Pendekatan Budaya Dalam Dakwah

BINGKAI

Pendekatan Budaya
Dalam Dakwah
DR. H HAEDAR NASHIR, M.SI.

Foto: WWW. GOOGLE.COM

De
mo
(

Vi
sit

htt
p:/
/w
w

w.


pd

fsp

litm
erg
er.
co
m)

I

slam sebagai ajaran tidak akan membumi apabila tidak
diwujudkan dalam kehidupan para pemeluknya. Islam tanpa
aktualisasi dalam kehidupan umat akan berhenti sebagai ajaran
tekstual belaka. Islam dalam ranah aktual justru menjadi eksis
manakala menyatu dengan denyut nadi kehidupan penganutnya,
yakni muslim selaku individu maupun muslimun sebagai jama’ah
atau kolektivitas. Karena itu Islam sebagai Wahyu Allah yang

dibawa oleh para Rasul hingga Nabi dan Rasul akhir zaman
Muhammad saw., diturunkan ke muka bumi sebagai rahmatan
lil-‘alamin. Menjadi rahmat bagi alam semesta.
Islam dalam aktualisasi kebudayaan muslim merupakan
persenyawaan antara nilai-nilai Islam yang transedental (keilahian
atau ketuhanan) dengan yang imanen (keduniawian) atau antara
hal-hal sakral (suci) dan profan (inderawi), sehingga terjadi perpaduan
yang utuh dan menyeluruh. Nilai-nilai ajaran Islam sebagai fitrah
yang diturunkan Tuhan (al-fitrah al-munajalah) berpadu dengan fitrah
yang diberikan (al-fitrah al-majbulah, Sunatullah kauniyah) sehingga
teradi persenyawaan yang autentik dalam kebudayaan Islam. Namun
karena kebudayaan itu senantiasa dinamis, maka akan selalu terjadi
dinamisasi atau pengembangan antara Islam sebagai ajaran dengan
kebudayaan muslim sebagai wujud aktualisasi keislaman.
Dinamisasi Islam dan kebudayaan itu bukanlah sesuatu yang
menyempal dalam sejarah peradaban Islam karena watak Islam
yang bersifat menzaman.
Islam dan Kebudayaan Indonesia
Islam telah dipeluk menjadi agama mayoritas penduduk
Indonesia. Padahal sebelum Islam datang pada abad ke-13,

penduduk Nusantara telah menganut agama Hindu yang terbilang
kuat dan meluas. Islam bahkan telah menjelma menjadi
kebudayaan masyarakat. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari
proses Islamisasi yang berlangsung damai dan bersifat kultural.
Islam di Indonesia sebagai wujud dari aktualisasi Islam dalam
kebudayaan muslim tidak selalu sama dengan kebudayaan
muslim di Timur Tengah dan belahan dunia lain. Boleh jadi terdapat
kesamaan satu sama lain yang bersifat universal, tetapi senantiasa
terbuka kemungkinan memiliki keragaman sebagaimana watak
khas kebudayaan sebuah bangsa atau masyarakat. Ketika setiap
individu muslim memiliki perbedaan satu sama lain dipandang
sebagai keunikan dan perbedaan yang diakui. Maka demikian
semestinya ketika suatu lingkungan masyarakat muslim di satu
12

25 RABIULAWAL - 9 RABIULAKHIR 1432 H

Arsitektur Masjid Kudus merupakan hasil kearifan dalam berdakwah
pada jaman dulu.


daerah atau kawasan memiliki perbedaan dengan yang lainnya.
Hal yang penting ialah aspek-aspek ajaran Islam yang bersifat
fundamental seperti ajaran tauhid dipahami secara universal dan
menjadi patokan dengan tetap terbuka pada keragaman tafsir dan
perwujudan sejauh berada dalam koridor substansi Islam yang
esensial.
Kebudayaan adalah keseluruhan yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat,
dan segala kemampuan dan kebiasaan yang digunakan manusia
sebagai anggota masyarakat (Taylor). Ketika kebudayaan yang
menyeluruh tersebut merupakan wujud internalisasi nilai-nilai Islam
maka lahirlah kebudayaan Islami. Ketika Islam terwujud dalam
kehidupan individu, keluarga, dan masyarakat muslim serta
menjadi pola bagi kelakuan kolektif dalam keseluruhan sistem
kehidupannya maka terbentuklah kebudayaan muslim atau sering
disebut kebudayaan Islam. Ketika kebudayaan muslim atau lebih
tepat kebudayaan umat muslim mencapai puncaknya yang tinggi

litm
erg

er.
co
m)

Dakwah lewat pendekatan budaya seringkali lebih efektif.

pd

fsp

Dakwah Islam dalam penerapan atau aktualisasinya sebenarnya
merupakan proses kebudayaan, yakni memasyarakatkan dan
menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan secara berproses
melalui cara-cara bil-hikmah (keilmuan dan kearifan), wa almau’idhat al-hasanah (pendidikan, edukasi), wa jadil-hum bilatihiya ahsan (diskusi, dialogis) yang utama. Dakwah Islam menurut
Muhammadiyah sebagaimana terkandung dalam konsep Dakwah
Kultural ialah “upaya menanamkan nilai-nilai Islam dalam seluruh
dimensi kehidupan dengan memperhatikan potensi dan
kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya secara luas,
dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam yang sebenarbenarnya”. Dengan demikian pendekatan dakwah sesungguhnya
bersifat kultural atau bercorak kebudayaan, yakni menanamkan

nilai-nilai Islam dengan mempertimbangkan alam pikiran (‘ala
uquligim) dan kondisi umat yang didakwahi, melalui proses yang
simultan (bi-lisan dan bil-hal) dan berkesinambungan.
Dalam kaitan ini maka dakwah tidaklah identik dengan tabligh,
yang terbatas pada penyiaran Islam atau dakwah bi-lisan semata.
Bahkan tabligh pun meski bersifat bi-lisan tetap harus mengikuti
prinsip-prinsip keilmuan dan kearifan, edukasi, dan dialogis
sehingga tidak monolitik dan serba memvonis. Lebih jauh agi
tabligh pun harus diikuti dengan uswah hasanah atau keteladanan
yang baik, sehingga lisan sejalan dengan tindakan. Tidak kalah
pentingnya tabligh pun mesti dikaitkan dengan dakwah secara
keseluruhan, termasuk dakwah bil-hal, sehingga merupakan satu
kesatuan yang utuh dan menyeluruh. Kesulitan sering terjadi
manakala tabligh tidak tepat sasaran dan mempertimbangkan
kondisi masyarakat setempat, sehingga yang terjadi penentangan
secara konfrontasi, akhirnya tabligh mengalami kegagalan. Di
sinilah pentingnya wajah-wajah mubaligh yang harus empati,
simpati, mengayomi, memahami, mencerdaskan, dan
mencerahkan di hadapan umat dakwah maupun umat ijabah.
Karena sejalan dengan adagium, al-thariqat ahamu min almaddah: cara lebih penting ketimbang isi. Hal paling tidak kondusif

ialah, caranya keliru atau salah, substansi dakwahnya kering dan
tidak mencerahkan.l

Vi
sit

htt
p:/
/w
w

w.

maka lahirlah peradaban muslim atau peradaban Islam
sebagaimana terjadi di masa kejayaan Islam di masa lampau.
Dalam aktualisasi Islam yang membentuk kebudayaan dan
peradaban muslim itulah maka Islam menjadi agama peradaban
atau din al-hadlarah. Dengan demikian maka tidak akan terjadi
pertentangan antara Islam sebagai ajaran dengan kebudayaan
dan peradaban, ketika Islam telah membumi dalam kehidupan

aktual para pemeluknya. Hal-hal yang bersifat baru dan tidak
ditemukan secara rinci dalam teks ajaran Islam maka menjadi
bagian dari wilayah ijtihad kaum muslim dalam berkebudayaan
Islami, bukan menjadi anak haram dari Islam. Inilah ranah pertautan
Islam khas duniawi sebagaimana Hadis Nabi antum a’lamu biumur al-dunya-kum, engkau lebih tahu dalam perkara duniamu.
Dalam konteks keindonesiaan, persentuhan Islam dan
kebudayaan telah berlangsung lama dalam sejarah Islam di bumi
tercinta ini. Dalam pandangan Taufik Abdullah (1974) bahwa Islam
di negeri ini mengalami dinamika penghadapan antara ajaran dan
sejarah, antara keyakinan doktrin agama dengan realitas zaman
yang selalu berubah, sehingga Islamisasi mengalami
persambungan dan perubahan sekaligus jawaban terhadap
zamannya. Islamisasi bukan sekadar berarti penerimaan ajaran
secara doktrinal tetapi sekaligus pengorbanan untuk akomodasi
terhadap perubahan dan tuntutan zaman dalam proses akulturasi
yang normal tanpa kehilangan esensi dan prinsip ajaran. Di sinilah
Islamisasi bukan sekadar proses internalisasi ajaran sebagaimana
doktrin ortodoksi Islam, tetapi sekaligus penghadapan Islam dengan
sejarah dan kebudayaan di mana Islam itu hadir, tumbuh, dan
berkembang. Dalam proses Islamisasi yang diwarnai

persambungan dan perubahan itulah gerak pemurnian Islam yang
berpijak pada ortodoksi Islam berjalan dinamik dengan pembaruan
sebagai jawaban atas tantangan zaman, yang melahirkan corak
Islam yang pusparagam di kepulauan Nusantara. Karena itu
berlaku fakta satu Islam seribusatu kebudayaan muslim.

Foto: KOMPAS

BINGKAI

De
mo
(

Pendekatan Dakwah Kebudayaan
Ketika Islam teraktualisasi dalam kebudayaan,
sedangkan corak kebudayaan muslim menunjukkan keragaman,
maka bukan berarti terjadi finalisasi keislaman dalam pengabsolutan
yang relatif. Islam tetap mesti diaktualisasikan menyeluruh (kaffah)
dalam proses yang optimal dan terus-menerus, sehingga tercipta

optimalisasi keislaman dan kebudayaan muslim dalam kehidupan
kolektif. Semakin terbentuk banyak kesamaan dan titik temu antar
kebudayaan muslim maka akan semakin terbentang garis merah
kebudayaan Islam yang bersifat muktabarah atau universal. Islam
itu memiliki watak melampaui atau melintasi ruang dan waktu,
sehingga kebudayaan Islam akan semakin menuju pada
universalitas, dengan tetap memiliki corak partikularitas. Namun
dialektika atau dinamika nilai dan aktualisasi Islam akan senantiasa
terjadi dalam proses tiada henti, sehingga akan selalu terjadi
perkembangan menuju puncak kemajuan, sekaligus kemunduran
dalam kebudayaan Islam terkandung pada faktor-faktor yang
menyertainya.
Karena itu Islam menuntut usaha dakwah, yakni
penyebarluasan dan perwujudan dalam kehidupan muslim.

SUARA MUHAMMADIYAH 05 / 96 | 1 - 15 MARET 2011

13