BAB I FITROH topeng
BAB I
PENGANTAR
A.
LATAR BELAKANG
Salah satu bentuk kesenian di Jawa dan keberadaannya
telah ada beratusratus tahun yang lalu adalah wayang. Kata
wayang (secara harfiah "bayangan"), sekarang menunjuk pada
berbagai boneka dari kulit yang dipahat pipih dari wayang kulit.
Bentuknya sendiri yang distilisasi dari boneka Jawa berlebihan,
seperti sebuah bayangan bentuk manusia Jawa yang alami. Orang
bisa mengatakan bahwa bayangan dari wayang tajam dan mantap
atau panjang dan bergetar adalah sebuah bayangan dari bayan
gan.1 Akan tetapi kata wayang setelah mengalami perluasan
makna merupakan gambaran kehidupan manusia dan alam
semesta, ungkapan misteri dari kehidupan yang menampilkan
tokohtokoh personifikasi nenek moyang atau leluhur.2 Wayang
mengalami perkembangan mulai abad delapan hingga sekarang
dalam bentuk cerita, boneka, bentuk pementasan, dan lain lain.
Seiring dengan perkembangan arus globalisasi dan barangbarang
elektronik yang semakin melimpah, keberadaan wayang sebagai
Claire Holt, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Ter
jemahan R.M Soedarsono (Bandung: MSPI, 2000), 156.
2
Henri Supriyanto, Kamus Kecil: Istilah Seni Drama dan Teater
(Malang: Dioma, 1990), 64.
1
2
salah satu kesenian tradisional yang adiluhung mulai tergeser.
Wayang menjadi terpinggirkan, kedudukannya digantikan oleh hi
buranhiburan yang berisi hurahura atau kadangkadang sedikit
diselipi pesan moral. Jika keseniankesenian tradisional maupun
kesenian istana tidak dilestarikan dalam bentuk slide, foto, video,
serta penerbitan buku dimungkinkan lambat laun akan musnah.
Bentukbentuk yang paling tua dari seni pertunjukan Jawa
yang diketahui adalah wayang kulit (drama bayangbayang),
wayang bèbèr (pertunjukan gulungan kertas), dan wayang topèng
atau topèng (tari bertopèng).3 Topèng merupakan hasil karya seni.4
Keberadaan topèng sudah amat tua. Hal itu dapat ditemui dari
berbagai tinggalan kepurbakalaan dan manuskripmanuskrip
naskah kuna. Teater topèng adalah teater tradisional yang masing
masing aktornya memakai tutup wajah atau bertopèng.5
Sebuah topèng dari jaman prasejarah yang berukir dari se
lembar emas ditemukan di Pasir Putih dari Jawa Timur. 6 Pada
waktu itu penggunaan topèng sebagai kedok atau penutup/tempat
wajah bagi orang yang meninggal. Kebenaran dari perilaku terse
James R. Brandon, JejakJejak Seni Pertunjukan di Asia Teng
gara, terjemahan R.M. Soedarsono (Bandung: P4ST UDI 2003), 62.
4
Hamzuri, Warisan tradisional itu Indah dan Unik (Jakarta: De
partemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2000), 481.
5
Supriyanto, 1990, 61.
6
Sal Murgiyanto, “Ritualistic Mask Performance” Indonesia Her
itage: Performing Arts. Editor: Edi Sedyawati (Singapore: Archepilago
Press, 1998), 40.
3
3
but belum diketahui, dimungkinkan topèng untuk tengkorak/
kerangka yang dipercaya sebagai salah satu kekuatan setelah
melakukan kerja. Pertunjukan topèng ini relatif, setidaknya ada
suatu pertemuan dari orangorang tersebut. 7 Dalam hubungan ini
dapat ditarik kesimpulan bahwa topèng itu digunakan dalam su
atu kepercayaan mengenai alam sesudah kematian. Jadi ini
bersangkutan dengan orang yang telah meninggal dunia. Tindakan
ini dilakukan oleh kerabatnya atau setidaknya oleh mereka yang
mempunyai ikatan erat dengannya. Melalui jalan pikiran ini, maka
dapat dikatakan bahwa si mati adalah "nenek moyang" orang yang
merawatnya. Dengan demikian ide awal diciptakan topeng oleh
nenek moyang adalah sebagai sarana menghormati dan
melakukan kontak dengan pendahulupendahulunya yang telah
meninggal dunia.
Di Indonesia, mungkin setiap daerah memiliki topèng yang
memiliki fungsi dan kegunaan hampir sama antara satu dengan
yang lain. Di Irian Jaya, beberapa topèng kematian dihubungkan
antara tradisi atau kebiasaan seorang kepala suku dengan masa
lalu. Jipai atau Jipae digunakan untuk menutupi rahasia terbesar
seorang lelaki, yang menutupi seluruh tubuh kecuali kaki. Di
Batak Karo terdapat topèng yang disebut gundalagundala, orang
Edi Sedyawati “Topeng dalam Budaya” dalam Jurnal
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1993), P. 1
77
4
Batak Simalungun menyebut hudahuda, orang Batak Pakpak
menyebut topeng mangkudamangkuda.8 Di Jawa hampir setiap
daerah memiliki topèng yang mempunyai ciri khas yang berbeda
beda. Di Yogyakarta, repertoar topèng hanya di mainkan sebagai
pelengkap suatu cerita yang tertulis, dan lebih menekankan unsur
gerak tari, seperti Klana topèng, Gunung SariRegol, KlanaSem
bunglangu, DewandiniSihpi, dan sebagainya. Pertunjukan topèng
berlakon yang utuh menjadi pertunjukan sporadis di desadesa
saja.9 Topèng Babakan dari Cirebon pertunjukannya hanya dita
mpilkan babak demi babak, sesuai dengan permintaan penyeleng
gara atau "penanggap".10 Di daerah Malang dan Madura Jawa
Timur, pertunjukan topèng menekankan peran pencerita atau
dalang. Dalang menceritakan cerita dan memimpin percakapan
antarpenari. Saat penari topèng memainkan peranannya sesuai
percakapan dalam setiap gerakan tarinya.11 Mengenai kapan
wayang topèng di Jawa Timur mulai berkembang kami berasumsi
pada sekitar pertengahan abad ke16, bersamaan dengan penye
baran agama Islam di Pulau Jawa. Ini berarti bersamaan dengan
Hamzuri, 2000, 482.
I Made Bandem dan Sal Murgiyanto, Teater Daerah (Yogyakarta:
Kanisius, 1996 cetakan ulang 2000), 130.
10
Tati Narawati, Wajah Tari Sunda dari Masa ke Masa (Bandung:
P4ST UPI, 2003), 61.
11
A.M, Munardi, "Javanese Masks from Malang and Madura" In
donesia Heritage: Performing Art, Editor: Edi Sedyawati (Singapore:
Archepilago Press, 1998), 48.
8
9
5
perkembangan topèng dalang di Cirebon.12 Selain itu, Kemudian
pada awal penyebaran agama Islam di Indonesia, para Wali Sanga
mencoba memperbaiki tari topèng agar dapat disesuaikan dengan
aturan agama Islam. Diantaranya adalah dengan merubah tata
busana tari topèng menjadi lebih sopan dan mengganti bahan alat
musik tari topèng.13
Topèng Malang merupakan salah satu kesenian rakyat
(daerah Malang) yang sangat kental unsur kelokalannya. Ia juga
dilatarbelakangi oleh unsur budaya masyarakat
agraris.
Masyarakat menyadari bahwa secara kodrat kehidupan wayang
Jawa Timuran (wayang kulit dan wayang topèng) dan wayang
Jawa Tengah (wayang kulit dan wayang topèng) di Surakarta dan
Yogyakarta sangat berbeda. Wayang Jawa Timuran (wayang kulit
dan wayang topèng) lahir dari kalangan rakyat bawah, seperti hal
nya perkembangan wayang pesisiran lainnya. Adapun wayang
gaya Surakarta maupun Yogyakarta dipelihara dan dikembangkan
oleh kalangan atas (kraton).14
12
Soedarsono (R.M. Soedarsono) dan Tati Narawati, Dramatari
di Indonesia, Kontinuitas dan Perubahan (Yogyakarta: UGM Press,
2011), 55.
13
Nurdin Kalim dan kawankawan, Tantra: Tafsir Baru Panji,
Tempo Online, 28 Juni 2010.
14
Suyanto, Wayang Malangan (Surakarta: Citra Etnika, 2002),
37.
6
Wayang topèng Malang memiliki ciri khas yang berbeda
dengan wayang topèng lain. Hal ini dapat disaksikan pada
corak dandanan busana pertunjukan Panji Jabung dan Ked
hungmangga sekarang ini. Terutama Jamang (irahirahan
kepala) yang mirip dengan Jamang yang digunakan dalam per
tunjukan semacam di Bali. Dan Bali merupakan mata rantai
kesinambungan budaya sejak jaman abad XIII. Juga pahatan
relief candicandi Jawa Timuran menunjukkan corak yang
serupa.15
Karakter pembeda lainnya, pementasan wayang topèng
Malang bisa disejajarkan dengan teater rakyat lain, walaupun dari
segi cerita mengambil latar kerajaan. Hal ini dikarenakan wayang
topèng Malang dikelola oleh rakyat (Malang) dan tumbuh dengan
subur di lingkungan tersebut.16 Selain itu, peran penting seorang
dalang sangat dominan sekali dalam pertunjukan drama tari
wayang topèng Malang, karena keberhasilan pertunjukan sangat
ditentukan oleh kepiawaian dalang saat memimpin pertunjukan.
Cerita yang digunakan dalam pertunjukan drama tari
wayang topèng Malang adalah cerita Panji. Perlu kita ketahui,
cerita Panji merupakan produk Jawa Timur yang muncul pada
Soenarto Timoer, Topeng Dhalang di Jawa Timur (Jakarta:
Dekdikbud,1979/1980), 21.
16
Batasan tentang teater rakyat adalah teater yang berasal
dari rakyat dan dikelola oleh rakyat. (Supriyanto) 1990, 24
15
7
masa Kerajaan Kediri di abad12 dan berkembang subur di abad
ke14 pada masa Majapahit.17 Pertunjukan topèng di daerah lain
tanpa adanya dialog dan merupakan repertoar tari suatu tokoh
tertentu tanpa didampingi oleh tokoh lain, seperti dalam pertun
jukan topèng babakan yang bersumber pada cerita Ramayana Ma
habharata, Damarwulan, ataupun Panji. Di Bali wayang topèng
yang mengambil cerita Ramayana disebut dengan wayang wang.
Adapun siklus Panji digunakan untuk drama tari klasik gambuh
dan arja.
Kesenian topèng Malang jika dilihat dari bentuk topèng dan
penyajiannya mempunyai kekhasan tersendiri. Hal ini tampak
sangat jelas apabila dibandingkan dengan kesenian topèng dari
berbagai daerah lain yang hidup di Jawa. Perbedaan ini dikare
nakan adanya nuansa lokal yang begitu kuat seperti pada solah
gerak tarinya, busana tari, dialog, dan bentuk dari topèng itu
sendiri, serta penampilannya. Oleh sebab itu topèng Malang bisa
tumbuh menjadi suatu gaya maupun identitas budaya tersendiri
bagi masyarakat Kabupaten Malang yang merupakan keragaman
seni pertunjukan di Jawa Timur.18
17
Soedarsono (R.M. Soedarsono) dan Tati Narawati, 2011, 63.
Mamik Suharti,"Karimun Seniman Topeng Malang jawa Timur:
Sebuah Biografi" (Tesis untuk mencapai Derajat Sarjana S2 pada Pro
gram Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, 2003), 56.
18
8
Lakon Panji Reni dalam pertunjukan drama tari topèng
Malang dibawakan oleh dalang tanpa teks tertulis. Sang dalang
mendapatkan cerita berdasarkan ingatan yang dia terima, lihat,
dan resapi dari dalang sebelumnya, sehingga pertunjukan wayang
topèng Malang bersifat turun temurun. Dalam pertunjukan topèng
Malang cerita Panji yang berbentuk lisan dimungkinkan banyak
variasivariasi yang dibawakan oleh dalang yang berasal dari satu
induk cerita. Variasivariasi tersebut dimungkinkan adanya suatu
selipan cerita lain yang dapat menambah kekayaan sastra dan
mungkin bisa dilestarikan dalam bentuk dokumentasi tulis seba
gai salah satu khasanah budaya bangsa.
B. RUMUSAN MASALAH
Pertunjukan drama tari wayang topèng Malang yang penuh
dengan nuansa lokal sangat menarik untuk diteliti dari aspek per
tunjukan, aspek sastra dan aspek drama. Bermula dari lakon den
gan tema Panji beserta variasi dalam pertunjukan drama tari
wayang topèng Malang sangat banyak sekali. Dalang mempunyai
satu cerita inti, akan tetapi dalam pementasannya cerita tersebut
dikembangkan menjadi beriburibu cerita dengan motif yang
sama. Antara lakon yang telah mendapat variasi dengan dokumen
tasi yang tertulis terdapat perbedaan yang sangat prinsip, misal
nya penambahan atau perubahan nama tokoh, penambahan atau
9
perubahan adegan, tempat, suasana, dan lainlain. Penambahan
penambahan tersebut memang kadangkadang diperlukan oleh
dalang untuk menambah "rasa" pertunjukan drama tari wayang
topèng Malang atau juga untuk mengulurulur waktu dalam se
malam suntuk.
Dalam cerita Panji yang terdokumentasi secara tertulis tidak
ada penambahan cerita, tokoh, suasana, maupun latar yang mem
buat cerita terlalu luas sehingga memerlukan penyelesaian yang
sangat rumit. Cerita Panji dalam bentuk dokumentasi tertulis
bersifat mudah dicermati bagi siapa saja yang biasa membacanya.
Terkadang sudah diterjemahkan dari bentuk teks asli ke bahasa
Indonesia maupun bahasa Inggris sehingga pembaca asing bisa
memahaminya. Nuansa lokal Malangan dari segi bahasa sangat
kental dalam pertunjukan drama tari wayang topèng Malangan
dan bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Timuran berciri
khas Malangan. Demikian juga dengan pemakaian tembang, suluk,
pocapan, gending dan lainlain nuansa Jawa Timuran terutama
Malangan sangat kental. Berdasarkan ciri khas yang telah
terungkap, pertunjukan drama tari wayang topèng Malang lakon
Panji Rèni sangatlah penting untuk diteliti, diketahui, dan di
ungkap dari aspek pertunjukan, sastra, dan drama.
10
Uraian yang telah dikemukakan di atas sangat menarik untuk
dijadikan objek penelitian dan penulisan terutama dari segi per
tunjukan dan sastra, mengingat belum ada penelitian tentang per
tunjukan drama tari wayang topèng Malang yang berfokus pada
hal tersebut. Berdasarkan penjabaran di atas, penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah aspekaspek dramaturgi cerita Panji dalam
pertunjukan drama tari wayang topèng Malang lakon Panji
Rèni?
2. Bagaimanakah transformasi cerita Wangbang Wideya dalam
buku Wangbang Wideya: A Javanese Panji Romance ke per
tunjukan drama tari wayang topèng Malang lakon Panji
Rèni?
Dari kedua rumusan masalah di atas, tampaknya sudah
mewakili suatu permasalahan yang berkaitan dengan pertunjukan
dan cerita Panji itu sendiri, beserta variasivariasi pembentuk su
atu lakon pada Pertunjukan drama tari wayang topèng Malang
lakon Panji Rèni.
Masalah pertama berkaitan dengan aspekaspek drama
dalam Pertunjukan drama tari wayang topèng Malang lakon Panji
Rèni seperti struktur lakon Panji Rèni, aspek karakterisasi gerak
tari, busana, alat musik, dan lainlain. Pada masalah kedua
11
peneliti lebih memfokuskan pada transformasi cerita Wangbang
Wideya dalam buku Wangbang Wideya: A Javanese Panji Romance
ke pertunjukan drama tari wayang topèng Malang lakon Panji Rèni
yang diceritakan oleh dalang. Dengan fokusfokus pembahasan
tersebut diharapkan dapat menjawab pokok permasalahan dalam
penelitian ini.
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang
telah diuraikan di atas, maka dapat dijelaskan tujuan dari peneli
tian ini, yakni:
1. Untuk mengetahui pertunjukan drama tari wayang
topèng Malang Lakon Panji Rèni.
2. Untuk mengetahui unsurunsur pembentuk drama atau
motifmotif pembentuk drama dalam pertunjukan drama
tari wayang topèng Malang Lakon Panji Rèni.
3. Untuk mengetahui uraian transformasi cerita Panji dari
Wangbang Wideya dalam buku Wangbang Wideya: A Ja
vanese Panji Romance ke pertunjukan drama tari wayang
topèng Malang dengan lakon Panji Rèni.
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian per
tunjukan drama tari wayang topèng Malang lakon Panji Rèni bagi
khalayak umum maupun bagi penulis merupakan sumbangan
12
yang besar untuk mengetahui deskripsi pertunjukan drama tari
wayang topèng Malang lakon Panji Rèni. Secara lebih rinci
berfokus pada disiplin ilmu seni pertunjukan, dan sastra.
D. TINJAUAN PUSTAKA
Beberapa buku referensi yang terkait dengan penulisan
drama tari wayang topèng Malang lebih menitikberatkan pada se
jarah dan pertunjukan drama tari wayang topèng Malang, akan
tetapi berkaitan dengan aspek sastra dan drama dalam penulisan
tersebut tidak begitu banyak dikupas. Aspek sastra dalam beber
apa buku tentang pertunjukan drama tari wayang topèng Malang
hanya menampilkan secara ringkas transkripsi lakon yang beredar
di beberapa daerah, tanpa menampilkan secara utuh bentuk lakon
tersebut. Demikian juga dengan aspek drama tidak begitu banyak
bukubuku yang berkaitan dengan pertunjukan drama tari
wayang topèng Malang.
Judul buku Drama tari wayang topeng Malang (1997) yang
ditulis oleh Henri Supriyanto dan M. Soleh Adi Pramono menitik
beratkan pada transkripsi singkat cerita Panji yang ada di Pulung
dawa Tumpang dengan Kedungmangga Pakisaji, sejarah wayang
topèng Malang, konsep pertunjukan drama tari wayang topèng
Malang secara umum, disertai dengan bentukbentuk topèng yang
ada di Kedungmangga dan Glagahdawa Tumpang. Buku ini dapat
13
menambah wawasan yang terkait dengan ragam lakon cerita Panji
serta variasinya, dan terpenting informasi yang berharga tentang
transkripsi lakon Panji Reni.
Soenarto Timoer menulis buku tentang Topeng Dhalang,
asalmuasal dan sejarah topeng dhalang (terutama di Jawa Timur)
serta aneka ragam gambar topèng Malang dengan topèng Madura
(1979/1980). Informasi penting yang dapat menunjang penelitian
ini adalah transkripsi lakon Panji Reni yang dapat dijadikan per
bandingan dengan lakon Panji Reni yang telah dipadatkan karena
keterbatasan waktu.
Sal M. Murgiyanto dan A.M Munardi melakukan penelitian
Wayang Topèng Malang dengan menghasilkan buku yang berjudul
Topèng Malang Pertunjukan Drama Tari Tradisional di Daerah
Kabupaten Malang (1979/1980). Buku ini memberikan informasi
yang tidak sedikit tentang sejarah dan persebaran daerah wayang
topèng Malang, fungsi dan peranan sosialnya, bentuk penyajian
dan Pertunjukan topèng wayang serta dilampiri transkripsi lakon
lakon yang ada dalam Pertunjukan drama tari wayang topèng
Malang yang bisa dijadikan awal dan perbandingan dalam peneli
tian ini yang berkaitan dengan transkripsi lakon.
Kidung Wangbang Widèya yang ditulis ulang oleh S. O. Rob
son dalam buku karangannya Wangbang Wideya: A Javanese
14
Panji Romance (1971) merupakan kidung Bali yang diterjemahkan
dari bahasa Bali ke bahasa Inggris. Buku ini merupakan salah
satu buku referensi yang sangat penting dalam penelititan ini se
bagai salah satu objek penelitian yang dijadikan perbandingan an
tara cerita Panji yang telah terlisankan dengan cerita Panji yang
telah ditulis. Halhal yang disebut dalam buku: mengapa disebut
cerita Panji, kidung dan metrum tengahan, Wangbang Wideya se
bagai karya sastra dan hubungan cerita Panji dengan drama.
Penelitian yang dilakukan oleh Siti Baroroh Baried dan
kawankawannya menghasilkan diktat tentang “Panji Citra
Pahlawan” (1980), banyak mengupas Cerita Panji beserta
carangancarangannya yang tersebar di Indonesia, seperti Serat
Panji Jaya Kusuma, Panji Anggrèni, Panji Jayeng Tilam, geguritan
Pakang Raras, Geguritan Cinilaya, Hikayat Panji Kuda Semirang,
Hikayat Galuh Digantung, Jaran Kinanti Asmaradana, dan Hikayat
Misa Taman Jayeng Kusuma.
Dengan adanya penelaahan terhadap beberapa buku refer
ensi diharapkan oleh peneliti dapat membantu dalam penelitian
ini, dan dapat dicari peluang untuk dijadikan suatu penelitian
yang berbeda dengan sebelumnya.
E. LANDASAN TEORI
15
Penelitian ini menggunakan pendekatan multidisiplin yakni
pendekatan filologi, sastra, dan dramaturgi untuk memahami
cerita. Cerita Panji memerlukan dokumentasi tulis yang berasal
dari data lisan yakni Pertunjukan drama tari wayang topèng
Malang lakon Panji Rèni lalu dipindahkan oleh peneliti ke bentuk
tulis untuk bisa diterjemahkan dan dipahami jalan ceritanya. Pe
mindahan dari bentuk lisan ke bentuk tulis memerlukan pen
dekatan ilmu filologi yang menunjang pencermatan peneliti dalam
memahami, menulis, dan mengolah bentuk asli naskah lakon Per
tunjukan drama tari wayang topèng Malang lakon Panji Rèni. Kata
filologi berasal dari bahasa Yunani Philologia yang arti aslinya
“kegemaran berbincangbincang”. Menurut istilah filologi adalah
ilmu yang menyelidiki perkembangan kerohanian sesuatu bangsa
dan kekhususannya atau yang menyelidiki kebudayaan berdasar
bahasa dan kesusastraannya.19
Filologi dimulai dengan penggunaan materi mentah yang
belum dibahas dan dalam bentuk naskah yang belum diter
bitkan.20 Demikian juga dengan cerita Panji yang di dapat dalam
Wagen Voort, “Filologi An Har Methode” (Amsterdam: Serte Ned
erlandse systematisch Ingerichte Encyclopadedie, III, 1947), 41, Seperti
yang dikutip oleh Sulastin Sutrisno dalam pidato pengukuhan jabatan
Guru Besar tetap Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah
Mada di Yogyakarta, pada tanggal 19 Maret 1998, 5561.
20
S.O Robson, PrinsipPrinsip Filologi di Indonesia (Jakarta: RuL,
1994), 12.
19
16
pertunjukan drama tari wayang topèng Malang Lakon Panji Rèni
yang masih berupa bentuk mentah dari data lisan. Bentuk atau
materi diambil dari pertunjukan drama tari wayang topèng Malang
itu ditransliterasi. Translitrasi didefinisikan sebagai pemindahan
dari satu tulisan ke tulisan lain. 21 Setelah materi mentah yang
masih bentuk lisan itu ditransliterasi maka akan didapat bentuk
baku yang sudah ditulis dan siap dianalisis. Filologi yang biasanya
diterapkan pada sastra tulis perlu pula ditinjau kegunaannya bagi
sastra lisan yang mulai berkembang sebagai cabang ilmu sastra
sesudah tahun 30 abad ini.22
Setelah naskah lakon pertunjukan drama tari wayang
topèng Malang lakon Panji Rèni telah ditranskripsi oleh peneliti ke
bentuk tulis, maka dilakukan penerjemahan ke dalam bahasa In
donesia, supaya bisa dianalisis. Terjemahan atau translation
adalah penggantian materi tekstual dalam bahasa yang satu (ba
hasa sumber) dengan materi tekstual yang sama dengan bahasa
yang lain (bahasa sasaran).23 Macam terjemahan itu ada tiga, yaitu
free translation (terjemahan bebas), literal translation (terjemahan
S.O Robson, 1994, 24
Amin Sweeney, Profesional Malang StoryTelling, Some Questions
of Style and Presentation ( … MBRAS, 11, 1973), 154.
23
Zuchridin Suryawinata, Analisis dan Evaluasi terhadap terjema
han Novel sastra "The Adventures of huckleberng finn" dari bahasa Ing
gris ke bahasa Indonesia (Disertasi untuk mendapatkan gelar Doktor
dalam Ilmu Sastra, Universitas Negeri Malang), 1982, 23, Seperti yang
dikutip oleh Hartono, Belajar Menerjemahkan: Teori dan Praktek,
(Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2003, 11.
21
22
17
harfiah), dan word for word translation (terjemahan kata demi
kata).24 Setelah naskah lakon Panji Rèni diterjemahkan oleh
penulis ke bahasa Indonesia, maka dapat difahami jalan ceritanya,
diketahui tokoh, latar, serta alur cerita (struktur dramatik).
Naskah lakon Panji Rèni yang sudah berbentuk tulis dan telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka dilakukan anali
sis transformasi yang dikaitkan dengan naskah Wangbang Wideya
dalam buku Wangbang Wideya: A Javanese Panji Romance karya
S.O. Robson.
Julia Kristeva mengemukakan bahwa tiap teks itu meru
pakan mosaik kutipankutipan dan merupakan penyerapan
(transformasi) teksteks lain. Maksudnya, tiap teks itu mengambil
halhal yang bagus diolah kembali dalam karyanya atau ditulis
setelah melihat, meresapi, menyerap hal yang menarik baik secara
sadar maupun tidak sadar. Setelah menanggapi teks lain dan
menyerap konvensi sastra, konsep estetik, atau pikiranpikirannya
kemudian mentransformasikannya ke dalam karya sendiri dengan
gagasan dan konsep estetik sehingga terjadi perpaduan baru, kon
vensi dan gagasan yang diserap itu dapat dikenali apabila kita
membandingkan teks yang menjadi hipogramnya dengan teks
baru itu. Teks baru atau teks yang menyerap dan mentransfor
Suripan Sadi hutomo, Mutiara Yang Terlupakan: Pengantar
Studi Sastra Lisan (Surabaya: HISKI Jawa Timur, 1991), 8687.
24
18
masikan hipogram itu disebut teks transformasi.25 Hubungan an
tara filologi lisan dengan filologi tulis dapat berupa teks lisan be
rasal dari teks tulis, dan teks tulis berasal dari teks lisan. 26
Demikian juga dengan perbandingan teks naskah cerita Panji
dalam pertunjukan drama tari wayang topèng Malang mungkin
berasal dari naskah Cerita Panji dalam Wangbang Wideya yang
telah diubah sedemikian rupa oleh dalang,
Pendekatan selanjutnya dalam penelitian ini adalah pen
dekatan dramaturgi. Dramaturgi merupakan ajaran tentang
masalah hukum dan konvensi drama.27 Kata Dramaturgi berasal
dari istilah Drame. Drama merupakan cerita yang berdialog dari
berbagai konflik manusia dengan memakai percakapan dan akting
yang dipentaskan kepada penonton.
Drama terdiri dari beberapa unsur yang saling berkaitan
dan keberadaan masingmasing unsur tidak dapat ditiadakan
dalam pertunjukannya. Unsurunsur tersebut meliputi cerita yang
akan dipentaskan (lakon), busana dan aksesoris pendukung, latar
baik waktu maupun tempat, musik pengiring, pelaku atau pemain
drama, sutradara yang memimpin pertunjukan drama.
Rina Ratih, "Pendekatan Intertekstual dalam Sastra" dalam
Metodologi Penelitian Sastra, Editor: Jabrohim (Yogyakarta: Hanindita
Graha Widya, 2003), 126.
26
Suripan Sadi Hutomo, 1991, 14.
27
Harymawan, Dramaturgi I (Yogyakarta: ASDRAFI, 1984), 5.
25
19
Unsurunsur drama merupakan satu kesatuan yang telah
membentuk suatu susunan yang utuh dan berdiri sendiri dalam
bentuk pola. Susunan dari unsurunsur drama keberadaannya
sangat menunjang dalam keberhasilan pertunjukannya.
Dengan demikian susunan atau struktur drama terbentuk
dari unsurunsur yang ada di dalamnya. Hal ini meliputi plot,
karakter, konflik, tokoh, penyelesaian, dan lainlain. Unsurunsur
tersebut membentuk satu kesatuan yang utuh dan mendukung
satu dengan yang lain, serta tidak bisa berdiri sendiri.
Data tulis Wangbang Wideya dalam buku Wangbang
Wideya: A Javanese Panji Romance terlebih dahulu ditranskrip
sikan ke bahasa Indonesia supaya bisa difahami isi ceritanya.
Transkripsi Wangbang Wideya dalam buku Wangbang Wideya: A
Javanese Panji Romance yang berbentuk bahasa Indonesia lalu
dipilahpilah berdasarkan aspek karya sastra meliputi: alur,
tokoh, tema, dan latar.
Setelah data terkumpul berdasarkan caracara di atas, maka
langkah berikutnya adalah analisis data. Begitu juga dengan data
dalam lakon Panji Rèni yang masih berupa teks lisan lalu ditran
skripsi ke teks tulis. Teks tulis dari lakon Panji Rèni yang masih
menggunakan bahasa Jawa Timur dialek Malang ditranslitrasi ke
bahasa Indonesia supaya difahami dengan jelas uruturutan lakon
20
tersebut. Translitrasi lakon Panji Rèni yang berupa bahasa Indone
sia dengan mudah akan dikenali aspekaspek dramaturgi seperti
uruturutan cerita, tokoh, tema, alur, dan latar.
Sesuai dengan pendekatan yang dipilih, langkah selanjutnya
cerita Panji dalam buku Wangbang Wideya: A Javanese Panji Ro
mance lalu ditransformasi dengan data tulis lakon Panji Rèni yang
berbahasa Indonesia. Pentransformasian tersebut meliputi penam
bahan atapun pengurangan cerita, perbedaan atau perbedaan
tema, penambahan atau persamaan tokoh, persamaan atau perbe
daan latar yang ada dalam teks lakon Panji Rèni dan cerita Panji
dalam kidung Wangbang Wideya yang ada dalam buku Wangbang
Wideya: A Javanese Panji Romance.
F. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif.
Bogdan dan Taylor (1975) mendefinisikan metodologi kualitatif se
bagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa katakata tertulis dan lisan dari orangorang dan perilaku
yang dapat diamati.
28
Langkah awal yang dilakukan oleh peneliti dalam
pengumpulan data adalah melakukan studi pustaka untuk men
dapatkan pemahaman terhadap drama tari wayang topèng Malang
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Re
maja Karya, 1989, cetakan ke sebelas, 2000), 3.
28
21
terutama berkaitan dengan aspek sastra dan aspek drama. Hal ini
dilakukan karena untuk mendapatkan pemahaman yang men
dasar terhadap objek penelitian tersebut. Pertunjukan drama tari
wayang topèng Malang yang sudah pernah diteliti oleh peneliti se
belumnya bisa dijadikan perbandingan dengan masalah yang akan
diteliti. Adapun bukubuku yang berkaitan dengan teoriteori
filologi, sastra (intertekstual), dan dramaturgi sangat penting dalam
studi pustaka karena pendekatan tersebut digunakan untuk men
ganalisis dan menguraikan permasalahan dalam penelitian ini.
Metode penelitian selanjutnya adalah metode pengamatan.
Metode pengamatan ini dilakukan oleh peneliti untuk memahami
pertunjukan drama tari wayang topèng Malang lakon Panji Rèni
yang ada pada kaset VCD, dan direkam dengan menggunakan
tape recorder untuk bisa dianalisis secara tidak langsung. Penga
matan ulang juga dilakukan oleh peneliti pada waktu pertunjukan
drama tari wayang topèng Malang semalam suntuk (walaupun
beda lakon) untuk bisa diperbandingkan dengan jalan Pertunjukan
drama tari wayang topèng Malang yang sudah direkam dalam ben
tuk VCD dipadatkan. Pengamatan lain juga perlu dilakukan ter
hadap tari gaya Malang, busana, maupun bentuk topèng yang
mendukung.
22
Metode ketiga adalah metode wawancara yang dilakukan
oleh peneliti supaya mendapatkan pemahaman secara langsung
terhadap drama tari wayang topèng Malang terutama saat pertun
jukan dengan lakon Panji Rèni untuk mendapatkan informasi yang
akurat dan mendalam berkaitan dengan topik yang akan diteliti,
maka dilakukan wawancara yang telah disiapkan.
PENGANTAR
A.
LATAR BELAKANG
Salah satu bentuk kesenian di Jawa dan keberadaannya
telah ada beratusratus tahun yang lalu adalah wayang. Kata
wayang (secara harfiah "bayangan"), sekarang menunjuk pada
berbagai boneka dari kulit yang dipahat pipih dari wayang kulit.
Bentuknya sendiri yang distilisasi dari boneka Jawa berlebihan,
seperti sebuah bayangan bentuk manusia Jawa yang alami. Orang
bisa mengatakan bahwa bayangan dari wayang tajam dan mantap
atau panjang dan bergetar adalah sebuah bayangan dari bayan
gan.1 Akan tetapi kata wayang setelah mengalami perluasan
makna merupakan gambaran kehidupan manusia dan alam
semesta, ungkapan misteri dari kehidupan yang menampilkan
tokohtokoh personifikasi nenek moyang atau leluhur.2 Wayang
mengalami perkembangan mulai abad delapan hingga sekarang
dalam bentuk cerita, boneka, bentuk pementasan, dan lain lain.
Seiring dengan perkembangan arus globalisasi dan barangbarang
elektronik yang semakin melimpah, keberadaan wayang sebagai
Claire Holt, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Ter
jemahan R.M Soedarsono (Bandung: MSPI, 2000), 156.
2
Henri Supriyanto, Kamus Kecil: Istilah Seni Drama dan Teater
(Malang: Dioma, 1990), 64.
1
2
salah satu kesenian tradisional yang adiluhung mulai tergeser.
Wayang menjadi terpinggirkan, kedudukannya digantikan oleh hi
buranhiburan yang berisi hurahura atau kadangkadang sedikit
diselipi pesan moral. Jika keseniankesenian tradisional maupun
kesenian istana tidak dilestarikan dalam bentuk slide, foto, video,
serta penerbitan buku dimungkinkan lambat laun akan musnah.
Bentukbentuk yang paling tua dari seni pertunjukan Jawa
yang diketahui adalah wayang kulit (drama bayangbayang),
wayang bèbèr (pertunjukan gulungan kertas), dan wayang topèng
atau topèng (tari bertopèng).3 Topèng merupakan hasil karya seni.4
Keberadaan topèng sudah amat tua. Hal itu dapat ditemui dari
berbagai tinggalan kepurbakalaan dan manuskripmanuskrip
naskah kuna. Teater topèng adalah teater tradisional yang masing
masing aktornya memakai tutup wajah atau bertopèng.5
Sebuah topèng dari jaman prasejarah yang berukir dari se
lembar emas ditemukan di Pasir Putih dari Jawa Timur. 6 Pada
waktu itu penggunaan topèng sebagai kedok atau penutup/tempat
wajah bagi orang yang meninggal. Kebenaran dari perilaku terse
James R. Brandon, JejakJejak Seni Pertunjukan di Asia Teng
gara, terjemahan R.M. Soedarsono (Bandung: P4ST UDI 2003), 62.
4
Hamzuri, Warisan tradisional itu Indah dan Unik (Jakarta: De
partemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2000), 481.
5
Supriyanto, 1990, 61.
6
Sal Murgiyanto, “Ritualistic Mask Performance” Indonesia Her
itage: Performing Arts. Editor: Edi Sedyawati (Singapore: Archepilago
Press, 1998), 40.
3
3
but belum diketahui, dimungkinkan topèng untuk tengkorak/
kerangka yang dipercaya sebagai salah satu kekuatan setelah
melakukan kerja. Pertunjukan topèng ini relatif, setidaknya ada
suatu pertemuan dari orangorang tersebut. 7 Dalam hubungan ini
dapat ditarik kesimpulan bahwa topèng itu digunakan dalam su
atu kepercayaan mengenai alam sesudah kematian. Jadi ini
bersangkutan dengan orang yang telah meninggal dunia. Tindakan
ini dilakukan oleh kerabatnya atau setidaknya oleh mereka yang
mempunyai ikatan erat dengannya. Melalui jalan pikiran ini, maka
dapat dikatakan bahwa si mati adalah "nenek moyang" orang yang
merawatnya. Dengan demikian ide awal diciptakan topeng oleh
nenek moyang adalah sebagai sarana menghormati dan
melakukan kontak dengan pendahulupendahulunya yang telah
meninggal dunia.
Di Indonesia, mungkin setiap daerah memiliki topèng yang
memiliki fungsi dan kegunaan hampir sama antara satu dengan
yang lain. Di Irian Jaya, beberapa topèng kematian dihubungkan
antara tradisi atau kebiasaan seorang kepala suku dengan masa
lalu. Jipai atau Jipae digunakan untuk menutupi rahasia terbesar
seorang lelaki, yang menutupi seluruh tubuh kecuali kaki. Di
Batak Karo terdapat topèng yang disebut gundalagundala, orang
Edi Sedyawati “Topeng dalam Budaya” dalam Jurnal
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1993), P. 1
77
4
Batak Simalungun menyebut hudahuda, orang Batak Pakpak
menyebut topeng mangkudamangkuda.8 Di Jawa hampir setiap
daerah memiliki topèng yang mempunyai ciri khas yang berbeda
beda. Di Yogyakarta, repertoar topèng hanya di mainkan sebagai
pelengkap suatu cerita yang tertulis, dan lebih menekankan unsur
gerak tari, seperti Klana topèng, Gunung SariRegol, KlanaSem
bunglangu, DewandiniSihpi, dan sebagainya. Pertunjukan topèng
berlakon yang utuh menjadi pertunjukan sporadis di desadesa
saja.9 Topèng Babakan dari Cirebon pertunjukannya hanya dita
mpilkan babak demi babak, sesuai dengan permintaan penyeleng
gara atau "penanggap".10 Di daerah Malang dan Madura Jawa
Timur, pertunjukan topèng menekankan peran pencerita atau
dalang. Dalang menceritakan cerita dan memimpin percakapan
antarpenari. Saat penari topèng memainkan peranannya sesuai
percakapan dalam setiap gerakan tarinya.11 Mengenai kapan
wayang topèng di Jawa Timur mulai berkembang kami berasumsi
pada sekitar pertengahan abad ke16, bersamaan dengan penye
baran agama Islam di Pulau Jawa. Ini berarti bersamaan dengan
Hamzuri, 2000, 482.
I Made Bandem dan Sal Murgiyanto, Teater Daerah (Yogyakarta:
Kanisius, 1996 cetakan ulang 2000), 130.
10
Tati Narawati, Wajah Tari Sunda dari Masa ke Masa (Bandung:
P4ST UPI, 2003), 61.
11
A.M, Munardi, "Javanese Masks from Malang and Madura" In
donesia Heritage: Performing Art, Editor: Edi Sedyawati (Singapore:
Archepilago Press, 1998), 48.
8
9
5
perkembangan topèng dalang di Cirebon.12 Selain itu, Kemudian
pada awal penyebaran agama Islam di Indonesia, para Wali Sanga
mencoba memperbaiki tari topèng agar dapat disesuaikan dengan
aturan agama Islam. Diantaranya adalah dengan merubah tata
busana tari topèng menjadi lebih sopan dan mengganti bahan alat
musik tari topèng.13
Topèng Malang merupakan salah satu kesenian rakyat
(daerah Malang) yang sangat kental unsur kelokalannya. Ia juga
dilatarbelakangi oleh unsur budaya masyarakat
agraris.
Masyarakat menyadari bahwa secara kodrat kehidupan wayang
Jawa Timuran (wayang kulit dan wayang topèng) dan wayang
Jawa Tengah (wayang kulit dan wayang topèng) di Surakarta dan
Yogyakarta sangat berbeda. Wayang Jawa Timuran (wayang kulit
dan wayang topèng) lahir dari kalangan rakyat bawah, seperti hal
nya perkembangan wayang pesisiran lainnya. Adapun wayang
gaya Surakarta maupun Yogyakarta dipelihara dan dikembangkan
oleh kalangan atas (kraton).14
12
Soedarsono (R.M. Soedarsono) dan Tati Narawati, Dramatari
di Indonesia, Kontinuitas dan Perubahan (Yogyakarta: UGM Press,
2011), 55.
13
Nurdin Kalim dan kawankawan, Tantra: Tafsir Baru Panji,
Tempo Online, 28 Juni 2010.
14
Suyanto, Wayang Malangan (Surakarta: Citra Etnika, 2002),
37.
6
Wayang topèng Malang memiliki ciri khas yang berbeda
dengan wayang topèng lain. Hal ini dapat disaksikan pada
corak dandanan busana pertunjukan Panji Jabung dan Ked
hungmangga sekarang ini. Terutama Jamang (irahirahan
kepala) yang mirip dengan Jamang yang digunakan dalam per
tunjukan semacam di Bali. Dan Bali merupakan mata rantai
kesinambungan budaya sejak jaman abad XIII. Juga pahatan
relief candicandi Jawa Timuran menunjukkan corak yang
serupa.15
Karakter pembeda lainnya, pementasan wayang topèng
Malang bisa disejajarkan dengan teater rakyat lain, walaupun dari
segi cerita mengambil latar kerajaan. Hal ini dikarenakan wayang
topèng Malang dikelola oleh rakyat (Malang) dan tumbuh dengan
subur di lingkungan tersebut.16 Selain itu, peran penting seorang
dalang sangat dominan sekali dalam pertunjukan drama tari
wayang topèng Malang, karena keberhasilan pertunjukan sangat
ditentukan oleh kepiawaian dalang saat memimpin pertunjukan.
Cerita yang digunakan dalam pertunjukan drama tari
wayang topèng Malang adalah cerita Panji. Perlu kita ketahui,
cerita Panji merupakan produk Jawa Timur yang muncul pada
Soenarto Timoer, Topeng Dhalang di Jawa Timur (Jakarta:
Dekdikbud,1979/1980), 21.
16
Batasan tentang teater rakyat adalah teater yang berasal
dari rakyat dan dikelola oleh rakyat. (Supriyanto) 1990, 24
15
7
masa Kerajaan Kediri di abad12 dan berkembang subur di abad
ke14 pada masa Majapahit.17 Pertunjukan topèng di daerah lain
tanpa adanya dialog dan merupakan repertoar tari suatu tokoh
tertentu tanpa didampingi oleh tokoh lain, seperti dalam pertun
jukan topèng babakan yang bersumber pada cerita Ramayana Ma
habharata, Damarwulan, ataupun Panji. Di Bali wayang topèng
yang mengambil cerita Ramayana disebut dengan wayang wang.
Adapun siklus Panji digunakan untuk drama tari klasik gambuh
dan arja.
Kesenian topèng Malang jika dilihat dari bentuk topèng dan
penyajiannya mempunyai kekhasan tersendiri. Hal ini tampak
sangat jelas apabila dibandingkan dengan kesenian topèng dari
berbagai daerah lain yang hidup di Jawa. Perbedaan ini dikare
nakan adanya nuansa lokal yang begitu kuat seperti pada solah
gerak tarinya, busana tari, dialog, dan bentuk dari topèng itu
sendiri, serta penampilannya. Oleh sebab itu topèng Malang bisa
tumbuh menjadi suatu gaya maupun identitas budaya tersendiri
bagi masyarakat Kabupaten Malang yang merupakan keragaman
seni pertunjukan di Jawa Timur.18
17
Soedarsono (R.M. Soedarsono) dan Tati Narawati, 2011, 63.
Mamik Suharti,"Karimun Seniman Topeng Malang jawa Timur:
Sebuah Biografi" (Tesis untuk mencapai Derajat Sarjana S2 pada Pro
gram Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, 2003), 56.
18
8
Lakon Panji Reni dalam pertunjukan drama tari topèng
Malang dibawakan oleh dalang tanpa teks tertulis. Sang dalang
mendapatkan cerita berdasarkan ingatan yang dia terima, lihat,
dan resapi dari dalang sebelumnya, sehingga pertunjukan wayang
topèng Malang bersifat turun temurun. Dalam pertunjukan topèng
Malang cerita Panji yang berbentuk lisan dimungkinkan banyak
variasivariasi yang dibawakan oleh dalang yang berasal dari satu
induk cerita. Variasivariasi tersebut dimungkinkan adanya suatu
selipan cerita lain yang dapat menambah kekayaan sastra dan
mungkin bisa dilestarikan dalam bentuk dokumentasi tulis seba
gai salah satu khasanah budaya bangsa.
B. RUMUSAN MASALAH
Pertunjukan drama tari wayang topèng Malang yang penuh
dengan nuansa lokal sangat menarik untuk diteliti dari aspek per
tunjukan, aspek sastra dan aspek drama. Bermula dari lakon den
gan tema Panji beserta variasi dalam pertunjukan drama tari
wayang topèng Malang sangat banyak sekali. Dalang mempunyai
satu cerita inti, akan tetapi dalam pementasannya cerita tersebut
dikembangkan menjadi beriburibu cerita dengan motif yang
sama. Antara lakon yang telah mendapat variasi dengan dokumen
tasi yang tertulis terdapat perbedaan yang sangat prinsip, misal
nya penambahan atau perubahan nama tokoh, penambahan atau
9
perubahan adegan, tempat, suasana, dan lainlain. Penambahan
penambahan tersebut memang kadangkadang diperlukan oleh
dalang untuk menambah "rasa" pertunjukan drama tari wayang
topèng Malang atau juga untuk mengulurulur waktu dalam se
malam suntuk.
Dalam cerita Panji yang terdokumentasi secara tertulis tidak
ada penambahan cerita, tokoh, suasana, maupun latar yang mem
buat cerita terlalu luas sehingga memerlukan penyelesaian yang
sangat rumit. Cerita Panji dalam bentuk dokumentasi tertulis
bersifat mudah dicermati bagi siapa saja yang biasa membacanya.
Terkadang sudah diterjemahkan dari bentuk teks asli ke bahasa
Indonesia maupun bahasa Inggris sehingga pembaca asing bisa
memahaminya. Nuansa lokal Malangan dari segi bahasa sangat
kental dalam pertunjukan drama tari wayang topèng Malangan
dan bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Timuran berciri
khas Malangan. Demikian juga dengan pemakaian tembang, suluk,
pocapan, gending dan lainlain nuansa Jawa Timuran terutama
Malangan sangat kental. Berdasarkan ciri khas yang telah
terungkap, pertunjukan drama tari wayang topèng Malang lakon
Panji Rèni sangatlah penting untuk diteliti, diketahui, dan di
ungkap dari aspek pertunjukan, sastra, dan drama.
10
Uraian yang telah dikemukakan di atas sangat menarik untuk
dijadikan objek penelitian dan penulisan terutama dari segi per
tunjukan dan sastra, mengingat belum ada penelitian tentang per
tunjukan drama tari wayang topèng Malang yang berfokus pada
hal tersebut. Berdasarkan penjabaran di atas, penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah aspekaspek dramaturgi cerita Panji dalam
pertunjukan drama tari wayang topèng Malang lakon Panji
Rèni?
2. Bagaimanakah transformasi cerita Wangbang Wideya dalam
buku Wangbang Wideya: A Javanese Panji Romance ke per
tunjukan drama tari wayang topèng Malang lakon Panji
Rèni?
Dari kedua rumusan masalah di atas, tampaknya sudah
mewakili suatu permasalahan yang berkaitan dengan pertunjukan
dan cerita Panji itu sendiri, beserta variasivariasi pembentuk su
atu lakon pada Pertunjukan drama tari wayang topèng Malang
lakon Panji Rèni.
Masalah pertama berkaitan dengan aspekaspek drama
dalam Pertunjukan drama tari wayang topèng Malang lakon Panji
Rèni seperti struktur lakon Panji Rèni, aspek karakterisasi gerak
tari, busana, alat musik, dan lainlain. Pada masalah kedua
11
peneliti lebih memfokuskan pada transformasi cerita Wangbang
Wideya dalam buku Wangbang Wideya: A Javanese Panji Romance
ke pertunjukan drama tari wayang topèng Malang lakon Panji Rèni
yang diceritakan oleh dalang. Dengan fokusfokus pembahasan
tersebut diharapkan dapat menjawab pokok permasalahan dalam
penelitian ini.
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang
telah diuraikan di atas, maka dapat dijelaskan tujuan dari peneli
tian ini, yakni:
1. Untuk mengetahui pertunjukan drama tari wayang
topèng Malang Lakon Panji Rèni.
2. Untuk mengetahui unsurunsur pembentuk drama atau
motifmotif pembentuk drama dalam pertunjukan drama
tari wayang topèng Malang Lakon Panji Rèni.
3. Untuk mengetahui uraian transformasi cerita Panji dari
Wangbang Wideya dalam buku Wangbang Wideya: A Ja
vanese Panji Romance ke pertunjukan drama tari wayang
topèng Malang dengan lakon Panji Rèni.
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian per
tunjukan drama tari wayang topèng Malang lakon Panji Rèni bagi
khalayak umum maupun bagi penulis merupakan sumbangan
12
yang besar untuk mengetahui deskripsi pertunjukan drama tari
wayang topèng Malang lakon Panji Rèni. Secara lebih rinci
berfokus pada disiplin ilmu seni pertunjukan, dan sastra.
D. TINJAUAN PUSTAKA
Beberapa buku referensi yang terkait dengan penulisan
drama tari wayang topèng Malang lebih menitikberatkan pada se
jarah dan pertunjukan drama tari wayang topèng Malang, akan
tetapi berkaitan dengan aspek sastra dan drama dalam penulisan
tersebut tidak begitu banyak dikupas. Aspek sastra dalam beber
apa buku tentang pertunjukan drama tari wayang topèng Malang
hanya menampilkan secara ringkas transkripsi lakon yang beredar
di beberapa daerah, tanpa menampilkan secara utuh bentuk lakon
tersebut. Demikian juga dengan aspek drama tidak begitu banyak
bukubuku yang berkaitan dengan pertunjukan drama tari
wayang topèng Malang.
Judul buku Drama tari wayang topeng Malang (1997) yang
ditulis oleh Henri Supriyanto dan M. Soleh Adi Pramono menitik
beratkan pada transkripsi singkat cerita Panji yang ada di Pulung
dawa Tumpang dengan Kedungmangga Pakisaji, sejarah wayang
topèng Malang, konsep pertunjukan drama tari wayang topèng
Malang secara umum, disertai dengan bentukbentuk topèng yang
ada di Kedungmangga dan Glagahdawa Tumpang. Buku ini dapat
13
menambah wawasan yang terkait dengan ragam lakon cerita Panji
serta variasinya, dan terpenting informasi yang berharga tentang
transkripsi lakon Panji Reni.
Soenarto Timoer menulis buku tentang Topeng Dhalang,
asalmuasal dan sejarah topeng dhalang (terutama di Jawa Timur)
serta aneka ragam gambar topèng Malang dengan topèng Madura
(1979/1980). Informasi penting yang dapat menunjang penelitian
ini adalah transkripsi lakon Panji Reni yang dapat dijadikan per
bandingan dengan lakon Panji Reni yang telah dipadatkan karena
keterbatasan waktu.
Sal M. Murgiyanto dan A.M Munardi melakukan penelitian
Wayang Topèng Malang dengan menghasilkan buku yang berjudul
Topèng Malang Pertunjukan Drama Tari Tradisional di Daerah
Kabupaten Malang (1979/1980). Buku ini memberikan informasi
yang tidak sedikit tentang sejarah dan persebaran daerah wayang
topèng Malang, fungsi dan peranan sosialnya, bentuk penyajian
dan Pertunjukan topèng wayang serta dilampiri transkripsi lakon
lakon yang ada dalam Pertunjukan drama tari wayang topèng
Malang yang bisa dijadikan awal dan perbandingan dalam peneli
tian ini yang berkaitan dengan transkripsi lakon.
Kidung Wangbang Widèya yang ditulis ulang oleh S. O. Rob
son dalam buku karangannya Wangbang Wideya: A Javanese
14
Panji Romance (1971) merupakan kidung Bali yang diterjemahkan
dari bahasa Bali ke bahasa Inggris. Buku ini merupakan salah
satu buku referensi yang sangat penting dalam penelititan ini se
bagai salah satu objek penelitian yang dijadikan perbandingan an
tara cerita Panji yang telah terlisankan dengan cerita Panji yang
telah ditulis. Halhal yang disebut dalam buku: mengapa disebut
cerita Panji, kidung dan metrum tengahan, Wangbang Wideya se
bagai karya sastra dan hubungan cerita Panji dengan drama.
Penelitian yang dilakukan oleh Siti Baroroh Baried dan
kawankawannya menghasilkan diktat tentang “Panji Citra
Pahlawan” (1980), banyak mengupas Cerita Panji beserta
carangancarangannya yang tersebar di Indonesia, seperti Serat
Panji Jaya Kusuma, Panji Anggrèni, Panji Jayeng Tilam, geguritan
Pakang Raras, Geguritan Cinilaya, Hikayat Panji Kuda Semirang,
Hikayat Galuh Digantung, Jaran Kinanti Asmaradana, dan Hikayat
Misa Taman Jayeng Kusuma.
Dengan adanya penelaahan terhadap beberapa buku refer
ensi diharapkan oleh peneliti dapat membantu dalam penelitian
ini, dan dapat dicari peluang untuk dijadikan suatu penelitian
yang berbeda dengan sebelumnya.
E. LANDASAN TEORI
15
Penelitian ini menggunakan pendekatan multidisiplin yakni
pendekatan filologi, sastra, dan dramaturgi untuk memahami
cerita. Cerita Panji memerlukan dokumentasi tulis yang berasal
dari data lisan yakni Pertunjukan drama tari wayang topèng
Malang lakon Panji Rèni lalu dipindahkan oleh peneliti ke bentuk
tulis untuk bisa diterjemahkan dan dipahami jalan ceritanya. Pe
mindahan dari bentuk lisan ke bentuk tulis memerlukan pen
dekatan ilmu filologi yang menunjang pencermatan peneliti dalam
memahami, menulis, dan mengolah bentuk asli naskah lakon Per
tunjukan drama tari wayang topèng Malang lakon Panji Rèni. Kata
filologi berasal dari bahasa Yunani Philologia yang arti aslinya
“kegemaran berbincangbincang”. Menurut istilah filologi adalah
ilmu yang menyelidiki perkembangan kerohanian sesuatu bangsa
dan kekhususannya atau yang menyelidiki kebudayaan berdasar
bahasa dan kesusastraannya.19
Filologi dimulai dengan penggunaan materi mentah yang
belum dibahas dan dalam bentuk naskah yang belum diter
bitkan.20 Demikian juga dengan cerita Panji yang di dapat dalam
Wagen Voort, “Filologi An Har Methode” (Amsterdam: Serte Ned
erlandse systematisch Ingerichte Encyclopadedie, III, 1947), 41, Seperti
yang dikutip oleh Sulastin Sutrisno dalam pidato pengukuhan jabatan
Guru Besar tetap Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah
Mada di Yogyakarta, pada tanggal 19 Maret 1998, 5561.
20
S.O Robson, PrinsipPrinsip Filologi di Indonesia (Jakarta: RuL,
1994), 12.
19
16
pertunjukan drama tari wayang topèng Malang Lakon Panji Rèni
yang masih berupa bentuk mentah dari data lisan. Bentuk atau
materi diambil dari pertunjukan drama tari wayang topèng Malang
itu ditransliterasi. Translitrasi didefinisikan sebagai pemindahan
dari satu tulisan ke tulisan lain. 21 Setelah materi mentah yang
masih bentuk lisan itu ditransliterasi maka akan didapat bentuk
baku yang sudah ditulis dan siap dianalisis. Filologi yang biasanya
diterapkan pada sastra tulis perlu pula ditinjau kegunaannya bagi
sastra lisan yang mulai berkembang sebagai cabang ilmu sastra
sesudah tahun 30 abad ini.22
Setelah naskah lakon pertunjukan drama tari wayang
topèng Malang lakon Panji Rèni telah ditranskripsi oleh peneliti ke
bentuk tulis, maka dilakukan penerjemahan ke dalam bahasa In
donesia, supaya bisa dianalisis. Terjemahan atau translation
adalah penggantian materi tekstual dalam bahasa yang satu (ba
hasa sumber) dengan materi tekstual yang sama dengan bahasa
yang lain (bahasa sasaran).23 Macam terjemahan itu ada tiga, yaitu
free translation (terjemahan bebas), literal translation (terjemahan
S.O Robson, 1994, 24
Amin Sweeney, Profesional Malang StoryTelling, Some Questions
of Style and Presentation ( … MBRAS, 11, 1973), 154.
23
Zuchridin Suryawinata, Analisis dan Evaluasi terhadap terjema
han Novel sastra "The Adventures of huckleberng finn" dari bahasa Ing
gris ke bahasa Indonesia (Disertasi untuk mendapatkan gelar Doktor
dalam Ilmu Sastra, Universitas Negeri Malang), 1982, 23, Seperti yang
dikutip oleh Hartono, Belajar Menerjemahkan: Teori dan Praktek,
(Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2003, 11.
21
22
17
harfiah), dan word for word translation (terjemahan kata demi
kata).24 Setelah naskah lakon Panji Rèni diterjemahkan oleh
penulis ke bahasa Indonesia, maka dapat difahami jalan ceritanya,
diketahui tokoh, latar, serta alur cerita (struktur dramatik).
Naskah lakon Panji Rèni yang sudah berbentuk tulis dan telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka dilakukan anali
sis transformasi yang dikaitkan dengan naskah Wangbang Wideya
dalam buku Wangbang Wideya: A Javanese Panji Romance karya
S.O. Robson.
Julia Kristeva mengemukakan bahwa tiap teks itu meru
pakan mosaik kutipankutipan dan merupakan penyerapan
(transformasi) teksteks lain. Maksudnya, tiap teks itu mengambil
halhal yang bagus diolah kembali dalam karyanya atau ditulis
setelah melihat, meresapi, menyerap hal yang menarik baik secara
sadar maupun tidak sadar. Setelah menanggapi teks lain dan
menyerap konvensi sastra, konsep estetik, atau pikiranpikirannya
kemudian mentransformasikannya ke dalam karya sendiri dengan
gagasan dan konsep estetik sehingga terjadi perpaduan baru, kon
vensi dan gagasan yang diserap itu dapat dikenali apabila kita
membandingkan teks yang menjadi hipogramnya dengan teks
baru itu. Teks baru atau teks yang menyerap dan mentransfor
Suripan Sadi hutomo, Mutiara Yang Terlupakan: Pengantar
Studi Sastra Lisan (Surabaya: HISKI Jawa Timur, 1991), 8687.
24
18
masikan hipogram itu disebut teks transformasi.25 Hubungan an
tara filologi lisan dengan filologi tulis dapat berupa teks lisan be
rasal dari teks tulis, dan teks tulis berasal dari teks lisan. 26
Demikian juga dengan perbandingan teks naskah cerita Panji
dalam pertunjukan drama tari wayang topèng Malang mungkin
berasal dari naskah Cerita Panji dalam Wangbang Wideya yang
telah diubah sedemikian rupa oleh dalang,
Pendekatan selanjutnya dalam penelitian ini adalah pen
dekatan dramaturgi. Dramaturgi merupakan ajaran tentang
masalah hukum dan konvensi drama.27 Kata Dramaturgi berasal
dari istilah Drame. Drama merupakan cerita yang berdialog dari
berbagai konflik manusia dengan memakai percakapan dan akting
yang dipentaskan kepada penonton.
Drama terdiri dari beberapa unsur yang saling berkaitan
dan keberadaan masingmasing unsur tidak dapat ditiadakan
dalam pertunjukannya. Unsurunsur tersebut meliputi cerita yang
akan dipentaskan (lakon), busana dan aksesoris pendukung, latar
baik waktu maupun tempat, musik pengiring, pelaku atau pemain
drama, sutradara yang memimpin pertunjukan drama.
Rina Ratih, "Pendekatan Intertekstual dalam Sastra" dalam
Metodologi Penelitian Sastra, Editor: Jabrohim (Yogyakarta: Hanindita
Graha Widya, 2003), 126.
26
Suripan Sadi Hutomo, 1991, 14.
27
Harymawan, Dramaturgi I (Yogyakarta: ASDRAFI, 1984), 5.
25
19
Unsurunsur drama merupakan satu kesatuan yang telah
membentuk suatu susunan yang utuh dan berdiri sendiri dalam
bentuk pola. Susunan dari unsurunsur drama keberadaannya
sangat menunjang dalam keberhasilan pertunjukannya.
Dengan demikian susunan atau struktur drama terbentuk
dari unsurunsur yang ada di dalamnya. Hal ini meliputi plot,
karakter, konflik, tokoh, penyelesaian, dan lainlain. Unsurunsur
tersebut membentuk satu kesatuan yang utuh dan mendukung
satu dengan yang lain, serta tidak bisa berdiri sendiri.
Data tulis Wangbang Wideya dalam buku Wangbang
Wideya: A Javanese Panji Romance terlebih dahulu ditranskrip
sikan ke bahasa Indonesia supaya bisa difahami isi ceritanya.
Transkripsi Wangbang Wideya dalam buku Wangbang Wideya: A
Javanese Panji Romance yang berbentuk bahasa Indonesia lalu
dipilahpilah berdasarkan aspek karya sastra meliputi: alur,
tokoh, tema, dan latar.
Setelah data terkumpul berdasarkan caracara di atas, maka
langkah berikutnya adalah analisis data. Begitu juga dengan data
dalam lakon Panji Rèni yang masih berupa teks lisan lalu ditran
skripsi ke teks tulis. Teks tulis dari lakon Panji Rèni yang masih
menggunakan bahasa Jawa Timur dialek Malang ditranslitrasi ke
bahasa Indonesia supaya difahami dengan jelas uruturutan lakon
20
tersebut. Translitrasi lakon Panji Rèni yang berupa bahasa Indone
sia dengan mudah akan dikenali aspekaspek dramaturgi seperti
uruturutan cerita, tokoh, tema, alur, dan latar.
Sesuai dengan pendekatan yang dipilih, langkah selanjutnya
cerita Panji dalam buku Wangbang Wideya: A Javanese Panji Ro
mance lalu ditransformasi dengan data tulis lakon Panji Rèni yang
berbahasa Indonesia. Pentransformasian tersebut meliputi penam
bahan atapun pengurangan cerita, perbedaan atau perbedaan
tema, penambahan atau persamaan tokoh, persamaan atau perbe
daan latar yang ada dalam teks lakon Panji Rèni dan cerita Panji
dalam kidung Wangbang Wideya yang ada dalam buku Wangbang
Wideya: A Javanese Panji Romance.
F. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif.
Bogdan dan Taylor (1975) mendefinisikan metodologi kualitatif se
bagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa katakata tertulis dan lisan dari orangorang dan perilaku
yang dapat diamati.
28
Langkah awal yang dilakukan oleh peneliti dalam
pengumpulan data adalah melakukan studi pustaka untuk men
dapatkan pemahaman terhadap drama tari wayang topèng Malang
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Re
maja Karya, 1989, cetakan ke sebelas, 2000), 3.
28
21
terutama berkaitan dengan aspek sastra dan aspek drama. Hal ini
dilakukan karena untuk mendapatkan pemahaman yang men
dasar terhadap objek penelitian tersebut. Pertunjukan drama tari
wayang topèng Malang yang sudah pernah diteliti oleh peneliti se
belumnya bisa dijadikan perbandingan dengan masalah yang akan
diteliti. Adapun bukubuku yang berkaitan dengan teoriteori
filologi, sastra (intertekstual), dan dramaturgi sangat penting dalam
studi pustaka karena pendekatan tersebut digunakan untuk men
ganalisis dan menguraikan permasalahan dalam penelitian ini.
Metode penelitian selanjutnya adalah metode pengamatan.
Metode pengamatan ini dilakukan oleh peneliti untuk memahami
pertunjukan drama tari wayang topèng Malang lakon Panji Rèni
yang ada pada kaset VCD, dan direkam dengan menggunakan
tape recorder untuk bisa dianalisis secara tidak langsung. Penga
matan ulang juga dilakukan oleh peneliti pada waktu pertunjukan
drama tari wayang topèng Malang semalam suntuk (walaupun
beda lakon) untuk bisa diperbandingkan dengan jalan Pertunjukan
drama tari wayang topèng Malang yang sudah direkam dalam ben
tuk VCD dipadatkan. Pengamatan lain juga perlu dilakukan ter
hadap tari gaya Malang, busana, maupun bentuk topèng yang
mendukung.
22
Metode ketiga adalah metode wawancara yang dilakukan
oleh peneliti supaya mendapatkan pemahaman secara langsung
terhadap drama tari wayang topèng Malang terutama saat pertun
jukan dengan lakon Panji Rèni untuk mendapatkan informasi yang
akurat dan mendalam berkaitan dengan topik yang akan diteliti,
maka dilakukan wawancara yang telah disiapkan.