Key factor analysis of brown planthopper nilaparvata lugens stal population outbreak in Klaten Regency

ANALIS
SIS FAKT
TOR KUN
NCI
PE
ENYEBAB
B LEDAK
KAN POP
PULASI
HA
AMA WE
ERENG C
COKLAT Nilaparvvata lugen
ns STAL
DI KAB
BUPATE
EN KLATEN

BO
ONJOK ISTIAJI
I


SEKOLA
AH PASC
CASARJA
ANA
IN
NSTITUT
T PERTA
ANIAN BO
OGOR
BOGO
OR
2011
1

PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Faktor Kunci Penyebab
Ledakan Populasi Hama Wereng Coklat Nilaparvata lugens Stal di Kabupaten
Klaten adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum

pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini
Bogor, Juli 2011

Bonjok Istiaji
NIM A451050041

RINGKASAN
BONJOK ISTIAJI. Analisis Faktor Kunci Penyebab Ledakan Populasi Hama
Wereng Coklat Nilaparvata lugens Stal di Kabupaten Klaten. Dibimbing oleh
SUGENG SANTOSO dan SURYO WIYONO.
Ledakan populasi hama wereng coklat Nilaparvata lugens Stal terjadi lagi
pada tahun 2010-2011, sementara faktor-faktor kunci penyebabnya belum
diketahui secara pasti. Penelitian berupa survei lapangan yang meliputi
pengamatan ekologi dan wawancara teknik budidaya dilaksanakan dengan tujuan
menganalisis faktor lingkungan dan praktik budidaya yang terkait dengan ledakan
populasi hama tersebut di Kabupaten Klaten. Faktor kunci yang berkaitan nyata
dengan ledakan hama wereng coklat berdasarkan penelitian ini adalah varietas

padi, keberadaan predator, keberadaan cendawan entomopatogen, keberadaan
serangga/hama lain, banyaknya koloni tiap spesies cendawan endofit, bahan aktif
insektisida dan lolongannya, interval penyemprotan insektisida dan dosis pupuk
nitrogen

Kata kunci: wereng coklat, Nilaparvata lugens, analisis faktor kunci, ledakan
populasi, ketahanan ekosistem, Klaten

SUMMARY
BONJOK ISTIAJI. Key Factor Analysis of Brown Planthopper Nilaparvata
lugens Stal Population Outbreak in Klaten Regency. Under supervision of
SUGENG SANTOSO and SURYO WIYONO.
Population outbreak of brown plant hopper, Nilaparvata lugens, occured
agains in 2010-2011 due to undeterminated keyfactors. Surveillance involving
landscape-based observation and farmer interview has been conducted in order to
analysize environmental factors and agricultural practices related to population
outbreak in Klaten Regency. Key factors related pest outbreak in Klaten regency
are rice varieties, presence of predators asa well as entomopathogenic fungi and
colonization of endophytic fungi in rice, presence of other pests, active ingredient
of insecticides, interval of spyaying and nitrogen fertilizer.

brown planthopper, Nilaparvata lugens, key factor analysis, population outbreak,
ecosystem breakdown, Klaten

©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011
Hak cipta dilindungi undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

ANALISI FAKTOR KUNCI
PENYEBAB LEDAKAN POPULASI
HAMA WERENG COKLAT Nilaparvata lugens STAL
DI KABUPATEN KLATEN

BONJOK ISTIAJI


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Judul Tesis

: Analisis Faktor Kunci Penyebab Ledakan
Populasi Hama Wereng Coklat Nilaparvata
lugens Stal di Kabupaten Klaten

Nama Mahasiswa
NIM


: Bonjok Istiaji
: A451050041

Disetujui,
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sugeng Santoso, M.Agr
Ketua

Dr. Ir. Suryo Wiyono, MSc.Agr
Anggota

Diketahui,
Ketua Program Studi Entomologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Pudjianto, MSi

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


Tanggal Ujian: 27 Juli 2011

Tanggal Lulus:

Penguji Tamu Luar Komisi: Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc.

PRAKATA
Puji syukur kepada Allah sehingga penulis berhasil menyelesaikan tesis
ini. Di saat penelitian entomologi pertanian di Institut Pertanian Bogor lebih
cenderung bersifat eksperimental dalam beberapa tahun terakhir, penulis mencoba
mengisi kekosongan informasi yang bisa didapatkan dari penelitian ekologi
eksploratif. Topik yang dipilih terkait ledakan populasi wereng coklat adalah
permasalahan aktual di lapangan yang membutuhkan tanggapan cepat dalam
menyelesaikannya.
Bagian terberat dari penelitian ini tentu saja adalah keharusan tinggal di
lokasi penelitian dalam jangka waktu cukup lama dan perlunya mobilitas tinggi
serta kelenturan bersikap untuk menanggapi kondisi lapangan yang dinamis.
Namun dengan dukungan banyak pihak, ternyata hal tersebut bukanlah sesuatu
yang tidak bisa diselesaikan. Terima kasih kepada semuanya.

Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Sugeng
Santoso, M.Agr. dan Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Agr.Sc. selaku pembimbing, juga
kepada Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc. yang banyak memberi jalan dan
tuntunan, serta meluangkan waktu menjadi penguji tamu. Penelitian ini didanai
oleh kegiatan B2C IPB, karenanya penulis juga berterima kasih. Demikian pula
rasa terima kasih dengan segenap ketulusan untuk dukungan keluarga dan seluruh
sahabat yang membantu terselesaikannya pekerjaan ini.
Bogor, 26 Juli 2011
Bonjok Istiaji

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Magelang, Jawa Tengah pada tanggal 27 Juli
1974. Pendidikan dasar dan menengah diselesaikan di kota yang dikenal dengan
keberadaan Gunung Tidar ditengahnya. Tahun 1993-1998 penulis menempuh
pendidikan S1 di jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian IPB,
serta pada tahun 2005 diberi kesempatan menempuh jenjang S2 di tempat yang
sama. Penulis telah berkeluarga dengan seorang istri dan dua orang anak.

DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR TABEL .....................................................................................
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
PENDAHULUAN ....................................................................................
Latar Belakang .................................................................................
Tujuan Penelitian .............................................................................
Manfaat Penelitian .............................................................................
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
Perilaku makan dan kerusakan yang ditimbulkan wereng coklat......
Kisaran inang wereng coklat dan ketahanan varietas padi ................
Siklus hidup dan morfologi masing-masing fase wereng coklat .......
Pertumbuhan populasi wereng dan musuh alaminya.........................
Ledakan Populasi Wereng Coklat .....................................................
METODE.......... ..........................................................................................
Dasar Pemikiran ................................................................................
Langkah Pelaksanaan ........................................................................
Pengumpulan Data ............................................................................
Pengolahan dan Penyajian Data ........................................................
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................
Gambaran Umum Budidaya Padi di Kabupaten Klaten ..................

Keterkaitan antara Berbagai Faktor dengan Tingkat
Kerusakan Hamparan ........................................................................
Keterkaitan antara Berbagai Faktor dengan Populasi Wereng
Coklat di Tiga Tingkat Kerusakan Hamparan ...................................
Pembahasan Umum .........................................................................
KESIMPULAN.... .......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
LAMPIRAN ................................................................................................

xi
xii
xiii
1
1
2
2
3
3
4
5

6
6
8
8
9
10
11
14
14
15
29
36
38
39
43

DAFTAR TABEL
Halaman
berbagai kategori faktor yang dibandingkan dalam pengujian χ2 ....
luas area pengamatan dan wawancara dalam survei di Kabupaten
Klaten ...............................................................................................
3. tabel kontingensi antara berbagai faktor pengamatan ekologis dan
wawancara dibandingkan dengan tingkat kerusakan lahan akibat
wereng coklat di Kabupaten Klaten .................................................
4. hasil pengolahan data keterkaitan antara berbagai faktor dengan
tingkat kerusakan hamparan .............................................................
5. gambaran keberadaan musuh alami hama pada hamparan sawah
yang terserang wereng coklat di Kabupaten Klaten .........................
6. cendawan endofit pada pelepah daun padi pada hamparan yang terserang
wereng coklat ...................................................................................
7. berbagai bahan aktif insektisida yang digunakan untuk mengendalikan
wereng coklat oleh petani di Kabupaten Klaten ..............................
8. Pemupukan yang biasa dilakukan petani padi di Kabupaten
Klaten ...............................................................................................
9. Tabel kontingensi antara berbagai faktor pengamatan dibandingkan
dengan tingkat populasi wereng pada hamparan dengan tingkat
kerusakan berbeda di Kabupaten Klaten ..........................................
10. Hasil pengujian keterkaitan antara beberapa faktor dengan tingkat
populasi wereng coklat di tiga tingkatan kerusakan hamparan ........
11. Kerentanan varietas-varietas padi yang ditanam petani di hamparan
dengan berbagai tingkat kerusakan akibat hama wereng coklat di
Kabupaten Klaten .............................................................................
12. Pengaruh penggunaan fungisida sistemik difenokonazol/heksakonazol
terhadap cendawan endofit asal tanaman padi .................................

1.
2.

12
16

17
21
23
25
27
29

30
32

34
35

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
2.

Ilustrasi cara penentuan unit pengamatan dalam satu hamparan
dengan batas-batas ekologis yang jelas ...........................................
perbandingan rata-rata jumlah wereng coklat per rumpun di hamparan
dengan tingkat kerusakan berbeda ...................................................

10
22

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Denah lima kecamatan lokasi pengamatan dan wawancara ............
Peta wilayah Kabupaten Klaten .......................................................
Blanko pengamatan 1: penggunaan lahan, distribusi varietas dan
umur tanaman padi ...........................................................................
Blanko pengamatan 2: populasi wereng coklat, OPT lain dan
keberadaan musuh alami ..................................................................
Blanko pengamatan 3: informasi budidaya tanaman padi ...............
Jenis komoditas, luas areal pertanaman, luas panen, produksi dan ..
rata-rata produksi tahun 2006 (semester II) .....................................
Tanah sawah menurut kelas pengairannya di Kabupaten Klaten
tahun 2005 semester II (ha) ..............................................................
Luas wilayah menurut drainase tanah tahun 2005 (ha) ....................
Varietas unggul padi sawah jenis inbrida yang dilepas tahun
1943-2009 ........................................................................................
Varietas unggul padi sawah jenis hibrida yang dilepas tahun
2001-2007 ........................................................................................
Lembar informasi insektisida ...........................................................
Spesies endofit yang diisolasi dari pelepah padi di Kabupaten
Klaten ...............................................................................................

43
44
45
47
49
51
52
53
55
63
69
91

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Padi adalah tanaman pertanian utama di Indonesia dan merupakan bahan
pangan pokok bagi sebagian besar penduduknya. Sedemikian pentingnya
komoditas ini hingga padi disebut memiliki nilai politis dan nilai strategis dalam
menjaga kestabilan dan keamanan nasional. Sayangnya, negara yang pernah
berswasembada beras dan mendapat pujian dari dunia internasional ini kembali
gagal memenuhi kebutuhan domestiknya sehingga impor terpaksa dilakukan
kembali. Kegagalan produksi ini disebabkan sejumlah kendala penting, salah
satunya adalah serangan organisme pengganggu tanaman (OPT).
Sejumlah OPT padi perlu diwaspadai, salah satunya adalah wereng coklat
Nilaparvata lugens Stal (Hemiptera: Delphacidae). Dalam kondisi normal,
wereng coklat bukanlah hama tanaman padi. Namun seperti bahaya laten,
serangga ini berulangkali meledak populasinya hingga statusnya bisa disebut
sebagai bencana non alam. Sejak tahun 1931, Kalshoven (1981) telah mencatat
serangan hama ini di Dramaga, Bogor, namun ledakan populasinya baru terjadi
setelah revolusi hijau pada tahun 1970-an (Mochida et al. 1977).
Ledakan populasi pada tahun 1986 adalah kejadian menarik karena hal itu
terjadi hanya dua tahun setelah Indonesia dinyatakan berswasembada beras.
Tanggapan pemegang kebijakan saat itu cukup cepat dan tepat, antara lain dengan
terbitnya Inpres no 3 tahun 1986 yang melarang 57 merek insektisida yang
menyebabkan resistensi dan resurjensi wereng coklat, serta diadopsinya prinsip
pengendalian hama terpadu (PHT). Subsidi untuk pestisida dihapuskan dan
kebijakan ini segera diikuti dengan turunnya penggunaan pestisida di lapangan
secara drastis. Sebuah kampanye besar-besaran penerapan PHT melalui sekolah
lapangan bagi petani (SLPHT) diprogramkan secara nasional pada waktu itu.
Setelah usaha yang melibatkan semua pihak meliputi petani, pemandu lapangan,
pemerintah pusat dan daerah, peneliti, swasta, dan lain-lain, wereng coklat pun
dapat diatasi.
Namun, keberhasilan tersebut kini cenderung melenakan. Potensi wereng
coklat dalam menimbulkan masalah bagi dunia pertanian khususnya dan masalah
bangsa pada umumnya cenderung terlupakan. Rupa-rupanya keterlenaan tersebut
yang membuat sejarah terulang. Pada tahun 2010 populasi wereng coklat
meledak di sentra produksi padi di Jawa, dan hal tersebut juga dua tahun setelah
pemerintah mengklaim kembalinya swasembada beras.
Klaim swasembada beras pada tahun 2008 disebut sebagai hasil dari
Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Berbagai subsidi,
bantuan langsung dan insentif diberikan kepada petani dalam bentuk benih unggul
berpotensi hasil tinggi termasuk padi hibrida, pupuk kimia (N, P, K) dan pupuk
organik.
Ketika pada tahun 2011 ledakan populasi wereng coklat di Jawa Barat
bagian utara terhenti, ledakan populasi wereng di Jawa Tengah dan Jawa Timur
kecenderungannya justru meluas. Daerah eks Karesidenan Surakarta yang secara
tradisional dikenal sebagai lumbung padi Jawa Tengah, meliputi tujuh
kabupaten/kota yaitu Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar,
Sragen, dan Kota Surakarta hingga saat ini masih terancam oleh hama wereng

2
coklat. Apabila merujuk pada UU no 2007 tentang Penanggulangan bencana,
kejadian epidemi seperti ini telah terkategorikan bencana non alam. Dalam
kondisi bencana, respon yang diharapkan tentu saja harus berbeda dengan kondisi
normal. Tindakan yang berani, cepat, dan tepat perlu dilakukan, namun harus
didukung oleh pemahaman yang benar agar tidak memperburuk keadaan.
Hal penting lainnya adalah ledakan populasi wereng coklat kali ini bersifat
regional. Negara-negara yang secara tradisional menjadi sumber impor beras
Indonesia apabila produksi dalam negeri tidak mencukupi seperti Thailand,
Vietnam, dan China juga tengah menghadapi masalah serupa (Bentur dan
Viraktamath, 2008; Ooi 2010). Dengan demikian, impor beras yang biasa
ditempuh untuk menutup kesenjangan antara produksi dalam dan kebutuhan
domestik, atau sekedar untuk cadangan pangan nasional, kelak tidak mudah lagi
dilakukan. Oleh karena itu, masalah wereng coklat harus diselesaikan demi
menyelamatkan petani dan konsumen beras yang meliputi hampir semua rakyat
Indonesia
Ledakan wereng coklat seharusnya tidak terjadi, kecuali kalau sejarahnya
telah dilupakan (Ooi 2010). Pengendalian wereng coklat di Indonesia dengan
penerapan PHT adalah cerita sukses era 80-an. Apalagi penelitiannya, terutama
yang bersifat eksperimental, telah banyak dilakukan. Survei pun sering
dilakukan, namun pengumpulan data terfokus pada luas serangan, berat ringannya
serangan, maupun potensi ancaman terhadap produksi beras. Survei tersebut tidak
mampu menghasilkan gambaran komprehensif tentang faktor-faktor kunci
penyebab ledakan populasi wereng coklat di lapangan saat ini.
Sebuah survei yang langsung menganalisis faktor faktor kunci penyebab
ledakan wereng coklat di Jawa Barat pernah dilakukan (Buchori et al. 1999) dan
menghasilkan sejumlah temuan menarik. Survei serupa belum pernah dilakukan
di daerah Klaten yang sedang terkena bencana ledakan populasi wereng coklat
sehingga tidak bisa diketahui apakah faktor-faktor penentunya serupa atau
berbeda.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor kunci penyebab ledakan
populasi hama wereng coklat , Nilaparvata lugens Stal (Hemiptera: Delphacidae)
di Kabupaten Klaten, terutama di daerah yang pertama kali dilaporkan terjadi
ledakan dan menjadi sumber infestasi bagi ledakan populasi yang lebih luas.
Manfaat Penelitian
Informasi yang dihasilkan dari penelitian ini dapat digunakan untuk
melandasi respon cepat yang perlu diambil untuk menyelamatkan produksi beras
dari ancaman wereng coklat. Selain itu, isi penelitian ini bisa juga dijadikan
referensi bagi petani, penggiat pertanian, pemerintah, dan dunia akademis untuk
menguraikan masalah serupa di tempat dan waktu yang berbeda. Topik penelitian
ini juga berguna untuk memperkaya khazanah ilmu dan merangsang penelitian
sejenis.

TINJAUAN PUSTAKA
Enam puluh lima spesies wereng, terdiri dari 4 spesies subfamili Asiracinae,
4 spesies dari subfamili Stenocracinae, dan 57 spesies dari subfamili Delphacinae
diketahui berasosiasi dengan agroekosistem padi di Asia (Dupo dan Barrion
2009). Walaupun demikian, hanya tiga spesies yang dianggap penting secara
ekonomi, yaitu wereng coklat (Nilaparvata lugens), wereng punggung putih
(sogatella furcifera), dan wereng coklat kecil (Laodelphax striatellus) (Ooi 2010).
Dua spesies pertama adalah hama penting di pertanaman padi daerah tropik,
sedangkan spesies ketiga lebih banyak menyerang di daerah beriklim sedang.
Dari ketiga spesies wereng famili Delphacidae tersebut, hanya wereng coklat yang
dianggap merugikan secara ekonomi di Indonesia karena kemampuannya
menimbulkan kerusakan hamparan secara masal.
Wereng coklat, Nilaparvata lugens (Hemiptera: Delphacidae) pertama kali
dideskripsikan oleh Stal pada tahun 1854 berdasarkan temuannya di Jawa dan
gejala serangan seperti terbakar (hopperburn) dilaporkan pertama oleh Kalshoven
di Bogor dan Mojokerto pada tahun 1931 (Mochida et al. 1977). Informasi
tentang wereng coklat sebagian besar diperoleh dari Kalshoven (1981), Dale
(1994), dan [CABI] (2005).
Perilaku Makan dan Kerusakan yang Ditimbulkan Wereng Coklat
Baik imago maupun nimfa wereng coklat mendapatkan nutrisinya dengan
mengisap jaringan floem tanaman padi. Jaringan floem kaya akan gula, namun
miskin asam amino yang diperlukan untuk pertumbuhan wereng. Untuk
memenuhi kebutuhan asam amino, wereng coklat harus mengisap cairan floem
dalam jumlah banyak, sekaligus membuang kelebihan gulanya. Ekskret wereng
dengan kandungan gula tinggi menjadi media tumbuh cendawan jelaga yang biasa
ditemukan menempel pada batang padi yang terserang wereng. Selain itu,
wereng coklat juga menggantungkan pemenuhan asam aminonya pada
endosimbion yang dapat menguraikan asam urat di badan lemak (fat body)
(Sasaki et al. 1996). Endosimbion berperan juga dalam pembentukan hormon
ekdison (Chen 2009). Singkatnya, wereng tergantung pemenuhan nutrisi dan
siklus hidupnya pada endosimbion (Sasaki et al. 1996; Hongoh dan Ishikawa
1997).
Serangan ringan wereng coklat akan menyebabkan tanaman menjadi
terhambat pertumbuhannya, daun menguning, dan akar tidak berkembang. Dalam
jumlah ratusan ekor per rumpun padi, wereng coklat dapat menyebabkan tanaman
padi kering dan mati, serta tampak seperti terbakar (hopperburn). Mula-mula
hopperburn akan berupa lingkaran-lingkaran di tengah sawah, namun dengan
cepat radiusnya akan melebar dan seluruh tanaman akan mengering.
Dalam batas tertentu, tanaman padi mampu tetap bertahan hidup selama
periode vegetatif karena adanya kompensasi pertumbuhan tanaman. Bahkan bila
ditemukan 100-200 ekor wereng per rumpun pun, tanaman masih tetap hidup
walaupun kelak produksinya akan jauh menurun akibat berkurangnya anakan
produktif dan meningkatnya persentase gabah kosong. Namun setelah memasuki
fase pembentukan malai, hasil fotosintesis tidak lagi diarahkan untuk
pertumbuhan sehingga tanaman tidak mampu lagi melakukan kompensasi. Oleh

4

karena itu, gejala hopperburn seringkali dilaporkan beberapa saat menjelang
panen (Kulshreshth et al.1976), atau setidaknya setelah tanaman tumbuh rapat dan
menjelang berbunga. Kerapatan tanaman juga menyediakan habibat yang disukai
wereng coklat sehingga laju populasinya akan meningkat.
Dalam tingkat serangan yang lebih parah, gejala hopperburn ditemukan
pula pada pertanaman padi yang lebih muda hingga pembibitan. Artinya,
populasi wereng telah sedemikian tinggi sehingga kompensasi pertumbuhan
tanaman pun tidak mampu mengatasinya.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh wereng coklat juga terjadi akibat
perannya sebagai vektor virus penyakit padi. Serangan virus kerdil rumput dan
kerdil hampa di lapangan seringkali meluas setelah populasi wereng coklat yang
tinggi pada musim sebelumnya. Dalam kondisi seperti itu, penyakit ini juga
merupakan masalah serius. Tanpa gejala hopperburn, serangan virus dapat
berakibat gagal panen sama sekali.
Kisaran Inang Wereng Coklat dan Ketahanan Varietas Padi
Wereng coklat hidup dan berkembang biak terutama pada tanaman padi
(Oryza sativa). Beberapa spesies liar Oryza juga menjadi tempat hidup serangga
ini. Walaupun sejumlah rumput liar diketahui dapat menjadi tempat bertahan
hidup dan tempat peletakan telur di laboratorium, belum diketahui apakah hal
tersebut dapat pula terjadi di alam (Zaheruddeen dan Rao 1988).
Sebelumnya, Claridge et al. (1985) menyatakan bahwa Nilaparvata lugens
yang ada di padi berbeda dengan yang hidup di gulma Leersia hexandra, dan oleh
Hemingway et al (1999) keduanya disebut sebagai sibling species. Di sejumlah
daerah di Indonesia, padi ditanam sepanjang tahun. Dengan demikian, tanaman
inang akan selalu tersedia bagi wereng coklat, walaupun berupa sisa tanaman dan
tunggul-tunggul.
Kandungan nutrisi dan resistensi tanaman mempengaruhi tumbuh dan
berkembangnya wereng coklat pada tanaman padi. Hal ini telah dimanfaatkan
dalam pengembangan varietas-varietas padi tahan wereng. Hingga saat ini, telah
dikenal 21 gen resisten pada tanaman padi, dan 4 gen resisten banyak
dimanfaatkan pada pemuliaan padi-padi varietas IR (Brar et al. 2009).
Sayangnya, resistansi varietas padi telah beberapa kali dipatahkan oleh wereng
coklat, hingga dikenal konsep biotipe wereng coklat, yaitu munculnya populasi
wereng yang dapat tumbuh dan berkembang biak pada varietas padi yang
sebelumnya dikenal tahan wereng.
Debat seputar biotipe wereng masih berlangsung, terutama dalam hal
apakah biotipe adalah populasi yang secara reproduktif terisolasi untuk mengarah
kepada terbentuknya spesies baru (Chen 2009). Dalam setiap biotipe, terdapat
keragaman yang sangat tinggi. Demikian pula, satu biotipe dapat beradaptasi
dengan cepat terhadap varietas tahan yang baru. Dua hal ini menandakan konsep
biotipe lebih tepat didefinisikan sebagai populasi terseleksi (seperti halnya seleksi
populasi resisten wereng oleh penggunaan insektisida) daripada interaksi inangserangga yang mengarah kepada terbentuknya ras dan spesies baru (Chen 2009).
Berlawanan dengan genetika ketahanan padi terhadap wereng yang telah
banyak diketahui, mekanisme patahnya resistensi dan genetika wereng sendiri
belum banyak diungkap (Noda 2009). Chen (2009) bahkan menduga adanya
faktor non genetik dalam masalah biotipe berupa interaksi padi-wereng-

5

endosimbion. Ditemukan keragaman endosimbon yang tinggi pada populasi
wereng yang telah mampu berkembang pada varietas tahan, sementara tidak ada
hubungan nyata antara asal biotipe wereng dengan kemampuan generasi
selanjutnya yang telah mampu berkembang pada varietas tahan setelah melalui
seleksi terarah di laboratorium.
Ketahanan tanaman padi juga terkait dengan interaksi tanaman dengan
sejumlah endofit dari kelompok cendawan dan bakteri. Sejumlah penelitian
pendahuluan menggambarkan peran endofit padi dalam menginduksi ketahanan
tanaman padi terhadap hama. Clay (1992) menyatakan 21 spesies rumputrumputan berasosisasi dengan cendawan endofit yang berfungsi meningkatkan
ketahan terhadap herbivora. Dengan demikian, interaksinya menjadi semakin
kompleks dengan komponen tanaman padi, wereng, endosimbion wereng , dan
endofit padi. Selanjutnya Heong (2009) mengajukan konsep ketahanan ekologis
yang melibatkan semua komponen ekosistem sawah yang membentuk ketahanan
tanaman padi terhadap serangan hama wereng coklat.
Siklus Hidup dan Morfologi Masing-Masing Fase Wereng Coklat
Sesuai namanya, wereng coklat berwarna coklat dengan mata sedikit
berwarna biru. Kepala, pronotum dan mesonotum berwarna lebih terang,
demikian pula bagian posterior abdomennya. Seperti famili Delphacidae
umumnya, tungkai wereng coklat memiliki taji berwarna hitam. Sayapnya
transparan dengan venasi berwarna gelap.
Wereng coklat dewasa mengalami dimorfisme, sebagian memiliki sayap
sempurna (makroptera) yang terspesialisasi untuk memencar, sedangkan sebagian
lagi sayapnya pendek tidak berkembang (brakhiptera) namun memiliki
kemampuan bereproduksi yang lebih baik. Pembentukan makroptera dan
brakhiptera diatur oleh mekanisme hormonal, dan dipicu oleh sejumlah faktor
seperti nutrisi dan kepadatan populasi. Proporsi antara jumlah individu
makroptera dan brakhiptera dapat digunakan untuk menduga telah berapa lama
keberadaannya dalam suatu habitat tanaman padi dan kapan saatnya menyebar ke
habitat sekitarnya.
Secara rata-rata, serangga betina berukuran lebih besar dibandingkan
serangga jantan. Betina makroptera berukuran 4,6 mm sedangkan yang jantan
berukuran 3,9 mm. Imago betina wereng coklat meletakkan telur dalam jaringan
pelepah daun padi, dan hanya bagian operculum yang menonjol keluar. Telur
berwarna putih, berbentuk bulat memanjang dan berkelompok dalam jumlah 2-12
butir. Rata-rata telur berukuran panjang 0,99 mm dan lebar 0,20 mm. Imago
makroptera bertelur sekitar 100 butir, sedangkan imago brakhiptera dapat
menghasilkan 300-400 butir.
Setelah 6-9 hari, telur akan menetas menjadi nimfa. Fase nimfa terdiri dari
5 instar dengan periode setiap instar sekitar 2-4 hari. Dengan demikian siklus
hidup satu generasi dapat dilalui dalam 3-4 minggu. Nimfa instar I berukuran
panjang 0,97 mm dan lebarnya 0,37 mm. Setiap ganti kulit ukurannya akan
bertambah hingga nimfa instar V berukuran 2,69 mm x 1,25 mm. Nimfa muda
berwarna lebih muda dan hidup bergerombol pada pangkal batang padi. Nimfa
instar akhir berwarna serupa dengan imago, dengan bakal sayap yang sudah
menutupi tiga segmen pertama abdomen. Suhu optimal bagi wereng untuk
tumbuh dan berkembang biak adalah 28-30 ⁰C.

6

Pertumbuhan populasi wereng dan musuh alaminya
Dalam satu musim tanam padi, wereng coklat dapat berkembang biak
selama 2-3 generasi sebelum berpindah mencari sumber makanan baru dengan
penerbangan masal. Di daerah tropis seperti Indonesia, generasi yang tumpang
tindih atau relatif seragam dapat terjadi di suatu daerah, tergantung keserempakan
tanam padi. Sementara itu di daerah iklim sedang seperti Korea dan Jepang,
migrasi jarak jauh ke Asia daratan (Cina) selalu terulang setiap tahun sekitar bulan
September, demikian pula sebaliknya rekolonisasi dari Cina ke Jepang dan Korea
terjadi setiap bulan Juni hingga Juli.
Migrasi wereng di daerah iklim sedang disebabkan ketidakmampuan
serangga menjalani musim dingin. Hal ini berbeda dengan migrasi di daerah
tropik. Pada umumnya, habisnya sumber daya makananlah yang menentukan
migrasi wereng di daerah tropik, misalnya saat padi menjelang panen. Migrasi
masal wereng di daerah iklim sedang dapat mencapai ribuan kilometer melewati
lautan lepas, namun belum ada bukti seberapa jauh migrasi wereng di daerah
tropik. Daya jelajah dan pola sebaran wereng coklat di Indonesia juga belum
pernah diteliti.
Populasi wereng coklat di alam dikendalikan oleh sejumlah faktor, salah
satunya adalah faktor musuh alami. Dalam jaring-jaring makanan yang telah
berhasil disusun untuk wereng coklat, terdapat 76 spesies yang terlibat, 50 spesies
diantaranya adalah laba-laba predator (Dupo dan Barrion 2009). Parasitoid hanya
terdiri dari 11 spesies, dan sayangnya data penelitian ini tidak melibatkan patogen
wereng. Dalam model yang diperluas untuk semua spesies famili Delphacidae
yang hidup di agroekosistem padi di Asia tropis, 29,5% adalah laba-laba predator,
32% serangga predator (didominasi Hemiptera), 27% parasitoid (Hymenoptera),
7% vertebrata, 2% cendawan entomopatogen, dan 1,2% nematoda (Dupo dan
Barrion 2009).
Ledakan Populasi Wereng Coklat
Ledakan populasi serangga adalah kenaikan jumlah secara eksplosif yang
terjadi dalam waktu singkat. Ledakan populasi wereng coklat terjadi bersamaan
waktunya dengan berkembangnya irigasi yang memungkinkan ditanamnya padi
terus menerus setahun penuh, pemupukan N yang tinggi, dan penyemprotan
insektisida yang mematikan musuh alami. (Kalshoven 1981). Peran musuh alami
wereng yang terhambat akibat penggunaan insektisida telah dilaporkan sejak
lama, misalnya oleh Kulshreshth et al. (1976) di India dan diikuti laporan-laporan
lain (Cuong et al. 1997). Jarak tanam yang rapat, jumlah anakan yang lebih
banyak, peningkatan penggunaan pupuk nitrogen, dan pengelolaan hama yang
tidak selektif dilaporkan sebagai faktor-faktor penyebab ledakan populasi wereng
coklat (Kalode 1974, 1976, Dyck et al. 1977, Okada 1977).
Faktor lain yang diduga turut serta dalam ledakan populasi wereng coklat
adalah kerentanan tanaman. Ledakan populasi wereng terjadi di Indonesia setelah
masuknya varietas rentan seperti Pelita 1-2, IR 5, IR 8 dan C4 sejak tahun 1967
(Mochida danSuryana 1979). Di India, introduksi varietas Taichung Native 1
pada tahun 1964 dan and IR8 pada tahun 1968 mengawali masalah wereng coklat
(Kulshreshth et al. 1970). Hal serupa terjadi juga di Korea (Kim et al. 1986) dan
Cina (Feng et al. 1992). Ledakan populasi wereng di China diduga terkait
penanaman padi hibrida yang rentan (Cheng 2009). Dalam literatur yang sama

7

digambarkan sejarah ledakan populasi wereng di China yang awalnya hanya
disebabkan wereng coklat. Introduksi padi hibrida membuat populasi wereng
punggung putih ikut meledak, namun saat kejadiannya selalu bergantian dengan
wereng coklat. Pada masa selanjutnya, dua spesies wereng dapat meledak
populasinya pada tahun-tahun yang sama. Kini, setelah dua spesies wereng
mengancam pertanaman padi di China, spesies ketiga wereng coklat kecil ikut
menambah masalah dengan menularkan virus penyakit padi.
Meskipun telah banyak studi tentang wereng coklat, namun ledakan
populasi hama ini tetap terulang hingga tahun 2011 ini. Ooi (2010) menyatakan
bahwa faktor pestisida yang dominan berpengaruh sehingga mematikan musuh
alami.
Selain itu ia juga menggarisbawahi telah dilupakannya sejarah
keberhasilan pengendalian wereng coklat di masa lalu oleh pelaku pertanian di
Asia, dan kembalinya maraknya penggunaan insektisida. Hal ini dikuatkan oleh
Catindig (2009) dan Escalada (2009) yang menyatakan bahwa sebagian besar
negara di Asia hanya menggunakan cara kimiawi untuk mengendalikan wereng
coklat.
. Heong (2009) mengatakan bahwa ledakan hama yang terulang terus
adalah tanda dari ketidakstabilan agroekosistem. Fenomena ledakan wereng
coklat yang cenderung bersifat regional Asia Tenggara dan Timur membuat hama
wereng coklat kembali menjadi ancaman keberlanjutan produksi padi di Asia.

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian ekologi eksploratif, yang menentukan
keterkaitan antara sejumlah fakta ekologi dan praktik budidaya tanaman dengan
tingkat kerusakan hamparan akibat serangan wereng coklat. Dengan demikian
penelitian ini bukan penelitian eksperimental, namun berupa survei lapangan yang
meliputi pengamatan ekologi dan wawancara kepada petani tentang praktik
budidaya di daerah yang terkena ledakan populasi wereng coklat di Kabupaten
Klaten. Metode yang digunakan mengadopsi penelitian sejenis oleh Buchori et al.
(1999) dengan modifikasi seperlunya.
Dasar Pemikiran
Kata penting yang perlu diperhatikan dalam penelitian ini adalah faktor
kunci, ledakan populasi, dan hama. Suatu spesies serangga tidak secara serta
merta menjadi hama walaupun populasinya tinggi di alam. Kenyataannya,
serangga telah ada terlebih dahulu dan berinteraksi dengan tumbuhan sebelum
manusia mulai bercocok tanam. Banyak masalah hama saat ini adalah akibat
langsung dari usaha yang dilakukan manusia untuk meningkatkan produksi
pertanian, baik berupa tanaman baru yang mendukung populasi serangga
setempat, serangga terbawa ke lingkungan baru yang lebih sesuai, maupun
penyederhanaan ekosisten pertanian dibanding ekosistem alami (Gullan dan
Cranston 2005). Dent (2000) menyebutkan sejumlah mekanisme bagaimana
intensifikasi pertanian menciptakan hama baru atau memperbesar pengaruh hama
yang telah ada, yaitu:
1. Konsentrasi populasi tanaman atau varietas dalam satu areal monokultur
berarti meningkatkan sumber daya makanan bagi hama sehingga populasinya
meningkat.
2. Biasanya kultivar dengan potensi hasil tinggi juga disukai hama sehingga
meningkatkan kolonisasi, penyebaran, dan pertumbuhan populasi.
3. Musuh alami yang membutuhkan relung hidup (niche) tersendiri berkurang
kompetensinya dalam menekan populasi hama karena reservoir yang jaraknya
menjadi semakin jauh atau ukurannya semakin kecil.
4. Intensifikasi menyebabkan ketersediaan sumber makanan yang terus menerus
bagi hama
5. Percepatan penyebaran material tanaman melampaui distribusi alaminya,
didalamnya hama seringkali terbawa.
6. Ketergantungan kepada bahan kimia (pupuk dan pestisida) yang
meningkatkan populasi hama dengan mekanisme tersendiri.
Keenam mekanisme di atas relevan dengan agroekosistem padi. Hamahama padi termasuk wereng berpotensi meningkat populasinya karena satu sebab
atau lebih dari mekanisme di atas. Hanya saja, agroekosistem padi telah terbentuk
cukup lama dan interaksi unsur biotik dan abiotik telah membentuk keseimbangan
seperti saat ini (Settle et al. 1996). Keragaman arthropoda telah mampu menjaga
hama-hama padi tetap stabil dalam populasi rendah, dan karenanya agroekosistem
padi telah memiliki resistensi (kemampuan untuk bertahan dari gangguan luar)

9

dan resiliensi (kemampuan untuk kembali ke keseimbangan setelah ada gangguan
dari luar) (Altieri dan Nicholls 2004; Heong 2009). Apabila ada faktor tertentu
yang menyebabkan resistensi dan resiliensi agroekosistem padi tersebut hilang,
maka saat itulah akan terjadi ledakan populasi hama (Heong 2009) dan faktor
tertentu itulah yang disebut faktor kunci.
Ledakan populasi serangga terjadi bila kelimpahan spesies tersebut
meningkat secara eksplosif dalam waktu singkat (Heong 2009).
Ledakan
populasi serangga tidak hanya terjadi pada ekosistem pertanian, namun juga
ekosistem alami misalnya di hutan yang secara alami terdiri dari satu spesies
tumbuhan (Dent 2000). Persamaannya, keduanya bersifat monokultur. Faktor
alam dan faktor intervensi manusia melalui praktik budidaya disebut Dent (2000)
sebagai penyebab ledakan populasi serangga. Faktor alam berpengaruh melalui
mekanisme seperti migrasi musiman, lingkungan kondusif yang meningkatkan
laju pertumbuhan, dan efek berbeda yang diterima hama dan musuh alaminya.
Faktor budidaya yang paling sering disebut sebagai penyebab ledakan populasi
hama adalah pestisida akibat reduksi musuh alami, hilangnya pesaing
antarspesies, dan resistensi serangga.
Faktor alam/lingkungan yang relevan untuk dianalisis dalam penelitian ini
adalah keragaman ekosistem padi yang meliputi keragaman lanskap, keragaman
varietas dan umur tanaman padi, keberadaan musuh alami (predator dan cendawan
entomopatogen) dan hama lain. Faktor budidaya yang dianalisis meliputi
penyemprotan pestisida (insektisida dan fungisida), dosis pupuk kimia dan
organik, jarak tanam, dan pembibitan.
Langkah Pelaksanaan
Data status sebaran populasi wereng coklat dan faktor yang diduga
berkaitan erat dengan ledakan populasinya dikumpulkan dari lima kecamatan
berbasis tanaman padi di Kabupaten Klaten yang dilaporkan pertama kali
terserang wereng coklat yaitu Kecamatan Juwiring, Wonosari, Delanggu,
Polanharjo, dan Karanganom (Lampiran 1 dan 2). Di setiap kecamatan, tiga desa
dipilih untuk mewakili kondisi serangan wereng coklat dalam kategori berat,
sedang, dan ringan. Mengingat cepatnya perubahan tingkat serangan dan populasi
wereng coklat, kategori berat, sedang dan ringan ditentukan secara relatif di antara
desa-desa yang dipilih. Caranya, ditentukan terlebih dahulu desa yang menderita
serangan paling parah dan desa yang menderita paling ringan. Daerah dengan
tingkat kerusakan sedang ditentukan berdasarkan letaknya yang terdekat dengan
dua desa yang telah ditentukan lebih dahulu dan tingkat kerusakannya kurang
lebih di tengah tingkat kerusakan dua desa sebelumnya
Pada setiap desa terpilih, unit pengamatan ditentukan berupa satu hamparan
pertanaman dengan batas-batas ekologis yang jelas seperti perkampungan, jalan
raya, dan tanaman keras/hutan (Gambar 1). Pengumpulan data mula-mula
dilakukan dengan berjalan memotong hamparan (transek) sambil mencatat kondisi
setiap petak pertanaman yang dilalui. Pengamatan lebih detail dilakukan
kemudian, yaitu pada petak-petak yang mewakili varietas padi dan kategori umur
tanaman padi. Pengamatan pada petak-petak terpilih dilakukan terhadap lima

10

Gam
mbar 1 ilusttrasi cara peenentuan unnit pengamaatan dalam satu hampaaran dengan
n
bataas-batas eko
ologis yangg jelas. Araah panah mennjukkan
m
arah jalam
m
mem
motong pem
matang (trannsek), sedan
ng lingkaran
n adalah titikk-titik

y
ditentuukan secara sistematik
k sepanjangg diagonal
rumppun tanamaan contoh yang
petakk.
Pengambilan contoh
h tanamann untuk diisolasi
d
cendawan endofitnya
dilakkukan secarra terpisah. Empat rumpun diiambil darii tiap-tiap hamparan,
kemuudian dicucci dengan air bersih unntuk mengh
hilangkan kotoran. Peelepah padi
lalu ddisterilkan permukaannya dengann pencelupaan ke dalam
m larutan alkkohol 95%
dan NaOCl 1%
% masing-m
masing selaama satu menit
m
untuk
k mematikaan mikrob
perm
mukaan. Seelanjutnya pelepah
p
paddi dibilas dengan
d
air steril
s
dan ddan setelah
dipottong berukuuran 1 cm kemudian diinkubasiikan dalam media agaar kentang
(PDA
A) selama 3-5
3 hari sebeelum dihitunng populasii koloninya..
Wawancarra juga dilakukan
d
tterhadap penggarap petak
p
terpiilih untuk
mengggali inform
masi tentang
g perlakuann yang diterrapkan dalaam budidayaa tanaman,
khususnya penggelolaan ham
ma wereng ccoklat.
Penggumpulan Data
D
Data konndisi hampaaran yang diperoleh dari perjallanan transsek adalah
perkiiraan luas petak,
p
variettas yang dittanam, umu
ur tanaman dan jarak taanam yang
dicattat dengan Lembar Peengamatan 1 (Lampiraan 3). Pen
ngamatan leebih detail
padaa petak petakk terpilih mencatat
m
dat
ata populasi wereng, haama dan pennyakit lain,
sertaa keberadaaan musuh alami denggan mengg
gunakan Leembar Penggamatan 2
(Lam
mpiran 4). Sementara itu, Lembaar Pengamattan 3 digun
nakan saat w
wawancara
denggan petani sebagai
s
saraana diperollehnya dataa tentang peemeliharaann tanaman,
pemuupukan, penngelolaan haama, dan innformasi lain
n yang relev
van (Lampir
iran 4).

11

Pengolahan dan Penyajian Data
Data dari lima kecamatan yang diduga merupakan pusat-pusat serangan
direkapitulasi dan diolah dengan statistika deskriptif sederhana. Sebagian data
diolah dengan tabulasi silang dengan tabel kontingensi (Savary et al 1995) dan
dianalisis dengan uji khi kuadrat. Kerusakan hamparan (3 Kategori: berat,
sedang, ringan) dibandingkan dengan faktor-faktor lain sebagai berikut:
1. Varietas (banyaknya kategori sesuai banyaknya varietas)
2. Penggunaan lahan (2 kategori)
3. Umur tanaman padi (3 kategori)
4. Populasi wereng coklat per rumpun padi (3 kategori)
5. Keberadaan predator (2 kategori)
6. Keberadaan cendawan entomopatogen (2 kategori)
7. Keberadaan serangga/hama lain (2 kategori)
8. Keberadaan spesies cendawan endofit (kategori sesuai banyaknya spesies)
9. Banyaknya koloni tiap spesies cendawan endofit (kategori sesuai banyaknya
spesies)
10. Penggunaan fungisida sistemik difenokonazol/heksakonazol (2 kategori)
11. Bahan aktif insektisida yang digunakan petani (kategori sesuai banyaknya
bahan aktif)
12. Golongan bahan aktif insektisida yang digunakan (kategori sesuai banyaknya
golongan bahan aktif)
13. Jumlah pestisida yang digunakan petani dalam sekali semprot (3 kategori)
14. Interval penyemprotan insektisida (5 kategori)
15. Dosis pupuk N (3 kategori)
16. Dosis pupuk P (3 kategori)
17. Dosis pupuk K (3 kategori)
18. Penggunaan pupuk organik (2 kategori)
19. Umur bibit saat pindah tanam (2 kategori)
20. Jarak tanam (3 kategori)
21. Jumlah bibit per lubang tanam (3 kategori)
Secara khusus, populasi wereng coklat per rumpun padi juga diuji kaitannya
dengan faktor-faktor di bawah ini:
1. Varietas padi di:
a. Seluruh hamparan
b. Hamparan dengan kerusakan berat
c. Hamparan dengan kerusakan sedang
d. Hamparan dengan kerusakan ringan
2. Umur tanaman padi (3 kategori) di:
a. Seluruh hamparan
b. Hamparan dengan kerusakan berat
c. Hamparan dengan kerusakan sedang
d. Hamparan dengan kerusakan ringan
3. Keberadaan predator (2 kategori) di:
a. Seluruh hamparan
b. Hamparan dengan kerusakan berat
c. Hamparan dengan kerusakan sedang
d. Hamparan dengan kerusakan ringan
4. Keberadaan cendawan entomopatogen (2 kategori) di:

12

a. Seluruh hamparan
b. Hamparan dengan kerusakan berat
c. Hamparan dengan kerusakan sedang
d. Hamparan dengan kerusakan ringan
5. Keberadaan hama lain (2 kategori) di:
a. Seluruh hamparan
b. Hamparan dengan kerusakan berat
c. Hamparan dengan kerusakan sedang
d. Hamparan dengan kerusakan ringan
Demikian juga secara khusus, penggunaan fungisida sistemik berbahan aktif
difenokonazol/heksakonazol diuji kaitannya dengan:
1. Keberadaan spesies cendawan endofit (kategori sesuai banyaknya spesies)
2. Banyaknya koloni tiap spesies cendawan endofit (kategori sesuai banyaknya
spesies)  
Rincian tentang kategori yang digunakan dalam pengujian ditampilkan dalam
tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1 berbagai kategori faktor yang dibandingkan dalam pengujian χ2
Faktor
1. Kerusakan hamparan

2. Varietas

3. Penggunaan lahan
4. Umur tanaman padi

5. Populasi wereng coklat per rumpun

6. Keberadaan predator
7. Keberadaan cendawan entomopatogen
8. Keberadaan hama lain
9. Keberadaan spesies cendawan endofit

10. Banyaknya koloni tiap spesies
cendawan endofit

Kategori
Berat
Sedang
Ringan
Ciherang
IR 64
... (semisalnya)
Ditanami padi
Selain padi
2-5 MST
6-9 MST
>9 MST
40ekor
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Ada
Acremonium
Nigrospora
... (semisalnya)
Acremonium
Nigrospora
... (semisalnya)

13

Tabel 1 lanjutan
Faktor
11. Penggunaan
difenokonazol/heksakonazol
12. Insektisida yang digunakan petani
(nama bahan aktif)
13. Insektisida yang digunakan petani
(nama golongan bahan aktif)
14. Jumlah pestisida yang digunakan
petani dalam penyemprotan
15. Interval penyemprotan insektisida

16. Dosis pupuk N

17. Dosis pupuk P

18. Dosis pupuk K

19. Penggunaan pupuk organik
20. Umur bibit saat pindah tanam
21. Jarak tanam

22. Jumlah bibit per lubang tanam

Kategori
Tidak menggunakan
Menggunakan
Imidaklorid
Fipronil
... (semisalnya)
Neonikotinoid
Fiprol
...(semisalnya)
1 merek
2-3 merek
4-7 merek
Tiap hari
2-3 hari
4-7 hari
8-15 hari
>15 hari
300 kg/ha
150kg/ha
150 kh/ha
Tidak menggunakan
Menggunakan
≤25 hari
>25 hari
25x25 cm
1-2 batang
3-5 batang
>5 batang

Kaitan antara dua faktor dianggap nyata apabila nilai P