Kajian Kualitas Perairan terhadap Kelimpahan dan Senyawa Bioaktif Antibakteri Spons Demospongiae di Kepulauan Seribu DKI Jakarta

KAJIAN KUALITAS PERAIRAN TERHADAP
KELIMPAHAN DAN SENYAWA BIOAKTIF
ANTIBAKTERI SPONS DEMOSPONGIAE DI
KEPULAUAN SERIBU DKI JAKARTA

SUSANNA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

Judul Tesis

Nama
NRP

: Kajian Kualitas Perairan terhadap Kelimpahan dan Senyawa
Bioaktif Antibakteri Spons Demospongiae di Kepulauan Seribu
DKI Jakarta
: Susanna

: C651030151

Disetujui,
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M. Sc
Ketua

Dr. Ir. Harpasis S. Sanusi, M. Sc
Anggota

Diketahui,

Ketua Departemen Ilmu Kelautan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Djisman Manurung, M. Sc

Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


Tanggal Ujian : 14 Agustus 2006

Tanggal Lulus :

KAJIAN KUALITAS PERAIRAN TERHADAP KELIMPAHAN
DAN SENYAWA BIOAKTIF ANTIBAKTERI SPONS
DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU DKI JAKARTA

SUSANNA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006


PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Kualitas Perairan
terhadap Kelimpahan dan Senyawa Bioaktif Antibakteri Spons Demospongiae di
Kepulauan Seribu DKI Jakarta adalah karya saya sendiri dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2006

Susanna
NRP C651030151

ABSTRAK

SUSANNA. Kajian Kualitas Perairan terhadap Kelimpahan dan Senyawa Bioaktif

Antibakteri Spons Demospongiae di Kepulauan Seribu DKI Jakarta . Dibimbing
oleh NEVIATY P ZAMANI dan HARPASIS S SANUSI.
Spons adalah hewan multisel yang paling sederhana dan memiliki bentuk
yang bervariasi. Spons merupakan anggota dari Filum Porifera yang mengandung
senyawa bioaktif yang paling potensial bahkan lebih banyak dibandingkan alga
dan tumbuhan darat. Senyawa bioaktif yang dimilikinya bersifat biofarmakologik
seperti antijamur, antibakteri dan antikanker.
Penelitian ini bertujuan untuk: (a) mengkaji kualitas fisika-kimia perairan
tempat hidup spons Demospongiae, (b) mengkaji kelimpahan spons
Demospongiae pada tiga kondisi perairan yang berbeda, (c) mengkaji senyawa
bioaktif antibakteri ekstrak spons Demospongiae terhadap bakteri patogen
Staphylococcus aureus dan Eschericia coli dengan melihat ukuran diameter zona
hambat (zona bening), serta (d) melihat hubungan kualitas perairan terhadap
kelimpahan dan senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons Demospongiae.
Penelitian dilakukan selama 5 bulan, mulai bulan Agustus-Desember
2005. Penelitian di lapangan di lakukan di Kepulauan Seribu DKI Jakarta yaitu
Pulau Lancang (daerah yang relatif kotor), Pulau Pari dan Pulau Pramuka (daerah
relatif bersih), sedangkan penelitian di laboratorium dilakukan di laboratorium
Lingkungan PPLH (Pusat Penelitian Lingkungan Hidup), IPB.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kualitas perairan berdasarkan

klasifikasi hierarki adalah stasiun 3 BPP dengan kecepatan arus, TSS dan silikat
tinggi, stasiun 5 TPR dengan N-NO3 dan P-PO4 yang tinggi dan stasiun 1UPL, 2
UPP, 4 UPR, 6 BPR dan 7 SPR dengan ciri parameter fisika -kimia perairan relatif
rendah. Perairan Kepulauan Seribu DKI Jakarta (Pulau Lancang, Pulau Pari dan
Pulau Pramuka untuk semua stasiunnya) mempunyai 30 jenis dengan 9 Ordo,
dimana Ordo yang paling dominan adalah Haplosclerida sedangkan jenis yang
dominan adalah Petrosia sp, Xestospongia sp1 dan Xestospongia sp2. Spesies
spons Demospongiae dengan kelimpahan (ind/m2) yang relatif tinggi dan
memiliki senyawa bioaktif antibakteri tertinggi baik antar spesies spons yang aktif
maupun terhadap ampicillinnya adalah Liosina sp (6,84 mm) di stasiun 7 SPPra
terhadap bakteri E. coli, sedangkan terhadap S. aureus adalah Acantella cavernosa
(6,36 mm) di stasiun 4 TPR dengan kelimpahan yang relatif sedang. Distribusi
dan kelimpahan spons sangat dipengaruhi oleh, suhu, salinitas, NO3 , P-PO 4,
silikat dan kekeruhan.

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006
Hak c ipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lhokseumawe pada tanggal 12 Juli 1978 dari ayah
Syaifullah Yunus, SE dan ibu Cut Yulianawati. Penulis merupakan putri kedua
dari empat bersaudara.
Tahun 1996 penulis lulus dari SMUN 3 Banda Aceh dan masuk Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam jurusan Kimia, Universitas Syiah Kuala
(UNSYIAH) melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN).
Penulis lulus sebagai Sarjana Sains (SSi) pada tahun 2001. Pada tahun 2003,
penulis memulai studi Pascasarjana di Program Studi Ilmu Kelautan, Sekolah
Pascasarjana IPB.

i

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL.......................................................................................................


iii

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................

iv

DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................................

vii

PENDAHULUAN
Latar Belakang .................................................................................................
Hipotesis Penelitian...........................................................................................
Tujuan dan Manfaat..........................................................................................
Sistematika Penelitian .......................................................................................

1
3
3
4


TINJAUAN PUSTAKA
Spons Demospongiae ........................................................................................
Produk Alam Laut dari Spons ...........................................................................
Senyawa Bioaktif Ekstrak Spons ......................................................................
Beberapa Jenis Bakteri Patogen ........................................................................
Struktur Komunitas Spons ................................................................................
Fisika-Kimia Perairan dan Spons Laut..............................................................
Hubungan Kelimpahan terhadap Senyawa Bioaktif dan Beberapa Parameter
Lingkungan Perairan.........................................................................................
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian ...........................................................................
Metode Penelitian .............................................................................................
Analisis Data .....................................................................................................
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian.................................................................................................
Kualitas Perairan.....................................................................................
Komposisi dan Distribusi Spons Demospongiae ....................................
Senyawa Bioaktif Antibakteri Ekstrak Spons .........................................
Pemba hasan ......................................................................................................

Analisis Komponen Utama .....................................................................
Kelimpahan dan Struktur Komunitas Spons Demospongiae ..................
Analisis Faktorial Koresponden .............................................................
Analisis Faktorial Koresponden Senyawa Bioaktif Antibakteri Spons
Demospongiae ........................................................................................

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ...........................................................................................................
Saran..................................................................................................................

6
18
18
20
22
23
26

33
34

37

43
43
53
56
63
63
69
71
79

96
96

ii

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................

84


LAMPIRAN................................................................................................................

92

DAFTAR TABEL

Halaman
1 Senyawa bioaktif yang dihasilkan spons laut menurut Soediro (1999) ........

19

2 Sebaran fauna spons pada kedalaman 1-15 m di Pulau Genteng Besar
sebelah Selatan (sumber: Amir 1991) ...........................................................

29

3 Parameter oseanografi fisika, kimia dan biologi air yang diamati................

35

4 Tingkat keanekaragaman jenis berdasarkan nilai indeks keanekaragaman
Shannon Wiener (H’) (sumber: Odum 1983)................................................

41

5 Jumlah jenis, Ordo, Famili dan Genera spons Demospongiae pada stasiun
pengamatan di Kepulauan Seribu DKI Jakarta .............................................

53

6

7

Data kelimpahan, indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E),
dan indeks dominansi (C) spons pada stasiun pengamatan...........................

54

Hubungan kualitas perairan terhadap kelimpahan dan senyawa bioaktif
antibakteri spons Demospongiae...................................................................

91

iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1

Kerangka pendekatan masalah ........................................................................... 5

2

Morfologi umum dari Porifera (sumber: Rigby et al. 1993)..………………….. 10

3

Dinding sel Porifera yang dilihat melalui mikroskop (sumber: Rigby et
al. 1993)............................................................................................................... 11

4

Macam-macam kerangka spons laut (sumber: Rigby et al. 1993)........................ 15

5

Hubungan antara kekayaan spesies spons dan kedalaman pada tiga tipe
senyawa bioaktif (sumber: De Voogd 2005)........................................................ 27

6

Hubungan antara kelimpahan spons dan kedalaman pada tiga tipe senyawa
bioaktif (sumber: De Voogd 2005)....................................................................... 27

7

Peta lokasi penelitian di Kepulauan Seribu DKI Jakarta...................................... 33

8

Kisaran nilai suhu (oC) pada stasiun pengamatan................................................ 43

9 Kisaran nilai TSS (mg/l) pada stasiun pengamatan.............................................. 44
10 Kisaran nilai kekeruhan (NTU) pada stasiun pengamatan..................................

44

11 Kisaran nilai kecepatan arus (m/det) pada stasiun pengamatan........................... 45
12 Kisaran nilai salinitas (o/ oo) pada stasiun pengamatan.......................................... 46
13 Kisaran nilai pH pada stasiun pengamatan.......................................................... 46
14 Kisaran nilai DO (mg/l) pada stasiun pengamatan............................................... 48
15 Kisaran nilai TOM (mg/l) pada stasiun pengamatan........................................... 49
16 Kisaran nilai BOD5 (mg/l) pada stasiun pengamatan.........................................

49

17 Kisaran nilai COD (mg/l) pada stasiun pengamatan............................................ 50
18 Kisaran nilai N-NO3 (mg/l) pada stasiun pengamatan.......................................... 51

v

19 Kisaran nilai P-PO4 (mg/l) pada stasiun pengamatan.......................................... 52
20 Kisaran nilai silikat (mg/l) pada stasiun pengamatan..........................................

52

21 Kelimpahan (ind/m2 ) spons Demospongiae pada stasiun pengamatan................ 54
22 Indeks keanekaragaman (H’) spons Demospongiae pada stasiun pengamatan..

55

23 Indeks keseragaman (E) spons Demospongiae pada stasiun pengamatan .......... 55
24 Indeks dominansi (C) spons Demospongiae pada stasiun pengamatan ……...

56

25 Diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons
Demospongiae dan ampicillin di Pulau Lancang kedalaman 7 m terhadap
Bakteri E.coli dan S. aureus................................................................................. 57
26 Diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons
Demospongiae dan ampicillin di Pulau Pari kedalaman 7 m dan 15 m terhadap
bakteri E. coli....................................................................................................... 58
27 Diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstrak
spons Demospongiae dan ampicillin di Pulau Pari kedalaman 7 m dan15 m
terhadap bakteri S. aureus..................................................................................... 59
28 Diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstrak
spons Demospongiae dan ampicillin di Pulau Pramuka kedalaman 7 m dan
15 m terhadap bakteri E. coli............................................................................... 60
29 Diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstrak
spons Demospongiae dan ampicillin di Pulau Pramuka kedalaman 7 m dan
15 m terhadap bakteri S. aureus ………………………………………..……..

61

30 Diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri Liosina sp di stasiun 7
SPR pada kedalaman 15 m terhadap bakteri E. coli……………………………. 62
31 Diameter zona hambat senyawa bioaktif antibakteri Xestospongia sp2
di stasiun 3 BPP pada kedalaman 7 m terhadap bakteri S. aureus...................... 62
32 Analisis Komponen Utama karakteristik kualitas perairan pada stasiun
pengamatan: A. Korelasi antar variabel pada sumbu 1 dan 2 (F 1 xF2);B.
Sebaran stasiun pengamatan pada sumbu 1 dan 2 (F1 xF2 )................................... 65
33 Analisis Komponen Utama karakteristik kualitas perairan pada stasiun
pengamatan: A. Korelasi antar variabel pada sumbu 1 dan 3 (F 1 xF3);
B. Sebaran stasiun pengamatan pada sumbu 1 dan 3 (F 1 xF3).............................. 66

vi

34 Dendrogram klasifikasi hierarki stasiun pengamatan berdasarkan
karakteristik fisika-kimia air................................................................................ 69
35 Grafik analisis faktorial koresponden antar stasiun penelitian dengan jumlah
spesies spons Demospongiae kedalaman 7 m pada sumbu (F1xF2)...................

73

36 Grafik analisis faktorial koresponden antar stasiun penelitian dengan jumlah
spesies spons Demospongiae kedalaman 7 m pada sumbu (F1xF3)...................

74

37 Dendrogram klasifikasi hierarki stasiun penelitian berdasarkan kelimpahan
spons Demospongiae pada kedalaman 7 m.........................................................

75

38 Grafik analisis faktorial koresponden antar stasiun penelitian dengan jumlah
spesies spons Demospongiae kedalaman 15 m pada sumbu (F1xF2).................. 77
39 Grafik analisis faktorial koresponden antar stasiun penelitian dengan jumlah
spesies spons Demospongiae kedalaman 15 m pada sumbu (F1xF3).................

78

40 Dendrogram klasifikasi hierarki stasiun penelitian berdasarkan kelimpahan
spons Demospongiae pada kedalaman 15 m…………………………………...

79

41 Grafik analisis faktorial koresponden antar stasiun penelitian dengan jumlah
spesies spons bioaktif kedalaman 7 m terhadap bakteri E. coli pada sumbu
(F1xF2) dan (F1xF3)............................................................................................ 81
42 Dendrogram klasifikasi hierarki stasiun penelitian berdasarkan jumlah spesies
spons bioaktif pada kedalaman 7 m terhadap bakteri E. coli............................... 82
43 Grafik analisis faktorial koresponden antar stasiun penelitian dengan jumlah
spesies spons bioaktif kedalaman 15m terhadap bakteri E. coli pada sumbu
(F1xF2) dan (F1xF3)............................................................................................. 83
44 Dendrogram klasifikasi hierarki stasiun penelitian berdasarkan jumah spesies
spons bioaktif pada kedalaman 15 m terhadap bakteri E. coli…………………. 84
45 Grafik analisis faktorial koresponden antar stasiun penelitian dengan jumlah
spesies spons bioaktif kedalaman 7 m terhadap bakteri S. aureus pada sumbu
(F1xF2) dan (F1xF3)...........................................................................................
46 Grafik analisis faktorial koresponden antar stasiun penelitian dengan jumlah
spesies spons bioaktif kedalaman 15 m terhadap bakteri S. aureus pada sumbu
(F1xF2) dan (F1xF3).............................................................................................

86

87

vii

47 Dendrogram klasifikasi hierarki stasiun penelitian berdasarkan jumlah spesies
spons bioaktif pada kedalaman 7 m terhadap bakteri S. aureus…………………

88

48 Dendrogram klasifikasi hierarki stasiun penelitian berdasarkan jumlah spesies
spons bioaktif pada kedalaman 15 m terhadap bakteri S. aureus………………

88

49 Jumlah jenis dan Genera spons Demospongiae yang memiliki aktivitas senyawa
bioaktif antibakteri terhadap bakteri E. coli pada stasiun pengamatan..................

89

50 Jumlah jenis dan Genera spons Demospongiae yang memiliki aktivitas senyawa
bioaktif antibakteri terhadap bakteri S. aureus pada stasiun pengamatan..............

89

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1 Hasil pengukuran penentuan titik stasiun pengambilan kualitas fisika-kimia
air dan spons Demospongiae dengan alat “GPS (Global Positioning
System)”.........................................................................................................

103

2

Nilai karakteristik fisika dan kimia air pada stasiun pengamatan .................

104

3

Jenis dan kelimpahan spons Demospongiae yang teramati pada kedalaman
7 m dan 15 m pada stasiun pengamatan .............................. .........................

105

4 Komposisi jenis spons Demospongiae pada stasiun pengamatan...................

107

5 Diameter rata-rata zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons
Demospongiae terhadap bakteri E. coli pada stasiun pengamatan di
kedalaman 7 m dan 15 m, serta diameter rata-rata zona hambat kontrol
positif (ampicilin) dan kontrol negatif (metanol)...........................................

109

6 Diameter rata-rata zona hambat senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons
Demospongiae terhadap bakteri S. aureus pada stasiun pengamatan di
kedalaman 7 m dan 15 m, serta diameter rata-rata zona hambat kontrol
positif (ampicilin) dan kontrol negatif (metanol)...........................................

111

7

Hasil analisis komponen utama karakteristik fisika-kimia perairan pada
stasiun pengamatan........................................................................................

113

Analisis faktorial koresponden kelimpahan spesien spons Demospongiae
pada kedalaman 7 m pada stasiun pengamatan..............................................

116

Analisis faktorial koresponden kelimpahan spesien spons Demospongiae
pada kedalaman 15 m pada stasiun pengamatan............................................

118

10 Analisis faktorial koresponden spesies spons bioaktif terhadap bakteri
E.coli kedalaman 7 m pada stasiun pengamatan............................................

120

11 Analisis faktorial koresponden spesies spons bioaktif terhadap bakteri
E.coli kedalaman 15 m pada stasiun pengamatan..........................................

122

12 Analisis faktorial koresponden spesies spons bioaktif terhadap bakteri S.
aureus kedalaman 7 m pada stasiun pengamatan..........................................

124

8

9

ix

13 Analisis faktorial koresponden spesies spons bioaktif terhadap bakteri S.
aureus kedalaman 15 m pada stasiun pengamatan........................................

125

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Spons adalah hewan multisel yang paling sederhana dan dapat hidup
dengan baik pada daerah terumbu karang. Di dunia terdapat kurang lebih 7000
spesies (sebagian besar merupakan kelas Demospongiae) yang terdiri atas 25
Ordo, 127 Famili dan 682 Genera (Hooper dan Van Soest 2004).
Spons merupakan anggota dari F ilum Porifera dan memiliki bentuk
yang bervariasi. Ada yang berbentuk cabang, pipih, mangkok, cerobong dan
ada pula yang berbentuk bola (Rachmaniar et al. 2001). Biota laut ini juga
mengandung senyawa bioaktif yang paling potensial, bahkan senyawa bioaktif
yang dikandungnya lebih banyak dibandingkan dengan alga dan tumbuhan
darat (Muniarsih 2003).
Pusat riset kelautan bertaraf internasional juga giat dalam berbagai
penelitian obat-obatan dengan materi senyawa bioaktif yaitu melalui isolasi
senyawa dari spons. Di Amerika Serikat ada dua lembaga ternama yang
menfokuskan risetnya dibidang farmakologi berbahan baku spons. Dua
lembaga tersebut adalah Scripts Institution of Oceanography, San Diego dan
University of Hawai. Hal serupa juga dilakukan oleh University of Dusseldorf ,
Jerman dan Australian Institute of Marine Science (AIMS), Townsville,
Australia (Ma’ruf 2003). Berdasarkan kajian Calbiochem, sebuah perusahaan
Industri kimia, 30 % dari seluruh obat-obatan antikanker dan antitumor yang
dihasilkan dunia kelak akan berasal dari terumbu karang dan spons di wilayah
Indonesia dan Australia (Ma’ruf 2003).
Dalam kurun waktu 10 tahun (1977-1987) dapat dikemukakan bahwa
penelitian terhadap spons cendrung meningkat, yakni berjumlah 289 metabolit
baru atau sekitar 36 % metabolit. Kecendrungan peningkatan ini disebabkan
oleh (a) bahan percobaan spons yang relatif mudah didapat (b) tipe struktur
molekul metabolit pada spons dan senyawa bioaktifnya yang lebih beragam
serta (c) kemampuan biosintesis metabolit sekunder yang lebih luas (Soediro
1999).

Spons diperairan Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang
terkaya didunia. Selanjutnya, diinformasikan juga hingga sekarang baru
terdaftar 830 jenis spons Demospongiae di perairan Indonesia Timur (Amir
1991). Kepulauan Seribu DKI Jakarta, memilki keanekaragaman spons relatif
lebih tinggi, seperti penelitian yang dilakukan oleh Rachmaniar et al. (2001)
dalam suatu penelitian yang paling me ndasar untuk bidang pengkajian bahan
alam laut. Salah satu bahan pengkajiannya adalah uji senyawa bioaktif 113
jenis spons laut di Pulau Pari Kepulauan Seribu, DKI Jakarta terhadap
bioindikator Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis dan Vibrio cholerae
eltor. Amir (1991) juga melakukan penelitian tentang studi pendahuluan untuk
mengumpulkan data jenis-jenis fauna spons yang terdapat di terumbu karang
di Pulau Genteng Besar, pulau-pulau Seribu termasuk juga pengamatan
mengenai bentuk dan ukuran spons di tempat hidupnya pada kedalaman yang
berbeda.
Menurut Janssen (2001), produksi metabolit sekunder pada organisme
dimodulasi oleh lingkungannya seperti, kedalaman air, intensitas cahaya dan
pertahanan kimia. Selanjutnya Haris (2004) mengatakan bahwa senyawa
bioaktif ekstrak spons yang hidup pada lingkungan dengan tingkat gangguan
yang rendah berbeda dengan senyawa bioaktif ekstrak spons pada lingkungan
dengan tingkat gangguan yang tinggi. Pada lingkungan perairan yang relatif
kotor memiliki senyawa bioaktif yang relatif tinggi, sedangkan pada perairan
yang relatif bersih senyawa bioaktif relatif rendah bahkan tidak aktif. De
Voogd (2005) juga mengatakan, spons dengan senyawa bioaktif lemah atau
tidak memiliki senyawa bioaktif , energi yang digunakan didalam tubuhnya
lebih banyak digunakan untuk pertumbuhan dan reproduksi daripada
memproduksi metabolit sekunder. Spons dengan kandungan senyawa bioaktif
tinggi disamping energinya untuk pertumbuhan dan reproduksi, maka
kelebihan energi (sisa energi yang lainnya) juga digunakan untuk
memproduksi metabolit sekunder dalam mempertahankan dirinya terhadap
pemangsa.
Penelitian-penelitian tentang spons laut telah banyak dilakukan seperti
oleh Amir (1991), Rachmaniar et al. (2001), Muniarsih (2003) dan Haris

(2004). Akan tetapi sangat sedikit studi yang menjelaskan distribusi,
keanekaragaman

dan

kelimpahan

spons-spons

bioaktif

terhadap

lingkungannya. B eberapa studi hanya menfokuskan pada ekologinya saja (Van
Soest 1989; Amir 1992; Bell dan Smith 2004, diacu dalam De Voogd 2005).
Oleh karena itu peneliti melakukan penelitian senyawa bioaktif antibakteri
spons terhadap kondisi kualitas perairan di Kepulauan Seribu tepatnya di
Pulau Lancang (daerah yang paling dekat dengan daratan utama, Jawa), Pulau
Pari (daerah yang telah mengalami gradas i pengaruh daratan utama) dan Pulau
Pramuka (daerah yang relatif sangat sedikit mendapatkan pengaruh daratan
utama). Kelas

yang

digunakan

dalam

objek

penelitian

ini adalah

Demospongiae. Hal ini didasari pada hampir 90 % jenis spons kelas
Demospongiae ditemukan di Indonesia (Rachmaniar 1994).

Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang dalam penelitian ini, maka dapat
dikemukakan hipotesis sebagai berikut :
Pada perairan yang relatif kotor senyawa bioaktif antibakteri ekstrak
spons dan kelimpahan relatif tinggi, sedangkan pada perairan yang relatif
bersih senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons dan kelimpahannya relatif
rendah.

Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengkaji

kualitas

fisika-kimia

perairan

tempat

hidup

spons

Demospongiae.
2. Mengkaji kelimpahan spons Demospongiae.
3. Mengkaji senyawa bioaktif antibakteri ekstrak spons Demospongiae
terhadap bakteri patogen Staphylococcus aureus dan Eschericia coli
dengan melihat ukuran diameter zona hambat (zona bening).
4. Melihat hubungan kualitas perairan terhadap kelimpahan dan senyawa
bioaktif antibakteri ekstrak spons Demospongiae.

Manfaat dari penelitian adalah :
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sumber informasi jenis-jenis
spons Demospongiae yang memiliki senyawa bioaktif antiba kteri yang relatif
tinggi terhadap bakteri patogen S. aureus dan E. coli dengan kelimpahan yang
relatif tinggi pula pada tiga kondisi perairan yang berbeda di Pulau Lancang,
Pulau Pari dan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.

Sistematika Penelitian
Pulau Lancang, Pulau Pari dan Pulau Pramuka merupakan pulau-pulau
yang terdapat di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Ketiga pulau ini memiliki
karakteristik yang berbeda -beda baik dalam hal kondisi fisika-kimia perairan,
kelimpahan spons, struktur komunitas maupun kandungan bioaktifnya. Lokasi
penelitian dibagi atas tiga stasiun yang masing-masing mewakili perairan
Pulau Lancang, Pulau Pari dan Pulau Pramuka. Penentuan stasiun didasarkan
atas perbedaan kondisi variabel fisika dan kimia perairan. Pulau Lancang
(daerah yang paling dekat dengan daratan utama, Jawa), Pulau Pari (daerah
yang telah mengalami gradasi pengaruh daratan utama) dan Pulau Pramuka
(daerah yang relatif sangat sedikit mendapatkan pengaruh daratan utama).
Kondisi perairan yang relatif kotor maupun relatif bersih juga mempengaruhi
kandungan bioaktif spons serta kelimpahannya di alam. Senyawa bioaktif ini
ditandai dengan metabolit sekunder yang diproduksi oleh spons untuk
mempertahankan hidupnya. Spons yang telah di identifikasi dikaji aspek ekobiologinya seperti kelimpahan, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman
dan indeks dominansi. Hasil identifikasi ini juga dilakukan pengujian senyawa
bioaktif antibakteri dari ekstrak spons terhadap bakteri S. aureus dan E. coli.
Spons yang memiliki senyawa bioaktif antibakteri ditunjukkan dengan
diameter zona bening (zona hambat). Nilai kandungan bioaktif spons ini
selanjutnya dikaji hubungannya terhadap kualitas perairan seperti: suhu,
salinitas, pH (derajat keasaman), DO (Dissolved Oxygen ), BOD5 (Biochemical
Oxygen Demand ), COD (Chemical Oxygen Demand ), TOM (Total Organic
Matter), kekeruhan, TSS (Total Suspended Solid ), N-NO3, P-PO4, silikat dan
kecepatan arus serta terhadap kelimpahan spons sehingga pada akhir penelitian

diharapkan akan didapat spons Demospongiae dengan kandungan bioaktif
tinggi, kelimpahan tinggi pada kondisi perairan yang berbeda (Gambar 1).

Habitat spons
(Pulau Lancang, Pulau Pari
dan Pulau Pramuka)

Kondisi fisikakimia perairan

Suhu, salinitas, pH,
DO, BOD 5, COD,
TOM, kekeruhan, TSS,
N-NO3, P -PO4, silikat
dan kecepatan arus

Ekstrak spons

Aspek eko-biologi

Kelimpahan, indeks
keanekaragaman,
indeks keseragaman
dan indeks dominansi
spons

Senyawa bioaktif
antibakteri terhadap
bioindikator
S. aureus dan E. coli

Hubungan kualitas perairan
terhadap senyawa bioaktif
antibakteri spons dan
kelimpahan

Spons dengan senyawa bioaktif
antibakteri tinggi, kelimpahan
tinggi pada kondisi perairan
yang berbeda

Rekomendasi
Gambar 1 Kerangka pendekatan masalah.

6

TINJAUAN PUSTAKA

Spons Demospongiae
Klasifikasi Spons Demo spongiae
Kingdom : Hewan
Filum

: Porifera

Kelas

: Demospongiae
Ordo : Halichondrida
Famili : Axinellidae
Genus : Acanthella
Spesies: Acanthella cavernosa
Genus : Styllotella
Spesies : Styllotella aurantum
Famili : Desmoxyidae
Genus : Higginsia
Spesies : Higginsia massalis
Genus : Myrmekioderma
Spesies : Myrmekioderma granulata
Famili : Dictyonellidae
Genus : Liosina
Spesies : Liosina sp
Ordo : Hadromerida
Famili : Suberitidae
Genus : Aaptos
Spesies : Aaptos cf subertoides
Ordo : Haplosclerida
Famili : Chalinidae
Genus : Adocia
Spesies : Adocia sp
Famili : Niphatidae
Genus : Aka
Spesies : Aka sp
Genus : Nip hates

7

Spesies : Niphates calista
Famili : Callyspongiidae
Genus : Cally spongia
Spesies : Cally spongia sp
Cally spongia aerizusa
Famili : Petrosiidae
Genus : Petrosia
Spesies : Petrosia sp
Genus : Neopetrosia
Spesies : Neopetrosia sp
Genus : Xesto spongia
Spesies : Xesto spongia sp1
Xesto spongia sp2
Xesto spongia testudinaria
Ordo : Dendroceratida
Famili : Darwinellidae
Genus : Chelonaplysilla
Spesies : Chelonaplysilla sp
Famili : Dysideidae
Genus : Euryspongia
Spesies : Euryspongia dilicatula
Ordo : Poecilosclerida
Famili : Microcionidae
Genus : Clathria
Spesies : Clathria sp
Clathria rendrawti
Clathria vulpina
Ordo : Spirophorida
Famili : Tetillidae
Genus : Cinachyra
Spesies : Cinachyra cylindrica
Genus : Paratetilla
Spesies : Paratetilla bacca

8

Ordo : Dictyoceratida
Famili : Spongiidae
Genus : Hippo spongia
Spesies : Hippo spongia amata
Famili : Thorectidae
Genus : Hyrtios
Spesies : Hyrtios erecta
Famili : Irciniidae
Genus : Ircinia
Spesies : Ircinia sp
Ordo : Astrophorida
Famili : Coppatiidae
Genus : Dorypleres
Spesies : Dorypleres spledens
Famili : Ancorin idae
Genus : Rhabdastrella
Spesies : Rhabdastrella globastellata
Ordo : Verongida
Famili : Drunellidae
Genus : Pseudoceratina
Spesies : Pseudoceratina verongita
Genus : Suberea
Spesies : Suberea laboutei (Hooper 2000).

Morfologi Spons
Spons adalah hewan yang termasuk Filum Porifera. Filum Porifera ini
ada yang menyatakan terdiri atas tiga kelas, yaitu: Calcarea, Demospongiae,
dan Hexactinellida (Haywood dan Wells 1989; Sara 1992; Amir dan
Budiyanto 1996; Rachmaniar 1996; Romimohtarto dan Juwana 1999),
sedangkan menurut Warren (1982) ; Kozloff (1990); Harrison dan De Vos
(1991); Ruppert dan Barnes (1991) ; Pechenik (1991) , Filum Porifera terdiri
atas empat kelas, yaitu: Calcarea, Demospongiae,
Sclerospongia.

Hexactinellida, dan

9

Kelas dari Filum Porifera ini memiliki karakteristik morfologinya
masing-masing. Kelas Calcarea misalnya, kelas ini memiliki struktur
sederhana dibandingkan yang lainnya. Spikulanya terdiri dari kalsium
karbonat dalam bentuk calcite. Kelas Demospongiae berbentuk masif,
berwarna cerah dengan sistem saluran yang rumit dan saluran ini dihubungkan
dengan kamar-kamar bercambuk kecil yang bundar. Spikulanya ada yang
terdiri dari silikat, serat spongin seperti: Dictyoceratida, Dendroceratida dan
Verongida. Kelas Hexactinellida merupakan spons gelas. Spikulanya terdiri
dari silikat dan tidak mengandung spongin (Warren 1982; Kozloff 1990;
Ruppert dan Barnes 1991; Brusca dan Brusca 1990; Amir dan Budiyanto
1996; Romihmohtarto dan Juwana 1999). Kelas Sclerospongia memiliki tipe
leuconoid yang kompleks yang mempunyai spikula silikat dan serat spongin.
Elemen-elemen ini dikelilingi oleh jaringan hidup yang terdapat pada rangka
basal kalsium karbonat yang kokoh atau pada rongga yang ditutupi oleh
kalsium karbonat (Warren 1982; Kozloff 1990; Harrison dan De Vos 1991;
Ruppert dan Barnes 1991; Pechenik 1991).
Gambar 2 menunjukkan morfologi umum dari Porifera. Tubuh spons
dibeda kan berdasarkan bentuknya yaitu dari bentuk encrusting sampai ke
bentuk gundukan tanah atau bentuk tabung dengan ukuran diameter lebih kecil
dari 1 mm atau lebih besar dari 1 m. Spons ada juga yang berbentuk seperti
kuping gajah. Beberapa kasus Porifera memiliki sistem canal yang melalui
pemompaan air. Air masuk melalui pori yang disebut ostia, mengalir melalui
canal-canal ke ruang yang luas disebut dengan spongoco el dan pengeluaran
terakhir melalui pembukaan yang lebar disebut oscula (Rigby et al. 1993).
Morfologi luar spons laut sangat dipengaruhi oleh faktor fisika, kimia,
dan biologi lingkungannya. Spesimen yang berada di lingkungan terbuka dan
berombak besar cenderung pendek pertumbuhannya atau juga merambat.
Sebaliknya spesimen dari jenis yang sama pada lingkungan yang terlindung
atau pada perairan yang lebih dalam dan berarus tenang, pertumbuhannya
cenderung tegak dan tinggi. Pada perairan yang lebih dalam spons cenderung
memiliki tubuh yang lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat dari
lingkungan yang lebih stabil apabila dibandingkan dengan jenis yang sama

10

yang hidup pada perairan yang dangkal (Bergquist 1978; Amir dan Budiyanto
1996).

Gambar 2 Morfologi umum dari Porifera (sumber: Rigby et al. 1993).
Beberapa spons ada yang berwarna putih, abu-abu, kuning, oranye,
merah, dan hijau. Spons yang berwarna hijau biasanya disebabkan oleh adanya
alga simbiotik yang disebut Zoochlorellae yang terdapat didalamnya
(Romimohtarto dan Juwana 1999). Warna spons tersebut sebagian dipengaruhi
oleh fotosintesis mikrosimbionnya. Mikrosimbion spons umumnya adalah
cyanophyta (cyanobacteria da n eukariot alga seperti dinoflagellata atau
Zooxanthella). Beberapa spons memiliki warna yang berbeda walaupun dalam
satu jenisnya. Beberapa spons juga memiliki warna dalam tubuh yang berbeda
dengan pigmentasi luar tubuhnya. Spons yang hidup di lingkungan yang gelap
akan berbeda warnanya dengan spons sejenis yang hidup pada lingkungan
yang cerah (Wilkinson 1980).

Tipe -tipe Sel Spons
Tipe Sel pada Jaringan Epitel. Demospongiae dan Calcarea
mempunyai tiga lapisan selluler utama seperti terlihat pada Gamba r 3. Lapisan
pertama adalah pinacoderm yang terletak di permukaan bagian luar spons
yang terdiri dari satu lapisan sel yang disebut pinacocytes. Lapisan kedua

11

adalah choanoderm, tersusun dari sel-sel choanocytes yang mempunyai sel-sel
leher (collars). Lapisan yang ketiga adalah mesohyl. Lapisan ini merupakan
suatu matriks protein yang terletak antara pinacoderm dan choanoderm, di
mana bahan rangka ditemukan dengan semua tipe sel lainnya. Pinacocytes di
bagian basal mengsekresikan bahan yang melekatkan spons ke substrat.
Pinacoderm adalah suatu lapisan yang selalu berada pada permukaan luar
spons dan juga pada semua deretan saluran pemasukan (incurrent canals) dan
saluran pengeluaran (excurrent canal). Sel-sel lain yang terdapat pada
pinacoderm adalah porocytes. Sel ini berbentuk silindris, mirip donat dan
membentuk ostia. Porocytes adalah kontraktil dan dapat membuka dan
menutup lubang serta mengatur diameter ostia . Beberapa porocytes dapat
menghasilkan bukaan ostia yang melintang seperti membran diafragma
sitoplasmik yang mengatur ukuran lubang. Sel-sel porocytes berasal dari
lapisan permukaan spongocoel (Brusca dan Brusca 1990; Kozloff 1990;
Ruppert dan Barnes 1991).

Gambar 3 Dinding sel Porifera yang dilihat melalui mikroskop (sumber:
Rigby et al. 1993).
Choanocytes berfungsi untuk membuat arus dan mengarahkan air
melewati sistem saluran air pada spons . Choanocytes mempunyai flagella.
Flagella ini sela lu dikelilingi oleh sel-sel leher (collars), yang terdiri dari

12

sejumlah pemanjangan sitoplasmik yang disebut microvilli. Microvilli
mempunyai inti mikrofilamen dan berhubungan satu dengan yang lainnya oleh
lendir retikulum. Choanocytes bersandar pada mesohyl, berpegang pada suatu
tempat oleh interdigitasi permukaan dasar yang berdekatan. Choanocytes
berperan utama pada fagositosis dan pinakositosis, karena dia mempunyai
vakuola makanan. Arus air melalui dan mengelilingi sel-sel leher (collars)
yang membawa bakteri dan partikel makanan kecil lainnya terperangkap di
dalam vakuolanya (Brusca dan Brusca 1990; Kozloff 1990; Ruppert dan
Barnes 1991). Umumnya choanocytes pada spons kelas Calcarea ukurannya
lebih besar (8-12 µm) daripada kelas Demospongiae (2-3 µm).

Tipe Sel Pembentuk Kerangka. Kerangka berupa serat kollagen
dikeluarkan oleh sel yang disebut collencytes , lophocytes, dan spongocytes.
Collencytes

secara morfologi hampir tidak dapat dibedakan dengan

pinacocytes, sedangkan lophocytes ukurannya besar, sel-selnya

bergerak

cepat, dan dapat dikenali dengan pengikat kollagen yang secara khas terdapat
di belakangnya. Fungsi utama kedua tipe sel tersebut adalah mengsekresikan
penyebaran serat kollagen yang terdapat secara interselluler pada semua spons.
Spongocytes menghasilkan serat pendukung kollagen yang disebut sebagai
spongin. Spongocytes menjalankan fungsinya dalam kelompok-kelompok dan
biasanya dibungkus sekelilingnya oleh spikula atau serat kollagen (Brusca dan
Brusca 1990), sedangkan sel yang bertanggung jawab untuk memproduksi
spikula kalkareus dan silikon pada spons adalah sclerocytes. Sclerocytes
adalah sel-sel aktif yang memiliki banyak mitokondria, mikrofilamen
sitoplasmik, dan vakuola kecil. Sejumlah tipe sclerocytes mempunyai
gambaran, yaitu se l-sel ini hancur setelah sekresi spikula selesai, sedangkan
yang

bertanggung

jawab

untuk

memproduksi

serat spongin adalah

spongocytes. Kedua tipe sel ini berasal dari archaeocytes. Sel-sel archaeocytes
mempunyai banyak manfaat, selain memproduksi spikula dan serat spongin,
dia juga penting dalam mengidentifikasi jenis, memelihara bentuk spons , dan
kemungkinannya mencegah serangan predator (Brusca dan Brusca 1990;
Pechenik 1991).

13

Tipe Sel Kontraktil dan Tipe Sel Lainnya. Tipe sel-sel kontraktil
pada spons disebut myocytes. Myocytes biasanya berbentuk fusiform dan
berkelompok secara konsentris disekitar oskula dan saluran utama. Myocytes
dapat dikenali karena berisi sejumlah besar mikrotubula dan mikrofilamen
pada sitoplasmanya. Myocytes adalah sama denga n sel-sel otot halus pada
invertebrata yang lebih tinggi. Myocytes adalah efektor-efektor independen
dengan waktu merespons yang lambat, dan tidak seperti neuron dan serat otot
sebenarnya, myocytes tidak sensitif pada rangsangan listrik. Kemudian ada selsel yang disebut archaeocytes. Archaeocytes adalah sel-sel ameboid yang
berukuran lebih besar dari tipe sel lainnya, dan merupakan

sel-sel yang

bergerak cepat. Sel-sel ini mempunyai peranan utama pada sistem pencernaan
dan pengangkutan makanan. Sel-sel ini memiliki bermacam-macam enzim
pencernaan (seperti: asam phosphatase, protease, amylase, lipase) dan dapat
menerima bahan makanan dari choanocytes. Sel-sel ini juga mencerna bahan
makanan langsung melalui pinacoderm pada saluran air. Sebagai makrofago
utama pada spons , sel-sel archaecytes mempunyai banyak aktivitas pada
sistem pencernaan, pengangkutan, dan pengeluaran. Sebagai sel-sel yang
mempunyai potensi maksimum, archaecytes adalah penting untuk kegiatan
perkembangan spons

dan

berbagai

macam

proses

aseksual,

seperti

pembentukan gemmule (Brusca dan Brusca 1990).

Sistem Saluran Spons
Sistem saluran ini bertindak sama seperti pada sistem sirkulasi hewan
tingkat tinggi. Sistem ini melengkapi jalan bebas untuk pemasukan makanan
ke dalam tubuh dan untuk pengangkutan zat buangan ke luar dari tubuh. Ada
tiga macam tipe saluran pada spons , yaitu asconoid, syconoid dan leuconoid
(Kozloff 1990; Brusca dan Brusca 1990; Ruppert dan Barnes 1991;
Romimohtarto dan Juwana 1999). Tipe asconoid terdapat dinding tipis
menutupi rongga tengah yang disebut atrium atau spongocoel, yang terbuka ke
arah luar melalui oskulum tunggal. Bukaan bagian luar pada saluran porocytes
disebut ostium (ostia) atau lubang pemasukan (incurrent pore). Pergerakan air
yang melalui spons tipe asconoid , strukturnya adalah sebagai berikut: ostium -

14

spongocoel (diatas choanoderm) - oskulum. Tipe syconoid , choanocytes
dibatasinya oleh ruang spesifik atau diverticula atrium yang disebut ruang
berflagella (flagelllate chamber), ruang choanocytes (choanocytes chamber)
atau saluran radial (radial canals). Setiap ruang choanocytes (choanocytes
chamber) terbuka ke arah spongocoel oleh lubang luas yang disebut apopyle.
Spons tipe syconoid dengan kulit yang tebal memiliki sistem saluran atau
incurrent canals yang berasal dari lubang kulit melalui mesohyl ke ruang
choanocytes (choanocytes chamber). Bukaan dari saluran ini yang menuju ke
ruang choanocytes (choanocytes chamber) disebut prosopyles. Spons
syconoid, air bergerak dari permukaan spons ke dalam aliran tubuh melalui
struktur sebagai berikut: incurrent pore - incurrent canals - prosopyle - ruang
choanocytes (choanocytes chamber) - apopyle - spongocoel - oskulum. Tipe
leuconoid ditemukan suatu peningkatan jumlah dan penurunan ukuran ruang
choanocytes (choanocytes chamber), yang secara khusus mengelompok pada
mesohyl yang tebal. Spongocoel berubah ke excurrent canals yang membawa
air dari ruang choanocytes (choanocytes chamber) ke oskula. Aliran air yang
melalui spons leuconoid adalah sebagai berikut: derma l pore - incurrent
canals - prosopyle - ruang choanocytes (choanocytes chamber) - apopyle excurrent canals - oskulum. Tipe leuconoid adalah ciri khas kebanyakan spons
kelas Calcarea dan semua anggota kelas Demospongiae (Brusca dan Brusca
1990).
Sistem Kerangka Spons
Semua spons, kecuali mereka yang termasuk Ordo kecil Myxospongia,
dilengkapi dengan kerangka. Kerangka ini ada yang terdiri dari kapur karbonat
atau silikat dalam bentuk spikula atau dari spongin dalam bentuk serat.
Spikula silikat tersusun dari opal, yaitu suatu bentuk silika terhidrasi yang
sama dengan kwarsa dalam reaksi kimianya. Spikula bermacam-macam
bentuknya dan karenanya berguna untuk menyusun spons ini ke dalam
kelompok-kelompok. Spongin adalah zat yang secara kimia berkerabat dengan
sutera. Spongin dikeluarkan oleh sel berbentuk stoples yang dinamakan
spongoblast, yakni sel penghasil spongin. Spikula tertimbun dalam sel-sel
yang disebut scleroblast, yakni sel spons tempat berkembangnya spikula, dan

15

lebih dari satu sel dapat mengambil bagian dalam pembentukan satu spikula.
Kapur karbonat dan silikat diekstrak oleh sel-sel dari air sekitarnya. Susunan
serat-serat spongin dapat diamati dengan mudah dengan meletakkan sepotong
spons mandi (bath sponges) di bawah mikroskop. Spons masif ta k pernah
berdiri tegak jika tidak karena adanya spikula atau spongin yang membentuk
kerangka, yang menopang tubuhnya sehingga dapat berdiri tegak, dan
mencegahnya rontok menjadi seonggok bahan kental seperti agar-agar yang
tidak memungkinkan adanya suatu saluran dan ruang-ruang berflagella
(Romimohtarto dan Juwana 1999). Adapun macam-macam kerangka spons
ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4 Macam-macam kerangka spons laut (sumber: Rigby et al. 1993).

Spikula adalah gambaran karakteristik spons. Spikula dapat berbentuk
kalkareus, silikon atau bahan organik, dan merupakan suatu komposis i kimia
yang dipakai sebagai dasar untuk mengklasifikasi spons . Fungsi utamanya

16

adalah membentuk rangka pendukung yang mencegah rubuhnya jutaan rongga
berflagella lembut dan saluran air dalam spons. Pada Demospongiae, spikula
silikat selalu menempel atau tertanam pada spongin, membuatnya lebih kaku,
dan pada beberapa jenis butiran pasir dimasukkan. Sekresi spikula baru atau
spongin memungkinkan secara relatif perubahan cepat arsitektur pada sistem
saluran air untuk merespons perubahan tekanan dan aliran air. Pada umumnya
setiap individu spons memiliki lebih dari satu macam bentuk spikula. Menurut
Bergquist (1978) bentuk spikula menurut fungsinya dibagi atas dua kategori,
yaitu megasklera dan mikrosklera. Megasklera adalah komponen dari
kerangka primer yang berperan untuk membentuk spons dan perkembangan
substruktur internal. Mikrosklera tidak berfungsi seperti peranan megasklera,
tetapi membentuk kelompok antara kumpulan megasklera atau tersebar pada
permukaan atau membran internal.
Makanan dan Cara Makan Spons
Spons adalah pemakan menyaring (filter feeder) yang menetap. Spons
memperoleh makanan dalam bentuk partikel organik renik baik yang hidup
maupun yang mati, seperti: bakteri, mikroalga dan detritus, yang masuk
melalui pori-pori arus masuk (ostia) yang terbuka dalam air, dan di bawa ke
dalam rongga lambung atau ruang-ruang berflagella. Arus air yang masuk
melalui sistem saluran dari spons diciptakan oleh flagella choanocytes yang
memukul-mukul secara terus menerus. Choanocytes juga mencerna partikel
makanan, baik disebelah luar maupun di dalam sel leher (collars). Sebuah
vakuola makanan terbentuk dan di vakuola ini pencernaan terjadi. Sisa
makanan yang tidak tercerna dibuang ke luar dari dalam sel leher (collars).
Makanan itu dipindahkan dari satu sel ke sel lain dan diedarkan dalam batas
tertentu oleh sel-sel amebocytes yang terdapat di lapisan tengah. Penting bagi
spons untuk hidup dalam air bersirkulasi, karenanya kita temukan hewan ini
dalam air yang jernih, bukannya air yang keruh. Karena arus air yang lewat
melalui spons membawa serta zat buangan dari tubuh spons, maka penting
agar air yang keluar melalui oskulum dibuang jauh dari badannya, karena air
ini tidak berisi makanan lagi, tetapi mengandung asam karbon dan sampah
nitrogen yang beracun bagi hewan tersebut (Romimohtarto dan Juwana 1999).

17

Spons dapat menyaring partikel yang sangat kecil yang tidak tersaring
oleh hewan-hewan laut lainnya (Bergquist 1978). Partikel yang berukuran
antara 2-5 µm (protozoa, ultraplankton, detritus organik) ditangkap oleh
archaeocytes, yang bergerak ke batas saluran pemasukan (incurrent canal),
sementara partikel yang berukuran antara 0,1–1,5 µm (bakteri, molekul
organik) ditangkap oleh flagella sel-sel leher (collars). Gerak mengombak
pada gerakan sel leher (collars) menangkap partikel makanan dan dibawa ke
sel tubuh choanocytes kemudian dicerna secara fagositosis atau pinositosis.
Spons juga dapat mengambil bahan organik terlarut (Dissolved Organic
Matter atau

DOM) dalam jumlah yang signifikan secara pinositosis dari

dalam air pada sistem saluran (Brusca dan Brusca 1990). Menurut penelitian
Reiswig (1976), diacu dalam Brusca dan Brusca (1990) , 80 % bahan organik
terlarut diambil oleh jenis spons Jamaika, dan 20 % adalah bakteri dan
dinoflagellata. Menurut Bell et al. (1999), jenis ultraplankton yang dimakan
oleh spons pada umumnya adalah jenis bakteri heterotropik, Prochlorococcus
spp, Synechococcus - tipe cyanobakteri dan picoeukaryotes autotropik
Choanocytes pada tubuh spons jumlahnya relatif besar. Menurut
Schmidt (1970) , diacu dalam Brusca dan Brusca (1990) , jenis Epydatia
fluvialis mempunyai jumlah choanocytes sekitar 7600 per millimeter kubik
tubuh spons . Setiap rongga choanocytes dapat memompa air sekitar 1200 kali
dari volume tubuhnya per hari. Spons yang lebih kompleks, tipe leuconoid
mempunyai jumlah choanocytes yang lebih besar, yaitu 18.000 per millimeter
kubik (Brusca dan Brusca 1990).

Reproduksi Spons
Reproduksi Aseksual. Sejumlah proses reproduksi aseksual pada
spons terjadi secara alami, yang dasarnya pada potensi perkembangan
archaeocytes. Proses ini termasuk pembentukan pucuk (bud formation ),
penyembuhan luka (wound healing), pertumbuhan somatik (somatic growth ),
pembentukan gemmule (gemmules formation) (Harrison dan De Vos 1991).

18

Produk Alam Laut dari Spons
Kategori Produk Alam Laut.
Produk alam laut dikelompokkan atas: (1) sumber biokimia yang
mudah untuk mendapatkan dalam jumlah yang besar dan dapat diubah menjadi
bahan yang lebih berharga; (2) senyawa bioaktif seperti: (a) senyawa
antimikroba, (b) senyawa aktif secara fisiologi (sinyal kimia) (c) senyawa aktif
secara farmakologi dan (d) senyawa sitotoksik dan antitumor; (3) Racun laut
(Kobayashi dan Rachmaniar 1999).
Senyawa Bioaktif Ekstrak Spons
Spons adalah salah satu biota laut yang menghasilkan senyawa
bioaktif. Senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh spons laut berasal dari ekstrak
spons. Ekstrak spons yang dihasilkan bersifat sebagai antibakteri, antijamur,
antitumor, antivirus, antifouling dan menghambat aktivitas enzim. Beberapa
senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh spons laut ditunjukkan pada Tabel 1.
De Voogd (2005) menyatakan, bioaktivitas spons ada tiga tipe
berdasarkan ada tidaknya senyawa bioaktif (bioaktive and non bioaktive):
1. Kuat (mortality of nauplii > 50 % pada konsentrasi 100 mg/l)
2. Sedang (mortality of nauplii 20-50 % pada konsentrasi 100 mg/l)
3. Lemah (mortality of nauplii < 20 % pada konsentrasi 100 mg/l)
Rachmaniar (1997) menyatakan, faktor-faktor yang mempengaruhi
besar kecilnya zona hambat senyawa bioaktif antibakteri pertumbuhan
aktivitas senyawa bioaktif antara lain aktivitas senyawa bioaktif gugus fungsi
dari substansi sendiri, resistensi dari bakteri terhadap substansi senyawa
bioaktif kadar substansi aktif, serta jumlah inokulum bakteri atau kepadatan
bakteri uji. Rachmaniar (1997) juga menambahkan, ekstrak-ekstrak yang tidak
menunjukkan aktivitas senyawa bioaktif belumlah berarti sampel tersebut
tidak aktif, tetapi kemungkinan tidak terdeteksi pada konsentrasi sampel uji
yang digunakan atau kadar hambat umumnya belum tercapai.

19

Tabel 1 Senyawa bioaktif yang dihasilkan spons laut menurut Soediro (1999)
Aktivitas
Senyawa bioaktif
Jenis spons
farmakologi
Sitotoksik
Asam 3,6 epoksieikosaHymeniacidon hauraki
3 ,5,8,1 1,14,17-heksaenoat
Reidispongiolid A dan B
Reidispongia coerulea
Superstolida A dan B
Neosiphnia sperstes
Swinhol ida A
Theonella swinhoet
Arenastatin A
Dysidea arenaria
Fakeliastatin
Phakelia costata
Diskodermin E-H
Discodermia kiiensis
Ingenamin,