Preferensi Habitat Spons di Pesisir Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta

PREFERENSI HABITAT SPONS DI PESISIR PULAU
PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

ERA SARI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Preferensi Habitat
Spons di Pesisir Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta adalah benar
karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, November 2014
Era Sari
NIM C54100078

_____________________________
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB
harus didasarkan pada kerja sama yang terkait

ABSTRAK
ERA SARI. Preferensi Habitat Spons di Pesisir Pulau Pramuka, Kepulauan
Seribu, DKI Jakarta. Dibimbing oleh DIETRIECH GEOFFREY BENGEN dan
ADRIANI SUNUDDIN.
Spons laut dapat hidup di berbagai habitat seperti pasir, karang mati, batu
serta pada media yang mempunyai struktur keras. Penelitian ini bertujuan
mengkaji struktur komunitas spons dan mengetahui preferensi habitat spons di
pesisir Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Agustus – November 2014 bertempat di Pulau Pramuka, sebelah Timur yaitu
Stasiun 1 habitat lamun (SL1) dan Stasiun 1 habitat Mangrove (SM1), Tenggara

yaitu Stasiun 2 habitat lamun (SL2) dan Stasiun 2 habitat mangrove (SM2), dan
Selatan yaitu Stasiun 3 habitat lamun (SL3) dan Stasiun 3 habitat mangrove
(SM3). Pengamatan spons dan pengambilan sampel spons dilakukan dengan
metode transek sabuk sepanjang 30 m sejajar garis pantai dengan radius 1 m,
sedangkan untuk menghitung kerapatan dan penutupan jenis lamun dan mangrove
menggunakan transek kuadrat ukuran 0.5 x 0.5 m2 dan 5 x 5 m2. Hasil penelitian
mendapati spons yang terdiri atas 9 ordo, 14 famili, dan 16 genera. Tujuh jenis
ditemukan di habitat lamun, empat jenis ditemukan di habitat mangrove dan lima
jenis ditemukan di kedua habitat. Spons yang umum ditemukan di lamun adalah
Plakinastrella onkodes, sedangkan spons yang umum ditemukan di mangrove
adalah Callyspongia pallida.
Kata kunci: struktur komunitas, spons, lamun, mangrove, Pulau Pramuka

ABSTRACT
ERA SARI. Habitat Preferences of Sponges at Pramuka Island Coast, Kepulauan
Seribu. Under Direction of DIETRIECH GEOFFREY BENGEN and ADRIANI
SUNUDDIN.
Marine sponges live at several habitats, such as sand, dead coral, rock and
any media which has hard structure. The purposes of this study were to study
sponges community structure and determine the habitat preferences of sponges’ at

Pramuka Island coast, Kepulauan Seribu. This study was conducted in August to
November 2014 at three sites representing each habitats; in The east of Pramuka
Island for seagrass (SL1) and mangrove (SM1), Southeast (SL2 and SM2), and
South (SL3 and SM3). Sponge observation and sample collection were done by
30 m belt transect method placed along the coastline with the radius of 1 m, while
to calculate the density and type of seagrass and mangrove closure using quadratic
transect size of 0.5 x 0.5 m2 and 5 x 5 m2. The result of this study showed that
sponges had a variety of 16 species of 9 orders, 14 families, and 16 genera. Seven
species of sponge was observed at seagrass habitat, while four species at
mangrove and five at both habitats. Plakinastrella onkodes was the most common
species observed in seagrass, Callyspongia pallida was the most common species
observed in mangrove.
Keywords : community structure, sponges, seagrass, mangrove, Pramuka Island

PREFERENSI HABITAT SPONS DI PESISIR PULAU
PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

ERA SARI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Kelautan
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Preferensi Habitat Spons di Pesisir Pulau Pramuka, Kepulauan
Seribu, DKI Jakarta
Nama
: Era Sari
NIM
: C54100078

Disetujui oleh


Prof. Dr. Ir. Dietriech G Bengen, DEA

Adriani Sunuddin, S.Pi, M.Si

Pembimbing I

Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2014 ini ialah
spons, dengan judul Preferensi Habitat Spons di Pesisir Pulau Pramuka,

Kepulauan Seribu.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dietriech G
Bengen, DEA dan Ibu Adriani Sunuddin, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing
dalam penelitian skripsi ini atas segala saran, bimbingan, dan nasihat selama
penelitian berlangsung dan selama penulisan skripsi ini. Di samping itu, penulis
juga mengucapakan terima kasih kepada Ibu Meutia Samira Ismet, S.Si, M.Si atas
bantuannya selama ini, serta terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi
Soedarma, DEA selaku dosen penguji. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah, ibu, kakak, adik dan seluruh keluarga atas segala doa, pengertian
dan kasih sayangnya, kemudian untuk keluarga besar Mahasiswa Ilmu dan
Teknologi Kelautan angkatan 47 atas segala bantuan dukungan dan semangatnya
khususnya Novi Dwi Indriyani, Nandike Ayudiah Poetri, Yuliyana Mubarokah,
Winda Meilindo dan Nurgraha Dwi Saputra.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2014
Era Sari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


viii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian


2

METODE

2

Lokasi dan Waktu Penelitian

2

Bahan

2

Alat

2

Prosedur Tahapan Penelitian


3

Prosedur Analisis Data

5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Komunitas Spons di Pulau Pramuka

7
7

Karakteristik Habitat Lamun di Perairan Pulau Pramuka

11

Karakteristik Habitat Mangrove di Perairan Pulau Pramuka

14


Preferensi Habitat Spons

15

SIMPULAN DAN SARAN

17

Simpulan

17

Saran

18

DAFTAR PUSTAKA

17


LAMPIRAN

20

RIWAYAT HIDUP

33

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Kerapatan dan penutupan jenis lamun pada masing-masing stasiun
Kualitas air di habitat lamun pada masing-masing stasiun
Kerapatan dan penutupan jenis mangrove pada masing-masing stasiun
Kualitas air di habitat mangrove pada masing-masing stasiun

12
13
14
15

DAFTAR GAMBAR
1 Gambar Peta Lokasi Penelitian dan Pengambilan Sampel Spons di Pulau
Pramuka, Kepulauan Seribu
2 Gambar (a) Spikula Megaskleres Monoaxon (b) Spikula Megaskleres
Tetraxon (c) Spikula Mikroskleres Monoaxon (d) Spikula Mikroskleres
Sigamatosklera
3 Gambar Kelimpahan Spons pada Masing-masing Stasiun di Habitat
Lamun
4 Gambar Kelimpahan Spons pada Masing-masing Stasiun di Habitat
Mangrove
5 Gambar Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominasi Spons di
Habitat Lamun
6 Gambar Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominasi Spons di
Habitat Mangrove
7 Grafik Analisis Koresponden antara Spons dengan Kelimpahan Spons di
Setiap Stasiun Pengamatan

2

4
8
9
10
11
16

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Matriks data Analisis Koresponden
Taksonomi Spons yang Ditemukan di Habitat Lamun dan Mangrove
Spons yang Ditemukan di Habitat Lamun
Spons yang Ditemukan di Habitat Mangrove
Kelimpahan Spons pada Masing-masing Stasiun di Habitat Lamun
Kelimpahan Spons pada Masing-masing Stasiun di Habitat Mangrove
Morfologi Spons dari Pulau Pramuka
Hasil Spikula Berdasarkan Ukuran Masing-masing Spesies Spons
Beragam Bentuk Spikula
Hasil Tabel Kontingensi Analisis Koresponden (Correspondence
Analysis)

20
21
22
23
25
26
27
30
31
32

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Spons termasuk Filum Porifera yang merupakan hewan bersel banyak
paling sederhana, dikatakan demikian karena kumpulan organ maupun
kemampuan geraknya sangat kecil dan hidupnya bersifat sessile. Filum Porifera
dibagi menjadi 3 kelas yaitu Calcarea, Hexactinellida, dan Demospongiae. Kelas
Calcarea merupakan spons yang jumlahnya sedikit sekitar 10% dari jumlah semua
hewan spons yang ada di laut. Kelas Hexactinellida belum banyak dikenal, karena
sulit didapat dan hanya terdapat di laut dalam (< 500 m). Kelas Demospongiae
terdiri dari 90% dari sekitar 4500 – 5000 jenis, dari total jenis yang hidup di
dunia. Kelas ini dibagi menjadi 3 subkelas, 13 ordo, 71 famili dan 1005 genera,
meskipun hanya 507 genera yang dinyatakan masih ada, 481 genera hidup
diperairan laut dan 26 genera hidup di air tawar (Hooper 2000). Kelas
Demospongiae adalah spons yang paling banyak ditemukan dan penyebarannya
luas, jenis spons ini beragam dan relatif banyak mendapatkan perhatian dari para
ahli biokimia.
Secara umum, tubuh spons terdiri atas dinding tubuh, ostia (tempat
masuknya air), atrium (rongga tubuh) dan oskulum (tempat keluarnya air). Spons
memiliki bentuk yang bervariasi, ada yang berbentuk cabang, pipih, mangkok,
cerobong dan ada pula yang berbentuk bola (Rachmaniar et al. 2001). Biota laut
ini dikenal dengan filter feeder yaitu mencari makanan dengan mengisap dan
menyaring air melalui sel cambuk dan memompakan air keluar melalui oskulum.
Spons laut dapat hidup di berbagai habitat seperti pasir, karang mati, batu serta
pada media yang mempunyai struktur keras. Spons mengandung senyawa bahan
alam (metabolit sekunder), senyawa bahan alam ini banyak dimanfaatkan dalam
bidang farmasi, karena memiliki sifat bioaktif. Spons memiliki senyawa bioaktif
yang paling potensial, bahkan senyawa bioaktif yang dikandungnya lebih banyak
dibandingkan dengan alga dan tumbuhan darat (Muniarsih 2003).
Penelitian-penelitian tentang spons laut telah banyak dilakukan seperti
Rachmaniar et al. (2001), Muniarsih (2003) dan Haris (2004). Akan tetapi
penelitian mengenai preferensi habitat spons di Indonesia belum banyak
dilakukan. Karjo (2006) telah melakukan penelitian mengenai Distribusi dan
Preferensi Habitat Spons Kelas Demospongiae di Kepulauan Seribu DKI Jakarta
Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini yaitu pesisir Pulau Pramuka,
Kepulauan Seribu. Pulau Pramuka memiliki keanekaragaman hayati yang cukup
tinggi salah satunya spons. Namun pada saat ini, informasi mengenai spons belum
banyak diketahui, seperti habitat, kelayakan parameter hidup, distribusi, dan
kelimpahan. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian komunitas spons dan
preferensi habitat spons sebagai bentuk antisipasi dini terhadap kemungkinan
pengelolaan usaha budidayanya dimasa depan.

2

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur komunitas spons dan
mengetahui preferensi habitat spons di pesisir Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI
Jakarta. Penelitian ini dibagi kedalam dua tahap, yaitu pengambilan data dan
pengolahan data sampel. Pengambilan data di lakukan pada 15-17 Agustus 2014
dengan 3 stasiun penelitian, masing-masing stasiun terdapat 2 titik lokasi
pengamatan yaitu di habitat lamun dan habitat mangrove. Tahapan pengolahan
data contoh dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan bulan September
2014 bertempat di Bagian Biologi Laut Departemen Ilmu dan Teknologi
Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian dan Pengambilan Sampel Spons di Pulau
Pramuka, Kepulauan Seribu

Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu spons, alkohol 70%, es
untuk pengawetan sampel spons dan reagen untuk titrasi Dissolved Oxygen (DO).

Alat
Alat yang digunakan untuk penelitian ini yaitu transek sabuk (belt transect)
sepanjang 30 m, transek kuadrat 0.5 x 0.5 m2 dan 5 x 5 m2, tali rapiah, alat tulis

3
(newtop/sabak, pensil), cutter, GPS (Global Positioning system), gunting, plastik
contoh, botol contoh, botol erlenmeyer, gelas ukur, botol BOD, kertas label,
kamera underwater, refraktometer, kertas lakmus, ADS (Alat Dasar Selam), dan
kalkulator.

Prosedur Tahapan Penelitian
Pengamatan Spons di Habitat Lamun
Metode yang digunakan untuk pengamatan spons di padang lamun yaitu
metode transek sabuk dengan radius 1 m sepanjang transek garis 30 m sejajar
garis pantai. Spons yang ditemukan di dokumentasikan dan diamati morfologinya
untuk kepentingan identifikasi. Kerapatan dan penutupan jenis lamun dihitung
menggunakan transek kuadrat (0.5 x 0.5 m2) dengan jarak antar transek 10 dan
diletakkan secara zig-zag di sepanjang transek sabuk.
Pengamatan Spons di Habitat Mangrove
Metode yang digunakan untuk pengamatan spons di habitat mangrove yaitu
metode transek sabuk dengan radius 1 m sepanjang transek garis 30 m sejajar
garis pantai. Spons diamati morfologinya ketika di perairan dan di darat,
morfologi yang diamati meliputi warna, tekstur (kasar, halus, keras, lembut), dan
bentuk pertumbuhannya. Morfologi tersebut diamati untuk kepentingan
identifikasi jenis spons. Kerapatan dan penutupan jenis mangrove dihitung
menggunakan transek kuadrat (5 x 5 m2) dengan jarak antar transek 5 m dan
diletakkan secara zig-zag di sepanjang transek sabuk.
Preparasi Pengambilan Sampel Spons
Spons yang ditemukan di habitat lamun dan mangrove difoto atau
didokumentasikan dan diambil sebagian dengan cara memotong spons dengan
menggunakan pisau cutter. Sampel spons yang diambil dimasukkan ke dalam
plastik sampel yang berisi air laut untuk kepentingan identifikasi jenis spons dan
pengamatan morfologi spons. Morfologi spons diamati langsung pada habitat
aslinya dan di laboratorium. Sampel spons yang diambil, langsung diawetkan
dengan menggunakan alkohol 70%. Setelah diberi alkohol, sampel disimpan
dalam kotak yang berisi es untuk mencegah kerusakkan sampel spons sebelum
dianalisis di laboratorium. Spons diidentifikasi dengan melakukan pengamatan
morfologi dan spikula spons.
Identifikasi Spons
Identifikasi spons dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis.
Identifikasi spons secara makroskopis yaitu dengan mengamati bentuk luar spons,
oskula, konsistensi (rapuh, padat, lunak, keras, lembut, kasar), permukaan, bentuk
pertumbuhan dan warna, sedangkan identifikasi spons secara mikroskopis yaitu
dengan mengamati spikula dari spons. Spikula dari spons dapat dilihat dengan
cara memotong spons secara melintang dan membujur dilarutkan dengan natrium
hypoklorit dalam tabung reaksi, setelah materi spons tersebut larut, bilas materi
tersebut dengan menggunakan aquadest. Ambil endapan dari larutan tersebut dan
ditaruh di atas preparat untuk pengujian di bawah mikroskop dengan perbesaran 4

4
x 10 (Hooper 2000). Spikula tersebut diidentifikasi berdasarkan ukuran dan axis.
Menurut Hooper (2000) Berdasarkan ukurannya, spikula dibagi menjadi dua
yaitu:
1. Megaskleres, spikula besar dengan ukuran panjang 0.1>1 mm; dapat
bergabung membentuk bagian yang koheren
2. Mikroskleres, spikula kecil berukuran panjang 0.01 – 1 mm; tersebar di
seluruh tubuh
Berdasarkan axis (cabang), spikula dibedakan atas 3 bentuk, yaitu:
1. Monaxon, spikula dengan satu axis
2. Triaxon, spikula dengan tiga axis
3. Tetraxon, spikula dengan empat axis

(a)

(c)

(b)

(d)

Gambar 2 (a) Spikula Megaskleres Monoaxon (b) Spikula Megaskleres Tetraxon
(c) Spikula Mikroskleres monoaxon (d) Spikula Mikroskleres Sigmatoslera
Identifikasi lanjut jenis atau spesies spons mengacu pada buku Hooper 2000
beserta database spons dunia yang terdapat pada situs web
marinesspecies.org/porifera dan spongeguide.org
Pengukuran Kualitas Perairan
Contoh air diambil di permukaan perairan pada setiap stasiun di kedua
habitat dengan menggunakan botol sampel. Parameter fisika dan kimiawi yang
diamati yaitu suhu, salinitas, kecerahan, kedalaman pH, DO, nitrat, dan orto
fosfat. Pengukuran kualitas air dilakukan secara insitu dan eksitu, secara insitu
yaitu suhu, salinitas, pH, kecerahan, kedalaman dan DO, sedangkan secara eksitu
yang dilakukan di Laboratorium Produktivitas Lingkungan IPB yaitu nitrat dan
orto fosfat

5
Prosedur Analisis Data
Habitat Lamun dan Mangrove
Analisis yang dilakukan pada habitat lamun dan mangrove yaitu dengan
menghitung kerapatan jenis, frekuensi jenis, penutupan jenis dan indeks nilai
penting.
a. Kerapatan Jenis Lamun dan Mangrove
Kerapatan jenis adalah jumlah total individu suatu jenis (lamun/mangrove)
dalam satu unit area yang dihitung. Kerapatan jenis dihitung berdasarkan rumus
(Fachrul 2007) sebagai berikut:

Keterangan :
Di
= Kerapatan jenis ke-i (ind/m2)
Ni
= Jumlah total individu jenis ke-i (ind)
A
= Luas area total pengambilan contoh (m2)
b. Penutupan Jenis Lamun

Keterangan :
Ci
= Penutupan jenis ke-i (ind/m2)
Mi
= Persentase nilai tengah kelas ke-i
fi
= Frekuensi (jumlah jenis ke-i)
= Jumlah total frekuensi jenis ke-i
d. Penutupan Jenis Mangrove

Keterangan :
Ci
= Penutupan jenis ke-i (ind/m2)
BA
= π DB ²/4 (cm²)
∑ BA = Jumlah seluruh luas lingkar pohon, anakan, semai (m2)
Spons
Analisis yang dilakukan pada spons yaitu dengan menghitung kelimpahan
(X), indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E), indeks dominasi (D).
a. Kelimpahan Spons (X)
Kelimpahan spons adalah jumlah individu persatuan luas. Kelimpahan
spons yang ada pada stasiun pengamatan spons dihitung berdasarkan (Fachrul
2007):

6
Keterangan:
X
= Kelimpahan spons (ind/ m2)
Xi
= Jumlah individu spons (ind)
A
= Luas pengamatan spons (m2)
b. Indeks Keanekaragaman (H’)
Indeks keanekaragaman yang paling umum digunakan adalah indeks
Shannon-Wiener (Bakus 2007) dengan rumus:

Keterangan :
H'
= Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
S
= Jumlah genus biota
Pi
= Proporsi jumlah individu pada genus biota (ni/N)
ni
= Jumlah individu jenis ke-i
N
= Jumlah seluruh jenis
Keanekaragaman jenis digunakan untuk mengetahui keanekaragaman hayati
biota yang akan diteliti. Bila nilai indeks semakin tinggi, berarti komunitas biota
perairan itu makin beragam dan tidak hanya di dominasi oleh satu atau dua taksa
saja. Kriteria hasil indeks keanekaragaman menurut Brower et al. 1989 yaitu
sebagai berikut: H’9.97 maka
tingkat keanekaragaman jenisnya tinggi artinya penyebaran jumlah individu tiap
spesies dalam kestabilan komunitas tinggi.
c. Indeks Keseragaman (E)
Keseragaman digunakan untuk mengetahui pola penyebaran individu tiap
taksa. Rumus indeks keseragaman (Index Evenness) ditentukan dengan persamaan
(Bakus 2007) sebagai berikut:

Keterangan :
E
= Indeks keseragaman Evenness
H’
= Indeks keanekaragaman Shanon & Wiener
H maks = Keragaman maksimum (log2 S)
S
= Banyaknya taksa (Jumlah individu yang ditemukan)
Penggolongan nilai keseragaman menurut Pielou (1977) adalah 0 – 0.25
tidak merata, 0.26 – 0.50 kurang merata, 0.51 – 0.75 cukup merata, 0.76 – 0.95
hampir merata, dan 0.06 – 1.00 merata
d. Indeks Dominasi (D)
Nilai indeks keseragaman dan nilai indeks keanekaragaman yang kecil
biasanya menandakan adanya dominasi suatu spesies terhadap spesies-spesies
lain. Ada tidaknya dominasi dari suatu taksa tertentu yang ditentukan dengan
indeks Simpson (Fachrul 2007) dengan persamaannya sebagai berikut :

7

Keterangan :
D
= Indeks dominasi Simpson
Pi
= Proporsi jumlah individu pada genus biota (ni/N)
ni
= Jumlah individu jenis ke-i
N
= Jumlah seluruh jenis
Kisaran indeks dominasi dinyatakan sebagai berikut: 0 < D ≤ 0.50: dominasi
rendah; 0.50 < D ≤ 0.75: dominasi sedang; dan 0.75 < D ≤ 1.00: dominasi tinggi.
Preferensi Habitat Spons
Analisis preferensi habitat spons yang ditemukan di Pulau Pramuka
menggunakan Analisis Koresponden (Correspondence Analysis) yaitu dengan
menghubungkan jenis spesies spons dengan kelimpahan spons di habitat lamun
dan mangrove (Bengen 2000). Matriks data yang digunakan yaitu jenis spesies
spons dan kelimpahan spons di setiap stasiun pengamatan (Lampiran 1). Adanya
interaksi suatu organisme dengan karakteristik habitat tertentu dapat dipakai
sebagai indikasi hadir tidaknya organisme tersebut pada suatu tempat dengan
kepadatan yang tertentu pula. Pengerjaan analisis koresponden menggunakan
software Minitab 15.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komunitas Spons Di Pulau Pramuka
Kelimpahan Spons di Habitat Lamun dan Mangrove
Spons laut dapat hidup di berbagai habitat seperti pasir, karang mati, batu
serta pada media yang mempunyai struktur keras. Pada substrat beton spons laut
dapat melekat dengan baik, karena struktur substrat yang keras dan kasar sehingga
memudahkan spons untuk melekat pada media tersebut. Oleh karena itu, spons
dikatakan bersifat sessil yang artinya melekat dan menetap pada suatu substrat
(Romimohtarto dan Juwana 2001). Apabila spons sudah melekat pada suatu
substrat maka spons tersebut tidak akan berpindah tempat lagi dan terus tumbuh.
Spons di habitat lamun tumbuh di dasar substrat yang berupa pasir, sedangkan di
habitat mangrove spons tumbuh dengan cara menempel pada akar mangrove.

8
Pengamatan spons di habitat lamun dan habitat mangrove dilakukan di
ketiga stasiun pada titik yang berbeda. Spons yang ditemukan di Pulau Pramuka
ada 16 jenis yang terdiri atas 9 ordo, 14 famili dan 16 genera (Lampiran 2). Semua
jenis spons yang ditemukan baik di habitat lamun maupun di habitat mangrove
merupakan jenis spons dari kelas Demospongiae. Jenis spons tersebut adalah
Agelas conifera, Amphimedon viridis, Aka shipona, Callyspongia pallida,
Chalinula pseudomolitba, Clathria reinwardti, Halisarca sp, Halichondria
melanodocia, Hyrtios violaceus, Plakinastrela onkodes, Spirastrella hartmanni,
Tectitethya crypta, Haliclona cymaeformis, Agelas cervicornis, Haliclona
oculata, dan Spheciospongia vesparium.
Spons yang ditemukan di habitat lamun ada 12 jenis yaitu Agelas conifera,
Amphimedon viridis, Aka shipona, Chalinula pseudomolitba, Clathria reinwardti,
Halisarca sp, Halichondria melanodocia, Hyrtios violaceus, Plakinastrela
onkodes, Spirastrella hartmanni, Tectitethya crypta, dan Haliclona cymaeformis
(Lampiran 3), sedangkan spons yang ditemukan di habitat mangrove ada 9 jenis
yaitu Amphimedon viridis, Callyspongia pallida, Chalinula pseudomolitba,
Halichondria melanodocia, Hyrtios violaceus, Tectitethya crypta, Agelas
cervicornis, Haliclona oculata, dan Spheciospongia vesparium (Lampiran 4).
Kelimpahan total spons di habitat lamun yang paling tinggi terdapat di SL1 yaitu
sebesar 568 ind/m2 (Lampiran 5). Stasiun ini dicirikan dengan kerapatan lamun
yang jarang, sedangkan kelimpahan total spons paling tinggi di habitat mangrove
yaitu SM2 sebesar 9.47 ind/m2 (Lampiran 6). Stasiun ini dicirikan dengan
penutupan vegetasi mangrove yang rendah. Hal ini diduga spons tesebut lebih
menyukai habitat yang langsung terpapar sinar matahari, sehingga spons lebih
banyak ditemukan di habitat dengan kerapatan vegetasi rendah. Selain itu, kondisi
lingkungan di SL1 dan SM2 memiliki kandungan nitrat dan orto-fosfat lebih
tinggi dibanding dengan stasiun lain. Kelimpahan spons di habitat lamun dan
habitat mangrove disajikan pada Gambar 3 dan Gambar 4.

9
Gambar 3 Kelimpahan Spons pada Masing-masing Stasiun di Habitat Lamun

Gambar 4 Kelimpahan Spons pada Masing-masing Stasiun di Habitat Mangrove
Gambar 3 menjelaskan bahwa spons yang paling banyak ditemukan di
habitat lamun yaitu jenis Plakinastrella onkodes, jenis spons ini mendominasi dan
mempunyai kelimpahan yang tinggi di ketiga stasiun pada habitat lamun.
Berdasarkan hasil pengamatan, jenis spons Plakinastrella onkodes merupakan
jenis spons yang mempunyai tekstur tubuh yang keras, kokoh ,berwarna coklat,
yang tumbuh secara tegak dan tertanam di substrat sehingga spons jenis ini
mampu beradaptasi terhadap gelombang dan arus (Lampiran 7). Arus air yang
tinggi akan meningkatkan pertumbuhan spons (Voogd 2005). Menurut Muniarsih
dan Rachmaniar (1999) spons memperoleh makanannya dengan cara menyaring
partikel-partikel makanan yang terbawa oleh arus yang melewati tubuhnya. Arus
berperan penting dalam proses penyediaan makanan bagi spons yang merupakan
filter feeder. Kemudian Duckworth et al. (1997) dalam Asro et al. (2013) juga
menyatakan bahwa arus berguna menghalau dan membersihkan sampah yang
menutupi fragmen sehingga spons dapat tumbuh lebih baik.
Jenis spons Callyspongia pallida merupakan jenis spons yang mempunyai
kelimpahan tertinggi di SM1 dan SM2, tetapi jenis spons ini tidak ditemukan di
SM3 (Gambar 4). Kondisi di SM3 mempunyai komposisi vegetasi mangrove yang
didominasi oleh anakan mangrove, sedangkan di SM1 dan SM2 komposisi
vegetasi mangrove didominasi oleh semai. Hal ini menyebabkan SM1 dan SM2
penetrasi cahaya yang masuk pada kolom air lebih besar dibandingkan dengan
SM3. Diduga spons jenis Callspongia pallida lebih menyukai habitat yang
langsung terpapar cahaya matahari. Spons memerlukan intensitas cahaya untuk
tumbuh dan berkembang (Hoffman et al. 2003). Penetrasi cahaya yang optimum
memicu pertumbuhan dan metabolisme alga mikrosimbion. Berdasarkan hasil
pengamatan, morfologi spons jenis Callyspongia pallida mempunyai tekstur

10
tubuh yang lembut, berwarna hijau, dan tumbuh bercabang dengan cara menempel
di akar mangove (Lampiran 7).
Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominasi Spons di Habitat Lamun dan
Habitat Mangrove
Keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominasi (D) jenis merupakan
kajian indeks yang sering digunakan untuk menduga kondisi suatu lingkungan
perairan berdasarkan komponen biologis. Indeks keanekaragaman (H’),
keseragaman (E) dan dominasi (D) jenis disajikan dalam Gambar 5.

Gambar 5 Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominasi Spons di Habitat
Lamun
Indeks keanekaragaman (H’) spons di SL1 sebesar 1.68, SL2 sebesar 0.98
dan SL3 sebesar 0.56. Menurut Brower et al. (1989), ketiga stasiun memiliki
tingkat keanekaragaman spons yang rendah artinya penyebaran jumlah individu
tiap jenis termasuk dalam kestabilan komunitas rendah. Indeks keseragaman (E)
spons di SL1, SL2 dan SL3 berturut-turut sebesar 0.47, 0.27 dan 0.16. Menurut
Pielou (1977), SL1 dan SL2 mempunyai keseragaman spons yang kurang merata,
sedangkan SL3 keseragaman spons termasuk tidak merata. Indeks dominasi (D)
spons di SL1 sebesar 0.10, SL2 sebesar 0.46, dan SL3 sebesar 0.002.
Berdasarkan kisaran indeks dominasi Brower et al. (1989) ketiga Stasiun
memiliki dominasi spons yang rendah (Gambar 5)

11

Gambar 6 Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominasi Spons di Habitat
Mangrove
Gambar 6 menunjukkan bahwa Indeks keanekaragaman (H’) spons di SM1
sebesar 1.62, SM2 sebesar 0.88 dan SM3 sebesar 0.85. Ketiga stasiun memiliki
keanekaragaman spons yang rendah (Brower et al. 1989). Indeks keseragaman (E)
spons di SM1, SM2, dan SM3 berturut-turut sebesar 0.51, 0.28, dan 0.27.
Berdasarkan penggolongan nilai indeks keseragaman menurut Pielou (1977),
keseragaman spons di SM1 termasuk cukup merata, sedangkan SM2 dan SM3
mempunyai keseragaman spons yang kurang merata. Indeks dominasi (D) spons
di SM1 sebesar 0.03, SM2 sebesar 0.13, dan SM3 sebesar 0.01. Ketiga Stasiun
tersebut mempunyai dominasi spons dengan kategori rendah (Brower et al. 1989).

Karakteristik Habitat Lamun di Perairan Pulau Pramuka
Kerapatan Jenis dan Penutupan Jenis Lamun
Jenis lamun yang ditemukan di ketiga lokasi penelitian yaitu Cymodocea
rotundata, Enhalus acoroides dan Halophila ovalis. Perairan Indonesia tercatat
memiliki 12 jenis lamun yaitu Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata,
Enhalus acoroides, Halodule pinifolia, Halophila decipiens, Halophila ovalis,
Halophila spinulosa, Syringodium isoetifilium, Thalassia hemprichii, dan
Thalassodendrom ciliatum (Kiswara dan Winardi 1994). Lamun merupakan suatu
ekosistem yang sangat penting dalam wilayah pesisir karena memiliki
keanekaragaman hayati tinggi, sebagai habitat yang baik bagi beberapa biota laut
(spawning, nursery dan feeding ground), dan merupakan ekosistem yang tinggi
produktivitas organiknya (Nontji 2002). Berdasarkan hasil penelitian di ketiga
lokasi pengamatan diperoleh hasil kerapatan jenis lamun dan penutupan jenis
lamun. Kerapatan jenis lamun adalah jumlah total individu jenis lamun yang
dijumpai dalam suatu unit area pengamatan yang diukur, sedangkan penutupan
jenis lamun adalah luasan area pengamatan yang ditutupi oleh jenis lamun.

12
Penutupan jenis menggambarkan tingkat penaungan ruang oleh komunitas lamun.
Informasi mengenai penutupan sangat penting untuk mengetahui kondisi
ekosistem secara keseluruhan serta sejauh mana komunitas lamun mampu
memanfaatkan luasan yang ada. Nilai kerapatan belum tentu dapat
menggambarkan tingkat penutupan suatu jenis lamun, karena nilai penutupan
selain dipengaruhi oleh kerapatan juga erat kaitannya dengan tipe morfologi jenis
lamun (Zulkifli 2000). Hasil kerapatan jenis lamun pada masing-masing stasiun
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Kerapatan jenis dan penutupan jenis lamun pada masing-masing stasiun
Lokasi Penelitian
Jenis Lamun
SL1
SL2
SL3
Di
Ci
Di
Ci
Di
Ci
Cymodocea rotundata
624
18.77
640
30.84 2392 211.87
Enhalus acoroides
0
0
32
4.21
0
0
Halophila ovalis
0
0
24
0.95
20
1.2
Total
624
28.05
696
36
2412 214.02
Di=Kerapatan jenis (ind/m2); Ci=Penutupan jenis (ind/m2)

Jenis lamun yang ditemukan di SL1 yaitu Cymodocea rotundata, di SL2
Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides dan Halophila ovalis, sedangkan di
SL3 Cymodocea rotundata dan Halophila ovalis. Cymodocea rotundata
merupakan jenis lamun yang mendominasi di ketiga lokasi penelitian dan
memiliki nilai kerapatan jenis dan penutupan jenis paling tinggi dibandingkan
jenis lamun lainnya. Menurut Tomascik et al. (1997), Cymodocea rotundata
mampu hidup di daerah dangkal yang tertutup karang dan mempunyai toleransi
yang tinggi di daerah tidak terendam air. Cymodocea rotundata ini juga
merupakan jenis lamun yang menyukai perairan yang terpapar sinar matahari dan
merupakan jenis lamun yang kosmopolit, yaitu dapat tumbuh hampir di semua
kategori habitat (Broun 1985). Tingginya penutupan jenis tidak selamanya linear
dengan jumlah jenis maupun kerapatan jenis karena penutupan dipengaruhi lebar
helaian daun, sedangkan kerapatan dipengaruhi jumlah tegakan lamun. Lebar
helain daun sangat berpengaruh pada penutupan substrat, makin lebar helaian
daun dari jenis lamun tertentu maka kemampuan untuk menutupi substrat semakin
besar. Ketiga stasiun didominasi oleh Cymodocea rotundata dengan ukuran
helaian daun yang cukup lebar dan memiliki jumlah tegakan yang paling banyak
dibanding jenis lamun lainnya, sehingga mempunyai nilai penutupan yang besar.
Perhitungan total kerapatan dan penutupan jenis lamun dilakukan dengan
menjumlahkan nilai kerapatan dan penutupan jenis masing-masing lamun pada
setiap stasiun. Hal ini dilakukan sebagai bentuk pendekatan untuk menduga
seberapa besar kerapatan dan penutupan untuk seluruh jenis pada stasiun tertentu.
Tabel 1 menunjukkan kerapatan dan penutupan jenis total lamun tertinggi adalah
SL3 sebesar 2412 ind/m2 dan 214.02 ind/m2, sedangkan kerapatan dan penutupan
jenis total lamun terendah adalah SL1 sebesar 624 ind/m2 dan 28.05 ind/m2.
Tingginya kerapatan dan penutupan jenis total lamun di SL3 terkait dengan
tingginya jumlah tegakan jenis lamun yang ditemukan, selain itu tingginya
kerapatan dan jumlah jenis lamun pada stasiun ini kemungkinan terkait dengan
karakteristik habitat seperti kedalaman dan jenis substrat yang sangat mendukung
untuk pertumbuhan dan keberadaan lamun. Hasil dari pengamatan menunjukkan

13
bahwa di SM3 memiliki karakter habitat yaitu substrat dengan kandungan pasir
halus, sedangkan di SL1 dan SL2 didominasi oleh substrat hamparan karang mati
dan rubble. Menurut Tomascik et al. (1997), kandungan bahan organik pada
sedimen halus lebih tinggi dibandingkan sedimen kasar, tingginya kandungan
bahan organik dalam substrat sangat menunjang proses pertumbuhan dari lamun.
Kondisi Lingkungan Perairan di Habitat Lamun Pulau Pramuka
Pengukuran kualitas perairan pada habitat lamun dilakukan di tiga stasiun
yaitu bagian Timur (SL1), Tenggara (SL2), dan Selatan (SL3) Pulau Pramuka
Kepulauan Seribu. Parameter yang diambil untuk mengukur kualitas perairan
adalah parameter fisika dan kimiawi yaitu suhu, kedalaman, kecerahan, salinitas,
pH, DO, nitrat, dan orto fosfat. Nilai kualitas perairan di lokasi penelitian
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Kualitas air di habitat lamun pada masing-masing stasiun
Lokasi Penelitian
No
Parameter
Baku Mutu*
SL2
SL2
SL3
1
Suhu (C)
30
30
30
28-30
2
Kedalaman (cm)
68-76
70-80
47-60
3
Kecerahan (%)
100
100
100
4
Salinitas (‰)
34
34
34
33-34
5
DO (mg/L)
6.48
5.87
5.87
>5
6
Nitrat (mg/L)
0.101
0.089
0.008
0.008
7
Orto-Fosfat (mg/L) 0.022
0.021
0.016
0.015
*Keterangan : Nilai baku mutu berdasarkan Kepmen LH No.51 Tahun 2004

Berdasarkan data kualitas air pada Tabel 2, kedalaman perairan pada ketiga
lokasi penelitian di habitat lamun kurang dari 1 m dengan kecerahan 100%, hal
tersebut terlihat dari substrat dasar perairan yang terlihat dengan jelas. Suhu
perairan di ketiga lokasi penelitian sebesar 30 C, kisaran suhu optimal bagi jenis
lamun untuk perkembangannya adalah 28-30 C. Suhu merupakan salah satu faktor
lingkungan yang penting bagi kehidupan dan penyebaran organisme. Suhu
mempengaruhi baik aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari
organisme perairan (De Rosa et al. 2003). Salinitas yang terukur di ketiga stasiun
yaitu sebesar 34 ‰. Kandungan DO yang terukur di ketiga stasiun yaitu 6.48
mg/L dan 5.87 mg/L. Menurut Effendi (2003), kandungan oksigen terlarut lebih
dari 5 mg/L dapat dikatakan baik untuk organisme laut. Konsentrasi DO
merupakan parameter penting untuk mengetahui kualitas lingkungan perairan,
karena di samping merupakan faktor pembatas dengan lingkungan juga dapat
dijadikan petunjuk tentang adanya pencemaran bahan organik (Nybakken 1992).
Hasil pengukuran nitrat dan orto fosfat di ketiga stasiun lebih tinggi jika
dibandingkan dengan baku mutu air laut untuk biota laut yaitu lebih besar dari
0.008 mg/L dan 0.015 (Kepmen LH No.51 Tahun 2004), kecuali untuk nitrat di
SL3 yang sama dengan nilai baku mutu. Nilai-nilai ini menggambarkan bahwa di
ketiga lokasi penelitian telah mendapatkan masukkan nutrien yang dihasilkan oleh
masyarakat, karena lokasi penelitian tidak berada jauh dari pemukiman warga.
Kualitas perairan yang didapat masih berada pada kisaran baku mutu dan dapat
dikatakan baik untuk pertumbuhan organisme laut.

14
Karakteristik Habitat Mangrove di Perairan Pulau Pramuka
Kerapatan Jenis dan Penutupan Jenis Mangrove
Kerapatan jenis dan penutupan jenis mangrove diamati dengan
menggunakan transek 5 x 5 m2 dan dihitung tegakkan mangrove berdasarkan
ukurannya yaitu pohon, anakan, dan semai. Pohon merupakan tegakkan mangrove
yang mempunyai tinggi lebih dari 1 m dan diameter batang lebih dari 4 cm.
Anakan merupakan tegakkan mangrove yang mempunyai tinggi lebih dari 1 m
dan diameter batang kurang dari 4 cm, sedangkan semai merupakan tegakkan
mangrove yang mempunyai tinggi kurang dari 1 m dan diameter batang kurang
dari 1 cm. Mangrove adalah individu jenis tumbuhan maupun komunitas
tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut (FAO 1982). Jenis mangrove yang
ditemukan di ketiga stasiun penelitian yaitu jenis Rhizophora mucronata dengan
tegakkan berupa semai dan anakan. Hasil kerapatan dan penutupana jenis
mangrove disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Kerapatan dan penutupan jenis mangrove pada masing-masing stasiun
Lokasi Penelitian
SM1
SM2
SM3
Jenis
Mangrove
Di
Ci
Di
Ci
Di
Ci
S A
S
A
S A
S
A S A
S
A
Rhizophora
32 4 0.143 0.08 40 0 0.147 0 2 4 0.006 0.08
mucronata
Rata-rata
18
0.11
20
0.0735
3
0.043
Di=Kerapatan jenis (ind/m2); Ci=Penutupan Jenis (ind/m2); S=Semai; A=Anakan

Mangrove di Pulau Pramuka merupakan mangrove buatan atau mangrove
yang ditanam sendiri oleh penduduk atau masyarakat luar yang berkunjung ke
Pulau Pramuka untuk tujuan konservasi. Jumlah tegakan individu mangrove di
SM1 dan SM2 didominasi oleh semai, sedangkan SM3 didominasi oleh anakan.
Kerapatan jenis mangrove rata-rata tertinggi adalah SM2 yang didominasi semai,
karena di stasiun ini jumlah tegakan mangrovenya lebih banyak dan memiliki nilai
nitrat dan orto fosfat lebih tinggi (Tabel 4). Penutupan jenis mangrove rata-rata
tertinggi adalah SM1, hal ini dikarenakan di SM1 jumlah anakan mangrove lebih
banyak dibandingkan SM2. SM3 memiliki kerapatan jenis dan penutupan jenis
rata-rata terendah, karena stasiun ini mempunyai tegakan mangrove yang sedikit
dibandingkan stasiun lainnya.
Kondisi Lingkungan Perairan di Habitat Mangrove Pulau Pramuka
Karakteristik fisika dan kimiawi perairan di habitat mangrove pada seluruh
stasiun pengamatan masih berada dalam kisaran yang dapat mendukung
kehidupan biota laut (Kepmen LH No.51 Tahun 2004). Habitat ini tidak
mempunyai perbedaan yang signifikan dari kualitas perairan pada habitat lamun.
Kualitas perairan di habitat mangrove pada msasing-masing stasiun disajikan pada
Tabel 4.

15
Tabel 4 Kualitas air di habitat mangrove pada masing-masing stasiun
Lokasi
No
Parameter
Baku Mutu*
SM1
SM2
SM3
1 Suhu (C)
29
30
30
28-30
2 Kedalaman (cm)
60-74
50-65
50-60
3 Kecerahan (%)
100
100
100
4 Salinitas (‰)
34
34
34
33-34
5 DO (mg/L)
6.29
6.88
6.6
>5
6 Nitrat (mg/L)
0.014
0.049
0.012
0.008
7 Orto-Fosfat (mg/L)
0.015
0.019
0.016
0.015
*Keterangan : Nilai baku mutu berdasarkan Kepmen LH No.51 Tahun 2004

Berdasarkan Tabel 4 kedalaman dan kecerahan di habitat mangrove tidak
berbeda dengan kedalaman dan kecerahan pada habitat lamun yaitu kurang dari 1
meter dengan kecerahan 100%. Suhu pada ketiga lokasi penelitian berkisar antara
29-30 C. Salinitas terukur yang terdapat di ketiga stasiun mempunyai nilai yang
sama yaitu 34 ‰. DO yang didapat pada masing-masing stasiun yaitu 6.29 mg/L,
6.88 mg/L, dan 6.6 mg/L. Nilai tersebut masih berada pada baku mutu yang
ditetapkan Kepmen LH No.51 Tahun 2004 yaitu lebih dari 5mg/L. Kandungan
nitrat dan orto fosfat yang didapat di SM1 yaitu 0.014 mg/L dan 0.015 mg/L, SM2
sebesar 0.049 mg/L dan 0.015 mg/L, sedangkan SM3 sebesar 0.012 mg/L dan
0.016 mg/L. Nilai tersebut lebih tinggi daripada baku mutu air laut menurut
Kepmen LH No.51 Tahun 2004, kecuali untuk orto-fosfat di SM1 yang sama
dengan nilai baku mutu.

Preferensi Habitat Spons
Preferensi habitat spons di pesisir Pulau Pramuka dianalisis dengan
menggunakan analisis koresponden (correspondence analysis) yaitu dengan
melihat hubungan spons dengan kelimpahan spons di setiap stasiun pengamatan
habitat lamun dan habitat mangrove (Bengen 2000). Hasil analisis ini dapat
mengeksplorasi hubungan antara spons dengan karakteristik stasiun pengamatan
di perairan Pulau Pramuka. Hasil analisis koresponden ada pada Gambar 7.
Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai akar ciri 0.7652 pada sumbu
pertama dan 0.4135 pada sumbu kedua. Sumbu pertama dapat menjelaskan
informasi yang ada sebesar 48.20% dari keragaman total, sedangkan sumbu kedua
sebesar 26.04%, sehingga total dari keragaman yang dapat dijelaskan oleh analisis
ini adalah sebesar 74.24% (Lampiran 10).
Ordinasi merupakan peta dua atau tiga dimensi yang menggambarkan
kemiripan komunitas secara biologis. Ordinasi bukanlah menunjukkan lokasi
geografis dari contoh tersebut, melainkan mencerminkan pengelompokan karena
contoh tersebut memiliki kemiripan (Soedibjo 2008). Gambar 7 menunjukkan
sebaran stasiun pengamatan dan spesies spons. Ordinasi stasiun pengamatan
menggambarkan sebaran stasiun berdasarkan kesamaan karakteristiknya. Ordinasi
genera menggambarkan sebaran genera terhadap stasiun pengamatan berdasarkan
kelimpahannya. Penggabungan kedua ordinasi ini dapat menggambarkan

16
hubungan genera dengan karakteristik stasiun pengamatan (Gotelli and Ellison
2004).

Stasiun

Spons

SL=Stasiun habitat lamun; SM=Stasiun habitat mangrove; Aco=Agelas conifera; Avi=
Amphimedon viridis; Ash= Aka shipona; Cpa= Callyspongia
pallida; Cps= Chalinula
pseudomolitba; Cre= Clathria reinwardti; Hsp= Halisarca sp; Hme= Halichondria melanodocia;
Hvi= Hyrtois violaceus; Pon= Plakinastrella onkodes; Sha= Spirastrella hartmanni; Tcr=
Tectitethya crypta; Hcy= Haliclona cymaeformis; Ace=Agelas cervicornis; Hoc=Haliclona
oculata; Sve=Spheciospongia vesparium;

Gambar 7 Grafik Analisis Koresponden antara Spons dengan Kelimpahan Spons
di Setiap Stasiun Pengamatan
Spons jenis Hoc cenderung mengelompok di SM3, jenis ini lebih menyukai
habitat mangrove yang mempunyai kerapatan dan penutupan jenis rendah.
Kemudian untuk jenis Ace dan Sve lebih cenderung mengelompok di SM1, kedua
jenis ini lebih menyukai habitat mangrove yang memiliki nilai penutupan jenis
tertinggi. Spons jenis Cpa lebih cenderung mengelompok ke SM2, jenis ini lebih
menyukai habitat mangrove yang memiliki tegakan individu mangrove berupa
semai lebih banyak dibandingkan anakan, sehingga tutupan dari individu
mangrove tidak begitu besar dan menyebabkan intensitas cahaya yang tinggi.
Selain itu, spons jenis Cpa juga menyukai habitat dengan kandungan nutrien yang
tinggi. Spons jenis Hoc, Sve, Ace dan Cpa adalah spons yang hanya ditemukan di
habitat mangrove dan tidak ditemukan pada habitat lamun, diduga keempat jenis
ini lebih menyukai habitat mangrove dibanding habitat lamun. Spons jenis Cps
dan Avi berada di antara stasiun lamun dan stasiun mangrove, diduga kedua spons

17
ini menyukai habitat lamun dan habitat mangrove. Hasil dari analisis koresponden
tersebut menunjukkan bahwa jenis spons yang lain lebih mengelompok ke SL1,
SL2, dan SL3 yaitu Aco, Ash, Cre, Hsp, Hme, Hvi, Pon, Sha, Tcr, dan Hcy,
diduga jenis-jenis spons terebut lebih menyukai habitat lamun dibandingkan
dengan habitat mangrove (Gambar 7).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Spons yang ditemukan di pesisir Pulau Pramuka terdapat 16 jenis yang
terdiri atas 9 ordo, 14 famili dan 16 genera. 7 jenis ditemukan di habitat lamun, 4
jenis ditemukan di habitat mangrove dan 5 jenis ditemukan di kedua habitat.
Spons yang paling banyak ditemukan di habitat lamun yaitu jenis Plakinastrella
onkodes, spons ini lebih menyukai habitat lamun dengan kerapatan jenis lamun
yang rendah. Jenis spons yang paling banyak ditemukan di habitat mangrove
adalah Callyspongia pallida, spons ini lebih menyukai habitat mangrove yang
memiliki kerapatan jenis mangrove yang rendah.

Saran
Perlu diteliti dan diidentifikasi senyawa bioaktif spons yang dominan
ditemukan di habitat lamun dan habitat mangrove seperti, Plakinastrella onkodes
dan Callyspongia pallida untuk mengetahui kandungan senyawa bioaktif yang
terdapat pada spons tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Asro M, Yusnaini, Halili. 2013. Pertumbuhan Spons (Stylotella aurantium) yang
Ditransplantasi pada Berbagai Kedalaman. Jurnal Mina Laut Indonesia.
01(01):133-144.
Bakus GJ. 2007. Quantitative Analysis of Marine Biological Communities: Field
biology and environment. John Wiley & Sons, Inc. New Jersey. 435 hal
Bengen DG. 2000. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data
Biofisik Sumberdaya Pesisir. Bogor (ID): Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir
dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.56 - 70 hal.
Broun JJ. 1985. A Preliminary Study of the Thalassodendrom ciliatum (FORSK)
Den Hartog From Eastern Indonesia. Aquatic Botany. 23:249-260.
Brower J, J Zar, CN von Ende. 1989. Field and laboratory methods for general
ecology. Brown Company Publisher. 237 PP.

18
De Rosa S, De Caro S, Iodice C, Tommonaro G, Stefanov K, Popov S. 2003.
Development in Primary Cell Culture of Demosponges. Journal
Biotechnology. 100:119–125.
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelola Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Yogyakarta (ID): Kanisius. 258 Hal.
English S, Wilkinson C, Baker V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine
Resources. . Townville:Australian Institute of Marine Science
Fachrul MF. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta (ID): Bumi Aksara. 198
hal.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 1982. Management and Utilization of
mangroves in Asia and the Pasific. Rome: FAO
Gotelli NJA, M Ellison. 2004. A Primer of Ecological Statistics. Sinauer
Associates, Inc. USA: Massachusetts.
Haris A. 2004. Transplantasi Spons Laut Aaptos aaptos Schmidt
(Porifera:Demospongiae: Pertumbuhan, Sintasan. Perkembangan Gamet dan
Bioaktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar dan Fraksinya) [disertasi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Hoffmann F, Rapp HT, Zoller T, Reitner J. 2003. Growth and Generation in
Cultivated Fragments of the Boreal Deep Water Sponge Geodia baretti
Bowerbank (Geodiidae, Tetractinellida, Demospongiae). Journal of
Biotechnology. 100:109-118
Hooper JNA. 2000. Spongeguide: Guide to Sponge Collection and Identification.
Australia: Museum. 129 PP.
Karjo K. 2006. Preferensi Habitat Spons Kelas Demospongiae di Kepulauan
Seribu Provinsi DKI Jakarta [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[Kepmen LH] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004.
Tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. Jakarta (ID).
Kiswara W, Winardi. 1994. Keanekaragaman dan Sebaran Lamun di Teluk Kuta
dan Teluk Gerupuk, Lombok Selatan. W Kiswara (eds.). Struktur
Komunitas Biologi Padang Lamun di Pantai Lombok Selatan dan Kondisi
Lingkungannya. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta (ID): hal
11-25.
Krebs CJ. 1972. The Experimental Analysis of Distribution and Abudance. New
York (NY). Harper and Row Publisher. 800 PP.
Muniarsih T. 2003. Metabolit Sekunder dari Spons Sebagai Bahan Obat-obatan.
Oseana. 28(3):27-33.
Muniarsih T, Rachmaniar R. 1999. Isolasi Substansi Bioaktif Antimikroba dari
Sponge Asal Pulau Pari Kepulauan Seribu. Prosiding Seminar Bioteknologi
Kelautan Indonesia I ’98. Jakarta 14–15 Oktober 1998: Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia Jakarta. hal. 15 -158.
Nontji A. 2002. Laut Nusantara. Jakarta (ID): Djambatan. 367 Hal.
Nybakken JW. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta (ID): PT.
Gramedia. 195 Hal.
Pielou EC. 1977. Mathematical Ecology. John Wiley & Sons. Tronoto. 385 PP.
Rachmaniar R, Motomasa Kobayasi, Abdullah Rasyid. 2001. Substansi
Antibakteri dari Spons sp Asal Barang Lompo Kepulauan Spermonde,

19
Indonesia. Prosiding Seminar Laut Nasional III. Jakarta 29-31. Ikatan
Sarjana Oseanologi Indonesia , Jakarta . 2004.
Romimohtarto K, Juwana S. 2001. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota
Laut. Jakarta (ID): Djambatan. 540 hal.
Soedibjo, BS. 2008. Analisis komponen utama dalam kajian ekologi. Oseana.
33(2):43-53.
Tomascik TAJ, Mah A Nontji, MK Moosa. 1997. The Ecology of the Indonesian
Seas, Part One. Periplus Edition. 656 PP.
Voogd NJ de. 2005. Indonesian Sponges: Biodiversity and Mariculture Potential
[Disertasi]. Netherlands: University of Amsterdam.
Zulkifli. 2000. Sebaran spasial komunitas perifiton dan asosiasinya dengan lamun
di perairan Teluk Pandan, lampung Selatan [Tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor

20

LAMPIRAN
Lampiran 1 Matriks Data Analisis Koresponden
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Jenis Spons
Agelas conifera
Amphimedon viridis
Aka shipona
Callyspongia pallida
Chalinula pseudomolitba
Clathria reinwardti
Halisarca sp
Halichondria melanodocia
Hyrtois violaceus
Plakinastrella onkodes
Spirastrella hartmanni
Techtitethya crypta
Haliclona cymaeformys
Agelas cervicornis
Haliclona oculata
Spheciospongia vesparium

Notasi
Aco
Avi
Ash
Cpa
Cps
Cre
Hsp
Hme
Hvi
Pon
Sha
Tcr
Hcy
Ace
Hoc
Sve

SL1
0.4
0.03
0.6
0
0.05
0.03
0
0
0
3.53
3.23
1.57
0.01
0
0
0

SL2
0.2
0.2
0
0
0.11
0.07
0.03
0.83
0
3.3
0.1
0.43
0.01
0
0
0

SL3
0.13
0
0.16
0
0.01
0
0.01
0
0.01
0.53
0.18
0.43
0.01
0
0
0

SM1
0.01
0.03
0
0.11
0.08
0
0
0.01
0
0
0
0.01
0
0.01
0.03
0.01

SM2
0.05
0.01
0
0.31
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

SM3
0
0.06
0
0
0.01
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.05
0

Lampiran 2 Taksonomi Spons yang Ditemukan di Pesisir Pulau Pramuka
Kelas

Subkelas

Ceractinomorpha

Demospongiae

Tetractinomorpha

Homosleromorpha

Ordo
Agelasida
Agelasida
Dctyoceratida
Haplosclerida
Haplosclerida
Haplosclerida
Haplosclerida
Haplosclerida
Haplosclerida
Halichondrida
Poecilosclerida
Astrophorida
Hadromerida
Hadromerida
Hadromerida
Homosclerophorida
Halisarcida

Family
Agelasidae
Agelasidae
Thorectidae
Niphatidae
Chalinidae
Chalinidae
Chalinidae
Callyspongiidae
Phloeodictyidae
Halichondriidae
Microcionidae
Geodiidae
Tethyidae
Clionidae
Spirastrellidae
Plakinidae
Halisarcidae

Genus
Agelas
Agelas
Hyrtios
Amphimedon
Chalinula
Haliclona
Haliclona
Callyspongia
Aka
Halichondria
Clathria
Geodia
Tectitethya
Spheciospongia
Spirastrella
Plakinastrella
Halisarca

Spesies
Agelas conifera
Agelas cervicornis
Hyrtios violaceus
Amphimedon viridis
Chalinula pseudomolitba
Haliclona cymaeformis
Haliclona oculata
Callyspongia pallida
Aka shipona
Halichondria melanodocia
Clathria reinwardti
Geodia gibberosa
Tectitethya crypta
Spheciospongia vesparium
Spiratrella hartmanni
Plakinastrella onkodes
Halisarca sp

21

22

19

Lampiran 3 Jenis Spons yang Ditemukan di Habitat Lamun

1.Aka shipona (Ash)

5.Clathria reinwardti (Cre)

2.Agelas conifera (Aco)

6.Amphimedon viridis (Avi)

3.Halisarca sp (Hsp)

7.Plakinastrella onkodes (Pon)

4.Haliclona cymaeformis (Hcy)

8.Tectitethya crypta (Ttc)

23
Lampiran 3 (Lanjutan)

9.Hyrtios violaceus (Hvi)

11.Chalinula pseudomolitba (Cps)

10. Spirastrella hartmanni (Sha)
Lampiran 4 Jenis Spons yang Ditemukan di Habitat Mangrove

1.Chalinula pseudomolitba (Cps)

2.Amphimedon viridis (Avi)

3. Tectitethya crypta (Ttc)

4.Haliclona oculata (Hoc)

21

24
Lampiran 4 (Lanjutan)

5.Agelas cervicornis (Ace)

6.Halichondria melanodocia (Hme)

7.Speciospongia vesparium (Sve)

8.Callyspongia pallida (Cpa)

9.Agelas conifera (Aco)

Lampiran 5 Kelimpahan Spons pada Masing-masing Sasiun di Habitat Lamun
Spesies
Agelas conifera
Spirastrella hartmanni
Plakinastrella onkodes
Chalinula pseudomolitba
Clathria reinwardti
Tectitethya crypta
Aka shipona
Amphimedon viridis
Haliclona cymaeformis
Halisarca sp
Hyrtois violaceus
Halichondria melanodocia
Total

SL1
24
194
212
3
2
94
36
2
1
0
0
0
568

Jumlah Individu
SL2
SL3
12
8
6
11
198
32
7
1
4
0
26
26
0
10
12
0
1
1
2
1
0
1
5
0
273
91

Keli