Oligarki Ketimpangan Ekonomi dan Imajina
Oligarki, Ketimpangan Ekonomi dan Imajinasi Politik Kita
Wijayanto1
Imagine no possessions, I wonder if you can
No need for greed or hunger, a brotherhood of man
Imagine all the people sharing all the world, you…
~ Imagine, John Lennon, 1971
I
Satu pagi di Leiden. Seorang gadis mengendarai sepeda menyusuri tepian
sungai. Ia memakai mantel warna hitam. Syal berwarna terang. Kemeja putih. Juga
celana legging dan sepatu boot dengan hak tinggi. Rambutnya yang ikal diterpa
angin. Aroma wangi semerbak di sekeliling nya. Di tingkahi udara pagi yang dingin,
wajahnya yang putih berpijar di terpa mentari pagi. Pemandangan seperti ini biasa
saya dapati sambil saya sendiri bersepeda ke kampus, selama lima tahun berada di
Belanda.
Seorang pria separuh baya mengenakan jaket warna biru tua yang telah
memudar. Memakai kemeja warna merah muda. Ia menambatkan sepeda nya di
halaman depan De Vrieshof, salah satu bangunan paling tua, di universitas paling
tua di Belanda: Universitas Leiden. Pria paruh baya ini bernama David Henley.
Tinggi nya hampir 1,8 meter. Dia berdarah Inggris, namun telah tiga dekade tinggal
dan menjadi warga negara Belanda. Saya mengenalnya karena dia adalah
pembimbing akademik saya. Di halaman kampus universitas itu kadang kami
berpapasan, sama‐sama memarkirkan sepeda kami.
Dalam sebuah kesempatan excursion, Margreet van Till, koordinator program
kami mengajak saya jalan‐jalan ke Binnenhof. Ia merupakan sebuah kompleks
bangunan pemerintahan yang berada di pusat kota Den Haag, yang terletak di tepi
danau Hofvijver yang luas dan jernih. Di kompleks Beinnehof itu, terletak gedung
Twedee Kamer alias gedung parlemen Belanda. Bangunan‐bangunan kementerian.
Termasuk juga kantor Perdana Menteri, tempat kepala pemerintahan belanda
bekerja setiap hari. Bangunan itu juga dilengkapi parkiran sepeda. Margreet
menunjukkan kepada saya di mana tepatnya sang perdana menteri memarkirkan
sepeda nya.
Apa yang muncul dalam benak kita ketika membaca ilustrasi di atas.
Romantis, seperti hal nya si gadis? Hemat dan menyukai olah raga seperti hal nya
profesor saya dan sang perdana menteri? Atau, mungkin kah ketiganya adalah
1 Penulis adalah pengajar di Departamen Politik dan Pemerintahan (DPP) Universitas Diponegero,
Semarang. Kini dia adalah juga Kandidat Doktor “Media dan Politik” di Institute for Area Studies
(IAS), Universitas Leiden, Belanda.
1
orang‐orang yang sekaligus memiliki semua sifat itu? Itulah yang saya pikirkan saat
awal‐awal tiba di Belanda dulu.
Tapi bagaimana jika saya katakana bahwa keadaan itu adalah socially
constructed atau politically designed? Dengan kata lain: ia lahir dari imajinasi politik
masyarakatnya? Apakah anda akan percaya? Bagaimana ia bisa dijelaskan?
II
Sepeda menjadi alat transportasi Belanda usai perang dunia kedua, terutama
pada tahun 70‐an di mana pertumbuhan ekonomi mencapai 222 persen. Dan itu
membuat bangsa Belanda memiliki kemampuan untuk memenuhi jalan‐jalan
mereka dengan mobil. Hasilnya adalah angka kecelakaan lalu lintas yang mencapai
belasan ribu per tahun. Saat itulah muncul class action atau protes masal dari
masyarakat menuntut pertumbuhan jumlah mobil dan mulai memprioritaskan
sepeda. Lalu pada tahun 1973, Belanda mengalami krisis ekonomi yang cukup berat
setelah beberapa dekade yang penuh kemakmuran. Ini membuat pemerintah makin
mendengarkan protes masyarakat. Maka pada tahun 1975, mulailah di awali
kebijakan sepeda sebagai raja jalanan dengan dibangunnaya jalur khusus sepeda.
Bermula dari Den Haag dan Till Burg. Dan akhirnya meliputi seluruh wilayah
Belanda. Jika kita mengikuti jalur sepeda itu tanpa henti, kita akan sampai di luar
negeri: Jerman, Belgia, Perancis.
Dengan kata lain: saat saya menyaksikan sang gadis, profesor saya dan juga
sang perdana menteri bersepeda, kenyataan yang saya lihat bukanlah sesuatu yang
alamiah. Dia adalah produk dari keputusan politik. Yang lahir dari sebuah imajinasi
bahwa mencipta masyarakat dengan sedikit kecelakaan adalah mungkin. Namun
sepeda bukan hanya tentang menakan angka kecelakaan, namun juga tentang upaya
menciptakan masyarakat yang setara secara seekonomi dan sesedikit mungkin
memiliki ketimpangan sosial. Mengapa?
Untuk memastikan bahwa sepeda menjadi “raja” jalanan, pemerintah
membuat kebijakan tambahan. Dia berupa “insentive” bagi mereka yang bersepeda
dan “hukuman” bagi mereka yang naik mobil atau kendaraan pribadi. Insentive bagi
pesepeda ini bisa berupa hal kecil dan sederhana: parkir yang bisa tepat di depan
kantor. Dan gratis. Sedang parkir mobil akan jauh dari kantor dan bayar mahal.
Hingga pajak mobil yang sangat tinggi dan usia mobil yang beredar di lapangan di
kontrol ketat. Mobil dengan usia di atas 5 tahun akan kena pajak lebih besar dan
tidak boleh dipakai keluar rumah pada musim dingin. Karena dianggap bisa
mencelakakan orang lain. Insentive untuk pesepeda juga berupa tempat parkir
sepeda yang banyak di stasiun‐stasiun. Namun parkir untuk mobil di sekitar stasiun
hampir tidak ada. Dia harus berjarak cukup jauh dan sangat mahal. Lalu di dalam
gerbong kereta, ada gerbong khusus sepeda.
Negara memastikan bahwa orang kaya tidak akan kaya sendirian di sana.
Sedangkan orang miskin tidak akan terlalu miskin sehingga tak bisa hidup. Itulah
2
landasan filosofis nya. Mereka yang punya uang untuk membeli mobil akan
menderita karena harga mobil ynag mahal, dengan pajak tinggi, harga bahan bakar
dan biaya parkir yang mahal. Kendaraan umum sebaliknya. Di buat nyaman, tepat
waktu dan murah. Di Belanda, pelajar tak harus membayar untuk naik bis atau
kereta. Termasuk mahasiwa. Seseorang baru harus membayar jika dia telah bekerja.
Lebih jauh, keadilan ekonomi sebagai filosofi diwujudkan dalam kebijakan
politik yang paling konkret: pajak progresif. Semakin besar penghasilan per bulan
seseorang, semakin besar pajak yang harus dia bayarkan. Semakin kecil, maka
semakin sedikit pajak yang mesti ia bayarkan. Mereka yang bergaji di antara 3000 ‐
50000 per bulan harus membayar pajak 40%. Mereka yang lebih dari itu maka
mesti membayar pajak sampai 50% atau lebih. Bagaimana dengan yang miskin yang
penghasilannya di bawah standar hidup yang layak? Merka tak mesti kena pajak.
Bahkan akan diberi subsidi. mereka yang tak bekerja mendapatkan subsidi bulanan.
Satu kisah lain tentang seorang tentangga. Dia adalah seorang pria tua di usia
72 tahun. Seorang gay. Tanpa pasangan. Dan tanpa pekerjaan. Tapi tiap bulan dia
mendapat subsidi 1400 euro. Yang adalah lebih besar dari beasiswa saya per bulan.
Opa Mida, demikian saya menyapanya, memiliki penyakit jantung. Hingga hampir
tiap tahun ia mesti membayar asuransi. Dengan uang subsidi nya itu Opa bisa
membayar asuransi bulanan. Lalu dengan asuransi itu dia bisa melakukan operasi
jantung yang biayanya jauh lebih mahal dari premi yang ia bayarkan. Dia bisa
membayar sewa rumah. Dan memenuhi rumahnya dengan perabot yang layak.
Termasuk TV besar yang berfungsi sebagai home studio. Setiap selasa ada serial TV
favorit nya yang ia tonton sambil menangis dari sofa nya yang empuk. Dan setiap
musim panas tiba, dia selalu liburan ke Roma.
Hal sebaliknya terjadi pada profesor saya David. Dia seorang profesor
dengan penghasilan baik. Istri nya adalah seorang peneliti di salah satu lemabaga
riset terbaik di dunia. Namun ia sering mengeluh karena gaji istri nya habis hanya
untuk membayar jasa penitipan anak tiap bulan. Saya perkirakan gaji sang istri
berkisar 3000‐4000 euro per bulan. Ya, biaya penitipan anak bisa semahal itu untuk
mereka. Padahal untuk teman saya pasangan Indonesia yang hidup dengan
beasiswa, biaya penitipan anak mereka jauh lebh murah. Hanya 300 euro per bulan.
Mereka mendapat subsidi untuk penitipan anak. Profesor saya tidak
mendapatkannya. Dia juga tak punya pembantu. Karena jelas bahwa jasa pembantu
atau baby sitter di rumah akan jauh lebih mahal lagi. Bahkan pasangan profesor pun
tak kan kuat membayar nya.
Ya, gaji seorang profesor yang 4000‐an euro itu sebenarnya cukup tinggi.
Tentu saja ini hanya estimasi karena saya tak kan berani bertanya berapa gajinya.
Estimasi itu berasal dari iklan lowongan profesor atau peneliti yang biasanya selalu
menyebut besar gaji yang ditawarkan. Jika kita rupiahkan maka dia sekitar 60 juta
sebulan. Jika ditambahkan dengan gaji sang istri yang kurang lebih sama, maka akan
ada sekitar 100 jutaan sebulan. Namun, tetap saja, mereka tak punya pembantu.
3
Lantaran harga apa saja akan lebih mahal buat mereka. Belum terhitung pajak yang
bisa mencapi separuh gaji mereka.
Menariknya, penghasilan sang profesor ini ternyata tak jauh lebih tinggi dari
orang‐orang yang di Indonesia menjadi pekerja kelas sangat rendah, sepert cleaning
service, pelayan restoran, perawat manula, tukang sapu jalan. Gajinya mereka
kurang lebih sama. Mereka di bayar 8‐9 euro per jam. 40 jam seminggu. Maka
pengsailannya antara 1200‐1400 euro per bulan. Ya, gaji mereka memang tak boleh
di bawah 1200 euro. Karena 1150 euro dinyatakan sebagai jumlah biaya minimal
bagi setiap orang yang hidup di belanda. Maka mereka yang bekerja secara legal
akan dibayar tidak kurang dari itu per bulan. Jika masih kurang juga, maka negara
akan menggenapi nya dengan subsidi.
Pada satu perjalanan berkereta saya bertemu dengan seorang remaja 21
tahunan. Sunny namanya. Dia mengaku baru pulang liburan dari Indonesia. Dan
untuk itulah dia suka bercakap‐cakap dengan saya yang kebetulan seorang
Indonesia. Selain memuji keindahan Indonesia dia juga cerita hal menarik lainnya.
Yaitu bahwa dia jalan‐jalan ke Indonesia karena dia baru saja keluar dari tempatnya
bekerja selama 2 tahun. Sunny hanya lulusan SMA. Jadi dia pasti bukan pekerja
kerah biru. Namun dia mampu liburan ke luar negeri dengan gajinya. Dan, oh ya, dia
bilang jika setelah bekerja selama dua tahun itu, dia berhak untuk mendapat gaji
penuh selama tiga bulan. Dan dengan gaji 3 bulan inilah dia jalan‐jalan ke Indonesia.
Ya, di Belanda setiap orang berhak untuk mendapatkan penghidupan yang
layak, seperti bunyi pasal 27 undang‐undang dasar (UUD) kita. Di Belanda, fakir
miskin, orang jompo, anak‐anak terlantar bahkan juga pengungsi dipelihara oleh
negara. Seperti amanat pasal 34 UUD kita. Dan seperti sila kelima Pancasila kita,
negara Belanda meujudkan keadilan sosial dan ekonomi bagi seluruh rakyat nya. Di
sana, menjadi terlalau kaya dibandingkan tetangga sekeliling seakan merupakan
sebuah dosa. Negara memastikan hal itu tidak terjadi. Bahkan untuk hal‐hal yang
sepele sekali. Tidak hanya dengan pajak progresif. Namun termasuk hal kecil
lainnya: bentuk rumah. Iya, dari tetangga saya yang adalah seorang mantan anggota
parlemen dari partai buruh, saya tahu bahwa ada hukum yang mengatur bentuk
rumah. Saat seseroang ingin membangun rumah, desainnya harus mendapat ijin
dari negara. Dia tidak boleh terlalu berbeda dari rumah tetangganya. Dari situ saya
tahu, mengapa semua rumah di Belanda mirip satu sama lain. Perbedaan anatar
mereka yang lebih kayak atau yang biasa saja hanyalah pada interior ruangan dan
isi perabot nya.
III
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Jika kita mencermati teori terbaru dalam
ilmu politik untuk menggambarkan situasi Indonesia hari ini maka kita akan
bertemu dengan sebuah kata: oligarki. Kita tahu secara politik oligarki berarti
adanya segelintir orang yang begitu berkuasa sehingga mereka bisa menentukan
semua keputusan politik bagi ratusan juta orang lainnya. Secara ekonomi, oligarki
4
merujuk pada keadaan di mana sejumlah kecil manusia menguasai sebagian besar
kekayaan bangsa. Robison dan Hadiz (2013) mendefiniskan oligarki sebagai suatu
sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan terjadinya pengumpulan kekayaan
dan kewenangan di tangan segelintir elit, beserta seperangkat mekanisme untuk
mempertahankannya. Sedangkan, Winters (2013) mendefinikasannya sebagai
politik pertahanan kekayaan di antara para aktor yang menguasai nya. Untuk kasus
Indonesia, sebagaimana diungkapkan oleh para sarjana itu, segelintir yang berkuasa
dari sisi politik ini ternyata adalah orang‐orang yang sama dengan mereka yang
berkuasa secara ekonomi.
Buah dari ketimpangan penguasaan ekonomi dan politik hari ini adalah
dilahirkannya keputusan politik yang semakin memperkaya mereka yang kuat dan
semakin memarginalkan mereka yang lemah. Maka tidak heran jika Robison dan
Hadiz menggambarkan bahwa demokrasi di Indonesia hari ini mengalami stagnasi
atau bahkan kemunduran karena ia justru dibajak oleh para elit mereka sendiri,
yang mereka namai juga sebagai elit predator. Maka tidak heran jika ISEAS, sebuah
lembaga riset yang berada di Singapura pada penghujung 2017 mengungkpan partai
politik (45.8) dan DPR (55.4) merupakan lembaga yang plaing tidak percaya oleh
masyarakat Indonesia dari 10 institusi public yang disurvey.
Dari sisi ekonomi, oligarki menghasilkan masalah yang nyata. Sebagaimana
dirilis oleh berbagai lembaga riset dunia, Indonesia mengalami problem
ketimpangan ekonomi yang semakin meningkat. Pada tahun 2017, OXFAM
mengungkapkan bahwa satu persen warga terkaya negeri ini menguasai hampir
separuh (49 persen) kekayaan nasional. Berikutnya, empat orang terkaya di
Indonesia memiliki kekayaan yang lebih besar dari 40 persen penduduk termiskin,
atau sekitar 100 juta orang. Dalam satu hari, pendapatan dari bunga orang terkaya
di Indonesia melampaui 1.000 kali belanja orang miskin untuk kebutuhan pokok
selama satu tahun. Maka, tidak mengherankan jika kita dinobatkan sebagai negara
dengan ketimpangan ekonomi keenam tertinggi di dunia.
Sementara itu survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse,
mengungkapkan temuan yang kurang lebih sama: ketimpangan kekayaan antara
orang kaya dan miskin di Indonesia termasuk paling buruk di dunia. 1 persen orang
terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Kondisi ini hanya
lebih baik dibanding Rusia, India, dan Thailand (katadata.co.id, 15 Januari 2017).
Data bank dunia pada tahun 2015 menunjukkan bahwa index gini Indonesia pada
tahun 2000‐an semakin memburuk dibandingkan tahun 1990‐an di mana kini gini
ratio kita ada di kisaran 39,0 sedangkan pada 90‐an ada di angka 30,0. Secara
sederhana kita bisa juga menyebut index gini ini sebagai index ketimpangan
ekonomi di mana semakin tinggi ketimpangan di sutau Negara maka semakin tinggi
index gini nya.
Tapi mari kita lupakan statistik. Kita lihat kehidupan kita sehari‐hari. Kita
sudah terlalu terbiasa melihat ketimpangan di sekeliling kita. Di Jakarta, kita tahu di
belakang gedung‐gedung megah pencakar langit di daerah kuningan dan thamrin
5
adalah perumahan warga yang sederhana. Dengan gang‐gang sempit. Sungai yang
keruh. Pemukiman yang tak layak huni. Kondisi serupa atau bahkan lebih
mengenaskan saya dapati ketika saya setahun tinggal di daerah palmerah. Tak
hanya sempit, kotor dan keruh sungai nya. Namun bajir bisa sewaktu‐wkatu datang
saat hujan menderas dalam waktu lama.
Bagaimana dengan Semarang? Berbicara tentang Semarang benak saya
segera melayang ke tahun 2000‐2004 masa‐masa kuliah saya dahulu. Antara tahun
2002 sampai dengan 2004, saya pernah tinggal di pemukiman orang miskin di
genuk karanglo. Pemudanya tiap hari nongkrong di depan kosan saya.
Pengangguran. Berwajah preman. Kadang mabuk. Rambut gondrong. Banyak tato.
Tapi sebenarnya mereka baik hatinya. Biarpun preman, mereka sangat takut kepada
ibunya. Dan kini saya tahu, anak‐anak muda itu hanya tidak punya pekerjaan saja.
Pada saat itu, pikiran saya yang sempit, melihat mereka sebagai pemuda tak
berguna yang malas dan enggan bekerja keras. Kini, jika saya melihat ke belakang,
yang saya lihat adalah wajah‐wajah kaum marjinal yang tak tersentuh oleh tangan
Negara yang sibuk memperkaya kaum elit nya.
Sebagai peneliti media, saya belajar bahwa kawan‐kawan saya di Genuk
Kranglo itu juga tak bisa menggantungkan nasibnya kepada media. Seiring dengan
adanya krisis representasi pada isntitusi Negara formal seperti partai politik dan
DPR, kita juga tak bisa berharap banyak kepada media. Tak lain karena para
oligarkh juga menguasai media. Seperti diungkap dala studi Lim (2011 & 2012),
Nugroho (2012) dan Tapsell (2017), media masa kita dikuasai oleh segilintir
konglomerat yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan. Hasilnya adalah tidak ada
nya keberagaman isi (diversity of content). Media terjebak kedalam satu dari dua
corak. Pada satu sisi kita menyaksikan media menjadi insitutusi yang hanya menjadi
corong kekuasaan. Yang pandai memuji dan menjadikan halaman‐halaman utama
nya, jam‐jam tayangnya, menjadi panggung bagi penguasa. Di sisi lain, kita melihat
media menjadi penekan penguasa yang membuat kita mendapat kesan seakan dia
telah menjadi oposisi bagi kekuasaan. Namun ternyata bukan. Karena fungsi kritis
itu tidak hanya tanpa didaari investigasi berdasarkan kebenaran, namun juga segera
musnah begitu pemiliknya mendapat bagian dari kue kekuasaan. Dengan kata lain,
sebagaimana diungkap Andres (2016), media hanya menjadi sarana di antara elit
politik untuk menjadi penekan kepada kekuasaan untuk keuntungan ekonomi
politiknya sendiri. Media menjadi alat tukar dalam praktik politik dagang sapi.
Keduanya tidak banyak berguna bagi terjuwujudnya demokrasi substantive. Itu
adalah situasi di mana demokrasi telah mampu mengantarkan kita pada pemenuhan
hak‐hak asasi warga yang meliputi tak hanya hak sipil dan politik, namun juga hak
asasi social dan ekonomi.
Sementara itu, kita hampir tidak pernah melihat media mengangkat isu
structural ketimpangan ekonomi. Sebagaimana diangkat dalam studi Steele (2011),
potret kemiskinan di media dibingkai sedemikian rupa sehingga yang muncul dalam
kesadaran pembaca adalah bahwa kemiskinan itu merupakan akibat dari kemalasan
mereka yang miskin. Kita tahu bahwa di sini terdapat cacat logika yang serius di
6
sini: blaming the victims. Jika hanya 1‐2 orang saja di Indonesia yang msikin, maka
kita boleh percaya bahwa dia mungkin malas. Namun jika ada puluhan juta, atau
bahkan ratusan juta masyarakat yang miskin sebagaimana diungkap Bank Dunia,
maka sudah jelas bahwa struktur politik dan ekonomi lah yang melahirkannya. Di
media masa kita juga tak pernah membaca investigasi atas masalah perpajakan kita,
apakah para oligarkh itu memang telah membayar pajak, dan apakah uang pajak
telah sampai kembali kepada masyarakat? Atau bahkan apakah lembaga perpajakan
kita telah berfunsi sebagai mestinya? Tak pernah kita baca liputan mendalam
tentang ini. Mungkinkah ini ada kaitannya dengan kenyataan bahwa media adalah
bagian dari oligark itu?
IV
Apa yang mengkhawatirkan dari sebuah bangsa yang dikuasai oligarki? Di
atas jelas bahwa oligarki melahirkan ketimpangan ekonomi dan kemiskinan.
Selanjutnya ketimpangan ekonomi tinggi di masyarakat merupakan ancaman
karena tidak hanya membahayakan kohesi sosial tapi juga membahayakan stabilitas
politik dan ekonomi. Penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia menunjukkan
bahwa negara‐negara dengan distribusi kekayaan yang lebih setara cenderung
tumbuh lebih cepat dan lebih stabil dibandingkan dengan negara‐negara yang
menunjukkan tingkat ketidaksetaraan yang tinggi.
Sementara itu, sudah lama terdapat konsensus di kalangan ilmuwan bahwa
korupsi dan ketidaksetaraan saling berkaitan erat. Kedua fenomena tersebut
berinteraksi dalam lingkaran setan: korupsi menyebabkan distribusi kekuasaan
yang tidak merata di masyarakat yang, pada gilirannya, diterjemahkan ke dalam
distribusi kekayaan dan kesempatan yang tidak setara. (TI, 2017,
https://www.transparency.org/news/feature/corruption_and_inequality_how_pop
ulists_mislead_people). Uslaner (2008), misalnya, mengemukakan bahwa akar
korupsi terletak pada ketidakadilan ekonomi dan hukum, rendahnya tingkat
kepercayaan umum (yang tidak mudah berubah), dan pilihan kebijakan yang buruk
(yang mungkin cenderung berubah). Ketimpangan ekonomi memberikan tempat
berkembang biak yang subur untuk korupsi, yang, pada gilirannya, menyebabkan
ketidaksetaraan lebih jauh. Sama seperti korupsi terus‐menerus, ketidaksetaraan
dan kepercayaan tidak banyak berubah seiring berjalannya waktu, menurut analisis
agregat lintas negara Uslaner. Dia berpendapat bahwa ketimpangan yang tinggi
menyebabkan rendahnya kepercayaan masyarakat pada lembaga Negara dan juga
pada tingkat korupsi yang tinggi. Selanjutnya, tingkat korupsi yang makin tinggi
melahirkan ketimpangan yang semakin membesar pula, yang membuat masyarakat
terjebak dalam apa yang ia sebuh dengan “perangkap ketimpangan.”
Jika hari‐hari ini politisi kita mengeluhkan tinggi nya ongkos ekonomi untuk
maju dalam pemilu legislative, dalam pilkada dan pilpres, lantaran pemilih yang
menurut mereka menuntut logisitik, maka elit politik kita perlu melakukan
introspeksi: mengapa itu terjadi? Jawabannya sederhana: hilang nya kepercayaan
kepada politisi. Masyarakat berpikir: “untuk apa aku dukung seorang calon dengan
7
sungguh‐sungguh toh dia belum tentu akan memperjuangankan nasib ku, maka
lebih baik aku ambil uang nya selagi bisa”. Studi terkini menunjukkan bahwa
pemilih kita semakin pragmatis bahkan hingga level pemilihan kepala desa.
Pragmatism dan musnahnya kepercayaan yang akut itu membuat mereka
berprinsip: “ambil saja uang nya, namun jangan coblos orang nya”. Selanjutnya
biaya politik yang tinggi ini melahirkan dampak lainnya: maraknya korupsi elit
politik yang membuat mereka berakhir di hotel prodeo.
Mencermati semua uraian di atas, maka lebih dari kemiskinan, ketimpangan
ekonomi, korupsi ataupun hancurnya kepercayaan di antara kita, bagi saya akibat
oligraki yang paling mencemaskan adalah ini: musnahnya imajinasi politik dan daya
kreativ kita. Ya, kita begitu terbiasa hidup dengan semunya itu, sehingga perlahan
kita melihat semuanya sebagai normal. Kita melihat semua itu sebagai takdir yang
terberi, seperti matahari yang selalu terbit dari timur dan tenggelam di barat. Kita
kehilangan imajinasi tentang bagaimana ketimpangan itu bisa dihapuskan, juga
korupsi dan oligraki. Dan barangkali, kita bahkan kehilangan kepercayaan, atau
sama sekali tak kepikiran, bahwa ketimpangan itu adalah konstruksi sosial,
demikian juga dengan korupsi dan oligraki. Dia bukan pemeberian alam seperti hal
nya matahari dan udara.
Kita terlalu terbiasa dengan “vote buying” dalam pemilu sehingga kehilangan
imajinasi dan kepercayaan tentang adanya kemungkinan cara lain dalam memen
angkan hati pemilih dan pemilu. Kita terbiasa dengan berita korupsi, sehingga kita
kehilangan imajinasi dan kepercayaan bahwa cara berpolitik yang berbeda adalah
mungkin dan bisa kita lakukan. Kita membaca kisah bayi Debora yang meninggal
karena dianggap tak mampu membayar sehingga di tolak rumah sakit tanpa rasa
getir. Kita mendengar kabar 72 balita meninggal di Papua dan ratusan lainnya sakit
parah karena gizi bruk sebagaimana kita baca di media belum lama ini tanpa rasa
iba (Tempo, 12‐18 Februari 2018). Sama seperti hal nya di lampu‐lampu merah,
atau di stasiun‐stasiun kereta: kita melihat seorang ibu yang mengemis dengan bayi
di gendong nya dengan tiada lagi ada rasa bersalah. Tanpa sama sekali terbit
kesadaran ataupun sekedar pertanyaan: bahwa jangan‐jangan kita semua turut
andil dalam mereproduksi struktur social yang timpang ini sehingga fakir miskin
dan anak terlantar kita biarkan berjuang di atas aspal di bawah terik kota.
Di sini ilustrasi awal saya di muka tentang kehidupan di Belanda menjadi
penting. Saya tidak hendak mengatakan bahwa di Belanda semua serba indah.
Negara itu punya masalahnya sendiri. Dan Belanda tidak sendirian. Ada Negara‐
negara Eropa Barat lainnya seperti Jerman, Norwegia dan Finlandia, di mana prinsip
keadialaan social juga diberlakukan bahkan dalam level yang baik lagi. Tapi mereka
memiliki imajinasi politik sedemikian rupa. Yang melahirkan sebuah kehidupan
dengan keadilan ekonomi jadi pemandangan normal sehari‐hari. Ya, problem politik
kita, menurut saya adalah, keringnya imajinasi dan daya kreativ para pemimpin
bangsa. Sehingga kita tak mampu keluar dari jebakan‐jebakan masalah sosial yang
menjara hidup kita sehari‐hari.
8
Akhirnya, Sebagaimana dituturkan dengan indah oleh Ben Anderson (1983),
sebuah bangsa lahir karena ada sekelompok manusia yang, meskipun tidak pernah
bertemu satu sama lain, membayangkan diri meraka sebagai sama‐sama bagian dari
sebuah bangsa. Dua ratus, atau bahkan seratus tahun tahun yang lalu, saat
nusantara masih berupa kerjaan yang terpisah, ide akan sebuah bangsa bernama
Indonesia adalah imaji yang tampak seperti utopia. Namun kini sebuah bangsa yang
bernama Indonesia telah hampir berusia seperempat abad. Hari ini, imaji akan
sebuah bangsa yang berkeadilan dan bebas dari oligarki, korupsi dan ketimpangan
ekonomi itu mungkin tampak seperti utopia. Namun, jika setiap warga Negara telah
memulai membayangkan hal itu secara bersama‐sama hari ini, maka perwujudan
akan imajinasi itu hanyalah masalah waktu. Semoga anak cucu kita kelak bisa
menikmati nya.
Referensi:
Anderson, Benedict R. O'G. (1983). Imagines Communities: Reflections on the Origin
and Spread of Nationalism. London: Verso.
Andres, Nicole. (2016). “Media‐elite interactions in post‐authoritarian Indonesia”.
Disertasi. Doctor of Philosophy Murdoch University.
Hadiz, Vedi R. an d Richard Robison. (2013). The Political Economy of Oligarchy and
the Reorganization of Power in Indonesia. In Indonesia. No. 96, Special Issue:
Wealth, Power, and Contemporary Indonesian Politics ( October 2013), pp. 35‐
57.
Merlina, Lym. (2011). @crossroads: Democratization & Corporatization of Media in
Indonesia. Arizona State University: Participatory Media Lab.
Merlina, Lym. (2012). The League of Thirteen Media Concentration in Indonesia.
Arizona State University: Participatory Media Lab.
Nugroho, Yanuar et all. (2012). Mapping the landscape of the media industry in
contemporary Indonesia. Indonesia: Centre for Innovation Policy and
Governance.
Steele, J. (2011). ‘Indonesian Journalism Post‐Suharto: Changing Ideals and
Professional Practices’ in Krishna Sen and David T. Hill (eds), Politics and the
Media in Twenty‐First Century Indonesia: Decade of Democracy, pp. 85‐103.
New York: Routledge.
Taspell, Ross. (2017). Media Power in Indonesia. London: Rowman & Littlefield.
Uslaner, Eric M. (2008). Corruption, Inequality, and the Rule of Law: The Bulging
Pocket Makes the Easy Life. China: Southwest University of Political Science and
Law.
Winters, Jeffrey A. (2013) Oligarchy and Democracy in Indonesia. In Indonesia, No.
96, Special Issue: Wealth, Power, and Contemporary Indonesian Politics
(October 2013), pp. 11‐33.
9