64
ThufuLA
menguasai dan mengendalikan diri—selanjutnya penting masing-masing diri menelaah cara dan syarat untuk mencapai tujuan yang merupakan
raison d’etre-nya. Hal ini secara niscaya penting dihadirkan agar anak bisa menaati kaidah peraturan sehingga dirinya bisa merasakan adanya sesuatu
yang berharga dan patut dihormati, yakni otoritas moral dengan hakikat kaidah tersebut ditanamkan. Sebuah catatan penting niscaya dimengerti
bahwa hanya melalui gurulah anak dapat memahami peraturan dan guru tersebut juga bertanggung jawab menyampaikannya kepada anak-anak.
Dari kenyataan ini dapat dimengerti bahwa peraturan sepenuhnya akan memiliki otoritas sebagaimana guru mengkomunikasikan keberadaannya
kepada para siswa. Penting disadari bahwa perilaku yang dikendalikan oleh suatu kaidah—perilaku yang barangkali menjemukan dan sangat
terbatas—tidak mempunyai sesuatu yang hakiki yang dengan sendirinya bisa mempengaruhi kemauan seseorang. Proses mempengaruhi yang paling
menentukan hanya bisa datang dari luar peraturan itu sendiri, yakni dari guru. Dengan demikian, persoalannya adalah bagaimana otoritas tersebut
ditanamkan dalam diri si guru. Masing-masing niscaya mampu mencerna dan mengamati bahwa satu-satunya sumber dari mana ia mungkin datang
adalah dari dalam diri guru itu sendiri, yakni dalam konsepsinya mengenai pekerjaannya, dalam cita-cita moral yang dimilikinya dan untuk cita-cita
mana ia berusaha mendidik anak-anak Durkheim, 1990:114.
C. Desain Pembelajaran Raudlatul Athfal
Membaca Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor
17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Pasal I, ayat 2 disebutkan bahwa “Penyelenggaraan pendidikan adalah
kegiatan pelaksanaan komponen sistem pendidikan pada satuan atau program pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan agar proses
pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan nasional”. Dari peraturan ini dapat dipahami bahwa komposisi pembelajaran yang
akan diterapkan di masing-masing lembaga pendidikan menjadi terikat sepenuhnya terhadap formulasi kurikulum yang akan ditawarkan. Dilihat
secara terstruktur pula dapat diungkap bahwa desain pengembangan pendidikan di tingkat Raudlatul Athfal harus berorientasi sepenuhnya ke
arah pengembangan mutu pendidikan nasional. Hal ini mutlak diwujudkan karena secara sistemik, struktur kurikulum yang ditawarkan di tingkat
manapun dalam susunan pendidikan nasional akan berimplikasi kepada pencapaian positif di masa-masa berikutnya. Sebaliknya, struktur
kurikulum yang tiada ditata dengan bijaksana dan terarah akan berdampak kepada ketimpangan arah dan tujuan pendidikan di masa mendatang.
65
Volume 1, Nomor 1, Juli-Desember 2013 Menakar Prinsip-Prinsip Filosois dalam Pembelajaran Raudlatul Athfal
Berkaitan dengan strukturisasi kurikulum yang harus ditata dengan baik, Rusman mencatat bahwa secara eksistensial kurikulum
lebih luas daripada sekedar rencana pembelajaran, tetapi meliputi segala pengalaman atau proses belajar siswa yang direncanakan dan dilaksanakan
di bawah bimbingan lembaga pendidikan. Artinya, bahwa kurikulum bukan hanya berupa dokumen bahan cetak, melainkan rangkaian aktivitas siswa
yang dilakukan di dalam kelas, di luar kelas, di laboratorium, di lapangan, maupun di lingkungan masyarakat yang direncanakan serta dibimbing oleh
sekolah. Suatu kurikulum harus memuat pernyataan tujuan, menunjukkan pemilihan dan pengorganisasian bahan pelajaran serta rancangan penilaian
hasil belajar. Bahkan kurikulum harus merupakan bahan pelajaran atau mata pelajaran yang dipelajari siswa, program pembelajaran, hasil
pembelajaran, yang diharapkan, reproduksi kebudayaan, tugas dan konsep yang mempunyai ciri-ciri tersendiri, agenda untuk rekonstruksi sosial,
serta memberikan bekal untuk kecakapan hidup Rusman, 2012:59.
Penjaraban sistematis tentang kebutuhan dominan dalam rancangan kurikulum sebagaimana termaktub di atas memberi catatan
bahwa dilihat secara orientatif sistem pendidikan itu merupakan realitas yang kompleks. Hal ini bersandar kepada kenyataan bahwa berbicara
tentang realitas kompleks maka faktanya mempunyai komponen yang saling berinteraksi antara satu realitas dengan realitas lain dalam rangka
menghasilkan hasil kerja tertentu. Setiap pribadi secara niscaya setuju bahwa hasil-hasil yang muncul dari sistem pendidikan akan berupa
pengetahuan dan keterampilan pada siswa. Di samping itu, ada sejumlah hasil pendidikan yang kurang kelihatan seperti: hasil budaya, sikap
sosial, dan politik, sikap kritis, aspirasi terhadap pekerjaan, posisi sosial di masyarakat, keinginan migrasi dari desa ke kota, dan perbedaan antar
wilayah dan antar masyarakat. Sebagai sistem yang kompleks, sistem pendidikan menghasilkan suatu produk yang diharapkan dan yang tidak
diharapkan oleh masyarakat. Ini adalah tugas perencana pendidikan untuk mengetahuinya Matin, 2013:134.
Secara niscaya melihat deskripsi pelimpahan desain pendidikan kepada segenap perencana pendidikan, sebutkan saja dalam konsepsi
ini stakeholder, maka tampak jelas bahwa mutu pendidikan yang akan diimplementasikan kepada segenap anak didik berkaitan erat dengan
perencana desainnya. Namun perlu dicatat pula sebagaimana Matin menjelaskan bahwa hasil pendidikan juga merupakan akibat dari adanya
interaksi antara sistem pendidikan dengan bidang-bidang lain yang ada di masyarakat. Sebagai perencana pendidikan, masing-masing pribadi yang
terlibat harus berpikir secara sungguh-sungguh tentang bagaimana sistem pendidikan berinteraksi dengan sektor lain itu, seperti dengan biddang
66
ThufuLA
politik, ekonomi, budaya, dan sosial. Melalui interaksi, dimaksudkan bagaimana sistem pendidikan mempengaruhi sektor lain yang ada di
masyarakat, dan sebaliknya bagaimana sektor lain mempengaruhi sistem pendidikan. Misalnya, dapat dilihat bagaimana antara pendidikan dan
ekonomi, khususnya tentang pasaran tenaga kerja. Tamatan sekolah pada semua jenjang pendidikan bergabung dengan pasar kerja untuk mencari
pekerjaan. Sistem pendidikan dengan lapangan kerja berhubungan sangat erat, siswa dididik dan dilatih supaya memiliki kemampuan untuk
melakukan berbagai pekerjaan yang ada di masyarakat. Kemampuan yang dimiliki in kemudian akan membuktikan bahwa sistem pendidikan
dapat menghasilkan sumber daya manusia yang terdidik. Tentu saja ini biasanya diperoleh dari pendidikan dan pelatihan yang berkualitas Matin,
2013:134.
Memupuk kualitas pendidikan yang ideal secara niscaya perlu mengarahkannya ke wilayah yang diharapkan oleh umumnya stakeholders
pendidikan itu sendiri. Untuk itulah, dalam rancangan ini Haryatmoko yang dikutip oleh Zaprulkhan menjelaskan setidaknya ada empat tujuan yang
menjadi idealisme pendidikan; a Perolehan pengetahuan dan keterampilan kompetensi atau kemampuan menjawab permintaan pasar; b Orientasi
humanistik; c Menjawab tantangan-tantangan sosial, ekonomi, dan masalah keadilan; d Kemajuan ilmu-ilmu itu sendiri. Secara terperinci pula
beberapa tujuan tersebut dapat dijelaskan; Pertama, tujuan pendidikan mau menekankan kepada perolehan pengetahuan dan kemampuan untuk
mempersiapkan peserta didik agar nantinya mendapatkan kesempatan kerja. Upaya pendidikan difokuskan pada perolehan pengetahuan
dan keterampilan khusus supaya unggul dalam bidangnya. Tolok ukur keberhasilan model pendidikan semacam ini adalah peserta didik
mampu menemukan lapangan kerja dengan tingkat pendapatan yang sesuai tingkat pendidikannya. Jadi pendidikan diarahkan untuk memberi
sumbangan bagi penyelenggaraan kesejahteraan masyarakat dengan mempersiapkan orang-orang masuk ke lapangan kerja. Memperoleh
keterampilan dan pengetahuan ini biasanya menjadi tujuan yang paling dominan mengapa peserta didik memilih sekolah atau perguruan tinggi
tertentu. Tujuan pendidikan kedua menekankan orientasi humanistik. Pendidikan diarahkan untuk membantu peserta didik mengembangkan
kemampuan penalaran, kemampuan untuk mempertanggungjawabkan pernyataan-pernyataannya, keyakinan-keyakinannya, dan tindakannya.
Sasarannya ialah bisa memahami “apa” dan “mengapa” dari yang dipelajari serta meningkatkan kemampuan mengorganisasi pengalaman dalam
konsep-konsep yang sistematis. Dengan demikian pendidikan menjadi proses pembentukan disposisi dasariah peserta didik dan kemampuan
67
Volume 1, Nomor 1, Juli-Desember 2013 Menakar Prinsip-Prinsip Filosois dalam Pembelajaran Raudlatul Athfal
intelektual serta emosional dalam hubungan dengan sesama, lingkungan, dan alam. Tujuan pendidikan ketiga adalah menjawab tantangan sosial,
ekonomi, dan keadilan. Dalam perspektif ini, pendidikan diarahkan untuk menyiapkan orang mampu mengenali dan menjelaskan masalah-masalah
yang dihadapi masyarakat dan kemudian berusaha menghasilkan jawaban- jawaban yang mendasarkan pada etika. Tujuan ini tidak lepas dari dimensi
hakiki politis dalam pendidikan. Bagian keempat dari tujuan pendidikan yang harus diperhatikan adalah kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Biasanya tujuan ini lebih terkait langsung dengan pendidikan tinggi dan menuntut disposisi khusus. Tujuan pendidikan yang keempat ini mengajak
peserta didik untuk mempelajari sesuatu demi kemajuan disiplin ilmu itu sendiri. Tolok ukur keberhasilan ialah penelitian-penelitian yang dilakukan
membawa penemuan teori-teori baru. Tantangannya terletak dalam upaya menjawab masalah-masalah etika dan bagaimana menghadapi atau
mencegah penyalahgunaan ilmu dan teknologi Zaprulkhan, 2012:315- 318.
Beberapa analisa argumentatif yang dinyatakan oleh beberapa ahli di atas memberikan suatu petunjuk sistematis bahwa desain mutu kurikulum
yang akan ditawarkan dalam satuan pendidikan secara niscaya perlu mengakomodasi harapan-harapan umum pengguna jasa pendidikan itu
sendiri. Kurikulum yang akan ditawarkan pada satuan lembaga pendidikan Raudlatul Athfal mustahil menafikkan bahwa orientasi keterampilan
dan kerja harus senantiasa dihadirkan sehingga ujungnya para peserta didik mampu mengasah kemampuan yang diajarkan secara maksimal
dan tepat sasaran. Tingkat pendidikan Raudlatul Athfal RA sebagai institusi pendidikan dasar mutlak memberikan tawaran-tawaran realistis
kehidupan masyarakat di masa kini dan yang akan datang. Catatan pokok yang harus dikemukakan dalam deskripsi tersebut adalah menghindari
kemungkinan-kemungkinan desain kurikulum sesaat yang hanya bertempo karena kondisi pasar yang sedang memerankan kebutuhannya. Meskipun
secara terstruktur kadangkala kondisi serupa ini seringkali dimunculkan, namun segenap stakeholder perlu menyadari bahwa realitas pendidikan
memiliki kontinyuitas yang tidak mungkin dibendung. Keberlanjutan atau kontinyuitas tersebut akan senantiasa berayun logis dengan pertumbuhan
global yang saling datang silih berganti.
D. Mengisi Ruang Kurikulum Pembelajaran Raudlatul Athfal Secara