Aktivitas Antibakteri dan Antioksidan Tiga Jenis Madu Hutan Indonesia

AKTIVITAS ANTIBAKTERI DAN ANTIOKSIDAN
TIGA JENIS MADU HUTAN INDONESIA

JAMILYADHATUS SHOLIHAH

DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi berjudul Aktivitas Antibakteri dan
Antioksidan Tiga Jenis Madu Hutan Indonesia adalah benar-benar hasil karya
saya sendiri dan belum pernah digunakan dan diajukan sebagai karya ilmiah pada
perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang didapat atau
dikutip dari karya ilmiah lain yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir
skripsi ini.

Bogor, September 2013

Jamilyadhatus Sholihah
E24090010

ABSTRAK
JAMILYADHATUS SHOLIHAH. Aktivitas Antibakteri dan Antioksidan Tiga
Jenis Madu Hutan Indonesia. Dibimbing oleh RITA KARTIKA SARI.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas antibakteri dan
antioksidan tiga jenis madu hutan Indonesia, diantaranya madu hutan Kalimantan
Barat (KB1), Sumatera (SM1) dan Sumbawa (SB1). Pengujian antibakteri,
dilakukan dengan metode sumur dengan tiga jenis konsentrasi, yaitu 25%, 50%
dan 100% terhadap empat jenis bakteri yaitu, Staphylococcus aureus, Salmonella
typhi, Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa, sedangkan aktivitas
antioksidannya, dilakukan dengan metode DPPH(1-diphenyl-2-picrylhydrazil).
Hasil pengujian menunjukkan bahwa ketiga madu hutan tersebut memiliki
aktivitas antibakteri dan antioksidan. Madu hutan SB1 memiliki aktivitas
antibakteri terbaik khususnya terhadap jenis bakteri S. thypi dan E. coli dengan
diameter hambat 32.5 mm dan 27.5 mm. Berdasarkan pengujian aktivitas
antioksidan terbaik yang ditunjukkan dengan EC50 masing-masing madu berturutturut SB1, KB1 dan SB1 sebesar 2725.722 ppm, 2872.765 ppm dan 4341.545
ppm. Antibakteri dan antioksidan madu salah satunya bersumber dari kandungan
kelompok senyawa aktif

madu diantaranya, alkaloid, fenolik, flavonoid,
triterpenoid, saponin dan glikosida.
Kata kunci: antibakteri, antioksidan, madu hutan

ABSTRACT
JAMILYADHATUS SHOLIHAH. Antibacterial and Antioxidant Activity of
Three Types Indonesian Forest Honey. Supervised by RITA KARTIKA SARI.
This study was conducted to determine the antibacterial and antioxidant
activity of three types Indonesian forest honey, including honey forests of West
Kalimantan (KB1), Sumatra (SM1) and Sumbawa (SB1). Antibacterial testing,
was determined by sumur method with three concentration, ie 25%, 50% and
100% on four types of bacteria, Staphylococcus aureus, Salmonella typhi,
Escherichia coli and Pseudomonas aeruginosa, while its antioxidant activity, was
determined by DPPH (1-diphenyl-2-picrylhydrazil) method. The test results
indicate that all three forest honey has antibacterial and antioxidant activity. SB1
forest honey has the best antibacterial activity specifically against S.thypi and
E.coli with inhibitory diameter 32.5 mm dan 27.5 mm. In order of goodness with
EC50 successively acquired KB1, SM1 and SB1 forest honey is 2725.722 ppm,
2872.765 ppm dan 4341.545 ppm. Antibacterial and antioxidant honey sourced
from the content of one group of active compounds such as honey, alkaloids,

phenolics, flavonoids, triterpenoids, saponins and glycosides.
Keywords: antibacterial, antioxidant, forest honey

AKTIVITAS ANTIBAKTERI DAN ANTIOKSIDAN
TIGA JENIS MADU HUTAN INDONESIA

JAMILYADHATUS SHOLIHAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Hasil Hutan

DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013


Judul Skripsi : Aktivitas Antibakteri dan Antioksidan Tiga Jenis Madu Hutan
Indonesia
Nama
: Jamilyadhatus Sholihah
NIM
: E24090010

Disetujui oleh

Dr Ir Rita Kartika Sari, MSi
NIP. 19681124 199512 2 001

Diketahui oleh

Prof Dr Ir I Wayan Darmawan M. Sc
NIP. 19660212 199103 1002

Tanggal Lulus:

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil alamin, segala puji dan syukur penulis senantiasa
panjatkan ke haribaan Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dalam
proses pelaksanaan kegiatan penelitian dan kemudahan dalam proses penyusunan
skripsi yang berjudul Aktivitas Antibakteri dan Antioksidan Tiga Jenis Madu
Hutan Indonesia. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Kehutanan di Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada kedua orang tua penulis dan
keluarga tercinta atas doa, motivasi dan dukungan yang telah diberikan. Ucapan
terimakasih penulis sampaikan kepada Dr.Ir.Rita Kartika Sari, MSi atas kebaikan
dan kesabaran serta motivasinya dalam membimbing selama proses penelitian dan
pembuatan skripsi ini. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada JMHI
(Jaringan Madu Hutan Indonesia) atas bantuan sampel dan dana pada penelitian
ini. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang telah
membantu dalam kelancaran penelitian Bapak Atin dan Mas Gun selaku Laboran
di Laboratorium Kimia Hasil Hutan dan seluruh staf Departemen hasil Hutan,
Mbak ina dan seluruh analis di Laboratorium Biofarmaka, Mbak Heni dan seluruh
laboran di Laboratorium Mikrobiologi FMIPA IPB, Seluruh Laboran di Laboran
di Laboratorium Hasil Hutan Bukan Kayu di Pustekolah Gn Batu dan Laboran di
Balitro. Tak lupa pula penulis mengucapkan terimakasih atas doa, dukungan dan
motivasinya kepada Tami, Devi, Romi, Apin, Evi, Ijah, Solikhin, rekan-rekan

Mahasiswa THH 46 dan rekan-rekan Senior Resident Asrama TPB IPB serta
semua pihak yang telah membantu menyelesaikan tugas akhir penulis ini yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa ksripsi ini merupakan karya tulis sederhana,
sehingga masih mebututuhkan kritik dan masukan dari semua pihak. Penulis
berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya.

Bogor, September 2013

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN


viii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

2

METODE


2

Lokasi dan Waktu

2

Alat dan Bahan
Metode Penelitian

2
2

Analisis Fisikokimia Madu Hutan
Aktivitas Antibakteri
Aktivitas Antioksidan
Analisis Fitokimia
HASIL DAN PEMBAHASAN

2
3

3
4
5

Analisis Fitokimia Madu Hutan

5

Aktivitas Antibakteri

6

Aktivitas Antioksidan

9

Analisis Fitokimia
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran


10
12
12
12

DAFTAR PUSTAKA

12

RIWAYAT HIDUP

15

DAFTAR TABEL
1. Analisis fitokimia tiga jenis madu hutan
2. Persamaan regresi linier dan nilai EC50 antioksidan tiga jenis madu hutan
Indonesia
3. Hasil identifikasi fitokimia golongan senyawa aktif tiga jenis madu hutan
Indonesia


5
10
11

DAFTAR GAMBAR
1. Sampel uji tiga jenis madu hutan Indonesia
2. Zona hambat yang terbentuk disekitar kertas cakram dari pengujian madu
SB1 100%, 50% dan 25%
3. Diameter zona hambat pengujian antibakteri tiga jenis madu hutan (mm)
4. Histogram hubungan antara konsentrasi madu dengan diameter zona
bening
5. Grafik hasil pengujian antioksidan madu hutan Indonesia

6
6
7
8
9

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Madu hutan merupakan salah satu jenis komoditas hasil hutan bukan kayu
(HHBK) yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat di sekikar
hutan atau kawasan hutan (Latifah 2004). Madu hutan dihasilkan oleh lebah liar
(Apis dorsata), yaitu jenis lebah yang belum dapat dibudidayakan. Umumnya
lebah tersebut hidup secara alami di hutan Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Jawa
dan kepulauan Nusa Tenggara dan merupakan jenis lebah yang penting bagi
perlebahan Indonesia karena kontribusinya berupa produksi madu yang cukup
tinggi serta pemanfaatannya sangat potensial dijadikan sebagai sumber mata
pencaharian masyarakat sekitar hutan (Gultom 2007). Pengembangan
pemanfaatan madu hutan dinilai mampu melestarikan hutan Indonesia karena
pengelolaannya dilakukan secara tradisional (Zent 2009).
Disisi lain, secara empiris masyarakat menggunakan madu sebagai bahan
makanan dan minuman karena masyarakat meyakini bahwa madu memiliki
khasiat untuk mengobati berbagai penyakit seperti, pernafasan, infeksi saluran
pencernaan dan bermacam-macam penyakit yang disebabkan infeksi (Hariyati
2010). Secara ilmiah, madu terbukti memiliki kandungan senyawa-senyawa
organik yang bersifat antibakteri (Wilix et al. 1992; Kamaruddin 1997 dalam
Decline 2011). Selain mengandung senyawa antibakteri, madu hutan diduga
potensial mengandung senyawa antioksidan, karena
beberapa penelitian
menunjukkan bahwa madu hasil budidaya mengandung
vitamin C, asam
organik, enzim, asam fenolik, flavonoid, dan beta karoten yang bermanfaat
sebagai antioksidan tinggi dan memiliki aktivitas antioksidan (Gheldof et al.
2002; Parwata et al. 2010; Giorgi et al. 2011).
Penelusuran pustaka tentang pengujian aktivitas antibakteri dan antioksidan
madu hutan masih terbatas. Disisi lain, madu hutan diduga memiliki aktivitas
antibakteri dan antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan madu hasil
budidaya, karena madu hutan diperoleh dari pemanenan madu dengan jenis pakan
multiflora (Hafidiani 2001). Parwarta et al. (2010) juga menegaskan bahwa madu
memiliki komposisi kandungan senyawa kimia yang berbeda-beda berdasarkan
sumber pakan nektarnya. Perbedaan tersebut diduga mepengaruhi perbedaan
aktivitas madu sebagai antibakteri dan antioksidan. Komara (2002) juga
membuktikan adanya perbedaan selektivitas daya hambat lima jenis madu hasil
budidaya terhadap tiga jenis bakteri yang digunakan, karena itulah perlu dilakukan
pengujian aktivitas antibakteri dan antioksidan madu hutan Indonesia.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis sifat fisikokimia madu hutan,
menetapkan aktivitas antibakteri beberapa jenis madu hutan Indonesia (madu
hutan asal Sumbawa, madu hutan asal Danau Sentarum Kalimantan Barat, dan
madu hutan asal Tesso Nilo Riau Sumatera) terhadap berbagai jenis bakteri

2
patogen penyebab penyakit infeksi diantaranya seperti bakteri Staphylococcus
aureus (penyakit batuk), Salmonella typhi (penyakit tipus), Escherichia coli
(penyakit diare), dan Pseudomonas aeruginosa (radang paru-paru), serta
menganalisis fitokimia madu secara kualitatif.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan informasi terhadap masyarakat bahwa
madu hutan yang diuji telah terbukti secara ilmiah memiliki potensi sebagai
antibakteri dan antioksidan sehingga dapat memberikan nilai tambah terhadap
madu hutan dalam rangka pengembangan produk madu hutan.

METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2013 sampai Agustus 2013
bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi Fakultas
Matematika dan IPA Institut Pertanian Bogor, Pusat Studi Biofarmaka Bogor,
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Rempah (Balitro) Cimanggu Bogor.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu, kit uji antibakteri, kit uji
antioksidan, kit uji fitokimia kualitatif, cawan, oven, neraca analitik, autoklaf,
inkubator, jangka sorong, refraktometer Aw-meter merek shibaura WA-360 dan
elisa reader. Adapun bahan yang digunakan yaitu, madu hutan asal Tesso Nilo
Riau Sumatera (SM1), madu hutan asal Danau Sentarum Kalimantan Barat
(KB1), dan madu hutan asal Sumbawa (SB1) yang diperoleh melalui Jaringan
Madu Hutan Indonesia (JMHI), NaOH 0,1 N, satu jarum ose kultur bakteri S.
aureus dan S. typhi, E.coli dan P. aeruginosa, Trypticase Soya Agar (NA), kertas
cakram, trypticase soy broth (TSB), 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil (DPPH), dan
etanol p.a.
Metode Penelitian
Analisis Fisikokimia Madu Hutan
Analisis sifat fisikokimia madu hutan dilakukan dengan mengacu pada
metode SNI 01-3545-2004 tentang madu. Adapun, karakteristik fisikokimia madu
yang diuji meliputi kadar air madu, water activity (Aw) madu, warna, rasa dan
aroma madu. Metodenya yaitu, penentuan kadar airnya dengan menggunakan alat
refraktometer. Aw madu ditentukan dengan menggunakan alat Aw-meter merek
shibaura WA-360, yaitu dengan menyiapkan sampel sebanyak 50 mL dan diukur
sampai alat menunjukkan pengukuran yang stabil, kemudian nilai yang terukur
dicatat. Penentuan warna, rasa dan aroma madu dilakukan secara visual, uji rasa
dan aroma oleh beberapa panelis.

3
Aktivitas Antibakteri
Uji aktivitas antibakteri madu dilakukan dengan menggunakan metode difusi
sumur (Gariga et al. 1993). Pengujian antibakteri ini menggunakan empat jenis
bakteri koleksi Laboratorium Mikrobiologi Institut Pertanian Bogor, diantaranya
bakteri S. aureus, S. typhi, E. coli, dan P. aeruginosa. Langkah pertama, semua
alat yang digunakan diserilisasi dengan membungkus alat-alat yang akan
digunakan dengan kertas dan disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 oC dengan
tekanan 15 psi (per square inchi) selama 15 menit, untuk alat-alat yang tidak
tahan terhadap suhu tinggi cukup disterilkan dengan alkohol 90%. Regenerasi
bakteri yang digunakan yaitu, satu jarum ose kultur bakteri dari isolat agar
dimasukkan ke dalam 7,5 mL TSB dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama ± satu
malam. Selain itu, juga dilakukan pemanasan media padat TSA hingga mencair,
didinginkan hingga mencapai suhu ±40 oC. Selanjutnya, dimasukkan bakteri yang
telah diregenerasi kedalam TSA tersebut dengan persentase 1 %, dihomogenkan,
dituang pada cawan petri dan biarkan memadat.
Setelah media kultur uji tersebut padat, selanjutnya dimasukkan kertas
cakram yang telah diberikan resapan madu yang telah diencerkan menjadi
beberapa konsentrasi dengan diameter sebesar 6 mm diatas permukaan media
bakteri dengan menggunakan pinset dan agak ditekan sedikit. Proses peresapan
yaitu dilakukan dengan cara meneteskan ± 20 µl bahan antibakteri (Zakaria et ai.
2007). Adapun konsentrasi yang digunakan yaitu 100%, 50% dan 25%. Setelah
itu, media tersebut diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37 oC dalam inkubator.
Kemudian dilakukan pengukuran diameter dari zona bening yang terbentuk pada
media dengan menggunakan jangka sorong pada berbagai sisi.
Pembuatan konsentrasi larutan madu dilakukan dengan menggunakan air
sebagai pelarut karena air bersifat polar dan madu bersifat polar, sehingga madu
dapat larut dengan baik dalam air. Selain itu, penggunaan air dipilih untuk
menghindari kematian bakteri akibat toksisitas oleh pelarut. Adanya aktivitas
antibakteri pada madu-madu tersebut yang ditandai dengan terbentuknya zona
bening di sekitar kertas cakram yang diberikan serapan madu hutan dengan
berbagai konsentrasi yang telah ditentukan. Berdasarkan pengukuran zona bening
yang terbentuk tersebut kita dapat menentukan daya antibakteri pada masingmasing madu hutan, yang diklasifikasikan berdasarkan pada kriteria kekuatan
antibakteri oleh Davis (1971) dalam Dewi (2010), diantaranya: zona hambat
yang terbentuk di atas 20 mm (hambatan antibakteri dikategorikan sangat kuat),
10-20 mm (dikategorikan kuat), 5-10 mm (dikategorikan sedang) dan di bawah 5
mm (dikategorikan lemah).
Aktivitas Antioksidan
Pengujian antioksidan menggunakan metode DPPH yaitu salah satu metode
sederhana dalam menentukan kadar antioksidan suatu bahan dengan
menggunakan 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil (DPPH) sebagai senyawa pendeteksi
(Blois 1958 dalam Hannani et al. 2005). Metode ini dipilih karena merupakan
metode yang sederhana, sudah baku dan memerlukan sedikit sampel sebagai
senyawa pendeteksi (Asih et al. 2012 ). Molyneux (2004) mengatakan bahwa
DPPH merupakan senyawa radikal bebas yang bersifat stabil dan dapat bereaksi

4
dengan atom hydrogen yang berasal dari antioksidan suatu bahan sehingga
membentuk DPPH tereduksi.
Pengujian dilakukan pada konsentrasi 500 ppm, 250 ppm, 125 ppm dan
62.5 dalam microplate. Nisbah larutan madu dengan larutan DPPH dalam
pengujian ini adalah 1:1. Total larutan dalam wadah uji adalah 200 µL yang
terdiri atas larutan ekstrak sebanyak 100 µL dan 100 µL larutan DPPH ((125
µM dalam etanol). Pemberian larutan madu 1.000 µg/mL akan menghasilkan
konsentrasi madu dalam microplate 500 µg /mL. Kontrol negatif dibuat dengan
mencampurkan 100 µL etanol dengan 100 µL larutan DPPH. Setelah homogen,
wadah uji yang berisi larutan tersebut diinkubasi dalam tempat gelap selama 30
menit dan diukur serapan cahayanya dengan elisa reader pada λmaks 517 nm.
Aktivitas antioksidan ditentukan dengan menghitung persen penangkapan
radikal bebas DPPH oleh ekstrak dengan rumus:
% inhibisi = {(A-B)/A} x 100%
Keterangan:
A= serapan kontrol negatif (tanpa madu)
B= serapan madu
Data inhibisi yang diperoleh kemudian diolah menggunakan persamaan
regresi yang diperoleh dari hubungan antara konsentrasi madu dengan persen
penghambatan untuk menentukan konsentrasi efektif (effective concentration)
pada tingkat 50% (EC50).
Analisis Fitokimia
Analisis fitokimia dilakukan secara kualitatif terhadap tiga jenis madu
hutan Indonesia untuk mengetahui keberadaan kelompok senyawa flavanoid,
alkaloid, terpenoid, steroid, saponin, dan tanin dalam madu. Metode analisis
fitokimia mengacu pada metode yang dikerjakan oleh Harborne (1996) dan
Medichal Material Plant MMI (Materia Medika Indonesia) Jilid VI (Depkes
1995).

5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Fisikokimia Madu Hutan
Analisis fitokimia yang dilakukan meliputi analisis kadar air, Aw, warna,
rasa dan aroma tiga jenis madu hutan Indonesia. Hasil analisis terhadap sampel uji
ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Analisis fitokimia tiga jenis madu hutan
Madu
KA
Aw
Warna, rasa dan aroma
(%)
18
0.57
Kuning terang, manis dan aroma bunga
KB1
17
0.62
Coklat kehitaman, manis-pahit, asam dan
SM1
beraroma (seperti kurma)
16
0.59
Coklat terang, sangat manis, agak asam
SB1
dan aromanya tajam
KB1: madu asal Kalimantan Barat, SM1: Madu asal Sumatera, SB1: madu asal Sumbawa

Hasil analisis menunjukkan adanya perbedaan sifat fisikokimia pada tiga
jenis madu hutan. Pada pengujian kadar air diperoleh kadar air tertinggi pada
madu hutan KB1 (18%) dan kadar air terendah pada madu hutan SB1(16%).
Kadar air madu merupakan salah satu faktor penentu kualitas madu, semakin
tinggi kadar air suatu jenis madu maka semakin rendah kualitas madu tersebut
(White 1992). Besarnya kadar air madu dipengaruhi oleh iklim, pengelolaan saat
panen dan jenis nektar pakan lebah. Secara umum kondisi ketiga jenis sampel
madu yang digunakan tersebut baik karena masih di bawah standar batas
maksimal yang telah ditentukan SN1 01-3545-2004 yaitu di bawah 22%. Aw
madu merupakan sejumlah air bebas pada madu yang dapat mempengaruhi
aktivitas pertumbuhan bakteri (Molan 1993). Besarnya nilai Aw ini dipengaruhi
oleh kandungan air madu, sumber nektar dan suhu madu, Aw tertinggi pada madu
SM1(0.62) dan Aw terendah pada madu KB1(0.57), nilai Aw pada suatu jenis
madu semakin rendah maka kualitas madu tersebut semakin baik.
Perbedaan sumber pakan lebah atau jenis nektar madu menyebabkan
perbedaan yang tampak pada warna, rasa dan aroma madu (Tabel 1). Menurut
informasi yang diperoleh dari JMHI (2008), madu sumbawa diperoleh dari
kawasan hutan Sub DAS Batulanteh Sumbawa yang didominasi tegakan binong
(Tetrameles nudiflora), asam (Tamarindus spp.), putat (Barringtonia acutangula),
maja (Eugenia operculata), doat/duwet (Eugenia polyantha), madu asal Danau
Sentarum Kalbar diperoleh dari kawasan hutan yang didominasi pohon kawi
(Shorea balangeran) dan putat (Baringtonia acutangula), sedangkan madu
Sumatera berasal dari nektar bunga kelapa sawit (Elaeis guineensis) dan akasia
(Acacia mangium), perbedaan warna ketiga jenis madu tersebut dapat dilihat
(Gambar 1)

6

Gambar 1 Sampel uji tiga jenis madu hutan tiga jenis madu hutan Indonesia
KB1: madu asal Kalimantan Barat, SM1: Madu asal Sumatera, SB1: madu asal Sumbawa

Aktivitas Antibakteri
Pengujian aktivitas antibakteri dengan metode sumur menunjukkan madu
hutan Indonesia positif memilki aktivitas antibakteri. Semakin tinggi konsentrasi
madu semakin besar zona hambat yang terbentuk yang mengindikasikan bahwa
semakin kuat daya hambat madu terhadap pertumbuhan bakteri (Gambar 2).

A
B
C
D
Gambar 2 Zona hambat yang terbentuk disekitar kertas cakram dari pengujian
madu SB1 pada konsentrasi 100%, 50% dan 25% (A= Escherichia coli,
B=Pseudomonas aeruginosa, C= Staphylococcus aureus, D= Salmonella thypi)

Erguder (2008) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi
aktivitas antibakteri pada madu antara lain adalah kadar gula madu yang tinggi
dan tingkat keasaman madu yang tinggi. Kadar gula pada madu sebesar 81-85 %
yang terdiri dari campuran glukosa dan fruktosa serta keasaman pada madu yang
dapat menimbulkan sifat osmosis pada madu. Interaksi yang kuat antara molekulmolekul gula dan air menyebabkan sangat terbatasnya ketersediaan air bebas
untuk mikroorganisme. Air bebas tersebut disebut dengan water activity (Aw)
yaitu, jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh bakteri untuk pertumbuhannya
(Fennema 1985). Aw madu hutan yang digunakan untuk pengujian bervariasi
diantaranya, yaitu madu hutan KB1, SM1 dan SB1 berturut-turut 0.57; 0.62;
0.59, sedangkan Aw minimum yang diperlukan untuk pertumbuhan bakteri P.
aeruginosa, S. thyposa, E. coli, dan S. aureus berturut-turut 0.97; 0.95; 0.95; 0.86
(Chaplin 2005). Aw sampel madu yang digunakan masih di bawah Aw minimum
kebutuhan bakteri untuk aktivitas pertumbuhannya sehingga bakteri tidak dapat
hidup pada kondisi tersebut. Namun, daya hambat yang dihasilkan dari pengujian
ketiga jenis madu hutan bervariasi, hal ini menunjukkan bahwa terdapat faktor
lain yang mempengaruhi aktivitas antibakteri madu-madu tersebut selain Aw
pada madu.

7

Sangat
kuat

kuat
sedang
lemah

Gambar 3 Diameter zona hambat pengujian antibakteri tiga jenis madu hutan
(mm)
Keterangan : KB1: madu asal Kalimantan Barat, SM1: Madu asal Sumatera, SB1: madu asal
Sumbawa PS=Pseudomonas aeruginosa, SAL=Salmonella typhi, EC=Escherichia coli,
SA=Staphylococcus aureus

Madu hutan KB1 aktivitas antibakterinya lemah pada konsentrasi 25%
dan aktivitasnya mulai sedang pada konsentrasi 50% terhadap bakteri P.
aeruginosa dan kuat terhadap bakteri S. thypi serta pada konsentrasi 100 %
aktivitas antibakteri madu tersebut masuk dalam klasifikasi sedang untuk jenis
bakteri P. aeruginosa, S. thypi dan E. coli dan sangat kuat terhadap bakteri S.
thypi. Madu hutan SM1 dan SB1 memilki aktivitas antibakteri klasifikasi sedang
terhadap bakteri E. coli pada konsentrasi 25% dan pada konsentrasi 50%
aktivitas antibakteri kedua madu masuk dalam klasifikasi kuat. Aktivitas semua
jenis madu lemah terhadap bakteri S. aureus pada konsentrasi 25% sampai 50%
dan mulai tampak pada konsentrasi 100% dengan daya hambat pada klasifikasi
sedang. Aktivitas antibakteri terbaik dari ketiga jenis madu hutan yang diuji yaitu
madu SB1 sangat kuat terhadap bakteri S. thypi dan E. coli.
Secara umum hasil pengujian diperoleh bakteri gram negatif (P.
aeruginosa, E. coli dan S. thypi ) lebih rentan terhadap senyawa aktif antibakteri
dari madu-madu tersebut dibandingkan bakeri gram positif (S. aureus). Hal ini
dikarenakan komponen penyusun madu yang sebagian besar terdiri atas
senyawa-senyawa yang bersifat polar, seperti gula monosakarida (fruktosa dan
glukosa), asam organik, asam fenolik, vitamin C, flavonoid dan senyawa polar
yang bersifat antibakteri lainnya. Disisi lain, Rahayu (1999) mengatakan bahwa
pada bakteri gram negatif terdapat gugus hidrofilik yang memiliki kemudahan
dalam mengikat senyawa-senyawa polar, sedangkan pada bakteri gram positif
terdapat gugus yang bersifat hidrofobik yang lebih mudah mengikat senyawasenyawa bersifat nonpolar, sehingga aktivitas antibakteri madu murni lebih
efektif terhadap jenis-jenis bakteri gram negatif dibandingkan bakteri gram

8
positif. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Hafidiani (2001)
dan Rio et al. (2012), bahwa bakteri gram negatif lebih sensitif terhadap zat aktif
antibakteri madu dibandingkan dengan bakteri gram positif.

Sangat
kuat

kuat

sedang
lemah

Gambar 4 Histogram hubungan antarara konsentrasi madu dengan diameter zona
penghambatan (mm)
Keterangan :KB1: madu asal Kalimantan Barat, SM1: Madu asal Sumatera, SB1: madu asal
Sumbawa. SAL=Salmonella typhi, EC=Escherichia coli. Data madu monoflora dan multiflora
bersumber dari Hafidiani (2001).

Senyawa madu lain yang memilki aktivitas antibakteri diantaranya yaitu,
senyawa inhibine dan non-inhibine. Inhibine dinyatakan sebagai pembentuk
enzim dan merupakan akumulasi dari hydrogen peroksida (H2O2) dalam
mencairkan madu dan nektar. H2O2 telah lama dikenal sebagai antibakteri yang
efektif dan merupakan komponen utama dari beberapa penisilin terutama notatin.
Berbagai bakteri sangat peka terhadap inhibine dan bakteri gram negatif lebih
peka terhadap bakteri gram positif (Molan 1992). Namun, inhibine sangat sensitif
terhadap panas dan keberadaannya dalam madu ditentukan oleh jenis, umur dan
kondisi madu serta proses pengolahan madu.
Senyawa non-inhibine merupakan senyawa aktif madu yang berpotensi
sebagai antibakteri madu. Adapun jenis-jenis senyawa antibakteri yang termasuk
dalam kelompok senyawa tersebut diantaranya kelompok senyawa alkaloid,
flavonoid, glikosida dan senyawa lainnya (Tabel 3). Kandungan senyawa
fitokimia setiap jenis madu berbeda antara madu yang satu dan yang lainnya,
perbedaan ini dipengaruhi oleh sumber nektar pakan lebah (Bogdanov 1997).
Perbedaan nektar pakan lebah tersebut dapat memengaruhi perbedaan
karakteristik madu diantaranya, warna, rasa dan aroma serta aktivitas antibakteri
madu tersebut. Perbedaan daya hambat madu terhadap jenis-jenis bakteri patogen
di atas diduga dipengaruhi oleh perbedaan kadar dan jenis penyusun salah satu
kelompok senyawa fitokimia tersebut, sehingga pengujian pada jenis bakteri yang

9
berbeda dapat menghasilkan daya hambat yang berbeda yang ditandai dengan
perbedaan besaran diameter zona hambat yang terbentuk.
Perbandingan pengujian aktivitas antibakteri tiga jenis madu hutan dan
jenis-jenis madu hasil budidaya terhadap jenis bakteri S. thypi dan E. coli oleh
Hafidiani (2001) (Gambar 4) menunjukkan bahwa ketiga jenis madu hutan
tersebut memiliki aktivitas antibakteri yang lebih baik dibandingkan jenis-jenis
madu hasil budidaya. Madu hasil budidaya merupakan madu yang diperoleh dari
hasil budidaya jenis lebah A. melifera dengan pakan satu jenis nektar (monoflora)
dan beberapa jenis nektar (multiflora). Madu hutan SB1 memiliki aktivitas terbaik
terhadap jenis bakteri S. thypi dan bakteri E. coli dibandingkan dengan jenis-jenis
madu lainnya, dengan diameter zona bening terbesar yaitu berturut-turut 32.5 mm
dan 27.5 mm. Madu hutan KB1 memilki aktivitas antibakteri paling baik terhadap
jenis bakteri S. thypi dibandingkan dengan jenis-jenis madu hasil budidaya dengan
diameter zona hambat 28 mm. Madu hutan SM1 memiliki aktivitas antibakteri
paling baik terhadap bakteri E. coli setara dengan aktivitas antibakteri madu karet,
yang mana madu karet tersebut merupakan madu yang memiliki aktivitas
antibakteri terbaik terhadap E. coli diantara jenis-jenis madu hasil budidaya
lainnya dengan klasifikasi sangat kuat dan diameter zona hambat yang terbentuk
sebesar 25 mm.
Aktivitas Antioksidan

Persenta se inhibisi (%)

12

10
8
6

KB1

4

SM1

2

SB1

0
0

100

200

300

400

500

600

Konsentrasi sampel madu (ppm)
Gambar 5 Grafik hasil pengujian antioksidan madu hutan Indonesia
KB1: madu asal Kalimantan Barat, SM1: Madu asal Sumatera, SB1: madu asal Sumbawa
PS=Pseudomonas aeruginosa, SAL=Salmonella typhi, EC=Escherichia coli, SA=Staphylococcus
aureus

Hasil pengujian (Gambar 5) menunjukkan bahwa ketiga jenis madu hutan
memiliki aktivitas antioksidan, karena semakin tinggi konsentrasi madu, maka
persentase inhibisi terhadap senyawa radikal DPPH yang dihasilkan semakin
tinggi. Akan tetapi, aktivitas ketiga jenis madu hutan tersebut berbeda satu
dengan lainnya, yang mana madu hutan SM1 memiliki sifat antioksidan yang

10
terbaik. Hal ini membuktikan bahwa madu dengan jenis bunga yang berbeda
memliki aktivitas antiradikal bebas atau antioksidan yang berbeda pula. Hasil ini
sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan pada madu floral Australia bahwa
pada bunga yang berbeda memiliki aktivitas antiradikal bebas yang juga berbeda
(Bruce 2005). Perbedaan ini disebabkan sumber nektar kedua madu tersebut
berbeda sehingga komposisi senyawanya juga berbeda. Pernyataan ini didukung
oleh Suranto (2007) yang menyatakan bahwa tiap jenis madu memang memiliki
efek antiradikal bebas yang berbeda-beda yang mana jumlah dan kandungan
antioksidannya sangat tergantung dari sumber nektarnya.
Tabel 2. Persamaan regresi linier dan nilai EC50 antioksidan tiga jenis madu hutan
Indonesia
No
Madu
Persamaan Linier
R2
EC50
KB1
Y = 0.017x+1.163
0.973
2872.765
1
SM1
Y = 0.018x+0.937
0.980
2725.722
2
SB1
Y = 0.011x+2.243
0.954
4341.545
3
KB1: madu asal Kalimantan Barat, SM1: Madu asal Sumatera, SB1: madu asal Sumbawa

Berdasarkan hasil perhitungan (Tabel 2), madu hutan SM1 memiliki
aktivitas antioksidan yang terbaik diantara madu hutan KB1 dan SB, karena nilai
EC50 yang diperoleh paling rendah diantara keduanya. Namun, ketiga jenis madu
hutan tersebut dinilai kurang berpotensi sebagai antioksidan alami karena hasil
perhitungan nilai EC50nya di atas 1000 ppm. Molyneux (2004) mengatakan
bahwa suatu zat dapat berpotensi sebagai antioksidan bila nilai EC50nya berkisar
antara 300-1000 ppm. Semakin rendah nilai EC50 yang diperoleh dari pengujian
antioksidan madu, maka madu tersebut dinilai semakin berpotensi sebagai
antioksidan alami. Meskipun nilai EC50 ketiga madu hutan kurang berpotensi
sebagai antioksidan alami, aktivitas antioksidannya masih jauh lebih baik
dibandingkan dengan madu hasil budidaya lebah madu dengan nektar randu dan
kelengkeng. Madu randu dan madu kelengkeng dengan konsentrasi 8000 ppm
hanya mampu meredam DPPH sebesar 40% dan 52% (Parwata et al. 2010),
sedangkan madu hutan SB1, SM1, dan KB1 mampu meredam DPPH sebesar
50% pada konsentrasi berturut-turut 2725 ppm, 2872 ppm, dan 4341 ppm.
Analisis Fitokimia
Analisis fitokimia dapat mengidentifikasi senyawa-senyawa metabolit
sekunder secara kualitatif yang ditunjukkan oleh intensitas warna yang dihasilkan
dengan pereaksi uji fitokimia (Rita 2010). Analisis ini dilakukan untuk
mengidentifikasi senyawa aktif pada madu hutan yang diduga dapat
menyebabkan madu tersebut memiliki potensi sebagai antibakteri dan
antioksidan. Berdasarkan hasil pengujian fitokimia (Tabel 3), madu-madu
tersebut teridentifikasi positif mengandung senyawa aktif saponin, alkaloid,
fenolik, flavonoid, triterpenoid dan glikosida. Adapun fungsi dari masing-masing
kandungan aktif tersebut diantaranya, alkaloid dalam bidang kesehatan yaitu
dapat digunakan untuk mengobati infeksi mikroba (Murniasih 2005; Rosinawati
2009; Meistiani 2010; Putra 2011), saponin dapat digunakan sebagai zat
antibiotik pada jamur, anti influenza dan peradangan ternggorokan (Harborne
1996), triterpenoid dapat digolongkan menjadi empat golongan senyawa, yaitu

11
triterpena, steroid, saponin dan glikosida berkhasiat menurunkan kadar kolesterol
dalam darah, beberapa ada juga yang beracun, sebagai antibiotik dan fungisidal
(Vickery 1981 dalam Fitriana 2008). Selain itu, golongan senyawa fenolik,
seperti flavonoid, tanin juga dapat berfungsi sebagai antioksidan (Mahardhika
2013).
Tabel 3. Hasil identifikasi golongan senyawa aktif tiga jenis madu hutan
Indonesia
Jenis Pengujian
Hasil
KB1
SM1
SB1
+
+
+
Saponin
+
+
+
Alkaloid
Tanin
+
+
+
Fenolik
+
+
+
Flavonoid
+
+
+
Triterpenoid
Steroid
+
+
+
Glikosida
Keterangan:
+
: Teridentifikasi mengandung senyawa aktif tersebut
: Tidak teridentifikasi mengandung senyawa aktif tersebut
KB1: madu asal Kalimantan Barat, SM1: Madu asal Sumatera, SB1: madu asal Sumbawa

Besarnya zona hambat yang terbentuk dari hasil pengujian antibakteri
(Gambar 3) diduga dipengaruhi oleh keberadaan senyawa aktif yang ada pada
madu diantaranya alkaloid, flavonoid, triterpenoid, fenolik dan glikosida. Adapun
mekanisme kerja senyawa-senyawa aktif tersebut berupa perusakan dinding sel
bakteri yang mengakibatkan lisis atau penghambatan sintesis proteinnya,
perubahan permeabilitas membran sitoplasma sehingga terjadi kebocoran zat
nutrisi dari dalam sel, denaturasi protein sel dan perusakan sistem metabolisme
sel dengan cara menghambat kerja enzim intraselulernya (Pelzar 1979 dalam
Hafidiani 2001).
Menurut Bogdanov (1997), aktivitas antibakteri pada madu berasal dari
tumbuhan yang mana lebah menggunakan tumbuhan sebagai sumber pakannya.
Meistiani (2010) mengatakan bahwa suatu jenis tumbuhan tertentu dapat
mengandung campuran senyawa alkaloid yang kompleks (klasifikasi alkaloid
berdasarkan cincin nitrogen dan biosintesisnya: alkaloid sejati, protoalkaloid dan
pseudoalkaloid). Alkaloid tersebut berperan terhadap aktivitas antibakteri. Selain
itu, Harborne (1996) juga mengatakan bahwa telah diketahui ada sekitar 5500
senyawa alkaloid yang tersebar pada berbagai famili tumbuhan. Karena madumadu tersebut berasal dari hutan yang sumber pakan nektarnya dari jenis pohon
yang heterogen, diduga madu-madu juga memiliki kandungan alkaloid dengan
kuantitas dan jenis yang berbeda pula, sehingga terjadi perbedaan aktivitas
antibakteri dari ketiga jenis madu hutan tersebut.
Aktivitas antioksidan dari ketiga jenis madu positif mengandung fenolik
dan flavonoid, mengingat fenolik berperan sebagai antioksidan (Gheldof et al.
2002; Parwata et al. 2010; Giorgi et al. 2011; Mahardhika 2013). Perbedaan
aktivitas antioksidan ini diduga disebabkan oleh perbedaan kuantitas dan jenis

12
senyawa fenolik dalam madu-madu hutan tersebut. Yao et al. (2003) menyatakan
bahwa setiap madu memiliki perbedaan kandungan jenis flavonoid dan fenolik
berdasarkan jenis nektar bunga yang dimakan lebah.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Ketiga madu hutan yang diuji memiliki sifat fisikokimia yang berbeda baik
kadar air, Aw (water activity), warna, rasa dan aromanya. Pada konsentrasi 50%
aktivitas antibakteri madu KB1 tergolong sedang terhadap P. aeruginosa, kuat
terhadap S. thypi dan lemah pada E. coli. Sedangkan, pada konsentrasi yang
sama, aktivitas antibakteri madu SM1 tergolong sedang terhadap P. aeruginosa
dan S. thypi serta kuat terhadap E. coli. Madu SB1 memiliki aktivitas antibakteri
sedang pada P. aeruginosa dan kuat terhadap S. thypi dan E. coli. Aktivitas
antibakteri ketiganya pada konsentrasi 50% tergolong lemah terhadap bakteri
S.aureus. Ketiga madu hutan kurang berpotensi sebagai antioksidan alami karena
madu hutan SB1, SM1, dan KB1 mampu meredam DPPH sebesar 50% pada
konsentrasi berturut-turut 2725 ppm, 2872 ppm, dan 4341 ppm. Analisis
fitokimia kualitatif mendeteksi adanya senyawa aktif madu dari kelompok
senyawa alkaloid, fenolik, flavonoid, triterpenoid dan glikosida dan saponin.
Saran
Berdasarkan hasil pengujian ini, penelitian lanjutan yang disarankan adalah
pengujian aktivitas antibakteri madu hutan dengan menggunakan metode in-vivo
dan pengujian aktivitas antibakteri dari ekstrak madu tersebut dengan
menggunakan berbagai jenis pelarut. . Selain itu, juga perlu dilakukan pengujian
aktivitas antioksidan madu hutan dengan metode selain DPPH yaitu, Frap (ferric
reducing antioxidant power), CR (cerium reduction) atau Cuprac (cupric ion
reducing antioxidant capacity).
DAFTAR PUSTAKA
Asih IARA, Ketut R, Ida BS. 2012. Isolasi identifikasi senyawa golongan
flavonoid dari madu kelengkeng (Nephelium longata L.). J Kimia. 6(1):7278.
Bogdanov S. 1997. Nature and origin of the antibacterial substances in honey
[internet].
[diunduh
3013
Juli
25].
Tersedia
pada:
http://www.sciencedirect.com.
Bruce RD. 2005. Antioxidant in Australian floral honeys identification of healthenhanching nutrient components [internet]. [diunduh pada 2013 Juli 25].
Tersedia pada : https://rirdc.infoservices.com.au.
Decline V. 2011. Efektivitas madu dan sari buah mengkudu (Momorinda
citrifolia) sebagai anti bakteri terhadap Escherichia coli) pada karkas ayam
[skripsi]. Surabaya (ID): Universitas Airlangga.
[Depkes] Departemen Kesehatan. 1995. Material Medika Indonesia. Jilid VI.
Jakarta(ID): Departemen Kesehatan.

13
Dewi FK. 2010. Aktivitas antibakteri ekstrak etanol buah mengkudu (Morinda
citrifolia, Linnaeus) terhadap bakteri pembusuk danging segar [tesis].
Surakarta(ID): Universitas Sebelas Maret.
Erguder BI, Kilicoglu SS, Namuslu M, Kilicoglu B, Devrim E, Kismet K, Durak
I. 2008. Honey prevent hepatic damage induced by obstruction of the
common bile duct. World J Gastroenterol 12(23):3729-3732.
Fitriana S. 2008. Penapisan fitokimia dan uji aktivitas anthelmintik ekstrak daun
jarak (Jathropha curcas L) terhadap cacing Ascaridia galli secara in-vitro
[skrpisi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Fennema. 1985. Food chemistry. New York(US): Marcell Dekker Inc.
Gariga MHM. Aimerich, Monfort JM. 1993. Bactetiocinogenic activity of
lactobacilli from fermentor sausages. J Applied Bacteria. 75(2):142-148.
Gheldof N,Wang XH, Engeseth NJ. 2002. Identification and quantification of
antioxidants components of honey from various floral sources. J Agri Food
Chem. 50(21):5870-5877.
Giorgi A, Madeo M, Baumgartner J, Lozzia GC. 2011. The relationships between
phenolic content, pollen diversity, physicochemical information and radical
scavenging activity in honey. J Molecules. 16:336-347.
Gultom SMP. 2007. Analisis biaya pengusahaan lebah madu pada perlebahan
puspa alas roban di Gringsing, Kabupaten Batang Jawa Tengah [skripsi].
Bogor(ID): Intitut Pertanian Bogor.
Harborne J. 1996. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan.Cetakan ke-2. Padmawinata K,I. Soediro, penerjemah.
Bandung(ID): Intitut Teknologi Bandung.
Hannani E,Abdul M, Ryany S. 2005. Identifikasi senyawa antioksidan dalam
spons Callyspongia sp dari Kepulauan Seribu [internet]. [diunduh 2013 Juli
25]. Tersedia pada: http://journal.ui.ac.id.
Hafidiani R. 2001. Aktivitas antimikroba madu monoflora dan multiflora.
[skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Hariyati LF. 2010. Aktivitas antibakteri berbagai jenis madu terhadap mikroba
pembusuk (Pseudomonas fluorescens fncc 0071 dan pseudomonas putida
fncc 0070). [skripsi]. Surakarta(ID): Universitas Sebelas Maret.
[JMHI]. Jaringan Madu Hutan Indonesia. 2008. Madu hutan dan konservasi hutan.
[diunduh 2013 Agustus 21]. Tersedia pada: http://www.scribd.com/doc.
Komara S. 2002. Kajian aktivitas dan identivikasi kelas senyawa antibakteri 5
jenis madu Indonesia [skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Latifah L. 2004. Penilaian ekonomi hasil hutan non kayu [internet]. [diunduh
2013 Agustus 25]. Tersedia pada: http://library.usu.ac.id.
Mahardhika C. 2013. Fraksionasi ekstrak kulit petai berpotensi antioksidan
[skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Meistiani Y. 2010. Isolasi dan identifikasi senyawa alkaloid dari akar kuning
(Arcangelisia flafa (L) Merr). [skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Molan PC. 1992. The antibacterial activity of honey [internet]. [diunduh 2013
Agustus 21]. Tersedia pada: http://researchcommons.waikato.ac.nz.
Molyneux P. 2004. The use of stable free radical diphenylpicryl-hidrazil (DPPH)
for estimazing antioksidant activity. Songklanakarin J Sci Technol.26:211219.

14
Murniasih T. 2005. Substansi kimia untuk pertahanan diri dari hewan laut tak
bertulang belakang [internet]. [diunduh 26 Juli 2013]. Tersedia pada:
www.oseanografi.lipi.go.id.
Parwata IM, Ratnayani K, Listia A. 2010. Aktivitas antiradikal bebas serta kadar
betakaroten pada madu kapuk (Ceiba pentandra) dan madu kelengkeng
(Nephelium longata L.). J Kimia 4 (1):54-62.
Putra YA. 2011. Aktivitas antimikroba air perasan dan ekstrak etanol buah jeruk
nipis (Citrus aurantifolia) terhadap beberapa bakteri penyebab infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA) in-vitro [tesis]. Bandung(ID): Universitas
Kristen Maranatha.
Rahayu WP. 1999. Kajian aktivitas antimikroba ekstrak dan fraksi rimpang
lengkuas (Alpina galangal L.) terhadap mikroba patogen dan perusak
makanan [disertasi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Rio YBP, Aziz D dan Asterina. 2012. Perbandingan efek antibakeri madu asli
Sikabu dengan madu Lubuk Minturun terhadap Escherichia coli dan
Staphylococcus aureus secara in-vitro [internet]. [diunduh 2013 september
16]. Tersedia pada: http://jurnal.fk.unand.ac.id.
Rita WS. 2010. Isolasi,identifikasi dan uji aktivitas antibakteri senyawa golongan
triterpenoid pada rimpang temu putih. J Kimia. 4(1):20-26.
Rostinawati T. 2009. Aktivitas antibakteri madu amber dan madu putih terhadap
bakteri Pseudomonas aeruginosa multiresisten dan Staphylococcus aureus
resisten metisilin. [penelitian mandiri]. Jatinangor(ID): Universitas
Padjajaran.
[SNI]Standar Nasional Indonesia. 2004. Madu. Jakarta(ID): Badan Standarisasi
Nasional.
Suranto A. 2007. Terapi madu. Jakarta(ID): Penebar Plus.
White JW. 1992. Internal standard stable carbon isotope ratio method for
determination of C-4 plant sugars in honey: collaborative trial study, and
evaluation of improved protein preparation procedure. JAOACI. 75:543-548.
Wilix, DJ, Molan PC, Harfoot CJ. 1992. A comparison of the sensitivity of
wound infecting species of bacteria to the antibacterial activity of manuka
and other honey. J Applied Bacteriology. 73(5):388-394.
Yao L, Yueming J, Riantong S, Bruce D, Nivedita D, Nola C, Katherine R. 2003.
Flavonoids in australian melaleuca, guioa, lophostemon, banksia and
helianthus honeys and their potential for floral authentication. [diunduh
2013 Juli 26]. Tersedia pada: http://www.sciencedirect.com.
Zakaria ZA, Zaiton H, Henie, Jais A, Zainuddin ENH. 2007. In-vitro antibacterial
activity of averrhoa bilimbi L. leaves and fruits extracts. I J Trop Med.
2(3):96-100.
Zent S. 2009. Methodology for developing a vitality index of traditional
enviromental knowledge (VITEK) for the project : global indicators of the
status and trends of linguistic diversity and traditional knowlwdge. [diunduh
2013 Juli 26]. Tersedia pada : http://www.terralingua.org.

15
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sumenep Madura, Jawa Timur pada tanggal 23
November 1990 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak
Suyatno dan Ibu Sukartini. Penulis memulai pendidikan formalnya di SMAN 2
Sumenep pada tahun 2006 dan selesai pada tahun 2009, selanjunya pada tahun
yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui
jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) dan diterima di
Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, kemudian pada tahun 2012 penulis
memilih bidang keahlian Kimia Hasil Hutan.
Selama mengikuti pendidikannya di IPB penulis aktif di beberapa
organisasi kemahasiswaan yaitu, Kerohanian Insan Asrama TPB IPB 2009-2010,
staf Pembina dan Pengajar di Bimbingan Remaja dan Anak, LDK Al-Hurriyyah
2009-2011, Gasisma 2009-2013, DKM Ibadurrahman 2010-2011 Hipunan
Profesi Mahasiswa Hasil Hutan 2010-2013, Senior Resident Asrama TPB IPB
2011-2013. Selain itu penulis juga aktif di kepanitiaaan beberapa kegiatan IPB.
Penulis juga pernah melakukan kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan
(PPEH) di Gunung Papandayan dan Leweung Sancang di Jawa Barat serta
melaksanakan Praktek Pengolahan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung
Walat Sukabumi serta Praktek Kerja Lapang (PKL) di Pusat Perlebahan Nasional
KMB Agroforestry dan Usaha Lain Perum Perhutani Unit III Jawa Barat –
Banten.