususnya


(32)

mengenai pelecehan seksual terhadap remaja. Novia Dwi Rahmaningsih menjadi pendamping untuk pasien remaja perempuan karena usia beliau juga yang masih 24 tahun hingga lebih bisa mengajak pasien remaja berkomunikasi dengan baik. Cara yang sering dilakukan oleh Novia Dwi Rahmaningsih adalah berbicara dengan bahasa „terkini‟ remaja tersebut dan juga tentang pengalamannya yang hampir sama dengan pasien (Wawancara Novia, pendamping di Rifka Annisa, 31 Mei 2016).

Informan pendamping kedua bernama Budi Wulandari yang biasa dipanggil Mbak Wulan, beliau merupakan pendamping yang sudah cukup lama bekerja di Rifka Annisa yaitu dari sejak mei 2011 sampai sekarang dan saat ini menjadi tahun ke enam bagi beliau. Mbak Wulan dipilih menjadi informan pada penelitian ini karena sudah mempunyai banyak pengalaman mengenai pendampingan bagi korban kekerasan seksual remaja khususnya dibidang psikologi. Wanita yang berusia 28 tahun ini juga lulusan di jurusan psikologi. Cara yang sering dilakukan oleh Wulan kepada remaja yang menjadi korban pelecehan seksual adalah menggunakan istilah curhat dalam pendekatannya, sehingga remaja lebih mudah untuk berdikusi (Wawancara, Budi Wulandari, pendamping di Rifka Annisa, 13 Juni 2016).

b. Merupakan klien perempuan korban pelecehan seksual dampingan Rifka Annisa dengan usia 15-19 tahun. Usia tersebut merupakan rentan terhadap berbagai tindak kekerasan maupun pelecehan seksual dalam


(33)

realitas kehidupan saat ini dan juga usia yang paling banyak ditangani Rifka Annisa dalam kasus pelecehan seksual.

No Pendamping Pasien

1. Novia Dwi

Rahmaningsih

Bunga (nama samaran)

2. Budi Wulandari Mawar (nama samaran) Tabel 1. „Daftar nama informan penelitian‟

4. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara (interview)

Wawancara adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara (Arikunto, 1993:126). Data utama dari penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan. Metode ini dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada subyek atau informan yang mengarah kepada fokus penelitian. Sebelum dilakukan wawancara peneliti terlebih dahulu menyusun garis besar pertanyaan yang akan ditanyakan kepada informan. Dalam penelitian ini peneliti bebas menanyakan segala sesuatu hal kepada pendamping di Rifka Annisa secara langsung. Namun karena keterbatasan penelitian, untuk informan klien korban pelecehan seksual peneliti menggunakan tulisan yang berisi intervieuw guide yang akan diberikan oleh pendamping kepada klien tersebut. Jadi peneliti tidak bisa secara langsung mewawancarai klien yang


(34)

bersangkutan dikarenakan merupakan peraturan dari Rifka Annisa yang tidak membolehkan pihak luar bertemu dengan pasien guna menjaga keprivasian rahasia pasien, terlebih lagi peneliti yang seorang lelaki.

b. Studi Pustaka

Dalam pengumpulan data ini, teknik yang digunakan adalah studi pustaka, yaitu mengolah data yang diperoleh dari literatur-literatur seperti buku, majalah, surat kabar, internet, dan berbagai tulisan yang berhubungan dengan penelitian.

5. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar (Moleong, 2002:103). Teknik analisis data menggunakan tahap-tahap sebagai berikut:

a. Pengumpulan data

Pengumpulan data yang dilakukan adalah pengumpulan hasil data penelitian yang diperoleh di lapangan pada saat dilakukan penelitian. Seperti hasil dari melakukan wawancara, arsip, atau dokumentasi yang diperoleh dari hasil penelitian.

b. Reduksi data

Setelah data terkumpul, kemudian data-data tersebut direduksi. Reduksi data yang akan dilakukan peneliti adalah merangkum, memilih hal-hal yang pokok, dan memfokuskan pada hal-hal-hal-hal yang penting sesuai dengan


(35)

tema dan pola yang dicari. Data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti dalam pengumpulan data selanjutnya.

c. Penyajian data

Penyajian data dilakukan dengan menggambarkan fenomena atau keadaan sesuai dengan data yang telah direduksi terlebih dahulu. Penyajian data dilakukan dalam bentuk uraian singkat yang bersifat narasi.

d. Kesimpulan

Kesimpulan adalah hasil dari permasalahan penelitian yang telah diteliti di Rifka Annisa WCC mengenai komunikasi terapeutik pada pendampingan korban pelecehan seksual. Kesimpulan menjelaskan butir-butir temuan (hasil penelitian dan bahasan) yang disajikan secara singkat dan jelas.

6. Uji Validitas Data

Dalam melakukan uji validitas data, peneliti menggunakan triangulasi. Triangulasi yaitu teknik pengecekan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2002:178). Teknik triangulasi yang digunakan adalah pemeriksaan melalui sumber lainnya, jadi data yang dibutuhkan tidak hanya dari satu sumber saja, tetapi berdasar dari sumber lain yang terkait dengan subyek penelitian. Cara triangulasi ini juga memperoleh data dengan jalan membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara yang diperoleh dari penelitian.


(36)

BAB II

DESKRIPSI UMUM RIFKA ANNISA WOMEN CRISIS CENTER YOGYAKARTA

A. Sejarah Pendirian

Rifka Annisa Women Crisis Center yang berarti „Teman Perempuan‟ adalah Organisasi non pemerintah yang berkomitmen pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Didirikan pada 26 Agustus 1993. Organisasi ini berdiri karena keteguhan hati beberapa aktivis perempuan di Yogyakarta, Indonesia, diantaranya Suwarni Angesti Rahayu, Sri Kusyuniati, Latifah Iskandar, Desti Murdijana, Sitoresmi Prabuningrat dan Musrini Daruslan. Para perempuan aktivis ini bermaksud untuk menyediakan dukungan untuk perempuan korban kekerasan. Gagasan pendirian organisasi ini muncul dari kepedulian yang dalam terhadap kecenderungan budaya patriarkhi yang pada satu sisi memperkuat posisi laki-laki dan memperlemah posisi perempuan pada sisi yang lain. Sebagai akibatnya perempuan menjadi rentan terhadap kekerasan seperti perkosaan, pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga dan sebagainya.

Banyak perempuan korban kekerasan telah mengadu ke Rifka Annisa sejak awal pendirian organisasi ini. Selain menyediakan layanan untuk perempuan korban kekerasan (sebagai pusat krisis untuk perempuan), baru-baru


(37)

ini Rifka Annisa menetapkan untuk menjadi pusat pengembangan sumber daya manusia untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia (Company Profile Rifka Annisa, hal 5).

B. Letak Geografis

Rifka Annisa Women Crisis Center Yogyakarta mereupakan organisasi non pemerintah yang berusaha dan berkomitmen mendampingi perempuan korban kekerasan serta membantu dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang saat ini memiliki kantor yang terletak di Jl. Jambon IV, Kompleks Jatimulyo Indah, Yogyakarta 55242 Indonesia.

Gambar 1. „Gedung Rifka Annisa Women Crisis Center tampak dari depan‟


(38)

Adapun batas-batas gedung kantor Rifka Annisa Women Crisis Center Yogyakarta adalah sebagai berikut:

Sebelah utara : Perbatasan Kota Yogyakarta Sebelah timur : Karangwaru

Sebelah selatan : Tegalrejo Sebelah Barat : Mlati

C. Visi dan Misi a) Visi

Mewujudkan tatanan masyarakat yang adil gender yang tidak mentolerir kekerasan terhadap perempuan melalui prinsip keadilan sosial, kesadaran dan kepedulian, kemandirian, integritas yang baik dan memelihara kearifan lokal.

b) Misi

Mengorganisir perempuan secara khusus dan masyarakat secara umum untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan dan menciptakan masyarakat yang adil gender melalui pemberdayaan perempuan korban kekerasan, termasuk di dalamnya anak-anak, lanjut usia, dan diffable, meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat melalui pendidikan kritis dan penguatan jaringan (Company Profile Rifka Annisa, hal 07)..


(39)

D. Tujuan

1) Menyediakan layanan konseling untuk perempuan dan anak korban kekerasan.

2) Mengorganisir masyarakat untuk dapat menangani masalan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di komunitas mereka sendiri.

3) Melakukan gerakan strategis untuk menciptakan perubahan kebijakan bai di tingkat nasional maupun daerah.

4) Memperkuat jaringan dengan menyediakan layanan yang lain untuk perempuan dan anak korban kekerasan serta organisasi-organisasi rakyat. 5) Memperkuat kapasitas internal dan eksternal.

6) Pemberdayaan ekonumi untuk perempuan korban (Company Profile Rifka Annisa, hal 08).

E. Layanan

Sebagai pusat krisis untuk perempuan dan pusat pengembangan sumber daya manusia Rifka Annisa Women Crisis center menyediakan beberapa layanan (Company Profile Rifka Annisa, hal 09). Diantara layanan yang disediakan adalah sebagai berikut :

1. Konseling atau konsultasi psikologis. Layanan ini dapat dilakukan melalui beberapa cara diantara tatap muka, melalui telepon, surat (baik elektronik maupun surat biasa), dan kunjungan rumah untuk perempuan korban kekerasan.

2. Pendampingan hukum yang meliputi konsultasi dan pendampingan hukum dalam proses-proses peradilan apabila klien memutuskan untuk membawa masalahnya ke pengadilan.


(40)

3. Penyediaan rumah aman untuk perempuan korban kekerasan apabila terancam keselamatannya atau tidak mendapatkan dukungan dari keluarga dan komunitas.

4. Outreach atau yang lebih dikenal dengan layanan pro-aktif. Yakni sebuah cara yang dapat digunakan oleh konselor untuk melakukan konseling untuk perempuan korban kekerasan.

5. Konseling untuk laki-laki pelaku perkosaan. Sejak tahun 1997 Rifka Annisa menganggap bahwa laki-laki adalah mitra potensial dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Sehingga Rifka Annisa melibatkan laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Program atau layanan ini dikenal dengan “program pelibatan laki-laki”. Dan sebagai tindak lanjut dari program pelibatan laki-laki, sejak tahun 2006 Rifka Annisa telah memulai menyediakan layanan untuk laki-laki pelaku kekerasan (suami pelaku kekerasan). Penyediaan layanan ini berdasarkan data bahwa 90 persen perempuan yang menjadi korban kekerasan suami memutuskan kembali ke suami dan tidak ada penanganan untuk suami pelaku kekerasan.

6. Penguatan kapasitas untuk mitra eksternal. Layanan dilakukan dengan beberapa cara diantaranya dengan menyelenggarakan program training baik reguler maupun non reguler, menyelengarakan program magang serta menyelenggarakan kursus-kursus pendek.


(41)

7. Layanan konsultasi untuk beberapa program seperti assessment, penelitian, evaluasi atau penguatan kapasitas. Rifka Annisa memiliki kelompok ahli ahli diberbagai bidang seperti gender, isu perempuan dan anak, advokasi dan pengorganisasian masyarakat. Melalui program layanan ini memungkinkan Rifka Annisa untuk berbagi keahlian dengan organisasi-organisasi lain dan kelompok-kelompok masyarakat.

8. Layanan perpustakaan.

Gambar 2. „Ruang Konseling Rifka Annisa Women Crisis Center‟

(Sumber : Dokumen Penulis, 18/11/2016)

F. Program

Selain menyediakan layanan untuk perempuan dan anak korban kekerasan serta layanan penguatan kapasitas untuk mitra eksternal, Rifka Annisa juga menyelenggarakan beberapa program dalam rangka advokasi isu kekerasan terhadap perempuan di indonesia (Company Profile Rifka Annisa, hal 13). Di antaranya:


(42)

1. Kampanye anti kekerasan terhadap perempuan melalui berbagai media. Penerbitan buku, pameran photo tentang kekerasan terhadap perempuan, produksi film pendek, menyelenggarakan pemutaran film dan diskusi, dan 2. menyelenggarakan dongeng untuk anak tentang kekerasan terhadap

perempuan dan anak.

3. Membangun sistem penanganan terpadu untuk perempuan dan anak korban kekerasan dengan melibatkan berbagai sektor atau stakeholder seperti rumah sakit atau penyediaan layanan kesehatan, kantor polisi, lembaga bantuan hukum, dan organisasi sosial lainnya.

4. Menginisiasi pusat krisis berbasis masyarakat melalui strategi pengorganisasian masyarakat. Program ini memiliki tujuan untuk membangun kemandirian masyarakat dalam menyediakan layanan untuk perempuan dan anak korban kekerasan. Program ini juga memiliki tujuan untuk memperkuat kapasitas masyarakat untuk terlibat aktif dalam gerakan anti kekerasan terhadap perempuan di indonesia.

5. Mendesakkan kebijakan responsif gender di tingkat lokal. Berkaitan dengan program ini pada tahun 2006 Rifka Annisa telah berhasil melakukan perubahan penting berkaitan dengan kebijakan ditingkat lokal. Inisiatif Rifka Annisa untuk membangun mekanisme penanganan terpadu untuk perempuan korban kekerasantelah diadopsi oleh pemerintah lokal (Pemerintah Kota Yogyakarta).

6. Menyelengarakan program penelitian tentang kekerasan terhadap perempuan serta menyelenggarakan berbagai program pelatihan seperti


(43)

7. pelatihan sensitifias gender, pelatihan konseling berperspektif gender dan lain sebagainya.

8. Menyelenggarakan Bussines Development Services, seperti pemberdayaan ekonomi perempuan korban dalam bentuk pelatihan dan pendampingan usaha, program beasiswa untuk anak-anak korban dan penggalian dana mandiri menuju kemandirian keuangan.

Penelitian Terdahulu

Beberapa skripsi yang hampir serupa dengan penelitian yang membahas tentang pendampingan trauma adalah : Penelitian yang dilakukan oleh Agung Prambudi mahasiswa Jurusan Komunikasi pada tahun 2010 yang berjudul “Keefektifan Komunikasi Interpersonal Konselor dengan Penderita HIV-AIDS Pada Konseling di VCT RSUD Prof DR Margono Soekarjo Purwokerto”. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan yaitu untuk menjelaskan efektifitas komunikasi interpersonal yang terjadi dalam pelayanan konseling, antara konselor dan pasien pada proses konseling di bagian VCT RSUD Prof DR Margono Soekarjo Purwokerto. Karena ODHA perlu mendapatkan konseling, agar mereka bisa mendapatkan informasi yang benar tentang HIV-AIDS, serta mendapatkan dukungan dalam menjalani kehidupannya. Aspek kajian teori yang digunakan adalah keefektifan komunikasi interpersonal yang menggunakan lima cara , yaitu: keterbukaan, empati, dukungan, kepositifan, dan kesamaan. Perbedaan penelitian ini dengan yang peneliti lakukan sekarang yaitu pada teorinya yang berfokus pada keefektifan komunikasi interpersonal.


(44)

Penelitian yang dilakukan oleh Widia Yuliani, mahasiswa jurusan ilmu komunikasi pada tahun 2009, dengan judul: “Komunikasi Terapeutik antara Psikolog dengan Pasien Depresi(Studi Deskriptif Komunikasi Terapeutik antara Psikolog dengan Pasien Depresi di RSJ. Prof. dr. Soeroyo Magelang, Jawa Tengah). Studi ini berusaha menganalisis mengenai komunikasi terapeutik antara psikolog dengan pasien depresi yang mengacu pada proses komunikasi terapeutik antara psikolog dengan pasien depresi dalam proses penyembuhan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan secara rinci komunikasi terapeutik antara psikolog dengan pasien depresi di RSJ. Prof. dr. Soeroyo Magelang dan mendeskripsikan hambatan-hambatan yang terjadi antara psikolog dengan pasien. Kerangka teori dalam penelitian ini melihat pada proses komunikasi terapeutik yang dilakukan oleh psikolog dengan pasien depresi. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa informan pasien depresi sama-sama melakukan proses komunikasi terapeutik dan informan pasien depresi diberikan terapi yang berbeda yakni, terapi keluarga dan terapi supportif.

Perbedaan penelitian yang peneliti lakukan sekarang yaitu pada permasalahannya yang berfokus pada pasien yang mengalami depresi gangguan kejiawaan, sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti sekarang yaitu pada kasus traumatik pelecehan seksual. Traumatik yang yang dimaksud peneliti adalah upaya pasien dapat memahami diri sehubungan dengan masalah trauma yang dialaminya dan berusaha untuk mengatasinya sebaik mungkin.


(45)

Pendampingan dalam kasus traumatik yang dilakukan peneliti juga jelas berbeda dengan depresi kejiwaan, perbedaan ini terletak pada waktu, fokus, aktifitas, dan tujuan. Dilihat dari segi waktu traumatik sangat butuh waktu yang panjang, kemudian dari segi fokus, pendampingan traumatik lebih memerhatikan pada satu masalah, yaitu trauma yang dirasakan sekarang.

Penelitian yang dilakukan oleh Mita Matinah, mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi pada tahun 2011 yang berjudul “Komunikasi Interpersonal Antara ODHA (Orang Dengan HIV&AIDS)-Pendamping dan ODHA-Dampingan dalam mempersuasi ODHA-Dampingan di Kelompok Dukungan Sebaya Metamorfosis Community (KDS Metacom) Yogyakarta”. Penelitian ini menggunakan teori dalam komunikasi interpersonal yang difokuskan pada upaya persuasi dalam komunikasi interpersonal. Landasan konsep persuasi yang digunakan adalah sikap, kepercayaan dan perilaku. Perbedaan penelitian yang peneliti lakukan sekarang yaitu: pada teorinya yang berfokus komunikasi untuk mempersuasi.

Selanjutnya penelitian dari Annisa Nur Faizah jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam pada tahun 2016 yang berjudul “Komunikasi Efektif Pekerja Sosial Dalam Pelayanan Rehabilitasi dan Konseling Wanita Rawan Sosial Psikologis (WRSP) (Studi Kasus Di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW)

Yogyakarta.” Penelitian ini berkaiatan dengan komunikasi efektif pekerja sosial dalam pelayanan rehabilitasi dan konseling Wanita Rawan Sosial Psikologis (WRSP) di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Yogyakarta. Tujuan


(46)

penelitian ini adalah untuk: mendeskripsikan model komunikasi pekerja sosial dalam pelayanan rehabilitasi dan konseling WRSP di PSKW Yogyakarta dan menggambarkan komunikasi efektif pekerja sosial dalam pelayanan rehabilitasi dan konseling WRSP di PSKW Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa komunikasi yang dilakukan oleh pekerja sosial terhadap WRSP dalam pelayanan rehabilitasi dan konseling adalah efektif pada tahap pelayanan rehabilitasi sosial, karena pada tahap pelayanan rehabilitasi sosial lima hukum/kaidah komunikasi efektif terjadi pada saat pekerja sosial melakukan komunikasi terhadapa WRSP. Lima kaidah komunikasi yang efektif yang digunakan dalam teori penelitian ini adalah: Respect (hormat), Empathy (empati), Audible (dapat didengar dan dipahami), Clarity (kejelasan) dan Humble (rendah hati), yang biasa disingkat dengan REACH. Perbedaan penelitian yang peneliti lakukan sekarang yaitu pada teorinya yang berfokus pada komunikasi efektif.

Keempat penelitian di atas, ada titik kesamaan dengan apa yang akan dilakukan peneliti yaitu, ada yang membahas tentang komunikasi dengan pendampingan korban agar menjadi tahap yang lebih baik. Namun ada beberapa aspek yang membedakan dengan kajian yang akan peneliti sajikan. Peneliti membahas tentang metode atau tehnik komunikasi terapeutik yang berfokus pada remaja korban pelecehan seksual di Rifka Annisa dalam proses penyembuhan traumatik. Inilah yang menjadi pembeda penelitian ini dengan beberapa penelitian di atas, dan perbedaan ini kemudian memotivasi


(47)

peneliti untuk membahasan serta mengkaji tentang komunikasi terapeutik terhadap korban kekerasan dan pelecehan seksual di Rifka Annisa Yogyakarta sehingga dapat memberikan gambaran baru praktik komunikasi terapeutik dalam menangani suatu permasalahan.


(48)

BAB III

SAJIAN DATA DAN ANALISIS

A. Sajian Data

Pada bab ini akan disajikan data-data yang telah diambil di lapangan melalui wawancara kemudian dianalisis secara mendalam. Semua data yang diambil berhubungan dengan pendekatan teknik komunikasi terapeutik pada pendampingan psikologis korban pelecehan seksual di Rifka Annisa Women Crisis Center Yogyakarta.

1. Pasangan Informan I : Novia (Pendamping) dan Bunga (Klien) a) Memberi Kesempatan Klien Memulai Pembicaraan

Novia Dwi Rahmaningsih berasal dari jogja. Novia adalah seorang konselor psikologi di Rifka Annisa Women Crisis Center Yogyakarta. Perempuan berusia 24 tahun ini bergabung menjadi konselor psikologi di Rifka Annisa sejak tahun 2014 hingga sekarang yang menjadi tahun ketiganya. Di usia ia yang masih cukup muda, Novia lebih mudah untuk bisa mengajak klien yang didampingi untuk berkomunikasi dengan baik khususnya klien remaja, oleh karena itu kebanyakan klien yang pernah didampingi oleh Novia adalah remaja. Remaja yang menjadi dampingan ia pun mayoritas korban


(49)

pelecehan seksual seperti perkosaan, pencabulan, kekerasan dalam pacaran, disebarkan foto bugil dan sentuhan yang bermakna seksual, misalnya meraba-raba, mencolek, mencium, menepuk, meremas-remas dan sebagainya. Cara yang sering dilakukan oleh Novia adalah berbicara dengan bahasa „terkini‟ remaja tersebut dan juga berbicara tentang pengalamannya yang hampir sama dengan klien. (Wawancara, Novia, pendamping di Rifka Annisa, 31 Mei 2016).

Novia dipilih menjadi informan pendamping dalam penelitian ini melalui rekomendasi dari Rifka Annisa yang sebelum itu telah peneliti jelaskan kriteria penelitian mengenai teknik komunikasi terapeutik pada pendampingan psikologis korban pelecehan seksual. Sedangkan informan klien bernama Bunga (nama samaran), Bunga adalah seorang pelajar salah satu sekolah di Yogyakarta. Perempuan berumur 14 tahun ini melakukan pendampingan di Rifka Annisa karena ia adalah korban kekerasan seksual oleh pacarnya sendiri yaitu kekerasan perkosaan. Ia menjadi korban kekerasan perkosaan karena dibujuk rayu oleh pelaku.

Hasil penyajian data ini peneliti dapatkan langsung dari informan penelitian yaitu Novia selaku pendamping melalui wawancara yang dilakukan peneliti sendiri. Sedangkan untuk informan Bunga selaku klien, karena kebijakan dari Rifka Annisa yang tidak memperbolehkan peneliti mewawancarai klien secara langsung maka dalam penelitian ini yang mengambil data adalah Mbak Nurul, ia merupakan salah satu staff yang ada di Rifka Annisa Women Crisis Center Yogyakarta.


(50)

Pada awalnya, setelah Bunga mengalami pemerkosaan ia menjadi remaja yang sangat pendiam dan selalu mengurung diri di kamar. Sebelumnya ia adalah remaja yang selalu ceria dan penuh semangat. Saat pertama kali datang ke Rifka Annisa ia didampingi oleh kedua orangtuanya yaitu pada desember 2015. Pada awalnya Bunga menolak untuk pergi ke Rifka Annisa karena ia malu orang lain akan mengetahui apa yang sedang dialaminya dan takut akan ditanya banyak hal oleh orang-orang di Rifka Annisa. Namun karena ajakan orangtuanya yang terus-menerus akhirnya iapun bersedia untuk pergi ke Rifka Annisa Women Crisis Center Yogyakarta. Orangtua Bunga tidak mau anaknya dalam keadaan trauma dan sedih terus menerus, karena itulah orangtuanya mengantarkan Bunga ke Rifka Annisa agar ia menjadi remaja yang kembali ceria dan penuh semangat seperti sebelum tragedi perkosaan yang dialami oleh Bunga. Selain itu orangtuanya meminta bantuan kepada Rifka Annisa agar mendapatkan proses hukum terhadap kasus anaknya dapat diadili dengan seadil-adilnya.

Saat pertama kali datang ke Rifka Annisa Bunga lebih banyak diam, yang banyak bicara adalah orangtuanya. Orangtuanya pun ngobrol bersama Novia dan beberapa pengurus di Rifka Annisa. Saat itulah awal pertama kali Bunga dan Novia dipertemukan. Orangtua Bunga saat itu menceritakan kronologi apa yang dialami oleh anaknya. Orangtuanya menceritakan bahwa Bunga mengalami perkosaaan yang dilakukan oleh


(51)

pelaku dan orangtuanya juga mengatakan bahwa Bunga sedang dalam kondisi hamil. Pembicaraan ketika itu lebih banyak dikatakan oleh orangtuanya terutama ibunya Bunga, sedangkan Bunga saat itu tetap diam tidak berkata sedikitpun.

Setelah berbicara cukup panjang pihak Rifka Annisa mengatur janji agar Bunga dapat bertemu dengan salah satu pendamping Rifka Annisa. Saat itulah yang menjadi pendamping adalah Novia. Sebagaimana penuturan Novia:

“Dia datang ke Rifka dengan orang tuanya, ngobrol berame-rame dengan anaknya juga, yang banyak bicara ibunya, sedangkan anaknya diam, ditanya sekolah dimana namun sama skali tidak merespon jadi kaya ngomong sendiri. Saat itu kondisinya hamil. Saat itu juga orang tuanya mau mengambil proses hukum dan dibantu oleh Rifka Annisa. Akhirnya setelah ngomong banyak terus janji, untuk ngobrol berdua saja, yang mendampingi diriku” (16/09/2016).

Kemudian setelah pertemuan pertama tersebut pihak Rifka Annisa yang salah satunya diwakili oleh Novia beserta Bunga dan orang tuanya melakukan proses hukum BAP di kantor polisi. Ketika di kantor polisi Bunga banyak ditanya oleh petugas disana tentang kronologi kasus yang dialaminya, namun saat itu Bunga masih banyak diam. Sesekali saja Bunga berbicara namun yang dikatakannya lebih banyak bohongnya dan bolak-balik saja, sehingga sempat membuat petugas yang memeriksa menjadi kesal karena keterangan dari Bunga tidak sinkron. Jadi petugas disana dan juga Novia hanya mendapatkan informasi dari orangtua


(52)

Bunga saja. Seperti dituturkan oleh Novia:

“Terus saat itu kita BAP, kami belum menggali cerita dari dia seperti apa kejadiannya, hanya tau dari orangtuanya saja, saat BAP itu sulit, jadi keterangan dianya tidak sinkron. Kita masih melihat yang ditutupi oleh bunga, saat itu dari pihak kepolisian hilang kesabaran terhadap anak ini. “dia ini bohong mba, ngapai harus proses hukum” kata polisi. Didatengi bidan juga tetep bikin benteng” (16/09/2016).

Setelah membuat janji Novia dan Bunga bertemu kembali. Saat itu Bunga masih dalam kondisi sama seperti pertemuan sebelumnya diam dan belum terbuka. Namun Novia tetap sabar dan pembicaraan saat itu tentang menanyakan kabar saja dan sedikit motivasi dari Novia. Novia mengerti bahwa jika belum mau terbuka maka Bunga belum siap. Jadi Novia tidak memaksa Bunga untuk berbicara, karena jika memaksa maka Bunga tidak akan percaya kepada Novia. Berikut penuturan Novia:

“Selanjutnya masih terus ngobrol-ngobrol. Namun dia tetap masih belum mau terbuka. Kami berkeyakinan bahwa jika dia belum terbuka, maka dia belum siap, jangan memaksa. Karena kalau memaksa seperti polisi maka dia tidak akan trust, hingga terus membentuk tembok. Kami kan sudah punya asumsi-asumsi gitu kan, karna sudah terbiasa dengan kasus-kasus ini, dan punya pola-pola tertentu, ya lebih bertanya, tapi ketika dia tidak siap, kami memberi waktu, kami tidak mengejar. Jadi kalo kami pendekatannya beda, jadi kami lebih memahami, bagaimana proses hukum yang tidak mudah bagi dia. Ya udah ngobrol aja. Kepiye emangnya, mungkin masih malu atau apa, jadi kami tidak mengintrogasi atau memaksa dia bercerita, ya karena itu kalo orang ga siap, dipaksa juga ga akan bisa. Jadi menyesesuaikan dengan kesiapan klien” (16/09/2016).


(53)

b) Mengulang Kembali

Pembicaraan saat itu masih bersifat ringan-ringan saja seperti menanyakan kesukaan dan hobi yang disukai. Novia lebih banyak berbicara saat itu, ia menceritakan tentang travelling dan hobinya yang suka baca buku. Ketika Novia menanyakan hobi yang disukai Bunga, ternyata Bunga juga suka membaca buku. Terjadilah kesamaan diantara Novia dan Bunga yang sama-sama suka baca buku, sehingga Bunga menyukai apa yang diceritakan oleh Novia. Dari pertemuan ini Bunga lebih tertarik untuk mendengar banyak hal dengan Novia sehingga menghubungi Novia untuk bertemu di pertemuan berikutnya. Berikut penuturan Novia:

“Bangun keterbukaan, aku tidak memaksa. Seperti juga berkata kalau belum nyaman ngomong tidak apa-apa, kita ngomong yang nyaman-nyaman aja. maka akhirnya ceritalah tentang buku, traveling, hingga anaknya mulai percaya dan menghubungi ingin untuk bertemu” (31/05/2016).

Pembicaraan inipun terus berlanjut dan saat itu Novia dan Bunga melakukan pembicaraan di kantin dan akhirnya dengan sikap novia yang mau menerima apapun kesiapan bunga, bunga pun berbicara cukup banyak dan mulai terbuka.

“Kalo aku ke dia, aku menganggap informasi bagaimanapun dari dia itu berharga, jadi aku sama dia ga bisa terlalu swicth, dia juga kan remaja,, jadi istilahnya emang ada kecocokan, saat ngobrol-ngobrol yang ringan atau serius kaya gitu, terus emang tidak spesifik. Misalnya: ohh, pertemuan ini ngomongnya kaya gini aja..ohh ini gak.. kemudian jika sudah mulai melenceng,

maksudnya sudah mulai basa basi, biasanya dibalik aja. Kaya gitu sih. Misal: oh iyaya gini, tapi kan tadi itu... Ini teknik-teknik dasar,


(54)

kamu berintraksi dengan klien manapun, itu yang kamu bawa,,”(24/10/2016).

c) Mendengarkan dengan Aktif

Di pertemuan selanjutnya pembicaraan yang dilakukan oleh Novia dan Bunga cukup banyak dan adanya saling diskusi antar mereka, namun pembicaraan masih mengenai travelling, buku, dan sekolah. Novia mengkondisikan pembicaraan seperti layaknya teman sendiri sehingga lebih mudah untuk mendapatkan penerimaan dari Bunga. Ketika Bunga berbicara sikap Novia mendengar dengan baik seperti memberikan perhatian dengan kontak mata yang menuju ke arah Bunga, sikap duduk seperti cara duduk yang santai, dan respon-respon verbal dengan memuji apa yang dikatakan oleh Bunga. Sebagaimana penuturan Novia:

“Memberi perhatian dengan kontak mata, sikap tubuh seperti cara duduk biasanya kalau remaja santai saja, lebih mencondong dengan caranya dia, respon-respon verbal”(31/05/2016).

Hal itu pun dirasakan Bunga sehingga lebih percaya diri. “Saya merasa nyaman dan lebih terkontrol dengan apa yang diberikan pendamping saya terhadap saya..” kata Bunga (01/16/2016).

d) Eksplorasi

Ternyata bunga merupakan remaja yang mudah bergaul dan menarik diajak berbicara sehingga pendekatan yang dilakukan Novia untuk tahap selanjutnya tidak terlalu sulit. Bunga juga menceritakan


(55)

kesukaannya dalam membaca buku. Seperti yang diutarakan Bunga: “Cara saya membuka diri dengan selalu bercerita dan komunikasi dan juga dengan cara saling memberi pendapat..”(01/09/2016).

Ketika pembicaraan tersebut Novia memberikan buku novel kepada Bunga. Buku yang diberikan Novia yaitu novel motivasi tentang semangat perempuan yang mengalami kekerasan seksual juga. Novia memberikan buku novel tersebut karena kisah didalamnya hampir mirip dengan apa yang dialami oleh Bunga sehingga berharap mendapatkan umpak balik yang baik dan Bunga dapat bangkit dari masalah yang dihadapinya. Berikut penuturan Novia:

“ngasih buku ke dia bukunya novel, karena dia emang suka baca kebetulan terus dibawa pulangkan sama dia,, nanti dipertemuan selanjutnya aku tanyakan bagaimana buku yang kemarin, sudah dibaca belum..? Karena anaknya kan suka baca, jadi ya dia cerita apa yang telah dia baca. terus disitu kita melihat umpan balik juga. Kaya gitu sih. Jadi salah satu cara untuk membuat dia buka dirinya sih. Pas novel ini juga anak itu cerita “kekerasannya parah banget, iya mba ternyata ada yang lebih parah dari aku, aku ga mau kalah sama tokoh ini,,”(24/10/2016).

e) Memberi Informasi

Novia pun banyak memberikan informasi kepada Bunga yang berkaitan tentang kehamilannya. Selain buku novel tadi, Novia pernah juga memberi informasi ke Bunga tentang kesehatan produksi dan ketertarikan ketika pubertas. Hal semacam ini juga salah satu cara yang dilakukan Novia untuk membuat Bunga membuka diri.

“Aku pernah ngasih tau ke dia tentang kesehatan produksi, ketertarikan ketika pubertas. Rifka juga kan punya band akustik,


(56)

jadi klien ini juga pernah aku kasih CD musik dari Rifka, tapi aku ga tau dia dengerin atau gak. Lagu-lagunya tentang kampanye kekerasan, kekerasan seksual, kekerasan pada pacaran dan pergaulan remaja. Jadi salah satu cara untuk membuat dia buka dirinya sih” (24/10/2016).

Setelah mengetahui punya beberapa kesamaan dan penerimaan Bunga yang baik terhadapnya sehingga mulai terbuka, barulah Novia masuk ke permasalahan yang dialami Bunga. Awalnya Novia bertanya kepada Bunga apa yang menjadi harapannya tentang persoalan yang dialaminya. Novia juga bercerita tentang masalah hukum yang perlu diproses agar pelaku yang memperkosa dapat diadili dan juga untuk melindungi Bunga. Seperti penuturan Novia:

“Bertanya apa yang diharapkan, harapannya dia, biasanyakan kalau pelecehan seksual kan terkait usia anak maka butuh komunikasi juga dengan orangtuanya. Biasanya juga bercerita tentang banyak hal seperti masalah hukum, kenapa perlu? Pertama untuk memberi efek jera bagi pelaku, untuk pembelajaran masyarakat juga agar tidak melakukan perbuatan itu lagi, cara melindungi dia juga” (31/05/2016).

f) Refleksi

Mulailah adanya pembicaraan yang serius dan akhirnya Bungapun lebih terbuka untuk bercerita mengenai persoalannya. Ketika itu Bunga menceritakan kehamilannya dan support dari teman-temannya terhadapnya. Kemudian hal itu juga direspon oleh Novia dengan memparafrase Bunga sehingga dapat memancing Bunga untuk bercerita lebih lanjut. Sebagaimana penuturan Novia berikut ini:

“Dia cerita kehamilannya. “senengnya sudah kedengeran,, bisa nendang-nendang,, misalnya juga dia cerita tentang temennya


(57)

dateng, hal-hal kayak gitulah.. Aku lupa detailnya karena itu terjadi secara otomatis, maksudnya ga ada planning kaya gitu. Apalagi kalo remaja dia seneng diparafrase. Kemudian diajukan pertanyaan, jadi dengan parafrase itu bisa memancing-mancing cerita lebih lanjut” (24/10/2016)..

Karena Bunga adalah remaja yang mudah bergaul ia juga pernah memulai pembicaraan dengan menceritakan kesehariannya, seperti bicara tentang saat dia di sekolah dan juga ketika dia memulai ikut senam di puskesmas. Berikut penjelasan Novia:

“Anaknya cukup seneng ngobrol, jadi sering kok dia cerita gituu, misalnya cerita tentang sekolahnya gitu, tapi beberapa aku tanya sih kayak kamu gimana sekolahnya. Dia juga pernah mengawali pembicaraan seperti dia ikut senam di puskesmas” (24/10/2016). g) Membagi persepsi

Dari beberapa pembicaraan dan pendampingan yang berjalan, Bungapun bercerita mengenai mantan pacar yang telah memperkosanya. Saat itu Bunga masih sayang kepada mantan pacarnya dan berpikir ingin balik bersama pacarnya kembali. Ada sisi penyesalan oleh Bunga telah melaporkan pelaku ke polisi yang mana saat itu pelaku hendak disidang. Hal ini pun membuat Novia memberi nasehat sekaligus motivasi kepada Bunga dengan perkataan yang baik sehingga tidak menyakiti hati Bunga bahwa apa yang di pikirkannya itu suatu kesalahan karena jika dia tetap berfikir seperti itu maka ia akan mengalami penderitaan dan kesedihan


(58)

lagi seperti menjelaskan kepada Bunga bahwa pacar yang telah memperkosanya itu orang jahat. Berikut penuturan Novia:

“dia saat itu kayak menyalahkan diri sendiri, katanya “mba coba yaa aku tidak melapor,, dia tidak menjalani hukuman seperti ini”. Dia ada penyesalan, dia tidak mau si pelaku ini di hukum. Jadi aku memparafrase gini: iyaa sih,, mesti rasane sedih ya orang yang pernah jadi pacar kamu tiba-tiba masuk dalam penjara,, dan kamu mungkin punya andil,, maksudnya kamu yang buat dia gitu.. Tapi dipikir-pikir yang membuat dia masuk siapa.. Aku biasanya untuk anak ini memparafrase apa yang dia pikirkan, dia inikan cenderung melihat satu sisi doang, jadi saat kalau berpikir bagus tentang pacarnya, kadang dia lihat sisi buruknya juga, tapi ambivalen gitu, jadi sering kacamatanya sempit gitu, jadi emang aku parafrase apa yang dia rasakan itu wajar,, tapi ya aku balik lagi proses berpikirnya,,” (24/10/2016).

h)Klarifikasi

Ketika perkataan yang dikemukakan Bunga kurang jelas bagi Novia, maka Novia meminta tolong agar perkataan Bunga di ulangi kembali agar tidak salah pengertian. Berikut penuturan Novia:

“Jika pasien ngomongnya pendek, ditanya bisa tolong ulangi lagi,, atau kita rangkum yang kita ketahui misal oh kaya gini ya,, benar ga..? Apakah pemahaman ku kurang tepat? Bisa juga kasih pertanyaan eh jdi kamu setelah pulang sekolah begini dan begini lalu... karena kalau langsung klarifikasi dikhawatirkan kesannya tidak mndengarkan.. harus kreatif,”(31/05/2016).

i) Memberi Saran

Dalam pendampingan ini juga Novia dan Bunga saling berbagi pendapat dan saran untuk permasalahan yang sedang dihadapi. Sikap Novia yang ramah, mau mendengar dan menerima Bunga ketika berbicara


(59)

membuat ia lebih dipercayai sehingga adanya umpan balik yang baik dari Bunga. Seperti dalam membagi persepsi terhadap Bunga, Novia melakukan dengan parafrase:

“menurut kamu gimana atau kemudian rencana kaya gitu,, setelah dia keluar sekolah dia mau ngapain? Otomatis aku akan bertanya kepada dia, berarti dia kan memutuskan untuk keluar dari sekolah, karena tidak kuat harus berhadapan di sekolah, tapi kalo itu pilihanmu kira-kira rencana kedepanmu apa.. Itukan sudah mencari pandangan dia, sebenarnya dalam konseling, kebanyakan hal-hal seperti itu dari klien, kalo kita ya tadi jadi cermin aja oh begini-begini. Misalnya terpikirkan tidak konsekuensi terburuknya apa, tapi kalo mentok tidak bisa kita kasih pandangan baru, kaya ketika dia merasa kasihan dengan pelaku, dan dia tetap dipandangan itu. Dan sering kemudian dari ngomong itu kan, tidak demikian dari kita berikan langsung dicerna oleh dia ya, ya aku memahami ketika masih susah dengan pandangan dia, apa yang mba novia omongin. Dan umpan balik menurutku tidak harus verbal ya, ekspresi non verbalnya diapun juga umpan balik, bagaimana dia tetap kontak mata denganku, tetap mengangguk-angguk, kemudian terlihat berpikir. Itukan juga umpan balik” (24/10/2016).

j) Diam

Namun seiring proses pendampingan yang dilakukan Novia juga tidak berjalan mudah walaupun kliennya sudah mulai terbuka untuk menceritakan persoalan pribadinya hingga curhat mengenai proses pacarannya, kadang pernah juga kondisi klien yang tiba-tiba cemas. Akan tetapi Novia punya cara tersendiri mengatasinya, seperti dengan cara mengambil nafas bersama-sama karena dapat membuat klien lebih tenang dan juga tidak memaksa untuk melanjutkan pembicaraan lagi. Sebagaimana penuturan Novia:

“Kalau cemas ini memang jadi prinsip pendampingan pada umumnya, dengan intervensi krisis dulu, salah satunya terkait


(60)

dengan kondisi psikologis klien seperti tiba-tiba histeris, diam, menangis. Maka ditenangi dulu dan mengeluarkan perasaan negatif, bilang aja bukan masalah besar jadi jangan nangis yaa,, tapi kalau pengen nangis, nangis aja,, kalau dari psikologi ini dinamakan katarsis. Menenangkan dia mengambil nafas bareng-bareng, terus ditawari mau melanjutkan sesi ini atau istirahat dulu baru dilanjutkan lagi...” (16/09/2016).

Ketika Bunga sedang berbicara maka Novia hanya diam saja dan mengarahkan mata ke klien, gerak tubuhpun seperti biasa selayaknya bicara dengan teman dekat tetap santai tapi tidak berlebihan. seperti penuturannya:

“Mata ke klien, tapi ya ga selalu, tapi sebenarnya kalau mendengarkan ga cuma mata tapi juga gerak tubuh, terus tidak melakukan gerakan lain seperti main HP” (24/10/2016).

k)Memberikan Penghargaan

Dalam memberi penghargaan kepada Bunga yang telah mau menceritakan kejadian-kejadian yang dialaminya, Novia lebih melakukan sikap dan motivasi kepada Bunga seperti menyarankan agar melanjutkan masa depannya dengan sekolah lagi, melakukan proses hukum, menjaga kehamilannya dengan baik. Karena sebelum pendampingan, Bunga merasa putus asa atas apa yang menimpa dirinya dan tidak mau lagi bergaul. Sebagaimana yang diutarakan Novia:

“..Lebih kesikap, salah satunya merencanakan masa depan dia. Terkait proses hukum seperti apa, dalam masa hamil, setelah itu bagaimana.. sekolahnya dia dan sebagainya., nah saat itu kita lebih motivasi dia bahwa ini bukan titik akhirnya dia, dia masih punya


(1)

7. Bagaimana anda memberi kesempatan kepada pendamping untuk memulai pembicaraan?

Dengan bertanya dan meminta pendapat juga dan selalu terbuka. 8. Bagaimana cara anda mendengarkan pendamping saat berbicara?

Mendengarkan dan menerima pendapat serta jalan keluar yang baik.

9. Bagaimana sikap anda saat pendamping mempunyai kesalahan dalam berbicara?

Sikap saya memberi pendapat dan sedikit membenarkan apa yang salah. 10.Bagaimana sikap anda saat pendamping memotivasi anda?

Sikap saya mendengar dan menjadikan motivasi untuk merubah diri menjadi lebih baik.

11.Bagaimanakah cara anda dalam menghargai pendamping?

Menerima dengan baik apa yang disampaikan pendamping saya, dan menjadikan motivasi untuk semangat merubah diri menjadi lebih baik.

A. Untuk Pendamping

Wawancara Tanggal 13 Juni dan 25 oktober 2016 Identitas

a. Nama siapa? Budi Wulandari b. Umur berapa? 28 tahun

c. Sejak kapan bekerja di Rifka Annisa? Mei tahun 2011

Komunikasi terapeutik

1. Bagaimana anda memulai pendekatan pertama kali dengan pasien?

jadi diam saja, kita dicuekkin, dianggap tidak ada, belum percaya kepada saya, dia masih ada pandangan negatif terhadap diri saya, “wah nanti mba-mba nya ini jangan-jangan akan memarahi saya, membuat saya malu, yang biasa digambari remaja saat awal bertemu. Namun setelah itu kita pancing “aku pernah juga lho menjadi remaja ketika jatuh cinta, pernah mengalami apa itu kangen, rindu. Nah aku sadar ketika kalau terjadi kekerasan itu tidak boleh terjadi, baru kita giring perlahan-lahan, gituu. (13 Juni 2016)

2. Bagaimana anda membina rasa percaya dengan pasien? Ya tadi (poin 1)

3. Bagaimana cara anda agar penerimaan yang anda lakukan bisa berjalan dengan baik? Jadi yg namanya remaja itu unik, kalo dia awalnya diam, terus


(2)

kita lakukan buiding trust, kita pendekatan dulu, posisikan sebagai teman, dia menutup diri, dia merasa tidak beharga, nilai tentang keperawanannya itu sudah tidak berguna lagi, tidak melanjutkan sekolah. Jangan judgement, pokoknya prinsip-prinsip pendampingan itu sangat kita jaga supaya dia merasa nyaman. Kan namanya remaja kalau ketemu teman sebaya suka curhat, kita kondisikan seperti itu. (13 Juni 2016)

4. Bagaimana anda membangun keterbukaan dengan pasien?

Kan namanya remaja kalau ketemu teman sebaya suka curhat, kita kondisikan seperti itu. Cerita tentang hobi, sekolah, cerita tentang saat aku masih remaja yang ketika itu lagi jatuh cinta. Menyesuaikan dengan dia sih(13 Juni 2016) 5. Bagaimana anda mengidentifikasi masalah yang ada pada pasien?

Kita lakukankita lakukan buiding trust, kita pendekatan dulu, sampaikan kalo masalah ini harus dilaporkan agar pelaku jera tidak melakukannya lagi. (13 Juni 2016)

6. Bagaimana anda dan pasien dalam merumuskan tujuan bersama?

Kita ajak ngomong dia dengan ramah, cerita tentang kesehatan reproduksi juga, terus tanya ke dia apa yang mau disampaikan, katakan jangan takut. Terus kasih solusi.Kalau udah pembicaraaannya juga udah kemana-mana aku

bianyanya “kita bisa ke permasalahannya, mungkin coba lebih detail lagi,

lebih diperjelas lagi apa kengininan dan harapan adek, menggiring ke pokok permasalahan.(25 oktober 2016)

7. Bagaimana cara anda mengatasi kecemasan pada pasien saat anda dampingi? 8. Bagaimana cara anda dalam mendengarkan saat pasien berbicara?

Mengarah kepada klien, kontak mata juga, mata yang bersahabat, tidak melotot, tidak mengecilkan mata juga, bikin dia nyaman, ada gerakan tangan untuk meyakinkan, tidak menghindar, posisi lebih dekat, tidak terlalu jauh agar kliennya dengar. (25 oktober 2016)

9. Bagaimana anda memberi kesempatan kepada pasien untuk memulai pembicaraan?

Apa yang pengen disampaikan, apa yang jadi permasalhan, omongin aja ga apa-apa. Seperti itu.(25 oktober 2016)

10. Bagaimana anda memberikan penghargaan kepada pasien?

saya ucapkan terimakasih, saya bahasakan curhat, karna bahasa konseling bagi remaja itu berat, namun tetap prinsip-prinsip konselingnya ada, dan nanti si anaknya mengalami traumatis kita koordinasi dengan keluarga. Dengan buku motivasi untuk klien yang mirip dengan kisah hidupnya yang disediain oleh rifka tentunya, supaya untuk memotivasi dia kalau kamu itu tidak sendirian.

“Ini mba punya bacaan menarik lho, siapa tau kalau kamu baca bisa

menginspirasi hidupmu. Dari situ barulah berdiskusi. (13 juni 2016)

12.Bagaimana anda melakukan klarifikasi jika ada perkataan pasien yang kurang jelas?

Mungkin bisa diulangi, seperti itu, soalnya kok mba wulan pahami, kalau adek sendiri bagaimana, soalnya kita dalam satu frekuensi yang sama, yang dikomunikasika A, maka yang ditangkap juga A. (25 oktober 2016)


(3)

13.Bagaimana sikap empati anda terhadap pasien?

Bagaimana sekarang kondisinya, ohh jadi seperti itu yaa yang sedang dialami yaa, lebih ke kita melihat detail. Misal: pusing, ohh bagian mana yang pusing? (25 oktober 2016)

14.Bagaimana anda memberi saran kepada pasien?

Memberi Informasi adalah bagaimana ketika mengeluh seperti sulit bobo, terus kata aku coba dengarkankan musik, karena bisa lebih nyaman, musik apa saja, kalau dia suka yang melow. Menarik nafaas bersama-sama agar lebih tenang. Musiknya kita yang siapkan. Kalau dia bawa hp langsung saja. (25 oktober 2016)

15. Bagaimana anda melakukan eksplorasi terhadap pasien?

Dengan pertanyaan terbuka tadi, mengapa, apa, dimana, kapan, siapa, bagaimana (5w 1H), kita gunakan ini ke dia juga ke klien yang lain. Terkait permasalahannya untuk mengembalikan ke kliennya/ tujuannya. (25 oktober 2016)

Klien 2 Mawar

Tanggal 5 september 2016

1. Bagaimana anda memulai hubungan pertama kali dengan pendamping anda? Dari orang tua

2. Bagaimana anda membina rasa percaya dengan pendamping anda?

Dengan ketelatenan, ketepatan, kesabaran dalam menghadapi klien, memberi motivasi dan pengarahan.

3. Bagaimana cara anda membuka diri terhadap pendamping anda?

Awalnya saya tidak mau menceritakan hidup saya kepada siapapun, tapi karna begitu sabarnya pembimbing saya peduli terhadap saya, saya mulai untuk berbicara.

4. Bagaimana anda dan pendamping dapat merumuskan tujuan bersama?

Karena kita sudah share dari masing-masing dan kita menemukan titik terang dari pengalaman masing-masing.

5. Bagaimana anda mengatasi kecemasan dalam menjalin hubungan dengan pendamping?

Menjaga kepercayaan bahwa pendamping saya adalah orang yang baik. 6. Bagaimana sikap penerimaan anda terhadap pendamping?


(4)

Awalnya saya sulit untuk menerimanya, tapi setelah pertemuan ke sekian kalinya dan motivasi yang diberikan membuat saya memberi ruang terhadap dia.

7. Bagaimana anda memberi kesempatan kepada pendamping untuk memulai pembicaraan?

Pada awal pertemuan saya hanya diam, tapi pendamping saya terus berbicara yang akhirnya mampu membuat saya juga berbicara.

8. Bagaimana cara anda mendengarkan pendamping saat berbicara? Mendengarkan dan mencoba mencocokkan dengan apa yang saya alami.

9. Bagaimana sikap anda saat pendamping mempunyai kesalahan dalam berbicara? Memaklumi karena manusia adalah tempat salah dan lupa.

10.Bagaimana sikap anda saat pendamping memotivasi anda?

Mendengarkan dan mencoba mengambil hikmah dari pemasalahan saya, kemudian membangkitkan semangat diri sendiri.

11.Bagaimanakah cara anda dalam menghargai pendamping?

Menerima dan mendengarkan segala anggapan positive yang telah diberikan, belajar dari kesalahan masa lalu, menjadi lebih baik dari sebelumnya.


(5)

Dokumentasi Foto

„Gedung Rifka Annisa Women Crisis Center tampak dari depan‟


(6)

„Ruang Konseling Rifka Annisa Women Crisis Center‟