BAB II skripsi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Merokok

1. Pengertian Perilaku Merokok
Menurut Sarafino (1990), perilaku merokok merupakan kegiatan
membakar, menghisap dan memegang rokok yang dilakukan secara berulangulang, merokok tahap awal dilakukan dengan teman-teman (64%), seorang
anggota keluarga bukan orang tua (23%), dan sebagian besar juga dilakukan oleh
orang tua (14%).
Perilaku merokok adalah sesuatu yang dilakukan seseorang berupa
membakar dan menghisapnya serta dapat menimbulkan asap yang dapat terhisap
oleh orang-orang sekitar (Levy, 1996)
Menurut Amstrong (dalam Sarafino, 1990) dikatakan bahwa merokok itu
adalah menghisap tembakau yang dibakar kedalam tubuh kemudian dihembuskan
lagi keluar.
Berdasarkan penjelasan dari beberapa tokoh diatas dapat disimpulkan
bahwa perilaku merokok itu adalah kegiatan membakar tembakau dan menghisap
asapnya kemudian dikeluarkan kembali, perilaku tersebut disebabkan dari dalam
diri seseorang dan dari pengaruh lingkungan.
2. Tahapan Merokok
Lichtenstein dan Brown (dalam Kaplan, Sallis, dan Patterson, 1993)

membagi tahapan merokok menjadi empat tahap :
a. Initiation of smoking.
Hampir semua individu yang merokok memulainya selama masa
remaja. Bagi kebanyakan remaja, pengaruh dari peers sangatlah
besar. Meskipun pengetahuan, sikap dan belief berasosiasi juga

dengan merokok, tetapi tekanan langsung dari peer merupakan
pengaruh penting dalam tahap ini bagi remaja.
b. Regular Smoking.
Transisi menjadi perokok tetap ditandai dengan mengembangkan
kebiasaan merokok yang rutin (gaya memegang rokok, dimana
menyimpan rokok, kapan dan dimana merokoknya) serta memiliki
beberapa perlangkapan yang penting (asbak, korek). Tahapan ini
dilihat sebagai proses pembentukan konsep, belajar, dan bagaimana
untuk merokok serta menyatukan peran perokok pada konsep
dirinya.
c. Cessation.
Ada banyak alasan untuk berhenti atau mencoba untuk berhenti
merokok. Alasan yang paling penting untuk berhenti adalah
masalah kesehatan. Perokok yang mempunyai masalah kesehatan

lebih berhasil untuk berhenti merokok dibandingkan dengan
individu yang berhenti merokok karena masalah lain.
d. Maintenance.
Para perokok menyadari bahwa berhenti merokok tidak sulit untuk
dilakukan, tetapi untuk tetap tidak merokok adalah salah satu
tantangan yang berat. Kebanyakan dari individu mencoba berkalikali sebelum benar-benar dapat berhenti merokok.

3. Faktor-faktor Perilaku Merokok
Menurut Horn (dalam Nainggolan, 1996) seseorang secara umum
melakukan kegiatan merokok dikarenakan faktor dibawah ini :
a. Untuk merangsang perasaan terutama dipagi hari.
b. Untuk mengurangi perasaan negatif yang ada.
c. Untuk kepuasan dimulut.
d. Untuk bersantai.
e. Karena sudah kecanduan atau ketagihan.

f. Karena sudah menjadi kebiasaan.
Menurut Mu’tadin (dalam Nasution, 2007) faktor penyebab seorang
merokok adalah :
a. Pengaruh orang tua.

Orang tua yang merokok bisa menjadi contoh yang paling kuat
bagi anak dalam memutuskan merokok. Keluarga yang terbiasa
dengan perilaku merokok dan menjadi permisif dengan hal tersebut
sangat berperan untuk menjadikan anaknya terutama remaja untuk
menjadi perokok. Kebiasaan merokok pada orang tua berpengaruh
besar pada anak-anaknya.
b. Pengaruh teman sebaya.
Semakin banyak individu merokok, maka semakin besar
kemungkinan teman-temannya adalah perokok. Faktor ini terjadi
karena individu berada dalam kelompok yang merokok, sehingga
mendapatkan tekanan dari kelompok tersebut untuk menjadi
perokok.
c. Faktor kepribadian.
Individu mencoba merokok adalah karena alasan ingin tahu atau
ingin melepaskan diri dari rasa sakit dan membebaskan diri dari
kebosanan.
d. Pengaruh iklan.
Melihat iklan di media massa dan elektronik yang menampilkan
gambaran bahwa perokok adalah lambang kejantanan atau
keberanian, membuat individu seringkali terpicu untuk mengikuti

perilaku seperti yang ada dalam iklan tersebut.
Sedangkan Subanada (dalam Trim, 2006) menyatakan faktor-faktor yang
menyebabkan perilaku merokok :
a. Faktor Psikologis.

Merokok dapat menjadi sebuah cara bagi individu untuk santai dan
kesenangan, tekanan-tekanan teman sebaya, penampilan diri, sifat
ingin tahu, stress, kebosanan dan ingin kelihatan gagah merupakan
hal-hal yang dapat mengkontribusi mulainya merokok.
b. Faktor Biologis.
Faktor

genetik

ini

dapat

mempengaruhi


seseorang

untuk

mempunyai ketergantungan terhadap rokok. Faktor lain yang
mungkin

mengkontribusi

perkembangan

kecanduan

nikotin

adalah merasakan adanya efek bermanfaat dari nikotin. Proses
biologinya yaitu nikotin diterima reseptor asetilkotin-nikotinik
yang kemudian membagi ke jalur imbalan dan jalur adrenergenik.
Pada jalur imbalan, perokok akan merasakan nikmat, memacu
sistem dopaminergik. Hasilnya perokok akan merasa lebih tenang,

daya pikir serasa lebih cemerlang, dan mampu menekan rasa lapar.
Di jalur adrenergik, zat ini akan mengaktifkan sistem adrenergik
pada bagian otak lokus seruleus yang mengeluarkan sorotin.
Meningkatnya sorotin menimbulkan rangsangan rasa senang
sekaligus keinginan mencari rokok lagi.
c. Faktor Lingkungan.
Faktor yang mempunyai pengaruh cukup besar ialah orang tua,
reklame tembakau, artis pada reklame tembakau di media, maupun
teman sebaya yang merokok.
4. Tujuan dari Perilaku Merokok
Menurut Horn (dalam Nainggolan, 1996) perilaku merokok seseorang
bertujuan untuk :
a. Stimulation.
Merokok dapat membantu seseorang lebih bergairah dalam
membangun aktivitas intelek dan membuat energi lebih meningkat.
b. Relaxation.

Dengan merokok dapat membuat seseorang menjadi lebih santai
dan nyaman.
c. Cruth.

Perilaku dapat membantu seseorang dalam mengurangi kecemasan
dan ketegangan.
d. Handing.
Merokok dapat memberi kesibukan pada tangan.
e. Craving.
Seseorang merokok karena sudah mengalami ketergantungan pada
rokok.
f.

Habit.
Karena rokok telah menjadi kebiasaan dalam kehidupan seseorang.

Sedangkan menurut Tomkins dan Blancy (dalam Levy, 1996) perilaku
merokok memiliki tujuan :
a. Meningkatkan perasaan positif.
b. Mengurangi reaksi yang negatif.
c. Mengurangi kecemasan dan ketegangan.
d. Sebagai kebiasaan.
e. Perilaku otomatis yang menyebabkan seseorang merokok tanpa
sadar.

f. Untuk relaksasi, mendapatkan kesenangan, dan kenikmatan.
5. Aspek-aspek Perilaku Merokok
Menurut Soekadji (dalam Aditama, 1992) pada umumnya perilaku
merokok digolongkan menjadi empat yaitu :
a. Frekuensi.
Sering tidaknya perilaku merokok tersebut muncul atau nampak
dalam kegiatan atau aktivitas sehari-hari seseorang.
b. Intensitas.

Merupakan banyaknya daya yang dikeluarkan oleh perilaku
tersebut. Artinya adalah seberapa dalam atau banyaknya seseorang
menghisap rokok.
c. Motivasi.
Meliputi dorongan yang merangsang seseorang untuk melakukan
sesuatu dan tujuan yang hendak dicapai.
d. Aksi.
Meliputi perencaan hingga perilaku konkrit untuk melaksanakan
hal tersebut, termasuk apakah individu bertahan atau berhenti
dalam mewujudkan perilaku tersebut.
6. Komponen dari Rokok

Tiga komponen utama dalam rokok yang mempunyai implikasi terhadap
cerebrovascular disease dan kanker (Kaplan, Sallis, dan Patterson, 1993) :
a.

Nikotin.
Dipercaya sebagai zat adiktif utama dalam rokok, mempunyai
beberapa efek terhadap peningkatan resiko cerebrovascular
disease :
1) Meningkatkan kecepatan jantung dan tekanan darah.
2) Menaikkan gangguan pada ritme jantung.
3) Menyebabkan penambahan bebas asam lemak dalam
darah.
4) Dapat meningkatkan penggumpalan darah.

b. Tar.
Asap rokok terdiri dari gas dan zat padat. Jenis gas yang paling
berbahaya dihasilkan dengan membakar tembakau dan ribuan zat
adiktif. Bagian yang padat dari asap rokok dikenal sebagai tar.
c.


Carbon Monoxide.
Dipercaya menjadi komponen utama dari asap tembakau yang
menyebabkan cerebrovascular disease. Peningkatan kecepatan
detak jantung dan tekanan darah yang disebabkan oleh nikotin

menandakan bahwa jantung membutuhkan tambahan oksigen, dan
pengurangan suplai oksigen yang disebabkan adanya tingkat
karbon yang tinggi sehingga membuat otot jantung menjadi tegang.

B. Big Five Personality
1. Pengertian Big Five Personality
Big five personality adalah merupakan suatu pendekatan dalam psikologi
untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah
domain yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor (Allport dan
Cattell dalam McCrae, 2003).
Menurut McCrae dan Costa (dalam Pervin & John, 1997) model lima
faktor dari kepribadian adalah penting sekali dalam menggambarkan struktur trait
kepribadian. Lima faktor merupakan dimensi dasar kepribadian.
Big five personality disusun bukan untuk menggolongkan ke dalam satu
kepribadian tertentu, melainkan untuk menggambarkan sifat-sifat kepribadian

yang disadari oleh individu itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari (Pervin,
1997).
Beradasarkan penjelasan dari beberapa tokoh diatas, dapat disimpulkan
bahwa big five personality merupakan pendekatan dalam psikologi untuk melihat
kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah serta dapat
memprediksikan macam-macam tingkah laku, dan juga kelima faktor tersebut
merupakan dimensi dasar kepribadian.
2. Faktor-faktor The Big Five Personality
Menurut McCrae dan Costa (1992) faktor-faktor the big five personality
adalah sebagai berikut:
a. Extraversion
Faktor ini merupakan dimensi yang penting dalam kepribadian,
dimana extraversion ini dapat memprediksi banyak tingkah laku
sosial. Individu yang memiliki faktor extraversion yang tinggi,

akan mengingat semua interaksi sosial, berinteraksi dengan lebih
banyak orang dibandingkan dengan individu dengan tingkat
extraversion yang rendah. Individu dengan extraversion tinggi
mudah termotivasi oleh perubahan, variasi dalam hidup, tantangan
dan mudah bosan. Sedangkan individu dengan tingkat extraversion
rendah cenderung bersikap tenang dan menarik diri dari
lingkungannya.
b. Agreeableness
Dapat disebut juga social adaptibility atau likability yang
mengindikasikan seseorang yang ramah, memiliki kepribadian
yang selalu mengalah, menghindari konflik dan memiliki
kecenderungan untuk mengikuti orang lain. Pria yang memiliki
tingkat agreeableness yang tinggi dengan penggunaan power yang
rendah, akan lebih menunjukan kekuatan jika dibandingkan dengan
wanita. Sedangkan orang-orang dengan tingkat agreeableness yang
rendah cenderung untuk lebih agresif dan kurang kooperatif.
c. Neuroticism
Menggambarkan individu yang memiliki masalah dengan emosi
yang negatif seperti rasa khawatir dan rasa tidak aman. Individu
yang memiliki tingkat neuroticism yang rendah cenderung akan
lebih gembira dan puas terhadap hidup dibandingkan dengan
individu yang memiliki tingkat neuroticism yang tinggi. Selain itu,
memiliki kesulitan dalam menjalin hubungan dan berkomitmen,
individu juga memiliki tingkat self esteem yang rendah.
d. Conscientinousness
Dapat disebut juga dependability, impulse control, dan will to
achieve, yang menggambarkan perbedaan keteraturan dan self
discipline pada diri seseorang. Individu yang conscientiousness
memiliki nilai kebersihan dan ambisi. Individu tersebut biasanya
digambarkan oleh teman-temannya sebagai individu yang wellorganize,

tepat

waktu,

dan

ambisius.

Conscientiousness

mendeskripsikan kontrol terhadap lingkungan sosial, berpikir
sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan
norma, terencana, terorganisir, serta memprioritaskan tugas. Di sisi
negatifnya trait kepribadian ini menjadi sangat perfeksionis,
kompulsif,

workaholic,

serta

membosankan.

Tingkat

conscientiousness yang rendah menunjukan sikap ceroboh, tidak
terarah serta mudah teralih perhatiannya.
e. Opennes to New Experience
Openness mengacu pada bagaimana seseorang bersedia melakukan
penyesuaian pada suatu ide atau situasi yang baru. Openness
mempunyai ciri mudah bertoleransi, kapasitas untuk menyerap
informasi, menjadi sangat fokus dan mampu untuk waspada pada
berbagai perasaan, pemikiran dan impulsivitas. Individu dengan
tingkat openness yang tinggi digambarkan sebagai individu yang
memiliki nilai imajinasi, broadmindedness dan a world of beauty.
Sedangkan individu yang memiliki tingkat openness yang rendah
memiliki nilai kebersihan, kepatuhan, dan keamanan bersama.
Openness dapat membangun pertumbuhan pribadi. Pencapaian
kreatifitas lebih banyak pada setiap individu yang memiliki tingkat
openness yang tinggi dan tingkat agreeableness yang rendah.
Individu yang kreatif, memiliki rasa ingin tahu, atau terbuka
terhadap pengalaman lebih mudah untuk mendapatkan solusi untuk
suatu masalah.
C. Mahasiswi

1. Pengertian Mahasiswi
Mahasiswi dan mahasiswa tidaklah jauh berbeda, yang membuat berbeda
hanyalah sebutannya. Mahasiswi adalah sebutan bagi perempuan yang sedang

menempuh pendidikan di perguruan tinggi, sedangkan mahasiswa adalah sebutan
bagi laki-laki. Berikut adalah penjelasan dari beberapa tokoh tentang mahasiswa.
Menurut Sarwono (2009) mahasiswa adalah setiap orang yang secara
resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan batas usia
sekitar 18-30 tahun.
Merupakan insan-insan calon sarjana yang dalam keterlibatannyadengan
perguruan tinggi (yang makin menyatu dengan masyarakat), dididik dan di
harapkan menjadi calon-calon intelektual (Knopfemacher dalam Sarwono, 2009).
Mahasiswa adalah suatu bagian yang tidak bisa terpisahkan dari negara ini
karena peran pentingnya yang begitu besar terhadap majunya sebuah peradaban
yang sedang dibangun oleh sebuah bangsa (Nasution, 2011).
D. Hubungan Big Five Personality dan Perilaku Merokok pada
Mahasiswi Perokok
Begitu banyak masyarakat yang sudah tidak peduli lagi dengan lingkungan
hidupnya

ataupun

kesehatannya.

Mulai

dari

membuang

sampah

yang

sembarangan, pola makan yang tidak teratur sampai kepada pola hidup yang tidak
sehat dengan merokok. Perilaku merokok adalah merupakan kegiatan membakar,
menghisap dan memegang rokok yang dilakukan secara berulang-ulang, merokok
tahap awal dilakukan dengan teman-teman (64%), seorang anggota keluarga
bukan orang tua (23%), dan sebagian besar juga dilakukan oleh orang tua (14%)
(Sarafino, 1990). Kebanyakan dari masyarakat Indonesia ini sudah terbiasa
mengkonsumsi rokok dalam jumlah yang banyak.
Dalam sepuluh tahun terakhir, konsumsi rokok di Indonesia mengalami
peningkatan sebesar 44,1% dan jumlah perokok mencapai 70% penduduk
Indonesia (Aditama, 2006). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
kebiasaan merokok telah dimulai sejak remaja, bahkan dari tahun ke tahun
menunjukkan usia awal merokok semakin muda. Hasil riset Lembaga
Menanggulangi Masalah Merokok (LM3) dilaporkan bahwa anak-anak di
Indonesia sudah ada yang mulai merokok pada usia 9 tahun (Komalasari &

Helmi, 2000). Dari analisis data Susenas tahun 2001 diperoleh data umur mulai
merokok kurang dari 20 tahun cenderung meningkat dan lebih dari separuh
perokok mengkonsumsi lebih dari 10 batang per hari, bahkan yang berumur 10 –
14 tahun pun sudah didapat sebesar 30,5% yang mengkonsumsi lebih dari 10
batang per hari diantaranya 2,6% yang mengkonsumsi lebih dari 20 batang per
hari. Hal ini dapat menjadi bom waktu pada 25 tahun yang akan datang,
mengingat timbulnya penyakit seperti kanker berhubungan dengan lamanya
merokok dan banyaknya rokok yang dikonsumsi.
Perilaku merokok merupakan hal yang biasa bagi kebanyakan masyarakat
Indonesia baik itu kaum laki-laki ataupun perempuan. Banyak sekali efek negatif
yang ditimbulkan dari merokok, diantaranya adalah dapat menyebabkan serangan
jantung, impotensi, gangguan kehamilan, serta dapat menyebabkan kematian.
Sebagian besar masyarakat sudah mengetahui efek negatif dari merokok, tetapi
sebagian besar dari masyarakat itu juga tetap merokok.
Ada banyak alasan yang melatar belakangi perilaku merokok, menurut
Lewin (dalam Komasari dan Helmi, 2000) menyatakan bahwa perilaku merokok
merupakan fungsi dari lingkungan dan individu. Artinya perilaku merokok
disebabkan oleh faktor dalam diri (seperti perilaku memberontak serta suka
mengambil resiko) dan faktor lingkungan (seperti orang tua yang merokok dan
teman sebaya yang merokok). Jadi perilaku merokok dilakukan oleh individu
karena adanya ajakan teman sebaya. Faktor dari dalam diri individu tidak jauh
berbeda dengan faktor kepribadian individu dengan mulai merokok, yaitu karena
rasa ingin tahu serta melepaskan diri rasa sakit atau mebebaskan diri dari
kebosanan.
Mengenai tentang kepribadian, banyak sekali teori yang membahasnya.
Salah satunya adalah teori kepribadian lima faktor atau big five personality.
Dalam Big Five Personality terdapat lima dimensi kepribadian yaitu
Extraversion, Agreeableness, Conscientiousness, Neouroticism, Opennes to New
Experience. Extraversion didefinisikan sebagai dimensi kepribadian yang energik
terhadap dunia sosial dan material serta memiliki watak mudah bergaul, aktif,
asetif, dan memiliki emosi positif. Agreeableness didefinisikan sebagai dimensi

kepribadian yang berorientasi prososial pada orang lain serta memiliki watak
alturisme, lemah lembut dan mudah percaya. Conscientiousness didefinisikan
sebagai dimensi kepribadian sebagai kontrol impuls yang memfasilitasi
pengerjaan tugas dan juga perilaku goal-oriented seperti berpikir sebelum
berindak, mengikuti norma dan aturan, terorganisasi, serta memprioritaskan tugas.
Neuroticism didefinisikan sebagai kepribadian dengan emosi negatif sehingga
rentan mengalami kecemasan, depresi, sedih, agresif, dan lain-lain. Opennes to
New Experience didefinisikan sebagai dimensi kepribadian dengan daya imajinasi
yang tinggi, orisinil, memiliki mental dan pengalaman hidup yang kompleks serta
berani mencoba hal-hal baru diluar kebiasaannya (Costa dan McCrae, 1992).
Setiap individu dengan kepribadian tersebut, akan memiliki cara yang
berbeda-beda untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Terlebih lagi terhadap
mahasiswi yang selalu berasama-sama dengan teman sebayanya.
Ward, Leong, dan Low (2004) dalam penelitian mereka yang berjudul
Personality and Sojouner Adjustment: An Eploration Of The Big Five and The
Cultural Fit Proposition menunjukan bahwa individu yang memiliki skor tinggi
dalam Extraversion, Agreeableness, Conscientiousness dan memiliki skor rendah
Neuroticism akan lebih mudah dalam melakukan penyesuaian diri secara
psikologis serta sosial. Kepribadian Agreeableness dan Conscientiousnes
diasosiasikan dengan penyesuaian diri sosiokultural yang lebih baik, kesehatan
psikologis, dan kesejahteraan individu. Selain itu Agreeableness juga penting
untuk hubungan antara mahasiswa/i satu dengan yang lainnya. Sedangkan
kepribadian Neuroticism diasosiasikan dengan mudahnya individu berperilaku
negatif seperti mengalami depresi, penyalahan gunaan zat dan obat-obatan
terlarang, merokok, permasalahan dengan lingkungan sekitar, dan lain-lain (Ward,
Leong, dan Low, 2004).
Pada penelitian tersebut, skor rendah pada kepribadian Neuroticism akan
mudah beperilaku negatif dan perilaku merokok merupakan salah satu dari
perilaku negatif tersebut. Perilaku merokok sering terlihat dikalangan mahasiswa
ataupun mahasiswi. Untuk itu peneliti ingin melihat hubungan dari setiap faktor
big five personality dan perilaku merokok pada mahasiswi perokok.