Optimasi ELISA Tidak Langsung Untuk Memeriksa Keberadaan Antibodi Anti Schistosoma japonicum

OPTIMASI ELISA TIDAK LANGSUNG UNTUK
MEMERIKSA KEBERADAAN ANTIBODI ANTI Schistosoma
japonicum

DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Optimasi ELISA
Tidak Langsung Untuk Memeriksa Keberadaan Antibodi Anti Schistosoma
japonicum adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana
pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2013
DG. Noor Syamimi binti Daud
NIM B04088013

ABSTRAK
DG NOOR SYAMIMI BINTI DAUD. Optimasi ELISA Tidak Langsung
Untuk Memeriksa Keberadaan Antibodi Anti Schistosoma japonicum. Dibimbing
oleh FADJAR SATRIJA dan SAMARANG
Schistosomiasis japonicum merupakan zoonosis yang endemik menyerang
manusia dan hewan di sekitar lembah Besoa, lembah Napu dan danau Lindu di
Sulawesi Tengah, Indonesia. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
adalah teknik serodiagnosis yang sederhana, sensitif dan mudah digunakan untuk
mendeteksi keberadaan antibodi pada penyakit parasitik. Penelitian ini bertujuan
menentukan pengenceran serum yang optimal untuk memeriksa keberadaan
antibodi anti Schistosoma japonicum pada manusia dengan pengujian ELISA
tidak langsung. Sebanyak 30 serum sampel digunakan dalam penelitian ini, yaitu
15 sampel positif dan 15 sampel negatif. Pengujian dilakukan dengan
membandingkan antara pengenceran 1:50 dan 1:100. Hasil penelitian
menunjukkan sensitivitas uji, spesifisitas uji dan tingkat akurasi pada pengenceran
1:50 lebih besar dibanding pada pengenceran 1:100 yaitu sebesar 80%, 86.7% dan

83.33%. Hasil menunjukkan bahwa optimasi ELISA tidak langsung yang baik
adalah pada pengenceran 1:50. Data hasil penelitian ini juga diharapkan dapat
melengkapi hasil penelitian di lapangan sebelumnya.
Kata kunci: ELISA, Optimasi, Schistosoma japonicum

ABSTRACT
DG NOOR SYAMIMI BINTI DAUD. Optimization of Indirect ELISA For
Detection Antibody Against Schistosoma japonicum. Supervised by FADJAR
SATRIJA and SAMARANG
Schistosomiasis japonicum was endemic zoonoses that infected human
and animals surrounding Besoa valley, Napu valley and Lindu lake in Central
Sulawesi, Indonesia. Enzyme Linked Immunosobent Assay (ELISA) was a simple,
sensitive, and rapid serodiagnostic technique, which had been widely used for
detection antibodies in parasitic diseases. The aim of this study was to determine
the optimal serum dilution for detection antibody against Schistosoma japonicum
using indirect ELISA. Thirty samples of human serum were used in this research,
which 15 samples of positive and 15 samples of negative. The test was compared
between 1:50 and 1:100 dilutions. The result showed that the sensitivity 80%,
specificity 86.7% and accuracy 83.33% were higher than the 1:100 dilution values.
This showed that the best indirect ELISA optimization was the 1:50 dilution. The

results were expected to be the complement of the previous study in the field.
Key words: ELISA, Optimization, Schistosoma japonicum

OPTIMASI ELISA TIDAK LANGSUNG UNTUK
MEMERIKSA KEBERADAAN ANTIBODI ANTI Schistosoma
japonicum

DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013


Judul Skripsi

:

Nama
NIM

:
:

Optimasi ELISA Tidak Langsung Untuk Memeriksa
Keberadaan Antibodi Anti Schistosoma japonicum
DG. Noor Syamimi Binti Daud
B04088013

Disetujui oleh

drh. Fadjar Satrija, MSc, Ph.D
Pembimbing I


Samarang, SKM, M.Si
Pembimbing II

Diketahui oleh

drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas izin dan segala
karuniaNya, sehingga skripsi berjudul Optimasi ELISA Tidak Langsung Untuk
Memeriksa Keberadaan Antibodi Anti Schistosoma japonicum ini berhasil
diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor (IPB).
Penghargaan dan ucapan terima kasih Penulis berikan kepada drh. Fadjar
Satrija, MSc, Ph.D selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang juga merupakan
Dosen Pembimbing Akademik dan Dr. drh. Sri Murtini, MSi atas segala perhatian,

kesabaran, waktu, saran dan kritik yang diberikan selama penelitian dan proses
penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga Penulis ucapkan kepada
Samarang, SKM, M.Si selaku Pembimbing Anggota atas saran yang telah
diberikan.
Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua
tercinta yaitu Daud bin Hj Yusof dan DG. Rosnah binti AG. Sulaiman, adik-adik
tersayang yaitu Mohd Amirul Izzuddin, DG. Noor Asyiqin, Mohd Nasrul
Naqiuddin dan Mohd Syahmi Khairuddin serta keluarga besar di Bongawan
Sabah Malaysia atas doa, cinta, kasih sayang, perhatian dan semangat yang telah
diberikan kepada Penulis selama penyusunan skripsi dan perkuliahan di IPB.
Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada sahabat tersayang DK
Farah Ana, Siti Nurhani dan Andi Nur Izzati yang banyak membantu dan
memberikan semangat selama proses penelitian dan penyusunan skripsi.
Semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada pembaca.

Bogor, November 2013
DG Noor Syamimi Binti Daud

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Schistosoma japonicum
Infeksi Schistosoma japonicum pada Manusia
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Metode Penelitian
Serum sampel
Inaktivasi serum
Prosedur penelitian
Prosedur analisis data
HASIL DAN PEMBAHASAN
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA


vi
vi
vi
1
1
1
2
2
2
2
4
5
5
5
5
5
5
6
7

10
10

RIWAYAT HIDUP

12

DAFTAR TABEL
1 Nilai cut off uji ELISA
2 Standarisasi (pengenceran 1:50) berdasarkan
hasil pemeriksaan feses
3 Standarisasi (pengenceran 1:100) berdasarkan
hasil pemeriksaan feses

7
8
9

DAFTAR GAMBAR
1 Siklus hidup Schistosoma sp.

2 Rataan nilai absorbansi pengujian ELISA pada
pengenceran 1:50
3 Rataan nilai absorbansi pengujian ELISA pada
pengenceran 1:100

3
7
8

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Schistosomiasis atau bilharziasis merupakan penyakit parasitik disebabkan
oleh cacing Trematoda yang dikenal sebagai cacing darah, menyerang beberapa
Negara sedang berkembang di Afrika, Amerika Selatan, Timur Tengah, Asia
Timur, dan Asia Tenggara termasuk Indonesia (Putrali et al. 1988). Tiga spesies
utama cacing yang mengakibatkan penyakit pada manusia adalah Schistosoma
haematobium, Schistosoma mansoni, dan Schistosoma japonicum (Gryseels et al.
2006).
Kasus schistosomiasis di Indonesia hanya ditemukan di daerah yang
sangat terpencil di Sulawesi Tengah, yaitu di lembah Napu, Besoa dan dataran

tinggi Lindu. Sapi, babi, anjing, kucing, kerbau, domba, rusa, kuda, tikus, dan
celurut merupakan hewan yang bisa menjadi inang reservoar (Hadidjaja 1982).
Sedangkan kasus pada manusia pertama kali dilaporkan oleh Tesch pada tahun
1937 di Desa Tomado (Muller dan Tesch 1937). Penelitian selanjutnya telah
menemukan penyebabnya, yaitu cacing Schistosoma japonicum. Inang
perantaranya baru ditemukan di daerah pesawahan pada tahun 1971 oleh
Hadidjaja dan Davis, yaitu siput yang diidentifikasi sebagai subspesies dari
Oncomelania hupensis dan diberi nama Oncomelania hupensis lindoensis (Davis
dan Carney 1973).
Schistosomiasis japonicum adalah zoonosis yang merupakan masalah
terhadap kesehatan masyarakat. Pada umumnya manusia yang terinfeksi
schistosomiasis adalah mereka yang mempunyai kebiasaan yang tidak terpisahkan
dari air (Tjitra 1994). Gejala klinis yang pernah ditemukan pada manusia adalah
tidak nafsu makan, demam, mual, disentri, pembengkakan limpa, pembengkakan
hati, ascites, urtikaria, dan melena (Hadidjaja 1982).
Pengujian dengan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dalam
diagnosis virus endemik dan penyakit parasit di negara berkembang sudah banyak
digunakan oleh Badan Kesehatan Dunia (Knapp et al. 1978). Teknik ELISA yang
dipakai pada penelitian ini adalah Indirect ELISA (ELISA tidak langsung) deteksi
antibodi. ELISA tidak langsung deteksi antibodi merupakan salah satu uji ELISA
yang paling banyak dipakai dalam serodiagnosis penyakit parasit untuk mengukur
adanya antibodi pada induk semang (Voller et al. 1978).

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menentukan pengenceran serum yang optimal untuk
memeriksa keberadaan antibodi anti Schistosoma japonicum dengan pengujian
ELISA tidak langsung.

2
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan menjadi
acuan dalam dunia kedokteran manusia maupun kedokteran hewan untuk
memeriksa keberadaan antibodi anti Schistosoma japonicum dengan pengujian
ELISA.

TINJAUAN PUSTAKA
Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
ELISA adalah suatu uji serologis yang didasarkan pada pemakaian antigen
dan antibodi yang dilabel dengan enzim sebagai konjugat secara immunologis dan
aktivitas enzimatis (Sanchez-vizcanio dan Alvares 1987). Pengujian ELISA
sangat baik digunakan untuk menetapkan diagnosa secara akurat karena memiliki
spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi. ELISA juga merupakan uji serologis yang
sederhana dan terpercaya dengan mekanisme yang mudah sehingga paling banyak
digunakan (Awad et al. 2009).
ELISA memiliki beberapa macam konfigurasi yaitu ELISA langsung,
ELISA tidak langsung, ELISA sandwich, ELISA penangkap antibodi, dan ELISA
kompetitif. Penggunaanya pula harus disesuaikan dengan kepentingan penelitian
yang dilakukan (Burgess 1995). Uji ini memiliki beberapa kelebihan, yaitu reagen
yang dipergunakan lebih tahan lama serta uji yang dipergunakan sangat beragam,
mulai dari uji yang paling sederhana hingga uji yang paling rumit (Voller dan
Bidwell 1986).
ELISA memiliki beberapa kegunaan. Salah satunya adalah untuk
mendeteksi antibodi di dalam serum sampel (Outteridge 1985). Penilaian terhadap
hasil pengujian ELISA dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif.
Penilaian kualitatif dapat dibaca dengan melihat perubahan warna yang terjadi
secara visual dan hasil dibedakan dari kontrol yang tidak berwarna (positif atau
negatif). Sementara penilaian secara kuantitatif dilakukan dengan membaca
perubahan warna yang terjadi menggunakan ELISA reader (Burgess 1995).
Schistosoma japonicum
Karakteristik Schistosoma japonicum
Berdasarkan morfologi dan anatomi, cacing Schistosoma dimasukkan
dalam kelas Trematoda karena bentuknya seperti daun dan sub kelas Digenea
karena berkembang dalam tubuh inang antara sebelum menjadi dewasa. Cacing
ini tergolong dalam super ordo Anepitheliocystidia, dari ordo Striglatoidea, sub
ordo Schistosotoidea, famili Schistosomatidae dan genus Schistosoma (Soulsby
1982). Cacing ini hidup dalam saluran pembuluh darah balik inang definitif
terutama di vena-vena mesenterika, memakan sel darah merah (eritrosit), memiliki
batil isap mulut (oral sucker) dan batil isap perut (ventral sucker). Batil isap mulut
berfungsi untuk melekat dan mengisap, sedangkan batil isap perut untuk melekat
dan memegang (Sudomo 1994).

3
Siklus hidup Schistosoma japonicum
Telur cacing Schistosoma japonicum dalam tinja manusia atau hewan akan
menetas di lingkungan yang berair, lalu mengeluarkan larva yang disebut
mirasidium. Masa hidup mirasidium sangat singkat. Mirasidium harus segera
menemukan inang antaranya yaitu siput Oncomelania sp. Mirasidium yang tidak
menemukan inang antaranya akan mati dalam waktu 12 jam. Mirasidium
berenang dengan bantuan silia sehingga berhasil mendapatkan spesies siput yang
cocok sebagai inang antaranya. Mirasidum yang berhasil menemukan inang antara
akan melakukan penetrasi kedalam tubuh siput dan melakukan perubahan bentuk
yang menyerupai kantung disebut sporokista. Sporokista akan memperbanyak diri
secara aseksual di dalam tubuh siput dan menghasilkan ratusan serkaria. Serkaria
lolos keluar dari siput, serkaria mampu menginfeksi manusia dan hewan yang
rentan. Serkaria berenang menggunakan ekornya di lingkungan berair sampai
menemukan inang definitif. Manusia atau hewan akan terinfeksi bila terjadi
kontak dengan air yang mengandung serkaria.
Serkaria selanjutnya masuk kedalam tubuh manusia melalui kulit. Pada
saat memasuki kulit manusia, serkaria melepaskan ekornya dan berubah menjadi
sistosomula (cacing muda). Cacing ini menembus jaringan memasuki pembuluh
darah lalu masuk kedalam jantung dan paru-paru serta masuk kedalam vena porta
di sekitar hati. Cacing dewasa dalam vena porta akan berpasangan, cacing betina
akan masuk kedalam celah/saluran (canalis ginecophoric) yang terdapat di
sepanjang tubuh cacing jantan. Pada akhirnya pasangan-pasangan cacing S.
japonicum akan berpindah ke tempat tujuan terakhir yaitu pembuluh darah usus
kecil (vena mesenterika) yang juga merupakan habitatnya dan sekaligus tempat
bertelur (Campbell 1996).

Gambar 1 Siklus hidup Schistosoma sp. (DPD CDC 2012)

4

Infeksi Schistosoma japonicum pada manusia
Perlekatan dan penetrasi cacing dapat terjadi karena adanya struktur
jaringan kulit dan jaringan dalam tubuh inang yang dapat dirusak setelah terjadi
proses perlekatan. Tubuh inang memiliki alat pertahanan untuk melawan
kehadiran cacing tersebut, yaitu sistem pertahanan kulit, sistem pertahanan seluler
(fagosit), sistem pertahanan humoral (immunoglobulin, antibodi), dan sistem
pertahanan jaringan khusus (fixed tissue phagocytes). Sistem pertahanan kulit
terkait dengan proses perlekatan dan penetrasi. Kulit merupakan pintu masuk
cacing yang utama, tetapi tidak semua bagian kulit dapat menjadi pintu masuk
tergantung pada jenis dan struktur dari kulit (Soulsby 1982). Bagian kulit yang
terbuka merupakan tempat masuknya larva cacing. Pada manusia pintu masuknya
adalah pada bagian kerutan kulit. Bagian kulit yang menebal dan tegang
menyebabkan larva kurang bebas untuk mengadakan penetrasi (Hadidjaja 1982).
Cacing ini kemudian mengeluarkan enzim untuk memecah protein kulit sehingga
serkaria dapat masuk ke dalam pembuluh darah.
Tingkat infeksi schistosomiasis pada manusia berbeda antara satu daerah
dengan daerah lainnya. Perbedaan pola keterpaparan tersebut menunjukkan
adanya perbedaan kehidupan sosial, ekonomi, dan perbedaan variasi ekologi dari
satu daerah dengan daerah lainnya. Penderita schistosomiasis di lembah Napu
terdiri dari semua golongan umur dengan jumlah penderita terbanyak pada
golongan umur 10-19 tahun dan 30-39 tahun, yaitu mereka yang termasuk
golongan umur produktif. Selain itu, terdapat juga keterkaitan hubungan antara
infeksi dengan pekerjaan. Orang yang bekerja di sawah mempunyai resiko
terinfeksi lebih besar dibandingkan anak-anak. Keterkaitan antara infeksi S.
japonicum dan pekerjaan juga ditemukan di China (Carney et al. 1974). Ross et al.
(2004) melaporkan bahwa di daerah danau Dongting China, infeksi Schistosoma
terjadi terutama pada laki-laki usia 18-49 tahun pada waktu menjelang sore hari
saat memancing. Hasil penelitian yang berbeda pula ditemukan di Lembah Besoa
Sulawesi Tengah, bahwa angka prevalensi yang tinggi terdapat pada usia 5-9
tahun 10-19 tahun (Renimanora et al. 1988).
Reaksi humoral pada dasarnya terbentuk pada organisme yang masuk ke
peredaran darah. Produksi Immunoglobulin E (IgE) sangat meningkat pada infeksi
cacing. Kenaikan IgE yang luar biasa memperlihatkan bahwa IgE merupakan
parameter penting dalam sistem pertahanan tubuh. Rangsangan antigen spesifik
untuk membentuk sel mastoid yang dilapisi IgE menyebabkan terjadinya eksudasi
serum protein dengan konsentrasi antibodi protektif yang tinggi untuk semua
kelas immunoglobulin dan dilepaskannya faktor kemotaktik eosinofil. Reaksi
yang diperantai IgE berperan penting dalam penyembuhan dari infeksi, sedangkan
resistensi pada individu yang telah divaksinasi lebih tergantung pada adanya
antibodi IgG dan IgA. Kemampuan untuk mengatasi cacing tertentu dapat
diarahkan kepada produksi limfokin sel T helper 1 seperti interferon dan sel T
helper 2 yang menghasilkan IgE (Roitt 2002).

5

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2013 bertempat di
Laboratorium Terpadu, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan
Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Metode Penelitian
Serum Sampel
Serum positif diperoleh dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Samarang et al. (2013). Serum negatif diperoleh dari sukarelawan yang berasal
dari Bogor dan tidak pernah mengunjungi wilayah Sulawesi Tengah. Sebanyak 30
serum manusia digunakan pada penelitian ini. Serum tersebut merupakan 15
serum manusia yang positif terinfeksi schistosomiasis dengan pemeriksaan tinja
positif terdapat telur cacing. Sedangkan 15 serum lagi adalah manusia yang
negatif schistosomiasis.
Inaktivasi serum
Serum sampel diinaktivasi dengan cara dipanaskan dalam penangas air
pada suhu 56 °C selama 30 menit.
Prosedur ELISA
Pengujian ELISA terhadap serum sampel dilakukan dengan dua jenis
pengenceran yang bertujuan untuk optimasi hasil kedua jenis pengenceran
tersebut sehingga diketahui jenis pengenceran yang terbaik untuk mendeteksi
antibodi anti Schistosoma japonicum. Pada microplate ELISA pertama
menggunakan pengenceran 1:50 dan microplate ELISA kedua menggunakan
pengenceran 1:100.
Antigen ekskretori sekretori Schistosoma japonicum dari penelitian
sebelumnya dengan konsentrasi 110 μg/ml diencerkan dalam larutan buffer
bicarbonate dengan perbandingan 1:21, sehingga konsentrasi antigen yang
dicoatingkan adalah 5 μg/ml. Setiap sumur pada kedua-dua microplate diisi
dengan 100 μl antigen dan diinkubasi selama semalam pada suhu 4 °C.
Microplate yang telah diinkubasi dibilas sebanyak empat kali dengan 300 μl PBS
tween 0,05% dan dikeringkan.
Tahap selanjutnya adalah blocking menggunakan Fetal Bovine Serum
(FBS) 2%. Setiap sumur diisi dengan 200 μl FBS 2% dan diinkubasi pada suhu
37 °C selama satu jam. Kemudian microplate yang telah diinkubasi dicuci
kembali dengan 300 μl PBS Tween 0,05% sebanyak empat kali dan dikeringkan.
Serum sampel diencerkan ke dalam larutan PBS dengan perbandingan
1:50 dan 1:100. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam sumur sesuai lembar
kerja sebanyak 100 μl dan diinkubasi pada suhu 37 °C selama satu jam. Setiap
microplate ELISA mempunyai serum kontrol positif, serum kontrol negatif dan

6
kontrol konjugat yang berisi PBS Tween 0,05%. Kemudian microplate dicuci
dengan 300 μl PBS Tween 0,05% sebanyak empat kali dan dikeringkan.
Konjugat antihuman yang telah diencerkan dengan pengenceran 1:5000
kemudian diisi pada setiap sumur lalu diinkubasi selama satu jam pada suhu 37 °C.
Kemudian setiap sumur microplate dicuci kembali sebanyak empat kali dengan
PBS Tween 0,05% lalu dikeringkan. Selanjutnya setiap sumur diisi dengan
substrat TMB dalam keadaan gelap dan diinkubasi kembali pada suhu ruang
selama 30 menit. Akhir sekali, pembacaan hasil ELISA dilakukan menggunakan
ELISA reader dengan filter 655 nm.
Prosedur Analisis Data
Batas penentuan deteksi antibodi anti Schistosoma japonicum pada kedua
pengenceran tersebut dilihat dari perbedaan nilai cut off masing-masing
pengenceran. Cut off adalah batas nilai absorbansi positif dan negatif dari suatu
pengujian. Perhitungan nilai cut off didapatkan dari rataan nilai absorbansi kontrol
negatif yang ditambahkan dengan satu kali nilai standar deviasi (Ath 1995). Nilai
positif merupakan nilai absorbansi hasil pengujian yang lebih besar dari nilai cut
off. Sebaliknya nilai negatif merupakan nilai absorbansi hasil pengujian yang lebih
kecil dari nilai cut off.
Penghitungan sensitivitas, spesifisitas dan akurasi menggunakan tabel 2x2
dan rumus seperti berikut (Mattjik dan Sumertajaya 2006):
Positif
Negatif
Hasil Uji
Positif
a
b
Negatif
c
d
Sensitivitas = a / (a + c) x 100%
Spesifisitas = d / (b + d) x 100%
Akurasi = (a + d) / (a+b+c+d) x 100%

7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian ELISA tidak langsung terhadap serum sampel dilakukan dengan
dua jenis pengenceran yaitu pengenceran 1:50 dan pengenceran 1:100. Sebanyak
30 serum sampel manusia digunakan dalam penelitian ini, yaitu 15 sampel positif
dan 15 sampel positif. Optimasi ELISA tidak langsung dilakukan untuk
memeriksa keberadaan antibodi anti Schistosoma japonicum pada serum.
Tabel 1 Nilai cut off uji ELISA
Nilai
absorbansi
blank

Rataan nilai
absorbasi
sampel positif

Rataan Nilai
absorbansi
kontrol negatif

Cut off

1:50

0.095

0.178 ± 0.026

0.112 ± 0.026

0.139

1:100

0.104

0.186 ± 0.035

0.162 ± 0.035

0.197

Pengenceran

Berdasarkan Tabel 1, nilai cut off yang didapatkan pada pengujian ELISA
tidak langsung dengan pengenceran 1:50 adalah hasil penjumlahan rataan nilai
absorbansi kontrol negatif 0.112 dengan standar deviasi 0.026 yaitu sebesar 0.139.
Nilai cut off yang diperoleh pada uji ELISA tidak langsung dengan pengenceran
1:100 adalah sebesar 0.197, yaitu hasil penjumlahan rataan nilai absorbansi
kontrol negatif 0.162 dengan standar deviasi 0.035.
0,3

Nilai absorbansi

0,25
0,2
Sampel negatif

0,15

Sampel positif
0,1
0,05
0
0

5

10

15

20

Gambar 2 Rataan nilai absorbansi pengujian ELISA pada pengenceran 1:50
Hasil pengujian ELISA tidak langsung pada pengenceran 1:50 (Gambar 2)
menunjukkan sebanyak 12 sampel positif adalah hasil positif dengan nilai
absorbansi lebih besar dari nilai cut off dan tiga sampel menunjukkan hasil positif
palsu. Sebanyak 13 dari 15 sampel negatif berupa hasil negatif dengan nilai
absorbansi lebih kecil dari nilai cut off dan terdapat dua sampel negatif palsu.

8
Sampel dinyatakan positif palsu bila nilai absorbansi lebih kecil dari nilai cut off
dan sebaliknya dinyatakan negatif palsu bila nilai absorbansi lebih besar dari nilai
cut off.
0,3

Nilai absorbansi

0,25
0,2
Sampel negatif

0,15

Sampel positif
0,1
0,05
0
0

5

10

15

20

Gambar 3 Rataan nilai absorbansi pengujian ELISA pada pengenceran 1:100
Pada pengenceran 1:100 (Gambar 3), terdapat delapan dari 15 sampel
positif menunjukkan hasil positif uji ELISA dan tujuh sampel hasil positif palsu.
Sebanyak 12 dari 15 sampel negatif pemeriksaan feses menunjukkan hasil negatif
uji ELISA dan tiga sampel hasil negatif palsu.
Penentuan spesifisitas dan sensitivitas uji ELISA tidak langsung yang
telah dioptimasi untuk mendeteksi keberadaan antibodi anti Schistosoma
japonicum dilakukan dengan menggunakan 30 serum sampel manusia yang
diperoleh dari penelitan sebelumnya. Hasil pengujian ELISA tidak langsung untuk
mendeteksi keberadaan antibodi anti Schistosoma japonicum dibandingkan
dengan hasil pemeriksaan feses untuk menghitung spesifisitas dan sensitivitas uji
dengan menggunakan tabel 2 x 2.
Tabel 2 Standarisasi (pengenceran 1:50) berdasarkan hasil pemeriksaan feses

Positif
Hasil ELISA
(1:50)

Positif
Negatif
Total

12
3
15

Pemeriksaan
feses
Negatif
2
13
15

Sensitivitas = 12 /(12 + 3) × 100% = 80%
Spesifisitas = 13 / (2 + 13) ×100% = 86.7%
Akurasi = (12 + 13) / (12 + 2 + 3 + 13) ×100% = 83.33%

Total
14
16
30

9
Pada Tabel 2 terlihat bahwa pengujian ELISA tidak langsung dengan
pengenceran 1:50 memiliki tingkat akurasi sebesar 83.33% dengan sensitivitas uji
terhadap antibodi dalam serum sebesar 80% dan spesifisitas uji sebesar 86.7%.
Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pengujian ELISA tidak langsung dengan
pengenceran 1:100 memiliki tingkat akurasi sebesar 66.7% dengan sensitivitas uji
sebesar 53.33% dan spesifisitas uji sebesar 80%.
Tabel 3 Standarisasi (pengenceran 1:100) berdasarkan hasil pemeriksaan feses

Positif
Hasil ELISA
(1:100)

Positif
Negatif
Total

Pemeriksaan
feses
Negatif

8
7
15

3
12
15

Total
11
19
30

Sensitivitas = 8 /(8 + 7) × 100% = 53.33%
Spesifisitas = 12 / (3 + 12) × 100% = 80%
Akurasi = (8 + 12) / (8 + 7 + 3 + 12) × 100% = 66.7%
ELISA merupakan uji serologis yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi, membutuhkan sangat sedikit antigen dan penggunaannya mudah
untuk menguji banyak sampel di laboratorium (Cruickshank dan Mackenzie 1981).
Hasil yang diperoleh menunjukkan pengenceran 1:50 merupakan pengenceran
yang optimal untuk memeriksa keberadaan antibodi anti Schistosoma japonicum
dengan ELISA tidak langsung. Pengenceran ini memiliki sensitivitas uji 80%,
spesifisitas uji 86.7% dan tingkat akurasi 83.33% yang lebih tinggi dibanding
pada pengenceran 1:100. Pengujian dengan pengenceran 1:50 juga
memperlihatkan hasil positif palsu dan negatif palsu yang lebih sedikit.
Nilai yang diperoleh pada pengujian ELISA menggambarkan respon
pembentukan antibodi. Namun nilai antibodi yang diperoleh tidak menunjukkan
nilai titer antibodi. Penelitian ini menggunakan ELISA tidak langsung untuk
mendeteksi antibodi terhadap Schistosoma japonicum. Positif palsu tidak dapat
diketahui sejak awal karena pada ELISA hanya tampak sebagai perubahan warna
substrat yang terbaca sebagai nilai absorbansi oleh ELISA reader. Menurut Tizard
(2000), berdasarkan prinsipnya reaksi antibodi-antigen dapat dideteksi dengan
penambahan konjugat dilabel sebagai enzim aktif yang bereaksi dengan substrat
sehingga menghasilkan warna spesifik.
Beberapa hal yang dianggap kritis untuk menjamin hasil yang baik harus
diperhatikan. Antara lain adalah suhu selama coating harus tetap, substrat harus
dimasukkan pada microplate ELISA pada suhu kamar dan lamanya harus konstan
serta larutan harus dalam keadaan segar. Selain itu dianjurkan selalu
menggunakan microplate yang baru karena reaksi ELISA sangat sensitif. Apabila
pemakaian microplate digunakan berulang kali, sisa-sisa reaksi terdahulu dapat
mengacaukan reaksi (Partoutomo 1983).
ELISA merupakan salah satu uji serologis yang memiliki sensitivitas lebih
tinggi dibanding uji lain. Penggunaannya yang mudah dan dapat digunakan secara
kuantitatif dan kualitatif. ELISA telah banyak digunakan untuk mengukur
keberadaan antibodi dalam serodiagnosis penyakit parasiter.

10

SIMPULAN
Optimasi terbaik untuk memeriksa keberadaan antibodi anti Schistosoma
japonicum dengan ELISA tidak langsung diperoleh dari pengenceran 1:50.
Pengenceran 1:50 memiliki tingkat akurasi, sensitivitas uji dan spesifisitas uji
paling besar dibandingkan pengenceran 1:100. Data hasil penelitian ini juga
diharapkan dapat melengkapi hasil penelitian di lapangan sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Ath G de. 1995. ELISA sebagai Proses Pengukuran: Beberapa Pertimbangan
Statistik. Di dalam: Artama WT, penerjemah; Burgess GW, editor.
Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian. Yogyakarta (ID):
Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: ELISA Technology in
Diagnosis and Research.
Awad WS, Ibrahim AK, Salib FA. 2009. Using indirect ELISA to assess different
antigens for the serodiagnosis of Fasciola gigantica infection in cattle,
sheep, and donkeys. Res Vet Sci. 86:466-471.
[DPD
CDC].
2012.
Schistosomiasis.
[terhubung
berkala].
http://www.cdc.gov/parasites/schistosomiasis/biology.html [2013 Juni 24]
Burgess GW. 1995. Prinsip Dasar ELISA dan Variasi Konfigurasinya. Di dalam:
Artama WT, penerjemah; Burgess GW, editor. Teknologi ELISA dalam
Diagnosis dan Penelitian. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University
Press. Terjemahan dari: ELISA Technology in Diagnosis and Research.
Campbell NA. 1996. Biology 4th ed. New York (US): The Benjamin/Cummings
Publishing Co. INC.
Carney WP, Sjahrul M, Salludin, Putrall J. 1974. The Napu valley, a new
Schistosomiasis area in Sulawesi, Indonesia. Southeast Asian J. Trop .
Med. Pub. Health . 5:246-251.
Cruickshank JK, Mckenzie C. 1981. Immunodiagnosis in parasitic disease.
Br. Med. J. 283:1349-1350.
Davis GM, Carney WP. 1973. Description of Oncomelania hupensis
lindoensis: first intermediate host of Schistosoma japonicum in Sulawesi.
Proc. Acad. Nat. Sci. Philadelphia. 125:1-34.
Gryseels B, Polman K, Clerinz J, Kestens L. 2006. Human schistosomiasis.
Lancet . 368:1106-1118.
Hadidjaja P. 1982. Beberapa penelitian mengenai aspek biologik dan klinik
schistosomiasis di Sulawesi Tengah, Indonesia [tesis]. Jakarta (ID):
Universitas Indonesia.
Knapp E, Holubar K, Wick G. 1978. Immunofluorescence and related
staining techniques . Elsevier/North Holland (NL): Biomedical Press.
Mattjik AA, Sumertajaya Made. 2006. Perancangan Percobaan. Bogor (ID): IPB
Press.

11
Muller H, Tesch JW. 1937. Autochthone infectie met Schistosoma japonicum of
Celebes. Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie. 77:2143.
Outteridge PM. 1985. Veterinary Immunology. London (GB): Academic Press.
Partoutomo S. 1983. Diagnose penyakit parasiter dengan ELISA. Wartazoa.
1(2):21-23.
Putrali J, Sjamsudin N, Sudomo M, Hadidjaja P. 1988. Schistosomiasis control
by mass treatment using praziquantel in Indonesia. Maj. Parasitol. Indon.
2(1&2):25-32.
Renimanora, Arwati T, Indijati, Wardiyo. 1988. Prevalensi schistosomiasis
menurut golongan umur dan peranan air bersih dan jamban keluarga
terhadap penularan penyakit di 3 desa di Lembah Besoa, Sulawesi Tengah.
[Abstrak]. Seminar Parasitologi Nasional V dan Kongres P4I IV. Bogor,
20- 22 Agustus 1998.
Roitt I. 2002. Imunologi ( Essential Immunology) Edisi 8. Jakarta (ID): Penerbit
Widya Medika.
Ross AGP, Sleigh AC, Li Y, Davis GM, Williams GM, Jiang Z, Feng Z, Mc
Manus DP. 2004. Schistosomiasis in the people’s Republic of China:
Prospects and Challenges for the 21st Century. [Internet]. [Diunduh 2013
Juni 21]. Tersedia pada: http://cmr.asm.org/cgi/content/full/14/2/270.
Samarang, MA Nurjana, S Chotijah, M Maksud, I Tolisetiawati, F Satrija, S
Murtini. 2013. Optimalisasi uji ELISA untuk mendeteksi antigen ES
Schistosoma japonicum pada penderita schistosomiasis di Napu Sulawesi
Tengah. Laporan Penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan P2B2
Donggala Sulawesi Tengah.
Sanchez-vizcain JM, Alvarez MC. 1987. Enzyme immunoassay techniques
(ELISA) in animal and plant diseases 2nd Ed. Technical Series No.7.
Office International Des Epizooties.
Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthopods, and Protozoa of Domesticated Animal
Seventh Edition. London (GB): Bailliere Tindall.
Sudomo M. 1994. Ecology of schistosomiasis in Indonesia with certain aspects
of control. Southeast Asian J. trop. Med. Pub. Health. 4:471.
Tizard IR. 2000. An Introduction to Veterinary Immunology 6th Ed. USA (US):
W.B. Saunders Company.
Tjitra E. 1994. Penelitian-penelitian Schistosomiasis di Indonesia. Cermin Dunia
Kedokteran. 96:31-36.
Voller A, Bidwell DE, Barlett A. 1978. The use of the enzyme-linked
immunosorbent assay in the serology of viral and parasitic diseases. Scand.
J. Immunol. 8(7):125.
Voller A, Bidwell D. 1986. Enzyme-Linked Immunosorbent Assay. Di dalam:
Rose NR, Friedman H, Fahey JL. 1986. Manual of Clinical Laboratory
Immunology 3rdEd. USA (US): American Society for Microbiology.

12

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Hospital Papar Sabah, Malaysia pada tanggal 6
Desember 1990 dari ayah Daud bin Yusof dan ibu DG Rosnah binti AG Sulaiman.
Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara.
Penulis memulai pendidikan di Prasekolah Sekolah Kebangsaan Pekan
Bongawan pada tahun 1996. Kemudian Penulis melanjutkan pendidikan dasar di
Sekolah Kebangsaan Pekan Bongawan pada tahun 1997 sehingga tahun 2002.
Penulis selanjutnya meneruskan pendidikan menengah di Sekolah Menengah
Kebangsaan Agama Limauan Kimanis, Sabah pada tahun 2003 dan lulus pada
tahun 2008. Pada tahun yang sama, Penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur
Penerimaan Mahasiswa Warga Negara Asing pada program studi Kedokteran
Hewan. Selama berkuliah di IPB, Penulis pernah aktif sebagai Exco Kebajikan
Persatuan Kebangsaan Pelajar-pelajar Malaysia di Indonesia pada tahun 2011
sampai 2012.