MEMBANGUN PENDIDIKAN BERKEADABAN

Hasse J.
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
[email protected]

MEMBANGUN PENDIDIKAN
BERKEADABAN
Pesantren sebagai Basis dan
Pilar Pembinaan

INTISARI
Dunia pendidikan Indonesia sedang menghadapi masalah berat. Berbagai kekerasan di dunia
pendidikan akhir- akhir ini menjadi bukti semakin beratnya tantangan yang sedang dihadapi.
Salah satu tantangan terberat adalah pembentukan perilaku peserta didik yang mampu
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Kebijakan mengenai pendidikan ternyata belum
sepenuhnya mampu mengubah prilaku peserta didik yang cenderung menafikan keberadaan
orang dan kelompok lain. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dianggap mampu
memberikan wawasan luas yang tidak hanya terbatas pada bagaimana menciptakan kecerdasan
bagi otak, tetapi juga bagaimana menanamkan nilai-nilai yang mencerdaskan watak peserta didik.
Tulisan ini menunjukkan bahwa pesantren dapat menjadi pilihan utama untuk membentuk perilaku
peserta didik yang mengakomodasi dua kecerdasan tadi dalam waktu bersamaan, dengan tetap
memprioritaskan pemenuhan kualitas dan kaidah akademik sebagai pijakan pelaksanaannya.

Kata Kunci: pesantren, pendidikan berkeadaban, kecerdasan.

ABSTRACT
Education in Indonesia is facing several problems. Various violence happening in educational
sector lately become evidence of the severity of the challenges being faced. One of the toughest
challenges is the establish- ment of the students’ behavior to uphold human values . The policy on
education is not fully able to change the students’ behaviors that tend to deny the existence of other
people and groups. Pesantren as Islamic educa- tional institutions is considered able to provide
wide insight which is not only limited on how to create and/or establish intelligence for the otak, but
also how to instill values educating students’ watak. This paper shows that pesantren can be the
first choice to shape the behavior of students in order to accommodate two- intelligence at the
same time, with priority for the fulfillment of quality and academic norms as a foothold
implementation.
Keywords: pesantren, civilized education, intelligence.

36
Jabal Hikmah Vol.3 No.1, Januari 2014

PENGANTAR
Pendidikan merupakan prasyarat bagi

terbentuknya bangsa yang maju. Bangsa yang
maju tidak hanya diukur dari pencapaian sektor
ekonomi, tetapi juga pembentukan karakter
anak bangsa yang memiliki ciri keindonesiaan.
Ciri keindonesiaan salah satunya adalah
penempatan agama sebagai pilar di atas citacita luhur bangsa. Sila pertama Pancasila yang
menegaskan internalisasi nilai ketuhanan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
menjadi indikasi kuat bagaimana sistem
keyakinan tidak bisa lepas dari bangsa Indonesia. Sila ini pulalah yang menjadi jiwa bangsa
khususnya bagi para pemeluk agama sehingga
Pancasila dapat diterima sebagai salah satu pilar bangsa Indonesia. Pancasila, di samping itu,
juga sebagai simbol pemersatu bangsa yang di
dalamnya terdiri atas beragam suku dan agama.
Dalam aspek pendidikan, Indonesia
mengenal dua sistem pendidikan yang hingga
saat ini masih dipertahankan yaitu pendidikan
agama dan umum. Sistem ini pun didukung
sepenuhnya oleh negara melalui keberadaan
kementerian pendidikan dan kementerian

agama. Pendidikan agama sangat identik
dengan lembaga pendidikan pesantren.
Adapun pendidikan umum lebih dekat dengan
istilah sekolah. Meskipun demikian, kedua
lembaga pendidikan tersebut mengajarkan
baik pendidikan agama maupun pendidikan
umum dengan proporsi yang beragam.
Lembaga pendidikan (pesantren) dalam
sejarahnya telah lama hadir dan bergelut
dengan perjuangan bangsa Indonesia, bahkan
terlibat dalam perjuangan melawan penjajah
kala itu.
Dalam dekade ini, dunia pendidikan Indonesia dihadapkan pada kenyataan semakin
tergerusnya sikap kemanusiaan peserta
didiknya. Lembaga pendidikan sebagai wadah
dan media penyebaran nilai-nilai kemanusiaan
justru menjadi tempat pembantaian antarsesama. Alur kekerasan yang terjadi pun relatif
terstruktur, yaitu dilakukan oleh kakak kepada
adik, senior terhadap yunior, siswa/mahasiswa


lama terhadap siswa/mahasiswa baru, dan
seterusnya yang dipicu oleh urusan sepele,
seperti tidak memberikan „jajanan‟ kepada senior. Alasan yang dijadikan legitimasi dan
justifikasi tindakan adalah penegakan sikap
disiplin karena dianggap tidak patuh.
Pesantren yang sejak lama berdiri tegak telah
terbukti mampu memberikan pelayanan
terhadap pemenuhan kebutuhan khususnya
pengetahuan agama dan kekeringan spiritual
umat Islam. Lembaga pendidikan ini berdiri
kokoh hampir di seluruh sudut negeri dengan
berbagai karakter masing-masing. Pada masa
(sebelum) kemerdekaan, pesantren telah
terlibat dalam perjuangan merebut
kemerdekaan. Keberadaan pesantren yang
memiliki akar kuat di tengah masyarakat desa
khususnya, menjadi alat perekat masyarakat
membangun kekuatan melawan penjajah.
Setelah kemerdekaan, pesantren terus
berkontribusi dan melahirkan beberapa tokoh

terkemukan di negeri ini, meskipun beberapa
pesantren memilih jalan lain yang cenderung
melawan penguasa Orde Baru kala itu.
Pondok pesantren dengan segala
karakteristiknya dipandang sebagai salah satu
lembaga pendidikan yang mampu memperkuat
identitas kesantrian. Kata “santri” dalam
masyarakat Jawa misalnya merupakan sebutan
yang dialamatkan kepada orang-orang yang
memiliki kecenderungan lebih kuat pada
ajaran-ajaran agamanya (Islam) (Sulaiman,
2010:155). Kalangan santri merupakan
kalangan yang memiliki pengetahuan (agama)
yang dianggap lebih dari yang lain khususnya
kalangan abangan. Sebutan santri juga
menyangkut dengan status sosial atau prestise
di tengah masyarakat yang menyimpan
beberapa keunggulan sehingga masyarakat
tertentu cenderung untuk memelihara dan
mempertahankan status santri ini. Bahkan di

kalangan elite agama, istilah santri sangat lekat
padanya sehingga cenderung mengalami
pelembagaan.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa
sebenarnya bangsa ini memiliki sebuah

37
Jabal Hikmah Vol.3 No.1, Januari 2014

intrumen
pendidikan
yang
dapat
dikembangkan semaksimal mungkin dalam
rangka mencetak generasi bangsa yang
memiliki mental yang tangguh dan
berkarakter. Pesantren dibentuk bukan hanya
sebagai lembaga untuk menuntut ilmu, tetapi
juga lembaga yang sengaja didirikan dengan
peran sebagai media pembentukan karakter

seperti kemandirian, toleran, terbuka, dan
memiliki nilai kompetisi. Tulisan ini melihat
tingginya harapan dan tantangan pesantren
dalam upaya memberikan pencerahan dan
solusi terhadap kompleksitas kehidupan saat ini,
khususnya
menimimalisir
tindakan
menyimpang yang semakin marak akhir-akhir
ini.
METODE PENELITIAN
Tulisan ini merupakan hasil penelitian
kepustakaan dengan membandingkan
beberapa studi terhadulu. Melalui pembacaan
terhadap berbagai referensi, ditemukan isu
penting yang tertuang dlaam tulisan singkat ini.
Penulis juga melakukan penelusuran dokumen
berupa pemberitaan pada media massa
khususnya mencari isu kekerasan dalam dunia
pendidikan yang banyak terjadi akhir-akhir ini.

Pengamatan dan pembacaan literatur menjadi
instrumen utama penulisan tulisan ini.
Demikian pula, pengalaman hidup penulis yang
pernah menimbah ilmu pada sebuah
pesantren menjadi informasi pembanding
terhadap pembacaan literatur yang dilakukan.
Oleh karena itu, kajian kepustakaan yang
dilakukan tidak hanya fokus pada persoalan
dunia pendidikan, tetapi juga pada persoalan
sosial keagamaan yang lebih luas.
Memori penulis sebagai alumni pondok
pesantren juga dijadikan data yang berfungsi
memberikan gambaran mengenai aktivitas
pendidikan di lingkungan lembaga pendidikan
Islam tertua ini. Bagi penulis, pondok
pesantren sering dianggap sebagai lembaga
pendidikan yang ketinggalan dengan melihat
tingkat kompetensi alumni yang „tertinggal‟ jika
dibandingkan dengan alumni sekolah umum


non-agama. Padahal, ada beberapa aspek yang
tidak diperhatikan termasuk kemampuan
alumni pesantren memposisikan diri pada
kondisi dan situasi yang sulit. Alumni pesantren
sangat dikenal dengan pola hidup sederhana
dan „tahan banting‟ terhadap berabagai kondisi.
Kemampuan intelektual keagamaan dan
pengetahuan agama tentu tidak bisa lagi
ditawar-tawar, santri maupun alumni tentu
memiliki pengetahuan yang luas mengenai
agama. Pada aspek pembinaan akhlak, alumni
pesantren juga menjadikan dalil al-Qur‟an dan
sunnah sebagai dasar atau pijakan. Meskipun,
harus pula diakui bahwa ada juga alumni
pesantren yang terjebat pada tindakan-tindakan
tidak terpuji seperti tindak kekerasan.
Pembinaan akhlak tidak hanya dilakukan
secara parsial, tetapi dilakukan secara integratif
berkelanjutan. Pendidikan akhlak tidak bisa
terhenti oleh kondisi apapun, pendidikan

akhlak wajib dilakukan bahkan hingga akhir
hayat.
KERANGKA KONSEPTUAL
Pesantren: Lembaga Pilar Pendidkan
Islam
Pondok Pesantren merupakan lembaga
pendidikan Islam tertua di Indonesia (Nasir,
2010:81) dan lahir dari akar sejarah Indonesia.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang telah banyak mewarnai
perjalanan pendidikan di Indonesia. Sebagai
sebuah lembaga pendidikan, sistem pengajaran
yang dijalankan pun sangat khas (khusus)
sehingga lembaga pendidikan ini sekaligus
menjadi khas Indonesia dengan beragam
variasi dan bentuk pembelajaran di dalamnya.
Salah satu tradisi agung (great tradition) di Indonesia adalah tradisi pengajaran agama Islam
seperti yang muncul di pesantren khsusnya di
Jawa dan lembaga-lembaga serupa di luar Jawa
dan semenanjung Malaya (van Bruinessen,
2012:85). Kemunculan pondok pesantren pun,

lanjut Martin, bertujuan untuk mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana yang

38
Jabal Hikmah Vol.3 No.1, Januari 2014

terdapat dalam kitab-kitab klasik yang ditulis
pada berabad-abad yang lalu.
Pesantren (pondok pesantren) merupakan
salah satu pilar penting pendidikan di Indonesia. Pesantren didefinisikan bukan hanya
sebagai sebuah lembaga pendidikan
(tradisional), tetapi juga cerminan tatanan
pendidikan yang telah terbukti mampu
memberikan pencerahan dan „tameng‟ bagi
pembangunan karakter umat. Keberadaan
pesantren dengan segala tipenya, mampu
mengungkap beberapa peristiwa yang penting
khususnya pada saat penjajahan berlangsung
di negeri ini. Dalam konteks ini, pesantren
tidak hanya menjadi institusi yang berfungsi
sebagai tempat melakukan transformasi
keilmuan (Islam), tetapi juga sebagai lembaga
yang berfungsi menggerakkan umat untuk
berada di garda terdepan melawan penjajah.
Dalam perkembangannya, dikenal
beberapa tipe mengenai pesantren selain
tradisional. Beberapa ahli mengemukakan
hasil analisisnya bahwa pesantren telah
mengalami perkembangan yang sangat pesat
yang ditandai oleh kiprah alumninya pada
segala aspek kehidupan termasuk politik.
Jumlah pesantren pun semakin meningkat
diiringi oleh semakin tingginya animo
masyarakat memilih pesantren sebagai lembaga
pendidikan tempat generasinya menimbah
ilmu. Selain pesantren tradisional, dikenal pula
pesantren modern.
Secara kebahasaan, Pondok Pesantren
berasal dari kata Pondok dan Pesantren. Ada
yang menyatakan kata pondok berasal dari kata
funduk dalam bahasa Arab yang berarti rumah
penginapan atau hotel. Di Indonesia, istilah ini
mirip dengan pemondokan dalam lingkungan
padepokan yaitu perumahan sederhanan yang
dipetak-petak dalam bentuk kamar-kamar yang
merupakan asrama santri (Nasir, 2010:80;
Prasojo, dkk, 1975:11). Istilah pondok juga
sering diartikan dengan asrama. Pondok juga
sering diartikan sebagai tempat tinggal (Daulay,
2010:16). Di pondok, para santri terikat
dengan beragam aturan yang harus ditaati

seperti jadual shalat, belajar, mengaji, olahraga,
tidur dan jadwal istirahat telah diatur
sedemikian rupa.
Haidar Putra Daulay (seperti yang dikutip
dari Zamaksyari Dhofier), mengemukakan
bahwa ada beberapa alasan mengapa pondok
penting dalam suatu pesantren. Pertama,
kenyataan adanya jumlah santri (banyak)
berasal dari daerah yang jauh berniat
menuntut ilmu di pesantren yang
bersangkutan. Kedua, letak geografis pesantren
yang umumnya terletak di desa-desa yang tidak
memiliki tempat penginapan/perumahan
untuk para santri. Ketiga, ada hubungan timbalbalik antara kiai dan santri, para santri
menganggap kiai tidak ubahnya sebagai orang
tuanya sendiri (Daulay, 2010:16). Adapun
pesantren berasal dari akar kata pe-santri-an
artinya tempat santri. Pesantren adalah tempat
bagi santri untuk belajar ilmu-ilmu agama bagi
para santri. Dengan demikian, pesantren
merupakan lembaga keagamaan, yang
memberikan pendidikan dan pengajaran serta
mengembangkan dan menyebarkan ilmu
agama Islam (Daulay, 2010:16).
Pendidikan Berkeadaban
Ada tiga istilah yang sering digunakan secara
bergantian dalam menunjuk pendidikan dalam
Islam, yaitu tarbiyah, ta’dib, dan ta’lim. Ketiga
istilah tersebut memiliki kesamaan di samping
perbedaan, namun ketiganya menunjukkan
sebuah proses pembelajaran. Perbedaan
terletak pada penekanan masing-masing yang
diakibatkan penggunaan teks dan konteks yang
berbeda. Istilah yang paling popular adalah
tarbiyah jika ingin merujuk pada lembaga
pendidikan formal.
Ini kemudian
diterjemahkan lebih lanjut dalam bentuk
pembagian fakultas atau jurusan pada
perguruan tinggi Islam seperti adanya Fakultas
Tarbiyah, Fakultas Syariah, dan lain-lain. Istilah
ta’dib masih jarang didengar dalam pergaulan
sosial masyarakat Muslim khususnya di Indonesia. Sementara itu, istilah ta‟lim tergolong
umum digunakan khususnya jika menyebut
kelompok-kelompok pengajian sehingga

39
Jabal Hikmah Vol.3 No.1, Januari 2014

muncul istilah majelis taklim (ta’lim).
Kata at-tarbiyah merupakan bentuk masdar
yang berasal dari bentuk lamapu rabba. Istilah
at-tarbiyah jika diidentikkan dengan ar-rabb,
beberapa ahli memberikan definisi. Menurut
Fahrur Razi seperti yang dikutip oleh (Nasir,
2010:41), ar-rabb merupakan fonem yang seakar
dengan at-tarbiyah yang berarti at-tanwiyah
(pertumbuhan
dan
perkembangan).
Sementara itu, Al Jauhari seperti dikutip oleh
Al-Atas (1988:66) mengatakan bahwa kata attarbiyah, rabban, dan ar-rabb bermakna member makan, memelihara, dan mengasuh.
Sebagaimana yang dikutip oleh Ridlwan
Nasir (2010:45-53), at-tarbiyah menurut Abdul
Fattah Jalal adalah proses persiapan dan
pengasuhan pada fase pertama pertumbuhan
manusia (bayi dan anak-anak) yang dilakukan
di dalam lingkup keluarga. Adapun ta’lim
merupakan suatu proses yang terus-menerus
diusahakan manusia semenjak dilahirkan. Bagi
Rasid Ridla, ta’lim merupakan proses transmisi
berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu
tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.
Jadi, jangkaun ta’lim lebih luas dibandingkan
dengan at-tarbiyah.
Apabila pendidikan Islam diidentikkan
dengan at-ta’dib, bagi Sayed Muhammad AnNaquib al-Attas (1988) merupakan terminologi
yang cocok digunakan dalam pendidikan Islam.
Konsep inilah, menurut al-Attas, yang
diajarkan rasulullah pada umat Islam kala itu.
At-ta’dib adalah pengenalan dan pengakuan
yang secara berangsur-angsur ditanamkan
kepada manusia tentang tempat yang tepat dari
segala sesuatu tatanan penciptaan sedemikian
rupa sehingga membimbing ke arah
pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan
keagungan Tuhan. Kata addaba yan berarti
mendidik diambil dari hadis nabi, “Tuhanku
telah mendidikku, dan dengan demikian
menjadikan pendidikanku yang terbaik”.
PEMBAHASAN
Ada dua hal pokok yang akan diuraikan
dalam pembahasan ini. Pertama, harapan umat

Islam terhadap kemerosotan akhlak yang
banyak ditemui saat ini. Perilaku menyimpang
khususnya yang ditunjukkan oleh pelaksana
negara (baik di daerah maupun pusat) menjadi
salah satu tanda rapuhnya benteng keimanan
dalam diri mereka. Hal ini, salah satu faktor
penyebabnya adalah kurangnya kesadaran
individu akibat kekeringan spiritual yang
dialami. Kekeringan spiritual ini salah satu
penyebabnya adalah minimnya pengetahuan
dan pengamalan agama individu tersebut. Di
sinilah kemudian agama menjadi penting
dalam kehidupan khususnya ketika umat (Islam) menghadapi berbagai persoalan. Dalam
agama, jawaban terhadap berbagai persoalan
dapat ditemukan. Di dunia pendidikan,
terjadinya kekerasan di lingkup sekolah dan
kampus juga menjadi tanda betapa rendahnya
rasa solidaritas individu (pelaku), yang
kemungkinan besar diakibatkan oleh
kurangnya „agama‟ dalam dirinya. Di sinilah
pentingnya pelibatan agama dalam kehidupan,
bahkan perlu upaya internalisasi agama ke
dalam berbagai wujud aktivitas secara
berkelanjutan dan maksimal.
Kedua, pemetaan persoalan dan
tanggungjawab
lembaga
pendidikan
(pesantren). Pesantren sebagai lembaga
pendidikan yang khas perlu diposisikan sebagai
pilar untuk mengisi ruang kosong agama pada
setiap individu maupun kelompok sosial.
Dengan demikian, berbagai tindak kriminal
(kekerasan) dapat direduksi dan tertangani
dengan baik. Solusi terhadap berbagai
tindakan kriminal pun dilakukan dalam
bentuk upaya pencegahan (preventif) sehingga
tidak merebak menjadi konflik yang
merugikan umat secara luas. Kekerasan di
sekolah dan di kampus misalnya, menjadi
tamparan bagi dunia pendidikan. Di mana
peran lembaga pendidikan saat ini? Apakah
pembangunan karakter tidak berbanding lurus
dengan pembangunan infra-strukturnya?
Kekerasan yang berakhir hingga pembunuhan
di lingkungan sekolah dan kampus
memberikan indikasi kuat adanya sistem

40
Jabal Hikmah Vol.3 No.1, Januari 2014

pembinaan yang keliru. Pada kondisi seperti ini,
pesantren setidaknya dapat menjadi alternatif
bagi pada orangtua dalam menentukan tempat
bagi anak-anaknya menuntut ilmu.
Ketiga, format pendidikan yang sebaiknya
ditujukan pada pembentukan karakter peserta
didik. Persoalan kecerdasan (otak) memang
menjadi perioritas diadakannya pendidikan.
Bahkan pendidikan dilakukan tidak hanya di
level formal seperti sekolah (kelas), tetapi juga
di lingkungan non-formal seperti keluarga dan
masyarakat melalui berbagai kegiatan
pewarisan nilai. Orientasi kurikulum yang
selama ini monoton mengarah pada
bagaimana membuat anak pintar dan pandai,
tetapi cenderung mengabaikan bagaimana
mereka supaya bisa menjadi orang bijak/cerdas
dalam segala hal seperti pembinaan akhlak
yang berkelanjutan dalam semua bentuk, baik
formal maupun informal.
Pelibatan Agama dalam Kehidupan:
Sebuah Solusi
Agama, oleh para penganutnya, selalu
dituntut untuk memberikan solusi terbaik
terhadap berbagai persoalan sosial yang
dihadapi. Agama mampu memberikan rasa
aman terhadap pemeluknya (Geertz, 1973;
Durkheim, 1926). Oleh karena itu, Agama
dianggap mampu mengeluarkan manusia dari
segala bentuk penderitaan dan kondisi yang
tidak menyenangkan pemeluknya. Ketika
agama tidak lagi memberikan solusi terhadap
persoalan umat, secara perlahan ia akan
ditinggalkan oleh penganutnya. Penganut
agama sangat yakin terhadap peran dan fungsi
agama. Dengan beragama, berarti memiliki
tempat pencurahan segala keluh-kesah
kehidupan. Agama dianggap menyimpan
kekuatan yang dahsyat menyelesaikan berbagai
hal, baik yang sedang berlangsung maupun
yang akan datang. Anggapan seperti ini kiranya
yang menjadi alasan utama pemeluk
mempertahankan agamanya.
Pemahaman atas agama yang minim, sering
dijadikan alasan terhadap tindakan buruk yang

dilakukan oleh seseorang. Di sini, agama
dianggap sebagai media pembenahan
„kemiskinan spiritual‟ masyarakat. Tidak hanya
pada kasus sosial kemasyarakatan yang
melibatkana agama dalam penyelesaiannya,
dalam kasus lain seperti perusakan hutan juga
mengundang pelibatan agama. Berbagai
komentar tokoh agama terkait kerusakan
hutan yang terjadi dewasa ini mencerminkan
peliknya persoalan tersebut. Mereka tidak setuju
dengan berbagai eksploitasi yang berlebihan
terhadap hutan yang mengancam keselamatan
dan kemaslahatan alam.
Pada perkembangan kehidupan manusia,
berbagai persoalan sosial yang belum teratasi
memungkinkan animo masyarakat memilih
agama sebagai media solusi sangat besar.
Persoalan ekonomi seperti harga sembako yang
terus melonjat dibutuhkan sikap yang arif dan
sabar menyikapinya. Di sinilah ajaran-ajaran
agama dapat ditemukan. Nilai-nilai agama yang
mengajarkan kesabaran dan hidup sederhana
akan muncul, meskipun „terpaksa‟. Manusia
merasa butuh dengan faktor lain selain usaha
yang telah dilakukan untuk mengubah keadaan
belum membuahkan hasil. Pada kelompok
masyarakat kecil yang berprofesi sebagai
pekerja berat namun penghasilan yang
diperoleh tidak mencukupi kebutuhannya,
faktor agama sering menjadi menjadi
alternatif. Mereka mengembalikan semua yang
dialami pada takdir yang menurutnya telah
ditentukan oleh Tuhan, meskipun sikap pasrah
dan ingat kepada Tuhan tidak jarang muncul
ketika seseorang berada dalam kesulitan. Hal
ini tidak berarti bahwa manusia harus pasrah
dengan kondisinya tersebut, justru dengan
kondisi yang sulit manusia dituntut untuk
mencari solusi pemecahannya. Agama bukan
untuk Tuhan, tetapi untuk manusia (Asy’arie,
2002: 33).
Kecenderungan manusia kembali pada
agama mencerminkan kesadaran yang tinggi
terhadap kemampuan rasio yang dimiliki.
Manusia sadar terhadap keterbatasan
intelektual yang ada pada dirinya. Ilmu

41
Jabal Hikmah Vol.3 No.1, Januari 2014

pengetahuan dan teknologi yang selama ini
diagungkan tenyata hanya mampu menjawab
persoalan yang bersifat sementara (Naisbitt,
1990) tanpa memberi kepuasan batin. Ilmu
pengetahuan dan teknologi memang
memberikan sebuah jaminan kesuksesan
manusia. Hampir semua aspek kehidupan
bertumpu pada kedua hal tersebut. Berbagai
kemajuan telah diraih manusia berkat ilmu
pengetahuan dan kemajuan teknologi yang
digunakan. Namun, kepuasan belum sertamerta diraih sempurna. Terkadang, manusia
justru mencari alternatif lain pemuasan diri.
Hal tersebut adalah agama. Pada titik ini,
manusia melihat agama tidak hanya sebagai
ideologi, tetapi agama telah bekerja dalam
kehidupannya (Mircea Eliade dalam Pals, 1996).
Pesantren: Lembaga Pilar
Pembentukan Karakter Beradab
Berbagai upaya dilakukan manusia untuk
mencapai kepuasan batin. Salah satu upaya
yang dilakukan adalah melalui jalan spiritual.
Dalam Islam, upaya seperti ini telah lama
berlangsung. Di beberapa tempat khususnya
institusi agama seperti pesantren telah mempraktikkan-nya sejak lama. Pengamalan nilai
spiritual dalam kehidupan dianggap sesuatu
yang diperoleh melalui latihan. Pemupukan
nilai spiritual tidak datang tiba-tiba. Ia harus
melalui proses yang panjang (Upe, 2008).
Pesantren yang selama ini tersebar di berbagai
penjuru telah berjasa besar membentuk
pribadi Muslim yang taat terhadap ajaran
agama. Melalui proses yang panjang di
pesantren, akan ditemukan sebauh
pengalaman spiritual yang dapat dijadikan
pedoman hidup untuk meraih kepuasan batin.
Di pesantren, tidak hanya diajakarkan ilmuilmu pengetahuan tentang keduniawian, tetapi
juga tentang bagaimana menata hidup ke
depan.
Peran agama melalui media pesantren tidak
hanya membentuk pribadi yang shaleh, tetapi
juga membentuk pribadi yang mandiri, sabar,
dan siap menghadapi berbagai tantangan ke

depan. Pesantren tidak lagi hanya berfungsi
sebagai media transformasi ilmu pengetahuan
agama, tetapi juga sebagai media penyaluran
keterampilan. Di pesantren, santri dididik
untuk hidup sederhana dan mandiri tanpa
menggantungkan diri pada orang lain. Spirit
seperti ini tentu juga menjadi perhatian dalam
agama khususnya Islam yang mengajarkan
penganutnya untuk hidup dalam suasana kerja
keras untuk mencapai kemandirian. Di sini
terlihat dengan jelas betapa besarnya peran
agama dalam membentuk karakter umat yang
memiliki visi kemandirian. Sebuah bentuk yang
menuntut pelibatan semua kemampuan
manusia mencapai kesuksesan dan kepuasan.
Pesantren sebagai salah satu institusi pendidikan
yang bersentuhan langsung dengan masyarakat
diharapkan mampu memberi-kan pendidikan
yang bersifat aplikatif-solutif terhadap ragam
masalah yang dihadapi umat Islam dalam
konteks apapun.
Ketika melihat kembali peran Pesantren
Darul Mukhlisin di Sulawesi Selatan misalnya,
tampak peran praktis yang ditunjukkan
pesantren. Di pesantren tersebut, mahasiswa
dibina dan dididik untuk menjadi manusia yang
berakhlak mulai. Pendidikan tidak hanya
tertuju pada penguasaan pengetahuan agama
tetapi lebih pada pembentukan pribadi yang
berprilaku islami (Upe, 2008). Dampak
pembinaan yang dihasilkan dari pesantren ini
adalah perubahan sikap mahasiswa setelah
mengikuti kegiatan pembinaan. Mereka
menunjukkan perubahan yang signifikan.
Pergaulan dan komunikasi antar-mahasiswa
terjalin dengan baik.
Pesantren sebagai institusi pendidikan
pernah mendapat kritikan oleh Presiden
Soekarno. Pada saat itu, pesantren dianggap
sebagai institusi yang ketinggalan zaman dan
menutup diri (Asy‟ari, 1996; Saridjo, 1983).
Pesantren sering dianggap sebagai sebuah
institusi yang menganut paham tertentu.
Dalam perkembangannya, pesantren akhirakhir ini pun tidak luput dari sorotan.
Pesantren sering disebut sebagai sarang teroris.

42
Jabal Hikmah Vol.3 No.1, Januari 2014

Beberapa oknum alumni pesantren terbukti
menjadi pelaku tindakan teror di beberapa
tempat di Indonesia. Belum lagi, pesantren
menghadap tantangan berat yang datangnya
dari pengaruh pasar dalam dunia pendidikan.
Persoalan-persoalan ini menjadi tantangan bagi
pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam
yang mengajarkan ajaran cinta damai dan
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Kemampuan pesantren sebagai institusi
pendidikan agama menangkal semua
persoalan tersebut dapat dilihat dari
kesusksesan memberikan pelayanan kepada
publik (umat Islam). Dengan demikian,
pesantren juga harus melakukan adaptasi
terhadap perkembangan yang terjadi (Anwar,
2008). Pesantren harus f leksibel terhadap
perubahan dan responsif terhadap tuntutan
umat Islam. Masyarakat Muslim menginginkan
adanya pola baru yang ditawarkan pesantren
yang tidak hanya monoton pada upaya
pencerahan terhadap umat melalui misi
pendidikannya, tetapi juga langkah nyata yang
dapat dilihat di tengah masyarakat seperti
keterlibatannya dalam pencegahan terorisme,
radikalisme, dan lainnya dengan mengambil
bagian sebagai lembaga yang bertanggunjawab
dalam pembentukan karakter yang terbuka
terhadap perbedaan dan keberadaan kelompok
(agama) lain. Dalam hal ini, kemampuan
pesantren memberikan sesuatu yang baru selain
tranformasi ilmu-ilmu agama yang selama ini
diembannya menjadi tuntutan utama yang
harus direspons guna menjaga citra pesantren
sebagai lembaga pendidikan yang mampu
memberikan rasa aman baik secara sosial
maupun spiritual. Ini dapat direspons melalui
program-program yang bersifat terbuka seperti
muatan khutbah yang tidak mengklaim
kebenaran hanya ada pada kelompok dan
agama sendiri, sehingga tidak mengakibatkan
kebencian terhadap kelompok luar.
Kecenderungan
sebagian
masyarakat
muslim mengembalikan segala persoalan yang
dihadapi pada agama menegaskan pentingnya
agama dalam kehidupan manusia. Fungsi

pelayanan dan integratif menjadikan agama
akan tetap dianut oleh penganutnya
(Johnstone, 1995). Pelayanan ini tidak hanya
cukup di masjid-masjid tetapi juga harus
dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan
agama. Ketika agama mampu menegaskan
eksistensinya dengan tawaran solusi terhadap
berbagai persoalan, maka agama akan tetap
menjadi primadona bagi penganutnya. Ia pun
akan terus dianut dan dipertahankan.
Sebaliknya, jika penganut merasa tidak puas
terhadap tawaran solusi pemecahan masalah
yang ditawarkan oleh agama, maka secara
perlahan agama akan ditinggalkan. Manusia
akan mencari alternatif lain untuk
menyelesaikan masalahnya. Dengan demikian,
peran agama yang diharapkan adalah peran
yang bukan hanya bersifat doktrinal, tetapi
peran yang solutif-aplikatif. Pesantren pun
demikian, jika ia mampu melakukan transfer
keilmuan dari tekstual menjadi kontekstual
maka ia akan lebih berkontribusi terhadap
penyelesaian berbagai persoalan umat. Dalam
hal ini, ayat-ayat al-Qur‟an harus ditafsirkan
sehingga sesuai dengan konteks persoalan yang
sedang dihadapi umat. Al-Qur‟an harus
dibumikan sehingga mampu menyentuh aspek
yang menjadi kebutuhan dasar manusia (umat
Islam).
Orientasi Kurikulum: Transformasi
Pembinaan dari Otak ke Watak
Berbagai komentar yang dilontarkan para
ahli mengenai kondisi dunai pendidikan Indonesia menujukkan kekhawatiran mereka
mengenai masa depan bangsa ini. Di semua
level pendidikan (mulai dari PAUD hingga PT)
diajarkan beragam mata pelajaran yang hanya
cenderung mementingkan pemenuhan
kecerdasan peserta didik. Ini dapat dilihat dari
muatan pelajaran (khususnya ilmu-ilmu sosial)
yang lebih banyak menggiring peserta didik
untuk menghafal pelajaran, tanpa menfasilitasi
mereka untuk berupaya semaksimal mungkin
untuk menganalisis pelajaran yang diberikan.
Hal ini terjadi karena memang desain

43
Jabal Hikmah Vol.3 No.1, Januari 2014

kurikulum yang ada mengarah pada
bagaimana peserta didik pintar secara „otak‟.
Kecenderungan seperti ini memiliki kelebihan,
yaitu peserta didik mampu menguasai seluruh
pelajaran yang diberikan meskipun hanya
sebatas pemahaman terhadap mata pelajaran
tertentu dan bersifat normatif. Desain seperti
ini sesuai dengan tuntutan adanya standar nilai
yang harus diraih oleh mereka kemudian
dinyatakan lulus sehingga perserta didik hanya
fokus pada bagaimana ia lulus dalam pelajaran
tersebut.
Mata pelajaran pada sekolah-sekolah, baik
sekolah umum maupun agama, menunjukkan
adanya keinginan untuk mamacu peserta didik
untuk mengetahui „banyak hal‟ namum tidak
tuntas. Artinya, peserta didik mampu
mengetahui beberapa disiplin ilmu tetapi
mereka tidak ahli dan menguasai satupun dari
pelajaran-pelajaran yang diberikan. Mereka
disuguhi beragam pelajaran dengan waktu
tertentu sehingga konsentrasinya pun tidak
hanya pada satu pelajaran. Bahkan, hingga
mereka lulus pun sangat sulit menentukan
pilihan mengenai pada disiplin keilmuan
seperti apa nantinya mereka menjadi ahlinya.
Tentunya, hal ini tidak bisa dilepaskan dari
banyaknya mata pelajaran yang diajarkan
dalam satu level pendidikan akibata adanya
tuntutan yang harus dipenuhi sebagaimana
dijelaskan di atas tadi.
Salah satu faktor penting yang dapat
dikembangkan adalah mengubah sistem
pendidikan yang ada dengan melakukan
perubahan-perubahan mendasar khususnya
mengenai orientasi kurikulum. Kurikulum
sebaiknya diarahkan pada bagaimana peserta
didik tidak hanya menjadi pandai/pintar,
tetapi juga cerdas karena mampu memahami
secara mendalam pelajaran yang diberikan.
Hanya saja, keinginan seperti ini sangat sulit
terwujud jika mata pelajaran yang diberikan
masih seperti sekarang ini, yaitu jumlahnya
banyak. Sisi pengetahuan (otak) sebaiknya
diiringi oleh upaya peningkatan kemampuan
analasis peserta didik sehingga mereka tidak

hanya „mengetahui‟, tetapi juga mampu
„memahami‟ pelajaran.
Sisi lain yang terlupakan adalah
pembangunan dan pengembangan watak
peserta didik. Selama ini, pendidikan yang
dipraktikkan lebih banyak diarahkan pada
bagaimana membentuk otak peserta didik
melalui serangkaian proses pembelajaran yang
berlangsung. Kecerdasan yang dimiliki peserta
didik pun hanya kecerdasan „otak‟ yang dapat
dilihat dari prestasi (nilai) selama menempu
pendidikan. Pencapaian nilai yang baik
memang merupakan salah satu indikator
keberhasilan seorang peserta didik karena
menyangkut keberlanjutan pendidikannya
kelak. Mereka pun yang meraih nilai tinggi
akan dengan mudah memilih dan masuk ke
dalam sekolah-sekolah unggulan/favorit
karena salah satu ukuran yang diterapkan
adalah standar berdasarkan nilai tertinggi.
Sementara itu, bagi mereka yang memiliki nilai
rendah dengan terpaksa akan memilih sekolahsekolah non-unggulan yang dianggap
kualitasnya rendah pula. Dari sinilah proses
awal tindakan diskriminatif dipraktikkan di
lingkungan pendidikan.
Terlepas dari semua seperti yang diuraikan
di atas, satu lagi persoalan yang harus dipikirkan
adalah bagaimana mengubah orientasi sistem
pendidikan. Selama ini, yang fokus adalah
pembentukan otak, bukan watak peserta didik.
Dari segi kecerdasan (intelektual), peserta didik
memiliki kemampuan yang bervariasi,
tergantung pada keseriusan mereka selama
menempuh pendidikan. Inilah kemudian yang
ditengarai oleh banyak pihak sebagai „pemicu‟
terjadinya kekerasan di sekolah-sekolah dan
perguruan tinggi karena kurangnya pembinaan
mental dan perilaku peserta didik. Konsentrasi
pada peningkatan kemampuan dan
pengetahuan tidak diimbangi oleh upaya
membangun kepribadian peserta didik. Kondisi
mentalnya pun tidak berbanding lurus dengan
prestasi akademik yang bersangkutan sehingga
sikap individualistis cenderung dipertahankan,
sementara sikap kolektivitas terabaikan.

44
Jabal Hikmah Vol.3 No.1, Januari 2014

Kondisi ini setidaknya merupakan efek dari
kurangnya penekanan pada pembinaan mental peserta didik di lembaga-lembaga
pendidikan. Tidak heran kiranya, jika
semangat sportivitas sangat sulit dilakukan oleh
peserta didik. Bahkan, semangat menghargai
dan mengakui keberadaan orang lain sangat
sulit diwujudkan. Mereka pun akhirnya hanya
menganggap diri dan kelompoknya yang pantas
ada.
Kekerasan yang terjadi mulai dari tingkat
Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi
(PT) menunjukkan rasa kepedulian terhadap
orang lain sangat rendah. Ini terjadi karena
rendahnya watak kemanusiaan yang ada pada
pribadi dan suatu kelompok orang sangat
minim. Tampaknya, mereka (pelaku
kekerasan) tidak memiliki sensitivitas
kemanusiaan sehingga cenderung bertindak
anarkis dan mencelakakan orang lain. Di
sinilah esensi pendidikan karakter itu penting
dalam rangka menumbuhkan karakter
kemanusiaan untuk tumbuh lebih baik dan
meminimalkan karakter hewani yang terus
melekat pada diri seseorang maupun
kelompok. Dengan demikian, pembangunan
watak peserta didik menjadi penting dilakukan
dalam rangka menciptakan manusia-manusia
yang memiliki kemampuan intelektual yang
berdaya saing tinggi dan kepribadian yang
berkeadaban
dengan
senantiasa
mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan
keislaman.
Ketika melirik studi yang dilakukan oleh
Djunaedi (2013) dalam penelitian disertasinya
yang bertajuk revitalisasi lembaga pendidikan
Islam di Sulawesi Selatan, akan ditemukan
sebuah formulasi pendidikan yang lebih
komprehensif-integratif. Dalam studi ini
terlihat dengan jelas bagaimana pesantren
difungsikan dalam berbagai bentuk yang diikuti
oleh berbagai aktivitas pembinaan yang tidak
hanya mngarah pada pencerdasan otak, tetapi
juga pencerdasan watak para santri. Penyajian
kurikukum tidak hanya pada bagaimana para
santri pandai membaca kitab, memahami,

kemudian menyebarluaskannya tetapi juga
bagaimana mereka membina diri melalui
serangkaian kegiatan yang berorientasi pada
pembinaan diri seperti hidup sederhana,
menghargai orang lain, mengakui keberadaan,
peran, dan fungsi orang lain. Singkatnya,
bagaiamana bahasa kitab menjadi bahasa
pergaulan. Bagaimana ajaran Islam dibumikan
sehingga menyentuh aspek yang lebih rill.
Pesantren pun kemudian tidak hanya
dimanfaatkan sebagai media pembelajaran
yang mengarah pada penguasaan keilmuan,
tetapi juga pembenahan akhlak kepribadian
yang selalu mengedepankan semangat
penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
SIMPULAN
Pendidikan yang banyak menekankan pada
bagaimana mencerdaskan otak berdampak
pada meningkatnya kecenderungan peserta
didik yang hanya mengejar pemenuhan dan
pencapaian nilai (baca: angka) yang disyaratkan
di sekolah tanpa diimbangi oleh pembangunan
perilaku yang humanis. Pengejaran nilai bagus
di satu sisi membuat peserta didik lebih rajin,
tekun, dan disiplin khususnya dalam mengikuti
proses pembelajaran di sekolah. Akan tetapi,
di sisi lain, sikap individualis justru mudah
muncul khususnya ketika ia sedang menghadapi
situasi dan kondisi tertentu seperti sedang
menghadapi ujian. Orientasi pendidikan
seperti ini tidak salah, tetapi harus dibarengi
dengan upaya lain yang lebih menekankan
pada pembentukan karakter peserta didik yang
sadar akan posisinya sebagai bagian integral dari
sebuah sistem kehidupan sosial yang di
dalamnya juga ada orang lain.
Kekerasan yang terjadi di lingkungan
sekolah sangat mencoreng wajah dunia
pendidikan. Antara kekerasan dan pendidikan
sesungguhnya merupakan dua entitas yang
berada pada sisi yang bertolak-belakang. Hal
ini sama halnya keberadaan antara obat dan
penyakit. Pendidikan semestinya menjadi media penghapus kekerasan. Obat adalah
penyembuh bahkan penghilang penyakit.

45
Jabal Hikmah Vol.3 No.1, Januari 2014

Akan tetapi, realitasnya justru berada pada
ruang yang sama. Perilaku anarkis (kekerasan)
justru dipraktikkan di lembaga pendidikan
(sekolah). Keberadaan lembaga pendidikan
dengan segala ornamen di dalamnya sudah
sepantasnya mengambil jalan yang tepat dalam
rangka menciptakan pendidikan yang betulbetul mengepankan semangat kemanusiaan.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan (Islam) tertua di Indonesia memiliki dasar yang
kuat dalam rangka membentuk perilaku
peserta didik yang memanusiakan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan, et.al. 2008. Agama,
Pendidikan Islam, dan Tanggungjawab
Sosial Pesantren. Yogyakarta: Sekolah
Pascasarjana UGM- Pustaka Pelajar.
Al-Attas, Sayed Muhammad an-Naquib.
1988. Konsep Pendidikan dalam Islam.
Bandung: Mizan.
Anwar, Ali. 2008. “Eksistensi Pendidikan
Tradisional di Tengah Arus Modernisasi
Pendidikan:
Studi
terhadap
Keberlangsungan
Madrasah
Hidayatul Mubtadiin di Pondok
Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur”,
dalam Irwan Abdullah (ed.). Agama,
Pendidikan, dan Tanggung Jawab Sosial
Pesantren.
Yogyakarta:
Sekolah
Pascasarjana UGM-Pustaka Pelajar.
Asy‟ari, Zubaidi H. 1996. Moralitas
pendidikan Pesantren. Yogyakarta: PT.
Kurnia Alam Semesta.
Asy‟arie. Musa. 2002. Menggagas Revolusi
Kebudayaan tanpa Kekerasan. Yogyakarta:
LESFI.
Djunaedi. 2012. “Revitalisasi Lembaga
Pendidikan Islam”, Laporan Penelitian.
Pare- Pare: STAIN Pare-pare. Tidak
Dipublikasikan.
Durkheim, Emile. 1926. The Elementary
Forms of Religious Life. New York: The
Free Press.
Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation
of Cultures. New York: Basic.
Harian Kompas, Edisi 29 Mei 2013.

Keterbatan khususnya infrasturktur dan
finansial lembaga pendidikan (pesantren)
bukan menjadi batu sandungan dalam
meneruskan kiprah mulianya mencetak
generasi yang beradab. Pendidikan Indonesia
sepantasnya tidak lagi terdikotomi dan
terperangkap dalam klaim agama dan umum,
negeri dan swasta, dan lain sebagainya untuk
bersama membangun pendidikan yang
berkeadaban di tengah semakin kompleksnya
persoalan kehidupan saat ini yang belum
menemukan titik penyelesaiannya.
Johnstone, Ronald L. 1995. Religion in
Society.New Jersey: Prentise-Hall, Inc.
Kung, Hans. 1991. Global Responsibility in Search
of a New World Ethic. New York:
Crossroad.
Misrawi, Zuhairi. 2007. Al Quran Kitab Toleransi.
Jakarta: Fitrah.

Naisbitt, John dan Patricia Aburdene. 1990.
Megatren 2000. Jakarta: Binarupa Aksara.
Nasir, M. Ridlwan. 2010. Mencari Tipologi
For- mat Pendidikan Ideal: Pondok
Pesantren di tengah Arus Perubahan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pals, Daniel L. 1996. Seven Theories of
Religion. Diterjemahkan oleh Inyiak
Ridwan
Muzir,
dkk.
Konstruksi
Kebenaran Kritik Tujuh Teori Agama.
Yogyakarta: IRCiSoD.
Pals, Daniel L. 1996. Seven Theories of
Religion.New York: Oxford University Press.
Putra Daulay, Haidar. 2001. Historitas dan
Eksistensi
Pesantren,
Sekolah
dan
Madrasah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Saridjo, Marwan. 1983. Sejarah Pondok
Pesantren di Indonesia. Jakarta: Darma
Bhakti.
Upe, Ilyas. 2008. “Gerakan Neo Sufisme
dalam Pesantren di Sulawesi Selatan”,
dalam Irwan Abdullah (ed.). Dialektika
Teks Suci Agama. Yogyakarta: Sekolah
Pascasarjana UGM- Pustaka Pelajar.
van Bruinessen, Martin. 2012. Kitab
Kuning,
Pesantren
dan
Tarekat.
Yogyakarta: Gading Publishing.

46
Jabal Hikmah Vol.3 No.1, Januari 2014