Faktor Faktor Penentu Keberhasilan Penangkaran Cucak Rawa (Pycnonotus Zeylanicus Gmelin, 1789)

FAKTOR-FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN
PENANGKARAN CUCAK RAWA
(Pycnonotus zeylanicus Gmelin, 1789)

DINI AYU LESTARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Faktor-Faktor
Penentu Keberhasilan Penangkaran Cucak Rawa (Pycnonotus zeylanicus Gmelin,
1789) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2017
Dini Ayu Lestari
NIM E351140276

RINGKASAN
DINI AYU LESTARI. Faktor-Faktor Penentu Keberhasilan Penangkaran Cucak
Rawa (Pycnonotus zeylanicus Gmelin, 1789). Dibimbing oleh BURHANUDDIN
MAS’UD dan JARWADI BUDI HERNOWO.
Burung cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus) tergolong dalam famili
Pycnonotidae dan ordo Passeriformes yang marak diperdagangkan di Indonesia.
Salah satu upaya konservasi yang dapat dilakukan dalam meningkatkan
populasinya di luar habitat alaminya adalah melalui penangkaran. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis manajemen penangkaran, menganalisis dan
mensintesis variabel penentu keberhasilan penangkaran, menentukan model
keberhasilan penangkaran, serta menganalisis tipologi penangkar cucak rawa yang
berhasil. Penelitian dilakukan pada sepuluh penangkaran yang berada di Kabupaten
Bogor dan Depok. Waktu pelaksanaan penelitian adalah Mei sampai dengan Juli
2015. Pengumpurlan data dilakukan dengan cara pengamatan langsung,
pengukuran, dan wawancara terhadap pemilik dan animal keeper. Variabel penentu

keberhasilan penangkaran dianalisis dengan analisis komponen utama (Principle
Component Analysis). Analisis regresi komponen utama dengan metode stepwise
yang diolah dengan bantuan software SPSS (IBM SPSS Statistics 22) digunakan
untuk menganalisis model keberhasilan penangkaran cucak rawa.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa manajemen penangkaran yang telah
dilakukan antara lain manajemen kandang, pakan, kesehatan dan perawatan, serta
reproduksi. Manajemen yang telah dilakukan tersebut telah sesuai untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan perkembangbiakan cucak rawa di penangkaran. Variabel
penentu keberhasilan penangkaran cucak rawa yaitu lama waktu menangkarkan,
jumlah induk produktif, daya tetas telur, modal, biaya operasional, dan curahan
waktu perawatan. Model keberhasilan penangkaran cucak rawa terdiri atas dua
model, yakni model kelahiran dan kematian. Model kelahiran adalah
Y1 = 64.700 + 57.480 PC1 yang berarti bahwa semakin lama menangkarkan,
semakin banyak jumlah induk produktif, dan semakin tinggi daya tetas telur maka
semakin besar kelahiran. Model kematian yakni Y2 = 19.100 – 4.238 PC2. Model
ini menjelaskan bahwa semakin besar biaya operasioanal dan modal yang
dikeluarkan serta semakin lama curahan waktu perawatan dapat menekan kematian.
Tipologi penangkar cucak rawa terbagi ke dalam tiga tipologi, yakni penangkar
yang berhasil, penangkar cukup berhasil, dan penangkar belum berhasil.
Karakteristik kunci yang menentukan tipologi tersebut, antara lain jumlah induk

produktif, daya tetas telur, biaya operasional, modal, dan curahan waktu perawatan.
Berdasarkan hasil analisis finansial, usaha penangkaran cucak rawa layak untuk
dijalankan. Nilai NPV, BCR, IRR, PBP, dan BEP pada tingkat suku bunga 5% dan
30% berturut-turut adalah Rp2.631.732.785, 16, 51.77%, 0.27 tahun = 3 bulan,
Rp17.446.422.
Kata kunci: cucak rawa, keberhasilan penangkaran

SUMMARY
DINI AYU LESTARI. Determinings Factor of Breeding Success of Straw-Headed
Bulbul (Pycnonotus zeylanicus Gmelin, 1789). Supervised by BURHANUDDIN
MAS’UD and JARWADI BUDI HERNOWO.
Straw-headed bulbul (Pycnonotus zeylanicus) which belongs to the family of
Pycnonotidae and order of Passeriformes is excessively traded in Indonesia. Thus,
captive breeding is one of conservation efforts to be done in improving the bird
population outside its natural habitat. This study was aimed to analyze the
management of captive breeding, to analyze and synthesize the determinant
variable of breeding success, to determine the model of breeding success, and to
analyze typology of successful breeders of straw-headed bulbul. The study was
conducted in ten captive breeding areas located in Bogor and Depok from May to
July 2015. Data collecting was carried out through direct observation, measurement,

and interview with the bird’s owner and animal keeper. Determinant variables of
breeding success were analyzed using the Principle Component Analysis. Further,
regression analysis of the main component of straw-headed bulbul was done by the
stepwise method which was processed using SPSS (IBM SPSS Statistics 22) to
analyze the model of success breeding of straw-headed bulbul.
The result of this study showed that the captive breeding management which
has been done, included the management of cages, feed, health and treatment as
well as reproduction, has already appropriate in meeting the needs of living and
breeding of straw-headed bulbul in captive breeding area. Determinant variables of
the breeding success of straw-headed bulbul were the duration of captive breeding,
the number of productive mother bird, egg hatching, capital, operating cost, and
treatment time period. The breeding success model of straw-headed bulbul consists
of two models, namely model of birth and model of death. The model of birth,
Y1 = 64,700 + 57,480 PC1, means that the longer the time period of captive
breeding, the more the number of productive mother bird, the higher the hatchability
of eggs, and the higher the birth rate. Moreover, the model of death, that is
Y2 = 19,100 - 4,238 PC2 explains that higher operating and capital cost spent and
longer time period of treatment are able to suppress the death rate. Typology
straw-headed bulbul breeders in captivity is divided into three typologies, they are
the successful breeder, quite successful breeders, and breeders have not succeeded.

The key characteristics that determine the typology, including the number of
productive mother bird, egg hatching, operating cost, capital, and treatment time
period. The results of the financial analysis indicates that straw-headed bulbul
breeding feasible. NPV, BCR, IRR, PBP, and BEP are the interest rate of 5% and
30% respectively are Rp2.631.732.785, 16, 51.77%, 0.27 year = 3 month,
Rp17.446.422.
Keywords: straw-headed bulbul, breeding success

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

FAKTOR-FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN
PENANGKARAN CUCAK RAWA
(Pycnonotus zeylanicus Gmelin, 1789)


DINI AYU LESTARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr M Bismark, MS

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan sebagai syarat

untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Konservasi
Biodiversitas Tropika, Fakultas Kehutanan, IPB. Tema yang dipilih dalam
penelitian ini ialah Faktor-Faktor Penentu Keberhasilan Penangkaran Cucak Rawa
(Pycnonotus Zeylanicus Gmelin, 1789).
Karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik karena tidak luput dari
dukungan berbagai pihak baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Penghargaan dan terima kasih diberikan kepada Bapak Dr Ir Burhanuddin Mas’ud,
MS dan Dr Ir Jarwadi Budi Hernowo, MScF sebagai dosen pembimbing yang
dengan sepenuh hati mendukung dan senantiasa memberikan kritik dan saran.
Terima kasih juga disampaikan kepada Dr Drh Chairunisa, MSi selaku dosen
moderator pada seminar hasil penelitian ini. Disampaikan juga terima kasih kepada
Bapak Prof Dr M Bismark, MS selaku penguji luar komisi pembimbing atas
kesediannya menguji pada ujian tesis dan Ibu Dr Ir Siti Badriyah Rushayati, MSi
selaku ketua sidang pada ujian tesis. Penghargaan dan terima kasih juga
disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) atas beasiswa
Magister yang telah diberikan dan diucapkan juga terima kasih kepada Lembaga
Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Kementerian Keuangan Republik Indonesia
karena telah memberikan dukungan finansial dalam penelitian ini.
Diucapkan juga terima kasih kepada Bapak Prasetyo Hardiono, Ibu Tri
Ruspiyani, Lucky Indah Setyani, Anniza Dian Pertiwi, Bapak Dr Agus Djoko

Ismanto, MSc dan keluarga, Ibu Novie Dwi Lestari dan keluarga, serta keluarga
besar yang selalu bermurah hati untuk mendoakan dan mendukung penulis selama
menempuh pendidikan dan mencari ilmu pengetahuan. Penghargaan penulis juga
sampaikan kepada seluruh staf pengelola penangkaran tempat pengambilan data
karena telah mengizinkan melakukan penelitian dan membantu selama
pengumpulan data karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada Nurul Rahayu, sahabatku 274, Ami, Dayang, Estu, Saqinah, teman-teman
we are legend, KVT, IPB Press, KSHE 47, dan pihak-pihak lain yang telah
berpartisipasi dalam mensukseskan karya ilmiah ini secara tidak langsung yang
tidak dapat disebutkan namanya satu persatu. Semoga karya ilmiah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, Februari 2017
Dini Ayu Lestari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi


DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran

1
1
2
3
4

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Bioekologi Cucak Rawa
Teknik Penangkaran
Aspek Ekonomi
Aspek Sosial

6
6
7
11
12

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Objek Penelitian
Alat dan Instrumen
Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Analisis Data


12
12
13
13
13
17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Manajemen Penangkaran Cucak Rawa
Faktor Dominan yang Menentukan Keberhasilan Penangkaran
Model Keberhasilan Penangkaran
Tipologi Penangkar Cucak Rawa
Analisis Kelayakan Finansial

24
24
42
48
52
55

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

56
56
56

6 DAFTAR PUSTAKA

57

LAMPIRAN

63

RIWAYAT HIDUP

75

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22

Faktor pembeda cucak rawa jantan dan betina
Jenis dan metode pengumpulan data keberhasilan penangkaran
Analisis kuantitatif aspek pakan dan reproduksi
Penerapan manajemen penangkaran dan hasil penangkarannya
di setiap unit penangkaran contoh sebagai lokasi penelitian
Jenis, ukuran, dan konstruksi kandang cucak rawa
Kelemahan dan kelebihan bahan penyusun dinding kandang
cucak rawa
Kelemahan dan kelebihan bahan penyusun alas kandang (litter)
cucak rawa
Fasilitas kandang cucak rawa
Jumlah konsumsi pisang kepok, jangkrik, dan pur di kandang
reproduksi cucak rawa
Kandungan gizi pakan cucak rawa
Jenis penyakit dan/atau gejala yang pernah diderita cucak rawa
di penangkaran
Hasil uji Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) dan Barlett Test pada
analisis PCA
Hasil pengujian MSA (Measure of Sampling Adequacy)
Nilai akar ciri (eigenvalues)
Faktor dominan yang berkontribusi terhadap keberhasilan
penangkaran
Biaya biaya operasional per bulan dan modal/investasi
setiap penangkaran
Hasil analisis regresi komponen utama pada model kelahiran
cucak rawa
Hasil pengujian asumsi klasik model kelahiran cucak rawa
Hasil analisis regresi komponen utama pada model kematian
cucak rawa
Hasil pengujian asumsi klasik model kematian cucak rawa
Tipologi penangka cucak rawa yang berhasil
Tabel analisis kelayakan finansial usaha penangkaran cucak rawa

10
13
17
25
27
28
29
32
36
37
40
42
43
43
44
46
48
49
51
51
53
55

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Kerangka pikir penelitian
Pasangan cucak rawa; a) jantan, b) betina
Jenis-jenis kandang cucak rawa; a) kandang reproduksi,
b) kandang pembesaran (sangkar), dan c) kandang/kotak inkubator
Ilustrasi kandang cucak rawa; a) kandang reproduksi,
b) kandang pembesaran (sangkar), dan c) kandang/kotak inkubator
Sangkar cucak rawa; a) sangkar sabut kelapa, b) sangkar ijuk
yang dianyam; c) sangkar cucak jambul (Pycnonotus jocosus)
di Kebun Raya Tropis Xishuangbanna, China Selatan

5
10
30
31

33

6
7
8
9

10
11
12
13

Kandang pemandian cucak rawa; a) foto kandang pemandian,
b) ilustrasi kandang pemandian
Rata-rata suhu (°C) dan kelembapan (%) pada kandang
reproduksi cucak rawa
Jenis-jenis pakan cucak rawa; a) jangkrik, b) pisang kepok, c) pur,
d) bubur pur pakan anak cucak rawa
Kegiatan perawatan cucak rawa; a) membersihkan kandang dan
fasilitas di dalamnya, b) memberikan pakan dan minum,
c) memandikan cucak rawa yang terdapat di kandang
pembesaran (sangkar)
Feses burung berordo Passeriformes (Serinus canaria)
yang mengandung Escherichia coli
Tonic treasure
Telur cucak rawa
Sturktur anatomi bagian dalam telinga burung

34
35
36

39
40
41
42
50

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Hasil analisis PCA
Hasil analisis regresi komponen utama dan pengujian model
kelahiran cucak rawa
Hasil analisis regresi komponen utama dan pengujian model
kematian cucak rawa
Perhitungan biaya operasional per bulan dan modal penentu tipologi
penangkar cucak rawa
Analisis kelayakan finansial usaha penangkaran cucak rawa

64
66
68
70
74

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Burung cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus Gmelin, 1789) termasuk ke
dalam famili Pycnonotidae dan pada umumnya dikenal dengan nama merbah atau
cucak-cucakan. Menurut Iswantoro (2008), famili burung ini tergolong ke dalam
burung pengicau yang memiliki suara merdu dan beranekaragam. Holmes (1995)
dalam Bird Life International (2001) menjelaskan bahwa populasi cucak rawa
mengalami penurunan tajam dan saat ini cucak rawa telah menjadi satwa peliharaan
di Indonesia. Cucak rawa merupakan jenis burung yang sangat digemari penggemar
burung karena suaranya sehingga marak diperdagangkan (Supriyadi 2008).
Collar et al. (1994) dalam MacKinnon et al. (2010) mengelompokkan cucak
rawa ke dalam status rentan (vulnerable). International Union for Conservation of
Nature and Natural Resources (IUCN) versi 3.1 tahun 2014 menetapkan cucak
rawa ke dalam status rentan (vulnerable). Convention on International Trade in
Endangered Species of wild fauna and flora (CITES) pada tahun 1998 memasukkan
cucak rawa ke dalam daftar Appendix II, yaitu jenis burung yang perlu diatur dan
dibatasi dalam perdagangannya serta perdagangannya hanya diperbolehkan dari
hasil penangkaran (breeding) (Iswantoro 2008). Gunarso et al. (2009)
menambahkan bahwa cucak rawa termasuk ke dalam satwa yang tidak dilindungi
di Indonesia, tetapi diperlukan upaya konservasi dan pelarangan perburuan cucak
rawa di habitat alaminya.
Salah satu upaya konservasi yang dapat dilakukan dalam meningkatkan
populasi cucak rawa di luar habitat alaminya yakni melalui penangkaran. Peraturan
Dirjen PHKA No. 05 Tahun 2014 menjelaskan penangkaran adalah adalah upaya
perbanyakan melalui pengembangbiakan dan pembesaran satwa liar dengan tetap
memperhatikan kemurnian jenisnya. Berdasarkan pengertian tersebut, suatu
penangkaran dapat dikatakan berhasil jika mampu mengembangbiakkan satwa
yang ditangkarkan sehingga produktivitasnya meningkat.
Penangkaran cucak rawa tidak sebanyak dengan penangkaran burung lainnya
karena cucak rawa sangat sensitif terhadap gangguan. Cucak rawa mudah terkena
stres akibat gangguan atau aktivitas manusia sehingga sulit untuk ditangkarkan.
Mas’ud (2002) menjelaskan bahwa cucak rawa yang mengerami telurnya harus
dijauhkan dari berbagai gangguan karena apabila terganggu, induk cucak rawa tidak
akan mengerami telurnya.
Ratnawati (2012) menjelaskan bahwa kegiatan penangkaran memerlukan
penilaian keberhasilan yang bertujuan untuk mengetahui kesesuaian setiap
kegiatan-kegiatan penangkaran yang telah dilakukan. Tujuan lain penilaian
keberhasilan penangkaran yakni memperbaiki sistem pengelolaan penangkaran dan
juga menjadi persyaratan dalam pengajuan perpanjangan izin usaha penangkaran
setiap lima tahun (Ditjen PHKA 2001). Keberhasilan manajemen penangkaran
satwa liar merupakan resultan dari banyak faktor yang terkait dengan penguasaan
dan penerapan aspek teknis pengelolaan penangkaran yang baik, efektif, dan efisien
(Masy’ud 2001 dalam Ratnawati 2012).
Keberhasilan penangkaran ditentukan oleh beberapa faktor, di antaranya
teknis penangkaran, ekonomi, dan sosial (Ratnawati 2012). Terdapat beberapa

2
aspek pada teknis penangkaran, yakni aspek perkandangan, aspek pakan, aspek
perawatan kesehatan, dan aspek reproduksi.
Kesesuaian kandang penting untuk diperhatikan karena menunjang
keberhasilan kegiatan penangkaran. Kesesuaian kandang meliputi jenis kandang,
jumlah kandang, bahan penyusun kandang, fasilitas di dalam kandang, perawatan
kandang, serta suhu dan kelembapan kandang (Azis 2013).
Faktor penentu lain yang penting untuk diteliti adalah pakan. Pakan
merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan penangkaran satwa liar. Surung
(2008) menjelaskan bahwa pakan adalah faktor pembatas (limiting factor) untuk
jaminan keberlanjutan hidup dan perkembangbiakan satwa yang bernilai 70‒80%
dari biaya produksi.
Aspek perawatan kesehatan penting untuk diperhatikan. Bebas dari rasa sakit,
luka dan penyakit merupakan upaya pengelola penangkaran dalam merawat
kesehatan dan mencegah kemungkinan satwa sakit atau menderita luka-luka
(Eccleston 2009; Balaa dan Marie 2006). Menurut Setio dan Takandjandji (2007),
kunci keberhasilan penangkaran adalah reproduksi karena dapat meningkatkan
populasi dan produktivitas satwa yang ditangkarkan. Oleh karena itu, aspek reproduksi
dilibatkan dalam penelitian ini.
Burung berkicau tidak hanya dipandang sebagai simbol keindahan seperti
suara, warna, dan gerak-geriknya, melainkan menjadi komoditas yang bernilai
ekonomi karena dapat diperdagangkan (Supriyadi 2008). Suatu usaha tidak akan
dapat berjalan secara berkelanjutan tanpa adanya modal atau dana. Pertimbangan
aspek ekonomi dalam suatu usaha perlu dilakukan untuk melihat secara detail
gambaran modal atau investasi yang diperlukan untuk menunjang berlangsungnya
suatu usaha dan mengidentifikasi biaya operasional yang dikeluarkan.
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan untuk menunjang keberhasilan
penangkaran adalah aspek sosial. Pentingnya peubah sosial masyarakat dalam
kegiatan pelestarian ditunjukkan oleh hasil penelitian Purnamasari (2014) bahwa
aspek sosial berkorelasi dengan keberhasilan penangkaran jalak bali di Desa
Sumberklampok, Bali.
Sejauh ini penelitian mengenai cucak rawa hanya mengkaji aspek teknik
penangkaran saja (Lestari 2014). Belum ada penelitian yang membahas mengenai
faktor penentu keberhasilan penangkaran cucak rawa. Berdasarkan pemikiran
tersebut, diperlukan penelitian mengenai faktor-faktor penentu keberhasilan
penangkaran cucak rawa.

Perumusan Masalah
Banyak sekali penelitian mengenai penangkaran burung dengan fokus
kajian, yakni teknik penangkaran (Gitta 2011; Prayana 2012; Yunanti 2012), tetapi
penelitian tersebut belum ada yang mengkaji mengenai faktor-faktor yang
memengaruhi penangkaran. Penangkaran cucak rawa tidak sebanyak dengan
penangkaran burung lainnya karena cucak rawa mudah terkena stres akibat
gangguan atau aktivitas manusia sehingga sulit untuk ditangkarkan. Mas’ud (2002)
menjelaskan bahwa cucak rawa yang mengerami telurnya harus dihindarkan dari
berbagai gangguan. Hal ini dapat menyebabkan telur tidak menetas karena induk
tidak ingin mengeraminya lagi. Diperlukan penelitian lebih mendalam terhadap

3
hasil penelitian Lestari (2014) yakni berupa analisis faktor-faktor yang
memengaruhi keberhasilan penangkaran cucak rawa.
Peraturan Dirjen PHKA No. 05 Tahun 2014 menjelaskan penangkaran adalah
adalah upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan dan pembesaran satwa liar
dengan tetap memperhatikan kemurnian jenisnya. Menurut PP No. 8 Tahun 1999
dan Thohari et al. (2011) penangkaran adalah suatu kegiatan untuk
mengembangbiakkan satwa liar dengan tujuan memperbanyak populasi agar
menghindari kepunahan, tetapi tetap memertahankan kemurnian genetik sehingga
kelestarian dan keberadaan jenis satwa dapat dipertahankan di habitat alaminya
serta dalam rangka memanfaatkan satwa liar secara optimal.
Penangkaran cucak rawa memberikan manfaat ekologi dan ekonomi. Manfaat
ekologi penangkaran cucak rawa yakni dapat ikut melestarikan populasi cucak rawa
melalui upaya perkembangbiakan dengan tetap mempertahankan kemurnian
jenisnya. Sementara itu, manfaat ekonomi penangkaran cucak rawa adalah menjadi
sumber penghasilan, baik sebagai penghasilan alternatif atau utama penangkar.
Faktor-faktor penentu keberhasilan penangkaran perlu dikaji agar diketahui faktor
kunci penentu keberhasilan penangkaran cucak rawa sehingga manfaat
penangkaran cucak rawa dapat dicapai secara optimum dan berkelanjutan, serta
kegiatan penangkaran dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Keberhasilan suatu unit manajemen penangkaran satwa liar pada dasarnya
dipengaruhi banyak faktor yang terkait dengan penguasaan dan penerapan aspek
pengelolaan penangkaran yang baik dan handal (Masy’ud 2001 dalam Ratnawati
2012). Hasil analisis faktor-faktor penentu keberhasilan penangkaran diharapkan
dapat menjadi bahan rekomendasi dalam meningkatkan keberhasilan penangkaran
cucak rawa. Berdasarkan uraian tersebut, rumusan masalah penelitian ini sebagai
berikut.
1. Bagaimana manajemen penangkaran cucak rawa pada masing-masing lokasi
penelitian?
2. Faktor apakah yang menjadi penentu keberhasilan penangkaran cucak rawa?
3. Bagaimana model keberhasilan penangkaran cucak rawa?
4. Bagaimana tipologi penangkar cucak rawa yang berhasil?
5. Bagaimana analisis kelayakan finansial usaha penangkaran cucak rawa?

Tujuan Penelitian
1.
2.
3.
4.
5.

Tujuan penelitian ini sebagai berikut.
Menganalisis manajemen penangkaran cucak rawa pada masing-masing lokasi
penelitian.
Menganalisis dan mensintesis faktor dominan penentu keberhasilan
penangkaran cucak rawa.
Menentukan model keberhasilan penangkaran cucak rawa.
Menentukan tipologi penangkar cucak rawa yang berhasil.
Menganalisis kelayakan finansial usaha penangkaran cucak rawa.

4
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu rekomendasi dan
evaluasi dalam upaya meningkatkan keberhasilan pelestarian cucak rawa secara
eksitu.

Kerangka Pemikiran
Cucak rawa marak diperdagangkan karena suaranya yang merdu. Nilai
ekonomi cucak rawa cukup tinggi di kalangan penangkar cucak rawa. Menurut PP
No. 7 Tahun 1999, pengelolaan satwa liar secara eksitu bertujuan meneyelamatkan
sumber daya genetik dan meningkatkan populasinya dengan tetap mempertahankan
kemurnian genetiknya. Penangkaran cucak rawa merupakan salah satu bagian dari
konservasi keanekaragaman hayati di dalam menunjang pelestarian populasi cucak
rawa melalui pengembangbiakan atau perbanyakan populasi cucak rawa di luar
habitat alaminya (secara eksitu).
Hasil pengamatan pendahuluan di beberapa lokasi penangkaran cucak rawa
menunjukkan ada penangkaran yang telah berhasil mengembangbiakkan cucak
rawa yang ditangkarkan, tetapi ada juga yang tidak atau belum berhasil. Tingkat
keberhasilan tersebut juga berbeda-beda. Perbedaan tersebut diduga karena terkait
dengan perbedaan aspek teknis penangkaran, disamping karena stres akibat
gangguan dari berbagai faktor termasuk aktivitas manusia di sekitar lokasi
penangkaran. Mas’ud (2002) menjelaskan bahwa induk cucak rawa yang sedang
mengerami telurnya harus dihindarkan dari berbagai gangguan karena dapat
menyebabkan induknya tidak ingin meneruskan pengeraman telurnya bahkan dapat
membuang telurnya, sehingga gagal berkembangbiak.
Ada banyak faktor yang diduga kuat sebagai penentu keberhasilan
penangkaran satwa termasuk penangkaran cucak rawa, baik yang terkait dengan
aspek teknis penangkaran seperti kandang dan fasilitas pendukungnya, pakan,
kesehatan dan sanitasi lingkungan, maupun yang terkait dengan aspek ekonomi
seperti permodalan dan biaya pemeliharaan, serta aspek sosial yang terkait dengan
kapasitas pengetahuan dan keterampilan pengelola penangkarannya. Ratnawati
(2012) juga menjelaskan bahwa keberhasilan penangkaran ditentukan oleh banyak
faktor, diantaranya faktor teknis penangkaran, ekonomi, dan sosial.
Sejauh ini kajian tentang penangkaran cucak rawa lebih banyak ditekankan
pada penerapan aspek teknis penangkaran, sedangkan kajian yang terkait dengan
faktor penentu keberhasilan penangkarannya yang mengintegrasikan faktor teknis,
sosial, dan ekonomi belum banyak dilakukan. Selain itu juga, belum ada informasi
yang memberikan gambaran tentang model keberhasilan penangkaran cucak rawa.
Berdasarkan hal tersebut, diperlukan penelitian mengenai keberhasilan
penangkaran cucak rawa meliputi faktor penentu dan model keberhasilan
penangkaran cucak rawa serta tipologi penangkar cucak rawa yang berhasil.
Menurut Iriawan dan Astuti (2006), model regresi digunakan untuk
mengestimasi atau menduga nilai suatu variabel yang didasarkan pada variabel
lainnya. Model keberhasilan penangkaran diperlukan untuk menduga keberhasilan
penangkaran yang dilihat dari kelahiran dan kematian cucak rawa.

5
Untuk dapat menentukan model yang baik, diperlukan ketepatan dalam
pemilihan variabel-variabel, baik variabel terikat (dependent) dan variabel bebas
(independent). Pemilihan variabel terikat dan bebas didasarkan atas studi literatur,
studi pendahuluan, dan pendapat para ahli penangkaran satwa liar. Penelitian ini
menggunakan beberapa variabel yang merupakan keterwakilan dari beberapa
aspek, antara lain teknis penangkaran, aspek ekonomi, dan aspek sosial (Gambar
1).
Peraturan Dirjen PHKA No 5 tahun 2014 menjelaskan bahwa tujuan
penangkaran untuk mengembangbiakan satwa yang ditangkarkan

Masalah
Tidak semua penangkaran berhasil menangkarkan cucak rawa karena cucak
rawa sensitif terhadap gangguan

Reasearch question
Bagaimana keberhasilan penangkaran cucak rawa?

Fakta
Faktor-faktor yang memengaruhi

Biologis

Teknis
penangkaran

Aspek ekonomi

Peubah yang paling
berpengaruh (dominan)

Keberhasilan
penangkaran

Kelestarian
:: Ruang lingkup penelitian

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

Aspek sosial

6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Bioekologi Cucak Rawa
Taksonomi
Burung cucak rawa dalam Bahasa Inggris dikenal sebagai straw-headed
bulbul (Shepherd et al. 2013). Masyarakat Medan menyebut burung ini dengan
sebutan barau-barau, sedangkan di Lampung cucak rawa disebut baro-baro
(Iswantoro 2008; Sudrajad 1999). Selain itu juga, di Maluku burung tersebut
dikenal dengan nama burung siang (Sudrajad 1999) (Gambar 1).

Gambar 1 Cucak rawa
Sumber: Shepherd et al. (2013)
Klasifikasi dan sistematika cucak rawa adalah sebagai berikut.
Kerajaan
: Animalia
Filum
: Chordata
Sub-Filum
: Vertebrata
Kelas
: Aves
Ordo
: Passeriformes
Famili
: Pycnonotidae
Genus
: Pycnonotus
Spesies
: Pycnonotus zeylanicus Gmelin, 1789
Cucak rawa memilik lima jenis burung berdasarkan daerah aslanya. Jenisjenis tersebut diantaranya cucak rawa asal Medan, Aceh, Lampung, Sumatera
Selatan, Jambi, dan Riau, serta Kalimantan (Turut 1999).
Habitat dan penyebaran
Menurut Alikodra (2002), habitat satwa liar merupakan suatu kesatuan dari
faktor fisik maupun biotik yang digunakan untuk memenuhi semua kebutuhan
hidupnya. Habitat alami cucak rawa adalah di daerah yang berawa, bersemak, atau
disekitar hutan yang banyak ditumbuhi pepohonan yang tinggi dan rimbun serta
dekat dengan sumber air yang jernih (Turut 1999; Sudrajad 1999). Pendapat ini
diperkuat dengan hasil penelitian Fishpool dan Tobias (2005) dalam Shepherd et
al. (2013) yang menyatakan bahwa habitat utama cucak rawa berada di hutan dan

7
semak belukar dengan ketinggian rendah, serta paling sering dijumpai berada di
dekat sungai dan badan air yang terbuka. Mas’ud (2002) menambahkan bahwa
cucak rawa dapat hidup di daerah dataran rendah sampai ketinggian sekitar 1 050
mdpl. Cucak rawa lebih sering dijumpai di pohon-pohon bakau dan di tebing daerah
pekapuran, tetapi tidak dapat ditemukan di daerah perbukitan.
Penyebaran cucak rawa umumnya berada di wilayah Semananjung Malaya
(Sabah dan Serawak), Pulau Sumatera, Pulau Nias, Pulau Kalimantan, dan Pulau
Jawa (Iswantoro 2008; Turut 1999). Pada awalnya penyebaran cucak rawa hingga
Mynmar Selatan, Thailand Selatan, Semenanjung Malaysia dan Singapura, serta
Indonesia, yakni Pulau Kalimantan (kecuali Kalimantan Selatan, Pulau Jawa, dan
Pulau Sumatera (Shepherd et al. 2013).
Karakteristik bioekologis
Cucak rawa merupakan jenis burung arboreal karena menghuni pohon-pohon
yang lebat dan rimbun dengan ketinggian pohon mencapai 60 meter serta hidupnya
berkelompok (Turut 1999). Sudrajad (1999) menjelaskan bahwa walaupun cucak
rawa hidup berkelompok, tetapi ketika mencari makan mereka soliter (sendirisendiri). Mas’ud (2002) menambahkan bahwa cucak rawa termasuk jenis arboreal
sempurna (hidup di atas pohon), tidak pernah terlihat di tanah. Sistem sosial cucak
rawa terbagi menjadi dua kelompok yakni kelompok kecil dan kelompok besar.
Kelompok kecil terdiri dari 3‒5 ekor, yang umumnya terdiri dari sepasang induk
dan anakannya, sedangkan kelompok besar yakni berjumlah 5‒6 ekor.
Cucak rawa produktif ketika berumur 3‒4 tahun (Turut 1999). Jumlah telur
yang dihasilkan oleh cucak rawa rata-rata 2 butir, walaupun terkadang ada yang
menghasilkan 3 butir setiap musim kawin. Menurut Mas’ud (2002) cucak rawa
berkembangbiak pada bulan Januari, Maret, Mei, Juni, Agustus, dan Oktober. Masa
pengeraman telur selama 12‒14 hari yang dilakukan cucak rawa (Sudrajad 1999).
Menurut Iswantoro (2008), pada masa pengeraman cucak rawa menjadi sensitif dan
agresif sehingga pengelola penangkaran harus menjauhkannya dari suara gaduh dan
gangguan-gangguan predator misalnya kucing, tikus, burung lain, dan lalu lalang
manusia.
Cucak rawa pada saat musim berkembangbiak mulai menyusun sarang yang
berbentuk seperti cawan dengan diameter kurang lebih 10 cm dan kedalaman
2.5 cm. Komponen penyusun sarang tersebut antara lain tumbuhan yang menjalar
dengan dedauanan kecil agak tebal, dijalin dengan berlembar-lembar batang
merambat tanpa daun. Sarang tersebut diletakkan di semak-semak atau pohon yang
rendah dengan ketinggian 1.5‒4.5 m dari permukaan tanah (Mas’ud 2002).
Teknik Penangkaran
Aspek perkandangan
Kandang merupakan habitat buatan cucak rawa di penangkaran. Habitat
adalah hasil interaksi komponen fisik dan komponen abiotik yang membentuk suatu
sistem yang dapat mengendalikan kehidupan satwa liar. Komponen fisik terdiri atas
air, udara, iklim, tanah, topografi, sedangkan komponen biotik terdiri dari vegetasi,
mikro, dan makro fauna, serta manusia (Alikodra 1990 dalam Apriadi (2009).
Morrison et al. (1992) dalam Supartha (2002) menjelaskan bahwa burung

8
memerlukan kombinasi lingkungan yang tepat untuk dapat mempertahankan
hidupnya. Berdasarkan hal tersebut, kandang cucak rawa perlu dilengkapi fasilitas
kandang untuk memenuhi kehidupannya seperti di habitat alaminya.
Kandang berkaitan dengan salah satu komponen kesejahteraan satwa yakni
komponen bebas dari ketidaknyaman lingkungan. Eccleston (2009) menyatakan
bahwa komponen bebas dari rasa tidak nyaman yaitu tersedianya kondisi
lingkungan yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan hidup dan perkembangbiakan
satwa di penangkaran. Menurut Peraturan Ditjen PHKA No P.9/VI-SET/2011,
komponen bebas dari ketidaknyamanan lingkungan merupakan komponen yang
disebabkan oleh cuaca yang tidak sesuai dengan habitat jenis satwa. Bebas
mengekspresikan tingkah laku alamiah merupakan komponen kesejahteraan yang
erat kaitannya dengan ketersediaan kandang yang memadai untuk memenuhi
kebutuhan biologis dan aktivitas harian satwa (Balaa dan Marie 2006). Oleh karena
itu, diperlukan fasilitas kandang yang dapat memnuhi kebutuhan cucak rawa di
penangkaran sehingga cucak rawa dapat berkembangbiak dengan maksimal karena
prinsip-prinsip kesejahteraan satwa terpenuhi dengan baik.
Menurut Mas’ud (2002), hal yang perlu diperhatikan dalam membuat
kandang penangkaran cucak rawa yakni ukuran dan konstruksi kandang, sarana
pendukung di dalam kandang, serta kondisi lingkungan kandang. Lestari (2014)
menjelaskan bahwa penangkaran cucak rawa di Mega Bird and Orchid Farm
memiliki tiga jenis kandang cucak rawa yang masing-masing memiliki fungsi yang
berbeda-beda, yakni kandang reproduksi, kandang pembesaran, dan kandang
inkubator. Kandang reproduksi berfungsi sebagai tempat perkawinan indukan dan
tempat berlangsungnya proses reproduksi serta terkadang diperuntukan untuk
proses menjodohkan cucak rawa. Ukuran minimal kandang reproduksi cucak rawa
yang ideal dalam memberikan ruang gerak adalah 2 m x 1.5 m x 2.5 m. Kandang
reproduksi cucak rawa terletak dibagian dalam dan lebih tertutup jika dibandingkan
kandang lainnya. Fasilitas kandang reproduksi di antaranya tempat pakan, tempat
minum, tempat mandi, tempat bertengger, pohon, dan tempat bersarang (Lestari
2014). Setio dan Takandjandji (2007) menambahkan bahwa diperlukan kandang yang
di dalamnya dilengkapi fasilitas agar menyerupai habitat alami cucak rawa, yakni
dengan cara menanam pohon-pohon pelindung di dalam kandang.
Suhu dan kelembapan di kandang reproduksi akan berpengaruh terhadap
reproduksi cucak rawa. Decuypere dan Michels (1992) melaporkan bahwa
temperatur merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menentukan
atau memengaruhi perkembangan embrio, lama tetas, daya tetas, dan pertumbuhan
setelah menetas. Suhu dan kelembapan kandang reproduksi cucak rawa di
penangkaran Mega Bird and Orchid Farm adalah berkisar antara 26.5‒31°C dengan
kelembaban 85‒92% (Lestari 2014). Griffith et al. (2016) menjelaskan bahwa
embrio pada telur burung berordo Passeriformes tidak berkembang dan mati pada
suhu >40.5°C.
Kandang pembesaran (sangkar) diperuntukan untuk tempat pemeliharaan
anakan yang berusia 1 bulan sampai