Etnozoologi Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat

ETNOZOOLOGI MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN
CIPTAGELAR, DESA SIRNARESMI, KABUPATEN
SUKABUMI, JAWA BARAT

AJENG YUN ILHAMI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Etnozoologi
Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kabupaten Sukabumi,
Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari skripsi saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Ajeng Yun Ilhami
NIM E34110039

ABSTRAK
AJENG YUN ILHAMI. Etnozoologi Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar,
Desa Sirnaresmi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Dibimbing oleh
BURHANUDDIN MASY’UD dan RESTI MEILANI.
Pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari satwa, mempengaruhi pengelolaan dan
kelestarian satwa tersebut. Penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi
pemanfaatan jenis-jenis satwa dan pengelolaannya berdasarkan pengetahuan,
kearifan lokal masyarakat adat. Pemanfaatan satwa dan pengelolaannya oleh
masyarakat dikumpulkan melalui wawancara terhadap 10 informan menggunakan
metode snowball. Sistem pewarisan nilai etnozoologi antar generasi dikumpulkan
melalui kuisioner terhadap 66 responden menggunakan teknik proportional

stratified random sampling. Terdapat 72 jenis satwa digunakan masyarakat untuk
bahan pangan (27 spesies), obat (34 spesies), kesenian dan hiburan (6 spesies),
komoditas perdagangan (8 spesies), serta keperluan hajatan dan ritual adat (7
spesies). Pengelolaannya berdasarkan aturan adat dan ajaran leluhur. Sistem
pewarisan yang memberikan pengetahuan tertinggi pada generasi penerus adalah
mereka yang menerima informasi dari orang tua, tokoh adat, dan tetangga sekitar
melalui penyampaian secara lisan ketika usia kanak-kanak (2 – 12 tahun).
Kata kunci: etnozoologi, kasepuhan, satwa

ABSTRACT
AJENG YUN ILHAMI. Ethnozoology of Kasepuhan Ciptagelar Indigenous
People, Sirnaresmi Village, Sukabumi Regency, West Java. Supervised by
BURHANUDDIN MASY’UD and RESTI MEILANI.
Local knowledge and wisdom of Indigenous people of Kasepuhan
Ciptagelar in fulfill their needs from animals, affected the management and
conservation of animals. This study aimed to identify people’s local knowledge
and wisdom on the types of animal utilization and its management. Knowledge
and practice on animals utilization and its management were collected through
interview with 10 informant that were selected using snowball method. The
inheritance system of ethnozoology values were collected through questionnaires

distributed to 66 respondents using proportional stratified random sampling
technique. There were 72 species of animals used for food (27 species), medicine
(34 species), arts and entertainment (6 species), trading commodities (8 species),
and customary purpose (7 species). The management was based on the customary
rules and ancestral teachings. Inheritance system that caused the highest
knowledge in next generation was derived from them who received the
information from parents, elders, and neighbors orally when they were child (2 –
12 years).
Keywords: animal, ethnozoology, kasepuhan

ETNOZOOLOGI MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN
CIPTAGELAR, DESA SIRNARESMI, KABUPATEN
SUKABUMI, JAWA BARAT

AJENG YUN ILHAMI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2015 ini ialah
mengenai pemanfaatan satwa dengan judul Etnozoologi Masyarakat Adat
Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS
selaku ketua komisi pembimbing dan Resti Meilani, SHut MSi selaku anggota
komisi pembimbing atas bimbingan dan pengarahannya yang telah diberikan
kepada penulis. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Abah Ugi,
Aki Aang, Kang Yoyo, Bapak Upar, Ibu Nia, dan Bapak Rukanda dari perwakilan
masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar, Bapak Amil Buchori selaku sekertaris

Desa Sirnaresmi serta Bapak Kohar beserta staff Resort Gunung Bodas Taman
Nasional Gunung Halimun Salak yang telah membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh
keluarga, atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya. Terima kasih kepada
teman-teman Pongo pygmaeus 48, BEM FAHUTAN Kabinet Samanea saman
dan FAHUTAN 48 atas kebersamaan dan kekompakkannya selama ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

Ajeng Yun Ilhami

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii


DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

2


METODE

2

Lokasi dan Waktu Penelitian

2

Alat dan Instrumen Penelitian

2

Prosedur Penelitian

2

HASIL DAN PEMBAHASAN

4


Kondisi Umum Lokasi Penelitian

4

Pemanfaatan Satwa oleh Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar

5

Pewarisan Nilai Etnozoologi Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar
SIMPULAN DAN SARAN

18
22

Simpulan

22

Saran


23

DAFTAR PUSTAKA

23

LAMPIRAN

25

DAFTAR TABEL
1 Penggolongan jumlah responden berdasarkan kelompok umur
2 Daftar satwa yang dimanfaatkan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar
dan status konservasinya
3 Jumlah satwa yang dimanfaatkan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar
berdasarkan kelompok pemanfaatan
4 Persentase jenis satwa berdasarkan kelasnya pada tiap kelompok
pemanfaatan
5 Jenis ritual dan hajatan dalam masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar

6 Daftar jenis satwa yang digunakan dalam ritual dan hajatan
7 Jenis mitos terkait satwa yang dipercaya oleh masyarakat adat
Kasepuhan Ciptagelar
8 Daftar jenis hewan ternak untuk kesenian dan hiburan masyarakat adat
Kasepuhan Ciptagelar
9 Jumlah jenis satwa yang dimanfaatkan berdasarkan kategori penyakit
10 Total jumlah jenis satwa yang diketahui dan/atau dimanfaatkan
masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar antar generasi

3
5
7
7
8
9
11
12
15
18


DAFTAR GAMBAR
1 Jumlah jenis satwa berdasarkan bagian-bagian yang berkhasiat obat
2 Podot landak (Hystrix javanica)
3 Jumlah jenis satwa berdasarkan cara pengolahan bagian-bagian tubuh
yang berkhasiat obat
4 Kijang (Muntiacus muntjak) anakan untuk ritual mipit bulan Maret 2015
5 Cacing sanari (Metaphire longa) setelah dikeringkan

14
14
14
17
22

DAFTAR LAMPIRAN
1 Daftar jenis satwa yang dimanfaatkan masyarakat adat Kasepuhan
Ciptagelar
2 Daftar jenis satwa berkhasiat obat oleh masyarakat adat Kasepuhan
Ciptagelar
3 Daftar jenis satwa yang memiliki makna atau mitos
4 Aturan adat masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dalam pemanfaatan
dan pengelolaan satwa
5 Proses pewarisan informasi etnozoologi dan karakteristik tiap generasi
dalam masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar

25
30
33
35
36

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar memiliki kekhasan budaya sebagai
identitas mereka. Warisan leluhur tersebut hingga kini masih dipertahankan oleh
sebagian besar masyarakat dan menciptakan berbagai aturan, adat istiadat, serta
kebiasaan yang mengisi kehidupan mereka sehari-hari. Masyarakat hidup
mengandalkan sektor pertanian dan berdampingan dengan sumberdaya hayati
dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) termasuk
satwa. Satwa hidup di sekitar lingkungan masyarakat adat Kasepuhan mulai dari
lingkungan „leuweung’ (hutan alam) hingga „lembur’ (pemukiman) dan beberapa
diantaranya dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari maupun keperluan adat.
Pengetahuan lokal mengenai keanekaragaman jenis satwa dan manfaatnya sebagai
suatu sistem pengetahuan masyarakat menurut Firmansyah (2009) tentu akan
berpengaruh pula terhadap cara-cara pengelolaan lingkungan alam dan sistemsistem lainnya dalam sistem budaya yang dimiliki. Hal ini merupakan upaya
adaptasi untuk mempertahankan keberlangsungan manfaat tersebut tanpa
mengganggu kelestarian satwa di sekitar mereka, khususnya dalam lingkup
kawasan TNGHS dengan segala kebijakan pemerintah di dalamnya.
Pengetahuan tradisional dapat dijadikan prinsip-prinsip pengelolaan
sumberdaya alam karena menurut Suansa (2011) telah memberikan kontribusi
yang besar untuk pelestarian lingkungan dan pemanfaatan yang berkelanjutan.
Pengetahuan lokal dapat menjadi sumber informasi mengenai status terkini dari
suatu sumberdaya, dinamika ekosistem lokal, keanekaragaman spesies, perilaku
suatu spesies, hubungan interaksi dengan komponen-komponen ekosistem, dan
karakteristik lingkungan lokal dengan objek-objek di sekitarnya (Seixas dan
Begossi 2001). Dengan mengetahui pengetahuan dan pemanfaatan satwa oleh
suatu masyarakat, maka interaksi mereka dengan satwa dan kaitannya dalam
pemanfaatan berkelanjutan dapat dikaji lebih mendalam. Secara keilmuan kajian
seperti ini dikenal dengan „etnozoologi‟ yang menurut Batoro (2012) mempelajari
tentang pemanfaatan dan pengelolaan keanekaragaman jenis hewan yang erat
kaitannya dengan budaya masyarakat suatu kelompok, etnik, atau suku bangsa.
Berdasarkan pemikiran di atas, timbul pertanyaan penelitian tentang bagaimana
gambaran jenis-jenis satwa yang dimanfaatkan masyarakat adat Kasepuhan
Ciptagelar, serta bagaimana sistem pewarisan kearifan dan pengetahuan lokal
masyarakat terkait manfaat satwa liar tersebut. Oleh karena itu penelitian
etnozoologi masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar ini dipandang penting
dilakukan, sehingga dasar dalam pengelolaan dan pemanfaatan satwa tetap
menjamin kelestarian satwa tersebut.
Tujuan Penelitian
Penelitian etnozoologi ini ditujukan untuk mengidentifikasi:
1. Pemanfaatan jenis-jenis satwa dan pengelolaannya,
2. Sistem pewarisan nilai etnozoologi yang digunakan oleh masyarakat adat
Kasepuhan Ciptagelar.

2
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran pemanfaatan jenisjenis satwa baik satwa hasil domestikasi maupun satwa liar oleh masyarakat adat
Kasepuhan Ciptagelar. Informasi ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam pengelolaan satwa liar di Taman Nasional Gunung Halimun Salak sebagai
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan konservasi dan
kelestarian sumberdaya alam hayati. Selain itu juga dapat memberikan gambaran
potensi satwa dan pengelolaan pemanfaatannya secara lestari dalam kerangka
pembangunan berkelanjutan.

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kampung Ciptagelar, Desa Sirnaresmi,
Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pengambilan
data dilakukan pada bulan Maret - April 2015. Pengolahan dan analisis data
dilakukan selama dua bulan yaitu April - Mei 2015.
Alat dan Instrumen Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu alat perekam, kamera, alat tulis,
serta software Microsoft Excel 2007. Instrumen dalam penelitian ini yakni
panduan wawancara dan kuisioner.
Prosedur Penelitian
Jenis data yang dikumpulkan
Data penelitian yang dikumpulkan terbagi menjadi data primer dan data
sekunder. Data primer berupa data pemanfaatan satwa dan pengelolaannya oleh
masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar (nama spesies lokal, nama ilmiah, famili,
lokasi dan waktu pengambilan, manfaat, cara pengolahan dan penggunaannya)
serta pewarisan etnozoologi yang diterapkan dalam masyarakat tersebut. Data
sekunder berupa data kondisi umum lokasi penelitian diperoleh melalui
pengumpulan informasi dari berbagai pustaka yang menunjang penelitian.
Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi:
a. Wawancara
Wawancara semi terstruktur dilakukan menggunakan panduan wawancara
serta ditujukan untuk mengumpulkan informasi terkait pengetahuan dan
pemanfaatan satwa yang dimanfaatkan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar
termasuk pengelolaannya. Informan ditentukan dengan metode snowball. Metode
snowball merupakan suatu metode dimana jumlah dan sampel tidak ditentukan
oleh pewawancara semata tetapi bekerja sama dengan informan di lapangan untuk

3
menentukan informan berikutnya yang dianggap penting (Suprapto 2013).
Penentuan informan akan selesai jika data telah mengalami kejenuhan dan waktu
kegiatan telah habis. Secara keseluruhan jumlah informan yang diwawancarai
sebanyak 10 orang meliputi sesepuh, pengurus adat, tokoh masyarakat dan
individu lainnya yang mengetahui dan/atau memanfaatkan satwa di lingkungan
Kasepuhan Ciptagelar.
b. Kuisioner
Kuisioner semi terbuka digunakan untuk mengumpulkan data tanggapan
responden terkait pengetahuannya terhadap satwa beserta pemanfaatannya dan
sistem pewarisan informasi antar generasi. Penentuan jumlah sampel (n) dalam
proses sampling menurut Suprapto (2013) ditentukan dari populasi darimana unit
tersebut berasal, sehingga jumlah sampel diambil dari total populasi penduduk
Ciptagelar pada tahun 2014 sebanyak 461 individu dengan rumus:
n =

Np(1-p)
(N-1)D + p(1-p)

n = besarnya sampel
N = besarnya populasi
P = proporsi sampel penelitian yakni 0.5 atau 50%
, dan B = Bound of error sebesar
D = derajat ketepatan, dengan rumus
10%.
Jumlah sampel terpilih sebanyak 66 individu dikelompokkan menjadi empat
kelompok umur menggunakan teknik proportional stratified random sampling
yang menurut Suprapto (2013) diambil jumlah individu berdasarkan persentase
untuk masing-masing kelompok. Sampel diambil dari sebagian penduduk
setempat yang telah mencapai masa remaja akhir-dewasa awal (≥ 15 tahun)
karena sebagian besar dianggap telah memiliki pengetahuan non spesialis atau
kemampuan untuk melakukan suatu keterampilan subsisten sepenuhnya. Selain
itu, interval usia yang berselang 15 tahun tersebut cukup sebagai ukuran
pembanding (Tabel 1).
Tabel 1 Penggolongan jumlah responden berdasarkan kelompok umur
Jumlah penduduk
Jumlah responden
No. Kelompok umur*
(individu)
(individu)
1 15 – 29 tahun
56
2 30 – 44 tahun
130
3 45 – 59 tahun
142
4 > 60 tahun
45
Total
373

10
23
25
8
66

*Sumber: Zent (2009).

c. Studi pustaka
Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder yang dapat
menunjang kegiatan penelitian. Pustaka yang digunakan meliputi kondisi umum
lokasi penelitian yang diperoleh dari situs resmi Taman Nasional Gunung
Halimun Salak, penelitian-penelitian terkait yang sebelumnya telah dilaksanakan
oleh pihak lain dengan lokasi penelitian dan/atau topik kajian yang sama, serta

4
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan
satwa.
Pengolahan dan analisis data
Data hasil wawancara dan kuisioner diolah dan dianalisis secara deskriptif
menggunakan Microsoft Excel 2007 yang kemudian disajikan dalam bentuk tabel
dan diagram.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian terletak di Kampung Ciptagelar yang secara geografis
terletak pada 106o27‟ – 106o33‟ Bujur Timur dan 6o 52‟ – 6o44‟ Lintang Selatan
(Mahdi 2014). Secara administratif Kampung Ciptagelar berada di wilayah Desa
Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi (Noviandi 2014) dan
terletak pada ketinggian 1050 meter di atas permukaan laut yang dikelilingi
Gunung Surandil, Gunung Karancang, dan Gunung Kendeng.
Kampung Ciptagelar termasuk bagian dari wilayah Resort Gunung Bodas
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang mempunyai topografi
bergelombang, berbukit-bukit dan bergunung dengan kemiringan lereng berkisar
antara 25 – 45%. Wilayah Resort Gunung Bodas secara umum memiliki tipe iklim
B menurut Schmidt dan Ferguson, dengan perbandingan jumlah rata-rata bulan
kering dan basah adalah 24.7. Suhu rata-rata bulanan di kawasan ini adalah 31.8
o
C dengan suhu terendah 19.7 oC dan suhu tertinggi 33oC. Kelembaban udara ratarata 88% dengan rata-rata curah hujan yaitu 4 000 – 6 000 mm/tahun. Jenis tanah
termasuk ke dalam tipe asosiasi latosol coklat, kekuning-kuningan, latosol coklat
kemerahan dan latosol merah dengan jenis batuan merupakan jenis batuan
vulkanik.
Lokasi kampung berada dalam kawasan TNGHS sehingga jenis satwa liar di
sekitar kampung Kasepuhan Ciptagelar tidak jauh berbeda dengan satwa liar yang
tersebar dalam taman nasional tersebut, seperti macan tutul jawa (Panthera
pardus melas), owa jawa (Hylobatesh moloch), kucing hutan (Prionailurus
bengalensis), lutung (Trachypithecus auratus) dan surili (Prebytis comata),
termasuk 61 spesies mamalia, 244 spesies burung, 27 spesies amfibi, 50 spesies
reptilia, dan 26 spesies capung yang juga dapat ditemukan di TNGHS (TNGHS
2013). Flora dalam Kampung Ciptagelar diantaranya jawer kotok (Plectranthus
scutella), seureuh (Piper betle), antanan (Centella asiatica), huru meuhmal
(Actinodaphne glomerata), kukuk (Lagenaria leucantha) dan beberapa jenis
tumbuhan berkhasiat obat lainnya (Noviandi 2014).
Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar yang menetap di Kampung
Ciptagelar terdiri dari penduduk asli (warga Kasepuhan) dan pendatang. Jumlah
penduduk di Kampung Ciptagelar berdasarkan sensus Desa Sirnaresmi tahun 2014
adalah sebanyak 461 orang dan 120 kepala keluarga. Tingkat pendidikan
penduduk umumnya Sekolah Dasar (SD). Mata pencaharian penduduk yang
utama adalah petani.

5
Pemanfaatan Satwa oleh Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar
Jenis-jenis satwa yang dimanfaatkan dan status konservasinya
Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar memanfaatkan 72 jenis satwa dari
53 famili dan 11 kelas yang meliputi 35 jenis satwa liar, 22 jenis hewan
terdomestikasi (12 hewan ternak dan 10 hewan peliharaan bukan ternak atau pet)
serta 15 invertebrata (Lampiran 1). Status konservasi jenis satwa yang
dimanfaatkan berbeda-beda berdasarkan redlist IUCN (International Union for
Conservation of Nature and Natural Resources), Apendiks CITES (Convention on
International Trade in Endangered Species) dan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia (PP) Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan
satwa (Tabel 2).
Tabel 2 Daftar satwa yang dimanfaatkan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar
dan status konservasinya
No. Kategori ∑
kelas
jenis

%

Jumlah jenis satwa berdasarkan status konservasi
PP No.
IUCN
CITES
7/1999
Tt Dd Lc Nt Vu En Cr Ex Na I II III Tl L

A. Satwa liar
1. Mamalia
15 20.8
2
7
2. Reptilia
5
6.9
2
2
3. Amfibia
2
2.8
2
4. Aves
3
4.2
1
2
5. Actinoptery
10 13.9
5 1
4
gii
Total
35 48.6 10 1 17
B. Hewan terdomestikasi
Hewan ternak
1. Mamalia
3
4.2
3
2. Aves
3
4.2
2
1
3. Actinoptery
6
8.3
3
1
gii
Total
12 16.7
8 0
2
Hewan peliharaan bukan ternak (pet)
1. Mamalia
3
4.2
2
1
2. Aves
7
9.7
1
6
Total
10 13.9
3 0
7
C. Invertebrata
1. Insecta
7
9.7
7
2. Arachnida
2
2.8
2
3. Gastropoda
2
2.8
2
4. Clitellata
2
2.8
2
5. Chilopoda
1
1.4
1
6. Diplopoda
1
1.4
1
Total
15 20.8 15 0
0

-

2
1
-

1
-

2
-

1
-

7
4
2
3

3
-

4
1
-

1
-

11
5
2
3

-

-

-

-

- 10 - -

-

10 -

0

3

1

2

1 26 3 5

1

31 4

-

-

-

-

-

3 - 2 - -

1

3 3 -

1

1

-

-

-

6 - -

-

6 -

1

1

0

0

0 11 0 0

1

12 0

0

0

0

0

- 3 - - 7 - 0 10 0 0

0

3 7 10 0

0

0

0

0

- 7
- 2
- 2
- 2
- 1
- 1
0 15

0

7
2
2
2
1
1
15

0

0

4
-

0

Keterangan: Tt: Tidak Tercantum; Dd: Data Decifient; Lc: Least Concern; Nt: Near Threatened;
Vu: Vulnureable; En: Endangered; Cr: Critically Endangered; Ex: Extinct; Na: Non
Apendiks CITES; I: Apendikz I CITES; II: Apendiks II CITES; III: Apendiks; PP No.
7/1999: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999; Tl: Tidak
dilindungi; L: Dilindungi.

6
Jumlah jenis satwa yang dimanfaatkan, terbanyak berasal dari satwa liar
(48.6%) dibandingkan hewan terdomestikasi (30.6%) dan invertebrata (20.8%;
Tabel 2). Letak Kampung Ciptagelar yang berada di dalam kawasan TNGHS
menyebabkan keanekaragaman satwa liar di sekitar kampung hampir sama dengan
keanekaragaman satwa liar dalam TNGHS yang tergolong cukup tinggi yakni 61
jenis spesies mamalia, 244 spesies burung, 27 spesies amfibi, 50 spesies reptilia,
dan 26 spesies capung (TNGHS 2013). Penyebaran satwa liar hampir merata di
seluruh kawasan TNGHS, membuka peluang masyarakat untuk bertemu berbagai
jenis satwa liar dalam lingkungan kampung.
Satwa liar yang dimanfaatkan meliputi 15 mamalia, 5 reptilia, 2 amfibia, 3
aves, dan 10 actinopterygii (Tabel 2). Hewan terdomestikasi meliputi 12 hewan
ternak terdiri dari 3 mamalia, 3 aves serta 6 actinopterygii dan 10 pet yang terdiri
dari 3 mamalia dan 7 aves. Invertebrata yang dimanfaatkan mencakup 7 insecta,
masing-masing 2 jenis dari kelas arachnida, gastropoda, clitelata, serta masingmasing 1 jenis dari kelas chilopoda dan diplopoda. Mayoritas satwa yang
dimanfaatkan pada ketiga kategori beresiko rendah dalam kepunahan ataupun
tidak dilindungi. Berdasarkan status kepunahan IUCN, 26 jenis termasuk beresiko
rendah atau Least Concern (17 jenis satwa liar, 2 hewan ternak dan 7 jenis pet)
sementara 35 jenis lainnya tidak terdaftar dalam IUCN (10 jenis satwa liar, 8 jenis
hewan ternak, 3 pet, dan 15 invertebrata). Diketahui 62 jenis dari ketiga kategori
satwa (26 jenis satwa liar, 11 jenis hewan ternak, 10 pet, dan 15 invertebrata)
tidak terdaftar dalam Apendiks CITES sehingga tidak terdapat peraturan
perdagangan internasional yang mengikat jenis tersebut atau dengan kata lain
bebas untuk diperdagangkan. Sebanyak 68 jenis satwa yang dimanfaatkan (31
jenis satwa liar, 12 jenis hewan ternak, 10 pet, dan 15 invertebrata) tidak
dilindungi oleh PP Nomor 7 tahun 1999. Masih ditemukan beberapa jenis satwa
yang dimanfaatkan dilindungi atau terancam punah meliputi: 1) jenis yang
berpeluang tinggi mengalami kepunahan menurut IUCN yakni 3 jenis rentan
punah (VU), 1 jenis terancam punah (EN), 2 jenis kritis (CR), dan 1 jenis telah
dinyatakan punah (EX); 2) jenis yang diatur ketentuan perdagangan
internasionalnya oleh CITES akibat kondisi populasinya yang rentan yakni 3 jenis
Apendiks I, 5 jenis Apendiks II, dan 1 jenis Apendiks III; serta 3) 4 jenis yang
tergolong dilindungi oleh PP Nomor 7 Tahun 1999 dan berlaku hanya di Negara
Indonesia. Jenis satwa yang dilindungi dan terancam punah tersebut umumnya
berasal dari kategori satwa liar seperti Manis javanica, Nycticebus javanicus,
Hylobatesh moloch, Panthera tigris sondaica, Trachypithecus auratus, Aonyx
cinerea, Amyda cartilaginea, dan Muntiacus muntjak (Lampiran 1).
Bentuk pemanfaatan satwa dan pengolahannya
Satwa dimanfaatkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan bahan
pangan, ritual dan hajatan, komoditas perdagangan, bahan dan media perantara
dalam kesenian dan hiburan, untuk kegiatan pertanian, sebagai bahan obat-obatan,
dan mitos (Tabel 3). Jumlah jenis satwa yang digunakan untuk obat (47%), bahan
pangan (38%) dan mitos (33%) lebih banyak dibandingkan untuk ritual dan
hajatan, sebagai komoditas perdagangan, media kesenian dan hiburan, ataupun
kegiatan pertanian yang hanya berkisar 6% – 11%. Jenis satwa untuk ritual dan
hajatan sebelumnya telah ditetapkan oleh adat, sementara jenis satwa untuk
komoditas perdagangan, media kesenian dan hiburan, serta kegiatan pertanian

7
cenderung karena kebiasaan tradisi dikalangan masyarakat Kasepuhan.
Pemanfaatan satwa sebagai obat dan bahan pangan selain dari tradisi adat juga
berasal dari pengalaman trial and error penggunannya sehingga memungkinkan
masyarakat untuk memanfaatkan lebih banyak jenis satwa. Komposisi jenis satwa
yang dimanfaatkan tiap kelasnya berbeda-beda sesuai dengan kelompok
pemanfaatannya. Hanya 1 – 2 kelas satwa diantaranya yang terlihat mendominasi
pada kelompok pemanfaatan tertentu (Tabel 4).
Tabel 3 Jumlah satwa yang dimanfaatkan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar
berdasarkan kelompok pemanfaatan
Satwa yang digunakan
(%)
No.
Kelompok pemanfaatan satwa
Spesies Famili Kelas
(1)
(2)
(3)
1 Satwa untuk bahan pangan (27 jenis)
38
34
45
2 Satwa untuk ritual dan hajatan (7 jenis)
10
9
27
3 Satwa yang memiliki mitos (24 jenis)
33
32
36
4 Satwa komoditas perdagangan (8 jenis)
11
9
27
5 Satwa untuk kegiatan pertanian (4 jenis)
6
4
9
Satwa sebagai media kesenian dan hiburan
6
8
8
27
(6 jenis)
7 Satwa berkhasiat obat
47
60
100
Keterangan: (1): Persentase jumlah jenis satwa tiap kelompok pemanfaatan terhadap 72 total jenis
satwa yang dimanfaatkan; (2): Persentase jumlah famili satwa tiap kelompok
pemanfaatan terhadap 53 total famili satwa yang dimanfaatkan; (3): Persentase jumlah
kelas satwa tiap kelompok pemanfaatan terhadap 11 total kelas satwa yang
dimanfaatkan; total persentase lebih dari 100% karena ada jenis satwa yang sama yang
digunakan untuk lebih dari satu pemanfaatan.

Tabel 4

Persentase jenis satwa berdasarkan kelasnya pada tiap kelompok
pemanfaatan
Kelompok pemanfaatan satwa (%)
No. Kelas satwa
A
B
C
D
E
F
G
1. Mamalia
18.5
57.1 37.5
38.0
33.0
100.0
58.0
2. Reptilia
0.0
0.0
0.0
12.0
0.0
0.0
4.2
3. Amfibia
0.0
0.0
0.0
5.9
0.0
0.0
0.0
4. Aves
11.1
28.6 25.0
8.8
17.0
0.0
17.0
5. Actinopterygii
59.3
14.3 37.5
5.9
50.0
0.0
0.0
6. Insecta
7.4
0.0
0.0
8.8
0.0
0.0
21.0
7. Arachnida
0.0
0.0
0.0
5.9
0.0
0.0
0.0
8. Gastropoda
3.7
0.0
0.0
2.9
0.0
0.0
0.0
9. Clitellata
0.0
0.0
0.0
5.9
0.0
0.0
0.0
10. Chilopoda
0.0
0.0
0.0
2.9
0.0
0.0
0.0
11. Diplopoda
0.0
0.0
0.0
2.9
0.0
0.0
0.0
Total
100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
100.0
100.0

Keterangan: A: Satwa untuk bahan pangan (27 jenis); B: Satwa untuk ritual dan hajatan (7 jenis);
C: Satwa sebagai komoditas perdagangan (8 jenis); D: Satwa berkhasiat obat (34
jenis); E: Satwa sebagai media kesenian dan hiburan (6 jenis); F: Satwa untuk
kegiatan pertanian (4 jenis); G: Satwa yang memiliki nilai makna (24 jenis)

8
Satwa sebagai bahan pangan masyarakat berjumlah 27 jenis dengan jenisjenis actinopterygii mendominasi dibandingkan kelas lainnya sebesar 59.3%
(Tabel 4). Kelas ini meliputi 10 famili yaitu Channidae, Scombridae, Menidae,
Trichiuridae, Cyrprinidae, Cichlidae, Poeciliidae, Clariidae, Oshronemidae dan
Synbranchiformes. Jenis-jenis actinopterygii yang dimanfaatkan diperoleh dari
„balong’ atau kolam ikan (Cyprinus carpio, Carassius auratus, Oreochromis
mossambicus, Oreochromis niloticus, Poecilia reticulate, Clarias sp,),
persawahan (Monopterus albus danXiphophorus heller), sungai sekitar kampung
(Channa gachua, Rasbora argyrotaenia, Puntius binotatus, dan Trichogaster sp.)
dan Pasar Pelabuhan Ratu (Euthynnus affinis, Rastrelliger sp., Mene maculate
serta Trichiurus lepturus) (Lampiran 1). Bagian satwa yang dikonsumsi adalah
daging. Konsumsi daging hewan ternak lebih diperuntukkan untuk hidangan ritual
dan hajatan sementara konsumsi daging satwa liar bersifat kondisional.
Masyarakat sehari-hari lebih memilih mengonsumsi olahan telur dari Gallus sp.,
serta berbagai jenis actinopterygii yang diolah menjadi ikan asin ataupun ikan
goreng.
Satwa yang digunakan dalam ritual dan hajatan berjumlah 7 jenis yang
didominasi oleh mamalia (57.1%; Tabel 4). Satwa tersebut dimanfaatkan untuk
ritual „ngaseuk’, ‘mipit’, ‘nganyaran’, ‘sedekah mulud’, ‘sedekah ruah’, ‘seren
taun’, ‘rasulan’ dan tradisi „hurip’ serta hajatan, dengan aspek pertanian paling
menonjol dibanding lainnya (Tabel 5).
Tabel 5 Jenis ritual dan hajatan dalam masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar
No. Jenis ritual
Keterangan
dan hajatan
Ritual adat
1. Ngaseuk
Ritual memohon kelancaran saat awal masa tanam padi yang
disimbolkan dengan prosesi menanam benih padi
2. Mipit
Ritual potong padi ketika panen padi pertama kali
3. Nganyaran
Ritual prosesi mencicipi padi hasil panen pertama kali
(dimulai dari proses menumbuk padi, dimasak ditungku,
hingga dinikmati)
4. Sedekah
Ritual perayaan bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW
mulud
5. Sedekah ruah Ritual perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW
6. Seren taun
Perayaan syukuran setelah „ponggokan’ (waktu untuk
mengembalikan segala sesuatunya kepada ketua adat
termasuk mengistirahatkan lahan yang menurut Hanafi et al.
(2004) selama 21 hari) atas hasil panen selama 1 tahun
7. Rasulan
Syukuran atas terlaksananya seluruh kegiatan dan
merupakan waktu pengembalian apa yang diserahkan ketika
‟ponggokan’ dari ketua adat kepada masyarakat
8. Hurip
Tradisi meminta restu untuk suatu keperluan ataupun tradisi
memberikan ayam kampung (Gallus sp.) sebagai tanda
terima kasih.
Hajatan
1. Nikahan
Perayaan nikahan
2. Khitanan
Sunatan

9
Ketujuh satwa tersebut digunakan sebagai pelengkap hidangan syukuran
setelah ritual maupun hajatan ataupun sebagai pengganti syarat ritual, kecuali
kijang (Muntiacus muntjak) dan ayam kampung (Gallus sp.). Kijang
diperuntukkan sebagai syarat ritual „ngaseuk’, ‘mipit’ dan „nganyaran’, sementara
ayam kampung diperuntukkan sebagai syarat sahnya seluruh ritual adat termasuk
hajatan (Tabel 6).
Tabel 6 Daftar jenis satwa yang digunakan dalam ritual dan hajatan
Jenis ritual dan hajatan
No. Kelas
Nama ilmiah
Famili
dan jenis
Ritual adat
Hajatan
Mamalia
1. Kijang
Muntiacus
Cervidae
NS, MP, NY
muntjak
2. Kerbau
Bubalus bubalis
Bovidae
NS, MP, NY, ST NK, KT
3. Kambing Capra hircus
Bovidae
NS, MP,NY, ST
NK, KT
domestica
4. Domba
Ovis aries
Bovidae
NS, MP,NY, ST
NK, KT
domestica
Aves
1. Ayam
Gallus sp.
Phasianidae NS, MP. NY, ST, NK, KT
kampung
SM, SR, RS, HP
2. Entok
Cairina moschata Anatidae
NK, KT
Actinopterygii
1. Mas
Cyprinus carpio
Cyrprinidae
NK, KT
Keterangan: NS: Ngaseuk; MP: Mipit; NY: Nganyaran; ST: Seren Taun; SM: Sedekah Mulud,
SR: Sedekah Ruah; HP: Hurip; NK: Nikahan; KT: Khitanan

Pengolahan satwa dilakukan melalui tahapan persiapan (alat, sumberdaya
manusia, perizinan, pemberian modal), perburuan (hanya pada kijang),
penyembelihan, pengasapan (pada kijang hasil buruan yang diperoleh beberapa
hari sebelum ritual) dan pengolahan daging satwa untuk dimasak menjadi
hidangan. Penyembelihan kijang, kerbau, kambing, domba dan ayam kampung
untuk keperluan ritual, hajatan, dan bahan pangan diatur dalam tata cara adat.
Kijang diburu oleh „paninggaran’ (pemburu) selama 4 hari hanya pada 3 jenis
ritual berbeda („ngaseuk’, ‘mipit’, dan „nganyaran’) selama setahun sekali.
Perizinan kepada „sesepuh girang’ (ketua adat) dilakukan sebelum berburu untuk
memohon kelancaran dan keselamatan selama perburuan bermodalkan panglay
(Zingiber purpureum), air dan kemenyan (Styrax benzoin). Persiapan mencakup
alat berburu yaitu „bedil cuplis’ (senapan manual), bubuk mesiu, „laher’ (peluru),
tombak, golok, dan „pananggung’ (tongkat untuk membawa hasil buruan) dan
persiapan anggota sekitar 20 orang (sukarelawan dan anggota „paninggaran’)
didampingi sejumlah anjing untuk mengendus dan melacak jejak kijang yang
biasanya ditemukan di sekitar hutan, ladang, persawahan, dan tak jarang lari ke
pemukiman masyarakat. Kijang digiring hingga terkepung dari berbagai arah dan
dimatikan dengan cara menyembelih bagian leher menggunakan golok. Hasil
buruan digotong dengan „pananggung’ untuk dibawa menghadap ketua adat yang
kemudian akan di’sawer’ dengan beras, kunyit (Curcuma domestica), permen,
dan uang. Pengasapan dilakukan jika hasil buruan diperoleh beberapa hari

10
sebelum hari ritual tiba. Kijang selanjutnya dikuliti dan diolah dagingnya menjadi
hidangan syukuran setelah ritual.
Proses penyembelihan kerbau dilakukan dengan tata cara adat agar sah
sebelum digunakan. Modal yang didapat dari ‘sesepuh girang’ untuk
penyembelihan kerbau berupa getah dari pohon tenjo (Anisoptera costata Korth),
panglay, air dan kemenyan pada penyembelihan kerbau. Peralatan yang digunakan
mencakup patok kayu, golok, tali tambang, dan batang pisang sebagai bantalan.
Kerbau dibaringkan dengan kepala menghadap ke selatan dan beralaskan batang
pisang. Kemenyan, tenjo, dan panglay dibakar kemudian dibawa mengelilingi
kerbau. Leher kerbau dibilas dengan air sebelum disembelih. Beberapa bagian
disisit sedikit (di„windu’) yang mencakup ujung lidah, alis, kulit dekat tanduk,
kuping, kaki kanan bagian depan dan belakang, serta ujung ekor untuk kemudian
dikubur di dekat kepala kerbau. Prosesi „sakebo’ kemudian dilakukan sebagai
pertanda sahnya penyembelihan kerbau dengan cara menyisit bagian tubuh kerbau
secara lengkap mencakup: 1) bagian punuk, 2) belikat, 4) paha, 5) daging rusuk,
6) hati, 7) lidah, 8) tulang rusuk, 9) tulang punggung, 10) kaki depan, 11) darah,
12) limpa, 13) gigi, 14) paru-paru, 15) usus, 16) tulang kaki, 17) babat, dan 18)
bagian leher. Penyembelihan pada kambing dan domba dilakukan dengan tata cara
yang sama tanpa menggunakan getah tenjo.
Ayam kampung dimantrai dengan kemenyan dan panglay sebelum
disembelih. Cara menyembelih ayam kampung jantan berbeda dengan betina.
Pada ayam kampung jantan, penyembelih harus menempelkan kaki kanan ke atas
kaki kirinya ketika menyembelih, dan berlaku sebaliknya terhadap ayam kampung
betina. Hanya pada „rasulan’, kaki dan kepala ayam kampung perlu dicuci
sebelum menyembelih dengan tujuan menyucikan. Ayam yang digunakan pada
„rasulan’ adalah ayam kampung berbulu putih, berjengger merah dan berkaki
kuning atau yang dikenal dengan nama „ayam putih kuning‟ dan terdiri dari 9 ekor
jantan dan 1 ekor betina. Jika benar-benar tidak diperoleh ayam kampung, maka
dapat diganti dengan telurnya saja yang juga perlu disembelih sebelum digunakan
dalam ritual dan hajatan. Penggunaan ayam kampung hidup hanya diperuntukkan
pada tradisi „hurip’.
Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar percaya 24 spesies satwa di sekitar
lingkungan kampung mereka memiliki nilai makna dan sebagian besar merupakan
mamalia (58.3%; Tabel 4) mencakup Nycticebus javanicus, Trachypithecus
auratus, Canis lupus familiaris, Sus scrofa, Rattus sp., Muntiacus muntjak,
Bubalus bubalis, Capra hircus domesticus, Hylobatesh moloch, Hystrix javanica,
Manis javanica, Panthera tigris sondaica, Felis catus serta mamalia yang dijuluki
sebagai „lutung kumang‟ (Lampiran 3). Mitos yang beredar umumnya mengenai
cerita yang berkaitan dengan satwa (37.5%; Tabel 7) meliputi: 1) asal muasal
keberadaan satwa itu sendiri, seperti keberadaan Panthera tigris sondaica sebagai
jelmaan Siliwangi yang menjaga hutan, Trachypithecus auratus dianggap jelmaan
pangeran yang menurunkan padi dari khayangan, „lutung kumang‟ yang dipercaya
sebagai asal muasal lutung menjadi macan, dan asal muasal penggunaan
Muntiacus muntjak untuk ritual; 2) perilaku satwa, seperti lolongan Hylobates
moloch ketika musim kemarau untuk meminta air hujan, dongeng asal muasal
perilaku Sus scrofa dan Rattus sp yang mengganggu padi hasil panen ataupun
kebiasan Hystrix javanica yang memakan 40 rupa makanan dalam satu malam;
serta 3) morfologi satwa tersebut, yakni anggapan bahwa Manis javanica

11
merupakan sejenis ikan yang hidup di darat karena memiliki sisik di tubuhnya.
Informasi seperti ini dinilai Firmansyah (2009) sebagai hasil imajinasi konstruktif
dimana mitos menjadi bagian dari sistem pengetahuan dan kepercayaan
masyarakat. Misalnya pengetahuan masyarakat untuk menangkal petaka dari
keberadaan satwa sebagai petanda buruk melalui „jangjawokan’ (cara
menyampaikan izin dan tujuan kepada yang bersangkutan), „simpeneun’ (mantra
untuk diri sendiri), „bikeneun’ (mantra untuk orang lain) maupun „pakeun’
(mantra untuk diri sendiri dan orang lain).
Tabel 7 Jenis mitos terkait satwa yang dipercaya oleh masyarakat adat
Kasepuhan Ciptagelar
No.
Jenis mitos
Jumlah jenis
%
1 Pantangan
4
16.7
2 Pertanda baik
3
12.5
3 Pertanda buruk
7
29.2
4 Informasi atau cerita terkait satwa
9
37.5
5 Gejala alam
1
4.2
Total
24
100.0
Hewan ternak sebanyak 8 jenis berfungsi sebagai komoditas perdagangan
masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar yang terdiri dari 3 mamalia, 3
actinopterygii, dan 2 aves (Tabel 4). Harga jual masing-masing jenis berbedabeda. Domba, kambing dan kerbau dijual melalui tengkulak atau penampung
dengan harga berkisar antara Rp 1 000 000 – Rp 3 000 000 per ekor untuk
kambing dan domba, dan Rp 15 000 000 – Rp 20 000 000 per ekor untuk kerbau.
Hewan ternak kelas actinopterygii (Oreochromis niloticus, O. mossambicus, dan
Cyprinus carpio) dan aves (Cairina moschata dan Gallus sp.) dijual kepada
tetangga sekitar dengan kisaran harga kurang dari Rp 100 000 per kilogram untuk
jenis-jenis actinopterygii dan lebih dari Rp 100 000 per ekor untuk jenis aves.
Perdagangan satwa antar tetangga selain diperuntukkan sebagai penghasilan
tambahan, juga untuk membantu ketersediaan hewan ternak untuk ritual dan
hajatan, khususnya Gallus sp.
Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar memanfaatkan 4 jenis mamalia
(Tabel 4) untuk membantu kegiatan pertanian. Feses Capra hircus domesticus
(kambing), dan Ovis aries domestica (domba) dapat digunakan sebagai pupuk.
Kerbau (Bubalus bubalis) mempunyai posisi penting dalam pertanian masyarakat
untuk membajak sawah, disamping kulitnya sebagai bahan dalam pembuatan
kapak atau „perdah’ (kulit kering yang telah dijemur semalaman dianyam dengan
tali tambang pada batang „perdah’) dan kotorannya untuk pupuk tanaman.
Beberapa individu menjadikan kerbau sebagai mata pencaharian cara
menyewakan satwa ini untuk membajak sawah mulai pukul 08.00 - 12.00 WIB
dengan tarif Rp 250 000. Anjing (Canis lupus familiaris) digunakan untuk
menghalau gangguan babi hutan (Sus scrofa) yang merusak tanaman pertanian
dan perkebunan. Gongongan anjing bersama suara senapan „paninggaran’ dirasa
masyarakat cukup untuk menghalau hama ini tanpa bermaksud membunuhnya.
Walau demikian, masyarakat masih mengeluhkan gangguan tersebut sehingga
perburuan di sekitar area pertanian dipandang sebagai pilihan yang efektif.

12
Sebaliknya, di sisi taman nasional perburuan tersebut dikhawatirkan berdampak
pada keseimbangan populasi babi hutan di alam.
Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar menggunakan 6 jenis hewan ternak
untuk media kesenian dan hiburan yang terdiri dari 1 aves, 2 mamalia, dan 3
actinopterygii (Tabel 4). Bagian tubuh jenis-jenis tersebut digunakan sebagai
bahan untuk alat musik, hiasan, maupun media perantara dalam acara hiburan
(Tabel 8).
Tabel 8 Daftar jenis hewan ternak untuk kesenian dan hiburan masyarakat adat
Kasepuhan Ciptagelar
No. Kelas
Bagian yang
Nama ilmiah
Famili
dan jenis
digunakan/manfaat
Mamalia
1. Kambing Capra hircus
Bovidae
1. kulit/ gendang, bedug
domesticus
2. tanduk/ hiasan dinding,
gagang golok, pipa rokok
2. Kerbau
Bubalus bubalis Bovidae
1. kulit/gendang, bedug
2. tanduk/ hiasan dinding,
gagang golok, pipa rokok
Aves
1. Ayam
Gallus sp.
Phasianidae
1. bulu/ penyeimbang anak
kampung
panah
2. seluruh tubuh/ hiburan
„mamacan’
Actinopterygii
1. Mas
Cyprinus carpio Cyrprinidae
seluruh tubuh/ hiburan
„seseroan’
2. Mujaer
O. mossambicus Cichlidae
seluruh tubuh/ hiburan
„seseroan’
3. Nila
O. niloticus
Cichlidae
seluruh tubuh/ hiburan
„seseroan’
Berbagai kesenian dan hiburan dalam masyarakat Kasepuhan hampir
seluruhnya menggunakan gendang, baik dalam pencak silat, wayang golek,
dogdog lojor, jaipongan, hingga debus. Bagian atas dan bawah gendang dibuat
dari kulit kambing dan kerbau. Kulit mentah satwa tersebut lebih dahulu dijemur
untuk dikeringkan, kemudian direndam dalam air selama satu malam agar
mempermudah pengerikan bulu. Kulit tanpa bulu itu kemudian dipasangkan pada
bagian atas dan bawah gendang. Gendang dimainkan untuk mengiringi seluruh
prosesi ritual adat sehingga seni ini memiliki posisi tersendiri dalam adat
masyarakat Kasepuhan yang diamanahkan pada bagian „tatabehan’ (bagian
kesenian). Sulismadi dan Sofwani (2011) mengatakan kebutuhan akan seni
mempunyai peranan yang amat penting untuk mencari kekuatan di luar dirinya
yang bersifat magis, sakral, dan religius. Dogdog lojor misalnya. Kehadiran
angklung dodog lojor bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar bukan semata-mata
karena untuk kepentingan pertunjukan seperti dalam paradigma Barat, tetapi lebih
dari itu. Angklung dimainkan sebagai salah satu media doa atau syukuran atas
hasil bumi dan keseimbangan alamnya (Budi et al. 2014).

13
Seni juga diterapkan pada peralatan seperti gagang golok dan pipa rokok
yang terbuat dari tanduk kambing dan kerbau. Potongan tanduk dari kepala
kambing atau kerbau diambil bagian ujungnya, diamplas bagian permukaan
tanduk hingga halus, bagian dalam tanduk dilubangi dengan bor, kemudian
ditancapkan bilah pisau pada bagian tersebut sementara tanduk yang tersisa dapat
dibuat sebagai hiasan pada penutup golok. Hiasan kepala kambing dibuat dengan
cara mengamplas permukaan tanduk kambing kering dan merekatkannya pada
bagian atas kepala kambing tiruan yang terbuat dari kayu. Beberapa individu
memanfaatkan bulu ayam sebagai penyeimbang pada pangkal anak panah yang
lebih bersifat hobi dan tidak digunakan dalam perburuan satwa. Hiburan lain yang
ditemui dalam hajatan adalah „seseroan’ dimana pemain yang kerasukan dan
memakan ikan mas, mujair, dan nila dalam keadaan hidup sementara pada
„mamacan’ pemain akan berperilaku layaknya macan dan memakan ayam
kampung hidup.
Satwa yang dipercaya masyarakat memiliki khasiat obat sebanyak 34 jenis
yang didominasi oleh mamalia (38%; Tabel 4), meliputi Macaca fascicularis, Mus
mulucus, Hystrix javanica, Marmota sp. Pteropus sp., Manis javanica, Nycticebus
javanica, Aonyx cinerea dan Lepus nigricolis, Capra hircus domestica, Bubalus
bubalis, dan Muntiacus muntjak.(Lampiran 2). Masyarakat memanfaatkan seluruh
bagian tubuh 14 jenis satwa berkhasiat obat (Gambar 1) dan umumnya adalah
jenis-jenis berukuran kecil, seperti Mus mulucus, Oridozyga sp., Eutropis
multifasciata, Hemidactylus sp., Takydromus sexlineatus, dan invertebrata
(Blatella sp., Oxya sp., laba-laba, kelabang, Metaphire longa, Pheretima
aspergillum, Scolopendra sp., Spirostreptus sp.). Masyarakat juga memanfaatkan
bagian satwa lainnya yakni daging (6 spesies), darah (4 spesies), cairan tubuh (3
spesies), empedu (2 spesies) dan hanya 1 spesies untuk telur dan tembolok, otak,
„podot’, madu, janin, kulit, lidah, gigi, sisik, feses dan hati untuk bahan obat.
Istilah „podot’ merupakan sebutan untuk sisa-sisa makanan dalam usus landak
(Hystrix javanica) yang belum menjadi feses. Bagian ini dipercaya mengandung
40 rupa makanan bermanfaat untuk obat pemulih bagi ibu pasca melahirkan
(Gambar 2). Oleh „indung berang’ (bidan persalinan), sang ibu pasca melahirkan
diberikan „pepeh’ (ramuan basah) yang terbuat dari campuran jahe (Zingiber
officinale), sereuh (Cinnamomum parthenoxylon), kunyit (Curcuma domestica)
dan rempah-rempah lain untuk membersihkan tubuh bagian dalam. Tiga sampai
tujuh hari kemudian, ibu diberikan campuran beras ketan hitam dan „podot’
landak yang disangrai. Selepas itu, „podot’ landak akan diolah sebagai dodol jahe
dalam takaran kecil yang dikonsumsi tiga kali sehari didampingi minuman air
sembung (Blumea balsamifera), daun sereuh dan jawer kotok (Plectranthus
scutellaroides) hingga kesehatan ibu pulih kembali. Berbeda dengan 14 bagian
tubuh satwa berkhasiat obat lainnya yang langsung digunakan tanpa diolah.
Bagian tersebut misalnya darah Marmota sp. diminum mentah untuk obat asma,
lendir dari ekor Achantina fulica yang langsung dioleskan pada luka luar, ataupun
empedu Bubalis bubalus ditelan mentah untuk antibodi bagi tubuh pengguna,
sedangkan 12 bagian lainnya dibakar terlebih dahulu (Gambar 3). Cara
pengolahan disesuaikan dengan selera penggunanya. Sebagian masyarakat lebih
suka mengonsumsi otak Macaca fasicularis mentah untuk obat pernapasan,
sementara lainnya lebih memilih untuk dimasak terlebih dahulu. Beberapa bagian
membutuhkan waktu cukup lama dalam proses pengolahannya, seperti pembuatan

14

Jumlah jenis

arak dari janin Muntiacus muntjak yang disimpan selama setahun sebagai
antibodi. Selain itu, obat „cimande’ untuk patah tulang dibuat dari campuran
kelabang dan kalajengking yang sudah dibakar dan kemudian direndam bersama
air santan kelapa hjau dan minyak wijen, perlu disimpan di bawah tanaman pisang
mas (Musa acuminata) selama setahun sebelum digunakan. Dengan kata lain, cara
dan lama pengolahan juga menyesuaikan kategori penyakit yang ingin
disembuhkan.
16
14
12
10
8
6
4
2
0

14

6
4

3
1

1

1

1

1

1

2

1

1

1

1

1

1

Sumber obat

Gambar 1 Jumlah jenis satwa berdasarkan bagian-bagian yang berkhasiat obat

Gambar 2 Podot landak (Hystrix javanica)

Cara
pengolahan

Direbus
Disangrai
Direndam dalam air
Dikeringkan terlebih dahulu
Dibakar terlebih dahulu
Dibuat dodol jahe
Dibuat arak
Tanpa diolah (mentah)
Diolah bebas

2
1
2
2
12
1
1
14
5
0

5

10

15

Jumlah jenis

Gambar 3 Jumlah jenis satwa berdasarkan cara pengolahan bagian-bagian tubuh
yang berkhasiat obat

15
Masyarakat percaya 34 jenis satwa tersebut dapat mengobati sekitar 60
penyakit yang dikelompokkan ke dalam 21 kategori (Tabel 9). Penggunaan satwa
lebih beragam jenisnya untuk mengobati gangguan saluran pernapasan (18%)
meliputi Macaca fascicularis, Marmota sp., Pteropus sp., Aonyx cinerea,
Hemidatylus sp, dan Blatella sp. (Tabel 9). Satu jenis satwa dapat digunakan
untuk mengobati lebih dari satu penyakit. Monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis) misalnya. Selain untuk mengobati gangguan pernapasan, monyet
ekor panjang juga digunakan untuk mengobati penyakit kulit berupa gatal, koreng,
kaki pecah-pecah, dan eksim basah. Penyakit kulit ini merupakan kategori
penyakit terbanyak kedua (15%) setelah kategori penyakit pernapasan yang
diobati dengan 5 jenis satwa meliputi monyet ekor panjang itu sendiri, Muntiacus
muntjak, Manis javanica, Eutropis multifasciata, dan Takydromus sexlineus.
Pemanfaatan satwa untuk obat didasarkan pada ajaran leluhur yang perlu
dilakukan uji klinis agar dapat diketahui kebenaran khasiat kandungan zat-zat
dalam tubuh satwa sebagai obat.
Tabel 9 Jumlah jenis satwa yang dimanfaatkan berdasarkan kategori penyakit
No.
Kategori penyakit
Jumlah bagian tubuh
%
1 Gangguan saluran dan organ pencernaan
4
12
2 Penyakit kulit
5
15
3 Stamina
4
12
4 Gangguan saluran pernapasan
6
18
5 Penyakit disebabkan oleh bakteri
4
12
6 Antibodi
3
8.8
7 Penyakit mata
3
8.8
8 Kecerdasan
1
2.9
9 Penghangat tubuh
3
8.8
10 Masalah pendengaran
1
2.9
11 Gangguan tekanan darah
1
2.9
12 Perawatan kehamilan dan persalinan
1
2.9
13 Penyakit jantung
1
2.9
14 Kesehatan gigi
1
2.9
15 Gangguan otot dan persendian
4
12
16 Kecantikan
1
2.9
17 Kesehatan anak
2
5.9
18 Cedera (luka, memar, patah tulang)
2
5.9
19 Panas demam
4
12
20 Gangguan gizi
1
2.9
21 Gangguan tenggorokan
1
2.9
Keterangan: %: Persentase jumlah jenis dalam tiap kategori penyakit terhadap 34 total jenis satwa
yang dipercaya berkhasiat obat dan total persentase lebih dari 100% karena ada jenis
satwa yang digunakan untuk lebih dari satu kategori penyakit.

Ketentuan adat terkait pemanfaatan dan pengelolaan satwa
Ketentuan adat terkait pemanfaatan dan pengelolaan satwa terangkum dalam
aturan adat (Lampiran 4) dan bersandar pada „tatali paranti karuhun’ yang
diartikan Hanafi et al. (2004) sebagai mengikuti, mentaati serta mematuhi
tuntutan rahasia hidup yang merupakan landasan moral dan etik seperti yang
dilakukan para „karuhun’ (leluhur). Beberapa diantaranya sejalan dengan prinsip

16
konservasi seperti pembagian zonasi hutan, adanya pengorganisasian sumberdaya
manusia dalam pengelolaan satwa, hingga sistem sanksi bagi pelanggar.
Pembagian kawasan „leuweng’ (hutan) masyarakat Kasepuhan Ciptagelar menjadi
„leuweng titipan’ (protected forest), ‘tutupan’ (conservation forest) dan „garapan’
(opened forest) menurut Kodir (2009) didasarkan pada intensitas pemanfaatan dan
perlindungannya. Aktivitas pemanfaatan satwa diarahkan pada „leuweng garapan’
sebagai batasan tempat satwa boleh dimanfaatkan sehingga di dalamnya banyak
ditemukan „balong’ (kolam ikan), ‘sampalan’ (tempat menggembalakan kerbau),
dan kandang ternak di „lembur’ (pemukiman). Sebaliknya, satwa dalam „leuweng
titipan’ dan „tutupan’ dilarang dimanfaatkan mengingat fungsi keduanya sebagai
lahan cadangan untuk masa mendatang dengan larangan masuk dan
memanfaatkan sumberdaya di dalamnya bagi pihak luar maupun masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar tanpa seizin „sesepuh girang’. Pembagian ini serupa
dengan konsep zonasi pemerintah yang diterapkan dalam TNGHS seperti zona
inti, zona rimba, dan zona pemanfaatan yang dipandang Hanafi et al. (2004)
sangat mungkin „lahir‟ sebagai respon adaptif terhadap konsep zonasi yang
disosialisasikan kepada mereka.
Sistem pembagian sumberdaya manusia yang mengelola satwa dalam
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar didasarkan pada tugas turunan leluhur dan
relatif serupa dengan pengembangan organisasi pengelolaan satwa liar yang
dipelajari oleh Anderson (1985) diacu dalam Alikodra (2010) dari personil, jalur
komando, dan hubungan masyarakat. Hubungan ketiganya terlihat dari peran
„sesepuh girang’ sebagai komando utama, „rorokan’ dan „baris kolot’ sebagai
perpanjangan tangan „sesepuh girang’ dan penanggung jawab, serta masyarakat
sendiri sebagai pelaksana, membuat pengelolaan satwa tidak sembarang dan dapat
dipantau sesuai porsi masing-masing peranan, diperkuat dengan sanksi berupa
‘kabendon’ (karma atau malapetaka) dari ‘karuhun’ kepada pelanggar.
Kepercayaan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar terhadap kehadiran sesuatu yang
gaib sangat kental, terutama pada kehadiran para „karuhun’-nya (Budi et al.
2014). Pantangan dan kepercayaan terhadap mitos beberapa jenis satwa secara
tidak langsung berfungsi untuk melindungi kehadiran satwa-satwa tersebut karena
membuat masyarakat lebih berhati-hati dan tidak sembarangan memasuki
habitatnya dalam hutan bahkan mengganggu keberadaan satwa itu. Menurut
Firmansyah (2009) penghormatan kepada gunung dan hutan sebagai ruang yang
diyakini mempertemukan dunia nyata dengan dunia gaib ternyata menciptakan
cara berperilaku yang tidak jauh berbeda dengan prinsip konservasi. Didukung
oleh adanya prinsip bahwa alam adalah pinjaman dari leluhur yang dianut oleh
masyarakat Kasepuhan. Menurut Ugi Suganda dan Mufachri Buchori seb