Model-Model Gereja LANDASAN TEORI

8 perubahan-perubahan yang terjadi. Di dalam teori sistem tindakan-nya, suatu sistem harus melaksanakan empat fungsi: 1. Adaptasi Adaptation : suatu sistem harus mengatasi kebutuhan mendesak yang bersifat situasional eksternal. Sistem itu harus beradaptasi dengan lingkungannya dan mengadaptasikan lingkungan dengan kebutuhan-kebutuhannya. 2. Pencapaian tujuan Goal attainment : suatu sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya. 3. Integrasi Integration : suatu sistem harus mengatur antar-hubungan bagian-bagian dari komponennya. Ia juga harus mengelola hubungan di antara tiga imperatif fungsional lainnya A, G, L. 4. Latensi Latency : suatu sistem harus menyediakan, memelihara, dan memperbarui baik motivasi para individu maupun pola-pola budaya yang menciptakan dan menopang motivasi itu. 19

2.2 Model-Model Gereja

2.2.1 Model-Model Gereja Definisi gereja secara luas adalah persekutuan umat Allah yang dipanggil keluar dari kegelapan untuk masuk ke dalam terang Allah yang ajaib. Definisi ini sangat umum, sehingga ada banyak ahli yang mencoba mendefinisikan gereja sesuai dengan konteks zaman yang terus berkembang. Gereja juga tidak hanya terpaku pada satu model saja, oleh karenanya Avery Dulles, S. J. memberikan beberapa model-model gereja. Model-model tersebut diantaranya: 1. Gereja sebagai institusi Gereja Kristus tidak dapat melaksanakan misinya apabila gereja tidak memiliki pejabat- pejabat yang bertanggungjawab dan prosedur-prosedur yang sah. 20 Eklesiologi gereja Katolik Roma menekankan bahwa gereja memiliki suatu konstitusi, seperangkat hukum, badan kepemimpinan, dan sekelompok warga yang menerima konstitusi dan undang-undang itu sebagai kewajiban mereka. Ciri dari model gereja institusional ini adalah konsep tentang kekuasaan atau otoritas yang hierarkis. Gereja bertujuan memberikan kehidupan kekal bagi para anggota yang 19 Geoge Ritzer, Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012, 409-410. 20 Avery Dulles, Model-Model Gereja Ende: Penerbit Nusa Indah, 1987, 33. 9 mendapat pelayanannya. Sikap yang dituntut dari orang beriman adalah patuh dan setia serta mempercayakan diri kepada pejabat-pejabat gereja. 21 2. Gereja sebagai persekutuan mistis Di dalam sosiologi modern dikenal istilah Gesellschaft , yang berarti relasi sosial yang bersifat formal dan institusional, dan Gemeinschaft , yang berarti relasi sosial yang bersifat informal dan cair. Konsep tentang gereja sebagai suatu persekutuan sesuai dengan gambaran biblis gereja, yaitu sebagai Tubuh Kristus dan Umat Allah. Ide tentang gereja sebagai Tubuh Kristus dijumpai dalam tulisan Paulus di mana pokok utamanya adalah persatuan timbal-balik, saling pengertian, dan saling merasa bergantung satu terhadap yang lain sebagai anggota persekutuan. 22 Gereja dilihat sebagai suatu persekutuan dari pribadi-pribadi yang bebas. Hakekat gereja sebagai Tubuh Mistis adalah bahwa gereja bersifat spiritual dan adikodrati. Tujuan gereja adalah memimpin orang-orang kepada persatuan dengan Allah. 23 3. Gereja sebagai sakramen Menurut Henri de Lubac, unsur ilahi dan unsur manusiawi di dalam gereja tidak pernah dapat dipisahkan. Model gereja sebagai sakramen mengadopsi pemakaian antropologi teologis dan filosofis. Kristus adalah sakramen dari Allah, yang berarti kita memandang Kristus datang dari atas tanpa merendahkan Kristologi dari bawah. Rahmat Allah mendorong manusia kepada persekutuan manusia dengan Allah, dan selama rahmat itu mempengaruhi manusia, mereka dibantu untuk mengungkapkan situasi keberadaan mereka seturut tingkat yang sudah dicapai mereka dalam proses penyelamatan. 24 4. Gereja sebagai pewarta Model gereja ini mengutamakan Sabda. Gereja dikumpulkan dan dibentuk oleh Sabda Allah. Misi gereja adalah mewartakan apa yang sudah didengarnya, diimaninya, dan yang sudah diserahkan kepadanya untuk diwartakan. Model ini bersifat kerigmatis, yang berarti gereja sebagai pewarta yang menerima kabar Suci dan mempunyai tugas untuk mewartakannya, di mana Kristus dan Kitab Suci sebagai saksi utama tentang Kristus. 25 Eklesiologi ini 21 Avery Dulles, Model-Model Gereja Ende: Penerbit Nusa Indah, 1987, 39. 22 Avery Dulles, Model-Model Gereja Ende: Penerbit Nusa Indah, 1987, 48. 23 Yusak B. Setyawan, Hand-Outs Eklesiologi Mata Kuliah Eklesiogi Fakultas Teologi UKSW, 2013, 42. 24 Yusak B. Setyawan, Hand-Outs Eklesiologi Mata Kuliah Eklesiogi Fakultas Teologi UKSW, 2013, 64. 25 Yusak B. Setyawan, Hand-Outs Eklesiologi Mata Kuliah Eklesiogi Fakultas Teologi UKSW, 2013, 73. 10 membangkitkan keinginan yang kuat untuk mewartakan Injil kepada mereka yang belum mengenalnya. Mewartakan Injil selalu dikaitkan dengan keselamatan, sebab ia mengundang manusia untuk mengimani Yesus Kristus sebagai penyelamat. 26 5. Gereja sebagai hamba Sejak zaman Pencerahan, dunia menjadi semakin aktif dan bebas dari gereja. Berbagai ilmu pengetahuan dan disiplin ilmiah telah membebaskan dirinya satu demi satu dari kontrol gereja dan umumnya memperoleh keuntungan dari kebebasan itu. Seni dan ilmu pengetahuan, industri dan pemerintahan terus mengembangkan bentuk-bentuknya seturut jalan pikiran dan kebutuhan mereka sendiri. Gereja menasihati dunia, tetapi umumnya dunia tidak memperdulikan teguran itu dan semakin terus menciptakan teknik dan metodenya sendiri tanpa mengaharpkan bantuan dari otoritas gereja. 27 Metode teologis yang dikembangkan adalah bersifat sekular dan diagonal. Bersifat sekular karena gereja sudah seharusnya mengambil dunia sebagai tempat berteologi dan berusaha memperhatikan tanda-tanda zaman, dan bersifat diagonal karena gereja bermaksud untuk lebih bekerja pada batas antara dunia kontemporer dan tradisi Kristen. Gambaran yang selaras dengan sikap ini adalah gereja sebagai hamba. Dalam Surat Pastoral yang ditujukan kepada The Servant Church ditegaskan bahwa Yesus selalu beserta umat manusia dalam kekurangan dan kesusahannya. Dia melayani. Gereja harus sungguh-sungguh menjadi Tubuh Kristus, Hamba yang menderita dan karena itu ia harus menjadi gereja yang melayani . masing-masing orang Kristen dipanggil menjadi manusia bagi sesamanya. 28 6. Gereja sebagai persekutuan murid Dasar-dasar dari model gereja sebagai persekutuan murid-murid dapat ditelusuri dalam Perjanjian Baru dan dalam pelayanan Yesus selama hidup- Nya di dunia. Sebagai “masyarakat yang lain dari l ain”, dengan peraturan-peraturan dan cara hidup tersendiri, muncul dalam diri Yesus dalam pelayanan-Nya di depan umum. Rencana-Nya yang semula, rupanya menobatkan seluruh bangsa Israel, dengan mengajak mereka untuk berbalik dari dosa dan menyambut kedatangan Kerajaan Allah tidak berhasil. Karena itu Yesus menyusun rencana untuk memilih beberapa orang dari para pengikut-Nya dan membimbing mereka di bawah pengawasan-Nya 26 Avery Dulles, Model-Model Gereja Ende: Penerbit Nusa Indah, 1987, 79. 27 Avery Dulles, Model-Model Gereja Ende: Penerbit Nusa Indah, 1987, 84. 28 Yusak B. Setyawan, Hand-Outs Eklesiologi Mata Kuliah Eklesiogi Fakultas Teologi UKSW, 2013, 49. 11 sendiri. Diharapkan mereka mengerti maksud pewartaan Yesus yang sesungguhnya. 29 Bersama Yesus, murid-murid membentuk satu masyarakat yang lain dari lain, yang secara simbolis menghadirkan Israel Baru dan yang dibarui. Ia mempunyai misi untuk mengingatkan sisa umat akan nilai transenden Kerajaan Allah, yang tentangnya para murid memberikan kesaksian. Karena itu penting bagi mereka untuk menjalani pola hidup yang tidak menimbulkan kesan bertentangan dengan iman pribadi yang kokoh akan penyelenggaraan Allah dan kesetiaan-Nya terhadap janji-janji-Nya. 30 Gereja sebagai persekutuan murid memerlukan pelbagai macam karunia dan panggilan. Namun semua murid diharapkan untuk menyangkal diri, melayani dengan rendah hati, lemah lembut terhadap mereka yang berkekurangan dan sabar dalam kemalangan. Gereja harus meneruskan bentuk misi yang diberikan Yesus kepada pengikut- pengikut-Nya, harus memperhatikan kebutuhan dan tuntutan zaman. 31 2.2.2 Model Kehadiran Gereja di Indonesia Gereja telah berjumpa dengan agama-agama lain, kebudayaan-kebudayaan, dan sosial kemasyarakatan yang ada di sekitarnya. Secara khusus, gereja berjumpa dengan agama Islam di Indonesia. Kehadiran agama Kristen di Indonesia membawa “stigma sosial” sebagai agama kolonial dalam hubungannya dengan agama Islam Indonesia, yang kemudian menjadi stereotip sosial bagi sebagian kalangan umat Islam Indonesia bahwa Kekristenan Protestan Indonesia, memiliki “identitas kolonial”. 32 Julianus Mojau yang telah menganalisa dan merangkum pemikiran-pemikiran para teolog di Indonesia, memberika tiga model kehadiran gereja di Indonesia. Pembagian ini berdasarkan ciri khas respons teologis yang berbeda di kalangan umat Kristen yang sedang bergumul dengan identitas “Kristen post-kolonial.” Ketiga model tersebut adalah: 1. Model Modernisme atau pembangunan ideologis Model ini menjelaskan bagaimana respons teologis umat Kristen dirumuskan melalui partisipasinya di dalam pembangunan ideologis yang dilancarkan oleh rezim Orde Baru. Pada model ini konteks yang sedang dihadapi oleh orang Kristen adalah pembangunan di masa Orde 29 Avery Dulles, Model-Model Gereja Ende: Penerbit Nusa Indah, 1987, 188. 30 Avery Dulles, Model-Model Gereja Ende: Penerbit Nusa Indah, 1987, 189. 31 Yusak B. Setyawan, Hand-Outs Eklesiologi Mata Kuliah Eklesiogi Fakultas Teologi UKSW, 2013, 53-54. 32 Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012, 1. 12 Baru. Indonesia yang sedang membangun baik itu dari segi politik, sosial, budaya, dan yang sangat nyata adalah dalam hal pembangunan ekonomi. Para teolog yang setuju akan hal ini melihat bahwa pembangunan bangsa adalah salah satu jalan untuk menyatakan kehadiran Kerajaan Allah. 33 Gereja menerima Pancasila sebagai ideologi karena dianggap sebagai jaminan rasa kebangsaan, baik dalam arti politis maupun arti sturktural. Pancasila dinilai sebagai langkah strategi kontra-produktif dalam meretas kebuntuan hubungan Islam-Kristen di Indonesia. Penerimaan Pancasila mencerminkan makin mengkristalnya koalisi golongan nasionalis dengan umat Kristen di mana umat Kristen selalu berhadap-hadapan dengan umat Islam sebagai musuh secara ideologis. 34 Gereja-gereja di Indonesia mendukung sepenuhnya rencana-rencana pembangunan di masa Orde Baru dan berpartisipasi di dalamnya. Gereja menganggap bahwa kehadiran Kerajaan Allah dimulai dengan pembangunan untuk mengentaskan kemiskinan, penderitaan, dan ketidakadilan. Model modernisasi ini juga harus dipahami dalam kondisi psikologis para teolog tentang bahaya Islam Politik dan Komunisme. 2. Model Teologi Sosial Liberatif Model teologi sosial ini ingin mencari model hidup menggereja alternatif yang memungkinkan makin intensifnya komunikasi dengan mereka yang miskin dan lemah di dalam masyarakat Indonesia sebagai korban kebijakan pembangunan ideologis rezim Orde Baru, baik secara ekonomis maupun politis. Model ini memiliki keyakinan teologis yang kuat bahwa gereja sebagai komunitas iman para murid Yesus Kristus tidak bisa lain kecuali secara sungguh- sungguh mencerminkan visi dan misi kemanusiaan Yesus Kristus, yaitu memberlakukan Injil Kerajaan Allah sebagai kuasa yang membebaskan liberatif dan memberdayakan empowering mereka yang miskin dan lemah di dalam masyarakat Indonesia. 35 Para teolog model ini 36 menyatakan bahwa gereja adalah saksi kedatangan Kerajaan Allah. Hubungan dengan agama Islam dalam model ini kurang mendapat perhatian yang khusus, teologi sosial liberatif dapat dipandang sebagai kemungkinan yang cukup prospektif dalam meretas kebuntuan hubungan Islam-Kristen di Indonesia. Masalah pokok yang harus dihadapi ialah stereotip sebagian 33 Diantaranya adalah O. Notohamidjojo, T. B. Simatupang, P. D. Latuihamallo, S. A. E. Nababan, dan Eka Darmaputera. 34 Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012, 128. 35 Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012 ,143. 36 Diantaranya adalah J. L. Ch. Abineno, Josef Widyatmadja, F. Ukur, E. G. Singgih, A. A. Yewangoe, H. M. Katoppo. 13 kalangan umat Islam khusus Islam Politik bahwa berbagai bentuk pelayanan sosial Kristen sering kali dipandang sebagai alat Kristenisasi. Akan tetapi, penekanan Abineno pada diakonia sosial-politik, Widyatmadja bahwa pelayanan sosial gereja sebagai pelayanan pemberdayaan, yang ditopang oleh solidaritas liberatif kehambaan yang ditekankan Singgih, dan semangat kekeluargaan yang ditekankan oleh Ukur, kiranya menumbuhkan kesadaran baru yang dapat mengatasi kepicikan sebagian kalangan umat Kristen yang masih sering kali mengartikan misi Kristen sebagai kristenisasi, dan kecurigaan yang fobia di kalangan Islam Politik yang selalu menganggap pelayanan sosial Kristen sebagai alat kristenisasi. 37 Teologi sosial liberatif sangat mencerminkan pergumulan nyata masyarakat Indonesia dan memberi pencitraan sosial umat Kristen Indonesia sebagai komunitas iman para murid Yesus bersama masyarakat Indonesia melawan rezim yang merendahkan citra manusia sebagai gambar dan rupa Allah imago Dei . 3. Model Teologi Sosial Pluralis Model teologi sosial ini berusaha mengembangkan kesadaran teologi sosial yang ingin mendorong hidup menggereja komunitas iman para murid Yesus Kristus menjadi komunitas iman yang lebih terbuka kepada komunitas iman lain, khususnya dengan umat Islam. 38 Teologi sosial pluralis adalah sebuah usaha teologis yang ingin merespons realitas masyarakat dan bangsa Indonesia yang plural. Citra diri gereja yang dominan di kalangan umat Kristen Indonesia adalah citra diri sebagai terang bangsa-bangsa. Pencitraan inilah yang mendorong lahirnya sikap teologi yang triumfalis, eksklusif, dan agresif di kalangan umat Kristen. Menurut Zakaria J. Ngelow, hal ini dikarenakan alasan umat Kristen yang merasa diri sebagai minoritas penuh kecemasan yang dibayang-bayangi oleh pihak Islam, masih kuatnya budaya harmoni dan struktur sosial yang paternalistis, dan warisan teologi yang piestis. 39 Ioanes Rakhmat menyebut agama Kristen dan Islam sebagai agama kasih karunia karena keduanya menekankan keterbatasan manusia dan hanya bersandar pada kemurahan Allah yang dibahasakan sebagai kasih karunia Allah. 40 Identitas post-kolonial umat Kristen dapat dimengerti oleh pihak Islam Politik apabila 37 Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012, 278. 38 Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012, 380. 39 Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012, 340. 40 Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012, 340. 14 ada dialog di antara umat Kristen dan umat Islam. Titik temu kedua agama ini adalah pada dua tokoh yaitu Yesus dan Muhammad, di mana keduanya berorientasi pada kemanusiaan, mempunyai visi dan misi liberatif. Gereja harus menjadi komunitas iman yang terbuka bagi komunitas-komunitas iman lain. Keterbukaan itu nyata dalam sikap saling menghargai “keberlainan” sesuai dengan tradisi iman mereka dalam semangat dialogis yang memajukan kemanusiaan, membawa semangat rekonsiliatif dan liberatif. Di dalam teologi sosial pluralis ini, salah satu tokohnya Zakharia J. Ngelow, ada dua model kehadiran gereja di Indonesia. Kedua model tersebut antara lain: 1. Model Konfrontatif Menurut Ngelow, karena kepentingan dagang bangsa Portugis dan VOC, umat Kristen di Indonesia pada masa pemerintahan kolonial Belanda mengalami domestifikasi dalam ghetto perkampungan Kristen sehingga membuat agama Kristen mengalami keterasingan dari lingkungan sosialnya. 41 Orang-orang Kristen pribumi bukan lagi memahami dirinya sebagai bagian dari lingkungan masyarakat aslinya melainkan hidup dalam peniruan gaya hidup budaya asing, dalam hal ini budaya bangsa Barat. Ngelow membandingkan organisasi-organisasi keagamaan Islam Indonesia dengan organisasi-organisasi keagamaan Kristen yang tampaknya enggan menjadi sebuah gerakan sosial-politik yang anti-pemerintah kolonial. Dengan keadaan seperti itulah maka tidak heran apabila agama Kristen sering kali mendapat stigma sosial sebagai agama penjajah. 42 Diperlukan kesadaran ekumenis untuk membongkar sifat-sifat eksklusif tersebut dan untuk membangun dialog dengan umat Islam. Gereja sebagai nabi yang mewartakan pesan-pesan Allah seharusnya dapat berkonfrontasi dengan penguasa yang lalim bukan malah diam dalam status aman dan nyamannya. 2. Pelayanan Sosial Tanpa Label Kristiani Ngelow menekankan betapa pentingnya pelayanan sosial yang dilakukan agama- agama di Indonesia secara bersama untuk membebaskan rakyat miskin dan kecil dari 41 Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012, 334. 42 Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012, 335. 15 penderitaan yang melilit mereka. Yang diperlukan di Indonesia dewasa ini bukanlah jenis kekristenan yang mengutamakan keberagamaan ritual-individual, melainkan yang menekankan etika sosial, kontekstual, dan yang terbuka terhadap hubungan dialogis dengan agama-agama lain. Ngelow menentang keras Gerakan Kharismatik, yang dalam penilaiannya merupakan gerakan fundamentalisme Kristen yang asosial dan eksklusif. Ngelow mengusulkan agar setiap bentuk pelayanan sosial kristiani, baik itu yang dilaksanakan oleh gereja-gereja di Indonesia sebagai lembaga formal maupun perorangan berdasarkan semangat altruistif-diakonis, dilakukan tanpa perlu ada label kristiani. 43 Ada banyak bentuk pelayanan sosial yang dapat gereja lakukan untuk membebaskan rakyat miskin dan kecil, misalnya dalam hal kesehatan, pendidikan, pertanian, perdagangan, dan lain sebagainya. Usaha tersebut dilakukan bukan semata- mata untuk “menobatkan” seseorang menjadi anggota gereja, tetapi dilakukan dengan semangat melayani dan membebaskan. Edmund Woga menambahkan secara integral gereja harus menjadi manusia baru, secara inkulturatif ia menjadi tetangga, dan secara dialogis menjadi kawan seperjalanan. A. Menjadi Manusia Baru Misi adalah ajakan kepada manusia untuk berziarah menuju kepada Allah, Sang Pencipta, yang merupakan tujuan seluruh ciptaan. Karya misi sebagai partisipasi pada karya penyelamatan Allah bertugas untuk mengusahakan agar benih-benih keselamatan dalam setiap ciptaan diperkembangkan dan diarahkan secara utuh kepada kesempurnaan akhir zaman. B. Menjadi Tetangga Hidup menggereja yang institusional-sentralistis adalah masa lampau yang membuat gereja menjadi asing terhadap dirinya dan dunia sekitarnya. Padahal gereja harus mewartakan karyanya dan berinkarnasi di dalam dunia. Menjadi tetangga bagi siapa saja yang hidup berdampingan dengan orang Kristen menghindari ketertutupan gereja terhadap dunianya. Gereja tidak hidup menyendiri, gereja harus sadar bahwa iman dan agama Kristen tumbuh dan berkembang dari tengah-tengah kehidupan manusia setempat. 43 Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012, 343. 16 C. Menjadi Kawan Seperjalanan Buah dari sikap optimistis terhadap rahmat Allah yang universal ialah kesadaran bahwa masa eskatologis tidak dijalani sendiri oleh gereja karena sejarah telah membuktikan bahwa agama-agama tetangga juga sedang menuju kesempurnaan Sang Pencipta. Gereja sadar bahwa karya keselamatan Allah bersifat universal sehingga penting di dalam karya misinya menyadari universalitas diri dan peranannya dalam karya penyelamatan Allah, tetap harus melihat kepentingan dirinya dalam karya penyelamatan Allah tidak terlepas dari peranan agama-agama lain, yang juga secara teologis mempunyai kepentingan yang legitim dalam karya penyelamatan. 44

3. GKP KLASIS WILAYAH PURWAKARTA