Rambu-Rambu Hak Cipta Dalam Operasional Perpustakaan

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

RAMBU-RAMBU HAK CIPTA DALAM
OP
OPERASIONAL PERPUSTAKAAN

 

Oleh:

Syakirin Pangaribuan

Pustakawan Madya
Universitas Sumatera Utara

 
 
 
 
 
 
 
 
 
PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 
M E D A N 
2 0 1 0


 

RAMBU-RAMBU HAK CIPTA DALAM OPERASIONAL PERPUSTAKAAN

(oleh: Drs. Syakirin Pangaribuan, SH)

ABSTRAK
Beberapa kegiatan kerja perpustakaan dalam rangka memberikan pelayanan prima kepada
penggunanya ternyata berkaitan dengan pengaturan hak cipta, oleh karena itu para pustakawan
sangat penting mengetahui dan memastikan bahwa semua yang mereka kerjakan tidak sampai
melanggar hak cipta. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menerapkan
doktrin atau asas fair use. Asas ini memungkinkan pemanfaatan suatu karya tanpa seijin pemilik hak
cipta sepanjang untuk kegiatan pendidikan dan penelitian, dan bukan untuk tujuan komersial.
Meskipun demikian tidaklah tanpa batas undang-undang hak cipta tersebut memberikan dispensasi
bagi seluruh kegiatan kerja dalam rangka pelayanan tersebut.
Pendahuluan
Penyebaran ilmu pengetahuan mulai dari pencipta sampai kepada pengguna adalah
merupakan suatu siklus yang melibatkan beberapa pihak, yaitu pencipta, penerbit, penyalur (toko
buku, perpustakaan), pengguna, dan pengguna ini juga akan menjadi pencipta. Demikian proses
itu berlangsung terus menerus.
Perpustakaan sebagai salah satu agent melaksanakan peran sebagai fasilitator, mediator
dan motivator kepada penggunanya dalam usaha mencari, memanfaatkan dan mengembangkan
ilmu pengetahuan tersebut. Dalam melaksanakan perannya itu perpustakaan senantiasa
memudahkan para penggunanya, misalnya menyediakan mesin fotokopi, menggandakan bahan

pustaka, reproduksi dengan cara mengalihkan media, digitalisasi dokumen dan penyebaran akses
yang tidak terbatas dan sebagainya. Dewasa ini dengan dukungan teknologi canggih, semua
aktivitas itu lebih mudah lagi dilakukan dan hampir semua perpustakaan memodernisasi dirinya,
bersaing ataupun berlomba untuk menyediakan bahan pustaka yang lebih lengkap dan bervariasi,


 

memberikan pelayanan terbaik untuk menarik minat para pemakainya, hal tersebut sudah
merupakan keharusan apabila suatu perpustakaan tidak ingin ditinggalkan pemakainya.
Di sisi lain kita menyadari pula adanya peraturan perundang-undangan hak cipta (UU No.
19 Tahun 2002) yang telah mengatur sejauh mana aktivitas-aktivitas itu dalam batas-batas yang
wajar secara legal ditolerir di negara kita. Pada umumnya setiap negara telah memiliki undangundang hak ciptanya sendiri (copyright), dan bahkan dalam tatatertib pergaulan internasional
kebanyakan negara termasuk Indonesia telah mengadopsi (meratifikasi) berbagai peraturan
internasional, seperti : Berne Convention For The Protection of Literary and Artistic Works; WIPO
Copyrights Treaty (WTC), dan WIPO Performances and Phonogram Treaty (WPPT).

Di negara kita faktor utama penyebab masih maraknya pelanggaran hak cipta adalah
kurangnya penegakan hokum, tingkat pengetahuan masyarakat yang masih rendah disamping
tingkat perekonomian lemah yang menyebabkan daya beli masyarakat terhadap buku masih

rendah. Hal tersebut semakin jelas dari apa yang dikemukakan Rosidi¹, bahwa:
“belakangan ini pelanggaran atas karya cipta dalam penerbitan semakin marak dan telah
mengakibatkan masyarakat perbukuan tidak lagi mendapatkan perlakuan yang layak, hal
ini dapat dilihat dari produk bajakan yang diedarkan secara terbuka dan terang-terangan
tanpa adanya rasa ketakutan melanggar hukum, di mana undang-undang hak ciptanya
telah diberlakukan. Penerbit-penerbit lokal merupakan korban pembajakan, sama halnya
dengan penerbit internasional. Namun, bagi para penerbit lokal, dampak kehancurannya
jauh lebih besar karena mereka berada pada area pasarnya sendiri”.
Semua pihak yang berperan dalam siklus peredaran ilmu pengetahuan yang disebut di
atas sudah sewajarnya mengetahui dan menghargai hak cipta. Khusus bagi para pustakawan
mengingat perannya yang sangat penting sebagai mediator dan fasilitator bagi para pengguna
perpustakaannya, kiranya diharapkan mereka mampu menjaga keseimbangan diantara kreativitas
yang semakin meningkat dengan memperhatikan rambu-rambu hak cipta, lebih sempurna lagi
apabila mereka turut membudayakan penghargaan hak cipta kepada para penggunanya.


 

Sehubungan dengan hal tersebut mempelajari UU Hak Cipta untuk memperlancar pelaksanaan
tugas mereka menjadi semakin penting, namun sebaliknya tidak diharapkan karena tidak

mempelajari UU ini mereka menjadi ragu dan kaku untuk berkreativitas.

UU Hak Cipta Menciptakan Keseimbangan Kepentingan Pencipta dan Masyarakat
Undang-undang Hak Cipta mengatur dan menyelaraskan dua tuntutan yang sama
pentingnya. Yang pertama Pencipta, mereka harus dilindungi haknya yang berupa hak moral dan
hak ekonomi. Dalam proses penciptaan suatu karya mereka telah mengorbankan fikiran, tenaga,
waktu, dan biaya yang kadang-kadang tidak sedikit, sehingga sangat wajar mereka memperoleh
insentif dan keuntungan material dari hasil jerih payahnya itu. Apabila hak pencipta ini tidak
dilindungi dikhawatirkan tidak akan ada gairah mencipta lagi untuk menhasilkan ciptaan. Yang
Kedua, pihak masyarakat juga memiliki hak untuk mendapatkan informasi, bahkan dalam hukum
internasional (Declaration of Human Right) hak akan informasi telah dianggap sebagai hak azasi
manusia. Pada Pembukaan UUD 1945 juga telah secara jelas dinyatakan bahwa Negara
(pemerintah) harus mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini berarti membuka seluas mungkin akses
akan informasi. Oleh karena itulah hak atau kepentingan pencipta dibatasi tenggang waktu
penggunaannya yaitu paling lama 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Apabila hak ini
berakhir waktunya, masyarakat menjadi bebas menggunakan ciptaan tersebut tanpa konvensasi.
Dari uraian di atas jelas bahwa disatu sisi masyarakat tidak boleh dengan kebebasan yang
tidak terbatas menggunakan karya cipta seseorang tanpa menghargai hak moral dan ekonomi
penciptanya. Sebaliknya seperti yang dikemukakan Diao Ai Lien² bahwa “pemberlakuan hak
cipta yang berlebihan jangan sampai menghambat perkembangan ilmu pengetahuan”.

Azas keseimbangan di atas seharusnya menjadi acuan dan dasar pemikiran bagi para
pustakawan dalam menjalankan profesinya. Apabila kita telaah lebih lanjut dalam beberapa fasal


 

UU Hak Cipta beberapa hal yang mengatur berkenaan dengan pelayanan perpustakaan adalah
sebagai berikut:

Perbanyakan/Penggandaan suatu Ciptaan
Dalam kondisi tertentu perpustakaan ada kalanya harus melakukan perbanyakan koleksi
bukunya dengan berbagai alasan yang dapat dimaklumi. Misalnya peminjam yang
menghilangkan buku, untuk menggantinya sering tidak lagi menemukan buku yang sama
(pengarang, judul, edisinya) di pasar/toko buku lokal dan nasional, oleh karena banyak buku
dalam negeri yang diterbitkan hanya satu kali tanpa cetak ulang. Dalam situasi seperti ini
perpustakaan menganjurkan untuk menggantinya dengan fotokopi dengan jilidan yang rapih.
Untuk buku luar negeri (import) juga sama halnya malahan pemasarannya juga masih terbatas di
Indonesia terutama di daerah-daerah. Contoh lain untuk pembelian buku import yang lebih
mahal harganya, sehubungan anggaran pengadaan yang sangat terbatas beberapa perpustakaan
perguruan tinggi menempuh kebijakan membeli buku luar negeri hanya 1 eksemplar saja untuk

setiap judul dan masing-masing judul tersebut digandakan dengan cara fotokopi sebanyak tiga
atau empat eksemplar lagi. Dengan kebijakan seperti ini penggunaan anggaran lebih efisien oleh
karena lebih banyak judul yang dapat diperoleh, pertimbangan lain adalah apabila buku fotokopi
yang dihilangkan peminjam, penggantiannya tidak terlalu berat mengingat mereka yang pada
umunya pelajar/mahasiswa tidak selalu memiliki uang yang cukup untuk beli buku.
Apabila kebijakan perpustakaan seperti di atas kita hubungkan dengan UU No. 19 tahun
2002, apakah ini telah termasuk dalam kategori pelanggaran hak cipta ? ternyata tidak. Pada
pasal 15 (e) UU Hak Cipta disebutkan bahwa:
“tidak dianggap sebagai pelanggaran undang-undang hak cipta perbanyakan suatu
ciptaan, secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh


 

perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi
yang non komersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya”.
Contoh pengalaman dalam praktek, penulis sebagai staf yang dipercayakan pimpinan
dalam penyelesaian buku hilang di Perpustakaan USU Medan, kami selalu mengedepankan
penghormatan hak cipta. Apabila seorang peminjam melaporkan telah menghilangkan buku
pinjamannya diwajibkan membeli sendiri buku pengganti yang sama pengarang, penerbit dan

edisinya dengan membantu memberikan informasi toko buku dan penerbit terlengkap untuk
dihubungi, waktu yang diberikan adalah paling lama 2 minggu, tetapi apabila ia tetap gagal
mendapatkannya penggantian dengan cara fotokopi tidak dapat dihindarkan.
Penyediaan Layanan Fotokopi
Pada kebanyakan buku di halaman kolofonnya, selalu kita temukan kalimat-kalimat
peringatan dari pengarang atau penerbit dalam berbagai variasi berikut:


 

Peringatan tersebut di atas dapat dianggap sebagai kepastian bahwa pencipta atau pemegang hak
cipta atas karya tersebut benar-benar tidak memberikan maaf atas pelanggaran haknya dan
bahkan akan melakukan tuntutan hukum bagi yang melanggar hak tersebut, oleh karena secara
hukum sebenarnya tanpa diingatkan seperti itu hak cipta telah melekat dengan sendirinya pada
saat ciptaan dipublikasikan atau diedarkan.
Penyediaan layanan fotokopi di perpustakaan bertujuan untuk memberikan kemudahan
bagi para pengguna dari segala keterbatasan yang dimiliki perpustakaan itu sendiri, meskipun
terkesan ada unsur komersialisasi tetapi harus diingat bahwa perpustakaan adalah suatu lembaga
nirlaba. Kenyataan menunjukkan bahwa persediaan buku di perpustakaan tidak selalu dapat
mengimbangi jumlah pengguna yang besar, untuk jenis koleksi tertentu karena sifat penggunaan

informasinya yang khas seperti jurnal, koleksi referensi, laporan penelitian, skripsi, tesis,
disertasi adalah jenis bahan pustaka yang pada umumnya hanya dipakai di dalam gedung
perpustakaan (tidak dipinjamkan untuk dibawa pulang oleh pengguna). Sisi lainnya tidak semua
koleksi perpustakaan dicengkeram oleh hak cipta, tetapi ada juga bahan pustaka lain seperti yang
disebut dalam pasal 16 UU No. 19 Tahun 2002 yang tidak ada hak ciptanya, yaitu peraturan
perundang-undangan, risalah hasil rapat, keputusan pengadilan, dan karya lainnya yang sudah
habis masa berlaku hak ciptanya. Dalam kaitan ini penulis tidak sepenuhnya pro kepada
pernyataan Hakim³ bahwa “praktek fotokopi di perpustakaan dapat dikategorikan sebagai
tindakan pelanggaran hak cipta, hal ini disebabkan karena fotokopi berarti memperbanyak suatu
karya tanpa izin dari pengarang dan menerima keuntungan ekonomi atas jasa foto kopi yang
diberikan”.
Keuntungan ekonomi atau komersialisasi dengan pemungutan biaya fotokopi bukanlah
tujuan utama perpustakaan, oleh karena perpustakaan adalah suatu lembaga non profit atau


 

nirlaba. Hak Cipta menurut penulis tidak boleh dijadikan dasar melarang penyediaan fasilitas
fotokopi di perpustakaan tetapi pustakawannya diharapkan mampu mengambil jalan tengah yang
adil diantara dua kepentingan yang tarik menarik tersebut yakni hak cipta dan kepentingan para

pengguna. Misalnya untuk buku yang masih dapat diperoleh dengan mudah di pasar toko buku
meskipun ketersediaannya terbatas di perpustakaan sebaiknya oleh pustakawan dianjurkan agar
pengguna tidak harus memfotokopi tetapi membeli di toko buku. tetapi tetapi untuk buku yang
sudah sulit diperoleh apalagi pengguna tersebut sudah sangat memerlukannya tidak ada salahnya
untuk difotokopi. Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 juga sebenarnya telah jelas
memberikan dispensasi kepada perpustakaan apabila tujuannya untuk kegiatan pendidikan dan
tidak ada unsure komersialisasi sebagaimana ditentukan dalam pasal 15, sebagai berikut::
“Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap
sebagai pelanggaran Hak Cipta:
a. penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan
tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;
b. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan
pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan;
c. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:
(i) ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
(ii) pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak
merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta”.

Pengecualian UU terhadap Pelanggaran Hak Cipta

Apabila kita pelajari ketentuan UU No. 19 Tahun 2002 khusus pada pasal 14 s.d. pasal 18
ternyata beberapa bahan pustaka dibatasi pemberlakuan hak ciptanya untuk kepentingan
masyarakat, sebagai berikut:
a. Pengumuman dan/atau perbanyakan Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan menurut sifatnya
yang asli;


 

b. Pengumuman dan/atau perbanyakan segala sesuatu yang diumumkan dan/atau diperbanyak
oleh atau atas nama pemerintah, kecuali apabila hak cipta itu dinyatakan dilindungi, baik
dengan peraturan perundang-undangan maupun dengan pernyataan pada ciptaan itu sendiri
atau ketika ciptaan itu diumumkan dan/atau diperbanyak; atau
c. Pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, Lembaga
Penyiaran dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus
disebutkan secara lengkap.
d. Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan :
ƒ Penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dengan tidak
merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta;
ƒ Pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:
(i) pembelaan di dalam atau di luar pengadilan;
(ii) ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
(iii) pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak
merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta.
ƒ Perbanyakan suatu ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille
guna keperluan para tunanetra, kecuali jika perbanyakan tersebut bersifat komersial;
ƒ Perbanyakan suatu ciptaan selain program komputer, secara terbatas dengan cara atau alat
apapun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau
pendidikan dan pusat dokumentasi yang bersifat non komersial semata-mata untuk
keperluan aktivitasnya.


 

Hak Cipta atas Karya Skripsi, Tesis, Disertasi
Seperti kita ketahui bahwa penulisan skripsi, tesis dan disertasi adalah merupakan
tahapan akhir dari penyelesaian perkuliahan baik untuk tingkat S1, S2, dan S3 pada pendidikan
tinggi setelah sekian semester atau sekian tahun diasuh, diasah ketajaman berfikirnya oleh
perguruan tinggi tersebut melalui dosen-dosennya. Didalam proses penyusunan skripsi, tesis dan
disertasi itu secara terus menerus diberikan konsultasi dan bimbingan oleh dosen pembimbing
sampai pada selesainya karya tersebut. Jadi jelas bahwa mahasiswa atau alumni yang
bersangkutan tidak wajar mengklaim bahwa karyanya itu secara utuh merupakan hak cipta yang
bersangkutan. Dari sisi lain apabila penulisan skripsi, tesis dan disertasi tersebut dianggap
sebagai bagian dari rangkaian kewajiban akademis yang harus dipenuhi mahasiswa untuk
memperoleh gelar akademis maka sewajarnya hak cipta atas karya tersebut dimiliki oleh
perguruan tinggi almamaternya.
Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 tidak menentukan secara khusus
pemegang hak cipta atas skripsi, tesis dan disertasi, oleh karena itu pada penyempurnaan UU
Hak Cipta yang akan datang perlu dipertegas bahwa hak cipta atas ketiga jenis karya tersebut
sebaiknya berada pada perguruan tinggi almamater mahasiswa yang bersangkutan atau secara
bersama-sama dengan mahasiswa/alumni tersebut. Hal ini dianggap penting oleh karena
beberapa perpustakaan perguruan tinggi masih ragu-ragu untuk mempublikasikan ketiga jenis
karya tersebut melalui web dalam rangka digitalisasi dokumen karena dikhawatirkan ada
tuntutan hukum dari alumni penulis karya tersebut.

Digitalisasi Bahan Pustaka
Saat ini kita telah masuk ke dalam era digital, demikian juga perpustakaan akan
mengelola koleksi digital disamping koleksi yang telah ada. Dewasa ini mulai terlihat


 

kecenderungan bahwa koleksi online lebih banyak dimanfaatkan dibandingkan koleksi yang
tidak online. Dengan membangun perpustakaan digital dan mengonlinekan koleksi dalam bentuk
digital akan meningkatkan maanfaat koleksi tersebut, namun hal ini harus diiringi oleh kesediaan
pemilik karya tersebut untuk membagi pengetahuan dan karya yang dimilikinya menjadi milik
umum (public domain).
Terkait dengan peraturan hukum hak cipta masalah digitalisasi dokumen di kebanyakan
negara belum diatur dengan sempurna, hal tersebut dapat dimaklumi oleh karena masalah ini
baru muncul dan menggejala dengan pesat pada akhir-akhir ini. Peraturan hukum selalu berada
di belakang mengikuti perkembangan masyarakat. Indonesia telah memiliki dua undang-undang
yang berkaitan yaitu UU Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 dan UU ITE (Informasi dan Transaksi
Elektronik No. 11 Tahun 2008, namun belum memberikan jawaban yang komprehensif tentang
masalah-masalah yang timbul dalam proses digitalisasi dokumen. Wahono mengatakan bahwa
masalah yang timbul dalam digitalisasi dokumen terbagi dalam dua bagian, yaitu:
“1.Hak cipta pada dokumen yang didigitalkan.
Yang termasuk didalamnya adalah : merubah dokumen ke digital dokumen,
memasukkan digital dokumen ke database, merubah digital dokumen ke hypertext
dokumen
2.Hak cipta pada dokumen di communication network.
Didalam hukum hak cipta masalah transfer dokumen lewat computer network belum
didefinisikan dengan jelas. Hal yang perlu disempurnakan adalah tentang: hak
meyebarkan, hak meminjamkan, hak memperbanyak, hak menyalurkan baik kepada
masyarakat umum atau pribadi, semuanya dengan media jaringan komputer termasuk
didalamnya internet, intranet,dan sebagainya”.
Dalam pengamatan penulis dokumen yang didigitalisasi pada perpustakaan digital (e-lib)
beberapa perguruan tinggi di Indonesia masih terbatas pada bahan-bahan gray literatur koleksi
depository perguruan tinggi yang bersangkutan yang dilengkapi dengan berbagai akses atau link
ke berbagai database jurnal internasional yang dilanggan. Hal ini masih dalam batas-batas

10 
 

yanng g ditolerir oleh Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 terutama pada ketentuan
pasal 14, 15 dan 16.

Penggunaan Software Komputer
Didalam pasal 1 ayat 8 UU Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan Program Komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam
bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan media yang
dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan
fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam
merancang instruksi- instruksi tersebut. Selanjutnya dalam pasl 2 ayat 2 disebutkan bahwa
Pencipta dan/atau pemegang hak cipta atas karya sinematografi dan Program Komputer memiliki
hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan
Ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.
Berdasarkan pasal ini berarti pemegang hak cipta memiliki hak untuk “memberikan izin”
atau “melarang” penyebarluasan ciptaannya. Dalam hal perangkat lunak komputer terdapat dua
jenis lisensi, yaitu lisensi program yang penyebarluasannya harus meminta izin pemegang hak
cipta seperti yang terjadi pada perangkat lunak komersial dan pemegang hak cipta yang
membebaskan penyebarluasan perangkat lunak ciptaannya seperti yang terjadi pada perangkat
lunak open source.

Peran Pustakawan dalam Menghargai Hak Cipta
Dalam melaksanakan tugasnya para pustakawan tidak perlu ragu atau khawatir memberikan
pelayanan prima bagi para penggunanya sehubungan dengan hak cipta.

Diao Ai Lien  

mengatakan bahwa  Indonesia, seperti juga Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya,

11 
 

menerapkan doktrin atau asas fair use. Asas ini memungkinkan pemanfaatan suatu karya tanpa seijin
pemilik hak cipta sepanjang untuk kegiatan pendidikan dan penelitian, dan bukan untuk tujuan
komersial.

Undang-undang telah memberikan sejumlah dispensasi dalam hal tertentu terutama yang
telah dinyatakan pada pasal-pasal 14, 15, 16 Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002.
Pada bagian penutup tulisan ini penulis memberikan tips yang dapat dijadikan pedoman didalam
praktek pelaksanaan tugas sebagai berikut:
Pertama, pastikan apakah ciptaan bersangkutan dilindungi oleh undangundang hak cipta
negara pengguna atau tidak. Biasanya, setiap ciptaan yang dihasilkan mendapatkan
perlindungan, baik ciptaan yang diumumkan untuk pertama kali di negara pencipta, maupun
yang mendapatkan perlindungan berdasarkan perjanjian internasional. Jika demikian halnya,
lihat penjelasan berikut. Jika tidak demikian halnya, ciptaan itu dapat bebas dieksploitasi.
Kedua, pastikan apakah jangka waktu perlindungan masih berlaku bagi ciptaan
bersangkutan atau tidak. Jika sudah habis, Anda dapat dengan bebas mengeksploitasi ciptaan itu.
Ketiga, pastikan apakah ciptaan yang akan dieksploitasi termasuk dalam “pembatasan
penggunaan hak cipta” atau tidak. Jika termasuk, ciptaan itu dapat dengan bebas digunakan dan
tidak perlu ada izin. Jika Anda telah memeriksa semua hal tersebut di atas dan ternyata hak cipta
bersangkutan masih berlaku, maka Anda harus meminta izin kepada pemegang hak cipta bila
Anda ingin mengeksploitasi ciptaan bersangkutan. Dalam hal ini, pihak yang Anda mintai izin
tidak selalu si pencipta. Dalam beberapa hal, hak atas ciptaan mungkin telah dipercayakan
kepada badan manajemen hak cipta dan dalam beberapa hal yang lain, mungkin ada penerbit,
rumah produksi atau badan manajemen hak cipta tertentu yang telah ditunjuk sebagai
penghubung untuk perundingan mengenai hak cipta.

12 
 

Daftar Pustaka

Diao Ai Lien. Hak cipta dan penyebaran pengetahuan.
http://jpa.aptik.or.id/artikel/HAK%20CIPTA%20DAN%20PENYEBARAN%20PENGET
AHUANterakhirsekali2.pdf  [20-02-2010]
Dwiyanto, Arif Rifai. Peningkatan manfaat koleksi perpustakaan melalui perpustakaan digital.
http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/baijournal/vol_4_no_2_2_art_arif.
pdf [25/02/2010]
Hakim, Heri Abi Burachman .2009. Perpustakaan dan pelanggaran hak cipta. [25-02-2009]
file:///C:/Documents%20and%20Settings/Administrator/My%20Documents/Hak%20Cipta/
index.php.htm [22-02-2010]
Hozumi,Tamotsu . 2006. Asian Copyright Handbook = Buku Panduan Hak Cipta Asia.
Diterjemahkan oleh Masri Maris. Jakarta : IKAPI
http://www.accu.or.jp/appreb/10copyr/hb_pdf/hbindone.pdf [22-02-2010]
Marlina, Heny dan Dian Siska Herliana. Menjelang berlakunya Undang-Undang Hak Cipta.
Jakarta: MAPPI FHUI. http://www.pemantauperadilan.com/delik/17MENJELANG%20BERLAKUNYA%20UU%20HAK%20CIPTA.pdf  [20-02-2010]
Wahono, Romi Satria. 1999. Digital Library dan Proyek-Proyek Penelitiannya. Dimensi: Warta
Sains dan Teknologi Vol.2 No.1 Juli 1999 : 1-4.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 85 TLN No. 4220
Yudatama, Uky. Undang-Undang Hak Cipta dan perlindungan terhadap program komputer.
http://www.poltektegal.ac.id/files/download/Kuliah%20UKI/Pertemuan%208.ppt. [25-022010]

 

13