Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan, Dan Kemiskinan : Analisis Data Provinsi Di Indonesia 2010-2013
PERTUMBUHAN EKONOMI,
KETIMPANGAN PENDAPATAN DAN KEMISKINAN :
ANALISIS DATA PROVINSI DI INDONESIA 2010-2013
RIRIN INDAH SAFITRI
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pertumbuhan Ekonomi,
Ketimpangan Pendapatan, dan Kemiskinan : Analisis Data Provinsi di Indonesia
2010-2013 adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2015
Ririn Indah Safitri
NIM H14110047
ABSTRAK
RIRIN INDAH SAFITRI. Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan, dan
Kemiskinan : Analisis Data Provinsi di Indonesia 2010-2013. Dibimbing oleh D.S.
PRIYARSONO.
Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan utama di negara
berkembang termasuk Indonesia. Tingkat kemiskinan di Indonesia terus
mengalami penurunan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi berhasil menurunkan
tingkat kemiskinan secara agregat, namun di samping kondisi perekonomian yang
mengesankan itu, kondisi ketimpangan pendapatan yang ditunjukkan dengan
indeks Gini justru mengalami peningkatan. Penelitian pada 33 provinsi di
Indonesia tahun 2010-2013 ini bertujuan untuk menganalisis keterkaitan antara
pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan tingkat kemiskinan. Variabel
bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertumbuhan ekonomi dan
ketimpangan pendapatan yang diukur dengan Indeks Gini. Selain itu, variabel
kontrol yang digunakan adalah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan
pendapatan berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan pada taraf nyata
5% namun dengan pengaruh yang berbeda. Di luar dugaan, pertumbuhan
ekonomi ternyata berpengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan, sedangkan
ketimpangan pendapatan berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan.
Kata kunci: kemiskinan, ketimpangan pendapatan, panel data statis, pertumbuhan
ekonomi.
ABSTRACT
RIRIN INDAH SAFITRI. Economic Growth, Income Inequality and Poverty :
Analysis of Provincial Data in Indonesia 2010-2013. Supervised by D.S.
PRIYARSONO.
Poverty is one of the main problems in developing countries including
Indonesia. Poverty rate in Indonesia continues to decline. High economic growth
managed to reduce the poverty rate in aggregate, but despite the impressive
economic performance, the income inequality shown by the Gini index have
increased. Research in 33 provinces in Indonesia 2010-2013 aims to analyze the
relationship between economic growth, income inequality and poverty.
Independent variables used in this study is the economic growth and income
inequality measured by Gini index. In addition, control variables are used is
unemployment rate (TPT). The results of this study showed that economic growth
and income inequality have a significant effect on the real standard 5% but with
different effects. Unexpectedly, economic growth turns positive effect on poverty
rates, meanwhile income inequality turns negative effect on poverty rates.
Keywords: poverty, income inequality, panel data statis, economic growth.
PERTUMBUHAN EKONOMI,
KETIMPANGAN PENDAPATAN DAN KEMISKINAN :
ANALISIS DATA PROVINSI DI INDONESIA 2010-2013
RIRIN INDAH SAFITRI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul Pertumbuhan Ekonomi,
Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan: Analisis Data Provinsi di Indonesia
2010-2013 ini berhasil diselesaikan dengan baik.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dominicus Savio
Priyarsono, M.S. selaku dosen pembimbing yang dengan sabar dan penuh
perhatian memberikan arahan, saran dan motivasi selama proses penyelesaian
skripsi ini, kepada Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si selaku dosen penguji utama
dan Bapak Salahuddin El Ayyubi, Lc, M.A selaku dosen penguji dari komisi
pendidikan atas saran-saran yang membangun dan ilmu yang bermanfaat untuk
penyempurnaan skripsi ini, serta kepada DIKTI yang telah memberikan beasiswa
Bidik Misi selama menjalani masa studi. Ungkapan terima kasih yang tak
terhingga disampaikan kepada keluarga tercinta, Papah Jaeni Maulana, Mamah
Roilah, Kakak Oktaviani Maulana dan Adik Ajeng Novita atas segala doa,
dukungan, semangat dan kasih sayangnya.
Di samping itu, penulis sampaikan terima kasih yang sebesarnya kepada kak
Uke Tri Evasari, S.E, Mba drh. Ikasari Ananda Putri, dan Oktavina yang telah
banyak membantu selama proses penyelesaian skripsi ini. Kepada orang-orang
terdekat penulis Wisnu Fauzi Yudistira, Darijah, Raytisa Sirgin dan Shabrina
Dyah yang selalu memotivasi, menyemangati, menghibur dan mendoakan.
Kepada sahabat-sahabat Anne Florita, Nur Ariyani, Iswahyuni, Sella, Dian Asti,
Carla, Rahmi, Randy, Ina Marlina, Faisal, dan Kasyifah, Feriansyah serta temanteman Ilmu Ekonomi 48 atas kebersamaan, semangat dan dukungannya. Kepada
sahabat satu bimbingan, Hasna, Ajeng dan Diky atas segala dukungan dan
semangat yang diberikan. Kepada keluarga IKADA Bogor (Titin, Rudi, Badar,
Ans Shinta), keluarga LABLE HIPOTESA (Kak Fajri, Kak Alfin, Kak Meli, Kak
Hani, Yulya, Desna, Anna, Fathya, Wita, Irman dan Teti), keluarga Pondok Nara
(Indah, Ike, Ma’e, Dwi, Kak Mona, Kak Rina dan Nola) atas segala canda tawa
dan dukungan yang selalu diberikan. Serta kepada semua pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu
per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2015
Ririn Indah Safitri
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
4
Ruang Lingkup Penelitian
4
TINJAUAN PUSTAKA
4
Kemiskinan
4
Pertumbuhan Ekonomi
6
Ketimpangan Distribusi Pendapatan
10
Pengangguran
11
Penelitian Terdahulu
12
Kerangka Pemikiran
15
Hipotesis Penelitian
15
METODE
16
Jenis dan Sumber Data
16
Metode Analisis dan Pengolahan Data
16
Metode Panel Data
16
Pengujian Kesesuaian Model
17
Uji Asumsi Klasik
17
Perumusan Model Penelitian
19
HASIL DAN PEMBAHASAN
19
Kondisi Kemiskinan di Indonesia
19
Kondisi Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia
21
Kondisi Ketimpangan Pendapatan di Indonesia
23
Keterkaitan Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Tingkat
Kemiskinan di Indonesia
23
SIMPULAN DAN SARAN
28
Simpulan
28
Saran
29
DAFTAR PUSTAKA
30
LAMPIRAN
32
RIWAYAT HIDUP
34
DAFTAR TABEL
1 Jenis, sumber dan variabel data yang digunakan
2 Selang nilai statistik Durbin-Watson serta keputusannya
3 Laju pertumbuhan PDB atas dasar harga konstan 2000 menurut
lapangan usaha 2010-2013 (%)
4 Persentase tenaga kerja menurut pekerjaan utama tahun 2013
5 Uji model terbaik
6 Hasil estimasi model dengan metode fixed effect model
16
18
22
22
24
24
DAFTAR GAMBAR
1 Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia
2002-2011
2 Koefisien Gini di Asia Timur tahun 2000-2012
3 Teori pertumbuhan ekonomi
4 Memperkirakan koefisien Gini
5 Dampak pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan
6 GIP triangle
7 Kerangka pemikiran
8 Persentase penduduk miskin di Indonesia, 2010-2013
9 Persentase penduduk miskin di perkotaan dan pedesaan, 2010-2013
10 Laju pertumbuhan PDB Indonesia, 2010-2013
11 Indeks Gini di Indonesia, 2010-2013
12 Distribusi pendapatan berdasarkan kelompok masyarakat
13 Hubungan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan
14 Kurva insidensi pertumbuhan, 2003-2010
15 Kondisi ideal penurunan kemiskinan
16 Kondisi penurunan kemiskinan di Indonesia
1
3
9
10
13
14
15
20
20
21
23
25
26
27
28
28
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
Hasil uji korelasi untuk pengujian asumsi klasik multikolinearitas
Hasil pengujian Chow test
Hasil pengujian Hausman test
Hasil pengujian dengan Fixed Effect Model (FEM)
32
32
32
32
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan ekonomi pada dasarnya mempunyai tujuan utama untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan adalah proses
multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan mendasar dalam struktur
sosial, perilaku sosial, dan institusi nasional, di samping akselerasi pertumbuhan
ekonomi, pengurangan ketidakmerataan, dan pengentasan kemiskinan (Todaro
dan Smith 2006). Kemiskinan merupakan permasalahan yang dihadapi hampir di
setiap negara baik negara maju maupun negara sedang berkembang, namun
masalah kemiskinan yang mencolok masih banyak ditemukan di negara sedang
berkembang.
Berbagai upaya dalam menanggulangi kemiskinan masih terus dicari. Salah
satu upaya dunia dalam menanggulangi kemiskinan tertuang dalam butir-butir
Millenium Development Goals (MDGs) dengan fokus utama memberantas
kemiskinan global dan mencapai tujuan pembangunan manusia. Dalam jangka
waktu tertentu pembangunan ekonomi di Indonesia telah menghasilkan berbagai
kemajuan yang cukup berarti seperti pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan
tingkat kemiskinan yang terus mengalami penurunan. Pada Gambar 1 dapat dilihat
bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia cenderung mengalami penurunan. Dalam
kurun 1998-2013, tingkat kemiskinan berhasil diturunkan sebesar 12.73% yakni
dari 24.2% pada tahun 1998 menjadi 11.47% pada tahun 2013.
Persentase Penduduk Miskin di Indonesia, 1998-2013
24.2 23.43
19.14 18.41 18.2
17.75 16.58
17.42 16.66
15.97
15.42
14.15 13.33
12.36 11.66 11.47
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) 2013
Gambar 1 Perkembangan persentase penduduk miskin di Indonesia 1998-2013
Kemiskinan merupakan gejala yang lebih rumit daripada sekedar
kurangnya pendapatan, karena itu diperlukan kehati-hatian dalam memaknai
angka-angka yang memperlihatkan penurunan kemiskinan. Seperti pada kasus
Pakistan, pengurangan kemiskinan sebenarnya merupakan pergeseran kecil saja
dari kategori “sangat miskin” ke kategori “kurang miskin” (Thee Kian Wie 1981).
2
Di Indonesia, sebanyak 68 juta penduduk hanya hidup sedikit di atas garis
kemiskinan, sehingga sangat rentan untuk kembali miskin. Sedikit guncangan
seperti kenaikan harga pangan, ancaman penyakit dan bencana alam, dapat
mendorong mereka kembali ke dalam kemiskinan (Priyarsono 2014). Selama ini
diyakini bahwa dalam menurunkan kemiskinan diperlukan pertumbuhan ekonomi
yang tinggi. Karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan dapat
menciptakan trickle down effect yang dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Namun pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup dalam mengentaskan
kemiskinan, perlu diikuti dengan pemerataan distribusi pendapatan.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi fokus pemerintah Indonesia
dalam beberapa kurun waktu terakhir sehingga Indonesia berhasil naik kelas dari
negara berpendapatan rendah menjadi negara berpendapatan menengah (middle
income country). Selama periode tahun 2010 hingga 2013 rata-rata pertumbuhan
ekonomi mencapai 6.175% yang merupakan pertumbuhan ekonomi tertinggi
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tetapi perkembangan perekonomian
Indonesia yang mengesankan tersebut tidak disertai dengan pemerataan distribusi
pendapatan. Kemajuan ekonomi tersebut lebih banyak dinikmati oleh mereka
yang berpendapatan tinggi dibandingkan oleh mereka yang berpendapatan rendah
sehingga ketimpangan pendapatan di Indonesia masih tinggi dan cenderung
meningkat. Ketimpangan pendapatan merupakan kondisi di mana tidak meratanya
distribusi pendapatan yang diterima masyarakat. Secara umum ketimpangan
pendapatan diukur dengan menggunakan Indeks Gini. Indeks Gini memiliki nilai
antara 0 sampai 1. Nilai 0 menunjukkan bahwa distribusi pendapatan di suatu
wilayah sudah merata, sedangkan nilai 1 menunjukkan ketidakmerataan dalam
pendistribusian pendapatan atau terjadinya ketimpangan yang sempurna di suatu
wilayah. Tingkat ketimpangan di Indonesia yang ditunjukkan dengan Indeks Gini
terus mengalami kenaikan hingga mencapai angka 0.413 pada tahun 2013.
Kenaikan Indeks Gini tersebut menunjukkan bahwa ketimpangan di Indonesia
semakin memburuk.
Erat kaitannya dengan kemiskinan adalah masalah pengangguran.
Walaupun tingkat pengangguran terbuka berada pada kisaran 5.70 persen, namun
definisi tidak menganggur di Indonesia masih sangat longgar (Priyarsono 2014).
Pengangguran akan secara langsung memengaruhi konsumsi masyarakat miskin
apabila konsumsi saat ini dipengaruhi pendapatan saat ini. Tetapi apabila
konsumsi saat ini tidak begitu dipengaruhi oleh pendapatan saat ini, maka
pengangguran tidak begitu berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan dalam
jangka pendek (Rahayuningtias 2014). Berdasarkan pemaparan tersebut, maka
perlu dikaji keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan distribusi
pendapatan dan kemiskinan di Indonesia dengan tingkat pengangguran terbuka
sebagai variabel kontrolnya.
Perumusan Masalah
Salah satu permasalahan yang dihadapi negara berkembang adalah masalah
kemiskinan. Kemiskinan merupakan permasalahan yang tidak mudah untuk
diatasi, sudah berbagai kebijakan yang telah diterapkan di Indonesia masih belum
mampu menanggulangi masalah kemiskinan yang terjadi. Walaupun tingkat
3
kemiskinan di Indonesia cenderung mengalami penurunan dalam beberapa tahun
terakhir, namun masih terdapat 68 juta penduduk Indonesia yang hidup dalam
keadaan rentan terhadap kemiskinan. Selama ini strategi pembangunan ekonomi
di Indonesia lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan
harapan dapat menciptakan trickle down effect. Secara agregat pertumbuhan
ekonomi yang tinggi memang mampu menurunkan tingkat kemiskinan. Namun di
beberapa daerah yang menjadi pusat aktivitas ekonomi, ketika pertumbuhan
ekonominya tinggi bahkan melebihi pertumbuhan ekonomi nasional, tingkat
kemiskinannya tidak mengalami penurunan tetapi justru mengalami peningkatan.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai dengan distribusi pendapatan
yang merata antargolongan masyarakat semakin memperburuk kondisi
ketimpangan pendapatan di Indonesia. Peningkatan ketimpangan di Indonesia
merupakan salah satu yang tertinggi di kawasan Asia Timur, seperti yang dapat
dilihat pada Gambar 2.
Sumber: Bank Dunia 2014
Gambar 2 Perubahan koefisien Gini di Indonesia dan beberapa negara
di Asia Timur 2000-2012
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, permasalahan yang dapat
dirumuskan dalam penelitian ini adalah:
1.
Bagaimana kondisi kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan
pendapatan di Indonesia?
2.
Bagaimana keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan
pendapatan dan tingkat kemiskinan di Indonesia?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini memiliki beberapa
tujuan sebagai berikut:
1.
Mendeskripsikan kondisi kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan
ketimpangan pendapatan di Indonesia.
2.
Menganalisis keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan
pendapatan dan tingkat kemiskinan di Indonesia.
4
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut:
1. Sebagai informasi bagi pemerintah pusat maupun daerah dan instansi yang
terkait mengenai kondisi pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan
pendapatan serta hubungannya dengan tingkat kemiskinan di Indonesia
sehingga dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam
perumusan kebijakan untuk menangani masalah kemiskinan.
2. Sebagai bahan pustaka, informasi dan referensi bagi pihak yang
membutuhkan serta sebagai rujukan untuk penelitian selanjutnya.
3. Sebagai wawasan bagi para pembaca mengenai keterkaitan pertumbuhan
ekonomi, ketimpangan pendapatan dan tingkat kemiskinan di Indonesia.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mencakup analisis keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi,
ketimpangan pendapatan dan tingkat kemiskinan di Indonesia yang terdiri dari 33
Provinsi. Pertumbuhan ekonomi diukur dengan menggunakan laju pertumbuhan
ekonomi, ketimpangan pendapatan diukur dengan Indeks Gini dan tingkat
kemiskinan diukur dengan persentase penduduk miskin. Penelitian ini juga
menggunakan variabel kontrol yaitu tingkat pengangguran terbuka untuk
mencerminkan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Tingkat pengangguran
terbuka juga dapat digunakan untuk mengindikasikan seberapa besar penawaran
tenaga kerja yang tidak dapat terserap dalam pasar tenaga kerja di Indonesia.
Analisis yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan
analisis kuantitatif dengan metode panel data.
TINJAUAN PUSTAKA
Kemiskinan
Tinggi atau rendahnya tingkat kemiskinan di suatu negara tergantung pada
dua faktor utama, yakni tingkat pendapatan nasional rata-rata dan lebar atau
sempitnya kesenjangan distribusi pendapatan. Setinggi apapun tingkat pendapatan
nasional per kapita yang dicapai oleh suatu negara, selama distribusi
pendapatannya tidak merata, maka tingkat kemiskinan di negara tersebut pasti
akan tetap parah. Begitupun sebaliknya, semerata apapun distribusi pendapatan di
suatu negara, jika tingkat pendapatan nasional rata-ratanya rendah, maka
kemiskinan juga akan semakin meluas.
Para ekonom pembangunan menggunakan konsep kemiskinan absolut untuk
menentukan tingkat pendapatan minimum yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan fisik dasar akan makanan, pakaian, dan perumahan agar dapat
menjamin kelangsungan hidupnya. Adapun masalah yang timbul adalah sulitnya
menentukan tingkat hidup minimum, karena tingkat tersebut berbeda dari satu
negara ke negara lain dan dari satu daerah ke daerah lainnya, yang mencerminkan
5
perbedaan kebutuhan-kebutuhan psikologis, sosial dan ekonomi dari setiap orang.
Oleh karena itu, para ahli ekonomi cenderung membuat perkiraan-perkiraan yang
serba konservatif atau sederhana tentang kemiskinan dunia dalam rangka
menghindari perkiraan-perkiraan yang berlebihan. Metodologi umum yang
digunakan sebagai dasar dari perkiraan tersebut adalah garis kemiskinan
internasional yang tidak mengenal tapal batas antarnegara, tidak tergantung pada
tingkat pendapatan per kapita di suatu negara, dan juga memperhitungkan
perbedaan tingkat harga antarnegara dengan mengukur penduduk miskin sebagai
orang yang hidup kurang dari US$1 atau US$2 per hari dalam dolar PPP (Todaro
2006)
Kemiskinan absolut dapat diukur dengan angka atau hitungan per kepala
(Headcount) untuk mengetahui seberapa banyak orang yang penghasilannya
berada di bawah garis kemiskinan absolut. Selain kemiskinan absolut, terdapat
beberapa
macam bentuk kemiskinan lainnya seperti kemiskinan relatif,
kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Berikut penjelasan dari masingmasing bentuk kemiskinan tersebut:
Kemiskinan relatif
Kemiskinan relatif merupakan kondisi kemiskinan yang terjadi karena
pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh
lapisan masyarakat.
Kemiskinan struktural
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi
struktur atau tatanan kehidupan yang tak menguntungkan. Salah satu contohnya
adalah kemiskinan karena lokasi tempat tinggal yang terisolasi. Keadaan lebih
parah karena struktur yang menghambat, misalnya kalangan UMKM yang
kesulitan dalam akses permodalan perbankan, sehingga tetap miskin bahkan
makin terpuruk karena daya beli yang menurun akibat inflasi, sementara usaha
tidak berkembang akibat kesulitan modal di mana akses kepada perbankan sangat
sulit.
Kemiskinan kultural
Kemiskinan kultural adalah kondisi kemiskinan yang diakibatkan oleh
faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang
atau sebuah komunitas. Misalnya sikap malas, etos kerja rendah, tak siap
berkompetisi, korupsi, dan lain sebagainya.
Badan Pusat Statistik (BPS) memiliki kriteria tersendiri dalam
mendefinisikan kemiskinan, yakni melalui dua komponen berupa Garis
Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Nonmakanan (GKMN)
dengan rumus GK = GKM + GKMN. GKM merupakan nilai pengeluaran
kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori per kapita
per hari. Sedangkan GKMN adalah kebutuhan minimum untuk perumahan,
sandang, pendidikan dan kesehatan (Damanhuri 2010).
Dalam mengukur kemiskinan, terdapat tiga indikator yang diperkenalkan
oleh Foster dan sering digunakan dalam banyak studi empiris. Pertama, the
incidence of poverty yaitu persentase dari populasi yang hidup di dalam keluarga
dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan. Kedua, the
depth of poverty yang menggambarkan dalamnya kemiskinan di suatu wilayah
yang diukur dengan indeks jarak kemiskinan (IJK) atau biasa dikenal dengan
poverty gap index. Indeks ini mengestimasi jarak/perbedaan rata-rata pendapatan
6
orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis tersebut.
Ketiga, the severity of poverty yang diukur dengan indeks keparahan kemiskinan
(IKK). Indeks ini pada prinsipnya sama seperti IJK, namun selain mengukur jarak
yang memisahkan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan, IKK
juga mengukur ketimpangan di antara penduduk miskin atau penyebaran
pengeluaran di antara penduduk miskin. Indeks ini juga disebut Distributionally
Sensitive Index dapat digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan
(Tambunan 2003).
Pertumbuhan Ekonomi
Dalam mengukur pertumbuhan ekonomi, para ekonom menggunakan data
produk domestik bruto (GDP) yang mengukur pendapatan total setiap orang
dalam perekonomian (Mankiw 2007). Dalam Tambunan (2003), pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi utama atau suatu
keharusan bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan peningkatan
kesejahteraan. Pertumbuhan ekonomi tanpa diiringi dengan penambahan
kesempatan kerja akan mengakibatkan ketimpangan dalam pembagian dari
penambahan pendapatan tersebut (ceteris paribus), yang selanjutnya akan
menciptakan suatu kondisi pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan
kemiskinan. Dalam pemahaman ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi adalah
penambahan Produk Domestik Bruto (PDB). PDB dapat diukur dengan tiga
macam pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan, dan
pendekatan pengeluaran. Dua pendekatan pertama merupakan pendekatan dari sisi
penawaran agregat, sedangkan pendekatan pengeluaran merupakan penghitungan
PDB dari sisi permintaan agregat. Menurut pendekatan produksi, PDB adalah
jumlah nilai output dari semua sektor ekonomi atau lapangan usaha. Badan Pusat
Statistik (BPS) membagi ekonomi nasional ke dalam 9 sektor, yaitu :
1. Pertanian
2. Pertambangan dan penggalian
3. Industri pengolahan
4. Listrik, gas dan air bersih
5. Bangunan
6. Perdagangan, hotel dan restoran
7. Pengangkutan dan komunikasi
8. Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan
9. Jasa-jasa
Sehingga PDB dapat dirumuskan sebagai :
PDB = ∑
i
Keterangan:
NO
: Nilai output
i
: sektor 1,2,....,9
Sedangkan melalui pendekatan pendapatan, PDB adalah jumlah pendapatan
yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi
7
di masing-masing sektor, seperti tenaga kerja (gaji/upah), pemilik modal
(bunga/hasil investasi), pemilik tanah (hasil jual/sewa tanah), dan pengusaha
(keuntungan bisnis/perusahaan). Semua pendapatan ini dihitung sebelum dipotong
oleh pajak penghasilan dan pajak-pajak langsung lainnya. Dalam pendekatan ini,
penghitungan PDB mencakup penyusutan dan pajak-pajak tidak langsung neto.
Sehingga PDB dapat dirumuskan sebagai :
PDB = ∑
i
Keterangan:
NTB : Nilai tambah bruto
i
: sektor 1,2,....,9
Adapun menurut pendekatan pengeluaran, PDB adalah jumlah dari semua
komponen permintaan akhir, yaitu pengeluaran konsumsi rumah tangga dan
lembaga swasta-non profit oriented (C), pembentukan modal tetap domestik bruto,
termasuk perubahan stok (I), pengeluaran konsumsi pemerintah (G), ekspor (X)
dan impor (M). Sehingga PDB dapat dirumuskan sebagai :
PDB = C + I + G + X – M
Kuncoro (2013) menjelaskan bahwa untuk mengetahui kondisi ekonomi di
suatu negara dalam suatu periode tertentu, PDB dihitung atas dasar harga berlaku
maupun harga konstan. PDB atas dasar harga berlaku atau disebut PDB nominal,
menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga
yang berlaku pada setiap tahun. Sedangkan PDB atas dasar harga konstan atau
disebut PDB riil, menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang
dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar.
PDB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan
struktur ekonomi, sedangkan PDB atas dasar harga konstan digunakan untuk
mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Pertumbuhan ekonomi
(rate of economic growth/rog) dihitung dengan:
Rog = (PDBt – PDBt-1 ) / PDBt-1 x 100%
Keterangan:
PDBt = Produk Domestik Bruto suatu negara pada tahun t
PDBt-1 = Produk Domestik Bruto pada tahun t-1
Teori Pertumbuhan Ekonomi
Evolusi teori pertumbuhan ekonomi dimulai dari teori-teori pertumbuhan
linear yang diungkapkan oleh Adam Smith, Karl Marx, dan Rostow. Teori ini
pada masa itu melihat pertumbuhan ekonomi terbatas karena adanya sifat
kelangkaan pada sumber daya alam dan kemiskinan para pekerja. Adam Smith
dalam teorinya menjelaskan bahwa kemakmuran negara diperoleh dari
kemampuannya untuk menggunakan sumber daya alam dan manusia untuk
8
menghasilkan tingkat produksi yang lebih baik dengan menekankan adanya
spesialisasi individu dan pembagian kerja.
Pasca pertumbuhan linear, banyak teori menekankan adanya perubahan
struktural. Lewis melalui Teori Model Surplus Tenaga Kerja membagi ekonomi
ke dalam dua kategori, yaitu sektor yang subsisten dan kapitalis. Sektor subsisten
adalah sektor pertanian di mana produksi pangan dikonsumsi sebagian besar oleh
petani itu sendiri. Sektor ini biasanya memiliki teknologi yang sederhana dan
penggunaan modal yang relatif minimal. Sektor kapitalis adalah sektor-sektor
moderen yang umumnya ditopang oleh sektor-sektor industri. Inti model ini
adalah bagaimana proses pembangunan dimulai ketika terjadi migrasi tenaga kerja
dari sektor subsisten yang surplus, menuju sektor-sektor moderen. Kapitalis akan
memperluas investasi guna meningkatkan jumlah pekerja dan tingkat produksi.
Konsekuensi kejadian tersebut adalah bertambahnya marginal produktivitas
tenaga kerja yang memengaruhi peningkatan laba dan tingkat pendapatan nasional.
Studi industrialisasi oleh Chenery melihat terdapat perbedaan sistematis jalur
industrialisasi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang.
Aliran dependensia pertama kali digagas secara rinci oleh Andre Gunder
Frank pada tahun 1967. Dia mengemukakan bahwa negara-negara dapat dibagi
menjadi dua golongan yaitu negara-negara pusat pembangunan (negara maju) dan
negara-negara satelit (negara sedang berkembang). Para ekonom yang
menyokong teori ini melihat bahwa proses pembangunan digerakkan oleh negaranegara maju yang kemudian memengaruhi negara-negara satelit. Kesimpulan teori
ini adalah negara-negara miskin dapat berkembang hanya dengan memutus
hubungan ekonomi dari negara-negara barat.
Teori neoklasik mengemukakan dua model yang terkenal, yaitu teori
pertumbuhan Harrod-Domar dan Solow. Analisis Harrod-Domar mengidentifikasi
investasi dan pembangunan mengambil peran penting dalam sebuah ekonomi
untuk mencapai pertumbuhan yang kokoh melalui MPS (Marginal Propensity to
Save) dan ICOR (Incremental Capital Output Ratio). MPS (ΔS/ΔY) merupakan
rasio perubahan tabungan karena adanya perubahan pendapatan. Sedangkan ICOR
(ΔK/ΔY) adalah rasio yang menunjukkan berapa tambahan stok modal yang
dibutuhkan untuk memproduksi produksi sebesar satu dollar. Analisis Robert
Solow mengembangkan sebuah teori yaitu Teori Pertumbuhan Neoklasik, yang
juga disebut Model Solow. Solow mengatakan bahwa pertumbuhan merupakan
fungsi tenaga kerja dan modal. Ekonomi tumbuh hingga mencapai keadaan stabil
(steady state) di mana pendapatan tinggi dicapai. Setelah steady state, tingkat
pertumbuhan yang lebih tinggi dapat dicapai melalui pengembangan teknologi.
Terakhir muncul teori-teori baru seperti Teori Pertumbuhan Baru (New
Growth Theory- NGT) yang dikemukakan oleh Paul Romer. Teori ini merupakan
pengembangan dari Teori Pertumbuhan Neoklasik. Romer memasukkan variabel
teknologi ke dalam model Solow, bukan sebagai variabel di luar model (Kuncoro
2010).
9
Teori pertumbuhan
linear (Adam Smith,
Karl Marx, Walt W
Rostow)
Teori perubahan
struktural (Arthur
Lewis, Hollins
Chenery)
Teori-teori baru:
Teori pertumbuhan
baru (NGT)
Teori
dependensia
(Andre G Frank)
Neoklasik :
Roy Harrod- Evsey Domar
(Harrod-Domar), Robert Solow
,
Sumber: Kuncoro (2010)
Gambar 3 Teori pertumbuhan ekonomi
Selain NGT, salah satu teori baru pertumbuhan ekonomi lainnya adalah
Teori Pertumbuhan Ekonomi Moderen yang dikemukakan oleh Simon Kuznets
dengan beberapa ciri pertumbuhan ekonomi moderen yang muncul dalam analisa
yang didasarkan pada produk nasional dan komponennya, penduduk, tenaga kerja
dan yang lainnya. Berikut adalah ciri-ciri pertumbuhan ekonomi moderen
(Jhingan 2013):
a. Laju pertumbuhan penduduk dan produk per kapita
Pertumbuhan ekonomi moderen ditandai dengan laju kenaikan
produk per kapita yang tinggi dibarengi dengan laju pertumbuhan
penduduk yang cepat. Laju yang tinggi di dalam pertumbuhan produk per
kapita dan penduduk tidak secara langsung menggambarkan laju yang
tinggi di dalam kenaikan produk total.
b. Peningkatan produktivitas
Pertumbuhan ekonomi moderen terlihat dari semakin meningkatnya
laju produk per kapita terutama sebagai akibat adanya perbaikan kualitas
input yang meningkatkan efisiensi atau produktivitas per unit input. Hal
ini dapat dilihat dari semakin besarnya masukan sumber tenaga kerja dan
modal atau semakin meningkatnya efisiensi, atau kedua-duanya. Kenaikan
efisiensi berarti penggunaan output yang lebih besar untuk setiap unit
input. Pertumbuhan produk nasional merupakan akibat dari pertumbuhan
penduduk yang luar biasa besar sehingga memperbesar pula jumlah tenaga
kerja.
c. Laju perubahan struktural yang tinggi
Perubahan struktural dalam pertumbuhan ekonomi moderen
mencakup peralihan dari kegiatan pertanian ke nonpertanian, dari industri
ke jasa, perubahan dalam skala unit-unit produktif, dan peralihan dari
perusahaan perseorangan menjadi perusahaan berbadan hukum, serta
perubahan status kerja buruh.
d. Urbanisasi
Pertumbuhan ekonomi moderen ditandai pula dengan semakin
banyaknya penduduk yang berpindah dari daerah pedesaan ke daerah
perkotaan.
10
Ketimpangan Distribusi Pendapatan
Terdapat beberapa cara yang digunakan untuk mengukur tingkat
kesenjangan dalam distribusi pendapatan. Salah satu yang sering digunakan dalam
studi-studi empiris mengenai kesenjangan dalam distribusi pendapatan adalah
koefisien atau rasio Gini. Ide dasar dari perhitungan koefisien Gini berasal dari
Kurva Lorenz (Tambunan 2003).
Kurva Lorenz merupakan metode yang lazim digunakan untuk menganalis
statistik pendapatan perorangan. Jumlah penerima pendapatan dinyatakan pada
sumbu horizontal, tidak dalam arti absolut melainkan dalam persentase kumulatif.
Dan pada sumbu vertikal menyatakan bagian dari pendapatan total yang diterima
oleh masing-masing persentase kelompok penduduk tersebut. Kurva Lorenz
secara keseluruhan berbentuk bujur sangkar dan dibelah oleh sebuah garis
diagonal yang disebut dengan garis pemerataan. Semakin jauh jarak kurva Lorenz
dari garis diagonal, semakin timpang atau tidak merata distribusi pendapatannya.
Salah satu metode yang mudah digunakan untuk mengukur derajat
ketimpangan pendapatan relatif di suatu negara adalah dengan menghitung rasio
bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas
separuh segi empat di mana kurva Lorenz itu berada (dapat dilihat pada Gambar
4). Rasio ini dikenal dengan nama rasio konsentrasi Gini (Gini Concentration
Ratio) atau biasa disebut dengan Koefisien Gini (Gini Coefficient).
Koefisien Gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang angkanya berkisar
antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna). Pada
prakteknya, koefisien Gini untuk negara-negara yang derajat ketimpangannya
tinggi berkisar antara 0.50 hingga 0.70. Sedangkan untuk negara-negara yang
distribusi pendapatannya relatif merata, angkanya berkisar antara 0.20 hingga 0.35
(Todaro dan Smith 2006).
Sumber: Todaro dan Smith 2006
Gambar 4 Memperkirakan koefisien Gini
11
Selain dengan menggunakan koefisien atau indeks Gini, cara pengukuran
lainnya yang juga umum digunakan adalah dengan mengelompokkan penduduk
menjadi tiga grup, yaitu 40% penduduk dengan pendapatan rendah, 40%
penduduk dengan pendapatan menengah dan 20% penduduk dengan pendapatan
tinggi. Selanjutnya, ketidakmerataan pendapatan diukur berdasarkan pendapatan
yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan pendapatan rendah. Menurut kriteria
Bank Dunia, tingkat ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan dinyatakan
tinggi apabila 40% penduduk dari kelompok berpendapatan rendah menerima
lebih kecil dari 12% dari jumlah pendapatan. Tingkat ketidakmerataan sedang
apabila kelompok tersebut menerima 12% hingga 17% dari jumlah pendapatan.
Sedangkan ketidakmerataan rendah apabila kelompok tersebut menerima lebih
dari 17% dari jumlah pendapatan (Tambunan 2003).
Pengangguran
Pengangguran adalah masalah makroekonomi yang memengaruhi manusia
secara langsung dan merupakan salah satu masalah berat yang dihadapi oleh
negara berkembang. Keadaan di negara berkembang mayoritas menunjukkan
pembangunan ekonomi tidak sanggup menciptakan kesempatan kerja yang lebih
cepat dari pertambahan penduduk. Oleh karena itu, masalah pengangguran yang
dihadapi dari tahun ke tahun semakin lama semakin bertambah serius. Bukan saja
jumlah pengangguran menjadi bertambah besar, tetapi juga proporsi mereka dari
keseluruhan tenaga kerja menjadi semakin bertambah tinggi (Sukirno 2006).
Tingkat pengangguran adalah statistik yang mengukur persentase orangorang yang ingin bekerja tetapi tidak mempunyai pekerjaan. Angkatan kerja
(labor force) didefinisikan sebagai jumlah orang yang sedang bekerja dan orang
yang menganggur. Tingkat pengangguran (unemployment rate) didefinisikan
sebagai persentase dari angkatan kerja yang tidak bekerja, dapat dirumuskan
sebagai berikut:
L=E+U
Keterangan:
L
: Angkatan kerja
E
: Jumlah orang yang bekerja
U
: Jumlah penganggur
Dalam notasi tersebut, tingkat pengangguran adalah sebagai berikut :
Tingkat Pengangguran =
x 100
Salah satu alasan bagi adanya pengangguran adalah dibutuhkannya waktu
untuk mencocokkan antara para pekerja dengan pekerjaan. Para pekerja memiliki
preferensi serta kemampuan yang berbeda, dan pekerjaan memiliki karakteristik
yang berbeda. Oleh karena itu dalam mencari pekerjaan dibutuhkan waktu serta
usaha dan ini cenderung mengurangi tingkat perolehan kerja. Karena pekerjaan
yang berbeda membutuhkan keahlian yang berbeda dan memberikan upah yang
berbeda, maka para penganggur mungkin tidak menerima pekerjaan yang pertama
kali ditawarkan. Pengangguran yang disebabkan oleh waktu yang dibutuhkan
12
orang untuk mencari pekerjaan disebut pengangguran friksional (frictional
unemployment).
Alasan kedua adanya pengangguran adalah kekakuan upah (wage rigidity),
yaitu kegagalan upah dalam menyesuaikan sampai penawaran tenaga kerja sama
dengan permintaannya. Pengangguran yang disebabkan oleh kekakuan upah dan
penjatahan pekerjaan disebut pengangguran struktural (structural unemployment)
(Mankiw 2007). Dalam Kuncoro (2013), penganggur adalah mereka yang sedang
mencari pekerjaan, atau mereka yang mempersiapkan usaha, atau mereka yang
tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan,
dan mereka yang sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.
Penganggur dengan konsep atau definisi tersebut disebut sebagai penganggur
terbuka (open unemployment).
Indikasi tentang penduduk usia kerja yang termasuk dalam kelompok
pengangguran diukur dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Tingkat
pengangguran terbuka diukur sebagai persentase jumlah penganggur terhadap
jumlah angkatan kerja, yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
TPT =
x 100%
Kegunaan dari indikator pengangguran terbuka ini baik dalam satuan unit
(orang) maupun persen berguna sebagai acuan pemerintah bagi pembukaan
lapangan kerja baru. Selain itu, perkembangannya dapat menunjukkan tingkat
keberhasilan program ketenagakerjaan dari tahun ke tahun (Kuncoro 2013).
Penelitian Terdahulu
Zaman dan Khilji (2013) dalam penelitiannya yang berjudul The
Relationship Between Growth-Inequality-Poverty Triangle and Pro-Poor Growth
Policies in Pakistan: The Twin Disappointments menunjukkan bahwa
pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja akan kurang efektif untuk mengurangi
kemiskinan, karena kemiskinan merupakan permasalahan yang multidimensional.
Faktor-faktor lainnya seperti bad governance, ketimpangan pendapatan,
pertumbuhan yang lemah dan laju populasi yang cepat merupakan kontributor
utama dalam kemiskinan. Koefisien Gini dan rasio konsumsi dari penduduk
berpendapatan teratas dan terbawah digunakan untuk mengukur ketimpangan
pendapatan. Pada kasus Pakistan, koefisien Gini terus mengalami peningkatan
selama periode 2000-2001 hingga 2007-2008, hal tersebut menunjukkan bahwa
kondisi ketimpangan pendapatan semakin memburuk. Selain itu, kinerja
pertumbuhan ekonomi yang baik mampu menurunkan jumlah penduduk miskin
tetapi pertumbuhan ekonomi gagal menciptakan dampak distribusi di Pakistan.
Dampak pertumbuhan ekonomi terhadap pengurangan kemiskinan dapat dicapai
melalui beberapa jalur, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 5.
13
Meningkatkan lapangan
pekerjaan
Meningkatkan upah
Pendistribusian kekayaan
Mengurangi
kemiskinan
Pertumbuhan
ekonomi
Mendukung
penduduk
kaya
Mendukung
penduduk
miskin
Meningkatkan pengeluaran
pada sektor sosial
Meningkatkan pendapatan
Sumber: Zaman dan Khilji 2013
Gambar 5 Dampak pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan
Kerangka pemikiran konseptual untuk Growth-Inequality-Poverty (GIP)
triangle di Pakistan dapat dilihat pada Gambar 6. Lingkaran yang mengelilingi
GIP triangle menunjukkan bahwa pemerintah harus mengalokasikan anggaran
untuk kebijakan pro-growth dan pro-poor growth. Dari penelitian juga diperoleh
hasil bahwa kemiskinan di daerah pedesaan lebih tinggi daripada daerah
perkotaan di Pakistan. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan (a) rata-rata
pendapatan dan konsumsi rumah tangga, serta (b) ketersediaan infrastruktur di
sektor publik, subsidi, dan pelayanan-pelayanan. Tingginya kemiskinan di daerah
pedesaan karena mayoritas penduduk miskin di pedesaan bekerja di sektor
pertanian sebagai buruh tani. Selain itu juga diperoleh hasil bahwa dampak
ketimpangan pada peningkatan kemiskinan lebih kuat daripada dampak
pertumbuhan terhadap pengurangan kemiskinan. Dampak penurunan kemiskinan
dari pertumbuhan tergantung pada berbagai faktor dan karakteristik pola
pertumbuhan. Salah satu faktor penting adalah derajat dari intensitas pekerja
dalam proses pertumbuhan, di mana pertumbuhan ekonomi mampu menciptakan
kesempatan kerja pada penduduk miskin.
14
Sumber: Zaman dan Khilji 2013
Gambar 6 GIP Triangle
Priyarsono dan Hajiji (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Can
Economic Growth Effectively Reduce Poverty?: An Empirical Evidence
menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi di Riau ternyata mampu mengurangi
kemiskinan, tetapi juga meningkatkan ketimpangan pendapatan. Peningkatan
ketimpangan pendapatan tersebut menjadi penghambat atau mengurangi
efektivitas pertumbuhan ekonomi dalam mengentaskan kemiskinan. Dua
kemungkinan dari peningkatan ketimpangan pendapatan akibat dari pertumbuhan
ekonomi, yaitu:
1. Bagian terbesar pertumbuhan ekonomi dinikmati oleh penduduk yang tidak
miskin, sedangkan sisanya dinikmati oleh penduduk yang miskin. Apabila
kondisi ini yang terjadi, maka pertumbuhan ekonomi tidak akan mengurangi
kemiskinan.
2. Bagian terbesar pertumbuhan ekonomi dinikmati oleh penduduk yang miskin,
sedangkan sisanya dinikmati oleh penduduk yang tidak miskin. Apabila
kondisi ini yang terjadi, maka pertumbuhan ekonomi akan mengurangi
kemiskinan.
Suryadarma, et al.(2005) dalam penelitiannya yang berjudul A Reassessment
of Inequality and Its Role in Poverty Reduction in Indonesia bertujuan untuk
mengetahui bagaimana kondisi ketimpangan di Indonesia pada saat pertumbuhan
ekonomi Indonesia sedang tinggi dan pada saat terjadi krisis. Serta untuk menguji
apakah ketimpangan berhubungan dengan kemiskinan di Indonesia. Penelitian ini
memberikan gambaran tentang ketimpangan di Indonesia selama periode tahun
1984 hingga 2002 dengan menggunakan beberapa ukuran ketimpangan yaitu
Indeks Gini, Generalized Entropy (GE) Index, dan Atkinson Index. Berdasarkan
hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ketimpangan mengalami fluktuasi.
Sedangkan tingkat kemiskinan cenderung mengalami penurunan dari 1984 hingga
tahun 2002. Pada tahun 1999 ketimpangan mengalami penurunan yang paling
rendah di antara tahun lainnya sepanjang periode 1984 – 2002 ketika tingkat
kemiskinan justru mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya. Hal ini dikarenakan ketika terjadi krisis banyak dari kelompok
masyarakat yang sebelumnya tidak miskin (rentan terhadap Garis Kemiskinan)
15
menjadi miskin. Sehingga tingkat kemiskinannya mengalami peningkatan. Dari
hasil penelitian diketahui bahwa ketimpangan mempunyai pengaruh negatif
terhadap elastisitas pertumbuhan kemiskinan.
Kerangka Pemikiran
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada latar belakang dan rumusan
masalah, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterkaitan antara
pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan tingkat kemiskinan di 33
Provinsi di Indonesia selama periode 2010 hingga 2013. Selain itu penelitian ini
juga menggunakan variabel kontrol tingkat pengangguran terbuka yang
merupakan salah satu faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan. Tetapi
tingkat pengangguran terbuka tidak dibahas secara mendalam.
Pembangunan Ekonomi di
Indonesia
Faktor yang Memengaruhi
Kemiskinan
Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT)
Analisis Keterkaitan
Pertumbuhan
Ekonomi
Ketimpangan
Pendapatan
Tingkat Kemiskinan
Gambar 7 Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
1.
2.
Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Variabel pertumbuhan ekonomi mempunyai hubungan yang negatif terhadap
tingkat kemiskinan. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, tingkat
kemiskinan akan semakin rendah.
Variabel ketimpangan pendapatan mempunyai hubungan yang positif
terhadap tingkat kemiskinan. Semakin tinggi ketimpangan pendapatan,
tingkat kemiskinan akan semakin tinggi.
16
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari 33
Provinsi di Indonesia dengan time series waktu tahunan periode 2010 hingga 2013
yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data yang diperoleh
ditransformasikan dalam bentuk data panel, yaitu kombinasi dari data time series
dan data cross section. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini
berdasarkan studi pustaka yang dilakukan terhadap jurnal, penelitian terdahulu
dan literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Uraian data sekunder
yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Jenis, sumber dan variabel data yang digunakan
No
Jenis data
1
Persentase penduduk miskin
di 33 provinsi di Indonesia
(%)
Ketimpangan pendapatan
(Indeks Gini)
Pertumbuhan ekonomi (%)
Tingkat pengangguran
terbuka (%)
2
3
4
Sumber data
Variabel
BPS
POVit
BPS
GINIit
BPS
BPS
GROWTHit
TPTit
Metode Analisis dan Pengolahan Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian adalah analisis
kuantitatif dan analisis deskriptif. Analisis kuantitatif dilakukan dengan metode
panel data untuk mengkaji keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan
pendapatan dan tingkat kemiskinan di Indonesia. Pengolahan data dilakukan
dengan menggunakan program Eviews 6.1 dan Microsoft Excel. Sedangkan
analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menginterpretasikan hasil
data kuantitatif mengenai pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan, dan
tingkat kemiskinan di Indonesia.
Metode Panel Data
Data panel merupakan gabungan antara cross section dan time series. Data
cross section adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak
individu. Sedangkan data time series adalah data yang dikumpulkan dari waktu ke
waktu terhadap suatu individu. Terdapat dua keuntungan penggunaan model data
panel. Pertama, dengan mengkombinasikan data time series dan cross section
dalam data panel membuat jumlah observasi menjadi lebih besar. Dengan
menggunakan data panel marginal effect dari peubah penjelas dilihat dari dua
17
dimensi yaitu individu dan waktu sehingga parameter yang diestimasi akan lebih
akurat dibandingkan dengan model lain. Selain itu, secara teknis data panel dapat
memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar perubah serta
meningkatkan derajat kebebasan yang artinya meningkatkan efisiensi.
Keuntungan kedua dari penggunaan model data panel adalah mengurangi
masalah identifikasi. Data panel lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur
efek. Data panel mampu mengontrol heterogenitas individu. Dengan metode ini
estimasi yang dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas
individu. Data panel juga lebih baik untuk studi dynamic of adjustment. Hal ini
berkaitan dengan observasi pada cross section yang sama secara berulang (Firdaus
2011).
Pengujian Kesesuaian Model
Dalam pengolahan data panel harus dilakukan beberapa pengujian untuk
memilih metode serta model mana yang paling tepat antara metode kuadrat
terkecil (pooled least square model), metode tetap (fixed effect model), atau
metode acak (random effect model). Pengujian yang dilakukan adalah sebagai
berikut:
1.
Chow Test merupakan pengujian yang dilakukan untuk memilih apakah
model yang digunakan Pooled Least Square Model (PLS) atau Fixed Effect
Model (FEM) dengan hipotesisnya adalah
H0 = Pooled Least Square Model (Restricted)
H1= Fixed Effect Model (Unrestricted)
2.
Apabila nilai Chow Statistics (F statistik) > FN-1, NT-N-K, maka cukup
bukti untuk menolak H0, artinya model yang digunakan adalah Fixed Effect
Model.
Hausman Test merupakan pengujian statistik yang dilakukan untuk memilih
apakah model yang digunakan Fixed Effect Model atau Random Effect
Model. Hipotesis dalam penelitian ini adalah
H0 = Random Effect Model (REM)
H1 = Fixed Effect Model (FEM)
Tolak H0 apabila nilai statistik Hausman lebih besar dari Chi Square
atau bisa juga dengan menggunakan nilai probabilitas (p-value), yaitu jika
p-value lebih kecil dari tingkat kritis α. Ketika hasilnya adalah tolak H o,
maka model yang digunakan adalah Fixed Effect Model.
Uji Asumsi Klasik
Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas muncul apabila terdapat dua atau lebih peubah (atau
kombinasi peubah) bebas yang memiliki korelasi tinggi antara peubah yang satu
18
dengan peubah yang lainnya. Apabila terdapat peubah bebas yang berkorelasi
tinggi dengan peubah bebas lainnya, dugaan parameter koefisien regresi dengan
metode Ordinary Least Square masih mungkin diperoleh tetapi interpretasinya
akan menjadi sulit. Untuk mendeteksi apakah terdapat multikolinearitas
diantaranya adalah dengan melakukan uji koefisien korelasi sederhana (pearson
correlation coefficient) antara peubah bebas dalam model. Jika korelasinya sangat
tinggi dan nyata, maka terdapat multikolinearitas. Selain itu, apabila dalam uji-F
menyimpulkan minimal ada peubah bebas yang signifikan dalam model atau R2
tinggi tapi dalam uji-t tidak ada koefisien yang signifikan karena simpangan baku
koefisiennya besar. Atau bisa juga dengan melihat nilai Variance Inflation Factor
(VIF), apabila nilai VIF lebih besar dari 10 maka dapat dipastikan terdapat
multikolinearitas (Juanda 2009).
Uji Heteroskedastisitas
Salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa ragam sisaan (εt)
homogen. Apabila ragam sisaan tidak sama maka dapat dipastikan terdapat
masalah heteroskedastisitas. Pada umumnya masalah heteroskedastisitas sering
terjadi pada pada cross section. Suatu model yang terdapat heteroskedastisitas
maka model tersebut menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten.
Salah satu teknik pendugaan yang digunakan untuk mengatasi masalah
heteroskedastisitas adalah dengan menggunakan metode Kuadrat Terkecil
Terboboti (Weighted Least Square) yang merupakan kasus khusus dari teknik
ekonometrika yang lebih umum yaitu Generalized Least Square (GLS) di mana
model ditransformasi dengan memberikan bobot pada data asli (Juanda 2009).
Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah korelasi serial antara sisaan (εt) atau korelasi antara
serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu dalam data time series
ataupun menurut ruang dalam data cross section. Autokorelasi dapat
memengaruhi efisiensi dari estimatornya. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi
dapat dilakukan dengan melakukan uji Durbin-Watson. Dalam tabel DW terdapat
dua nilai titik kritis (batas keputusan) yang dinotasikan dengan dL dan dU. Batas
keputusan H0 atau H1 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Selang nilai statistik Durbin-Watson serta keputusannya
Nilai DW
4-dL < DW < 4
4-dU < DW < 4-dL
dU < DW < 4-dU
dL < DW < dU
0 < DW < dL
Sumber: Juanda 2009
Keputusan
Tolak H0 ; ada autokorelasi negatif
Tidak tentu, coba uji yang lain
Terima H0
Tidak tentu, coba uji yang lain
Tolak H0 ; ada autokorelasi positif
19
Perumusan Model Penelitian
Dalam menganalisis keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi,
ketimpangan pendapatan dan tingkat kemiskinan, digunakan 3 variabel bebas
yang terdiri dari pertumbuhan ekonomi (GROWTH), Indeks Gini (GINI), dan
tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang merupakan variabel kontrol. Sedangkan
variabel terikatnya adalah tingkat kemiskinan yaitu persentase penduduk miskin
(POV). Berikut adalah model yang digunakan dalam penelitian ini:
POVit = α + α1
KETIMPANGAN PENDAPATAN DAN KEMISKINAN :
ANALISIS DATA PROVINSI DI INDONESIA 2010-2013
RIRIN INDAH SAFITRI
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pertumbuhan Ekonomi,
Ketimpangan Pendapatan, dan Kemiskinan : Analisis Data Provinsi di Indonesia
2010-2013 adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2015
Ririn Indah Safitri
NIM H14110047
ABSTRAK
RIRIN INDAH SAFITRI. Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan, dan
Kemiskinan : Analisis Data Provinsi di Indonesia 2010-2013. Dibimbing oleh D.S.
PRIYARSONO.
Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan utama di negara
berkembang termasuk Indonesia. Tingkat kemiskinan di Indonesia terus
mengalami penurunan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi berhasil menurunkan
tingkat kemiskinan secara agregat, namun di samping kondisi perekonomian yang
mengesankan itu, kondisi ketimpangan pendapatan yang ditunjukkan dengan
indeks Gini justru mengalami peningkatan. Penelitian pada 33 provinsi di
Indonesia tahun 2010-2013 ini bertujuan untuk menganalisis keterkaitan antara
pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan tingkat kemiskinan. Variabel
bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertumbuhan ekonomi dan
ketimpangan pendapatan yang diukur dengan Indeks Gini. Selain itu, variabel
kontrol yang digunakan adalah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan
pendapatan berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan pada taraf nyata
5% namun dengan pengaruh yang berbeda. Di luar dugaan, pertumbuhan
ekonomi ternyata berpengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan, sedangkan
ketimpangan pendapatan berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan.
Kata kunci: kemiskinan, ketimpangan pendapatan, panel data statis, pertumbuhan
ekonomi.
ABSTRACT
RIRIN INDAH SAFITRI. Economic Growth, Income Inequality and Poverty :
Analysis of Provincial Data in Indonesia 2010-2013. Supervised by D.S.
PRIYARSONO.
Poverty is one of the main problems in developing countries including
Indonesia. Poverty rate in Indonesia continues to decline. High economic growth
managed to reduce the poverty rate in aggregate, but despite the impressive
economic performance, the income inequality shown by the Gini index have
increased. Research in 33 provinces in Indonesia 2010-2013 aims to analyze the
relationship between economic growth, income inequality and poverty.
Independent variables used in this study is the economic growth and income
inequality measured by Gini index. In addition, control variables are used is
unemployment rate (TPT). The results of this study showed that economic growth
and income inequality have a significant effect on the real standard 5% but with
different effects. Unexpectedly, economic growth turns positive effect on poverty
rates, meanwhile income inequality turns negative effect on poverty rates.
Keywords: poverty, income inequality, panel data statis, economic growth.
PERTUMBUHAN EKONOMI,
KETIMPANGAN PENDAPATAN DAN KEMISKINAN :
ANALISIS DATA PROVINSI DI INDONESIA 2010-2013
RIRIN INDAH SAFITRI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul Pertumbuhan Ekonomi,
Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan: Analisis Data Provinsi di Indonesia
2010-2013 ini berhasil diselesaikan dengan baik.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dominicus Savio
Priyarsono, M.S. selaku dosen pembimbing yang dengan sabar dan penuh
perhatian memberikan arahan, saran dan motivasi selama proses penyelesaian
skripsi ini, kepada Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si selaku dosen penguji utama
dan Bapak Salahuddin El Ayyubi, Lc, M.A selaku dosen penguji dari komisi
pendidikan atas saran-saran yang membangun dan ilmu yang bermanfaat untuk
penyempurnaan skripsi ini, serta kepada DIKTI yang telah memberikan beasiswa
Bidik Misi selama menjalani masa studi. Ungkapan terima kasih yang tak
terhingga disampaikan kepada keluarga tercinta, Papah Jaeni Maulana, Mamah
Roilah, Kakak Oktaviani Maulana dan Adik Ajeng Novita atas segala doa,
dukungan, semangat dan kasih sayangnya.
Di samping itu, penulis sampaikan terima kasih yang sebesarnya kepada kak
Uke Tri Evasari, S.E, Mba drh. Ikasari Ananda Putri, dan Oktavina yang telah
banyak membantu selama proses penyelesaian skripsi ini. Kepada orang-orang
terdekat penulis Wisnu Fauzi Yudistira, Darijah, Raytisa Sirgin dan Shabrina
Dyah yang selalu memotivasi, menyemangati, menghibur dan mendoakan.
Kepada sahabat-sahabat Anne Florita, Nur Ariyani, Iswahyuni, Sella, Dian Asti,
Carla, Rahmi, Randy, Ina Marlina, Faisal, dan Kasyifah, Feriansyah serta temanteman Ilmu Ekonomi 48 atas kebersamaan, semangat dan dukungannya. Kepada
sahabat satu bimbingan, Hasna, Ajeng dan Diky atas segala dukungan dan
semangat yang diberikan. Kepada keluarga IKADA Bogor (Titin, Rudi, Badar,
Ans Shinta), keluarga LABLE HIPOTESA (Kak Fajri, Kak Alfin, Kak Meli, Kak
Hani, Yulya, Desna, Anna, Fathya, Wita, Irman dan Teti), keluarga Pondok Nara
(Indah, Ike, Ma’e, Dwi, Kak Mona, Kak Rina dan Nola) atas segala canda tawa
dan dukungan yang selalu diberikan. Serta kepada semua pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu
per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2015
Ririn Indah Safitri
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
4
Ruang Lingkup Penelitian
4
TINJAUAN PUSTAKA
4
Kemiskinan
4
Pertumbuhan Ekonomi
6
Ketimpangan Distribusi Pendapatan
10
Pengangguran
11
Penelitian Terdahulu
12
Kerangka Pemikiran
15
Hipotesis Penelitian
15
METODE
16
Jenis dan Sumber Data
16
Metode Analisis dan Pengolahan Data
16
Metode Panel Data
16
Pengujian Kesesuaian Model
17
Uji Asumsi Klasik
17
Perumusan Model Penelitian
19
HASIL DAN PEMBAHASAN
19
Kondisi Kemiskinan di Indonesia
19
Kondisi Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia
21
Kondisi Ketimpangan Pendapatan di Indonesia
23
Keterkaitan Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Tingkat
Kemiskinan di Indonesia
23
SIMPULAN DAN SARAN
28
Simpulan
28
Saran
29
DAFTAR PUSTAKA
30
LAMPIRAN
32
RIWAYAT HIDUP
34
DAFTAR TABEL
1 Jenis, sumber dan variabel data yang digunakan
2 Selang nilai statistik Durbin-Watson serta keputusannya
3 Laju pertumbuhan PDB atas dasar harga konstan 2000 menurut
lapangan usaha 2010-2013 (%)
4 Persentase tenaga kerja menurut pekerjaan utama tahun 2013
5 Uji model terbaik
6 Hasil estimasi model dengan metode fixed effect model
16
18
22
22
24
24
DAFTAR GAMBAR
1 Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia
2002-2011
2 Koefisien Gini di Asia Timur tahun 2000-2012
3 Teori pertumbuhan ekonomi
4 Memperkirakan koefisien Gini
5 Dampak pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan
6 GIP triangle
7 Kerangka pemikiran
8 Persentase penduduk miskin di Indonesia, 2010-2013
9 Persentase penduduk miskin di perkotaan dan pedesaan, 2010-2013
10 Laju pertumbuhan PDB Indonesia, 2010-2013
11 Indeks Gini di Indonesia, 2010-2013
12 Distribusi pendapatan berdasarkan kelompok masyarakat
13 Hubungan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan
14 Kurva insidensi pertumbuhan, 2003-2010
15 Kondisi ideal penurunan kemiskinan
16 Kondisi penurunan kemiskinan di Indonesia
1
3
9
10
13
14
15
20
20
21
23
25
26
27
28
28
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
Hasil uji korelasi untuk pengujian asumsi klasik multikolinearitas
Hasil pengujian Chow test
Hasil pengujian Hausman test
Hasil pengujian dengan Fixed Effect Model (FEM)
32
32
32
32
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan ekonomi pada dasarnya mempunyai tujuan utama untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan adalah proses
multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan mendasar dalam struktur
sosial, perilaku sosial, dan institusi nasional, di samping akselerasi pertumbuhan
ekonomi, pengurangan ketidakmerataan, dan pengentasan kemiskinan (Todaro
dan Smith 2006). Kemiskinan merupakan permasalahan yang dihadapi hampir di
setiap negara baik negara maju maupun negara sedang berkembang, namun
masalah kemiskinan yang mencolok masih banyak ditemukan di negara sedang
berkembang.
Berbagai upaya dalam menanggulangi kemiskinan masih terus dicari. Salah
satu upaya dunia dalam menanggulangi kemiskinan tertuang dalam butir-butir
Millenium Development Goals (MDGs) dengan fokus utama memberantas
kemiskinan global dan mencapai tujuan pembangunan manusia. Dalam jangka
waktu tertentu pembangunan ekonomi di Indonesia telah menghasilkan berbagai
kemajuan yang cukup berarti seperti pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan
tingkat kemiskinan yang terus mengalami penurunan. Pada Gambar 1 dapat dilihat
bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia cenderung mengalami penurunan. Dalam
kurun 1998-2013, tingkat kemiskinan berhasil diturunkan sebesar 12.73% yakni
dari 24.2% pada tahun 1998 menjadi 11.47% pada tahun 2013.
Persentase Penduduk Miskin di Indonesia, 1998-2013
24.2 23.43
19.14 18.41 18.2
17.75 16.58
17.42 16.66
15.97
15.42
14.15 13.33
12.36 11.66 11.47
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) 2013
Gambar 1 Perkembangan persentase penduduk miskin di Indonesia 1998-2013
Kemiskinan merupakan gejala yang lebih rumit daripada sekedar
kurangnya pendapatan, karena itu diperlukan kehati-hatian dalam memaknai
angka-angka yang memperlihatkan penurunan kemiskinan. Seperti pada kasus
Pakistan, pengurangan kemiskinan sebenarnya merupakan pergeseran kecil saja
dari kategori “sangat miskin” ke kategori “kurang miskin” (Thee Kian Wie 1981).
2
Di Indonesia, sebanyak 68 juta penduduk hanya hidup sedikit di atas garis
kemiskinan, sehingga sangat rentan untuk kembali miskin. Sedikit guncangan
seperti kenaikan harga pangan, ancaman penyakit dan bencana alam, dapat
mendorong mereka kembali ke dalam kemiskinan (Priyarsono 2014). Selama ini
diyakini bahwa dalam menurunkan kemiskinan diperlukan pertumbuhan ekonomi
yang tinggi. Karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan dapat
menciptakan trickle down effect yang dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Namun pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup dalam mengentaskan
kemiskinan, perlu diikuti dengan pemerataan distribusi pendapatan.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi fokus pemerintah Indonesia
dalam beberapa kurun waktu terakhir sehingga Indonesia berhasil naik kelas dari
negara berpendapatan rendah menjadi negara berpendapatan menengah (middle
income country). Selama periode tahun 2010 hingga 2013 rata-rata pertumbuhan
ekonomi mencapai 6.175% yang merupakan pertumbuhan ekonomi tertinggi
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tetapi perkembangan perekonomian
Indonesia yang mengesankan tersebut tidak disertai dengan pemerataan distribusi
pendapatan. Kemajuan ekonomi tersebut lebih banyak dinikmati oleh mereka
yang berpendapatan tinggi dibandingkan oleh mereka yang berpendapatan rendah
sehingga ketimpangan pendapatan di Indonesia masih tinggi dan cenderung
meningkat. Ketimpangan pendapatan merupakan kondisi di mana tidak meratanya
distribusi pendapatan yang diterima masyarakat. Secara umum ketimpangan
pendapatan diukur dengan menggunakan Indeks Gini. Indeks Gini memiliki nilai
antara 0 sampai 1. Nilai 0 menunjukkan bahwa distribusi pendapatan di suatu
wilayah sudah merata, sedangkan nilai 1 menunjukkan ketidakmerataan dalam
pendistribusian pendapatan atau terjadinya ketimpangan yang sempurna di suatu
wilayah. Tingkat ketimpangan di Indonesia yang ditunjukkan dengan Indeks Gini
terus mengalami kenaikan hingga mencapai angka 0.413 pada tahun 2013.
Kenaikan Indeks Gini tersebut menunjukkan bahwa ketimpangan di Indonesia
semakin memburuk.
Erat kaitannya dengan kemiskinan adalah masalah pengangguran.
Walaupun tingkat pengangguran terbuka berada pada kisaran 5.70 persen, namun
definisi tidak menganggur di Indonesia masih sangat longgar (Priyarsono 2014).
Pengangguran akan secara langsung memengaruhi konsumsi masyarakat miskin
apabila konsumsi saat ini dipengaruhi pendapatan saat ini. Tetapi apabila
konsumsi saat ini tidak begitu dipengaruhi oleh pendapatan saat ini, maka
pengangguran tidak begitu berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan dalam
jangka pendek (Rahayuningtias 2014). Berdasarkan pemaparan tersebut, maka
perlu dikaji keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan distribusi
pendapatan dan kemiskinan di Indonesia dengan tingkat pengangguran terbuka
sebagai variabel kontrolnya.
Perumusan Masalah
Salah satu permasalahan yang dihadapi negara berkembang adalah masalah
kemiskinan. Kemiskinan merupakan permasalahan yang tidak mudah untuk
diatasi, sudah berbagai kebijakan yang telah diterapkan di Indonesia masih belum
mampu menanggulangi masalah kemiskinan yang terjadi. Walaupun tingkat
3
kemiskinan di Indonesia cenderung mengalami penurunan dalam beberapa tahun
terakhir, namun masih terdapat 68 juta penduduk Indonesia yang hidup dalam
keadaan rentan terhadap kemiskinan. Selama ini strategi pembangunan ekonomi
di Indonesia lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan
harapan dapat menciptakan trickle down effect. Secara agregat pertumbuhan
ekonomi yang tinggi memang mampu menurunkan tingkat kemiskinan. Namun di
beberapa daerah yang menjadi pusat aktivitas ekonomi, ketika pertumbuhan
ekonominya tinggi bahkan melebihi pertumbuhan ekonomi nasional, tingkat
kemiskinannya tidak mengalami penurunan tetapi justru mengalami peningkatan.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai dengan distribusi pendapatan
yang merata antargolongan masyarakat semakin memperburuk kondisi
ketimpangan pendapatan di Indonesia. Peningkatan ketimpangan di Indonesia
merupakan salah satu yang tertinggi di kawasan Asia Timur, seperti yang dapat
dilihat pada Gambar 2.
Sumber: Bank Dunia 2014
Gambar 2 Perubahan koefisien Gini di Indonesia dan beberapa negara
di Asia Timur 2000-2012
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, permasalahan yang dapat
dirumuskan dalam penelitian ini adalah:
1.
Bagaimana kondisi kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan
pendapatan di Indonesia?
2.
Bagaimana keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan
pendapatan dan tingkat kemiskinan di Indonesia?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini memiliki beberapa
tujuan sebagai berikut:
1.
Mendeskripsikan kondisi kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan
ketimpangan pendapatan di Indonesia.
2.
Menganalisis keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan
pendapatan dan tingkat kemiskinan di Indonesia.
4
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut:
1. Sebagai informasi bagi pemerintah pusat maupun daerah dan instansi yang
terkait mengenai kondisi pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan
pendapatan serta hubungannya dengan tingkat kemiskinan di Indonesia
sehingga dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam
perumusan kebijakan untuk menangani masalah kemiskinan.
2. Sebagai bahan pustaka, informasi dan referensi bagi pihak yang
membutuhkan serta sebagai rujukan untuk penelitian selanjutnya.
3. Sebagai wawasan bagi para pembaca mengenai keterkaitan pertumbuhan
ekonomi, ketimpangan pendapatan dan tingkat kemiskinan di Indonesia.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mencakup analisis keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi,
ketimpangan pendapatan dan tingkat kemiskinan di Indonesia yang terdiri dari 33
Provinsi. Pertumbuhan ekonomi diukur dengan menggunakan laju pertumbuhan
ekonomi, ketimpangan pendapatan diukur dengan Indeks Gini dan tingkat
kemiskinan diukur dengan persentase penduduk miskin. Penelitian ini juga
menggunakan variabel kontrol yaitu tingkat pengangguran terbuka untuk
mencerminkan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Tingkat pengangguran
terbuka juga dapat digunakan untuk mengindikasikan seberapa besar penawaran
tenaga kerja yang tidak dapat terserap dalam pasar tenaga kerja di Indonesia.
Analisis yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan
analisis kuantitatif dengan metode panel data.
TINJAUAN PUSTAKA
Kemiskinan
Tinggi atau rendahnya tingkat kemiskinan di suatu negara tergantung pada
dua faktor utama, yakni tingkat pendapatan nasional rata-rata dan lebar atau
sempitnya kesenjangan distribusi pendapatan. Setinggi apapun tingkat pendapatan
nasional per kapita yang dicapai oleh suatu negara, selama distribusi
pendapatannya tidak merata, maka tingkat kemiskinan di negara tersebut pasti
akan tetap parah. Begitupun sebaliknya, semerata apapun distribusi pendapatan di
suatu negara, jika tingkat pendapatan nasional rata-ratanya rendah, maka
kemiskinan juga akan semakin meluas.
Para ekonom pembangunan menggunakan konsep kemiskinan absolut untuk
menentukan tingkat pendapatan minimum yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan fisik dasar akan makanan, pakaian, dan perumahan agar dapat
menjamin kelangsungan hidupnya. Adapun masalah yang timbul adalah sulitnya
menentukan tingkat hidup minimum, karena tingkat tersebut berbeda dari satu
negara ke negara lain dan dari satu daerah ke daerah lainnya, yang mencerminkan
5
perbedaan kebutuhan-kebutuhan psikologis, sosial dan ekonomi dari setiap orang.
Oleh karena itu, para ahli ekonomi cenderung membuat perkiraan-perkiraan yang
serba konservatif atau sederhana tentang kemiskinan dunia dalam rangka
menghindari perkiraan-perkiraan yang berlebihan. Metodologi umum yang
digunakan sebagai dasar dari perkiraan tersebut adalah garis kemiskinan
internasional yang tidak mengenal tapal batas antarnegara, tidak tergantung pada
tingkat pendapatan per kapita di suatu negara, dan juga memperhitungkan
perbedaan tingkat harga antarnegara dengan mengukur penduduk miskin sebagai
orang yang hidup kurang dari US$1 atau US$2 per hari dalam dolar PPP (Todaro
2006)
Kemiskinan absolut dapat diukur dengan angka atau hitungan per kepala
(Headcount) untuk mengetahui seberapa banyak orang yang penghasilannya
berada di bawah garis kemiskinan absolut. Selain kemiskinan absolut, terdapat
beberapa
macam bentuk kemiskinan lainnya seperti kemiskinan relatif,
kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Berikut penjelasan dari masingmasing bentuk kemiskinan tersebut:
Kemiskinan relatif
Kemiskinan relatif merupakan kondisi kemiskinan yang terjadi karena
pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh
lapisan masyarakat.
Kemiskinan struktural
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi
struktur atau tatanan kehidupan yang tak menguntungkan. Salah satu contohnya
adalah kemiskinan karena lokasi tempat tinggal yang terisolasi. Keadaan lebih
parah karena struktur yang menghambat, misalnya kalangan UMKM yang
kesulitan dalam akses permodalan perbankan, sehingga tetap miskin bahkan
makin terpuruk karena daya beli yang menurun akibat inflasi, sementara usaha
tidak berkembang akibat kesulitan modal di mana akses kepada perbankan sangat
sulit.
Kemiskinan kultural
Kemiskinan kultural adalah kondisi kemiskinan yang diakibatkan oleh
faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang
atau sebuah komunitas. Misalnya sikap malas, etos kerja rendah, tak siap
berkompetisi, korupsi, dan lain sebagainya.
Badan Pusat Statistik (BPS) memiliki kriteria tersendiri dalam
mendefinisikan kemiskinan, yakni melalui dua komponen berupa Garis
Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Nonmakanan (GKMN)
dengan rumus GK = GKM + GKMN. GKM merupakan nilai pengeluaran
kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori per kapita
per hari. Sedangkan GKMN adalah kebutuhan minimum untuk perumahan,
sandang, pendidikan dan kesehatan (Damanhuri 2010).
Dalam mengukur kemiskinan, terdapat tiga indikator yang diperkenalkan
oleh Foster dan sering digunakan dalam banyak studi empiris. Pertama, the
incidence of poverty yaitu persentase dari populasi yang hidup di dalam keluarga
dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan. Kedua, the
depth of poverty yang menggambarkan dalamnya kemiskinan di suatu wilayah
yang diukur dengan indeks jarak kemiskinan (IJK) atau biasa dikenal dengan
poverty gap index. Indeks ini mengestimasi jarak/perbedaan rata-rata pendapatan
6
orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis tersebut.
Ketiga, the severity of poverty yang diukur dengan indeks keparahan kemiskinan
(IKK). Indeks ini pada prinsipnya sama seperti IJK, namun selain mengukur jarak
yang memisahkan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan, IKK
juga mengukur ketimpangan di antara penduduk miskin atau penyebaran
pengeluaran di antara penduduk miskin. Indeks ini juga disebut Distributionally
Sensitive Index dapat digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan
(Tambunan 2003).
Pertumbuhan Ekonomi
Dalam mengukur pertumbuhan ekonomi, para ekonom menggunakan data
produk domestik bruto (GDP) yang mengukur pendapatan total setiap orang
dalam perekonomian (Mankiw 2007). Dalam Tambunan (2003), pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi utama atau suatu
keharusan bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan peningkatan
kesejahteraan. Pertumbuhan ekonomi tanpa diiringi dengan penambahan
kesempatan kerja akan mengakibatkan ketimpangan dalam pembagian dari
penambahan pendapatan tersebut (ceteris paribus), yang selanjutnya akan
menciptakan suatu kondisi pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan
kemiskinan. Dalam pemahaman ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi adalah
penambahan Produk Domestik Bruto (PDB). PDB dapat diukur dengan tiga
macam pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan, dan
pendekatan pengeluaran. Dua pendekatan pertama merupakan pendekatan dari sisi
penawaran agregat, sedangkan pendekatan pengeluaran merupakan penghitungan
PDB dari sisi permintaan agregat. Menurut pendekatan produksi, PDB adalah
jumlah nilai output dari semua sektor ekonomi atau lapangan usaha. Badan Pusat
Statistik (BPS) membagi ekonomi nasional ke dalam 9 sektor, yaitu :
1. Pertanian
2. Pertambangan dan penggalian
3. Industri pengolahan
4. Listrik, gas dan air bersih
5. Bangunan
6. Perdagangan, hotel dan restoran
7. Pengangkutan dan komunikasi
8. Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan
9. Jasa-jasa
Sehingga PDB dapat dirumuskan sebagai :
PDB = ∑
i
Keterangan:
NO
: Nilai output
i
: sektor 1,2,....,9
Sedangkan melalui pendekatan pendapatan, PDB adalah jumlah pendapatan
yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi
7
di masing-masing sektor, seperti tenaga kerja (gaji/upah), pemilik modal
(bunga/hasil investasi), pemilik tanah (hasil jual/sewa tanah), dan pengusaha
(keuntungan bisnis/perusahaan). Semua pendapatan ini dihitung sebelum dipotong
oleh pajak penghasilan dan pajak-pajak langsung lainnya. Dalam pendekatan ini,
penghitungan PDB mencakup penyusutan dan pajak-pajak tidak langsung neto.
Sehingga PDB dapat dirumuskan sebagai :
PDB = ∑
i
Keterangan:
NTB : Nilai tambah bruto
i
: sektor 1,2,....,9
Adapun menurut pendekatan pengeluaran, PDB adalah jumlah dari semua
komponen permintaan akhir, yaitu pengeluaran konsumsi rumah tangga dan
lembaga swasta-non profit oriented (C), pembentukan modal tetap domestik bruto,
termasuk perubahan stok (I), pengeluaran konsumsi pemerintah (G), ekspor (X)
dan impor (M). Sehingga PDB dapat dirumuskan sebagai :
PDB = C + I + G + X – M
Kuncoro (2013) menjelaskan bahwa untuk mengetahui kondisi ekonomi di
suatu negara dalam suatu periode tertentu, PDB dihitung atas dasar harga berlaku
maupun harga konstan. PDB atas dasar harga berlaku atau disebut PDB nominal,
menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga
yang berlaku pada setiap tahun. Sedangkan PDB atas dasar harga konstan atau
disebut PDB riil, menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang
dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar.
PDB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan
struktur ekonomi, sedangkan PDB atas dasar harga konstan digunakan untuk
mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Pertumbuhan ekonomi
(rate of economic growth/rog) dihitung dengan:
Rog = (PDBt – PDBt-1 ) / PDBt-1 x 100%
Keterangan:
PDBt = Produk Domestik Bruto suatu negara pada tahun t
PDBt-1 = Produk Domestik Bruto pada tahun t-1
Teori Pertumbuhan Ekonomi
Evolusi teori pertumbuhan ekonomi dimulai dari teori-teori pertumbuhan
linear yang diungkapkan oleh Adam Smith, Karl Marx, dan Rostow. Teori ini
pada masa itu melihat pertumbuhan ekonomi terbatas karena adanya sifat
kelangkaan pada sumber daya alam dan kemiskinan para pekerja. Adam Smith
dalam teorinya menjelaskan bahwa kemakmuran negara diperoleh dari
kemampuannya untuk menggunakan sumber daya alam dan manusia untuk
8
menghasilkan tingkat produksi yang lebih baik dengan menekankan adanya
spesialisasi individu dan pembagian kerja.
Pasca pertumbuhan linear, banyak teori menekankan adanya perubahan
struktural. Lewis melalui Teori Model Surplus Tenaga Kerja membagi ekonomi
ke dalam dua kategori, yaitu sektor yang subsisten dan kapitalis. Sektor subsisten
adalah sektor pertanian di mana produksi pangan dikonsumsi sebagian besar oleh
petani itu sendiri. Sektor ini biasanya memiliki teknologi yang sederhana dan
penggunaan modal yang relatif minimal. Sektor kapitalis adalah sektor-sektor
moderen yang umumnya ditopang oleh sektor-sektor industri. Inti model ini
adalah bagaimana proses pembangunan dimulai ketika terjadi migrasi tenaga kerja
dari sektor subsisten yang surplus, menuju sektor-sektor moderen. Kapitalis akan
memperluas investasi guna meningkatkan jumlah pekerja dan tingkat produksi.
Konsekuensi kejadian tersebut adalah bertambahnya marginal produktivitas
tenaga kerja yang memengaruhi peningkatan laba dan tingkat pendapatan nasional.
Studi industrialisasi oleh Chenery melihat terdapat perbedaan sistematis jalur
industrialisasi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang.
Aliran dependensia pertama kali digagas secara rinci oleh Andre Gunder
Frank pada tahun 1967. Dia mengemukakan bahwa negara-negara dapat dibagi
menjadi dua golongan yaitu negara-negara pusat pembangunan (negara maju) dan
negara-negara satelit (negara sedang berkembang). Para ekonom yang
menyokong teori ini melihat bahwa proses pembangunan digerakkan oleh negaranegara maju yang kemudian memengaruhi negara-negara satelit. Kesimpulan teori
ini adalah negara-negara miskin dapat berkembang hanya dengan memutus
hubungan ekonomi dari negara-negara barat.
Teori neoklasik mengemukakan dua model yang terkenal, yaitu teori
pertumbuhan Harrod-Domar dan Solow. Analisis Harrod-Domar mengidentifikasi
investasi dan pembangunan mengambil peran penting dalam sebuah ekonomi
untuk mencapai pertumbuhan yang kokoh melalui MPS (Marginal Propensity to
Save) dan ICOR (Incremental Capital Output Ratio). MPS (ΔS/ΔY) merupakan
rasio perubahan tabungan karena adanya perubahan pendapatan. Sedangkan ICOR
(ΔK/ΔY) adalah rasio yang menunjukkan berapa tambahan stok modal yang
dibutuhkan untuk memproduksi produksi sebesar satu dollar. Analisis Robert
Solow mengembangkan sebuah teori yaitu Teori Pertumbuhan Neoklasik, yang
juga disebut Model Solow. Solow mengatakan bahwa pertumbuhan merupakan
fungsi tenaga kerja dan modal. Ekonomi tumbuh hingga mencapai keadaan stabil
(steady state) di mana pendapatan tinggi dicapai. Setelah steady state, tingkat
pertumbuhan yang lebih tinggi dapat dicapai melalui pengembangan teknologi.
Terakhir muncul teori-teori baru seperti Teori Pertumbuhan Baru (New
Growth Theory- NGT) yang dikemukakan oleh Paul Romer. Teori ini merupakan
pengembangan dari Teori Pertumbuhan Neoklasik. Romer memasukkan variabel
teknologi ke dalam model Solow, bukan sebagai variabel di luar model (Kuncoro
2010).
9
Teori pertumbuhan
linear (Adam Smith,
Karl Marx, Walt W
Rostow)
Teori perubahan
struktural (Arthur
Lewis, Hollins
Chenery)
Teori-teori baru:
Teori pertumbuhan
baru (NGT)
Teori
dependensia
(Andre G Frank)
Neoklasik :
Roy Harrod- Evsey Domar
(Harrod-Domar), Robert Solow
,
Sumber: Kuncoro (2010)
Gambar 3 Teori pertumbuhan ekonomi
Selain NGT, salah satu teori baru pertumbuhan ekonomi lainnya adalah
Teori Pertumbuhan Ekonomi Moderen yang dikemukakan oleh Simon Kuznets
dengan beberapa ciri pertumbuhan ekonomi moderen yang muncul dalam analisa
yang didasarkan pada produk nasional dan komponennya, penduduk, tenaga kerja
dan yang lainnya. Berikut adalah ciri-ciri pertumbuhan ekonomi moderen
(Jhingan 2013):
a. Laju pertumbuhan penduduk dan produk per kapita
Pertumbuhan ekonomi moderen ditandai dengan laju kenaikan
produk per kapita yang tinggi dibarengi dengan laju pertumbuhan
penduduk yang cepat. Laju yang tinggi di dalam pertumbuhan produk per
kapita dan penduduk tidak secara langsung menggambarkan laju yang
tinggi di dalam kenaikan produk total.
b. Peningkatan produktivitas
Pertumbuhan ekonomi moderen terlihat dari semakin meningkatnya
laju produk per kapita terutama sebagai akibat adanya perbaikan kualitas
input yang meningkatkan efisiensi atau produktivitas per unit input. Hal
ini dapat dilihat dari semakin besarnya masukan sumber tenaga kerja dan
modal atau semakin meningkatnya efisiensi, atau kedua-duanya. Kenaikan
efisiensi berarti penggunaan output yang lebih besar untuk setiap unit
input. Pertumbuhan produk nasional merupakan akibat dari pertumbuhan
penduduk yang luar biasa besar sehingga memperbesar pula jumlah tenaga
kerja.
c. Laju perubahan struktural yang tinggi
Perubahan struktural dalam pertumbuhan ekonomi moderen
mencakup peralihan dari kegiatan pertanian ke nonpertanian, dari industri
ke jasa, perubahan dalam skala unit-unit produktif, dan peralihan dari
perusahaan perseorangan menjadi perusahaan berbadan hukum, serta
perubahan status kerja buruh.
d. Urbanisasi
Pertumbuhan ekonomi moderen ditandai pula dengan semakin
banyaknya penduduk yang berpindah dari daerah pedesaan ke daerah
perkotaan.
10
Ketimpangan Distribusi Pendapatan
Terdapat beberapa cara yang digunakan untuk mengukur tingkat
kesenjangan dalam distribusi pendapatan. Salah satu yang sering digunakan dalam
studi-studi empiris mengenai kesenjangan dalam distribusi pendapatan adalah
koefisien atau rasio Gini. Ide dasar dari perhitungan koefisien Gini berasal dari
Kurva Lorenz (Tambunan 2003).
Kurva Lorenz merupakan metode yang lazim digunakan untuk menganalis
statistik pendapatan perorangan. Jumlah penerima pendapatan dinyatakan pada
sumbu horizontal, tidak dalam arti absolut melainkan dalam persentase kumulatif.
Dan pada sumbu vertikal menyatakan bagian dari pendapatan total yang diterima
oleh masing-masing persentase kelompok penduduk tersebut. Kurva Lorenz
secara keseluruhan berbentuk bujur sangkar dan dibelah oleh sebuah garis
diagonal yang disebut dengan garis pemerataan. Semakin jauh jarak kurva Lorenz
dari garis diagonal, semakin timpang atau tidak merata distribusi pendapatannya.
Salah satu metode yang mudah digunakan untuk mengukur derajat
ketimpangan pendapatan relatif di suatu negara adalah dengan menghitung rasio
bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas
separuh segi empat di mana kurva Lorenz itu berada (dapat dilihat pada Gambar
4). Rasio ini dikenal dengan nama rasio konsentrasi Gini (Gini Concentration
Ratio) atau biasa disebut dengan Koefisien Gini (Gini Coefficient).
Koefisien Gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang angkanya berkisar
antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna). Pada
prakteknya, koefisien Gini untuk negara-negara yang derajat ketimpangannya
tinggi berkisar antara 0.50 hingga 0.70. Sedangkan untuk negara-negara yang
distribusi pendapatannya relatif merata, angkanya berkisar antara 0.20 hingga 0.35
(Todaro dan Smith 2006).
Sumber: Todaro dan Smith 2006
Gambar 4 Memperkirakan koefisien Gini
11
Selain dengan menggunakan koefisien atau indeks Gini, cara pengukuran
lainnya yang juga umum digunakan adalah dengan mengelompokkan penduduk
menjadi tiga grup, yaitu 40% penduduk dengan pendapatan rendah, 40%
penduduk dengan pendapatan menengah dan 20% penduduk dengan pendapatan
tinggi. Selanjutnya, ketidakmerataan pendapatan diukur berdasarkan pendapatan
yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan pendapatan rendah. Menurut kriteria
Bank Dunia, tingkat ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan dinyatakan
tinggi apabila 40% penduduk dari kelompok berpendapatan rendah menerima
lebih kecil dari 12% dari jumlah pendapatan. Tingkat ketidakmerataan sedang
apabila kelompok tersebut menerima 12% hingga 17% dari jumlah pendapatan.
Sedangkan ketidakmerataan rendah apabila kelompok tersebut menerima lebih
dari 17% dari jumlah pendapatan (Tambunan 2003).
Pengangguran
Pengangguran adalah masalah makroekonomi yang memengaruhi manusia
secara langsung dan merupakan salah satu masalah berat yang dihadapi oleh
negara berkembang. Keadaan di negara berkembang mayoritas menunjukkan
pembangunan ekonomi tidak sanggup menciptakan kesempatan kerja yang lebih
cepat dari pertambahan penduduk. Oleh karena itu, masalah pengangguran yang
dihadapi dari tahun ke tahun semakin lama semakin bertambah serius. Bukan saja
jumlah pengangguran menjadi bertambah besar, tetapi juga proporsi mereka dari
keseluruhan tenaga kerja menjadi semakin bertambah tinggi (Sukirno 2006).
Tingkat pengangguran adalah statistik yang mengukur persentase orangorang yang ingin bekerja tetapi tidak mempunyai pekerjaan. Angkatan kerja
(labor force) didefinisikan sebagai jumlah orang yang sedang bekerja dan orang
yang menganggur. Tingkat pengangguran (unemployment rate) didefinisikan
sebagai persentase dari angkatan kerja yang tidak bekerja, dapat dirumuskan
sebagai berikut:
L=E+U
Keterangan:
L
: Angkatan kerja
E
: Jumlah orang yang bekerja
U
: Jumlah penganggur
Dalam notasi tersebut, tingkat pengangguran adalah sebagai berikut :
Tingkat Pengangguran =
x 100
Salah satu alasan bagi adanya pengangguran adalah dibutuhkannya waktu
untuk mencocokkan antara para pekerja dengan pekerjaan. Para pekerja memiliki
preferensi serta kemampuan yang berbeda, dan pekerjaan memiliki karakteristik
yang berbeda. Oleh karena itu dalam mencari pekerjaan dibutuhkan waktu serta
usaha dan ini cenderung mengurangi tingkat perolehan kerja. Karena pekerjaan
yang berbeda membutuhkan keahlian yang berbeda dan memberikan upah yang
berbeda, maka para penganggur mungkin tidak menerima pekerjaan yang pertama
kali ditawarkan. Pengangguran yang disebabkan oleh waktu yang dibutuhkan
12
orang untuk mencari pekerjaan disebut pengangguran friksional (frictional
unemployment).
Alasan kedua adanya pengangguran adalah kekakuan upah (wage rigidity),
yaitu kegagalan upah dalam menyesuaikan sampai penawaran tenaga kerja sama
dengan permintaannya. Pengangguran yang disebabkan oleh kekakuan upah dan
penjatahan pekerjaan disebut pengangguran struktural (structural unemployment)
(Mankiw 2007). Dalam Kuncoro (2013), penganggur adalah mereka yang sedang
mencari pekerjaan, atau mereka yang mempersiapkan usaha, atau mereka yang
tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan,
dan mereka yang sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.
Penganggur dengan konsep atau definisi tersebut disebut sebagai penganggur
terbuka (open unemployment).
Indikasi tentang penduduk usia kerja yang termasuk dalam kelompok
pengangguran diukur dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Tingkat
pengangguran terbuka diukur sebagai persentase jumlah penganggur terhadap
jumlah angkatan kerja, yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
TPT =
x 100%
Kegunaan dari indikator pengangguran terbuka ini baik dalam satuan unit
(orang) maupun persen berguna sebagai acuan pemerintah bagi pembukaan
lapangan kerja baru. Selain itu, perkembangannya dapat menunjukkan tingkat
keberhasilan program ketenagakerjaan dari tahun ke tahun (Kuncoro 2013).
Penelitian Terdahulu
Zaman dan Khilji (2013) dalam penelitiannya yang berjudul The
Relationship Between Growth-Inequality-Poverty Triangle and Pro-Poor Growth
Policies in Pakistan: The Twin Disappointments menunjukkan bahwa
pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja akan kurang efektif untuk mengurangi
kemiskinan, karena kemiskinan merupakan permasalahan yang multidimensional.
Faktor-faktor lainnya seperti bad governance, ketimpangan pendapatan,
pertumbuhan yang lemah dan laju populasi yang cepat merupakan kontributor
utama dalam kemiskinan. Koefisien Gini dan rasio konsumsi dari penduduk
berpendapatan teratas dan terbawah digunakan untuk mengukur ketimpangan
pendapatan. Pada kasus Pakistan, koefisien Gini terus mengalami peningkatan
selama periode 2000-2001 hingga 2007-2008, hal tersebut menunjukkan bahwa
kondisi ketimpangan pendapatan semakin memburuk. Selain itu, kinerja
pertumbuhan ekonomi yang baik mampu menurunkan jumlah penduduk miskin
tetapi pertumbuhan ekonomi gagal menciptakan dampak distribusi di Pakistan.
Dampak pertumbuhan ekonomi terhadap pengurangan kemiskinan dapat dicapai
melalui beberapa jalur, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 5.
13
Meningkatkan lapangan
pekerjaan
Meningkatkan upah
Pendistribusian kekayaan
Mengurangi
kemiskinan
Pertumbuhan
ekonomi
Mendukung
penduduk
kaya
Mendukung
penduduk
miskin
Meningkatkan pengeluaran
pada sektor sosial
Meningkatkan pendapatan
Sumber: Zaman dan Khilji 2013
Gambar 5 Dampak pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan
Kerangka pemikiran konseptual untuk Growth-Inequality-Poverty (GIP)
triangle di Pakistan dapat dilihat pada Gambar 6. Lingkaran yang mengelilingi
GIP triangle menunjukkan bahwa pemerintah harus mengalokasikan anggaran
untuk kebijakan pro-growth dan pro-poor growth. Dari penelitian juga diperoleh
hasil bahwa kemiskinan di daerah pedesaan lebih tinggi daripada daerah
perkotaan di Pakistan. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan (a) rata-rata
pendapatan dan konsumsi rumah tangga, serta (b) ketersediaan infrastruktur di
sektor publik, subsidi, dan pelayanan-pelayanan. Tingginya kemiskinan di daerah
pedesaan karena mayoritas penduduk miskin di pedesaan bekerja di sektor
pertanian sebagai buruh tani. Selain itu juga diperoleh hasil bahwa dampak
ketimpangan pada peningkatan kemiskinan lebih kuat daripada dampak
pertumbuhan terhadap pengurangan kemiskinan. Dampak penurunan kemiskinan
dari pertumbuhan tergantung pada berbagai faktor dan karakteristik pola
pertumbuhan. Salah satu faktor penting adalah derajat dari intensitas pekerja
dalam proses pertumbuhan, di mana pertumbuhan ekonomi mampu menciptakan
kesempatan kerja pada penduduk miskin.
14
Sumber: Zaman dan Khilji 2013
Gambar 6 GIP Triangle
Priyarsono dan Hajiji (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Can
Economic Growth Effectively Reduce Poverty?: An Empirical Evidence
menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi di Riau ternyata mampu mengurangi
kemiskinan, tetapi juga meningkatkan ketimpangan pendapatan. Peningkatan
ketimpangan pendapatan tersebut menjadi penghambat atau mengurangi
efektivitas pertumbuhan ekonomi dalam mengentaskan kemiskinan. Dua
kemungkinan dari peningkatan ketimpangan pendapatan akibat dari pertumbuhan
ekonomi, yaitu:
1. Bagian terbesar pertumbuhan ekonomi dinikmati oleh penduduk yang tidak
miskin, sedangkan sisanya dinikmati oleh penduduk yang miskin. Apabila
kondisi ini yang terjadi, maka pertumbuhan ekonomi tidak akan mengurangi
kemiskinan.
2. Bagian terbesar pertumbuhan ekonomi dinikmati oleh penduduk yang miskin,
sedangkan sisanya dinikmati oleh penduduk yang tidak miskin. Apabila
kondisi ini yang terjadi, maka pertumbuhan ekonomi akan mengurangi
kemiskinan.
Suryadarma, et al.(2005) dalam penelitiannya yang berjudul A Reassessment
of Inequality and Its Role in Poverty Reduction in Indonesia bertujuan untuk
mengetahui bagaimana kondisi ketimpangan di Indonesia pada saat pertumbuhan
ekonomi Indonesia sedang tinggi dan pada saat terjadi krisis. Serta untuk menguji
apakah ketimpangan berhubungan dengan kemiskinan di Indonesia. Penelitian ini
memberikan gambaran tentang ketimpangan di Indonesia selama periode tahun
1984 hingga 2002 dengan menggunakan beberapa ukuran ketimpangan yaitu
Indeks Gini, Generalized Entropy (GE) Index, dan Atkinson Index. Berdasarkan
hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ketimpangan mengalami fluktuasi.
Sedangkan tingkat kemiskinan cenderung mengalami penurunan dari 1984 hingga
tahun 2002. Pada tahun 1999 ketimpangan mengalami penurunan yang paling
rendah di antara tahun lainnya sepanjang periode 1984 – 2002 ketika tingkat
kemiskinan justru mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya. Hal ini dikarenakan ketika terjadi krisis banyak dari kelompok
masyarakat yang sebelumnya tidak miskin (rentan terhadap Garis Kemiskinan)
15
menjadi miskin. Sehingga tingkat kemiskinannya mengalami peningkatan. Dari
hasil penelitian diketahui bahwa ketimpangan mempunyai pengaruh negatif
terhadap elastisitas pertumbuhan kemiskinan.
Kerangka Pemikiran
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada latar belakang dan rumusan
masalah, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterkaitan antara
pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan tingkat kemiskinan di 33
Provinsi di Indonesia selama periode 2010 hingga 2013. Selain itu penelitian ini
juga menggunakan variabel kontrol tingkat pengangguran terbuka yang
merupakan salah satu faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan. Tetapi
tingkat pengangguran terbuka tidak dibahas secara mendalam.
Pembangunan Ekonomi di
Indonesia
Faktor yang Memengaruhi
Kemiskinan
Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT)
Analisis Keterkaitan
Pertumbuhan
Ekonomi
Ketimpangan
Pendapatan
Tingkat Kemiskinan
Gambar 7 Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
1.
2.
Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Variabel pertumbuhan ekonomi mempunyai hubungan yang negatif terhadap
tingkat kemiskinan. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, tingkat
kemiskinan akan semakin rendah.
Variabel ketimpangan pendapatan mempunyai hubungan yang positif
terhadap tingkat kemiskinan. Semakin tinggi ketimpangan pendapatan,
tingkat kemiskinan akan semakin tinggi.
16
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari 33
Provinsi di Indonesia dengan time series waktu tahunan periode 2010 hingga 2013
yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data yang diperoleh
ditransformasikan dalam bentuk data panel, yaitu kombinasi dari data time series
dan data cross section. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini
berdasarkan studi pustaka yang dilakukan terhadap jurnal, penelitian terdahulu
dan literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Uraian data sekunder
yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Jenis, sumber dan variabel data yang digunakan
No
Jenis data
1
Persentase penduduk miskin
di 33 provinsi di Indonesia
(%)
Ketimpangan pendapatan
(Indeks Gini)
Pertumbuhan ekonomi (%)
Tingkat pengangguran
terbuka (%)
2
3
4
Sumber data
Variabel
BPS
POVit
BPS
GINIit
BPS
BPS
GROWTHit
TPTit
Metode Analisis dan Pengolahan Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian adalah analisis
kuantitatif dan analisis deskriptif. Analisis kuantitatif dilakukan dengan metode
panel data untuk mengkaji keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan
pendapatan dan tingkat kemiskinan di Indonesia. Pengolahan data dilakukan
dengan menggunakan program Eviews 6.1 dan Microsoft Excel. Sedangkan
analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menginterpretasikan hasil
data kuantitatif mengenai pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan, dan
tingkat kemiskinan di Indonesia.
Metode Panel Data
Data panel merupakan gabungan antara cross section dan time series. Data
cross section adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak
individu. Sedangkan data time series adalah data yang dikumpulkan dari waktu ke
waktu terhadap suatu individu. Terdapat dua keuntungan penggunaan model data
panel. Pertama, dengan mengkombinasikan data time series dan cross section
dalam data panel membuat jumlah observasi menjadi lebih besar. Dengan
menggunakan data panel marginal effect dari peubah penjelas dilihat dari dua
17
dimensi yaitu individu dan waktu sehingga parameter yang diestimasi akan lebih
akurat dibandingkan dengan model lain. Selain itu, secara teknis data panel dapat
memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar perubah serta
meningkatkan derajat kebebasan yang artinya meningkatkan efisiensi.
Keuntungan kedua dari penggunaan model data panel adalah mengurangi
masalah identifikasi. Data panel lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur
efek. Data panel mampu mengontrol heterogenitas individu. Dengan metode ini
estimasi yang dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas
individu. Data panel juga lebih baik untuk studi dynamic of adjustment. Hal ini
berkaitan dengan observasi pada cross section yang sama secara berulang (Firdaus
2011).
Pengujian Kesesuaian Model
Dalam pengolahan data panel harus dilakukan beberapa pengujian untuk
memilih metode serta model mana yang paling tepat antara metode kuadrat
terkecil (pooled least square model), metode tetap (fixed effect model), atau
metode acak (random effect model). Pengujian yang dilakukan adalah sebagai
berikut:
1.
Chow Test merupakan pengujian yang dilakukan untuk memilih apakah
model yang digunakan Pooled Least Square Model (PLS) atau Fixed Effect
Model (FEM) dengan hipotesisnya adalah
H0 = Pooled Least Square Model (Restricted)
H1= Fixed Effect Model (Unrestricted)
2.
Apabila nilai Chow Statistics (F statistik) > FN-1, NT-N-K, maka cukup
bukti untuk menolak H0, artinya model yang digunakan adalah Fixed Effect
Model.
Hausman Test merupakan pengujian statistik yang dilakukan untuk memilih
apakah model yang digunakan Fixed Effect Model atau Random Effect
Model. Hipotesis dalam penelitian ini adalah
H0 = Random Effect Model (REM)
H1 = Fixed Effect Model (FEM)
Tolak H0 apabila nilai statistik Hausman lebih besar dari Chi Square
atau bisa juga dengan menggunakan nilai probabilitas (p-value), yaitu jika
p-value lebih kecil dari tingkat kritis α. Ketika hasilnya adalah tolak H o,
maka model yang digunakan adalah Fixed Effect Model.
Uji Asumsi Klasik
Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas muncul apabila terdapat dua atau lebih peubah (atau
kombinasi peubah) bebas yang memiliki korelasi tinggi antara peubah yang satu
18
dengan peubah yang lainnya. Apabila terdapat peubah bebas yang berkorelasi
tinggi dengan peubah bebas lainnya, dugaan parameter koefisien regresi dengan
metode Ordinary Least Square masih mungkin diperoleh tetapi interpretasinya
akan menjadi sulit. Untuk mendeteksi apakah terdapat multikolinearitas
diantaranya adalah dengan melakukan uji koefisien korelasi sederhana (pearson
correlation coefficient) antara peubah bebas dalam model. Jika korelasinya sangat
tinggi dan nyata, maka terdapat multikolinearitas. Selain itu, apabila dalam uji-F
menyimpulkan minimal ada peubah bebas yang signifikan dalam model atau R2
tinggi tapi dalam uji-t tidak ada koefisien yang signifikan karena simpangan baku
koefisiennya besar. Atau bisa juga dengan melihat nilai Variance Inflation Factor
(VIF), apabila nilai VIF lebih besar dari 10 maka dapat dipastikan terdapat
multikolinearitas (Juanda 2009).
Uji Heteroskedastisitas
Salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa ragam sisaan (εt)
homogen. Apabila ragam sisaan tidak sama maka dapat dipastikan terdapat
masalah heteroskedastisitas. Pada umumnya masalah heteroskedastisitas sering
terjadi pada pada cross section. Suatu model yang terdapat heteroskedastisitas
maka model tersebut menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten.
Salah satu teknik pendugaan yang digunakan untuk mengatasi masalah
heteroskedastisitas adalah dengan menggunakan metode Kuadrat Terkecil
Terboboti (Weighted Least Square) yang merupakan kasus khusus dari teknik
ekonometrika yang lebih umum yaitu Generalized Least Square (GLS) di mana
model ditransformasi dengan memberikan bobot pada data asli (Juanda 2009).
Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah korelasi serial antara sisaan (εt) atau korelasi antara
serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu dalam data time series
ataupun menurut ruang dalam data cross section. Autokorelasi dapat
memengaruhi efisiensi dari estimatornya. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi
dapat dilakukan dengan melakukan uji Durbin-Watson. Dalam tabel DW terdapat
dua nilai titik kritis (batas keputusan) yang dinotasikan dengan dL dan dU. Batas
keputusan H0 atau H1 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Selang nilai statistik Durbin-Watson serta keputusannya
Nilai DW
4-dL < DW < 4
4-dU < DW < 4-dL
dU < DW < 4-dU
dL < DW < dU
0 < DW < dL
Sumber: Juanda 2009
Keputusan
Tolak H0 ; ada autokorelasi negatif
Tidak tentu, coba uji yang lain
Terima H0
Tidak tentu, coba uji yang lain
Tolak H0 ; ada autokorelasi positif
19
Perumusan Model Penelitian
Dalam menganalisis keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi,
ketimpangan pendapatan dan tingkat kemiskinan, digunakan 3 variabel bebas
yang terdiri dari pertumbuhan ekonomi (GROWTH), Indeks Gini (GINI), dan
tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang merupakan variabel kontrol. Sedangkan
variabel terikatnya adalah tingkat kemiskinan yaitu persentase penduduk miskin
(POV). Berikut adalah model yang digunakan dalam penelitian ini:
POVit = α + α1