Relevansi Penerapan Prinsip Hakim

Di samping itu, Pasal 28 UU 42004 2 juga mewajibkan hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Aturan ini jelas menghendaki agar hukum selalu dapat mengakomodir perkembangan masyarakat yang selalu dinamis sehingga tidak berada dalam situasi het recht hink achter de feiten aan hukum berjalan tertatih-tatih di belakang masyarakatnya.Dengan demikian, aktivitas hakim dalam proses penemuan hukum merupakan implementasi dari asas hakim aktif dalam proses penjatuhan putusan. Selain itu, ketentuan Pasal 78 H.I.R. juga menegaskan asas hakim aktif karena ketentuan dalam pasal ini mewajib- kan hakim untuk melengkapi segala alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh para pihak dalam putusannya. Keaktifan hakim juga diatur dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 9 4 3 yang menyatakan bahwa setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang diperiksa dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari putusan. Kewajiban ini dilengkapi dengan ayat kelima 4 yang menegaskan bahwa kewenangan hakim dalam memberi putusan yang berbeda dissenting opinion dijamin oleh undang-undang dan wajib dimuat dalam putusan.

2. Relevansi Penerapan Prinsip Hakim

Pasif dan Aktif terhadap konsepsi kebenaran Formaldalam Hukum Acara Perdata Bagian ini akan membahas eksistensi asas hakim aktif dan hakim pasif dalam pencarian kebenaran secara normatif dan implementasinya di dalam praktek beracara perdata. a Asas Hakim Aktif dan Pasif Dalam Hukum Acara Perdata Secara normatif, ketentuan-ketentuan H.I.R., R.Bg., maupun R.v. tidak menyebut secara eksplisit istilah asas hakim aktif dan hakim pasif.Dalam berbagai literatur hukum, kedua asas ini juga tidak dideinisi- kan secara pasti dan sistematis. Beberapa sarjana hukum mengartikan asas hakim pasif adalah hakim bersikap menunggu datangnya perkara yang diajukan oleh para pihak. 5 Sebagian sarjana hukum lain mengartikan asas hakim pasif sebagai hakim memegang peranan “tidak berbuat apa-apa.” 6 Sudikno Mertokusumo adalah salah seorang jurist yang mengakui eksistensi prinsip hakim aktif dan hakim pasif, dan secara konsisten menggunakan kedua istilah tersebut dalam referensi-referensinya. Beliau mengemukakan teorinya bahwa asas hakim pasif tidak berkaitan dengan kepasifan total atau absolut dari hakim dalam memeriksa dan memutus perkara bagi para pihak, tetapi berkaitan dengan ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang pada asasnya 2 Ekuivalen dengan Pasal 5 UU 482009.Ed. 3 Ekuivalen dengan Pasal 4 2 UU 482009.Ed. 4 Ekuivalen dengan Pasal 4 3 UU 482009.Ed. 5 A.T. Hamid, 986, Hukum Acara Perdata serta Susunan dan Kekuasaan Pengadilan, Bina Ilmu, Surabaya, hlm. 6. 6 L.J.van Apeldoorn, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 250. ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. 7 Sedangkan asas hakim aktif adalah asas yang harus ditegakkan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus perkara perdata, karena hakim adalah pimpinan sidang yang harus berusaha menyelesaikan sengketa seefektif dan seadil mungkin serta mengatasi segala hambatan dan rintangan bagi para pencari keadilan dalam menjalankan peradilan yang fair. Pengejawantahan asas hakim aktif ini tercermin dalam beberapa ketentuan H.I.R. Oleh karena itu, sistem H.I.R. dianggap menerapkan asas hakim aktif. Sistem H.I.R. ini tentu berbeda dengan sistem R.v. yang secara tegas menganut asas hakim pasif. Peran hakim dalam persidangan menurut R.v. sangat terbatas. Akan tetapi, R.v. pada saat ini dianggap hanya sebagai pedoman belaka karena sudah tidak berlaku sebagaimana mestinya. b Pemahaman Para Praktisi Mengenai Asas Hakim Aktif dan Pasif Beberapa praktisi dan akademisi berpendapat bahwa dewasa ini keberadaan asas hakim pasif dan aktif tidaklah esensial. Pertanyaan mengenai asas mana yang berlaku pada saat ini atau asas mana yang lebih penting dalam hukum acara perdata tidak lagi menjadi persoalan. 8 Secara normatif maupun empiris, kedua asas tersebut sama-sama diterapkan oleh hakim dalam menyelesaikan perkara perdata di pengadilan. Meskipun demikian, bukan berarti hubungan antara kedua asas tersebut komplementer: kedua-duanya sama-sama fundamental karena memiliki fungsinya masing-masing. Fungsi yang berbeda ini muncul karena hukum perdata sebagai hukum privat mengatur kepentingan antar individu mempunyai batasan yang sifatnya perseorangan individual.Persoalan baru muncul ketika pihak yang merasa dirugikan ingin kepentingan dan hak hukumnya terjamin. Oleh karena itu, sangat logis jika hakim mencerminkan sikap pasif, baik pada saat menunggu datangnya perkara yang diajukan padanya maupun bersikap pasif dalam hal menentukan batasan tentang perkaranya ruang lingkup perkara. 9 Hanya pihak pencari keadilan penggugat dalam gugatannya dan tergugat dalam jawabannya yang mengetahui tujuan yang ingin mereka capai dalam penyelesaian perkara mereka. Sejak perkara diserahkan kepada hakim sebagai pemutus perkara, maka hakim yang menjunjung nilai impartiality ketidakberpihakan dan kebijaksanaan sebagai seorang ahli dalam penyelesaian sengketa hukum, harus memastikan agar para pencari keadilan mampu menyelesaikan sengketa secara efektif dan mengakomodir lebih banyak hasrat keadilan bagi keduanya audi et alteram partem. Di sinilah hakim harus bersikap aktif. Jika para pihak sudah menyerahkan sengketa mereka pada hakim, mereka seharusnya menyadari bahwa hakim adalah orang yang paham hukum ius curia 7 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hlm. 2-3. 8 Focused Group Discussion FGD di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, September 2009. 9 Garda Siswadi dan Kunthoro Basuki, dalam Focused Group Discussion FGD, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, September 2009. novit dan ia telah dipercaya untuk memutus sengketa antara keduanya. c Rasio Masih Berlakunya Asas Hakim Pasif dalam Pemeriksaan Perkara Perdata di Pengadilan Ada saatnyahakim wajib bersifat pasif, seperti telah diuraikan sebelumnya. Sebagaimana dijelaskan oleh L.J.van Apel- doorn, 20 alasan-alasan masih ditegakkannya asas hakim pasif yang mengiringi keberadaan asas hakim aktif dalam hukum acara perdata adalah sebagai berikut: inisiatif untuk mengajukan perkara perdata selalu dilakukan oleh pihak yang berkepentingan dan tidak pernah dilakukan oleh hakim.Hal ini merupa- kan hal yang rasional, karena hukum acara perdata mengatur cara mem- pertahankan kepentingan partikelir dan hanya para pihaklah yang mengetahui apakah mereka menghendaki agar kepentingan khusus mereka perlu untuk dipertahankan atau tidak; 2 sebelum hakim memberi putusan – baik karena kesepakatan untuk menempuh jalan perdamaian Pasal 30 H.I.R. maupun alasan pencabutan gugatan lainnya Pasal 227 R.v. – para pihak mempunyai kuasa untuk menghentikan acara yang telah mereka mulai; 3 luas pertikaian yang diajukan kepada hakim bergantung pada para pihak. Dengan perkataan lain, hakim wajib menentukan apakah hal-hal yang di- ajukan dan dibuktikan oleh para pihak itu relevan dengan tuntutan mereka; 4 jika para pihak seia sekata mengenai hal-hal tertentu dengan satu pihak mengakui kebenaran hal-hal yang diajukan oleh pihak yang lain, maka hakim tidak perlu menyelidiki lebih lanjut apakah hal-hal yang diajukan itu sungguh-sungguh benar. Ia harus menerima apa yang ditetapkan oleh para pihak.Hal ini merupakan suatu hal pembeda antara hukum acara perdata dan hukum acara pidana. Dalam acara pidana, hakim tidak dapat begitu saja menerima kebenaran pengakuan terdakwa dan juga tidak boleh memberi putusan hanya berdasarkan pengakuan terdakwa yang tidak dikuatkan oleh hal-hal lain. Ini mengonirmasi bahwa dalam hukum acara perdata, hakim sangat terikat kepada alat- alat bukti yang diajukan oleh para pihak, sedangkan dalam hukum acara pidana, alat bukti saja tidak cukup namun juga harus dikuatkan dengan keyakinan hakim beyond reasonable doubt; 5 Hakim perdata tidak boleh melakukan pemeriksaan atas kebenaran sumpah decisoir sumpah yang memutus dan menentukan yang telah dilakukan oleh salah satu pihak dengan maksud menggantungkan putusan pada sum- pah tersebut.Jika sumpah itu telah dilakukan, maka hakim dalam sengketa perdata tidak boleh memeriksa apakah sumpah itu palsu atau tidak.Ia harus menerima hal-hal yang dilakukan atas sumpah sebagai sesuatu yang nyata. d Arti Penting Penerapan Asas Hakim Aktif secara Intensif dalam Pemeriksaan Perkara Perdata 20 L.J. van Apeldoorn, Op. Cit., hlm. 250-25. Dalam penyelesaian perkara perdata di pengadilan, para pihak secara praktis telah mempercayakan perkara mereka kepada hakim untuk diadili dan diberi putusan yang seadil-adilnya. Inilah alasan mengapa hakim harus bersikap aktif. Hakim bukan sekedar corong undang-undang la bouche de la loi yang hanya menerapkan peraturan hukum, melainkan pejabat negara yang tinggi pengetahuan, martabat, serta wibawanya dan menjadi tempat mengadu bagi para pencari keadilan justitiabellen. Teori klasik menyatakan bahwa acara perdata hanya mencari kebenaran formal formelewaarheid, sementara acara pidana mencari kebenaran material mater- ielewaarheid. 2 Padahal dalam kenyataan- nya, teori ini tidak sepenuhnya benar.M. YahyaHarahap 22 berusaha menjelaskan relevansi teori kebenaran formal ini dengan kenyataannya di lapangan law in practice. Menurut beliau,kebenaran formal yang dimaksud dalam hukum acara perdata ini muncul dikarenakan para pihak yang berperkaralah yang memikul beban pembuktian burden of proof mengenai kebenaran yang seutuhnya untuk diajukan di depan persidangan. Namun setelah hakim dalam persidangan menampung dan menerima segala kebenaran yang diajukan oleh para pihak tersebut, maka tugas hakim adalah menetapkan kebenaran tersebut berdasarkan pembuktian yang telah dilakukan dengan berlandaskan pada hukum yang berlaku baik dalam arti sempit maupun luas serta kesadaran dan cita hukum yang ia anut. Oleh karena itu, pengertian kebenaran formal jangan sampai ditafsirkan dan dimanipulasi sebagai bentuk kebenaran yang setengah-setengah atau kebenaran yang tidak sungguh-sungguh.Tidak ada larangan bagi hakim perdata untuk mencari dan menemukan kebenaran hakiki kebenaran material, 23 namun apabila kebenaran hakiki tersebut tidak dapat ditemukan dalam proses persidangan, hukum tetap membenarkan apabila hakim menemukan dan mengambil putusan berdasarkan kebenaran formal. Hal ini sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung dalam perkara 336KPdt983 tertanggal 6 Maret 985, Pengadilan Tinggi Semarang dalam 0098 tertanggal 30 November 982, dan Pengadilan Negeri Semarang dalam 73978 tertanggal 3 September 980. 24 . L.J.van Apeldoorn sendiri menjelaskan bahwa hakim perkara perdata tidak meng- adakan penyelidikan terhadap kebenaran hal-hal yang diakui oleh para pihak dan terhadap kebenaran sumpah yang dilakukan dikarenakan hal tersebut merupakan akibat dari hakikat bahwa para pihak bebas dalam menentukan hak-hak khususnya. Jika para pihak sendiri tidak menghendaki pemerik- saan, hakim tidak perlu melakukannya. Namun jika mereka tidak sepakat tentang sesuatu hal dan menghendaki pemeriksaan, maka hakim perdata tentu harus mencari kebenaran material, misalnya hakim tidak akan menerima begitu saja semua hal yang 2 Ibid., hlm. 25. 22 M. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 7. 23 Komari, dalam Focused Group Discussion FGD, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, September 2009. 24 Ibid. dinyatakan oleh para saksi, tetapi sebanyak mungkin memeriksa hingga mana para saksi tersebut dapat dipercayai Pasal 945 B.W.. 25 Keaktifan hakim juga dituntut karena dalam H.I.R. yang dianut sekarang ini para pihak diberi kebebasan untuk beracara sendiri tanpa harus mewakilkan pada pihak lain yang diberi kuasa khusus untuk itu. Hal ini berbeda dengan R.v. yang tegas- tegas menyatakan bahwa aktivitas beracara di pengadilan perdata harus diwakilkan, hal yang dipertegas kembali dalam Pasal 86 Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie R.O. yang menyebutkan bahwa yang berhak mewakili hanyalah seorang Sarjana Hukum verplichteprocureurstelling. Beberapa ha- kim termasuk hakim di pengadilan agama melihat ketimpangan yang luar biasa ketika salah satu pihak yang berperkara diwakili oleh seorang advokat yang tangguh sementara pihak lain tidak. 26 Selain itu, tentu saja banyak masyarakat awam yang tidak memahami prosedur beracara di pengadilan sehingga seringkali mereka sama sekali buta hukum dan mengalami kesulitan yang luar biasa, baik dalam mengupayakan gugatan- nya dikabulkan maupun dalam membela diri dari serangan penggugat. Keadaan seperti ini tentu saja menuntut kearifan dan keaktifan seorang hakim yang menjunjung nilai imparsialitas untuk memastikan setiap pihak yang beracara memperoleh hak dan kewajiban yang sama audi et alteram partem dalam rangka mencapai keadilan melalui jalur pengadilan. Hal ini sudah merupakan amanat dari Pasal 5 UU 42004 yang menyatakan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.Sedangkan ayat 2 menyatakan bahwapengadilan mem- bantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. 27 Kontradiksi antara asas hakim aktif dan asas hakim pasif biasanya dihubungkan dengan persoalan larangan ultra petitum partium, yaitu larangan bagi hakim untuk memutus melebihi dari yang apa dituntut berdasarkan ketentuan Pasal 78 2 dan 3 H.I.R. Namun, dalam perkembangannya, terdapat yurisprudensi Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa hakim dapat mengabulkan lebih dari yang dituntut dalam petitum selama masih sesuai dengan posita. 28 Putusan Mahkamah Agung ter- tanggal 0 November 97 juga memboleh- kan hakim mengabulkan lebih dari yang dituntut selama sesuai dengan kejadian material dan ada tuntutan subsider yang berupa ex aequo et bono. Di samping itu ditegaskan pula dalam putusan tahun 97 tersebut bahwa dalam hukum acara yang berlaku di Indonesia, baik hukum pidana maupun hukum acara perdata, hakim harus bersifat aktif. Meskipun sistem hukum di 25 L.J. van Apeldoorn, Op. Cit., hlm. 250-25. 26 Deddy Supriyadi dalam Focused Group Discussion FGD, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogya- karta, September 2009. 27 Ekuivalen dengan Pasal 4 -2 UU 482009. Ed. 28 Putusan Mahkamah Agung tertanggal 5 Juli 975 425KSip975 dalam perkara Fa. Indah Enterprice Film, dkk lawan Tjoe Kini Po, dkk dan Ali Susanto alias Lie Kim Tjoan, dkk. Indonesia tidak menerapkan secara penuh asas the binding force of precedents, namun yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum acara positif di Indonesia dan dalam hukum acara perdata dikenal teori tentang terikatnya para pihak pada putusan gezag van gewijsde dengan menegakkan prinsip res judicata pro veritatehabiteur. Oleh karena itu, yurisprudensi ini bersifat mengikat selama diyakini kebenarannya dan belum terbukti sebaliknya. e Hambatan Penerapan Asas Hakim Aktif dalam Pemeriksaan Perkara Perdata Beberapa hambatan dijumpai oleh para praktisi ketika menerapkan prinsip hakim pasif dan aktif dalam rangka mencari kebenaran formal di pemeriksaan perkara perdata di pengadilan. Hambatan itu misalnya tidak adanya keseragaman pendapat dari para hakim tentang bagaimana dan sejauh apa penerapan asas hakim aktif dalam penyelesaian sengketa perdata di pengadilan seluruh Indonesia dapat dilaksanakan.Putusan seorang hakim yang telah berupaya menerapkan secara optimal asas hakim aktif kemungkinan dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi maupun oleh Mahkamah Agung.Pembatalan putusan tersebut dapat menyebabkan mentahnya kembali perkara dan sengketa yang telah diputus dengan mempertimbangkan asas kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan tersebut. Perkara pun akhirnya tidak benar- benar diselesaikan secara efektif, sehingga menghambat terwujudnya proses pengadilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Hambatan lainnya berkaitan dengan Pasal 9 dan 32 H.I.R. Selama ini dalam praktik, hakim mengalami kesulitan dalam menentukan sikap antara memberi pertolongan dan bantuan Pasal 9 dan 32 H.I.R. dengan keberpihakan.Sebagai ilustrasi, dalam suatu kasus perceraian di pengadilan agama, pihak tergugat bermaksud mengajukan gugatan rekonvensi namun ia tidak mengerti bagaimana cara untuk mengajukannya. Menghadapi situasi seperti ini, hakim pengadilan agama merasa perlu untuk membantu pihak tergugat dalam membuat gugatan rekonvensi. Namun seringkali bantuan tersebut malah sampai pada memformulasikan gugatan rekonvensi. Dari ilustrasi tersebut, seakan-akan hakim tidak lagi sekedar memberi nasihat tetapi membantu dengan memihak pihak tergugat.

E. kesimpulan